Anda di halaman 1dari 15

2.

9 Sistem Transportasi
2.9.1 Sistem Transportasi Perkotaan
Transportasi pada dasarnya mempunyai dua fungsi utama, yaitu melayani
kebutuhan akan transportasi dan merangsang perkembangan. Untuk pengembangan
wilayah perkotaan yang baru, fungsi merangsang perkembangan lebih dominan.
Hanya saja perkembangan tersebut perlu dikendalikan ( salah satunya dengan
peraturan ) agar sesuai dengan bentuk pola yang direncanakan.
Transportasi perkotaan mempunyai tujuan yang luas, yaitu membentuk suatu
kota dimana kota akan hidup jika sistem transportasi berjalan baik. Artinya
mempunyai jalan-jalan yang sesuai dengan fungsinya serta perlengkapan lalu lintas
lainnya. Selain itu transportasi juga mempunyai tujuan untuk menyebarluaskan dan
meningkatkan kemudahan pelayanan, memperluas kesempatan perkembangan kota,
serta meningkatkan daya guna penggunaan sumber-sumber yang ada.
Jaringan jalan merupakan salah satu elemen dari suatu jaringan tranportasi
wilayah perkotaan secara keseluruhan. Untuk pelayanan sistem transportasi kota besar
sebaiknya dengan multi-moda, karena mencoba memanfaatkan keunggulan masing-
masing moda. Jenis moda transportasi yang banyak dipakai di wilayah perkotaan
adalah jalan kaki, sepeda dan sepeda motor, mobil, angkutan umum dengan bis dan
minibis dan angkutan umum berbasis rel.
Tinjauan terhadap jaringan jalan sudah sejak lama menjadi perhatian dan
pembahasan para ahli perencanaan dan perancang perangkutan. Tinjauan terhadap
jaringan jalan tersebut sangat penting sebagai langkah awal untuk menggambarkan
keadaan pelayanan sistem perangkutan itu sendiri. Morlok menjelaskan bahwa
jaringan jalan merupakan suatu konsep matematis yang dapat memberikan informasi
secara kuantitatif mengenai hubungan antara sistem perangkutan dengan sistem
lainnya (Morlok, 1995:94).
Jaringan jalan mempunyai kemampuan yang terbatas untuk melewatkan lalu
lintas. Titik yang kritis dalam jaringan jalan adalah daerah simpang yang harus
digunakan bersama oleh arus-arus yang berpotongan, dengan demikian kapasitas
jaringan jalan umumnya ditentukan oleh kapasitas simpang-simpangnya. Pemasangan
lampu lalu lintas dan koordinasi antar simpang merupakan langkah-langkah yang
dapat menaikkan kapasitas simpang secara terbatas.
Kemacetan pada simpang akan menyebabkan tundaan (delay) yang besar.
Tundaan tersebut akan membesar secara eksponensial bila simpang tersebut
beroperasi pada kondisi yang mendekati kapasitasnya. Di DKI Jakarta dan beberapa
kota besar lainnya fenomena tersebut nampak sebagi melebarnya saat sibuk selama
beberapa jam, baik di pagi hari maupun di sore hari. Selanjutnya para pemakai jalan
akan ‘merintis’ jalan baru dengan melewati jalur tikus dan hal tersebut mengubah
sistem transportasi serta tata guna lahannya.
Jaringan jalan harus mempunyai suatu hirarki agar dapat berfungsi secara
efisien dalam kondisi dibebani secara berat. Undang-undang Jalan Tahun 1980
mengatur hirarki, atau klasifikasi atas dasar peran jalan, dan Undang-undang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Tahun 1992 telah mengaitkan klasifikasi jalan dengan
klasifikasi peran jalan. Dengan demikian sebenarnya telah ada arahan strategis untuk
membentuk suatu sistem jaringan jalan.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1980 tentang jalan, jaringan jalan di dalam
lingkup sistem kegiatan kota mempunyai peranan untuk mengikat dan
menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam
pengaruh pelayanannya di dalam suatu hubungan hirarki (UU No. 13 Tahun 1980,
pasal 2, ayat 3). Dilihat dari pelayanan jasa, persebaran ditentukan oleh dua jenjang.
Pertama, perannya sebagai pelayanan jasa persebaran untuk pengembangan semua
wilayah di lingkungan nasional dengan semua simpul jasa persebaran yang kemudian
berwujud kota, membentuk suatu sistem jaringan jalan primer. Kedua, perannya
sebagai pelayanan jasa persebaran untuk masyarakat di dalam kota membentuk suatu
sistem jaringan jalan sekunder (UU No. 13 Tahun 1980, pasal 3, ayat 1-2).
Di kota besar Indonesia sering terjadi kemacetan lalu lintas. Bagi para
pengemudi kendaraan dan pengelola lalu lintas kemacetan ini mungkin sudah sesuatu
yang biasa dan masing-masing berusaha mengatasinya dengan cara sendiri-sendiri.
Selanjutnya, untuk masa depan tidak dirasakan ada prospek yang cerah mengenai
kelancaran lalu lintas, bila kondisi seperti sekarang terus berlanjut.
Di DKI Jakarta pada saat ini berlaku aturan 3-in-1 untuk jumlah orang
minimum yang berada sepanjang Jalan Jendral Sudirman – M. H. Thamrin dan Jalan
Jendral Gatot Subroto. Juga ada pajak kendaraan bermotor yang progresif. Selain itu
ada berbagai pemikiran lain seperti road pricing, aturan ganjil-genap dan pembatasan
pemakaian mobil tua (Jurnal PWK No.3, 1997:11). Seluruh tindakan tersebut dapat
digolongkan sebagai usaha pembatasan perjalanan (traffic restraint).
Penerapan jaringan jalan raya yang tidak sesuai dengan tata guna lahan,
karakteristik permintaan, kondisi daerah setempat, serta tidak melalui suatu
perencanaan yang baik sering menimbulkan masalah yang sulit ditanggulangi.

