KASUS MEDIK
Oleh :
dr. Tri Sandi Utomo
Pendamping :
dr. Rizkiyah Prabawanti
Pada hari ini, Senin, tanggal 23 Desember 2019 telah dipresentasikan portofolio oleh :
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping,
No. ID dan Nama Peserta : dr. Tri Sandi Utomo Presenter : dr. Tri Sandi Utomo
Nama Wahana : RSUD dr. R. Soetijono Blora Pendamping: dr. Rizkiyah Prabawanti
TOPIK : Snake Bite
Tanggal (kasus) : 8 November 2019
Tanggal Presentasi : 23 Desember 2019 Pendamping : dr. Rizkiyah Prabawanti
Tempat Presentasi : RSUD dr. R. Soetijono Blora
OBJEKTIF PRESENTASI
o Keilmuan o Keterampilan o Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik o Manajemen Masalah o Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja √ Dewasa o Lansia √ Bumil
Deskripsi :
Pasien mengatakan digigit ular di punggung kaki kirinya sekitar jam 06.00 (sekitar 4
jam SMRS) saat pasien sedang menyapu halaman rumahnya, pasien mengeluh nyeri di area
gigitan tersebut. Setelah tergigit pasien langsung menekan area gigitan ular dan
mengeluarkan darahnya kemudian pasien mengikat betisnya dengan kain. Setelah itu
tungkai kiri bawah sedikit bengkak, kemeng dan kesemutan, kulit kehitaman (-) gelembung
gelembung (-). Mual (-) muntah (-) pusing (-) sesak (-) mata berkunang-kunang (-) lemes
(-) kencing kemerahan (-). Menurut pasien ular yang menggigit berukuran sedang (panjang
sekitar 1 meter), corak-corak hitam dan berekor lancip.
Tujuan :
1. Mengetahui penegakkan diagnosis Snake Bite.
2. Mengetahui tatalaksana Snake Bite.
I. SUBJEKTIF
Keluhan Utama :
Digigit ular
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengatakan digigit ular di punggung kaki kirinya sekitar jam 06.00 (sekitar 4
jam SMRS) saat pasien sedang menyapu halaman rumahnya, pasien mengeluh nyeri di
area gigitan tersebut. Setelah tergigit pasien langsung menekan area gigitan ular dan
mengeluarkan darahnya kemudian pasien mengikat betisnya dengan kain. Setelah itu
tungkai kiri bawah sedikit bengkak, kemeng dan kesemutan, kulit kehitaman (-)
gelembung gelembung (-). Mual (-) muntah (-) pusing (-) sesak (-) mata berkunang-
kunang (-) lemes (-) kencing kemerahan (-). Menurut pasien ular yang menggigit
berukuran sedang (panjang sekitar 1 meter), corak-corak hitam dan berekor lancip.
II. OBJEKTIF
PEMERIKSAAN FISIK ( 8 November 2019 )
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 145 cm
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Komposmentis, GCS E4V5M6
Tanda Vital
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 90 x/menit, regular isi cukup, kuat angkat
Frekuensi Nafas : 20 x/menit, regular
Suhu : 36 oC, aksiler
SpO2 : 99%
GDS : 120 mg/dl
Status Generalis
Kepala
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil isokor (3
mm/3mm), Refleks cahaya (+/+)
Hidung : Deviasi septum nasi (-), Pernapasan cuping hidung (-)
Telinga : Gangguan pendengaran (-)
Mulut : Sianosis (-), Pucat (-)
Leher : Deviasi trakea (-), Pembesaran KGB (-)
Thoraks
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi ICS (-), Pelebaran ICS (-)
Palpasi : Gerakan dada simetris.
Perkusi : Sonor (+) diseluruh lapangan paru.
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : batas jantung kanan : axilaris anterior line dekstra, batas jantung
kiri : midclavicula line ICS V sinistra
Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Flat (+) sikatriks (-) Bekas trauma (-)
Palpasi : Soefl, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-),
nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : timpani di seluruh lapangan abdomen, asites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior : Akral hangat (+), edema (-)
Inferior : Akral hangat (+), edema (-)
Foto Klinis
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Laboratorium
Leukosit : 8.500 /uL
Hemoglobin : 14,4 g/dL
Hematokrit : 41,7 %
Trombosit : 223.000 /uL
Granulosit : 64,1 %
Limfosit : 29,5 %
Monosit : 4,6 %
Golongan Darah : B
Glukosa Sewaktu : 120 mg/dL
Ureum : 14,98 mg/dL
Kreatinin : 0,63 ml/mnt
SGOT : 16 U/L
SGPT : 114 U/L
Screening B20 : Non Reaktif
HbsAg : Negatif
Natrium : 138,1 mmol/I
Kalium : 3,73 mmol/I
Klorida : 101,1 mmol/I
EKG
III. ASSESMENT
Snake Bite Derajat I
IV. PLAN
Terapi di IGD :
O2 Nasal 3 lpm
Drip SABU 1 vial dalam D5% 500cc
IVFD NaCl 0,9% 20tpm
Inj. Dexketoprofen 50 mg
Inj. Omeprazole 40 mg
Inj. ATS 1 amp
Imobilisasi pada ekstremitas inferior sinistra
Lapor dr. Sp.B , advice :
-Masuk ruang perawatan.
