Anda di halaman 1dari 122

BA ON SIO

IN VER

H ES N
D

AS I
A A
Emergency Management
of
Severe Burns

THE EDUCATION COMMITEE OF


AUSTRALIA AND NEW ZEALAND BURN ASSOCIATION LTD

1
BA ON SIO
IN VER

H ES N
D

AS I
A A
Emergency Management
of
Severe Burns

THE EDUCATION COMMITEE OF


AUSTRALIA AND NEW ZEALAND BURN ASSOCIATION LTD

5
The Education Committee
of

The Australian and


New Zealand Burn Association Limited
ACN 054 089 520

Emergency Management of Severe Burns


(EMSB)

COURSE MANUAL
17th edition
Feb 2013

ISBN 0-9775182-0-5

Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996


This manual is copyright. No part of the publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any
form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise without the express written
permission of the Australian and New Zealand Burn Association Limited.

ANZBA, PO Box 550, Albany Creek, Qld 4035.


Ph: 0011 61 7 3325 1030 / Email: info@anzba.org.au

© ANZBA 2013AUSTRALIAN AND NEW ZEALAND BURN ASSOCIATION Ltd.


www.anzba.org.au

6
Daftar Isi
Bab 1: Introduksi: Epidemiologi dan Etiologi .................................................. 5

Bab 2: Penilaian dan Tatalaksana Emergensi .................................................. 13

Bab 3: Respon Lokal dan Sistemik pada Luka Bakar ....................................... 23

Bab 4: Cedera Inhalasi ................................................................................... 27

Bab 5: Asesmen Luka ..................................................................................... 36

Bab 6: Syok Luka Bakar dan Resusitasi Cairan ................................................ 42

Bab 7: Tatalaksana Luka................................................................................. 48

Bab 8: Indikasi dan Prosedur Rujukan ............................................................ 54

Bab 9: Luka Bakar pada Anak ......................................................................... 59

Bab 10: Luka Bakar Listrik .............................................................................. 69

Bab 11: Luka Bakar Kimia ............................................................................... 78

Bab 12: Manajemen Penderita Luka Bakar setelah 24 Jam Pertama ............... 85

Bab 13: Manajemen Rawat Jalan pada Luka Bakar Ringan.............................. 97

Referensi ........................................................................................................ 103

Lampiran:

Penilaian Neurologik ...................................................................................... 108

Tetanus Protocol ............................................................................................ 109

Rekomendasi untuk Sayatan Eskarotomi ........................................................ 110

Selecting an Appropriate Dressing .................................................................. 111

© ANZBA 2013AUSTRALIAN AND NEW ZEALAND BURN ASSOCIATION Ltd.


www.anzba.org.au

1
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi kesempatan terselenggaranya kursus manaje-
men awal luka bakar kritis Emergency Management of Severe Burns (EMSB) kedua yang merupakan
kerjasama Kolegium Ilmu Bedah Indonesia, Kolegium Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetika
Indonesia dengan The Royal Australasian College of Surgeons dan Australian New Zealand Burn Asso-
ciation (ANZBA) setelah diinisiasi lebih dari dua tahun lamanya. Kursus yang pertama terselenggara
pada bulan Desember 2013.

dididik untuk menangani kasus sejak awal melalui kursus dimaksud. Di Amerika Serikat, kursus ini
disebut Advanced Burn Life Support (ABLS) yang serupa dengan Advanced Trauma Life Support
(ATLS), sedang di Australia disebut Emergency Management of Severe Burns Injuries. Penyelenggaraan
kursus–kursus ini, sebagaimana halnya ATLS tercatat telah membawa dampak penurunan angka
mortalitas luka bakar di dunia internasional.

Kursus ini memberi dampak melalui tertatanya sistem penanganan kasus luka bakar fase akut, bukan
hanya prioritas ABC traumatologi, namun dalam suatu sistem penanganan emergensi (emergency
medical system, EMS) yang baik. EMS yang tertata baik dan dilaksanakan oleh berbagai pihak mem-

Berbeda halnya dengan situasi di Indonesia. Pengetahuan mengenai luka bakar dirasakan minim,
khususnya pengetahuan mengenai tatalaksana awal. Pengetahuan mengenai hal ini kurang disosia-

masyarakat belum memungkinkan terujudnya suatu tatanan yang baik dalam manajemen kasus luka
bakar sebagaimana diselenggarakan di negara–negara maju.

berdasarkan pengetahuan yang diperoleh selama masa pendidikan untuk selanjutnya diwarnai
pengetahuan otodidak dan pengalaman klinis individu–individu yang bervariasi dan mengacu pada
kondisi di lapangan.

2
masih terlalu banyak hal perlu dibenahi, terutama konsep tatalaksana awal. Karenanya, pada kesem-
patan ini perkenankan kami menyelenggarakan kursus Emergency Management of Severe Burn yang

kompetensi standar internasional.

buku pegangan kursus ini ke dalam bahasa Indonesia yang dihadirkan mendampingi bahasa aslinya;
tanpa mengurangi rasa hormat kami pada mereka yang fasih dalam berbahasa Inggris.

Kolegium Ilmu Bedah

3
COURSE PROGRAM
EMSB Course - Outline and Timeline
Part One – Lectures
08:00–08:10 Welcome & Introduction (10 min) Faculty
08:10–08:20 Local & General Response to Burn Injury (10 min) Faculty
08:20–08:45 Emergency Examination & Treatment (25 min) Faculty
08:45–08:50 Short Break ( 5 min)
08:50–09:05 Airway Management & Inhalation Injury (15 min) Faculty
09:05–09:20 Burn Wound Assessment (15 min) Faculty
09:20–09:35 Shock & Fluids (15 min) Faculty
09:35–09:40 Short Break ( 5 min)
09:40–09:55 Burn Wound Management (15 min) Faculty
09:55–10:05 Documentation & Transfer / Review (10 min) Faculty

10:05–10:20 Morning Tea (15 min)

Part Two – Skill Stations(20 min + 2 min turnover) Timekeeper:Faculty


10:20–10:40 Burn Area & Fluid Requirements (20 min) Faculty
ROTATE
ROOMS

10:42–11:02 Documentation & Transfer (20 min) Faculty


11:04–11:24 Escharotomy (20 min) Faculty
11:26–11:46 Wound Assessment &Mx (20 min) Faculty
11:48–12:08 Airway Management (20 min) Faculty

12:10–12:40 Lunch (30 min)

Part Three – Interactive Discussion Groups(20 min + 2 min turnover) Timekeeper:Faculty


12:40–13:00 Paediatric (20 min) Faculty
ROTATE
ROOMS

13:02–13:22 Chemical (20 min) Faculty


13:24–13:44 Electrical (20 min) Faculty
13:46–14:06 Multiple Injuries (20 min) Faculty

14:10–14:45 Demonstration of Simulation + Break (20 + 15 min)

Part Four – Multiple Choice Exam & Simulations Timekeeper: Faculty


14:45–15:50 Group A MCQ Exam Faculty
Group B Simulations
st
14:45–15:00 – simulation practice 1 (1 Patient as a Group) (15 min)
nd
15:02–15:14 – simulation practice 2 (2 Patient as a Group) (12 min) Pt A Faculty / Faculty
rd
15:16–15:26 – simulation test 1 (3 Patient Individually) (10 min) Pt B Faculty /Faculty
15:28–15:38 – simulation test 2 (3rd Patient Individually) (10 min) Pt C Faculty / Faculty
rd
15:40–15:50 – simulation test 3 (3 Patient Individually) (10 min) Pt D Faculty / Faculty
15:50–16:00 Break & Turnover (10 min)
16:00–17:05 Group B MCQ Exam
Group A Simulations
st
16:00–16:15 – simulation practice 1 (1 Patient as a Group) (15 min)
nd
16:17–16:29 – simulation practice 2 (2 Patient as a Group) (12 min)
rd
16:31–16:41 – simulation test 1 (3 Patient Individually) (10 min)
rd
16:43–16:53 – simulation test 2 (3 Patient Individually) (10 min)
rd
16:55–17:05 – simulation test 3 (3 Patient Individually) (10 min)
th
17:05– Re-sits of Simulations if required (with 4 Patient individually as required)
–18:00 Summation and Presentations

© ANZBA 2013AUSTRALIAN AND NEW ZEALAND BURN ASSOCIATION Ltd.


www.anzba.org.au

4
Bab 1
Introduksi:
Epidemiologi dan Etiologi
Pendahuluan
Luka bakar merupakan suatu tantangan bagi para tenaga kesehatan. Selain perjalanan
penyakit suatu bentuk trauma dan ketidaknyamanan yang nyata, gangguan permanen pada
penampilan dan fungsi diikuti oleh ketergantungan, kehilangan pekerjaan dan ketidakpastian
masa depan. Masalah ini tidak hanya dihadapi oleh pasien, namun juga keluarga mereka dan
orang di sekitar. Pepatah menyatakan, pasien trauma yang nyata, ditolong dan dirawat lebih
awal oleh personil yang terampil akan sembuh lebih cepat dibandingkan pasien yang
perawatannya tertunda. Demikian pula halnya dengan pasien luka bakar maupun trauma
lainnya [1]. KArenanya, sangatlah penting untuk melakukan perawatan yang tepat dilakukan
secara cepat. Hal ini tidak saja menyelamatkan nyawa seseorang, tapi lebih jauh, demi masa
depan mereka.

Kursus ini didasari prinsip bahwa penilaian emergensi yang tepat waktu, resusitasi dan rujukan
merupakan kunci keberhasilan tatalaksana yang akan diikuti penyembuhan. Dengan mengikuti
kursus ini, pasien luka bakar berat akan memperoleh pelayanan yang sesuai dengan prinsip di
atas.

Kursus in bertujuan menghadirkan informasi akurat mengenai diagnosis dan penanganan awal
pada pasien dengan luka bakar berat, yang memungkinkan para praktisi medis dan
keperawatan memiliki kompetensi menangani masalah mendesak dan mengancam nyawa.

Kursus ini disusun oleh para anggota dari Komite Pendidikan ANZBA dimana tiap bab ditulis
berdasarkan pengalaman pribadi para anggota berbagai disiplin ilmu dalam penanganan luka
bakar. Kursus ini memuat materi orisinil yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya.

Kursus ini mengikuti protokol penanganan trauma seperti yang diajarkan oleh Royal
Australasian College of Surgeons pada Emergency Management of Severe Trauma course
(EMST) dan diterima sebagai suatu sistem pendidikan trauma bagi para praktisi medis di
Australia dan Selandia Baru.

Kursus Emergency Management of Severe Burns (EMSB) memuat pedoman dan prokol
penanganan trauma yang spesifik untuk luka bakar; merupakan tambahan EMST. EMSB
dirancang sebagai suatu kursus yang berdiri sendiri, menghadirkan informasi dalam

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


107
5
menentukan standar minimal perawatan luka bakar akut (dari ANZBA) dan dapat pada EMST
dengan menghadirkan informasi yang lebih spesifik pada penanganan dari luka bakar.

EMSB mencakup prinsip–prinsip dari penanganan emergensi luka bakar berat di Australia dan
Selandia Baru. Kursus ini sesuai bagi praktisi medis dan keperawatan dimanapun yang
melakukan pelayanan luka bakar; baik bagi mereka yang bekerja di unit luka bakar maupun
staf medis dan keperawatan yang bekerja di daerah terpencil. Selain menyampaikan materi,
kursus ini menekankan keuntungan memiliki pengetahuan yang sama mengenai protokol
penanganan luka bakar darurat pada semua petugas pelayanan, karena memfasilitasi
penanganan utama serta rujukan yang sesuai; yang merupakan keutamaan pendekatan ini.

Informasi mengenai kursus dibagi dalam enam bagian terpisah di tambah bagian
komplementer:

1. Pegangan Kursus
Buku pegangan berisi silabus lengkap kursus yang dikirim ke semua peserta kursus
sebelum kursus. Peserta diharapkan membaca buku ini beberapa kali bila memungkinkan,
sebelum menghadiri kursus dimaksud. Gambar 'Struktur EMSB' (halaman 15) disertakan
sebagai upaya membantu pengenalan aspek penting dalam kursus.

2. Kuliah Formal
Kuliah diselenggarakan di awal kursus. Dijelaskan garis besar kursus dan akan
memperjelas hal–hal yang sudah dibaca pada buku pegangan. Kuliah tidak menggantikan
buku pegangan, disampaikan secara bervariasi berdasarkan pengalaman klinis para
pemberi kuliah.

3. Stasi Keterampilan
Di stasi ini diajarkan aspek praktis dari kursus dan memberikan kesempatan pada peserta
kursus untuk menerapkan pengetahuan yang telah mereka peroleh dari buku pegangan
maupun kuliah.

4. Kelompok Diskusi (Interaktif)


Pada bagian ini diajarkan lingkup manajemen luka bakar dalam kelompok–kelompok kecil
secara interaktif untuk memberikan kesempatan sebesar mungkin bagi peserta melkukan
diskusi topik dan menerapkan pengalaman klinis mereka masing–masing sesuai tingkat
kompetensi masing–masing, dalam mengeksplorasi topik.

5. Simulasi Kasus Luka Bakar


Pada bagian ini, dilakukan simulasi menggunakan model pasien luka bakar oleh relawan,
yang memberikan kesempatan bagi peserta untuk melaksanakan praktik dalam

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


108
6
penanganan luka bakar berat. Bagian ini akan menggabungkan kursus dan membuatnya
relevan secara klinis.

6. Ujian
Di akhir kursus, peserta menjawab pertanyaan dalam bentuk soal pilihan ganda, kasus
klinis, (menggunakan model pasien luka bakar simulasi), dalam menguji tingkat
pengetahuan peserta dan efektivitas kursus.

Peserta yang berhasil akan menerima sertifikat resmi dari Australian and New Zealand Burn
Association (ANZBA).

Konsep Kerja Tim dalam Pentalaksanaan Luka Bakar


Sejak Perang Dunia kedua, dicapai kemajuan bermakna dalam penatalaksanaan luka bakar
yang diikuti penurunan mortalitas dan morbiditas luka bakar berat secara bertahap [2].

Resusitasi cairan intravena, perbaikan gizi, penggunaan antimikroba topikal, dan penerapan
protokol bedah yang menerapkan konsep penutupan luka lebih awal, kesemuanya memberi
kontribusi untuk kemajuan yang luar biasa dalam hal ketahanan hidup (survival) [2].

Unit Luka Bakar

Dengan adanya perbaikan dalam penanganan luka bakar ini, terealisasi bagi seorang staf
terlatih untuk melakukan bekerja secara lebih efektif di suatu fasilitas akut [2]. Pada fasilitas
ini, penatalaksanaan berkualitas baik dimungkinkan terselenggara; bahkan untuk luka bakar
ringan sekalipun, dibandingkan pelayanan yang tersedia di luar suatu unit luka bakar.