2.9.2 Konsep Interaksi Tata Guna Lahan – Sistem Jaringan Transportasi


Transportasi dan tata guna lahan berhubungan sangat erat, sehingga biasanya
dianggap membentuk satu landuse transport system. Agar tata guna lahan dapat
terwujud dengan baik maka kebutuhan transportasinya harus terpenuhi dengan baik.
Sistem transportasi yang macet tentunya akan menghalangi aktivitas tata guna
lahannya. Sebaliknya, tranportasi yang tidak melayani suatu tata guna lahan akan
menjadi sia-sia, tidak termanfaatkan.
Masalah transportasi atau perhubungan merupakan masalah yang selalu
dihadapi oleh negara-negara yang telah maju (developed) dan juga oleh negara-negara
yang sedang berkembang (developing) seperti Indonesia baik di bidang transportasi
perkotaan (urban) maupun transportasi antar kota (regional). Terciptanya suatu sistem
transportasi atau perhubungan yang menjamin pergerakan manusia dan/atau barang
secara lancar, aman, cepat, murah dan nyaman merupakan tujuan pembangunan di
sektor perhubungan (transportasi).
Sistem transportasi antar kota terdiri dari berbagai aktivitas, seperti industri,
pariwisata, perdagangan, pertanian, pertambangan dan lain-lain. Aktivitas tersebut
mengambil tempat pada sebidang lahan (industri, sawah, tambang, perkotaan, daerah
pariwisata dan lain sebagainya). Dalam pemenuhan kebutuhan, manusia melakukan
perjalanan antara tata guna tanah tersebut dengan menggunakan sistem jaringan
transportasi.
Beberapa interaksi dapat dilakukan dengan telekomunikasi, seperti telepon,
faksimili atau surat. Akan tetapi hampir semua interaksi yang terjadi memerlukan
perjalanan dan oleh sebab itu akan menghasilkan pergerakan arus lalu lintas.
Sasaran umum dari perencanaan transportasi adalah membuat interaksi
menjadi semudah dan seefisien mungkin (Jurnal PWK No. 3, 1997:37). Sebaran
geografis antara tata guna tanah (sistem kegiatan) serta kapasitas dan lokasi dari
fasilitas transportasi (sistem jaringan) digabung untuk mendapatkan volume dan pola
lalu lintas (sistem pergerakan). Volume dan pola lalu lintas pada jaringan transportasi
akan mempunyai efek feedback atau timbal balik terhadap lokasi tata guna tanah yang
baru dan perlunya peningkatan prasarana.
Hubungan dasar antara sistem kegiatan, sistem jaringan dan sistem pergerakan
disatukan dalam beberapa urutan konsep seperti yang terlihat dalam gambar 2.2.
Konsep tersebut yang dijadikan dasar peramalan kebutuhan pergerakan yang bersama
dengan kondisi jaringan dapat diketahui kinerja dari jaringan jalan bersangkutan.
Konsep perencanaan transportasi biasanya dilakukan secara berturut sebagai berikut :
a. Aksesibilitas
Suatu ukuran potensial atau kesempatan untuk melakukan perjalanan.
Konsep tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi problem yang
terdapat dalam sistem transportasi dan mengevaluasi solusi-solusi
alternatif.
b. Pembangkit lalu lintas
Besaran perjalanan yang dibangkitkan oleh tata guna tanah.
c. Sebaran pergerakan
Besaran perjalanan secara geografis di dalam daerah perkotaan.
d. Pemilihan moda transportasi
Menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi
untuk suatu tujuan perjalanan tertentu.
e. Pemilihan rute
Menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan rute antara zona asal
dan tujuan.
f. Hubungan antar waktu, kapasitas dan arus lalu lintas
Waktu tempuh perjalanan sangat dipengaruhi oleh kapasitas ruas jalan
yang ada dan jumlah arus lalu lintas yang menggunakannya.

