Menurut Glock dan Stark sebagaimana dikuitip oleh Taufik Abdullag,
berpendapat bahwa keberagamaan muncul dalam lima dimensi diantaranya dimensi ideologis, intelektual, eksperiensial, ritualistik, dan konsekuensial. Dua dimensi yang pertama mencakup aspek kognitif keberagamaan, dua dimensi yang terakhir aspek behavioral keberagamaan dan dimensi ketiga aspke afekstif keberagamaan.1[3] Kelima dimensi tersebut dapat dibedakan dalam setiap dimensinya meliputi aneka ragam dan unsur-unsur lainnya seperti dalam bentuk keyakinan, praktik, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi.2[4] Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1) Dimensi ideologis
Berkenaan dengan seperangkat kepercayaan yang memberikan “premis
eksistensial” untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia, dan hubungan antara mereka. Kepercayaan dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu (puposive belief). Kepercayaan yang terakhir, dapat berupa pengetahuan tentang seperangkat tingkah laku baik yang dikehendaki agama. 2) Dimensi intelektual Dimensi ini mengacu pada pengetahuan agama yang harus diketahui seseorang tentang ajaran-ajaran agamanya. Peneliitan ini dapat diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pemahaman agama para pengikut agam atau tingkat ketertarikan mereka untuk mempelajari agamanya. Hal ini mengacu pada harapan bahwa seseorang yang beragama minimal memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya, walaupun keyakinan tersebut tidak perlu diikuti oleh syarat keyakinan. Seseorang dapat memiliki keyakinan kuat tanpa benar memahami agama / kepercayaan atas dasar pengetahuan yang sedikit. 3) Dimensi eksperiensial Dimensi eksperiensial merupakan bagian keagamaan yang bersifat efektif, yaitu keterlibatan emosional dan sentimentil pada pelaksanaan ajaran agama yang merupakan perasaan keagamaan (religion feeling) sehingga dapat bergerak dalam beberapa tingkat yakani; konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan menjawab kehendaknya atau keluhannnya), eskatik (merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), dan partisipasif (merasa menjadi kawan setia kekasih), atau wali Tuhan-Nya melakukan karya ilmiah.3[5] 4) Dimensi ritualistik 1[3] Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1989), hlm. 93. 2[4] Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologias, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 295. 3[5] Taufik Abdullah, loc. cit. Dimensi ritualistik yaitu merujuk pada ritualistik / ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh agama dan dilaksanakan para pengikutnya. Dimensi ini terdiri dari dua kelas penting, yaitu: a. Ritual Mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik suci yang semua mengharapkan pemeluknya dapat melaksanakan. Ritual merupakan suatu bentuk drama dan oleh karena itu merefleksikan kegembiraan dari satu ke yang lainnya.4[6] b. Ketaatan Ketaatan dan ritual diibaratkan air, meski ada perbedaan penting, semua agama yang dikenal mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personel yang relatif. 5) Dimensi konsekuensial Meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Konsekuensi komitmen agama berbeda dengan keempat dimensi di atas. Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat keyakinan praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari, walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
3. Indikator-indikator Perkembangan Keberagamaan
4[6] Andrew M. Greeley, Agama Suatu Teori Sekuler, (Jakarta: Erlangga, 1988), hlm. 96.