-IVFD NaCl 0,9% : Aminofluid ; 2 : 1 / 24 jam
-Inj. Anbacim 1 gr / 8 jam
-Inj. Deksketoprofen 50 mg / 8 jam
-Inj. Omeprazole 40 mg / 12 jam
-Drip SABU 1 vial / 8 jam
Edukasi :
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa pasien menderita Snake
bite grade I yang diakibatkan dari bisa gigitan ular.
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit yang diderita
dan pengobatan yang diberikan kepada pasien.
V. PROGNOSIS
Qua ad vitam : ad bonam
Qua ad functionam : ad bonam
Qua ad sanationam : ad bonam
Warna-warni Gelap
Warna
Sangat bervariasi Sedang
Besar ular
bulat Elips
Pupil ular
Bersisik ganda Bentuk sisik tunggal
Ekor ular
Mematuk berulang dan Mematuk 1 atau 2 kali
Agresifitas
membelit sampai tidak berdaya
Sampai saat ini belum ada aturan baku untuk membedakan ular berbisa
atau tidak. Beberapa ular yang tidak berbisa telah berevolusi menyerupai ular
beracun begitu pula sebaliknya sehingga terlihat hampir sama. Meskipun dalam
beberapa hal ular berbisa memiliki ciri-ciri tertentu seperti ukuran dan bentuk
tubuhnya, pola kulitnya, perilaku dan suara jika dalam keadaan terancam. Sebagai
contoh ular jenis kobra sudah dikenal luas akan menegakkan tubuhnya,
menyemburkan racun dan secara agresif mematuk lawannya jika dalam kondisi
terancam. (Warrell, 2010)
Bisa Ular
Ular penghasil bisa (snake venom) berbahaya, bisa yang dikeluarkannya
90% merupakan protein sisanya merupakan nonenzim seperti protein nontoksis
yang mengandung karbohidrat dan logam. Bisa tersebut mengandung lebih dari 20
macam enzim yang berbeda termasuk phospholipases A2, B, C, D hydrolases,
phosphatases (asam sampai alkalis), proteases, esterases, acetylcholinesterase,
transaminase, hyaluronidase, phosphodiesterase, nucleotidase dan ATPase serta
nucleosidases (DNA & RNA). (Prihatini et al, 2007)
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah
protein, termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang
memiliki efek klinis:
1. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun
dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel
mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah
berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di
aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem
fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat
faktor pembekuan darah menjadi sangat rendah (koagulopati konsumtif)
sehingga darah tidak dapat membeku.
2. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
3. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan
permeabilitas membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun
ini juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan.
4. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – memerankan perana penting pada
hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membrane sel darah merah dan
menyebabkan nekrosis otot
5. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) –
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
6. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan
asetilkolin untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan
menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis kuraonium2. Bisa ular terdiri
dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP- ase, 5
nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase.
Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf,
menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi
anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan
penyebaran racun. (Sudoyo, 2006)
Berdasarkan patofisiologis yang dapat terjadi pada tubuh korban, efek bisa ular/
sifat bisa ular dapat dibedakan menjadi:
1. Bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh
darah. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan
menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel
darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput
mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak. Yaitu
bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar
luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati
dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik).
Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat
dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan
jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe.
3. Bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan. Efek lokal
dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari
fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati
biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal,
meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder
terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan ventilasi.
Efek blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan
diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi.
Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal. (Daley,
2010)
4. Epidemiologi
Penderita gigitan ular di kota besar jarang dijumpai, sebab habitat ular terutama
di tempat yang rimbun, berair, dan tertutup. Dari 2500 – 3000 spesies ular yang
tersebar di dunia, 500 spesies diantaranya adalah ular berbisa. Pada umumnya korban
gigitan ular adalah laki-laki, seringkali dalam kondisi mabuk, sedang melakukan
aktifitas berkebun, atau sedang menangkap bahkan bermain dengan ular. Malik dkk
pada tahun 1992 melakukan penelitian terhadap korban gigitan ular, mendapatkan
tempat gigitan pada tungkai atau kaki 83,3% dan lengan atau tangan 17,7%.