Konsentrasi tim spesialis di satu fasilitas memiliki nilai tambah yang efektif dengan biaya yang
relatif hemat, berbagi pengetahuan di antara anggota tim yang akan mengembangkan tingkat
keahlian tinggi pada masing–masing anggota tim [2]. Hal ini memastikan bahwa pasien
mendapatkan pelayanan terbaik. Dukungan yang diberikan anggota tim satu sama lain
mengahdapi stres akan memberi kontribusi bagi moral para staf dan memaksimalkan
keterpaduan.

Tim Luka Bakar

Tim Luka Bakar terdiri dari kelompok multidisiplin di mana keterampilan masing–masing
individu saling melengkapi satu sama lain. Anggota tim menyadari keuntungan kerjasama tim
interdisipliner dalam penyelenggaraan pelayanan luka bakar berkualitas [2, 3].

Tenaga Pra–rumah sakit

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


109
7
Petugas ambulans dan layanan rujukan menyediakan pelayananan pra–rumah sakit yang
penting bagi pasien luka bakar dengan pengadaan fasiliats resusitasi cairan, stabilisasi jalan
napas dan transportasi pasien. Penanganan awal pra–rumah sakit memberi kesempatan
pasien luka bakar untuk bertahan hidup dan memperoleh hasil optimal.

Unit Gawat Darurat

Pasien luka bakar dinilai dan memperoleh tatalaksana awal di unit gawat darurat; baik di
rumah sakit yang memiliki unit luka bakar, atau di rumah sakit tanpa unit luka bakar.
Keterkaitan yang baik antara unit luka bakar dan unit gawat darurat sangat penting dalam
pelayanan bekualitas.

Ahli Bedah

Bedah luka bakar telah berkembang menjadi suatu sub–spesialisasi dari bedah plastik, bedah
umum, dan bedah anak. Ahli bedah luka bakar memiliki peminatan khusus dalam pengelolaan
pasien luka bakar kritis, dalam penyembuhan luka, rehabilitasi, dan penelitian terkait [2].

Perawat

Perawat luka bakar merupakan anggota tim yang sangat penting dalam perawatan
berkesinambungan. Perawat luka bakar memiliki keahlian khusus dalam perawatan intensif
luka bakar, perawatan luka, perawatan skin graft, perawatan psikiatrik dan perencanaan rawat
jalan [2].

Anestesi

Bedah luka bakar membutuhkan teknik anestesi khusus yang membantu para ahli bedah
dalam menangani pasien kritis, mengelola perdarahan, dan memaksimalkan area operasi luka
yang dapat ditangani dalam satu kesempatan [2]. Hal ini memberikan kontribusi dalam
penutupan luka bakar dini.

Perawatan Intensif

Banyak pasien luka bakar berat memerlukan perawatan intensif. Hubungan kerja berkualitas
antara unit perawatan intensif dan unit luka bakar merupakan hal yang sangat penting dalam
pelayanan berkualitas.

Fisioterapi, Terapi Okupasi

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


110
8
Terapis sangat berperan dalam perawatan dan rehabilitasi pasien luka bakar [2]. Tindakan ini
dimulai sejak masuk ke unit luka bakar dan berlanjut hingga rawat jalan. Terapi rehabilitatif
pada luka bakar merupakan suatu sub–disiplin tersendiri yang umumnya tidak tersedia pada
fasilitas pelayanan rawat jalan lainnya.

Terapi wicara

Para ahli terapi wicara memberikan pelayanan komprehensif dalam manajemen pasien luka
bakar berat yang disertai gangguan menelan, gangguan bicara dan gangguan komunikasi
akibat luka bakar atau komplikasi sekunder termasuk sepsis, kondisi debil, kontraktur wajah
serta pasien–pasien dengan trakeostomi.

Ahli Gizi

Nutrisi optimal diperlukan untuk mengatasi respon katabolik yang terjadi pada luka bakar [2].
Untuk tujuan itu, para ahli gizi ada di unit luka bakar.

Psikososial

Pekerja Sosial, Psikiater, Psikolog dan rohaniawan merupakan bagian dari tim luka bakar;
memberikan dukungan yang diperlukan dan penatalaksanaan berbagai masalah psikososial
yang dihadapi pasien luka bakar. Masalah–masalah sulit yang dihadapi tersebut memerlukan
penanganan oleh pakar yang memiliki keahlian khusus [2]. Kapasitas pasien menjalankan
fungsi di masyarakat jangka panjang sangat bergantung pada penyesuaian psiko–sosial akibat
kendala fisik yang dialaminya.

Rehabilitasi

Rehabilitasi pasien luka bakar dimulai sejak pasien dirawat [2]; pada luka bakar ringan biasanya
dapat dilaksanakan rawat jalan. Pasien luka bakar berat kerap memerlukan rehabilitasi jauh
lebih intensif untuk tercapainya fungsi maksimal, sehingga dapat kembali ke aktivitas sehari–
hari terutama bekerja. Hubungan yang dekat dengan petugas rehabilitasi dapat memfasilitasi.

Tim luka bakar membuat protokol manajemen optimal yang dapat diterapkan dalam
perawatan dan memberikan dukungan pada setiap anggota tim, optimalisasi pelayanan yang
bersifat profesional, dan memberikan kualitas terbaik perawatan pasien luka bakar [2].

Epidemiologi and Etiologi dari Luka Bakar

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


111
9
A. Epidemiologi
Luka bakar adalah bentuk umum dari trauma [2, 4–6]. Sebagian luka bakar terjadi akibat
kecelakaan murni, tetapi sebagian besar disebabkan oleh kelalaian atau kurangnya perhatian,
kondisi medis yang sudah ada (kondisi yang menyebabkan pasien kolaps), atau penderita
penyalahgunaan alkohol dan narkoba. (Lihat Tabel 1)

Sekitar 1% dari penduduk Australia dan Selandia Baru (220. 000) menderita luka bakar dan
membutuhkan perawatan medis setiap tahunnya. Dari mereka, 10% memerlukan rawat inap,
dan 10% dari tergolong luka bakar berat yang mengancam jiwa. 50% pasien mengalami
keterbatasan dalam kegiatan kehidupan sehari–hari. (Sumber 2001 Survei Kesehatan Nasional
Australia)

Luka bakar 70% mungkin menghabiskan biaya 700. 000 dolar untuk perawatan fase akut,
belum termasuk biaya rehabilitasi, cuti kerja, dan hilangnya kesempatan mendapatkan
penghasilan.

Baik pada dewasa maupun anak–anak, umumnya kecelakaan terjadi di rumah [1, 7]. Pada
anak–anak, lebih dari 80% terjadi di rumah. Lokasi paling berbahaya adalah dapur dan kamar
mandi. Selain itu, larutan pencuci yang mengandung bahan kimia berbahaya, dan garasi atau
gudang berisi bahan kimia dan cairan berbahaya yang mudah terbakar.

Tabel 1
Lokasi Anak Terbakar (%)
Rumah 82%
Luar Rumah 12%
Jalan 3%
Tempat Kerja 1%
Lembaga / Sekolah 1%
Lainnya 1%
(ANZBA Laporan Tahunan Bi–NBR 2011 [8])

Tabel 2
Lokasi Dewasa Terbakar (%)
Rumah 56%
Tempat Kerja 17%
Jalan 11%
Luar Rumah 11%
Lembaga 3%
Lainnya 2%
(ANZBA Laporan Tahunan Bi–NBR 2011 [8])

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


112
10
Cedera yang terjadi di tempat kerja kerap terjadi akibat kecerobohan dan tidak
memperhatikan faktor keamanan, terutama dalam penggunaan cairan yang mudah terbakar.
Perhatian terhadap regulasi kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting untuk mencegah
terajdinya hal ini.

Luka bakar Militer

Lebih kurang dua per tiga luka bakar pada militer tidak berhubungan dengan pertempuran [2].
Kejadiannya sama dengan kecelakaan pada kehidupan sipil.

Luka bakar akibat pertempuran mencapai hanya 10%. Luka bakar akibat ledakan memiliki
risiko tinggi mengyebabkan cedera inhalasi dan kerusakan kulit. Selain itu, trauma multipel
kerap dijumpai.
Segala upaya harus dilakukan agar tentara yang cedera memperoleh pelayanan emergensi
maupun definitif yang sama dengan masyarakat sipil.
Persiapan dan pencegahan saat bertempur, rencana evakuasi dan pemegang kebijakan
penanganan korban, bersamaan dengan logistik dan pemasokan, memerlukan penerapan
protokol manajemen yang sangat berbeda dibandingkan dengan perawatan yang optimal di
masa damai.

B. Etiologi
Pada tabel 3 dan 4 tercantum penyebab luka bakar pada anak–anak dan dewasa yang dirawat
di unit luka bakar di Australia atau Selandia Baru 2009–2010.

Tabel 3
Penyebab Luka Bakar Anak (%)
Air panas 55%
Kontak 21%
Api 13%
Gesekan 8%
Listrik 1%
Kimia 1%
Lainnya 1%
(ANZBA Laporan Tahunan Bi–NBR 2011 [8])

Tabel 4
Penyebab Luka Bakar pada Dewasa (%)
Api 44%
Air panas 28%
Kontak 13%

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


113
11
Kimia 5%
Gesekan 5%
Listrik 2%
Lainnya 3%
(ANZBA Laporan Tahunan Bi–NBR 2011 [8])

Penyebab luka bakar pada dewasa dan anak–anak berbeda. Penyebab umum pada dewasa
adalah api sedangkan pada anak–anak umumnya air panas. Penyebab pada anak–anak yang
berusia lebih besar, umumnya sama dengan pola dewasa.
Semakin tua, pola cedera mereka juga berubah. Orang tua berisiko mengalami luka bakar
karena air panas di rumah atau di rumah jompo (panti wreda).

Pada semua kelompok usia kemungkinan cedera terjadi pada kondisi disharmoni sosial atau
keretakan. Khususnya pada anak–anak, terutama bayi dan balita, yang tergantung pada
dewasa di sekitarnya dalam hal perawatan dan keamanan. Kecelakaan karena kurang
perhatian atau kelalaian, asuhan yang buruk dan sangat penyiksaan anak kerap terjadi; dan
bila dicurigai, perlu penyidikan.

Ringkasan
 Luka bakar yang membutuhkan perhatian medik, melibatkan 1% dari penduduk per tahun.
 Luka bakar umumnya disebabkan oleh kecerobohan dan kurangnya perhatian, serta
pengaruh keracunan obat.
 Sebagian besar luka bakar untuk semua kelompok usia terjadi di rumah.
 Luka bakar dapat merupakan akibat kejahatan pada dewasa dan penyiksaan anak.
Diagnosis yang tepat mengenai cedera ini memerlukan kewaspadaan, dan pelaporan yang
akurat dapat memastikan bahwa bantuan sesuai diberikan pada pasien maupun keluarga.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


114
12
Bab 2

Penilaian dan Tatalaksana


Emergensi
Pendahuluan
Pada kesempatan pertama berjumpa korban, tenaga medis melakukan penilaian cepat dan
penanganan untuk menyelamatkan jiwa [9]. Sementara pasien luka bakar ringan tidak disertai
cedera penyerta, pasien luka bakar berat umumnya disertai cedera lainnya. Berapapun luas
luka bakar yang dialami, ada dua kemungkinan yang dihadapi, cedera non–luka bakar yang
jelas terlihat maupun tersembunyi. Pasien dengan luka bakar ringan disertai cedera non–luka
bakar biasanya dihadapkan pada kemungkinan pertama. Bagaimanapun, umumnya cedera
mengancam jiwa sering terliwatkan dari perhatian dokter yang menangani karena terfokus
luka yang menarik perhatian [9].

Pada anamnesis, petugas medik harus mendapatkan informasi mengenai kemungkinan adanya
cedera lain pada beberapa kondisi di bawah ini [9]:
 Kecelakaan lalu lintas, terutama terlontar pada kecepatan tinggi
 Letusan atau ledakan
 Luka bakar listrik, terutama tegangan tinggi
 Lompat dan jatuh saat terjadi kepanikan

Pasien yang non–komunikatif, baik dalam keadaan tidak sadar, diintubasi, psikotik, atau
berada di bawah pengaruh obat, harus dianggap berpotensi mengalami cedera multipel dan
diperlakukan dengan sesuai dengan kondisi pada cedera multipel.

Setelah pertolongan pertama diberikan, prinsip–prinsip survei primer dan sekunder dan
resusitasi simultan harus diterapkan [2].

Petugas harus mengenakan alat pelindung diri (APD) i seperti sarung tangan, kacamata goggle
dan gaun khusus sebelum menangani pasien [2].

Pertolongan Pertama
Pertolongan pertama terdiri dari:
 Hentikan proses pembakaran
 Turunkan suhu luka

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


115
13
Hal ini efektif dalam 3 jam pertama sejak terbakar (Lihat Bab 7).

Survei Primer
Segera identifikasi kondisi–kondisi mengancam jiwa dan lakukan manajemen emergensi [9,
10]. Jangan terpengaruh oleh luka bakarnya.

A. Penatalaksanan jalan napas dan manajemen tulang servikal


B. Pernapasan dan ventilasi
C. Sirkulasi dengan kontrol perdarahan
D. Disabilitas – Status neurologik
E. Paparan + pengendalian lingkungan

A. Penatalaksanaan jalan napas dan manajemen tulang servikal

 Nilai patensi jalan napas, cara termudah adalah berbicara dengan pasien. Jika tidak paten,
bersihkan jalan napas dari benda asing dan membuka jalan napas dengan manuver chin
lift/jaw thrust. Jaga gerakan tulang servikal seminim mungkin dan jangan melakukan fleksi
dan ekstensi kepala dan leher [2, 9].
 Manajemen tulang belakang servikal (terbaik dengan rigid collar). Adanya cedera di atas
klavikula seperti trauma muka atau tidak sadarkan diri kerap disertai patah tulang
belakang servikal.

B. Pernapasan dan Ventilasi

 Paparkan dada dan pastikan bahwa ekspansi rongga toraks adekuat dan simetri [2].
 Berikan oksigen 100% (15 L/menit) menggunakan non–rebreather mask [2, 9].
 Bila diperlukan, ventilasi menggunakan bag dan sungkup atau, intubasi bila perlu.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


116
14
 Keracunan karbon monoksida dapat menyebabkan pasien bewarna merah–buah cherry,
dan pasien tidak bernapas.
 Hati–hati bila frekuensi pernapasan <10 atau> 30 kali per menit.
 Waspada pada luka bakar melingkar dada dan apakah memerlukan eskarotomi

C. Sirkulasi dan Kontrol Perdarahan

 Lakukan penekanan pada pusat perdarahan


 Pucat menunjukkan kehilangan 30% volume darah.
 Perubahan mental terjadi pada kehilangan 50% volume darah.
 Periksa pulsasi sentral – apakah kuat atau lemah?
 Periksa tekanan darah
 Periksa capillary refill (sentral dan perifer) – normal bila ≤2 detik. Bila >2 detik
menunjukkan hipovolemia atau kebutuhan untuk eskarotomi pada tungkai bersangkutan,
periksa tungkai lainnya.
 Masukkan 2 buah kateter IV berdiameter besar, sebaiknya daerah yang tidak terbakar
(normal)
 Ambil darah untuk pemeriksaan darah lengkap / ureum kreatinin / fungsi hari / koagulasi /
β–hCG / Cross Match / carboxyhaemoglobin [2, 9].
 Bila pasien syok lakukan resusitasi cairan bolus dengan metode Hartmann untuk
memperbaiki pulsasi radialis.
Pertanda klinis–awal syok biasanya ditimbulkan penyebab lain. Carilah dan atasi.