GAMBAR 2.2

URUTAN KONSEP PERENCANAAN TRANSPORTASI

Aksesibilitas

Pembangkit Lalu lintas

Sebaran Pergerakan
Pemilihan Moda

Pemilihan Rute

Arus Lalu lintas

Sumber : Jurnal PWK No. 3, 1997:37

2.9.3 Penanggulangan Masalah Transportasi Perkotaan


Pada dasarnya terdapat tiga pilihan mengenai cara yang sering dilakukan
berkaitan dengan usaha untuk menanggulangi masalah pernagkutan perkotaan untuk
mendapatkan pergerakan yang aman, nyaman, murah, khususnya masalah kemacetan,
yaitu :
1. Mengatur sistem transportasinya (Demand Management)
2. Menambah sarana/prasarana (Supply Management)
3. Kombinasi kedua pilihan tersebut (Supply and Demand Management
Combination).

2.9.4 Jaringan Jalan


2.9.4.1 Klasifikasi Jaringan Jalan
Jalan memiliki suatu sistem jaringan jalan yang mengikat dan menghubungkan
pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanan
dalam suatu hubungan hirarki. Sistem jaringan jalan menurut peranan pelayanan jasa
distribusi di Indonesia terdiri dari dua macam :
a. Sistem jaringan jalan primer
Adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk
pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dengan semua simpul jasa
distribusi yang kemudian berwujud kota.
Kaitan antara sistem jaringan jalan primer dengan peranannya adalah sebagai
berikut :
 Jalan arteri primer menghubungkan kota jenjang kesatu yang
terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang
kesatu dengan kota jenjang kedua.
 Jalan kolektor primer menghubungkan kota jenjang kedua
dengan kota jenjang kedua atau kota jenjang kedua dengan
kota jenjang ketiga.
 Jalan lokal primer menghubungkan kota jenjang kesatu
dengan persil atau jenjang kedua dengan persil, kota jenjang
ketiga dengan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang di
bawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil atau kota di
bawah kota jenjang ketiga sampai persil.
b. Sistem jaringan jalan sekunder
Adalah sistem jaringan jalan dengan pelayanan jasa distribusi untuk
masyarakat di dalam kota. Kaitan antara sistem jaringan jalan sekunder
dengan peranannya adalah sebagai berikut :
 Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer
dengan sekunder kesatu atau kawasan kesatu dengan kawsan
sekunder kedua.
 Jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder
dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder
kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
 Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder
kedua dengan perumahan atau kawasan sekunder ketiga dan
seterusnya dengan perumahan.
Menurut peran dan fungsinya serta persyaratan jalan, jalan terbagi menjadi tiga
macam, yaitu :
1. Jalan arteri
Adalah jalan melayani angkutan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi
dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
a. Jalan arteri primer
 Kecepatan rencana > 60 km/jam
 Lebar badan jalan minimal 8 meter.
 Kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata.
 Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas
ulang alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal.
 Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan
rencana dan kapasitas jalan dapat tercapai.
 Jalan persimpangan dengan pengaturan tertentu tidak
mengurangi kecepatan rencana dan kapasitas jalan.