Pada tahun 1998 angka kematian diperkirakan sekitar 125.000 dari 5 juta
kasus per tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta kasus di Asia. Di Amerika
dilaporkan 4000-7000 kasus gigitan ular per tahun dengan rata-rata 4 kasus per
100.000 penduduk. Selama 5 tahun penelitian retrospektif dari sekitar 25 kasus
gigitan, 4 diantaranya memerlukan tindakan fasciotomi dan 2 memerlukan tandur
kulit dengan rasio laki-laki : perempuan = 9 : 1. Dan 50% sering terjadi pada umur
18-28 tahun. Di Indonesia sendiri dilaporkan sekitar 20 kasus kematian dari ribuan
kasus gigitan ular per tahun. (Warrell, 2010)
5. Patogenesis
Umumnya ular berbisa, bisanya mengandung serine protease, metaloproteinase
yang mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau menghambat faktor koagulan atau
platelet dan merusak endotel vaskular. Enzim dalam bisa ular akan berikatan dengan
reseptor platelet menginduksi atau menghambat agregasi platelet. Enzim-enzim
prokoagulan akan mengaktifkan protrombin, faktor V,X,XIII dan plasminogen
endogen. Kombinasi konsumsi aktivitas antikoagulan, terganggunya jumlah dan fungsi
platelet dan kerusakan dinding endotel pembuluh darah berakibat perdarahan yang
hebat pada pasien,
Penyakit pembekuan darah (koagulopati) ditandai defibrinasi yang berkaitan
dengan jumlah trombosit. Di samping itu dapat mengubah protrombin menjadi trombin
dan mengurangi faktor V,VII, protein C dan plasminogen. Tekanan di sistem
kardiovaskuler menyebabkan DIC atau tekanan di otot jantung. (Daley, 2010)
Neurotoksik
Bisa ular yang bersifat neurotoksik akan menghambat eksitasi
neuromuskular junction perifer dengan berbagai cara. Sehingga gejala yang paling
sering muncul adalah mengantuk, menunjukkan bahwa ada kemungkinan
pengaruh sedasi sentral yang terkait dengan molekul kecil non protein yang
terdapat dalam bisa ular king cobra. Hampir sebagian besar neurotoksin akan
mengakibatkan pamanjangan efek dari asetilkolin, sehingga muncul gejala
paralisis seperti ptosis, ophtalmoplegia eksternal, midriasis, dan depresi jalan
napas dan total flacid paralysis seperti pada pasien dengan Myastenia Gravis.
Selain itu ada pola paralisis desendens yang sulit dijelaskan secara
patofisiologinya. (Daley, 2010)
Hipotensi
Hipotensi yang terjadi pasca gigitan ular disebabkan karena banyak hal
terkait bisa ular itu sendiri. Ada beberapa faktor yang memepngaruhi permeabilitas
pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke jaringan interstisiel.
Selain itu zat-zat dalam bisa ular akan memiliki efek langsung maupun tidak
langsung terhadap otot jantung, otot polos dan jaringan lain. Melalui bradykinin-
potentiating peptide, efek hipotensif dari bradikinin akan semakin meningkat
dengan tidak aktifnya peptidyl peptidase yang berfungsi menghancurkan
bradikinin dan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Penemuan
patofisiologi ini merupakan awal mula sintesis captopril dan ACE inhibitor lain.
(Daley, 2010)
6. Klasifikasi
Derajat gigitan ular menurut Schwartz dan Way: (Depkes, 2001)
1. Derajat 0
Bekas gigitan 2 taring
Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
Pembengkakan dan nyeri minimal
2. Derajat I (Minimal)
Bekas gigitan 2 taring
Bengkak dan kemerahan dengan diameter 1 – 5 inchi
Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
Nyeri sedang sampai berat
3. Derajat II (Moderate)
Bekas gigitan 2 taring
Nyeri hebat, Bengkak dan kemerahan dengan diameter 6 – 12 inchi dalam
12 jam
Petechie, echimosis, perdarah pada bekas gigitan
Ada tanda-tanda sistemik (mual, muntah, demam, pembesaran kelenjar
getah bening)
4. Derajat III (Severe)
Bekas gigitan 2 taring
Nyeri sangat hebat , bengkak dan kemerahan lebih dari 12 inchi
Tanda-tanda derajat I dan II muncul dengan sangat cepat.