D. Disabilitas: Status Neurologis

 Tetapkan derajat kesadaran:

A– dari Alert (Sadar, waspada)


V– dari Vocal (Respon terhadap rangsang suara)
P– dari Pain (Respon terhadap rangsang nyeri)
U– dari Unresponsive (Tidak memberi respon)

 Lakukan pemriksaan respon pupil terhadap cahaya. Harus cepat dan sama.
 Tanggap terhadap hipoksemia dan syok yang menyebabkan kegelisahan dan penurunan
derajat kesadaran [9].

E. Paparan dan Pengendalian Lingkungan

 Lepaskan semua pakaian dan perhiasan termasuk anting dan jam tangan [2]
 Miringkan pasien untuk visualisasi sisi posterior

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


117
15
 Jaga agar pasien tetap hangat [7, 9]
 Area luka bakar dihitung menggunakan metode Rule of Nines atau palmaris (Rule
of One).

Cairan, Analgesia, Penilaian dan Pipa


Hubungan 'Fatt' antara survei primer dan sekunder.

Resusitasi Cairan
(Lihat Bab 6)

 Cairan inisial diberikan menggunakan rumus Parkland yang dimodifikasi [7, 11–19]:
3–4 mL / kg berat badan / % luas luka bakar + tetes maintenance pada anak–anak
 Kristaloid (misal: larutan Hartmann atau Plasmalyte) adalah cairan yang direkomendasikan.
 Separuh cairan berdasarkan perhitungan diberikan dalam delapan jam pertama, sisanya
diberikan selama enam belas jam berikutnya [3, 12, 15, 19].
 Saat terjadinya trauma ditetapkan sebagai awal resusitasi cairan [7].
 Bila dijumpai perdarahan atau syok non–bakar, perlakukan sesuai pedoman trauma.
 Pantau adekuasi resusitasi [3, 7, 11, 14, 18, 20]:
 Produksi urin melalui kateter per jam
 EKG, denyut nadi, tekanan darah, frekuensi pernapasan, analisis gas darah arterial dan
pulse oxymetri
 Sesuaikan cairan resusitasi sesuai indikasi.

Analgesia [9]

 Nyeri: berikan morfin iv 0. 05–0.1 mg/kg


 Titrasi untuk memperoleh efek (pemberian dosis lebih kecil secara frekuen akan lebih
aman).

Pemeriksaan

 Radiologi
 Tulang belakang servikal
 Toraks
 Panggul
 Pencitraan lain sesuai indikasi klinis

Pipa
• Pemasangan NGT

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


118
16
Insersi NGT pada luka bakar luas (> 10% pada anak–anak,> 20% pada dewasa) bila dijumpai
cedera penyerta, atau untuk melakukan dekompresi saluran cerna. Gastroparesis
merupakan hal yang umum terjadi.

Survei Sekunder
Merupakan pemeriksaan menyeluruh mulai dari kepala sampai kaki. Pemeriksaan dilaksanakan
setelah kondisi mengancam nyawa diyakini tidak ada atau telah diatasi [2].

Riwayat Penyakit:
A – Alergy
M – Medicine (obat–obatan yang baru dikonsumsi)
P – Past illness (penyakit sebelum terjadi trauma)
L – Last meal (makan terakhir)
E – Event (peristiwa yang terjadi saat trauma)

Mekanisme trauma

Informasi yang harus didapatkan mengenai interaksi antara pasien dengan lingkungan:

Luka bakar [9]


 Durasi paparan
 Jenis pakaian yang dikenakan
 Suhu dan kondisi air, jika penyebab luka bakar adalah air panas
 Kecukupan tindakan pertolongan pertama.

Trauma tajam
 Kecepatan proyektil
 Jarak
 Arah gerakan pasien saat terjadi trauma
 Panjang pisau, jarak dimasukkan, arah

Trauma tumpul
 Kecepatan dan arah benturan
 Penggunaan sabuk pengaman
 Jumlah kerusakan kompartemen penumpang
 Ejeksi (terlontar)?
 Jatuh dari ketinggian
 Jenis letupan atau ledakan dan jarak terhempas

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


119
17
Pemeriksaan

Kepala
 Mata . . . luka tembus kerap terlewatkan – Cek ketajaman penglihatan
 Kulit kepala . . . luka tidak beraturan, benda asing

Wajah
 Stabilitas tulang – tulang wajah 1/3 tengah
 Periksa adanya gigi yang hilang /maloklusi
 Kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung, telinga atau mulut
 Jelaga, lepuh, edema lidah atau faring

Leher
 Inspeksi, palpasi, pemeriksaan radiologi. Selalu curigai adanya fraktur servikal
 Luka menembusmuskulus platisma – ruang operasi atau pemeriksaan angiografi

Dada
 Periksa seluruh dada–depan dan belakang
 Tulang iga, klavikula dan tulang dada
 Periksa bising napas dan suara jantung
 Luka bakar melingkar mungkin perlu eskarotomibila menyebabkan restriksi ventilasi
 Batuk yang produktif
 Perubahan suara, parau

Abdomen
 Memperlukan evaluasi berulang untuk menilai nyeri dan distensi abdomen
 Bila dijumpai memar terutama jejas sabuk pengaman, curiga adanya kelainan intra–
abdomen seperti ruptur viskus
 Bila penilaian abdomen tidak dapat jelas, samar atau tidak praktis, misalnya pada luka
bakar di daerah abdomen yang luas, maka investigasi lebih lanjut menggunakann CT scan,
atau Focused Assessment with Sonography for Trauma (FAST) merupakan pemeriksaan
mandatorik.

Perineum
 Jejas, hematoma, darah keluar melalui meatus uretra eksterna

Rektum
 Darah, laserasi, tonus sfingter, prostat mengambang

Vagina
 Benda asing, laserasi

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


120
18
Tungkai
 Kontusio, deformitas, nyeri, krepitus
 Lakukan penilaian pulsasi ekstremitas secara reguler. Pada luka bakar melingkar diikuti
perkembangan edema, awalnya eskar mengnyebabkan terhambatnya aliran balik vena
diikuti terhambatnya aliran arteri yang mengakibatkan iskemia jaringan. Hal ini
mengakibatkan penurunan perfusi ekstremitas diikuti nyeri, parestesia, tidak ada denyut
dan paralisis. Eskarotomi merupakan indikasi saat aliran balik vena ekstremitas terhambat
oleh edema; untuk mengembalikan kecukupan sirkulasi (Lihat Bab 7)
Pelvis
 Diperlukan akses cepat pemeriksaan radiologi di unit gawat darurat untuk menilai
stabilitas tulang pelvis. Bila pemeriksaan raadiologi tidak dimungkinkan, pemeriksaan
stabilitas dengan menekan simfisis dan ilium anterior harus dilakukan. Manuver ini hanya
dapat dilakukan satu kali saja oleh seorang senior.

Pemeriksaan Neurologik
 Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (lihat lampiran)
 Penilaian sensorik dan motorik semua tungkai
 Paralisis atau paresis menunjukkan adanya cedera berat, segera lakukan imobilisasi
menggunakan papan spinal dan semi–rigid collars.
Catatan:
1) Pada pasien luka bakar, paresis tungkai mungkin disebabkan oleh insufisiensi vaskular
akibat eskar yang kaku. Pada kondisi ini, eskarotomi merupakan indikasi.

2) Penurunan tingkat kesadaran bisa disebabkan:


 Hipovolemia akibat pendarahan tak terdiagnosis atau resusitasi yang inadekuat.
 Hipoksemia
 Lesi yang menyebabkan pendesakan ruang intrakranial.

Dokumentasi
 Buatcatatan
 Mintakan persetujuan untuk dokumentasi fotografi dan persetujuan prosedur
 Berikan profilaksis tetanus jika diperlukan (lihat lampiran) [21]

Re–evaluasi
Re–evaluasi Survei Primer – khususnya untuk:
 Gangguan pernapasan
 Insufisiensi sirkulasi perifer
 Gangguan neurologis
 Kecukupan resusitasi cairan
 Penilaian radiologi: foto radiologi toraks

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


121
19
 Warna urine untuk deteksi haemochromogens
 Pemeriksaan laboratorium:
 Hemoglobin / hematokrit
 Urea / kreatinin
 Elektrolit
 Urine mikroskopik
 Analisis gas darah
 Karboksihaemoglobin (jika tersedia)
 Kadar gula darah
 Skrining obat (mungkin diperlukan oleh Polisi)
 Elektrokardiogram

Perawatan Emergensi Luka


(Lihat Bab 7)

Umumnya, luka bakar steril saat luka bakar terjadi. Perawatan luka bakar berlebihan
menggunakan balutan modern tidak diperlukan bahkan hal ini menyebabkan penanganan yang
memerlukan prioritas tertunda. Tindakan yang tepat untuk penatalaksanaan luka adalah
menutupinya dengan penutup plastik atau kain bersih dan mengatur prosedur evakuasi [22].
Bila rujukan pasien tertunda lebih dari 8 jam, atau pada luka telah terkontaminasi air tercemar
atau limbah industri, maka antimikroba topikal harus digunakan. Bersihkan luka dan konsultasi
ke unit luka bakar rujukan untuk balutan yang dianjurkan. Umumnya direkomendasikan
pembalut antimikroba antimikroba yang mengandung silver atau krim silver sulfadiazin.

Jangan menggunakan balut tekan yang memperberat gangguan sirkulasi pada tungkai yang
sebelumnya memang sudah terganggu. Balutan harus sesering mungkin dibuka untuk
menghilangkan konstriksi.

Luka Bakar Listrik


(Lihat Bab 10)

Konduksi arus listrik melalui dada menyebabkan aritmia jantung sepintas atau henti jantung;
meski hal ini jarang terjadi pada tegangan rendah (<1000 V). Pasien sengatan listrik tegangan
tinggi, penurunan kesadaran atau memiliki EKG abnormal saat masuk rumah sakit mungkin
memerlukan pemantauan EKG 24 jam [23]. Gangguan ritmik jantung lebih mungkin terjadi
pada pasien yang memiliki gangguan jantung sebelumnya.

Selalu ingat bahwa luka masuk atau luka keluar yang lebih kecil dapat disertai kerusakan
jaringan yang berat.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


122
20
Luka Bakar Kimia
(Lihat Bab 11)

Bila dijumpai residu bahan kimia di kulit, proses pembakaran akan terus berlanjut. Karenanya,
pakaian yang terkontaminasi harus dibuka dan luka dicuci menggunakan sejumlah besar air
dalam waktu cukup lama [24]. Informasi khusus untuk keracunan zat kimia dapat
menghubungi Poisons Information Australia (13 11 26) danNew Zealand National Poisons
Centre (0800 764 766).

Luka bakar kimia pada mata memerlukan pembilasan secara kontinu menggunakan air. Adanya
pembengkakan kelopak mata dan spasme otot disertai nyeri akan menghalangi pencucian
adekuat. Untuk irigasi kadang diperlukan prosedur retraksi kelopak mata yang baik, konsultasi
dengan oftalmologi pada kasus ini sangat diperlukan.

Dukungan pada pasien, dan keluarga


Luka bakar kerap diikuti gangguan emosional baik pada pasien maupun keluarga dan
kerabatnya [25].
Kesedihan dan kehilangan merupakan hal yang lazim, kadang disertai rasa bersalah atau
menyalahkan diri, ketakutan, depresi atau amarah. Kesemuanya ini perlu diatasi.

Bakar diri merupakan suatu cara tersering yang diambil dalam upaya bunuh diri. Pasien ini
dalam masa kritisnya memerlukan penanganan yang simpatik dan konseling.
Penggunaan narkotik dosis tinggi dan intubasi yang tidak tepat akan menghalangi aspek
terpenting pada manajemen di fase terminal. Hal ini juga menjadikan hubungan harmonik di
akhir hayat dengan keluarga tidak dimungkinkan. Untuk itu, komunikasi yang baik perlu
diupayakan. Sedangkan untuk kasus–kasus yang bersifat non–fatal diperlukan bantuan
psikiatrik dalam mencegah upaya bunuh diri terulang kembali.

Beberapa kasus dengan kelainan kepribadian atau di bawah pengaruh zat toksik sering
menunjukkan sikap kasar saat manajemen emergensi, hal ini memerlukan perhatian khusus
untuk tidak mencelakai diri sendiri maupun orang lain. Bantuan tenaga dari disiplin ilmu
lainnya (dalam hal ini konsultasi psikiatri) mungkin diperlukan untuk dapat menagani pasien–
pasien ini dengan aman.
Lain halnya pada kasus anak, uraian mengenai mekanisme trauma sulit diperoleh dan
kemungkinan penyebabk non–aksidental harus dipikirkan. Dokumentasi akurat merupakan hal
yang sangat penting dan melaporkan pada yang berwajib merupakan proses yang harus
dijalankan untuk penyidikan lebih lanjut [7].

Perawatan definitif

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


123
21
Perawatan definitif luka bakar dijelaskan lebih lanjut pada buku pegangan ini. Rujukan ke unit
luka bakar dengan perawatan spesialistik multidisipliner mengacu pada kriteria rujukan dari
ANZBA (Lihat Bab 8)

Ringkasan
Luka bakar sendiri mungkin hanya sebagian dari masalah yang dihadapi; trauma lain sangat
mungkin dijumpai dan ditatalaksanai sesuai survei primer dan sekunder – ABC traumatologi.
Demikian pula mengenai perawatan definitif dan kriteria rujukan.

Pada luka bakar terutama dengan trauma penyerta lainnya, beberapa hal di bawah ini perlu
dilakukan evaluasi secara teratur:
 Gangguan jalan napas dan proses pengembangan rongga dada dalam mekanisme
bernapas, terutama karena adanya eskar
 Kecukupan resusitasi cairan
 Insufisiensi sirkulasi perifer karena adanya luka bakar melingkar, edema dan balutan
 Gangguan neurologik
 Perdarahan di dalam rongga

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


124
22
Bab 3

Respon Lokal dan Sistemik


pada Luka Bakar
A. Respon Lokal
Jackson di Birmingham pada tahun 1950 melakukan studi eksperimental dengan menciptakan
model luka bakar yang selanjutnya memperkaya pemahaman mengenai patofisiologi luka
bakar[26–32].

Gambar 3. 1 Luka Bakar model Jackson

Gambar 3. 1 Menunjukkan model luka bakar. Pada daerah yang paling dekat dekat sumber
termal (atau penyebab lainnya), panas tidak dapat dikonduksi secara cepat dan baik, sehingga
terjadi koagulasi protein sel; selanjutnya terjadi kematian sel yang berlangsung sangat cepat.
Daerah ini disebut zona koagulasi atau zona nekrosis (atau zona nekrosis koagulatif) [25, 26,
29, 32, 33].

