Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM


MUSKOSKELETAL FRAKTUR TIBIA DEXTRA
Dosen pengampu: Viyan Septian Achmad S.Kep, Ners, M.Kep

DISUSUN OLEH

Brilianty Wahyu Utami SA (P27905118003)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN


PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN PROFESI NERS
2019 / 2020
A.Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontiunitas tulang, retak atau patahnya tulang yangutuh, yang
biasanya di sebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luas
trauma.(lukman 2007,hal 26) Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan dan atau tulangyang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Arif Mansjoer, 2000, hal
346). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
(Brunner & Suddath, 2002, hal 2357). Patah batang tibia merupakan fraktur yang sering
terjadi dibanding fraktur batangtulang panjang lainnya. (Sjamjuhidajat & Wim de Jong, 2004,
hal 886)
B.Etiologi
Fraktur disebabkan oleh :(Arif Muttaqin, 2008, hal 70)
a.Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang. Hal tersebut
dapatmengakibatkan terjadinya fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi
biasanyabersifat komuniti dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan
b.Trauma tidak langsung
Apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, traumatersebut
disebut trauma tidak langsung. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapatmenyebabkan
fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetaputuh. Fraktur juga
dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakanpuntir mendadak, dan
kontraksi otot ekstrim. (Brunner & Suddart, 2002, hal 2357)
Fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebih oleh
tulang( lukman 2007,hal 26)Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh :
1) Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang
2) Usia penderita
3) Kelenturan tulang
4) Jenis tulang
Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang yang rapuh karena osteoporosis atau tumor
biasanya menyebabkan patah tulang
C. Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagimenjadi
beberapa kelompok, yaitu:
a.Berdasarkan sifat fraktur.
1).Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulangdengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpakomplikasi.
2).Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubunganantara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b.Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1).Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melaluikedua
korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2).Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a)Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b)Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresitulang spongiosa di bawahnya.
c)Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnyayang
terjadi pada tulang panjang.
c.Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
1).Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakanakibat
trauma angulasi atau langsung.
2).Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadapsumbu
tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3).Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yangdisebabkan
trauma rotasi.
4).Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yangmendorong
tulang ke arah permukaan lain.
5).Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi ototpada
insersinya pada tulang.
d.Berdasarkan jumlah garis patah.
1)Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan salingberhubungan.
2)Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidakberhubungan.
3)Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulangyang
sama.
e.Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1).Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmentidak
bergeser dan periosteum nasih utuh.
2).Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang jugadisebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
a)Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu
danoverlapping).
b)Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c)Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f.Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g.Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunaksekitar trauma, yaitu:
a.Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunaksekitarnya.
b.Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c.Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalamdan
pembengkakan.
d.Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddanancaman
sindroma kompartement.(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M,
1995, Ignatavicius, DonnaD, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price,
Sylvia A, 1995, danReksoprodjo, Soelarto, 1995)

D. Patofisiologi dan Pathway


Fraktur dapat terjadi karena trauma / rudapaksa sehingga dapat menimbulkan luka terbuka
dan tertutup. Fraktur luka terbuka memudahkan mikroorganisme masukkedalam luka tersebut
dan akan mengakibatkan terjadinya infeksi.Pada fraktur dapat mengakibatkan terputusnya
kontinuitas jaringan sendi, tulangbahakan kulit pada fraktur terbuka sehingga merangsang
nociseptor sekitar untukmengeluarkan histamin, bradikinin dan prostatglandin yang akan
merangsang serabut A-delta untuk menghantarkan rangsangan nyeri ke sum-sum tulang
belakang,kemudian dihantarkan oleh serabut-serabut saraf aferen yang masuk ke spinal
melalu“dorsal root” dan sinaps pada dorsal horn. Impuls-impuls nyeri menyeberangi sum-
sumbelakang pada interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur spinal
asendens,yaitu spinothalamic tract (STT) dan spinoreticuler tract (SRT). STT merupakan
sistem yang diskriminatif dan membawa informasi mengenai sifat dan lokasi dari stimulus
kepada thalamus kemudian ke korteks untuk diinterpretasikan sebagai nyeri.Nyeri bisa
merangsang susunan syaraf otonom mengaktifasi norepinephrin, sarapmsimpatis terangsang
untuk mengaktifasi RAS di hipothalamus mengaktifkan kerjaorgan tubuh sehingga REM
menurun menyebabkan gangguan tidur. Akibat nyeri menimbulkan keterbatasan gerak
(imobilisasi) disebabkan nyeri bertambah bila digerakkan dan nyeri juga menyebabkan
enggan untuk bergerak termasuktoiletening, menyebabkan penumpukan faeses dalam colon.
Colon mereabsorpsi cairanfaeses sehingga faeses menjadi kering dan keras dan timbul
konstipasi.

