Teori Sistim Transportasi Kota
Teori Sistim Transportasi Kota
9 Sistem Transportasi
2.9.1 Sistem Transportasi Perkotaan
Transportasi pada dasarnya mempunyai dua fungsi utama, yaitu melayani
kebutuhan akan transportasi dan merangsang perkembangan. Untuk pengembangan
wilayah perkotaan yang baru, fungsi merangsang perkembangan lebih dominan.
Hanya saja perkembangan tersebut perlu dikendalikan ( salah satunya dengan
peraturan ) agar sesuai dengan bentuk pola yang direncanakan.
Transportasi perkotaan mempunyai tujuan yang luas, yaitu membentuk suatu
kota dimana kota akan hidup jika sistem transportasi berjalan baik. Artinya
mempunyai jalan-jalan yang sesuai dengan fungsinya serta perlengkapan lalu lintas
lainnya. Selain itu transportasi juga mempunyai tujuan untuk menyebarluaskan dan
meningkatkan kemudahan pelayanan, memperluas kesempatan perkembangan kota,
serta meningkatkan daya guna penggunaan sumber-sumber yang ada.
Jaringan jalan merupakan salah satu elemen dari suatu jaringan tranportasi
wilayah perkotaan secara keseluruhan. Untuk pelayanan sistem transportasi kota besar
sebaiknya dengan multi-moda, karena mencoba memanfaatkan keunggulan masing-
masing moda. Jenis moda transportasi yang banyak dipakai di wilayah perkotaan
adalah jalan kaki, sepeda dan sepeda motor, mobil, angkutan umum dengan bis dan
minibis dan angkutan umum berbasis rel.
Tinjauan terhadap jaringan jalan sudah sejak lama menjadi perhatian dan
pembahasan para ahli perencanaan dan perancang perangkutan. Tinjauan terhadap
jaringan jalan tersebut sangat penting sebagai langkah awal untuk menggambarkan
keadaan pelayanan sistem perangkutan itu sendiri. Morlok menjelaskan bahwa
jaringan jalan merupakan suatu konsep matematis yang dapat memberikan informasi
secara kuantitatif mengenai hubungan antara sistem perangkutan dengan sistem
lainnya (Morlok, 1995:94).
Jaringan jalan mempunyai kemampuan yang terbatas untuk melewatkan lalu
lintas. Titik yang kritis dalam jaringan jalan adalah daerah simpang yang harus
digunakan bersama oleh arus-arus yang berpotongan, dengan demikian kapasitas
jaringan jalan umumnya ditentukan oleh kapasitas simpang-simpangnya. Pemasangan
lampu lalu lintas dan koordinasi antar simpang merupakan langkah-langkah yang
dapat menaikkan kapasitas simpang secara terbatas.
Kemacetan pada simpang akan menyebabkan tundaan (delay) yang besar.
Tundaan tersebut akan membesar secara eksponensial bila simpang tersebut
beroperasi pada kondisi yang mendekati kapasitasnya. Di DKI Jakarta dan beberapa
kota besar lainnya fenomena tersebut nampak sebagi melebarnya saat sibuk selama
beberapa jam, baik di pagi hari maupun di sore hari. Selanjutnya para pemakai jalan
akan ‘merintis’ jalan baru dengan melewati jalur tikus dan hal tersebut mengubah
sistem transportasi serta tata guna lahannya.
Jaringan jalan harus mempunyai suatu hirarki agar dapat berfungsi secara
efisien dalam kondisi dibebani secara berat. Undang-undang Jalan Tahun 1980
mengatur hirarki, atau klasifikasi atas dasar peran jalan, dan Undang-undang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Tahun 1992 telah mengaitkan klasifikasi jalan dengan
klasifikasi peran jalan. Dengan demikian sebenarnya telah ada arahan strategis untuk
membentuk suatu sistem jaringan jalan.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1980 tentang jalan, jaringan jalan di dalam
lingkup sistem kegiatan kota mempunyai peranan untuk mengikat dan
menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam
pengaruh pelayanannya di dalam suatu hubungan hirarki (UU No. 13 Tahun 1980,
pasal 2, ayat 3). Dilihat dari pelayanan jasa, persebaran ditentukan oleh dua jenjang.
Pertama, perannya sebagai pelayanan jasa persebaran untuk pengembangan semua
wilayah di lingkungan nasional dengan semua simpul jasa persebaran yang kemudian
berwujud kota, membentuk suatu sistem jaringan jalan primer. Kedua, perannya
sebagai pelayanan jasa persebaran untuk masyarakat di dalam kota membentuk suatu
sistem jaringan jalan sekunder (UU No. 13 Tahun 1980, pasal 3, ayat 1-2).
Di kota besar Indonesia sering terjadi kemacetan lalu lintas. Bagi para
pengemudi kendaraan dan pengelola lalu lintas kemacetan ini mungkin sudah sesuatu
yang biasa dan masing-masing berusaha mengatasinya dengan cara sendiri-sendiri.
Selanjutnya, untuk masa depan tidak dirasakan ada prospek yang cerah mengenai
kelancaran lalu lintas, bila kondisi seperti sekarang terus berlanjut.