Di sekitar zona koagulasi adalah daerah dengan kerusakan tidak seberat zona pertama, namun
sirkulasi di daerah tersebut mengalami kerusakan diikuti gangguan mikrosirkulasi. Dengan
terhambatnya mikrosirkulasi, daerah ini disebut zona statis [25, 26, 29, 32]. Bila tidak
ditatalaksanai dengan baik, maka daerah yang cukup luas ini akan mengalami nekrosis saat
dilepaskannya mediator–mediator inflamasi sebagai respon terhadap jaringan yang rusak [29].
Secara klinis, hal ini disebut sebagai degradasi luka (bertambah dalamnya luka bakar). Dalam
3–5 hari pasca luka bakar, luka yang awalnya terlihat vital akan tampak nekrotik. [32].

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


125
23
Di sekitar zona stasis adalah suatu daerah dimana jaringan melepaskan mediator–mediator
inflamasi yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Daerah ini terlihat kemerahan dan
disebut zona hiperemia [25, 26, 29, 32]. Dengan kembalinya respon vaskular yang bersifat
hiperdinamik, daerah ini akan kembalii normal [27, 34].
Pada luka bakar yang mencakup luas melebihi 10% pada anak atau 20% pada dewasa, zona
hiperemia sangat mungkin terjadi di seluruh tubuh.

Kondisi ketiga zona ini berbeda pada setiap luka itu bakar. Kadang zona statis mencapai
kedalaman dermis namun disertai gangguan vaskular yang progresif pada zona nekrosis
sehingga hal ini menyebabkan luka bakar dalam. (lihatgambar 5. 4) Hal ini umumnya dijumpai
pada orang tua dan pasien–pasien luka bakar (maupun sudah mengalami sepsis) dengan
perawatan luka yang tidak tepat. [14]. Dengan demikian, waktu dan penatalaksanaan tindakan
emergensi yang efektif sangat berperan pada proses penyembuhan luka.

B. Responsistemik

1. Permeabilitas kapiler dalam keadaan normal

1) Suatu zat dapat melintas dinding pembuluh kapiler melalui tiga cara: difusi, filtrasi dan
transport molekul.
a) Difusi. Partikel berukuran sangat kecil misalnya oksigen, karbondioksida dan natrium
akan melintasi dinding pembuluh kapiler (membran) dengan mudah dan berhubungan
dengan konsentrasi zat bersangkutan (dari arah konsentrasi tinggi ke konsentrasi
rendah).
b) Filtrasi adalah suatu mekanisme perpindahan air dan zat lainnya. Sejumlah air
terfiltrasi melalui kapiler tergantung pada daya dorong menembus dinding kapiler.
Daya yang menyebabkan pergerakan air tersebut dijelaskan pada hukum Starling [2,
32] (lihat footnote)1.
c) Transpor molekul besar sangat minim dimengerti. Transpor mungkin berlangsung
melalui ruang yang terbentuk di antara sel–sel endotel. Umumnya pembuluh kapiler
memiliki karakteristik ini (mudah ditembus oleh suatu molekul) sehingga disebut
semipermeabel (permeabelterhadap air dan partikel kecil seperti Na dan Cl, namun
relatif impermeabel terhadap molekul besar misalnya albumin). Namun, faktanya
50%––100% serum albumin melintas kapiler dan kembali ke sirkulasi melalui sistem
limfatik dalam sehari.

1
Hukum Starlingmenyatakan bahwa pergerakan cairan netoadalah perbedaan antara gaya yang mendorong cairan
keluar (tekanan hidrostatik dalam kapiler mendorong cairan keluar intravaskular disertai tekanan osmotik cairan
interstisium yang menarik cairan keluar ruang intravaskular) dengan gaya yang mendorong cairan masuk ke ruang
intravaskular (tekanan hidrostatikdi ruang interstisium mendorong cairan masuk kembali ke ruang intravaskular
disertai tekanan osmotik cairan plasma menarik cairan interstisium masuk ke ruang intravaskular).

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


126
24
2) Variasi normal filtrasi dimungkinkan terjadi karena peran beberapa faktor dinding kapiler
(misalnya, pembuluh kapiler di ginjal lebih banyak dapat dilintasi air, dibandingkan
pembuluh kapiler pada otot) sebagai faktor yang dijelaskan pada hukum Starling. Tekanan
hidrostatik pada pembuluh kapiler tergantung pada tekanan darah yang mengalir dan
tekanan yang menahan (resistance) darah untuk keluar (masing–masing dikendalikan oleh
sfingter pre– dan post–kapiler). Pada keadaan normal, pembuluh kapiler dilalui oleh
sirkulasi darah secara aktif, dengan interval periode panjang aliran yang rendah diikuti
tekanan yang rendah. Tekanan osmotik koloid plasma yang terutama dipengaruhi
konsentrasi albumin sedangkan tekanan osmotik koloid cairan interstisium dipengaruhi
albumin dan substansi dasar yang terdapat di antara sel–sel.

2. Peningkatan permeabilitas kapiler

Perubahan ini terjadi karena dilepaskannya mediator–mediator inflamasi oleh sel–sel endotel
yang rusak, trombosit dan leukosit.

1) Vasodilatasi merupakan suatu respon vaskular utama pada proses inflamasi dan
menyebabkan[32]:
a) Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler
b) Terbukanya semua pembuluh kapiler; tidak hanya sebagian.
c) Meregangnya dinding kapiler yang meningkatkan area permukaan membran kapiler
dan terbentuknya celah di antara sel–sel endotel.
d) Berkumpulnya darah di pembuluh vena kecil.

2) Terjadi peningkatan permeabilitas membran kapiler yang nyata [7, 18]. Hal ini
menyebabkan peningkatan transpor zat melalui ketiga mekanisme, yaitu difusi, filtrasti
dan transpor molekul. Namun, mekanisme ketiga yang tampaknya paling dipengaruhi,
kemudian diikuti oleh meningkatnya perpindahan albumin melintas membran kapiler
(kebocoran). Perpindahan cairan disertai albumin ke ruang interstisium mengalami
akumulasi menyebabkan edema.

3) Kerusakan jaringan akibat paparan terhadap sumber termal menyebabkan terurainya


substansi dasar intersel. Hal ini mempercepat peningkatan tekanan osmotik koloid di
ruang interstisium; yang dapat diamati secara eksperimental. Efek lainnya dari luka bakar
substansi dasar intersel adalah terurainya molekul yang diduga berperan menyebabkan
ekspansi ruang diikuti penurunan tekanan hidrostatik.

3. Efek Sistemik

Pada luka bakar dijumpai perubahan pada semua organ sistem yang nyata [25].
Bagaimanapun, pada luka bakar dengan luas <20% efek dimaksud tidak terlalu bermakna [20].

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


127
25
Perubahan ini terjadi karena dilepaskannya mediator inflamasi dan rangsang neural, yang
menyebabkan perubahan dalam pengendalian fungsi tubuh akibat reaksi langsung terhadap
mediator di sirkulasi.
1) Efek langsung yang nyata pada sirkulasi. Hipovolemia terjadi karena kebocoran cairan dan
protein ke jaringan interstisium. Albumin menngalami kebocoran akibat peningkatan
permeabilitas kapiler di daerah luka bakar. Pada luka bakar dengn luas >20%, seluruh
sirkulasi sistemik dipengaruhi dengan akibat peningkatan permeabilitas kapiler sistemik.
Koreksi hipovolemia merupakan tindakan life saving pada jam pertama pada luka bakar
berat [16, 18, 27, 35–40].
2) Pada luka bakar berlangsung kondisi hipermetabolik yang disebabkan sekresi hormon
stres seperti kortisol, katekolamin danglukagon disertai supresi (atau resistensi) hormon
anabolik (growth hormone, insulin dansteroid) dan mekanisme sarafi yang menyebabkan
katabolisme dan mengakibatkan penguraian protein otot [25]. Perubahan–perubahan, ini
dapat diamati secara klinis dengan adanya takikardia, hipertermia dan balans protein
negatif.
3) Imunosupresi akibat depresi berbagai mekanisme imun, baik seluler maupun humoral
[25]. Hal ini menjelaskan, mengapa infeksi merupakan faktor penyebab tingginya
mortalitas pada luka bakar
4) Sebagai bagian dari respon terhdap trauma dan syok, fungsi barier usus terganggu
demikian nyata, diikuti translokasi bakteri. Kejadian ini dapat dihindari dan dicegah
dengan penerapan pemberian nutrisi enteral dini.
5) Paru kerap mengalami perubahan inflamatorik yaitu Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) meski tanpa cedera inhalasi [25, 41].
6) Perubahan sistemik yang melibatkan gangguan pertumbuhan terjadi dan dapat dijumpai
selama beberapa bulan hingga beberapa tahun pasca luka bakar setelah penyembuhan
luka. Respons yang dijumpai berupa deposisi lemak, gangguan pertumbuhan massa otot,
berkurangnya mineralisasi tulang dan terhambatnya pertumbuhan longitudinal tubuh.
Meski kecepatan pertumbuhan kembali normal dalam waktu 1–3 tahun, namun
pertumbuhan normal secara keseluruhan tidak pernah tercapai.

Ringkasan
 Efek lokal terhadap cedera termal pada kulit dan jaringan subkutan terlihat sebagai tiga
zona kerusakan. Progresivitas zona nekrosis merupakan hal yang lazim dan berkaitan
dengan tatalaksana awal.
 Peningkatan permeabilitas kapiler diikuti edema dan penurunan kadar albumin dari darah
sirkulasi.
 Luka bakar menyebabkan gangguan sirkulasi sistemik, gangguan metabolisme,
pengendalian suhu, status imun, fungsi usus, gangguan paru dan gangguan pertumbuhan
jangka panjang.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


128
26
Bab 4

Cedera Inhalasi
Terhirupnya uap panas dan atau produk pembakaran menyebabkan kerusakan traktus
respiratorius dalam berbagai cara [2, 42]. Lebih lanjut, absorpsi produk pembakaran
menimbulkan efek toksik yang serius, baik lokal maupun sistemik.

Cedera inhalasi diikuti tingginya mortalitas pada luka bakar [41–49]. Dengan adanya cedera
inhalasi, angka mortalitas luka bakar meningkat 30% diikuti risiko timbulnya pneumonia [46].
Bila dijumpai pneumonia, angka mortalitas meningkat hingga 60%. Pada anak–anak, luka bakar
dengan luas 50% disertai cedera inhalasi memiliki mortalitas yang sama dengan luas 73% tanpa
cedera inhalasi [50].

Cedera inhalasi yang sebelumnya disebut luka bakar traktus respiratorius, kerap menyertai
luka bakar di daerah kepala dan leher. Lebih kurang 45% luka bakar pada muka, disertai cedera
inhalasi.

Klasifikasi cedera inhalasi


Cedera inhalasi dibagi menurut lokasi cedera [2].

1. Kerusakan jalan napas di atas laring (obstruksi)


2. Kerusakan jalan napas di bawah laring (kerusakan pulmoner)
3. Intoksikasi sistemik (hipoksia sel)
Seorang pasien dapat menderita satu atau kombinasi ketiga jenis kelainan yang disebutkan di
atas.

Manajemen jalan napas bertujuan untuk mempertahankan patensi dan melindungi jalan
napas. Pada gagal napas, jalan napas harus diamankan untuk memperbaiki oksigenasi dan
ventilasi.

1. Cedera jalan napas di atas laring (obstruksi)

Cedera jalan napas di daerah ini umumnya disebabkan oleh terhirupnya uap panas, terutama
pada mereka yang terpaksa menghirupnya tanpa ada pilihan lain. Hal ini dimungkinkan terjadi
saat seorang terperangkap di ruang tertutup pada ruang yang terpenuhi oleh api maupun uap
panas.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


129
27
Perubahan patologik yang terjadi adalah sama dengan yang terjadi di kulit; dengan kerusakan
sesuai proporsinya. Dilepaskannya mediator inflamasi pasca paparan ini menyebabkan edema
yang awalnya mengakibatkan obstruksi, selanjutnya menyebabkan hilangnya fungsi proteksi
mukosa. [42].

Obstruksi jalan napas akibat edema ini dapat menetap, melampaui batas waktu edema pada
luka (umumnya antara 12–36 jam). Edema di kulit leher kerap memperberat obstruksi [2]. Hal
ini lebih sering dijumpai pada anak–anak yang memiliki jalan napas lebih sempit disamping
leher yang pendek, sehingga edema sangat cepat menimbulkan abnormalitas.

Harus selalu diingat, bahwa luka bakar yang mencakup luas lebih dari 20% permukaan tubuh,
kerap dijumpai respon inflamasi sistemik. Meski tidak ada cedera langsung pada jalan napas,
mukosa mengalami edema, terutama kasus–kasus yang memerlukan cairan dalam jumlah
besar untuk tujuan resusitasi; hal ini akan memperburuk kondisi jalan napas.

Jalan napas bagian atas memiliki kemampuan lebih efektif untuk menyalurkan panas pada
paparan termal dibandingkan saluran napas bagian bawah.

2. Cedera jalan napas di bawah laring (kerusakan pulmonar)

Perubahan patologik terjadi akibat terhirupnya produk pembakaran. Api menyebabkan


oksidasi dan reduksi dari komponen yang mengandung karbon, sulfur, fosfor dan nitrogen.
Komponen kimiawi yang terbentuk antara lain adalah karbon mono–oksida,karbon dioksida,
sianida, ester dan komponen organik kompleks seperti amonia, fosgen, hidrogen klorida [42].
Polyvinyl chloride (PVC), misalnya, saat terbakar menghasilkan sekurangnya 75 macam zat
toksik potensial yang berbahaya untuk jalan napas [51]. Asam dan basa dihasilkan saat
komponen ini terlarut di dalam cairan yang ada di saluran napas (mukus, dsb). Zat–zat ini
selanjutnya menyebabkan luka bakar kimia.
Disamping itu, partikel berukuran kurang dari 1µm yang terhirup mengandung zat kimia yang
bersifat iritan dan menyebabkan kerusakan alveolus [42]. Zat–zat kimia ini, saat kontak dengan
mukosa dan parenkim paru menginisiasi produksi mediator inflamasi dan reactive oxygen
species. Kondisi ini memicu edema dan memiliki potensi melapisimukosa trakea–bronkus.
Jalan napas bagian bawah juga terpapar pada kemungkinan terbentuknya cast dan sumbatan
yang mengakibatkan obstruksi. Selanjutnya, parenkim paru mengalami kerusakan. Terjadi
disrupsi membran alveolar–kapilar, terbentuknya eksudat inflamasidan hilangnya surfaktan.
Kondisi ini menyebabkan atelektasis, edema interstisium dan edema paru yang mengakibatkan
hipoksemia dan menurunnya compliance paru [51, 52].

Faktor–faktor berepran pada kerusakan paru yang mengakibatkan gangguan pertukaran gas
antara lain[47]:

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


130
28
3. Intoksikasi sistemik

Terdapat dua penyebab intoksikasi pada cedera inhalasi, yaitu karbon mono–oksida dan
sianida [42]. Keduanya menyebabkan oksidasi karbon inkomplit.