Imobilisasi sendiri mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya dekubitus, yaituluka pada
kulit akibat penekanan yang terlalu lama pada daerah bone promenence.Perubahan struktur
yang terjadi pada tubuh dan perasaan ancaman akan integritasstubuh, merupakan stressor
psikologis yang bisa menyebabkan kecemasan.Terputusnya kontinuitas jaringan sendi atau
tulang dapat mengakibatkan cedera neurovaskuler sehingga mengakibatkan oedema juga
mengakibatkan perubahan padamembran alveolar (kapiler) sehingga terjadi pembesaran paru
kemudian terjadi kerusakan pada pertukaran gas, sehingga timbul sesak nafas sebagai
kompensasi tubuh untk memenuhi kebutuhan oksigen.
E. Manifestasi klinik
Manifestasi klinik fraktur tibia adalah :
1. Nyeri hebat pada daerah dan bertambah jiak ditekan/diraba
2. Tak mampu menggerakan kaki
3. Terjadi deformitas (kelainan bentuk) diakibatkan karena perubahan posisi fragmen
tulang. Dapat membentuk sudut karena adanya tekanan penyatuan dan tidak
seimbangnya dorongan otot. Dapat pula memendek ekstermitas bawah karena adanya
tarikan dari otot ektermitas bawah saat fragmen tergelin'ir dan tumpah tindih dengan
tulang lainnya. Dan dapat juga terjadi rotasional karena tarikan yang tidak seimbang
oleh otot yang menempel pada fragmen tulang sehingga fragmen fraktur
berputar keluar dari sumbu longitudinal normalnya.
4. Adanya krepitus (teraba adanya derik tulang) diakibatkan karena gesekan antara
fragmen satu dengan fragmen yang lainnya.
5. Terjadi ekimosis atau perdarahan subkutan diakibatkan kerusakan pembuluh darah
sehingga darah merembes dibawah kulit sekitar area kulit.
6. Terjadi pembengkakan dan perubahan warna pada kulit diakibatkan karena terjadi
ekstra-asasi darah dan cairan jaringan di sekitar area fraktur
F. Penatalaksanaan
Konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu :
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi/pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan Tindakan selanjutnya.
2. Reduksi/ Manipulasi/Reposisi
Yaitu upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimal. Metode reduksi terbagi atas ;
- reduksi tertutup ; dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya
(ujung5ujungnya saling berhubungan).ektermitas dipertahankan dalam posisi yang
diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain. Alat imobilisasi akan menjaga
reduksi dan menstabilkan ekstermitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang
benar.
- Traksi ; alat yang dapat digunakan menarik anggota tubuh yang fraktur untuk
meluruskan tulang. Beratnya traksi disesuaikan dengan spaasme otot yang terjadi.
o Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menepelkan
plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu
menimbulkan spasme
otot pada bagian yang cidera dan biasanya digunakan untuk jangka pendek
(+=5>2jam).
o Skeletal traksi adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang
cidera dan sendi panjang untuk mempertahankan traksi, memutuskan pins (kawat)
kedalam tulang.
o Maintenance traksi merupakan lanjutan dari traksi kekuatan lanjutan dapat
diberikan secara langsung pada tulang dengan kawat atau pins
- Reduksi terbuka: dilakukan dengan pembedahan fragmen tulang direduksi. Alat
fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai
penyembuhan tulang yangsolid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau
langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi
yang kuat bagi fragmen tulang.
 OREF (Open Reduction Eksternal Fixation) adalah reduksi terbuka dengan
fiksasi internal dimana tulang ditransfiksasikan di atas dan di bawahnya
fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi dibagian proksimal dan distal
kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain. Fiksasi
eksternal ini digunakan utnuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur
komunitif (hancur atau remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap
terjaga posisinya, kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini
memberikan rasa nyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen
tulang.
 ORIF ( Open Reduction Internal Fixtation) adalah metode penatalaksanaan
patah tulang dengan cara pembedahan reduksi terbuka dan fiksasi internal
dimana dilakukan insisi pada tempat yang mengalami cedera dan
ditemukan sepanjang bidang anatomic tempat yang mengalami fraktur.
3. Retensi/immobilisasi
Merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimum. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode
fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips,
atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Bertujuan untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaanmemungkinkan,harus segera dimulai
latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.