 Jalan arteri primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
b. Jalan arteri sekunder
 Kecepatan rencana > 30 km/jam.
 Lebar badan jalan minimal 7 meter.
 Kapasitas jalan sama atau lebih besar dari volume lalu lintas
rata-rata.
 Tidak boleh diganggu oleh lalu lintas lambat.
 Persimpangan dengan pengaturan tertentu, tidak mengurangi
kecepatan dan kapasitas jalan.
2. Jalan kolektor
Adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan atau pembagian
dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan
jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
a. Jalan kolektor primer
 Kecepatan rencana > 40 km/jam.
 Lebar badan jalan minimal 7 meter.
 Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu
lintas rata-rata.
 Jalan masuk dibatasi, direncanakan sehingga tidak
mengurangi kecepatan rencana dan kapasitas jalan.
 Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki
kota.
b. Jalan kolektor sekunder
 Kecepatan rencana minimal 20 km/jam.
 Lebar jalan minimal 7 meter.
3. Jalan lokal
Adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan atau pembagian
dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan
jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
a. Jalan lokal primer
 Kecepatan rencana > 30 km/jam
 Lebar badan jalan minimal 6 meter.
 Jalan lokal primer tidak terputus walaupun memasuki desa.
b. Jalan lokal sekunder
 Kecepatan rencana > 10 km/jam.
 Lebar badan jalan minimal 5 meter.
 Lebar badan jalan tidak diperuntukkan bagi kendaraan beroda
tiga atau lebih, minimal 3,5 meter.
 Persyaratan teknik tidak diperuntukkan bagi kendaraan
beroda tiga atau lebih.
2.9.4.2 Kapasitas Lalu lintas
Kapasitas jalan adalah volume maksimum kendaraan yang dapat melewati
suatu jalur atau ruas jalan selama periode waktu tertentu dalam kondisi atau keadaan
jalan raya dan arus lalu lintas tertentu. Ukuran tersebut penting dalam menilai sampai
dimana pengoperasian jalan pada saat tertentu, yang biasanya dinilai dari rasio antara
volume lalu lintas (sebagai gambaran demand terhadap lalu lintas) dengan kapasitas
(sebagai gambaran dari kemampuan jalan untuk mengakomodasi lalu lintas).
Kapasitas lalu lintas, dalam hal ini kapasitas jalan, bergantung pada kondisi
yang ada. Kondisi-kondisi tersebut diantaranya :
 Sifat fisik jalan (seperti lebar jalan, jumlah dan tipe
persimpangan, permukaan jalan, dan lain-lain).
 Komposisi lalu lintas dan kemampuan kendaraan (seperti
proporsi berbagai jenis kendaraan).

2.9.4.3 Volume Lalu lintas


Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui satu titik
pengamatan selama periode waktu tertentu atau sebuah peubah (variabel) yang sangat
penting pada teknik lalu lintas, yang pada dasarnya merupakan proses perhitungan
yang berhubungan dengan jumlah gerakan persatuan waktu pada lokasi tertentu
(Hobbs, 1995:56).
Volume lalu lintas yang terjadi pada kawasan perkotaan disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya adalah bangkitan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas adalah
banyaknya lalu lintas yang ditimbulkan oleh suatu zona atau daerah persatuan waktu.
Jumlah lalu lintas tergantung pada kegiatan kota, karena adanya kebutuhan manusia
untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dan mengangkut barang kebutuhan.
( Warpani, 1990).