Di DKI Jakarta pada saat ini berlaku aturan 3-in-1 untuk jumlah orang
minimum yang berada sepanjang Jalan Jendral Sudirman – M. H. Thamrin dan Jalan
Jendral Gatot Subroto. Juga ada pajak kendaraan bermotor yang progresif. Selain itu
ada berbagai pemikiran lain seperti road pricing, aturan ganjil-genap dan pembatasan
pemakaian mobil tua (Jurnal PWK No.3, 1997:11). Seluruh tindakan tersebut dapat
digolongkan sebagai usaha pembatasan perjalanan (traffic restraint).
Penerapan jaringan jalan raya yang tidak sesuai dengan tata guna lahan,
karakteristik permintaan, kondisi daerah setempat, serta tidak melalui suatu
perencanaan yang baik sering menimbulkan masalah yang sulit ditanggulangi.
GAMBAR 2.2
Aksesibilitas
Sebaran Pergerakan
Pemilihan Moda
Pemilihan Rute
2.9.5 Perparkiran
Ketiadaan pelataran parkir di kawasa tertentu dalam kota sudah pasti berakibat
berkurangnya lebar jalan di tempat tersebut. Kendaraan diparkir di pinggir jalan, naik
ke bahu jalan, atau menyerobot sebagian kaki lima (trotoar) sehingga jelas
mengurangi daya tampung jalan tersebut. Kesulitannya, makin besar jumlah
kendaraan, makin besar pula kebutuhan akan pelataran parkir. Sebagai gambaran,
dengan hanya memarkir tiga kendaraan pada suatu ruas jalan sepanjang 1 km sudah
berarti mengurangi lebar jalan yang semula 5,5 m menjadi 4,6 m.
Masalah parkir adalah masalah kebutuhan ruang. Penyediaan ruang dalam
kota dibatasi oleh luas wilayah kota yang ada dan tata guna tanahnya. Pengadaan
pelataran parkir sedikit banyak akan menytia sebagian luas wilayah kota karena
pelataran parkir membutuhkan ruang tersendiri yang cukup luas. Penggunaannya
sendiri belum tentu selalu maksimum, melainkan bergantung pada jam sibuk. Apabila
sigi dilakukan pada hari kerja, kebutuhan tertinggi akan pelataran parkir dapat
ditaksir. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan pada tempat yang sama setelah pukul
18.00, yang akan memberi petunjuk tentang tuntutan kebutuhan pelataran parkir bagi
kepentingan perumahan.
Perhitungan penggunaan pelataran parkir dalam satu hari penuh menjadi
ukuran kebutuhan perusahaan dan perdagangan akan pelataran parkir, sementara
perhitungan pada hari Sabtu petang menunjukkan kebutuhan perumahan dan
perbelanjaan akan hal yang sama.
Luas yang dibutuhkan untuk pelataran parkir bergantung pada dua hal pokok,
yaitu ukuran kendaraan yang diperkirakan parkir dan sudut parkir. Sudut parkir yang
umumnya digunakan adalah 0, 30, 45, 60 dan 90. Panjang dan lebar petak parkir
serta daya tampung panjang ruas jalan yang dibutuhkan terdapat pada tabel 2.1 dan
tabel 2.2.
TABEL 2.1
Lebar jalan
Panjang sisi Jumlah kendaraan
Lebar Sudut Lebar jalan untu parkir
jalan per petak yang dapat diparkir
petak parkir untuk parkir dan gerak
(per kendaraan) pada jalan sepanjang
kendaraan
Cm cm cm Cm 30,5 m 100 m
214 sejajar 214 519 671 4,5 14,8
275 30
45 583 918 388 7,37 24,2
60 610 1128 317 9,0 29,5
90 549 1250 275 11,1 36,4
Sumber : Suwardjoko Warpani, 1990
TABEL 2.2
Lebar jalan
Panjang sisi Jumlah kendaraan
Lebar Sudut Lebar jalan untuk parkir
jalan per petak yang dapat diparkir
petak parkir untuk parkir dan gerak
(per kendaraan) pada jalan sepanjang
kendaraan
Cm Cm Cm Cm 60 m 100 m
250 0 250 500 650 10 15,3
30 470 750 500 11,7 19,7
45 530 850 354 16,4 27,7
60 560 1100 290 20 33,8
90 500 1200 250 24 40
Sumber : Suwardjoko Warpani, 1990
Berdasarkan letaknya terhadap badan jalan, dikenal parkir di jalan dan di luar jalan.
a. Parkir di jalan
Parkir kendaraan di pinggir jalan tersebut (dapat dilihat pada gambar 2.3 dan
2.4) dapat ditemui di kawasan perumahan maupun di pusat kegiatan, serta di
kawasan lama yang umumnya tidak siap menampung perkembangan jumlah
kendaraan. Idealnya, parkir di jalan harus dihindarkan karena mengurangi
lebar efektif jalan yang seharusnya digunakan untuk kendaraan bergerak. Hal
yang mungkin dilakukan adalah mengatur parkir di jalan sedemikian rupa
sehingga tidak terlalu menghambat kelancaran arus lalu lintas. Kenyataan
menunjukkan bahwa kemacetan terus berlangsung walaupun sistem parkir
telah dijalankan. Oleh karena itu, tidak ada cara lain kecuali memarkir
kendaraan di luar jalan. Dengan demikian terhindarlah pengurangan lebar
jalan dan jalan dapat digunakan dengan kapasitas penuh.
GAMBAR 2.3
KEDUDUKAN PARKIR
Sumber : Suwardjoko Warpani, 1990
GAMBAR 2.4