G. Pemeriksaan Penunjang
a.Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
b.Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapatdigunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d.Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau
menurun( pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
e.Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.(Doenges, 2000
: 762)

H. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada fraktur tibia adalah :
1. komplikasi awal ;
Compartemant Syndrome : komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan gangguan akularisasi ektermitas bawah yang dapat mengancam
kelangsungan hidup ektermitas bawah. Mekasnisme terjadi fraktur tibia terjadi
perdarahan intra - compartment, hal ini akan menyebabkan tekanan intrakompartemen
meninggi, menyebabkan aliran balik darah vena terganggu. Hal ini akan
menyebabkan oedema.Dengan adanya oedema tekanan intrakompartemen makin
meninggi sampai akhirnya sedemikian tinggi sehingga menyumbat arteri
diintrakompartemen. Gejalanya rasa sakit pada ektermitas bawah dan ditemukan
paraesthesia, rasa sakit akan bertambah bila jari digerakan secara pasif. Kalau hal ini
berlangsung cukup lama dapat terjadi paralyse pada otot-otot ekstensor hallusis
longus, ekstensor digitorum longus dan tibial anterior.
2. Komplikasi dalam waktu lama :
 Malunion : Dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan penyembuhan tulang
ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk
(deformitas).
  Delayed Union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan
yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakan kegagalan
fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk
menyambung. Ini disebabkanckarena penurunan suplai darah ke tulang.
  Non Union : merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Non union ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
I. Konsep Asuhan Keperawatan
- Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan tahap yang palingenentukan
bagi tahap berikutnya. Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan data (Rahmah,
Nikmatur dan Saiful walid. 2009; 24).
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses yang berisikan status kesehatan klien
denganmenggunakan teknik anamnesis (autoanamnesa dan aloanamnesa) dan observasi.
a. Biodata Klien
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin perlu dikaji karena biasanyalaki-
laki lebih rentan terhadap terjadinya fraktur akibat kecelakaan bermotor,
pendidikan,pekerjaan, agama, suku/bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal
pengkajian,diagnosa medis, nomor medrek dan alamat.
2) Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur, pekerjaan, agama,pendidikan,
suku/bangsa, alamat, hubungan dengan klien.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama adalah alasan klien masuk rumah sakit yang dirasakan saat
dilakukanpengkajian yang ditulis dengan singkat dan jelas, dua atau tiga kata yang
merupakankeluhan yang membuat klien meminta bantuan pelayanan kesehatan. 