2.9.5 Perparkiran
Ketiadaan pelataran parkir di kawasa tertentu dalam kota sudah pasti berakibat
berkurangnya lebar jalan di tempat tersebut. Kendaraan diparkir di pinggir jalan, naik
ke bahu jalan, atau menyerobot sebagian kaki lima (trotoar) sehingga jelas
mengurangi daya tampung jalan tersebut. Kesulitannya, makin besar jumlah
kendaraan, makin besar pula kebutuhan akan pelataran parkir. Sebagai gambaran,
dengan hanya memarkir tiga kendaraan pada suatu ruas jalan sepanjang 1 km sudah
berarti mengurangi lebar jalan yang semula 5,5 m menjadi 4,6 m.
Masalah parkir adalah masalah kebutuhan ruang. Penyediaan ruang dalam
kota dibatasi oleh luas wilayah kota yang ada dan tata guna tanahnya. Pengadaan
pelataran parkir sedikit banyak akan menytia sebagian luas wilayah kota karena
pelataran parkir membutuhkan ruang tersendiri yang cukup luas. Penggunaannya
sendiri belum tentu selalu maksimum, melainkan bergantung pada jam sibuk. Apabila
sigi dilakukan pada hari kerja, kebutuhan tertinggi akan pelataran parkir dapat
ditaksir. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan pada tempat yang sama setelah pukul
18.00, yang akan memberi petunjuk tentang tuntutan kebutuhan pelataran parkir bagi
kepentingan perumahan.
Perhitungan penggunaan pelataran parkir dalam satu hari penuh menjadi
ukuran kebutuhan perusahaan dan perdagangan akan pelataran parkir, sementara
perhitungan pada hari Sabtu petang menunjukkan kebutuhan perumahan dan
perbelanjaan akan hal yang sama.
Luas yang dibutuhkan untuk pelataran parkir bergantung pada dua hal pokok,
yaitu ukuran kendaraan yang diperkirakan parkir dan sudut parkir. Sudut parkir yang
umumnya digunakan adalah 0, 30, 45, 60 dan 90. Panjang dan lebar petak parkir
serta daya tampung panjang ruas jalan yang dibutuhkan terdapat pada tabel 2.1 dan
tabel 2.2.
TABEL 2.1

PERMUKAAN JALAN YANG DIBUTUHKAN UNTUK PARKIR DALAM


BERBAGAI KEDUDUKAN SUDUT PARKIR PADA SATU SISI JALAN

Lebar jalan
Panjang sisi Jumlah kendaraan
Lebar Sudut Lebar jalan untu parkir
jalan per petak yang dapat diparkir
petak parkir untuk parkir dan gerak
(per kendaraan) pada jalan sepanjang
kendaraan
Cm  cm cm Cm 30,5 m 100 m
214 sejajar 214 519 671 4,5 14,8

244 30 500 790 519 5,7 19,1


45 561 927 345 8,2 26,9
60 598 1177 281 9,5 31,2
90 549 1403 244 12,5 41

259 30 500 793 519 5,7 -


45 570 900 366 7,8 25,6
60 604 1152 299 9,5 31,2
90 549 1311 260 11,5 37,7

275 30
45 583 918 388 7,37 24,2
60 610 1128 317 9,0 29,5
90 549 1250 275 11,1 36,4
Sumber : Suwardjoko Warpani, 1990
TABEL 2.2

KAPASITAS PARKIR DI JALAN

Lebar jalan
Panjang sisi Jumlah kendaraan
Lebar Sudut Lebar jalan untuk parkir
jalan per petak yang dapat diparkir
petak parkir untuk parkir dan gerak
(per kendaraan) pada jalan sepanjang
kendaraan
Cm  Cm Cm Cm 60 m 100 m
250 0 250 500 650 10 15,3
30 470 750 500 11,7 19,7
45 530 850 354 16,4 27,7
60 560 1100 290 20 33,8
90 500 1200 250 24 40
Sumber : Suwardjoko Warpani, 1990