Carbon monoxide (CO)


Merupakan gas tidak bewarna dan tidak berbau yang sangat cepat masuk ke aliran darah dan
mengalami difusi dengan hemoglobin (Hb), karena memiliki afinitas terhadap hemoglobin 240
kali lebih besar dibandingkan dengan oksigen; selanjutnya membentuk carboxyhaemoglobin
(COHb). Ikatan ini menurunkan efektivitas kemampuan darah mengikat oksigen karena
menempati oxygen–binding site untuk duatu kurun waktu yang panjang. CO menyebabkan
hipoksia jaringan dengan cara mengurangi oxygen delivery dan utilisasi di tingkat sel [42].

Selain mengikat hemoglobin, CO juga memiliki afinitas kuat untuk berikatan dengan komponen
selain haem–, diantaranya yang sangat penting adalah sistem cytochrome intrasel. Ikatan ini
memiliki dampak toksik langsung diikuti abnormalitas fungsi sel sebagai komponen utama
toksisitas CO. [53]. Pada intoksikasi CO ini, ensefalopati merupakan gejala sisa (sequelae) yang
serius; meski mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun diduga kuat terjadi akibat
proses peroksidasi lipid serebral.

Kadar oksigen terlarut dalam plasma tidak terpengaruhi, sehingga kerap dijumpai nilai
PaO2dalam batas normal. Indikator hipoksia umumnya tidak menghadirkan informasi adanya
hipoksia.

Hemoglobin yang tidak berikatan dengan O2 menyebabkan perubahan warna kulit menjadi
kebiruan (sianosis). COHb menunjukkan perubahan warna merah muda (cherry red)

Pemeriksaan oksimetri standar tidak dapat membedakan oxyhaemoglobin dengan


carboxyhaemoglobin sehingga jarang digunakan pada metode asesmen pada keracunan CO.
Analisis gas darah dengan co–oximetry merupakan satu–satunya metode yang dapat
diandalkan untuk menilai kadar oxyhaemoglobin dan carboxyhaemoglobin [54].
Carboxyhaemoglobin mengalami disosiasi lambat, dengan waktu paruh 250 menit pada suhu
kamar.
Penderita dengan intoksikasi CO kerap mengalami confusion dan disorientasi, menunjukkan
gejala serupa dengan hipoksia, cedera kepala dan keracunan alkohol.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


131
29
Tabel 4. 1 Intoksikasi karbon monoksida[9, 42, 53]

Carboxyhaemoglobin (%) Gejala


0 ––15 Tidak ada – (Perokok, pekerja tambang)
15 –– 20 Nyeri kepala, Confusion
20 ––40 Nausea, Fatigue, Disorientasi, Iritabel
40 ––60 Halusinasi, Ataksia, Sinkop, konvulsi, koma
> 60 Meninggal

Pasien luka bakar dengan perubahan status kesadaran harus dianggap mengalami intoksikasi
CO hinggaterbukti tidak.

Keracunan sianida (HCN)


Terjadi karena produksi hidrogen sianida akibat terbakarnya plastik [2] atau lem yang
digunakan untuk furnitur. Zat ini diabsorbsi melalui paru dan berikatan dengan sistem
cytochrome. Fungsi cytochrome terhambat mengakibatkan berlangsungnya metabolisme
anaerob. Secara bertahap dimetabolisme oleh enzim hati (rhodenase). Kadar sianida dalam
darah hampir tidak dapat dideteksi dan maknanya masih diperdebatkan. Pada perokok
kadarnya mencapai 0. 1mg/L, dan diketahui bahwa kadar letal mencapai 1. 0 mg/L. Gejala yang
ditimbulkannya antara lain hilangnya kesadaran, neurotoksitas dan konvulsi. Pada praktek
sehari–hari, keracunan sianida termasuk jarang terjadi, kerap dijumpai bersama intoksikasi CO.

Diagnosis cedera inhalasi


Semua kasus luka bakar harus menjalani pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya cedera
inhalasi. Karena gejala dan tanda mungkin baru dijumpai setelah suatu kurun waktu tertentu,
sebagaimana pada semua trauma, harus dilakukan evaluasi ulang setiap saat karena memiliki
potensi berakhir fatal [41, 42, 47, 48].
Pasien dengan cedera inhalasi mungkin mengalami distres pernapasan berat pada fase awal di
tempat kejadian. Kematian awal dapat terjadi dan dalam kondisi seperti ini resusitasi jalan
napas sangat diperlukan sebagai prosedur penyelamatan jiwa [42]. Distres pernapasan di
tempat kejadian dapat terjadi karena anoksia, hal ini disebabkan karena oksigen terpakai pada
proses pembakaran. Intoksikasi harus dicurigai kaerna merupakan penyebab utama kematian
di tempat kejadian; dengan skenario terselubung oleh sisa pembakaran (toxic fumes).

Gambaran umum pada cedera inhalasi adalah obstruksi jalan napas yang semakin hebat dan
terjadi dalam beberapa jam. Untuk itu, dibutuhkan kewaspadaan penuh dalam deteksi. Hal ini
umumnya dijumpai pada obstruksi di atas laring. Sedangkan kecurigaan adanya obstruksi di
bawah laring timbul bila dijumpai pasien gelisah dan confusion.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


132
30
Anamnesis

Riwayat terbakar di ruang tertutup atau adanya ledakan bahan bakar (bensin, gas), ledakan
bom harus dicurigai adanya cedera inhalasi. [42].

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan berikut menunjukkan adanya kecurigaan cedera inhalasi[2, 24, 42, 55]:
Hal yang diobservasi Yang didengar
Luka bakar di rongga mulut, hidung dan Perubahan suara
faring,
Bulu hidung terbakar Suara parau dengan batuk
berdahak
Sputum mengandung sisa karbon Napas pendek
Nostril datar Stridor Inspirasi
Kesulitan bernapas Batuk produktif
Tracheal Tug
Fosa supraklavikula mendatar
Retraksi iga

Gejala dan tanda dapat berubah dengan berjalannya waktu tergantung letak cedera. Indikasi
adanya perubahan dimaksud terlihat pada tabel 4. 2 berikut.

Tabel 4. 2 Perubahan gambaran klinik cedera inhalasi sesuai perubahan waktu

Jenis inhalasi Periode waktu Gejala dan tanda


1. Di atas laring 4 –24 jam Bertambahnya stridor
Suara parau atau melemah
Batuk basah
Gelisah
Kesulitan bernapas
Obstruksi jalan napas
Kematian
2. Di bawah i. Segera Gelisah
laring
Anoksia yang mengancam jiwa
Kematian
ii. Timbul bertahap Bertambahnya hipoksia
12 jam – 5 hari Edema paru /ARDS
Gagal pernapasan

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


133
31
3. Intoksikasi Meninggal di tempat
Perburukan awal Penurunan kesadaran
Stupor
Perbaikan dengan berjalannya Confusion
waktu Drowsiness
Poor Mentation
Gangguan visual
Nyeri kepala

Cedera inhalasi dan intoksikasi sistemik


Intoksikasi sistemik dicurigai secara klinis sejak awal [48]. Setiap penderita dengan
confusionatau penurunan kesadaran pasca trauma termal atau inhalasi produk pembakaran
dianggap mengalami intoksikasi CO sampai terbukti tidak.

Diagnosis dikonfirmasi oleh adanya COHb di dalam darah [48]. Kadar CO yang diestimasi saat
datang mungkin tidak memiliki korelasi dengan gejala pada susunan saraf pusat akibat
intoksikasi CO. Mungkin dijumpai kadarnya demikian rendah karena terjadi pembersihan CO
dari darah saat masuk rumah sakit. Meski demikian pemeriksaan dapat menunjukkan bahwa
intoksikasitelah terjadi.

Tatalaksana
Tatalaksana cedera inhalasi terfokus pada prioritas sebagai berikut:
 Patensi jalan napas
 Oksigen tinggi
 Pemantauan gangguan respirasi secara frekuen
 Diskusikan kecurigaan adanya intoksikasi sistemik (CO, HCN) dengan ahli toksikologidi
Poisons Information (Australia – 13 11 26, New Zealand – 0800 764 766)

Pada asesmen awal (survei primer), berikan oksigen dosis tinggi (15L/menit) menggunakan non
re–breathing mask [9]. Hal ini akan memfasilitasi oksigenasi jaringan selama asesmen dan
tatalaksana berikutnya. Patensi jalan napas mutlak diperlukan untuk sampainya oksigen ke
paru.

1. Tatalaksana cedera inhalasi di atas laring

Proteksi tulang belakang servikal bersifat mandatorik. Semua penderita dengan kecurigaan
cedera inhalasi harus diobservasi secara ketat. Karena obstruksi yang berlangsung progresif

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


134
32
dan cepat sangat mungkin terjadi (terutama pada anak–anak dimana jalan napas relatif
pendek dan kecil), maka peralatan emergensi untuk prosedur intubasi harus disiapkan [55].
Asesmen mengenai kondidi klinik penderita secara frekuen menjadi sangat penting karenanya.
Bila dijumpai obstruksi, segera amankan jalan napas dengan intubasi endotrakea.
Intubasi harus dikerjakan segera. Keterlambatan akan diikuti edema jalan napas semakin berat
yang menyebabkan kesulitan dalam prosedur intubasi. Stridor dan distres pernapasan
merupakan indikasi intubasi.

Indikasi intubasi:
 Kebutuhan mempertahankan patensi jalan napas / proteksi jalan napas
 Obstruksi mengancam
 Penurunan tingkat kesadaran
 Fasilitasi transpor penderita
 Kebutuhan untuk penggunaan ventilator
 Oksigenasi terganggu
Bila dijumpai keraguan, intubasi.

2. Tatalaksana cedera inhalasi di bawah laring

Tatalaksana ditujukan sebagai penopang respirasi:


a. Oksgen dosis tinggi
Pada semua penderita luka bakar harus diberikan oksigen dosis tinggi (15 L/menit)
menggunakannon–re–breathing mask. Hal ini terutama diperlukan pada kecurigaan
mengenai parenkim paru.
b. Intubasi[9, 55]
Intubasi endotrakea diperlukan untuk memfasilitasi pencucian brokus (bronchialtoilet)
untuk mengatasi hipersekresi, sehingga pemberian oksigen efektif
c. Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV)
Hal ini menjadi penting bila oksigenasi pada penderita tidak menunjukkan respon pada
pemberian oksigen melalui prosedur sederhana sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Karena itu diperlukan ventilasi manual menggunakan bag yang terpasang pada pipa
endotrakea dan pasokan oksigen, atau menggunakan ventilator mekanik.

3. Tatalaksana pada cedera inhalasi dengan intoksikasi sistemik

a. Topangan respirasi
Penting untuk meyakinkan bahwa jaringan mendapatkan perfusi oksigen sebayak
mungkin. Untuk itu dilakukan pemberian oksigen dosis tinggi (15 L/menit) menggunakan
non–re–breathing mask. [9].
b. Proteksi pada penderita tidak sadar

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


135
33
Penurunan kesadaran terjadi akibat respon intoksikasi sistemik. Tatalaksana emergensi
termasuk mengupayakan posisi penderita miring ke sisi kiri diikuti pemberian oksigen.
Proteksi tulang belakang servikal jangan pernah dilupakan. Jalan napas diamankan,
mulanya dengan prosedur chin lift, dilanjutkan dengan pemasangan oropharyngeal
airway, namun yang terpenting adalah pemasangan intubasi endotrakea.
c. Efek pencucianalamidengan berjalannya waktu
CO dieliminasi bertahap dari darah melalui difusi di alveoli. Waktu yang diperlukan adalah
saat bernapas lambat pada suhu ruangan dengan tekanan atmosfir, namun akan
berkurang dengan meningkatkan konsentrasi oksigen. Bila tersedia, berikan oksigen
dengan tekanan hiperbarik untuk tujuan pencucian CO [2] meski masih dijumpai keraguan
evidencedalam perbaikan neurologik.
d. Oksigen
Tatalaksana emergensi standar adalah menghembuskan oksigen 100% menggunakan
sungkup (mask) [2, 9]. Proedur ini dilanjutkan hingga kadar COHb kembali normal.
Prosedur pencucian COsekunderpada ikatannya dengancytochrome hanya akan
menyebabkan peningkatan kecil kadar COHb dalam 24 jam berikutnya, dan pemberian
oksigen dalam hal ini harus dilanjutkan
e. Oksigen + IPPV
Modalitas ini diperlukan pada penderita tidak sadar, atau cedera inhalasi dengan respon
intoksikasi sistemik.
f. Intoksikasi sianida
Intoksikasi sianida kerap bersifat fatal. Prosedur eliminasi sianida di hepar berlangsung
sangat lambat. Meski pemberian hydroxycobolamindosis tinggi dalam bentuk injeksi
dianjurkan, namun pada umumnya tidak tersedia di instalasi gawat darurat.
g. Intoksikasi Hidrogen Fluorida (HF)
Bila HF diabsorbsi sistemik, akan memengaruhi efisiensi kalsium serum. Hal ini akan
mengakibatkan hipokalsaemia. Pemberian cairan yang ditambahkan kalsium akan
melawan efek negatif HF.

HubungiPoisons Information Australia (13 11 26) atau New Zealand National Poisons Centre
(0800 764 766) untuk informasi mengenai intoksikasi sianida, hydrofluoric acid, dan lainnya.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


136
34
Ringkasan
 Cedera inhalasi dan respon intoksikasi sistemik merupakan suatu keadaan berpotensi fatal.
 Diagnosis tergantung adanya kecurigaan klinik yang diperoleh dari anamnesis dan deteksi
gejala serta tanda pada pemeriksaan.
 Tatalaksana emergensi terdiri dari upaya menopang respirasi dengan pemberian oksigen
dan pengamanan jalan napas, disertai insersi pipa endotrakea bila diperlukan.
 Penderita dengan cedera inhalasi atai dengan kecurigaan cedera inhalasi harus dirujuk ke
unit luka bakar untuk memperoleh tindakan sesuai setelah stabilisasi.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


137
35
Bab 5

Asesmen Luka
Introduksi
Apapun penyebabnya (termal, kimiawi atau listrik), kerusakan jaringan khususnya kedalaman
luka berhubungan dengan suhu dan kekuatan agen penyebab dan lamanya kontak [2, 10][21,
56] Suhu di atas 50C menyebabkan nekrosis jaringan, terutama pada anak–anak dan usia
lanjut.

1. Estimasi luas luka bakar


Terdapat dua faktor yang menentukan beratnya luka bakar, luas dan kedalaman luka [32].
Mortalitas dihubungkan dengan kedua faktor tersebut, yaitu:
 Usia penderita
 Luas luka bakar

Semakin luas luka bakar, semakin tinggi angka mortalitas

Asesmen yang tepat dalam estimasi luas luka bakar diperoleh dengan melakukan perhitungan
berdsarkan Rule Of Nines (gambar 5. 1) [21, 25].