2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan sampai dengan
dibawake rumah sakit dan pengembangan dari keluhan utama dengan menggunakan
PQRST.
P (Provokative/Palliative), apa yang menyebabkan gejala bertambah berat dan apayang
dapat mengurangi gejala.
Q (Quality/Quantity ), bagaimana gejala dirasakan klien dan sejauh mana gejaladirasak
an.
R (Region/Radiation) dimana gejala dirasakan? apakah menyebar? apa yangdilakukan
untuk mengurangi atau menghilangkan gejala tersebut?
S ( Saferity/Scale ), seberapa tingkat keparahan gejala dirasakan? Pada skala berapa?.
T (Timing), berapa lama gejala dirasakan? kapan tepatnya gejala mulai
dirasakan,apakah ada perbedaan intensitas gejala misalnya meningkat di malam hari. 

3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya riwayat trauma, riwayat
penyakittulang seperti osteoporosis, osteomalacia, osteomielitis, gout ataupun penyakit
metabolisme yang berhubungan dengan tulang seperti diabetes mellitus (lapar terus-
menerus, haus dan kencing terus–menerus), gangguan tiroid dan paratiroid. 
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluarga klien terdapat penyakit
keturunanataupun penyakit menular dan penyakit-penyakit yang karena lingkungan
yang kurangsehat yang berdampak negatif pada kesehatan anggota keluarga termasuk
klien. 
c. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasiterhad
ap berbagai sistem tubuh. 
1) Keadaan UmumKlien yang mengalami immobilisasi perlu dilihat dalam hal
penampilan, postur tubuh,kesadaran, gaya berjalan, kelemahan, kebersihan dirinya dan
berat badannya. 
2) Sistem Pernafasan
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan Cuping
Hidung),kesimetrisan dada dan pernafasan, suara nafas dan frekwensi nafas.
Pengaturanpergerakan pernafasan akan mengakibatkan adanya retraksi dada akibat
kehilangankoordinasi otot. Ekspansi dada menjadi terbatas karena posisi berbaring
akibatnyaventilas paru menurun sehingga dapat menimbulkan atelektasis. Akumulasi
sekret padasaluran pernafasan mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi siliaris
yang dapatmenyebabkan pembersihan jalan nafas yang tidak efektif. Kelemahan pada
ototpernafasan akan menimbulkan mekanisme batuk tidak efektif.
3) Sistem Kardiovaskuler
Warna konjungtiva pada fraktur, terutama fraktur terbuka akan terlihat
pucatdikarenakan banyaknya perdarahan yang keluar dari luka, terjadi peningkatan
denyutnadi karena pengaruh metabolik, endokrin dan mekanisme keadaaan
yangmenghasilkan adrenergik sereta selain itu peningkatan denyut jantung
dapatdiakibatkan pada klien immobilisasi. Orthostatik hipotensi biasa terjadi pada
klienimmobilisasi karena kemampuan sistem syaraf otonom untuk mengatur jumlah
darahkurang. Rasa pusing saat bangun bahkan dapat terjadi pingsan, terdapat
kelemahanotot. Ada tidaknya peningkatan JVP
(Jugular Vena Pressure),
bunyi jantung sertapengukuran tekanan darah. Pada daerah perifer ada tidaknya
oedema dan warna pucatatau sianosis.
4) Sistem Pencernaan
Keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, kemampuan menelan, peristaltik usus dan
nafsumakan. Pada klien fraktur dan dislokasi biasanya diindikasikan untuk
mengurangipergerakan (immobilisasi) terutama pada daerah yang mengalami dislokasi
hal ini dapatmengakibatkan klien mengalami konstipasi.
5) Sistem Genitourinaria
Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang, palpasi vesika urinaria
untukmengetahui penuh atau tidaknya, kaji alat genitourinaria bagian luar ada
tidaknyabenjolan, lancar tidaknya pada saat klien miksi serta warna urine. Pada klien
fraktur dandislokasi biasanya untuk sementara waktu jangan dulu turun dari tempat
tidur, dimanahal ini dapat mengakibatkan klien harus BAK ditempat tidur memaskai
pispot sehingga hal ini menambah terjadinya susah BAK karena klien tidak terbiasa
dengan haltersebut.
6) Sistem Muskuloskeletal
Derajat Range Of Motion pergerakan sendi dari kepala sampai anggota gerak
bawah,ketidaknyamanan atau nyeri ketika bergerak, toleransi klien waktu bergerak
danobservasi adanya luka pada otot akibat fraktur terbuka, tonus otot dan kekuatan
otot.Pada klien fraktur dan dislokasi dikaji ada tidaknya penurunan kekuatan, masa
otot danatropi pada otot. Selain itu dapat juga ditemukan kontraktur dan kekakuan
padapersendian.
7) Sistem Integumen
Keadaan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit meliputi tekstur, kelembaban,
turgor,warna dan fungsi perabaan. Pada klien fraktur dan dislokasi yang immobilisasi
dapatterjadi iskemik dan nekrosis pada jaringan yang tertekan, hal ini dikarenakan
alirandarah terhambat sehingga penyediaan nutrisi dan oksigen menurun.
8) Sistem Persyarafan
Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial, fungsi sensorik dan motorik sertsa
fungsirefleks.
d. Pola Aktivitas Sehari-hari
1) Pola Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari dan kebiasaan makan-makanan yang