Ditemukan tanda-tanda sistemik (gangguan koagulasi, mual, muntah,
takikardi, hipotermia, ekimosis, petekie menyeluruh)
Syok dan distres nafas
5. Derajat IV (Extremely severe)
Sangat cepat memburuk
Bengkak dan kemerahan di seluruh ekstremitas yang terkena gigitan,
muncul ekimosis, nekrosis dan bulla
Meningkatnya tekanan intrakompartemen yang dapat menghambat aliran
darah vena atau arteri
Kegagalan multiorgan (ginjal, jantung) bisa sampai koma bahkan meninggal
7. Penegakkan Diagnosa
Anamnesa
Diagnosis gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi ular yang
menggigit dan adanya manifestasi klinis. Dari Anamnesa didapatkan adanya riwayat
gigitan disertai gejala atau tanda gigitan ular berbisa baik berupa efek lokal, sistemik
atau sistemik spesifik. Hal ini dapat diketahui melalui waktu yang berlalu sejak ular
menggigit karena dapat memberikan penilaian mengenai efek yang timbul apakah
bersifat lokal atau apakah tanda-tanda sistemik sudah berkembang. Ular yang
menggigit sebaiknya dibawa dalam keadaan hidup atau mati baik sebagian atau seluruh
tubuh ular.
Riwayat dan mekanisme kejadian, jenis ular yang menggigit (warna, ukuran,
bentuk, ciri khas) dapat ditanyakan langsung kepada korban gigitan, namun seringkali
pasien tidak tahu. Selain itu perlu ditanyakan waktu kejadian yang dapat
mempengaruhi terapi dan prognosis pasien, gejala yang pasien rasakan saat ini serta
riwayat alergi, pengobatan (antikoagulan) dan penyakit terdahulu (jantung, paru,
ginjal). (Daley, 2011)
Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala dan tanda bekas gigitan ular,
dari luka bekas gigitan ular dapat ditentukan apakah ular yang menggigit berbisa atau
tidak. Bila tidak dapat dilakukan identifikasi terhadap ular yang menggigit, manifestasi
klinis menjadi hal yang utama dalam menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan tanda vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari tanda bekas
gigitan oleh ular berbisa. Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit
menginjeksikan bisa pada korbannya.
- Gigitan ular tanpa masuknya bisa ular
Pada korban gigitan ular atau yang masih disangka tergigit ular biasanya akan
muncul gejala panik, cemas serta gelisah dikarenakan ketakutan yang biasa sehingga
dapat muncul gejala kaku pada ekstremitas ataupun vasovagal shock. Tekanan darah
dan nadi akan meningkat disertai menggigil dan berkeringat.
- Gigitan ular dengan masuknya bisa ular
Tanda dan gejala awal setelah masuknya taring ular pada kulit akan muncul
nyeri yang kemudian berkembang sensasi terbakar, berdenyut dan nyeri akan
bertambah hebat dan akan meningkat ke bagian proksimal dari bagian yang tergigit.
Pembesaran kelenjar getah bening regional sering dijumpai (KGB ingunalis jika yang
tergigit adalah ekstremitas inferior dan KGB axilla jika yang tergigit adalah
ekstremitas superior).
Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang
menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Tanda dan Gejala Lokal
pada daerah gigitan:
a) Tanda gigitan taring (fang marks), terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas
gigitan
b) Nyeri lokal
c) Perdarahan lokal
d) Kemerahan
e) Limfangitis
f) Pembesaran kelenjar limfe
g) Inflamasi (bengkak, merah, panas) sekitar gigitan yang muncul dalam 5 menit
sampai 12 jam setelah kejadian
h) Melepuh, muncul bula
i) Infeksi lokal, terbentuk abses
j) Nekrosis
k) Mati rasa atau kebas (numbness) atau kesemutan rasa berdenyut-denyut (tingling) di
sekitar wajah atau tungkai dan lengan.
Diagnosis Banding
Anafilaksis
Deep vein thrombosis (DVT)
Gigitan kalajengking
Syok septik
Sengatan lebah
Luka terinfeksi. (Daley, 2011)
8. Penatalaksanaan
a) Pertolongan pertama
Pertolongan pertama bertujuan untuk memperlambat absorpsi sistemik racun,
mencegah komplikasi sebelum pasien sampai ke RS, serta mengawasi gejala
keracunan awal yang berbahaya.