Rule of Ninesmembagi permukaan tubuh ke area seluas 9 atau kelipatan 9%, dengan
pengecualian perineum yang diestimasikan seluas 1% [21, 25, 27, 56–58]. Dengan
menerapkan perhitungan berdasrkan metode ini, diperoleh estimasi luas dengan akurasi yang
dapat dipertanggungjawabkan. Namun, selain melakukan perhitungan luas luka bakar, perlu
pula diperhitungkan area yang tidak mengalami luka bakar; kemudian menggabungkan
keduanya hingga mencapai 100% [7, 21, 56–58]. Cara ini bermanfaat pada luka bakar yang
tidak luas, luka tersebar, atau mereka yang tidak berkenan menggunakan metode estimasi
menurut Rule of Nines (gambar 5. 2)

Perhitungan menggunakan Rule of Nines relatif akurat pada dewasa, namun tidak demikian
halnya pada anak–anak [21]. Hal ini disebabkan karena perbedaan proporsi luas permukaan
tubuh dibandingkan dewasa. Anak–anak secara proporsional memiliki panggul dan tungkai
lebih kecil, namun memiliki kepala dan bahu lebih besar dibandingkan dewasa. Penerapan Rule
of Nines dewasa pada anak–anak akan menyebabkan kekurangan atau kelebihan estimasi
ukuran, dan diikuti konsekuensi ketidaktepatan dalam perhitungan kebutuhan cairan
resusitasi.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


138
36
Atas dasar hal ini, digunakan Rule of Nines pediatrik (gambar 5. 3) Pada metode ini,
perhitungan dimodifiaksi pada berbagai kelompok usia untuk memperoleh akurasi perhitungan
(lihat bab 9) [2, 21].

Struktur dan fungsi kulit

Kulit terdiri dari dua lapis, yaitu epidermis dan dermis[2, 57, 59–62]. Epidermis merupakan
lapisan tipissuperfisial yang ebrperan mengendalikan evaporasi cairan tubuh, dan secara
teratur diproduksi oleh proses divisi lamina basalis epidermis [63, 64]. (gambar 5. 3).

Dibawah epidermis, terdapat lapis dermis yang membatasi kulit dengan lapis lemak subkutis
[63] dan fasia yang memisahkan kulit dari lapisan muskular dan struktur tulang. Lapis ini
memberi bantalan dan pelindung terhadap trauma. Pada luka bakar, kerusakan lapis ini
menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih dalam.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


139
37
Anatomi kulit hidung dan telinga memiliki perbedaan dengan kulit di bagian tubuh lainnya,
karena kulit melekat dengan kartilago dan hanya dibatasi oleh lapisan lemak subkutis yang
tipis. Suplai darah pada kulit maupun kartilago berjalan di antara kedua lapisan tersebut. Luka
bakar yang mengenai hidung dan telinga menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga
menimbulkan deformitas yang nyata; terutama saat terdapat infeksi bakterial.

Kedalaman luka bakar


Tergantung kedalamannya, dibedakan luka bakar superfisial, sedang dan dalam. Ketiganya
masing–masing disebut luka bakar epidermal, mid–dermal dan deep dermal atau seluruh
ketebalan kulit (gambar 5. 4 dantabel 5. 1). Pada praktek dilapangan, umumnya dijumpai
dalam bentuk gabungan [7, 9, 21].

A. Luka bakar superfisial

Disebut juga luka bakar dangkal. Merupakan bentuk luka bakar yang memiliki potensi
mengalami proses epitelialisasi spontan. Termasuk ke dalam kategori ini adalah luka bakar
epidermal dan dermal bagian superfisial.

1. Luka bakar epidermal


Luka bakar ini hanya melibatkan lapis epidermis. Penyebab tersering adalah paparan sinar
matahari atau flash injury minor (percikan api). Lapis permukaan mengalami kerusakan
dan proses penyembuhan berlangsung melalui regenerasi epidermis yang berasal dari
lamina basalis. Dengan adanya produksi mediator inflamasi, didapatkan hiperemia yang
menyebabkan luka yang kemerahan dan nyeri (tabel 5. 1)[10]. Adanya eritema, kerap
sulitan dinilai pada seorang yang bewarna kulit gelap. Luka bakar jenis ini mengalami

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


140
38
epitelialisai dalam waktu singkat (dalam 7 hari) tanpa parut maupun perubahan warna.
[59]. Kadang diperlukan perawatan di rumah askit untuk manajemen nyeri [21].

Eritema (luka bakar epidermal) tidak diperhitungkan pada kalkulasi luas luka bakar [10].
Memang untuk membedakan eritema (luka bakar epidermal) dengan luka bakar superfisial
(dermal) adalah sulit dalam beberapa jam pertama pasca luka bakar.

Tabel 5. 1
Diagnosis kedalaman luka bakar [10]

Pengisian Penyembu
Kedalaman Warna Bula Sensasi
Kapiler han
Epidermal Merah Tidak Cepat Nyeri Ya
Merah
Dermal–superfisial
muda Kecil Cepat Nyeri Ya
(dangkal)
Pucat
Merah
Mid–dermal Awal Lambat +/– Biasanya
mudagelap
Merah
Dermal dalam +/– Tidak ada Tidak ada Tidak
Bernoda
Seluruh ketebalan Putih Tidak Tidak ada Tidak ada Tidak

2. Luka bakar dermal–superfisial


Luka bakar dermal–superfisial mengenai epidermis dan lapis dermis bagian superfisial,
yaitu dermal papilae. Ciri khas luka bakar jenis ini yaitu lepuh (blister, bula) [2]. Lapis kulit
di atas bula (non–vital) terlepas dari lapis dermis (vital) karena edema. Edema
menyebabkan terlepasnya epidermis dari lapisan dermis dan proses eksudasi
menyebabkan akumulasi cairan dan mendorong epidermis; lapis epidermis mengalami
kematian. Cairan tersebut selnjutnya menyebabkan kerusakan dermis berlanjut sehingga
luka bertambah dalam. Terpaparnya dermal pailae memberikan warna merah muda dan
karena ujung–ujung saraf sensorik terpapar, maka hal ini diikuti nyeri yang ekstrim[21].

Dengan suasana kondusif, epitel akan menyebar dari struktur adneksa kulit (folikel rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat) dan menutupi dermis (proses epitelialisasi). Proses
tersebut berlangsung dalam waktu maksimal 14 hari dengan bekas luka yang menunjukkan
perbedaan warna. Tidak ada skar yang dibentuk pada luka bakar dermal–superfisial ini.

Bila proses epitelialisasi mengalami keterlambatan, hal ini menunjukkan bahwa kedalaman
luka lebih dalam dibandingkan saat diagnosis ditegakkan.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


141
39
B. Luka bakar mid–dermal

Luka bakar mid–dermal sebagaimana namanya, melibatkan kedalaman di antara luka bakar
superfisial dan luka bakar dalam. Lebih cepat mengalami epitelialisasi dibandingkan luka bakar
dalam.

Secara klinis, terlihat adanya variasi derajat kerusakan pleksus dermal. Trombosis kapiler dan
keterlambatan pengisian kapiler disertai edema dan pembentukan bula dapat diamati.
Jaringan bewarna merah muda lebih gelap dibandingkan luka bakar superfisial.

C. Luka bakar dalam

Luka bakar dalam lebih berat dibandingkan dua jenis luka bakar yang dijelaskan sebelumnya.
Proses epitelialisasi spontan tidak terjadi, atau terjadi dalam waktu relatif panjang dengan skar
yang nyata. Luka bakar ini terdiri dari dermal–dalam dan seluruh ketebalan kulit.

1. Luka bakardermal–dalam

Pada luka bakar dermal–dalam mungkin dapat dijumpai bula, namun di dasar bula
ditunjukkan karakteristik luka bakar dalam, retikulum dermis menunjukkan warna merah
berbercak [2, 10]. Hal ini disebabkan karena ekstrapasasi hemoglobin dari sel–sel darah
merah yang rusak dan keluar dari pembuluh darah. Pertanda khas pada luka bakar ini
adalah suatu tampilan yang disebut fenomena hilangnya capillary blush. Ini
menunjukkan kerusakan pleksus dermal. Ujung–ujung saraf di lapis dermis juga
mengalami nasib yang sama, karenanya akan diikuti hilang sensasi terutama saat
dilakukan uji pinprick.

2. Seluruh ketebalan kulit (Full Thickness Burns)

Full thickness burns menyebabkan kerusakan lapis epidermis dan dermis dan dapat
menyebabkan kerusakan struktur jaringan yang lebih dalam [2]. Pada penampilan klinik
dijumpai kulit bewarna putih (dense white, waxy, dancharredappearance). Ujung saraf
sensorik di dermis rusak sehingga hilang sensasi. [2, 10]. Kulit yang mengalami koagulasi
menunjukkan konsistensi seperti kulit ini disebut eskar.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


142
40
Ringkasan
– Masalah pada luka bakar dikaitkan pada beratnya luka bakar.
– Mortalitas pada luka bakar berhubungan dengan usia dan beratnya luka bakar.
– Rule of Ninespada dewasa dan anak–anak dapat diterapkan untuk memperhitungkan luas
luka bakar.
– Pemeriksaan klinik luka sangat penting dalam menentukan kedalaman luka.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


143
41
Bab 6

Syok Luka Bakar


dan Resusitasi Cairan

Pada luka bakar, terjadi sekuestrasi cairan ke daerah cedera dan saat mencapai atau melebihi
20–30%, akan bersifat masif (sistemik) [32, 35]. Edema dalam jumlah besar ditambah adanya
evaporative loss pada luka akan menyebabkan defisit volume plasma. Hal ini akan
menyebabkan hipovolemia yang manakala tidak dikoreksi, akan memicu terjadinya gagal organ
yang bersifat sistemik, khususnya acute kidney injury [16].

Dalam bab ini akan dijelaskan patogenesis edema dan syok hipovolemia pasca luka bakar,
resusitasi dan pemantauannya.

Cedera termal menyebabkan perubahan nyata pada mikrosirkulasi baik di daerah luka bakar
maupun di daerah non–luka bakar (sistemik). Tiga zona terbentuk pada suatu cedera termal
(gambar 3. 1 Model Jackson):

1) Zone sentral,nekrosis koagulatif.


2) Zona intermediate atau zonastasis, tidak ada aliran darah.
3) Zona perifer, menunjukkan vasodilatasi, peningkatan aliran darah dan hiperemia.

Mediator inflamasi yang dilepaskan dari daerah cedera menyebabkan perubahan integritas
dinding vaskular diikuti peningkatan permeabilitas [2]. Mediator–mediator ini diantaranya
adalah histamin, serotonin, prostaglandin, bradikinin dan vasokonstriktor poten seperti
tromboksan dan angiotensin.
Pada luka bakar luas (>20––30% luas permukaan tubuh), jumlah mediator yang diproduksi
demikian banyak diikuti peningkatan permeabilitas yang berlangsung luas hingga dijumpai
pembentukan edema yang masif dan sistemik [18]. Hal ini menyebabkan terjadinya syok
hipovolemia dalam waktu singkat. Hal ini ditunjang adanya kerusakan anatomik endothelial
lining sistem mikrovaskulatur yang terdeteksi pada pemeriksaan mikroskop elektron.

Dijumpai berbagai metode resusitasi cairan yang masing–masing menunjukkan hasil berbeda.
[19, 65]. Secara praktis, bagaimanapun, larutan kristaloid misalnya larutan Hartmann (Lactated
Ringers) atau Plasmalyte diakui secara luas untuk digunakan sebagai inisiasi prosedur resusitasi
[2, 66].

Pada kasus anak, dijumpai keterbatasan sistem cadangan fisiologik dan besarnya rasio luas
permukaan tubuh terhadap massa tubuh dibandingkan dengan dewasa. Dengan demikian,
ambang cairan resusitasi yang perlu diberikan pada anak lebih rendah dibandingkan dewasa

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


144
42
(kurang lebih 10%) dan cenderung memerlukan volume yang lebih tinggi untuk tiap kilogram
[3, 18]. Karenanya, diperlukan cairan lebih banyak untuk menyeimbangkan kebutuhan cairan
yang diperoleh melalui perhitungan formula resusitasi. Pada cedera inhalasi dibutuhkan lebih
banyak cairan. Pembentukan edema semakin berkurang dalam 18–30 jam pasca luka bakar.
Dengan demikian, durasi resusitasi merupakan suatu variabel dan jumlah cairan yang
dibutuhkan untuk maintenance dapat diketahui dari mengetahui jumlah cairan yang
diperlukan untuk mempertahankan jumlah produksi urin adekuat.

Estimasi kebutuhan cairan


Luas luka bakar dihitung menggunakan rule of nines atau burn body chart bila tersedia.
Timbang berat badan pasien bila mungkin, atau peroleh informasi data tersebut pada
anamnesis. Data ini diperlukan dalam memperhitungkan formula resusitasi [3, 12, 13, 15, 17,
18, 35, 67, 68]:

Dewasa : 3–4 mL kristaloid (larutan Hartman atau Plasmalyte) / berat badan /


luas luka bakar (%)
Anak–anak : 3–4 mL kristaloid (larutan Hartman atau Plasmalyte) / berat badan /
luas luka bakar (%) di tambah maintenance glukosa 5% + 20 mmol Kcl
dalam larutan salin 0. 45%
– Untuk 10 kg pertama 100 mL/kg
– 10–20 kg 50 mL/kg

Catatan: Kalkulasi kebutuhan cairan dimulai sejak saat terjadi cedera, bukan terhitung sejak
masuk rumah sakit.

Cairan diberikan melalui dua buah kanul berdiameter besar (pada dewasa 16G) sedapat
mungkin di daerah non–luka bakar. Pertimbangkan akses intra–osseous (IO) bila diperlukan.
Larutan salin normal umumnya dikemas bersama dekstrosa 2.5%: untuk kemasan ini,
tambahkan 25mL dekstrosa 50% ke dalam kantong berisi 500 mL cairan. Bila larutan tersedia
merupakan larutan salin hipotonik tanpa glukosa, tambahkan 50 mL dekstrosa 50% ke dalam
kantong berisi 500mL cairan)

Kalkulasi volume yang diestimasi dalam 24 jam pertama [12] saat edema terbentuk beberapa
saat pasca luka bakar:
– Separuh kebutuhan berdasarkan kalkulasi volume diberikan dalam 8 hours [3] dan separuh
sisanya diberikan dalam16 jam berikutnya [12, 15, 19, 67].
– Cairan maintenance bagi anak–anak dibagi dalam 24 jam secara merata.

Pengurangan cairan tidak sebanding dengan berkurangnya pembentukan edema; formula ini
hanya merupakan petunjuk (panduan, guidelines) yang harus disesuaikan sesuai kebutuhan
individu [15].

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


145
43
Bila produksi urine tidak mencukupi, berikan cairan ekstra:
– Bolus cairan 5–10 mL/kg dan / atau tingkatkan jumlah cairan berikutnya sejumlah 150%
volume sebelumnya.

Dalam 24 jam kedua pasca luka bakar, larutan koloid dapat diberikan untuk restorasi volume
sirkulasi menggunakan formula [66, 69]:
– 0. 5mL albumin 5% x kg berat badan x % luas luka bakar.