mengandungkalsium yang sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan tulang dan
kebiasaanminum klien sehari-hari, meliputi frekwensi, jenis, jumlah dan masalah
yang dirasakan.
2) Pola Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien, apakah berpengaruh terhadap perubahan sistem
tubuhnya yang disebabkan oleh fraktur.
3) Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan klien tidur sehari-hari, apakah terjadi perubahan setelah mengalani
fraktur.
4) Personal Hygiene
Kebiasaan mandi, cuci rambut, gosok gigi dan memotong kuku perlu dikaji
sebelumklien sakit dan setelah klien dirawat dirumah sakit.
5) Pola Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat ini dan kebiasaan
klien berolah raga sewaktu masih sehat.
e. Aspek Psiko Sosial Spiritual
1) Data Psikologis
Pengkajian psikologis yang dilakukan pada klien dengan fraktur pada dasarnya sama
dengan pengkajian psikososial dengan gangguan sistem lain yaitumengenai konsep diri
(gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan identitas diri).Pada klien fraktur
adanya perubahan yang kurang wajar dalam status emosional,perubahan tingkah laku
dan pola koping yang tidak efektif.
2) Data sosial
Pada data sosial yang dikaji adalah hubungan klien dengan keluarga dan hubunganklien
dengan petugas pelayanan kesehatan.
3) Data Spiritual
Perlu dikaji agama dan kepribadiannya, keyakinan dan harapan yang merupakan
aspekpenting untuk penyembuhan penyakitnya.
f. Data Penunjang
Menurut Doengoes et. al (2002:762), pemeriksaaan diagnostik yang biasadilakukan
pada pasien dengan fraktur:
1) Pemeriksaan rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
2) Computed Tomography (CT-SCAN).
Memperlihatkan fraktur dan dislokasi, dapat digunakan untuk
mengidentifikasikerusakan jaringan lunak dan untuk mengetahui lokasi dan panjangnya
patah tulangdidaerah yang sulit dievaluasi.
3) Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai terdapat kerusakan vaskuler.
4) Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin yang biasanya lebih
rendahkarena perdarahan akibat trauma. Hematokrit mungkin meningkat atau
menurun(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh dari trauma multiple).
Kreatinin(trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal). Profil
koagulasi(perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel atau cedera
hati).
- ANALISA DATA
Data yang sudah dikumpulkan kemudian dikelompokkan berdasarkan
masalahnyakemudian dianalisa dengan menggunakan tabel yang terdiri dari nomer, data
yangterdiri dari data subjektif dan objektif, etiologi dan masalah, sehingga
menghasilkansuatu kesimpulan berupa masalah keperawatan yang nantinya akan
menjadi diagnosakeperawatan.
Diagnosa Keperawatan
Doenges et.al (2000; 762-775) merumuskan delapan diagnosa keperawatan,Brunner
dan Suddarth (2002; 2363) merumuskan tiga diagnosa keperawatan yangdapat terjadi
pada fraktur tertutup dan Engram, Barbara (1999; 268-271) merumuskanlima diagnosa
keperawatan pada klien dengan fraktur.
Dari tiga pendapat tersebut dapat di simpulkan bahwa diagnosa keperawatanyang
mungkin muncul pada gangguan sistem muskuloskeletal dengan fraktur adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera pada
jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan terpajannya dengan
lingkungan akibat fraktur terbuka, fiksasi pen eksternal.
4.Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi dan
terpasangnyaalat fiksasi.
5.Risiko perubahan eliminasi : konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitasusus
6.Kerusakan pola istirahat dan tidur behubungan dengan nyeri
7. Depisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan pergerakan akibat fraktur.
8.Resiko disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan cedera vaskuler
9.Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru dan mobilisasisekret
tidak adekuat
10. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis
dankebutuhan pengobatan
- PERENCANAAN
Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan
yangdilaksanakan untuk menanggulangi masalah dengan diagnosa keperawatan yang
telahditentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan pasien.
1) Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas
Tujuan: klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
Kriteria: klien akan menunjukan tindakan santai, mampu berpartipasi dalam beraktivitas,
tidur, istirahat dengan tepat, menunjukan penggunaan ketereampilan relaksasi dan aktivitas
terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual
Intervensi:
a) Pertahnkan imobilasasibagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat atau traksi
R/: mengurangi rasa nyeri dan mencegah malformasi
b) Tinggikan posisi ekstermitas yang terkena
R/: meningkatkan aliran bali vena, mengurangi edema/nyeri
c) Lakukan dan awasi Latihan gerak pasif/ aktif
R/: mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler
d) Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)