Hal ini meliputi menenangkan korban, imobilisasi ekstremitas yang tergigit
dengan balutan atau bidai. Setiap gerakan atau kontraksi otot akan meningkatkan
absorpsi racun ke pembuluh darah dan limfe. Hindari intervensi apapun pada bekas
gigitan karena dapat menyebabkan infeksi, meningkatkan absorpsi racun dan
meningkatkan perdarahan. Penderita juga diistirahatkan dalam posisi horizontal.
Jika timbul gejala sistemik yang cepat sebelum pemberian anti bisa, daerah
proksimal dan distal dari gigitan diikat, tujuannya adalah untuk menahan aliran
limfe. Pengikatan ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca
gigitan.
Pengawasan gejala keracunan awal yang berbahaya dengan
mengobservasi:
Oedem yang bertambah dengan cepat pada tempat gigitan
Pembesaran limfonodi lokal yang menunjukkan bahwa racun telah
menyebar melalui aliran limfe
Gejala sistemik seperti syok, mual, muntah, nyeri kepala hebat, mudah
mengantuk ataupun ptosis
Urin yang berwarna coklat gelap
b) Segera kirim ke rumah sakit
c) Penatalaksanna saat tiba di rumah sakit:
Selalu periksa Airway Breathing Circulation Disability of nervous system Exposure
(hindari hipotermia) dan evaluasi tanda-tanda syok (takipnea, takikardia, hipotensi,
perubahan status mental).
d) Resusitasi jika diperlukan dan penanganan klinis segera, meliputi:
Penatalaksanaan jalan nafas
Penatalaksanaan fungsi pernafasan
Penatalaksanaan fungsi sirkulasi dengan pemberian infus cairan kristaloid
Pada luka gigitan dapat diberikan verband ketat dan luas diatas luka serta
imobilisasi dengan menggunakan bidai
Gambar 5.Pemasangan verband ketat dan luas diatas luka serta imobilisasi
dengan menggunakan bidai
Keadaan yang memerlukan resusitasi segera jika adanya tanda-tanda syok dari:
Bisa ular pada cardiovascular seperti hipovilemia, syok perdarahan, pelepasan
mediator inflamasi dan yang jarang yaitu anafilaksis primer, gagal nafas karena
paralisis otot pernafasan, cardiac arrest karena hiperkalemia akibat rhabdomyolisis
e) Diagnosis spesies ular
f) Pemberian SABU (Serum Anti Bisa Ular)
SABU harus diberikan secepatnya setelah gejala dan tanda lokal maupun
sistemik ditemukan. Serum ini akan mentralkan efek bisa ular walaupun gigitan ular
sudah terjadi beberapa hari yang lalu. (Warrell, 2010)
Terapi anti bisa ular pertama kali diperkenalkan oleh Albert Calmette dari
Institut Pasteur di Saigon pada 1890. Terdapat dua jenis antiracun ular yaitu yang
pertama terbuat dari serum kuda setelah kuda diinjeksi dengan dosis racun ular
subletal. Antiracun ini kemudian diproses dan dimurnikan tetapi masih
mengandung protein serum yang mungkin masih memiliki sifat antigenik. Jenis
kedua adalah yang direkomendasikan FDA tahun 2000 yaitu fragmen
imunoglobulin monovalen dari domba yang dimurnikan untuk menghindari protein
antigenik. (Daley, 2011)
Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom.
Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini
dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada. Untuk efek
lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam. SABU harus
diberikan pada pasien jika memang diperlukan jika memberikan keuntungan lebih
besar. Indikasi pemberian SABU:
Adanya abnormalitas hemostatis, misalnya perdarahan sistemik spontan dan
trombositopeni (<100.000)
Secara klinis adanya perdarahan spontan, koagulopati (dilihat dari faal
hemostasis), efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih
dari setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas, atau
bengkak yang membesar dengan cepat
Tanda neurotoksis (ptosis, paralisis otot pernapasan)
Abnormalitas cardiovascular (hipotensi, syok, aritmia, EKG abnormal)
Acute Kidney Injury (oliguria/anuria, peningkatan serum ureum dan atau
creatinin)
Hemoglobin/myoglobin-uria (ditandai dengan urin yang berwarna coklat
gelap dan adanya tanda rhabdomyolisis yaitu nyeri otot dan hiperkalemia).