Disamping itu, larutan elektrolit harus diberikan untuk kebutuhan evaporative lossdan
kebutuhan maintenance normal. Untuk tujuan ini, larutan yang umum digunakan adalah
larutan salin normal Kcl (+ dekstrosa untuk anak–anak)

Pemantauan kecukupan resusitasi cairan


Metode terbaik dan termudah adalah melakukan pemantauan jumlah produksi urine [3, 7, 11,
14, 18, 20, 35]:
– Dewasa : 0. 5mL/kg/jam = 30–50mL/jam
– Anak (< 30kg): 1. 0mL/kg/jam (rentang 0. 5–2mL/kg/jam) [66, 68–71]

Bila jumlah produksi urine berkisar pada nilai ini, maka kecukupan perfusi ke organ akan
terpelihara [20]. Produksi urine yang berlebih menunjukkan pemberian cairan berlebihan dan
akan menyebabkan terbentuknya edema masif; produksi urine yang rendah menunjukkan
perfusi ke jaringan yang buruk yang diikuti kerusakan sel

Terlihat bahwa pemasangan kateter urine menjadi sangat penting pada pemantauan dan
menjadi suatu keharusan dilakukan pada:
• Luka bakar >10% pada anak–anak dan
• Luka bakar >20% pada dewasa.

Pemantauan hemodinamik invasif sentral diperlukan pada luka bakar dengan kondisi pre–
morbid seperti adanya penyakit jantung atau cedera penyerta yang disertai kehilangan darah
seperti adanya fraktur multipel.

Asidosis yang nyata (pH<7. 35) pada analisis gas darahu menunjukkan perfusi jaringan yang
tidak tercukupi dan menyebabkan asidosis laktat. Pada konsisi demikian, penambahan cairan
resusitasi merupakan indikasi. Bila tindakan koreksi mengalami kegagalan dan dijumpai adanya
hemochromogen di urine, pertimbangkan pemberian bikarbonat setelah melakukan diskusi
dengan intensivis. Asidosis juga menunjukkan kebutuhan, atau ketidakcukupan (inadekuasi)
prosedur eskarotomi.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


146
44
Pada luka bakar luas, tekanan darah yang diukur menggunakan sphygmomanometer kerap
tidak akurat karena edema; pengukuran akurat hanya didapatkan pada pemeriksaan melalui
jalur arterial. Laju jantung kerap mengalami peningkatan karena nyeri dan faktor emosional;
merupakan indikator yang buruk untuk digunakan pada pemantauan kecukupan resusitasi
cairan.

Elektrolit serum harus diukur pada kesempatan awal dan selanjutnya secara regular dalam
interval waktu tertentu. Adanya hiponatremia ringan merupakan hal yang umum akibat dilusi
karena pemberian cairan infus dan sangat tergantung pada konsentrasi natrium pada larutan
kristaloid yang diberikan (larutan NaCl Hartmann hanya mengandung natrium 130 mEq/L).
Hiperkalemia merupakan hal umum dijumpai; terjadi karena kerusakan jaringan pada luka
bakar. Bikarbonat dan glukosa ditambah insulin mungkin diperlukan untuk melakukan koreksi.

Gelisah, perubahan mental dan ansietas sering dijumpai dan merupakan indikator
hipovolemia; dan harus diamati sebagai respon pertama dalam menilai kecukupan resusitasi
cairan.

Hemoglobinuria

Kerusakan jaringan khususnya jaringan otot akibat cedera termal, trauma tumpul atau iskemia
(eskarotomi!) menyebabkan dilepaskannya mioglobin dan hemoglobin. Pertimbangan kuat
untuk melakukan fasiotomi (eskarotomi tidak membebaskan fasia otot). Urine yang
mengandung hemochromogen ini menunjukkan warna merah gelap. Gagal gnjal akut (GGA,
Acute kidney injury, AKI) merupakan suatu kondisi yang sangat mungkin dijumpai karena
penimbunan deposit haemochromogen di tubulus proksimal dan memerlukan terapi yang
sesuai [23]:

 Pemberian cairan hingga produksi urine mencapai 2 mL / kg / jam


Pertimbangkan pemberian Mannitol 12.5g dosis tunggal selama 1 jam / L dalam pola
resusitasi cairan dan
 Observasi respon yang terjadi

Masalah yang dijumpai pada resusitasi cairan


Formula yang ada hanya merupakan estimasi kebutuhan, sementara kebutuhan tiap individu
harus dipantau secara ketat.

Oliguria
Rendahnya jumlah produksi urinmenunjukkan ketidakcukupan cairan resusitasi. Dalam hal ini,
tindakan pertama yang dilakukan adalah meningkatkan jumlah tetesan cairan. Diuretikum

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


147
45
sangat jarang diperlukan dan jangan pernah dipertimbangkan untuk diberikan sebelum
penderita sampai di unit luka bakar. Diuretikum diberikan hanya pada penderita dengan
haemochromogen di urine dan kadang pada penderita luka bakar luas.

Penderita–penderita di bawah ini termasuk kelompok yang kerap memerlukan ekstra cairan
resusitasi [15]:
 Anak–anak
 Penderita dengan cedera inhalasi [19]
 Luka bakar listrik
 Keterlambatan
 Dehidrasi – petugas pemadam kebakaran, penderita intoksikasi

Neonatus dan usia lanjut dengan kelainan jantung harus dipantau ketat karena kelebihan
cairan sangat mudah terjadi. Untungnya, edema paru merupakan hal yang jarang dijumpai
karena peningkatan resistensi vakcular di pulmoner jauh lebih tinggi secara disproporsional
dibandingkan resistensi sistemik. Hal ini terjadi karena terjadinya hipokinesia miokardial dan
kerap memerlukan pemantauan invasif, topangan inotropik, ventilasi dan manajemen cairan
secara khusus.

Anak–anak
Anak–anak sangat rentan terhadap hipoglikemia, kelebihan cairan dan hiponatremia karena
keterbatasan simpanan glikogen, rasio luas permukaan tubuh yang lebih besar dibandingkan
berat badan dan volume cairan intravaskular. Kadar glukosa darah dan elektrolit harus
dipantau secara reguler. Pemberian air harus dibatasi dan pemberian glukosa dilakukan sejak
awal. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian enteral maupun penambahan dekstrosa ke
dalam larutan elektrolit.

Sindroma kompertemen abdominal (Abdominal Compartment Syndrome, ACS)


Keadaan ini jarang dijumpai namun merupakan suatu kondisi serius; merupakan komplikasi
yang timbul pada luka bakar luas baik pada kasus dewasa maupun anak–anak, terutama bila
kebutuhan cairan demikian besar untuk mencapai produksi urine yang cukup [15, 16, 72].
Adanya ACS dapat diketahui dengan melakukan pengukuran tekanan intra vesika (urinaria).

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


148
46
Ringkasan
 Resusitasi cairan diperlukan agar penderita luka bakar dapat bertahan hidup
 Cairan intravena untuk anak–anak dengan luas luka bakar>10% dan dewasa dengan luka
bakar >20%
 Dua buah kanula perifer berdiameter besar
 Kalkulasi cairan dihitung berdasarkan saat terjadinya trauma:
 Anak–anak (<30kg) : 3–4 mL /kg /% luas luka bakar ditambah maintenance
 Dewasa : 3–4 ml /kg /% luas luka bakar
 Separuh jumlah dari perhitungan tersebut diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya
 Berikan kristaloid (misal, larutan Hartmann atau Plasmalyte) dalam 24 jam pertama.
 Anak–anak memerlukankarbohidrat.
 Pasang kateter urine
 Haemochromogens: tambahkan cairan untuk meningkatkan produksi urine.
 Lakukan pemeriksaankadar glukosa darah, elektrolit serum, tekanan darah, frekuensi nadi,
analisis gas darah dan foto toraks.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


149
47
Bab 7

Tatalaksana Luka
Introduksi
Dalam penatalaksanaan luka, hal penting yang perlu dipahami yaitu mekanisme trauma dan
penilaian luas–beratnya trauma. Hal ini merupakan titik awal tatalaksana, yang akan
menentukan hasil yaitu fungsi dan penampilan.
Luka adalah disrupsi arsitektur jaringan dan proses–proses seluler. Pada luka bakar, denaturasi
protein dan disrupsi struktur sel terjadi akibat kontak dengan sumber termal (baik suhu tinggi
maupun suhu rendah), listrik, kimiawi atau radiasi. Luka bakar demikian merusak karena
menyebabkan terganggunya ketujuh fungsi utama kulit.
 Regulasi suhu
 Pengaturan sensorik
 Respon imun
 Proteksi dari invasi bakteri
 Pengendalian kehilangan (penguapan) cairan
 Fungsi metabolik
 Fungsi estetik dan psikologi

Tujuan tatalaksana adalah untuk memperkecil terganggunya fungsi baik di tingkat lokal
maupun sistemik. Pemahaman luka sebagai suatu hal yang bersifat dinamik dan heterogen
adalah sangat penting. Jangan sampai diduga bahwa luka di berbagai area adalah sama.

Pertolongan pertama

Prinsip penanganan pertama adalah


 Menghentikan proses pembakaran
 Menurunkan suhu luka [22].

Menghentikan proses pembakaran akan mengurangi kerusakan jaringan. Menurunkan suhu


permukaan akan mengurangi produksi mediator inflamasi (cytokines) dan promosi
maintenance viabilitas di zona stasis. Oleh karenanya, hal ini sangat membantu pencegahan
progres kerusakan yang terjadi pada luka bakar dalam 24 jam pertama[25].

Hentikan proses pembakaran


Pada luka bakar api, penderita berguling di tanah secara aktif maupun pasif menerapkan Stop,
Drop, Cover (face) & Roll technique [10, 24]. Pakaian yang terbakar harus segera dilepaskan

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


150
48
secepat mungkin. Perhatikan jangan sampai penolong mengalami cedera akibat pertolongan
ini.
Pada luka bakar karena air panas, pakaian yang dibasahi air panas berperan sebagai reservoir,
karenanya segera lepaskan sesegera mungkin.
Selain melepaskan pakaian, setiap jenis perhiasan juga harus dilepaskan[2]. Bila pakaian
melekat pada permukaan kulit, potong dan biarkan melekat di tempatnya. Namun, pakaian
terbuat dari bahan sintetik yang meleleh melekat pada kulit yang tidak vital akan mudah
dilepaskan.

Menurunkan suhu luka


Permukaan luka harus diturunkan suhunya menggunakan air mengalir[73–78]. Suhu ideal
adalah 15C atau berkisar antara 8C sampai 25C [76, 79]. Dengan menurunkan suhu
permukaan luka, reaksi inflamasi diredam dan menghentikan progress pengrusakan zona stasis
[73, 80].
Berbagai cara dapat diterapkan untuk tujuan ini. Menyemprotkan air atau melekatkan busa
basah di atas luka, handuk basah atau hidrogel dapat dilakukan, namun tidak seefektif air
mengalir dan hanya dianjurkan saat air mengalir tidak ada (misalnya saat meminta
pertolongan ke pusat pelayanan medik) [73, 81]. Handuk basah tidak efektif karena tidak
seluruhnya melekat dengan permukaan luka dan cepat menjadi panas akibat proksimitas
terhadap tubuh[73]: karenanya, bila digunakan, harus sering diganti.
Lamanya aplikasi minimal adalah dua puluh menit, kecuali tidak dimungkinkan [73–76, 80].
Misalnya pada penderita multi trauma dan tidak ada petugas yang memberi pertolongan
pertama untuk menerapkan metode tersebut. Lebih lanjut, diperoleh data bahwa pertolongan
pertama efektif bila dilakukan dalam tiga jam pertama pasca luka bakar.
Anak–anak terpapar pada risiko hipotermia dan hal ini terdeteksi pada pengukuran suhu saat
asesmen klinik dimana dijumpai anak kebiruan dan mengigil. Aplikasi penurunan suhu luka
harus dihentikan. Pada keadaan seperti ini, dianjurkan mengupayakan suhu si atas 30°C dan
membungkus anak bersangkutan [4].

Es atau air es jangan pernah digunakan untuk menurunkan suhu. Suhu yang ekstrim
dingin ini akan menyebabkan vasokonstriksi dan secara eksperimen menunjukkan luka yang
semakin dalam; disamping risiko hipotermia.

Penurunan suhu permukaan sekaligus merupakan analgetik yang efektif [22, 74, 76]. Saat nyeri
timbul kembali dalam beberapa menit setelah aplikasi penurunan suhu dihentikan, dan bila
tidak ada kontra indikasi, maka lanjutkan penurunan suhu hingga dicapai efek analgetik.

Hipotermia harus dicegah

Manajemen awal

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


151

49
Setelah pertolongan pertama, luka ditutup menggunakan bungkus plastik atau bahan
keringyang tidak melekat selama prioritas manajemen lainnya dilakukan [2, 24]. Bila luka
sebelumnya tidak diturunkan suhunya, lanjutkan metode penurunan suhu sebagaimana
dianjurkan dalam waktu tersisa hingga mencapai tiga jam. Setelah tiga jam, tidak ada efek
benefit. Karenanya, luka kemudian dicuci menggunakan air atau salin, dengan sabun atau
larutan klorheksidin 0. 1% Antiseptik lain jangan digunakan.

Pada penyiapan prosedur transpor, luka dibalut. Tergantung waktu terjadinya trauma, saat
transportasi dan waktu tempuh, diperlukan lebih dari sekedar pembalutan luka menggunakan
kain kering. Lembar plastik dapat dipakai terutama pada anak–anak untuk membatasi
penguapan dan kehilangan panas tubuh [22]. Klorheksidin pada tulle (misal: Bactigras®) dibalut
dengan kasa akan sangat bermanfaat pada penderita yang memerlukan perjalanan beberapa
jam ke pusat rujukan. Aplikasi krim topikal seyogyanya dihindari karena akan memperpanjang
waktu dan menyebabkan keterlambatan transportasi ke pusat rujukan.

Elevasi
Elevasi ekstremitas yang mengalami cedera sangat bermanfaat selama tatalaksana awal dan
selama prosedur transpor karena akan mengurangi edema. Pada tungkai, dijumpai perbedaan
bermakna dengan kasus–kasus yang tidak dilakukan elevasi dalam hal perlunya dilakukan
eskarotomi.

Area khusus
Pada luka bakar dengan cedera inhalasi kerap diikuti berkembangnya edema jalan napas
sehingga diperlukan intubasi [2].
Luka bakar perineum memerlukan pemasangan kateter lebih awal untuk mencegah
kontaminasi. Bila pemasangan kateter terlambat, prosedur insersi pada saat edema akan
mengalami kesulitan.
Luka bakar pada kepala dan leher. Kepala harus dilakukan elevasi untuk menghambat edema
jalan napas bagian atas. Pada anak–anak dengan luka bakar luas, prosedur elevasi kepala ini
sangat bermanfaat karena risiko besar terjadinya edema serebral pada resusitasi cairan.