R/: meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan local dan kelelahan otot
e) Ajarkan penggunaan Teknik manajemen nyeri (Latihan napas dalam, imajinasi visual,
aktifitas dipersional)
R/ : mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan control nyeriyang mungkin
berlangsung lama
f) Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan
R/: menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri
g) Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.  
R/: Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri
 baik secara sentral maupun perifer.
2) Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah
(cedera vaskuler, edema, pembentukan thrombus)
Tujuan : klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik
Kriteria : akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
Intervensi :
a) Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal
cedera.
 R/ Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.  
b) Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.
 R/ Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan
bebat/spalk 
c) Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya
sindroma kompartemen  
R/ Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya
keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.
d) Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
 R/ Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.
e) Pantau kualitas nadi peri!er, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatankulit distal
cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
R/ Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi
sesuai keadaan klien.
3) Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membrane
alveoral/ kapiler (intertisial, edema paru, kongesti)
Tujuan: klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi
Kriteria : Tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal
Intervensi :
a) Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk e!ektif.
 R/ Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.
b) Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.
 R/ Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.
c) Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warfarin, heparin) dan kortikosteroid
sesuai indikasi.  
R/  Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli.
Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk Mencegah/mengatasi emboli
lemak.
d) Analisa pemeriksaan gas darah, hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit
 R/  Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran
gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan
penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.
e) Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor,
penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral  
R/ Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini
insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.
4) Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)
Tujuan: klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi
yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi
yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
Kriteria : klien dapat menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas
Intervensi :
a) Pertahankan pelaksanaan akti-itas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan
teman/keluarga) sesuai keadaan klien
 R/ Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu
menurunkan isolasi sosial.  
b) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang
sehat sesuai keadaan klien.
 R/  Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot,
mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi
kalsium karena imobilisasi.
c) Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.  
R/ Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
d) Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.
 R/ Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi
keterbatasan klien.
e) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.  
R/ % Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis,
penumonia)
f) Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.  
R/ Mempertahankan hidrasi adekuat, mencegah komplikasi urinarius dan konstipasi.
g) Berikan diet TKTP.
 R/ Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan
mempertahankan fungsi fisiologis tubuh.
h) Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi. Pemberian tambahan oksigen,
hindari penggunaan barbiturate/opiate.  
R/ Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik
secara individual.
5) Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).
Tujuan : klien menyatakan ketidaknyamanan hilang,
Kriteri : klien menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan
Kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai
waktu/penyembuhan lesi terjadi
Intervensi:
a) Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun
kencang, bantalan bawah siku, tumit).  