Lebih dari seratus tahun, serum antibisa ular telah diterima secara luas dan
digunakan sebagai terapi. Terapi antidotum spesifik untuk bisa ular adalah
hyperimmune globulin dari binatang yang telah diimunisasi dengan bisa ular dan
memproduksi antibodi. Pada pasien gigitan ular yang mengalami gangguan
pembekuan darah atau telah terbentuk clot maka pemberian SABU akan
memperbaiki dan menghilangkan clot dalam waktu 2-28 jam. Dalam suatu
penelitian acak terkontrol, 40 dari 46 pasien yang diberikan SABU akan membaik
dalam waktu 6 jam meskipun tanda-tanda perdarahan masih didapatkan hingga 88
jam kemudian. (Warrell, 2010)
SABU diberikan intravena kadang akan memunculkan reaksi alergi mulai dari
yang ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai yang berat (syok anafilaksis).
Berdasarkan dosis, rute pemberian dan kulaitas SABU, resiko-resiko tersebut akan
muncul pada 3-30% dan hanya 5-10% diantaranya merupakan gejala sistemik yang
berat. Hampir semua reaksi alergi yang muncul dapat diatasi dengan pemberian
epinefrin. Pencegahan timbulnya reaksi alergi meliputi premedikasi dengan
antihistamin atau kortikosteroid sebelum pemberian SABU dan memperhatikan
kepekatan konsentrasi SABU yang akan diberikan. (Warrell, 2010)
Dua cara pemberian anti bisa ular:
1) Intravena pelan (tidak lebih dari 2 ml/menit). Cara ini memberikan
keuntungan karena jika muncul reaksi alergi dapat segera dihentikan atau ditangani.
Infus intravena dengan pengenceran Antibisa ular dengan cairan isotonik 5-10
ml/kg dan habis dalam waktu 1 jam.
2) Intramuskular, namun cara ini memiliki kelemahan karena bioavailibiltasnya
rendah dan sulit untuk mencapai kadar yang diinginkan dalam darah, serta resiko
hematom pada tempat injeksi pada pasien dengan abnormalitas hemostasis.
Dipertimbangkan pemberian secara intramuskular jika jarak ke tempat layanan
kesehatan yang lebih memadai sangat jauh atau akses intravena sulit. (Daley, 2011)
Pilihan Anti Venom/SABU:
1) Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik
(monovalen) karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit
2) Jika jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat digunakan
untuk memperkirakan jenis ular:
Pembengkakan lokal dengan tanda kelainan neurologis = ular kobra/elapidae.
Pembengkakan lokal yang ekstensif dengan perdarahan = ular tanah/ viperidae
3) Anti venom polivalen jika belum jelas. (Daley, 2011) Dosis Dan Cara
Pemberian SABU:
Jumlah pemberian biasanya berdasar empirik. Rekomendasi pemberian dari
pabrik yang ada biasanya berdasarkan uji pada binatang
Ulang pemberian anti venom hingga tanda tandanya hilang
Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan isotonic
(5-10 ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa larutkan
dalam 500 ml) dan infus seluruhnya dalam 1 jam
Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang
direkomendasikan belum habis
Jangan lakukan uji sensitivitas
Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan resusitasi
jika terjadi reaksi alergi
Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml dalam NaCl atau Dextrose 5% dapat
diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap
6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah)
antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). Antiserum
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan
sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis
untuk dewasa. Cara lain adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di
sekitar luka dan 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus
berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi.
Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik. Jika terjadi
reaksi alergi setelah pemberian SABU maka diberikan epinefrin intramuskular pada
sepertiga atas paha 0,5 mg untuk dewasa atau 0,01 mg/kg untuk anak-anak dan
dapat diulang 5-10 menit. (WHO, 2005)
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
syok
III ++ + +++ >25 cm/ 12 jam ++
Syok, petekia,
ekimosis
IV +++ + +++ < ekstremitas ++
Gangguan faal
ginjal, koma,
perdarahan
Komplikasi
Hal utama penyebab kecacatan adalah nekrosis lokal dan sindrom
kompartemen. Nekrosis yang luas mungkin memerlukan tindakan debridemen atau
amputasi karena kerusakan pada jaringan yang lebih dalam. Di kemudian hari dapat
saja timbul osteomyelitis, dan ulkus kronis. Jika setelah gigitan ular sempat terjadi
paralisis otot pernapasan yang mengakibatkan hipoksia otak dan bisa
mengakibatkan defisit neurologis menetap. (Warrell, 2005)
Beberapa faktor yang berpengaruh pada kematian akibat gigitan antara lain:
a) Serum Anti Bisa Ular : pemberian dosis yang tidak adekuat atau anti bisa ular
yang hanya spesifik untuk satu jenis spesies ular tertentu
b) Waktu ketika mendapat terapi yang adekuat pada pusat layanan kesehatan
memanjang akibat korban biasanya terlebih dahulu datang pada pengobatan
alternatif atau masalah pada transportasi
c) Adanya kegagalan multifungsi pada sistem organ sebagai contoh syok
hemoragik atau sepsis dan obstruksi jalan nafas. (Warrell, 2010)
Monitoring
a) Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang.
b) Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi
di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan.
c) Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan
perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan
monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
d) Observasi untuk gigitan ular minimal selama 24 jam.
e) Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan
sindroma kompartemen. (Hafid, 1999)
VII. PEMBAHASAN
1. Anamnesa
Dari anamnesa kepada pasien dan keluarga (auto-heteroanamnesa),
pasien mengatakan digigit ular di punggung kaki kiri sekitar 4 jam SMRS saat
sedang menyapu halaman rumahnya, nyeri di area gigitan, tungkai kiri bawah sedikit
bengkak, kemeng dan kesemutan.
Pada saat itu hanya ditemukan gejala atau tanda gigitan ular berbisa berupa
efek lokal saja. Dibutuhkan waktu untuk melakukan penilaian mengenai efek yang
timbul apakah akan bersifat lokal saja atau ada tanda-tanda sistemik sudah
berkembang.
Pasien mengatakan ular yang menggigitnya berwarna hitam dan dan ekornya
lancip serta ukuran sekitar satu meter, namun ular tersebut tidak tertangkap sehingga
sulit untuk mencocokkan dengan ciri-ciri ular berbisa ataupun tidak. Namun jika
ditinjau dari keluhan yang diraskan pasien (nyeri, bengkak, kemeng, kesemutan)
seperti tanda-tanda gigitan ular tidak berbisa.
2. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda dan gejala lokal berupa gigitan taring
(fang marks), terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan, nyeri lokal,
perdarahan lokal, kemerahan, inflamasi (bengkak, merah, panas) sekitar gigitan.
Namun tanda dan gejala lokal lain yang lebih berat tidak ditemukan misalnya seperti
limfangitis, pembesaran kelenjar limfe regional, kulit melepuh, muncul bula, abses,
nekrosis jaringan sampai mati rasa atau kebas (numbness) atau kesemutan rasa
berdenyut-denyut (tingling) di sekitar wajah atau tungkai dan lengan.
Tidak didapatkan juga adanya tanda dan gejala sistemik seperti mual, muntah,
nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas. Tidak ditemukan pula tanda dan gejala
kardiovaskuler, perdarahan dan gangguan pembekuan darah, neurologis, destruksi
otot skeletal, gangguan perkemihan dan endokrin.
Bila tidak dapat dilakukan identifikasi terhadap ular yang menggigit atau hasil
identifikasi masih meragukan, maka manifestasi klinis menjadi hal yang utama dalam
menegakkan diagnosis.
Bila tidak ada kesesuaian antara hasil identifikasi ular dengan manifestasi
klinis yang didapatkan maka kemungkinan terjadi gigitan ular tanpa masuknya bisa
ular. Karena tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa
pada korbannya.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dari hasil pemeriksaan penunjang, semua yang diperiksakan (Darah lengkap,
Serum elektrolit, Faal hati (SGOT/SGPT), Faal ginjal (BUN, kreatinin), GDA, EKG)
dalam batas normal. Hasil ini menegaskan bahwa tidak ditemukan gangguan atau
efek sistemik pada pasien tersebut.
4. Penatalaksanaan
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
ditemukan beberapa tanda dan gejala seperti:
Bekas gigitan 2 taring
Bengkak dan kemerahan dengan diameter 1 – 5 inchi
Tidak ada tanda-tanda sistemik selama observasi di IGD
Nyeri sedang sampai berat
Yang mana bila diklasifikasikan maka termasuk Snake Bite Grade I
Saat pertama kali datang pasien diberikan O2 nasal 3 lpm karena muncul
gejala panik, cemas serta gelisah dikarenakan ketakutan yang biasa sehingga dapat
muncul gejala kaku pada ekstremitas ataupun vasovagal shock. Tekanan darah dan
nadi akan meningkat disertai menggigil dan berkeringat.
Tidak dilakukan tindakan cross incisi di tempat gigitan ular, karena dari
berbagai literatur hal ini justru disarankan untuk dihindari. Pada literatur
dikatakan untuk hindari intervensi apapun pada bekas gigitan karena dapat
menyebabkan infeksi, meningkatkan absorpsi racun dan meningkatkan
perdarahan. Penderita hanya perlu diistirahatkan dalam posisi horizontal. Jika timbul
gejala sistemik yang cepat sebelum pemberian anti bisa, daerah proksimal dan
distal dari gigitan diikat, tujuannya adalah untuk menahan aliran limfe.