Berdasarkan letaknya terhadap badan jalan, dikenal parkir di jalan dan di luar jalan.
a. Parkir di jalan
Parkir kendaraan di pinggir jalan tersebut (dapat dilihat pada gambar 2.3 dan
2.4) dapat ditemui di kawasan perumahan maupun di pusat kegiatan, serta di
kawasan lama yang umumnya tidak siap menampung perkembangan jumlah
kendaraan. Idealnya, parkir di jalan harus dihindarkan karena mengurangi
lebar efektif jalan yang seharusnya digunakan untuk kendaraan bergerak. Hal
yang mungkin dilakukan adalah mengatur parkir di jalan sedemikian rupa
sehingga tidak terlalu menghambat kelancaran arus lalu lintas. Kenyataan
menunjukkan bahwa kemacetan terus berlangsung walaupun sistem parkir
telah dijalankan. Oleh karena itu, tidak ada cara lain kecuali memarkir
kendaraan di luar jalan. Dengan demikian terhindarlah pengurangan lebar
jalan dan jalan dapat digunakan dengan kapasitas penuh.
GAMBAR 2.3

KEDUDUKAN PARKIR
Sumber : Suwardjoko Warpani, 1990

GAMBAR 2.4

TATA PARKIR DAN DAYA TAMPUNG

Sumber : Suwardjoko Warpani, 1990

b. Parkir di luar jalan


Parkir jenis ini mengambil tempat di pelataran parkir umum, tempat parkir
khusus yang juga terbuka untuk umum, dan tempat parkir khusus yang
terbatas untuk keperluan sendiri seperti di kantor, hotel, dan sebagainya.
Sistemnya dapat berupa pelataran atau taman parkir, dan bangunan bertingkat
khusus untuk parkir.
Kebutuhan terbesar akan sarana parkir di luar jalan justru di PKK, yang kita
ketahui terbatas lahannya. Namun pelataran parkir atau taman parkir di PKK
tersebut tidak ekonomis karena nilai tanahnya tinggi (mahal) dan hanya
menampung sedikit kendaraan. Di sisi lain, penyediaan tempat parkir hanya di
lantai dasar bangunan bertingkat dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Jadi di kawasan PKK, bangunan parkir bertingkat merupakan sarana parkir
yang paling sesuai. Bergantung pada kebutuhan, ukuran optimum bagi PKK
pada umumnya bangunan parkir 5 tingkat dengan kapasitas keseluruhan antara
500 – 750 kendaraan.
Ukuran kendaraan (khususnya panjang dan lebar) dan sudut parkir
menentukan daya tampung pelataran parkir. Parkir di jalan ditentukan oleh
lebar jalan. Pada jalan dengan lebar kurang dari 5 m, tak mungkin kendaraan
diparkir tanpa menimbulkan banyak hambatan lalu-lintas, bahkan mungkin
lalu-lintas menjadi macet sama sekali. Selain itu, pada jalan selebar kurang
dari 7,5 m kendaraan hanya mungkin diparkir dengan sudut 0 (sejajar sisi
jalan).