R/ menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
b) Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.
R/ meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan otot
terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi
c) Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
R/ mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal
d) Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.
R/ menilai perkembangan masalah klien.
e) Jaga keadaan kulit agar tetap kering dan bersih.  
R/ kulit yang basah terus menerus memicu terjadi iritasi yang mengarah terjadinya
dikubitus.
f) Anjurkan pada klien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan kering yang
menyerap keringat dan bebas keriput.
R/ mencegah iritasi kulit dan meningkatkan evaporasi.
g) Kolaborasi dalam pemberian foam dan tempat tidur angin.  
R/ mencegah penekanan yang terlalu lama pada jaringan yang dapat membatasi
perfusi seluler, sehingga dapat mengurangi iskemik jaringan.
6) Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, trauma
jaringan lunak, prosedur invasive/traksi tulang
Tujuan : klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
Kriteria : Bebas drainase purulen atau eritema dan demam
Intervensi :
a) Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol  
R/ Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.  
b) Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.  
R/ Meminimalkan kontaminasi.
c) Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.  
R/ Antibiotika spektrum luas atau spesi!ik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah
atau mengatasi infeksi. toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.
d) Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (hitung darah lengkap, LED, kultur dan
sensitifitas luka/serum/tulang)  
R/ Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat
terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.
e) Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.  
R/ Mengevaluasi perkembangan masalah klien.
7) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dann kebutuhaan pengobatan b/d
kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkap nya informasi yang ada.
Tujuan: klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat.
Kriteria: klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya
Intervensi :
a) Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.
 R/ Efektivitas proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien
untuk mengikuti program pembelajaran.  
b) Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.
 R/ Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan
program terapi fisik 
c) Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik (nyeri berat, demam,
perubahan sensasi kulit distal cedera)
 R/ Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini yang
memerulukan intervensi lebih lanjut.
d) Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.  
R/ Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi masalah sesuai kondisi
klien.
- Evaluasi
Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid (2009; 94-96) menjelaskan bahwa evaluasiadalah
penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yangdiamati)
dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.Evaluasi bertujuan
untuk mengakhiri rencana tindakan keperawatan, memodifikasirencana tindakan
keperawatan dan meneruskan rencana keperawatan.Evaluasi terdiri dari evaluasi proses
(formatif) dan evaluasi hasil (sumatif). Evaluasiformatif adalah evaluasi yang dilakukan
setiap selesai tindakan, berorientasi padaetiologi dan dilakukan secara terus-menerus
sampai tujuan yang telah ditentukanberhasil. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan
setelah akhir tindakan keperawatansecara paripurna, berorientasi pada masalah
keperawatan, menjelaskankeberhasikan/ketidak berhasilan, rekaputasi dan kesimpulan
status kesehatan kliensesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan

DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, Marilynn E. et.al. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman


UntukPerencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
2. Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar :
LintangImumpasue.
3. Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
BedahBrunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
4. Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III.
Jakarta :EGC
5. E. Oswari, 2011, Bedah dan Perawatannya, cetakan VI, Jakarta.
6. Keliat Anna Budi,2010 , Proses Keperawatan, penerbit EGC, Jakarta
7. .Arif Mutaqin.2008.Asuhan Keperawatan Sistem Muskuluskelta
8. Newfield, S. A, Hinz, M.D., Tiley, D.S., Sridaromont, K.L., Maramba, P.J. (2012).
Cox’sclinicalapplications Of Nursing Diagnosis Adult, Child, Women’s Mental
Health, Gerontic, And Home Health Considerations. Ed. Philadelphia : F. A. Davis
Company

Anda mungkin juga menyukai