Pengikatan ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan.
Imobilisasi pada ekstremitas inferior sinistra karena setiap gerakan atau
kontraksi otot akan meningkatkan absorpsi racun ke pembuluh darah dan limfe.
Pada kasus ini sudah ada tanda dan gejala lokal, maka pasien diberikan drip
SABU (Serum Anti Bisa Ular) 1 amp dalam D5% 500cc alasanya karena SABU
harus diberikan secepatnya setelah gejala dan tanda lokal maupun sistemik
ditemukan. Serum ini akan mentralkan efek bisa ular yang sudah masuk ke dalam
pembuluh darah dan limfe. Pemberian melalui rute intra vena di IGD dengan cara
melarutkan anti venom pada cairan isotonic (5-10 ml/kgBB, pada anak yang lebih
besar atau orang dewasa larutkan dalam 500 ml).
Kemudian saat pasien sudah diruangan di observasi ulang tanda dan gejala
dan diberikan drip SABU 1 vial dalam D5% dan maintenance cairan Inf NaCl 0,9%
dan Aminofluid 2:1 untuk mencegah syok hipovolemi. Menurut literatur SABU biasa
diberikan pertama sebanyak 2 vial @5 ml dalam NaCl atau Dextrose 5% dapat
diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6
jam.
Saat di IGD tidak ditemukan tanda-tanda syok sehingga pasien tidak perlu
resusitasi cairan, dan pasien ini hanya diberikan maintenance Inf NaCl 0,9% 20 tpm.
Untuk mengurangi nyeri pada pasien diberikan Inj Dexketoprofen 50 mg yang
juga merupakan obat analgetik dan antiinflamasi. Menurut literatur, pemberian
analgetik bertujuan untuk mengurangi nyeri, jika diperlukan dapat diberikan
analgetik kuat seperti golongan opioid: petidin dengan dosis dewasa 50-100 mg,
anak- anak 1-1,5 kg/kgBB atau morfin dengan dosis dewasa 5-10 mg dan anak-anak
0,03-0,05 mg/kg. Selain itu pemberian antinflamasi bertujuan untuk mengurangi
gejala pembengkakan,rasa nyeri dan reaksi alergi/anafilaktik terhadap SABU.
Pasien ini diobservasi selama 6 jam di IGD lalu dilanjutkan observasi di
ruangan. Sesuai dengan literatur yaitu untuk kasus gigitan kering (bisa tidak
diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam,
dilanjutkan observasi di ruangan. Observasi untuk gigitan ular minimal selama 24
jam. Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan
sindroma kompartemen.
Saat di rawat inap selain diberikan analgetik pasien juga diberikan Inj
Omeprazole 40mg untuk mengurangi keluhan mual dan rasa perut tidak nyaman,
obat golongan PPI yang digunakan untuk mengurangi produksi asam lambung.
Pasien diberi antibiotik Inj Anbacim yang mengandung Cefuroxime untuk
menekan pertumbuhan bakteri yang mengakibatkan infeksi sekunder. Antibiotik
profilaksis spektrum luas masih direkomendasikan.
Monitoring dan Observasi TTV, Saturasi O2 dan pulsasi A. Dorsalis Pedis
dan A. Tibialis Posterior, serta tanda dan gejala sistemik terus dilakukan selama
perawatan di rumah sakit.
Daftar Pustaka
1. Daley.B.J. 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical
Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
2. Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104.
Daley, Brian James. 2011. Snake Bite. Availabel from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview.
3. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes
RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
4. Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current Concept
Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1, 2002.
5. Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku
Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100.
6. Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A,
et al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling Based
on Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218.
doi:10.1371/journal.pmed.0050218.
7. Prihatini, Trisnaningsih, Muchdor, U.N. Rachman. 2007. Penyebaran gumpalan dalam
pembuluh darah (disseminated intravascular coagulation) akibat racun gigitan ular.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 14, No. 1,
November 2007.
8. Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan
Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id
9. Sjamsyuhidayat, R dan de Jong, Wim. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC; Jakarta.
10. Sudoyo, A.W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
11. Wangoda R, Watmon B, Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From
Gulu Regional Hospital Uganda.
12. Warrell, D.A. 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-
East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine,
Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
13. Warrell, D.A. 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ
2005; 331:1244-1247 www.bmj.com.
14. Warrell, David A. 2010. Guidelines for the management of snake-bites. WHO Regional
Office for South-East Asia.
15. Warrel, David A. 2010. Snake Bite. Department of Clinical Medicine, University of
Oxford.
16. WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East
Asia Region.