Sejarah[sunting | sunting sumber]
Tumbuhan berkayu muncul di alam diperkirakan pertama kali pada 395 hingga 400 juta tahun yang lalu. [1] Manusia telah
menggunakan kayu untuk berbagai kebutuhan sejak ribuan tahun, terutama untuk bahan bakar dan bahan konstruksi untuk
membuat rumah dan senjata serta sebagai bahan baku industri (misal pengemasan dan kertas). Kayu bisa dijadikan
referensi sejarah mengenai kondisi iklim dan cuaca pada masa pohon tersebut tumbuh melalui variasi jarak antar cincin
pertumbuhan.[2]
Bagian[sunting | sunting sumber]
Mata kayu
Penampang melintang kayu. Titik bagian dalam adalah empulur, bagian kayu berwarna gelap adalah kayu teras, dan bagian berwarna
terang adalah bagian kayu hidup (kayu gubal, memiliki pembuluh kayu fungsional).
Batang pohon yang dipotong melintang akan memperlihatkan bagian-bagian kayu, yang kerap kali berbeda warna. Bagian
terdalam adalah empulur yang lunak, lalu ke bagian luar adalah kayu teras, kayu gubal, dan terakhir adalah pepagan (kulit
kayu). Bagian percabangan akan memperlihatkan pola khusus, yang biasa disebut sebagai "mata kayu".
Cincin pertumbuhan atau juga disebut lingkaran tumbuh adalah gambar pola-pola konsentrik pada penampang melintang
kayu. Terbentuknya cincin pertumbuhan kayu ini adalah karena terjadinya perbedaan musim yang dialami oleh pohon
tersebut. Pada satu tahun pohon akan mengalami periode dengan pertumbuhan cepat dan periode dengan pertumbuhan
yang lambat, dan itu mempengaruhi pertumbuhan diameter batang pohon. Diameter yang bertumbuh cepat, lalu melambat,
akan membentuk cincin satu tahun, dan seterusnya.
Bagian paling tengah dari cincin pertumbuhan kayu merupakan tahap hidup awal dari sebuah pohon yang masih mengalami
pertumbuhan relatif lebih cepat, sehingga massa jenisnya lebih rendah dibandingkan dengan bagian kayu dari cincin
pertumbuhan yang dekat dengan kulit terluarnya.[3]
Mata kayu[sunting | sunting sumber]
Mata kayu atau knot adalah bagian dari kayu yang merupakan dasar dari percabangan atau kuncup yang dorman. Mata
kayu memiliki pengaruh terhadap kayu, dan seringkali berpengaruh negatif. Mata kayu mengurangi kekuatan kayu sehingga
akan bernilai rendah ketika digunakan sebagai struktur bangunan atau keperluan lain di mana kekuatan menjadi
pertimbangan. [4] Namun untuk tujuan seni, keberadaan mata kayu dapat meningkatkan nilai.
Selain lignoselulosa, kayu terdiri dari berbagai jenis senyawa organik yang disebut dengan senyawa ekstraktif yang jumlah
dan jenisnya bervariasi tergantung dari spesies pohonnya. Kayu memiliki senyawa ekstraktif berupa asam lemak, resin, lilin,
dan terpena. Senyawa ekstraktif ini memiliki manfaat seperti melindungi batang kayu dari hama. Senyawa ekstraktif
merupakan salah satu dari hasil hutan non-kayu.[9][10]
Secara kasar, terdapat berbagai jenis batang yang dalam definisi non-botani (terutama dalam perdagangan) juga disebut
dengan kayu. Bambu secara botani merupakan monokotil dari suku rumput-rumputan yang memiliki batang dengan
kekuatan yang dapat disetarakan dengan kayu. Saat ini bambu banyak digunakan sebagai bahan bangunan, lantai, papan,
dan sebagainya di mana sebelumnya didominasi oleh kayu. Batang tumbuhan monokotil lainnya yang juga disebut kayu
adalah batang pohon palem. Batang dari pohon genus Pandanus, Dracaena, dan Cordyline juga dapat digunakan sebagai
pengganti kayu dalam skala kecil.