2.9.7 Rekayasa dan Manajemen Lalu lintas


Rekayasa dan manajemen lalu lintas dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara. Beberapa cara untuk melakukan hal tersebut diantaranya adalah :
a. Perbaikan sistem lampu lalu lintas dan jaringan jalan
Rekayasa dan manajemen lalu lintas dapat dilakukan dengan beberapa cara
sebagai berikut :
 Pemasangan dan perbaikan sistem lampu lali lintas secara
terisolasi dengan maksud untuk mengikuti fluktuasi lalu lintas
yang berbeda-beda dalam 1 jam, 1 hari, 1 minggu. Selain itu
juga dilakukan secara terkoordinasi yaitu dengan mengatur
seluruh lampu lalu lintas secara terpusat. Pengaturan tersebut
dapat mengurangi tundaan dan kemacetan. Sistem tersebut
juga dikenal dengan nama Area Traffic Control System
(ATCS).
 Penerapan manajemen transportasi, antar lain denagn
mengeluarkan kebijakan perparkiran, perbaikan fasilitas
pejalan kaki, dan jalur khusus bus. Semua hal tersebut
memerlukan berbagai pertimbangan. Hal yang lebih
diutamakan adalah pada kemungkinan membatasi kebutuhan
akan transportasi dengan beberapa metoda yang dikenal
dengan pembatasan lalu lintas. Perlunya pembatasan lalu
lintas terhadap penggunaan kendaraan pribadi yang telah
diterima oleh para pakar tranportasi sebagai hal yang penting
dalam menanggulangi masalah kemacetan di daerah
perkotaan.
b. Kebijakan perparkiran
Parkir didefinisikan sebagai tempat khusus bagi kendaraan untuk berhenti
demi keselamatan. Ruang lain dapat digunakan untuk ruang parkir. Parkir
mempunyai tujuan yang baik dan akses yang mudah. Jika parkir terlalu jauh
dari tujuan, orang akan beralih ke tempat lain. Oleh karena itu tujuan utama
adalah agar lokasi parkir sedekat mungkin dengan tujuan perjalanan.
Kebijakan perparkiran dilakukan untuk meningkatkan kapasitas jalan yang
sudah ada. Penggunaan jalan sebagai tempat parkir jelas memperkecil
kapasitas jalan tersebut karena sebagian besar lebar badan jalan digunakan
sebagai tempat parkir. Penggunaan parkir yang tidak baik cenderung
merupakan penyebab kemacetan karena antrian kendaraan yang menunggu
tempat kosong justru menghambat pergerakan lalu lintas.
Kebijakan parkir bukan di badan jalan seperti pembangunan bangunan
tempat parkir atau membatasi tempat parkir jelas merupakan jawaban yang
sangat tepat karena sejalan dengan usaha mengurangi penggunaan kendaraan
pribadi dengan mengalihkan penumpang dari angkutan pribadi ke angkutan
umum. Pengalihan badan jalan yang pada mulanya digunakan sebagi tempat
parkir menjadi lajur khusus bus juga merupakan jawaban yang sangat tepat.
Kebijakan parkir juga menentukan metoda pengontrolan dan pengaturannya.
Pelaksanaan pengaturan parkir telah sering dilakukan sejak tahun 1960-an,
yang biasanya meliputi :
 Pembatasan tempat parkir di badan jalan.
 Merencanakan tempat parkir di luar daerah, seperti park-and-
ride
 Pengatuaran biaya parkir, dan denda yang sangat tinggi
terhadap pelanggar parkir.
c. Prioritas angkutan umum
Angkutan umum menggunakan prasarana lebih efisien dibandingkan dengan
kendaraan pribadi, terutama pada waktu sibuk. Terdapat dua jenis ukuran agar
pelayanan angkutan umum lebih baik :
 Perbaikan operasi pelayanan, frekuensi, kecepatan dan
kenyamanan.
 Perbaikan sarana penunjang jalan, seperti :
- Penentuan lokasi dan desain tempat pemberhentian dan
terminal yang baik, terutama dengan adanya moda
transportasi yang berbeda-beda seperti antara transportasi
antar kota dan transportasi perkotaan.
- Pemberian prioritas yang lebih tinggi pada angkutan
umum. Teknik yang sering digunakan adalah prioritas
bus, lampu lalu lintas, tempat pemberhentian taksi dan
lain-lain.
Untuk merangsang agar masyarakat menggunakan angkutan umum, hal utama
yang perlu diperhatikan adalah pejalan kaki. Perjalanan dengan angkutan
umum selalu diawali dan diakhiri dengan berjalan kaki. Jadi jika fasilitas
pejalan kaki tidak disediakan dengan baik, masyarakat tidak akan pernah
menggunakan angkutan umum. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
masalah fasilitas, kenyamanan dan keselamatan pejalan kaki.

Anda mungkin juga menyukai