Eskarotomi
Bila luka bakar melibatkan seluruh ketebalan dermis dan kulit mengalami kehilangan elastisitas
saat edema berkembang,[82] maka diperlukan tindakan melakukan sayatan pada kulit hingga
kedalaman subkutis [7, 82]. Prosedur ini disebut eskarotomi.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


152
50
Trunkus

Bila trunkus mengalami luka bakar ekstensif, elastisitas dinding dada menurun diikuti
penurunan compliance yang menyebabkan berkurangnya ventilasi [2, 82]. Pada dewasa, kerap
terlihat luka bakar melingkar (sirkumferensial) di dada dengan atau tanpa melibatkan
abdomen. Pada anak–anak yang bernapas terutama dengan diafragma, terlihat eskar di
dinding anterior dan abdomen tanpa luka bakar di sisi posterior.
Insisi dilakukan longitudinal sepanjang linea aksilaris anterior ketepi kosta atau ke abdomen
bagian atas [82]. Pada kasus berat, mungkin diperlukan insisi yang menghubungkan kedua
insisi sebelumnya (kanan dan kiri) berbentuk konvekspada sisi atas (kranial) dinding dada, di
bawahklavikuladan melintang di abdomen.

Ekstremitas

Bila pada ekstremitas dijumpai luka bakar melingkar (sirkumferensial), dengan adanya edema
di bawah kulit yang tidak elastik tersebut maka aliran sirkulasi akan terganggu dan
menyebabkan gangguan perfusi diikuti kematian jaringan bagian distal [21]. Gangguan ini
bersifat progresif lambat dan tidak terduga. Adanya peningkatan tekanan kompartemen dapat
diamati dengan adanya gejala dan tanda sebagaimana diuraikan berikut [82, 83]:

 Pain (nyeri) : Nyeri saat istirahat


Nyeri saat menggerakkan sendi–sendi distal
 Pallor (pucat) : Sirkulasi ke distal terganggu
Pengisian kapiler terhambat (terutama di kuku)
Saturasi oksigen tidak terdeteksi pada pemeriksaan
pulse oximetry
Dingin
 Pulseless (nadi tak : Tidak teraba denyut nadi
teraba)
Tidak ada denyut, terutama pada pemeriksaan USG
Doppler
 Parestesia : Kesemutan hingga hilang rasa (numbness)

Interpretasitanda–tanda ini mungkin sulit karena terbakarnya kulit (yang menyebabkan palpasi
denyut nadi sulit teraba), suhu dingin (gambaran aliran darah terganggu), dan adanya
hipovolemia. Pemeriksaan akurat didapatkan dengan melakukan USG Doppler. Perubahan
paling awal ditandai hilangnya sinyal Doppler pada pembuluh di jari–jari. Eskarotomi harus
segera dilakukan sebelum pulsasinadi hilang dan saat menurunnya sirkulasi.

Sayatan dilakukan hingga kulit sehat beberapa milimeter di proksimal dan distal; di garis mid–
aksial antara permukaan fleksor dan ekstensor. Hindari melakukan sayatan melintas lengkung

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


153
51
fleksura pada sendi–sendi. Sayatan harus dilakukan hingga ke lemak subkutis dan kulit terpisah
secara nyata. Perabaan menggunakan jari akan dapat meraba adanya sisa tahanan. Kadang
satu insisi cukup namun kadang diperlukan sayatan di kedua sisi untuk restorasi sirkulasi.
Perabaan mengenai ketegangan ekstremitas bersangkutan merupakan petunjuk yang sangat
berharga.

Penyulit eskarotomi adalah tercederainya struktur di bawah kulit. Disisi medial siku, saraf
ulnaris berjalan dan di sisi lateral lutut berjalan saraf peroneal komunis. Jangan melakukan
sayatan transversal di ekstremitas.

Batas distal dari suatu eskarotomikadang sulit ditentukan. Di ekstremitas atas, sayatan lateral
dapat dilakukan sepanjang batas lateral tangan hingga pangkal jari kelima. Di sisi medial,
sayatan dapat dilakukan hingga proksimal ibu jari. Kadang–kadang beberapa sayatan
tambahan di tangan diperlukan, dan sebelum memberangkatkan penderita, hubungi unit luka
bakar yang menjadi rujukan.
Diagram lokasi sayatan terdapat di lampiran 3 dalam buku pegangan.

Prosedur
Pertama, tentukan lokasi sayatan. Bila operator belum terbiasa, maka tandai dengan tinta
sementara ekstremitas bersangkutan berada pada posisi anatomik. Perhatikan kembali garis
sayatan.
Lengan dalam posisi supinasi sebelum member tanda dan sayatan berjalan di depan
epikondilus medialis untuk menghindari cedera saraf ulnaris. Pada tungkai, insisi medial
berjalan di belakang maleolus medialis untuk menghindari cedera pembuluh darah dan saraf
safena. Bila diperlukan sayatan lateral, hindari tercederainya saraf peroneus komunis yang
melintas leher fibula; karenanya lokasi sayatan terletak pada garis mid–lateral.
Instrumen yang diperlukan yaitu pisau atau elektrokauter dan sarana haemostasis seperti klem
arteridan benang, diatermi atau hemostatiktopikal misalnyacalcium alginate. Perdarahan akan
terjadi dalam jumlah ekstrim.
Anestesia umumnya tidak diperlukan. Anestesi lokal diperlukan hanya diperlukan di tepi luka
ke daerah normal. Selain itu, penderita umumnya sudah terintubasi, sehingga sedasi ringan
dapat diberikan.
Prosedur ini dikerjakan dalam kondisi steril. Kasa disiapkan untuk membalut luka sayatan dan
balutan ini seyogyanya tidak menekan agar efektivitas prosedur tercapai.
Pada penderita yang sadar, penjelasan mengenai prosedur harus diberikan sebelum
melakukan tindakan (informed consent)

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


154
52
Ringkasan
 Luka bakar merusak seluruh fungsi kulit
 Pertolongan pertama adalah hentikan prose pembakaran dan menurunkan suhu luka.
 Tatalaksana luka dilakukan sesederhana mungkin.
 Eskar yang kaku memengaruhi fungsi dan memerlukan eskarotomi; di dada untuk
memperbaiki ventilasi, di ekstremitas untuk memperbaiki sirkulasi ke distal.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


155
53
Bab 8

Indikasi dan Prosedur Rujukan


Introduksi
Penderita luka bakar listrik, kimia, atau cedera termal memerlukan asesmen dan stabilisasi di
rumah sakit terdekat. Tidak ada istilah ahli bedah musiman Australia dan New Zealand, karena
tatalaksana multidisiplin tersedia di rumah sakit pusat. Semua penderita memiliki hal untuk
memperoleh pelayanan luka bakar yang berkualitas.
Petugas kesehatan yang mengawali pertolongan harus melakukan asesmen (survei) primer dan
sekunder dan melakukan evaluasi untuk menilai penderita yang harus dirujuk. Luka bakar
kerap dijumpai sebagai suatu trauma multipel, dan setiap penderita harus dilakukan evaluasi
untuk trauma lain atau penyerta. Semua prosedur dan terapi yang diberikan dicatat dan di
informasikan ke unit luka bakar rujukan, termasuklembar pemantauan, obat–obatan dan
tindakan yang dilakukan.

Peran faktor geografik

1. Daerah perkotaan

Luka bakar yang terjadi di daerah perkotaan di Australia dan New Zealand yang telah memiliki
unit luka bakar, penderita yang memerlukan perawatan langsung dirujuk setelah survei primer
dikerjakan. Resusitasi dan tatalaksana definitif dengan demikian dapat dilaksanakan sesegera
mungkin tanpa keterlambatan, dengan pengecualian mereka yang memerlukan tindakan
intervensi sebagai tatalaksana penyelamatan hidup seperti prosedur intubasi.
Bila diperkirakan perjalanan ambulans memakan waktu 1 jam atau lebih, maka prosedur
resusitasi cairan dimulai baik di ambulans menuju ke rumah sakit, menghindari syok luka
bakar. Hal ini akan sangat bermakna pada anak–anak dan usia lanjut, karena keterlambatan
akan mempengaruhi hasil akhir.

2. Daerah perifer dan terisolasi

Di daerah perifer dan terisolasi, karena keterbatasan fasilitas dan masalah logistik, prosedur
rujukan segera tidak dimungkinkan; penderita memerlukan sarana transportasi darat, udara
atau laut. Dalam keadaan seperti ini, tatalaksana dalam 24 jam pertama dilakukan sebelum
penderita dirujuk; kadang diperlukan tatalaksana lebih dari 24 jam (lihat bab 12). Konsultasi
dengan personel di unit luka bakar regional untuk tatalaksana yang tepat, sehingga penderita
berada pada kondisi optimal saat dirujuk.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


156
54
Hanya ada beberapa kondisi penderita yang mengharuskannya tetap dirawat di rumah sakit
lokal atau distrik. Mengorbankan pelayanan yang baik dengan mempertahankan konsep
perawatan ‘agar dekat dengan keluarga’ merupakan suatu konsep yang kurang baik, terutama
menyangkut penanganan masalah gangguan emosi yang penting dalam tatalaksana.

Kriteria rujukan
Australian and New Zealand Burn Association menetapkan kasus–kasus berikut memerlukan
rujukan ke unit luka bakar (lihat tabel 7. 1).

Tabel 7. 1
 Luka bakar > 10% luas permukaan tubuh pada dewasa dan >5% pada anak–anak
 Luka bakar seluruh ketebalan kulit (luka bakar dalam, full thickness burns)> 5%
 Luka bakar mengenai area khusus, termasuk wajah, tangan, kaki, genitalia dan perineum,
persendian serta luka bakar melingkar pada dada dan tungkai
 Luka bakar dengan cedera inhalasi
 Luka bakar listrik
 Luka bakar kimia
 Luka bakar dengan penyakit pre–morbid
 Luka bakar dengan trauma berat lainnya
 Luka bakar pada usia tertentu: anak–anak dan usia lanjut
 Luka bakar pada wanita hamil
 Luka bakar bukan karena kecelakaan

Bila penderita memiliki kelainan yang menyebabkan tatalaksana menjadi sulit dengan risiko
yang semakin besar, diperlukan penatalaksanaan oleh tenaga dalam tim spesialis yang akan
memberi kesempatan sebesar mungkin untuk mendapatkan hasil optimal.

Penderita–penderita dengan trauma penyerta harus dibawa ke unit trauma atau unit luka
bakar sesuai dengan beratnya trauma. Harus ada pertimbangan antara temuan klinik saat
asesmen emergensi dan diskusikan dengan pengelola petugas di unit luka bakar rujukan. Pada
trauma berat yang memiliki risiko besar, maka perlu prioritas penaganan dan stabilisasi
sebelum dirujuk. Perawatan luka bakar dilaksanakan dan prosedur rujukan direncanakan
segera setelah penderita berhasil menjalani prosedur emergensi yang diperlukan. Bila luka
bakar merupakan kondisi yang dominan dalam hal mortalitas dan morbiditas, maka prosedur
rujukan ke unit luka bakar merupakan tindakan yang tepat. Prioritas merupakan suatu
pertimbangan klinik yang didiskusikan oleh dokter yang merujuk, ahli luka bakar dan tim
trauma serta ahli intensivis; dengan mempertimbangkan usiapenderita yang memiliki
mortalitas tinggi. Hal ini disebabkan respon pada kelompok usia tertentu yang tidak dapat
diprediksi sehingga mereka memerlukan penanganan spesialistik oleh tim multidisipliner.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


157
55
Pendekatan tim menunjukkan banyak kelebihan dalam penatalaksanaan luka bakar [2].

Persiapan rujukan
Dalam keadaan stabil secara fisiologik, penderita luka bakar masif dapat dan aman ditransfer
meski dalam waktu yang relatif lama. Namun untuk dapat ditransfer, penderita harus stabil.
Stabilisasi mencakup semua aspek yang diuraikan sebelumnya.

1. Sistem respirasi

 Semua penderita cedera berat diberi oksigen 15L/menit.


 Karena obstruksi jalan napas bagian atas dapat mengalami progres dengan cepat dan
mencapai puncaknya saat penderita ditransfer, maka pentiing untuk
mempertimbangkan intubasi endotrakea sebelum penderita di rujuk.
 Cedera inhalasi dengan kerusakan infraglotik kerap menimbulkan masalah saat
transportasi berlangsung.

2. Sistem sirkulasi

Prinsip tatalaksana gangguan sirkulasi akibat perpindahan cairan dan elektrolit


sebagaimana diuraikan sebelumnya diberikan untuk stabilisasi penderita sebelum proses
transfer.
 Bila insersi 2 kanul (16G pada dewasa, 20G pada anak–anak) tidak dimungkinkan,
ambil rute lain untuk pemberian cairan, dan diskusikan sebelumnya dengan unit luka
bakar rujukan.
 Metode akses vaskular umumnya tergantung pengalaman tim baik di perifer maupun
di unit luka bakar rujukan.
 Rute yang dapat digunakan antaralain adalah jalur vena sentral perkutan (femoral,
subklavia, atau jugularinterna), intra–osseous atauvena seksi (ankleatausiku) [3, 7, 9].
 Regimen pemberian cairan dibahas pada diskusi di bab 6. Ringkasnya, mulai resusitasi
cairan
 3–4mLkrstaloid (misal, larutan Hartmann atau Plasmalyte) /kg / % luas luka bakar
dalam 24 jam, 50% diberikan dalam 8 jam pertama
 Tambahkan cairan maintenancepada anak–anak [3, 12, 15, 17].
 Kecukupan resusitasi ditentukan berdasarkan observasi penderita, dalam hal ini
terutama jumlah produksi urine (yang dipantau melalui kateter) bertujuan mencapai
30–50 mL/jampada dewasa, dan 1 mL/kg/jam (0. 5–2 mL/kg/jam) pada anak
sampaidengan 30 kg [3, 11, 14, 20].

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


158
56
 Bila dijumpai haemochromogenuria sebagaimana kerap dijumpai pada luka bakar
listrik, kebutuhan cairan ditujukan untuk menghasilkan urine 75–100 mL/jam pada
dewasa, dan> 2 mL/kg/jam pada anak–anak.

3. Luka

Luka dicuci dengan air mengandung larutan klorheksidin 0. 1% atausalin normal dan dibungkus
dengan plastik atau kain kering bila prosedur transfer harus disegerakan. Plasticwrapyang
kerap digunakan untuk membungkus makanan sangat bermanfaat digunakan untuk mencegah
evaporasi, mempertahankan panas dan mencegah desikasi (luka mengering) [22]. Hanya bila
prosedur transfer tertunda, gunakan balutan atau pembalut formal (misalnya, slow–release
silver dressings, krim antibakteri atau chlorhexidine impregnated vaseline gauze; dan bahan
penutup absorben). Hal ini dikerjakan setelah melakukan konsultasi dengan unit luka bakar.

4. Manajemen nyeri

Luka bakar diikuti nyeri yang ekstrim. Meski sensasi kulit hilang pada luka bakar dalam, area
sekitar luka dirasakan sangat nyeri; karenanya pemberian analgetika sangat diperlukan [9].
Pada semua kasus, kecuali luka bakar ringan, pemberisan analgetika diberikan secara intra
vena. Dosis awal diberikan relatif kecil selang waktu tiap 3–5 menit, dan dosis akhir sangat
tergantung respon penderita. Trauma penyerta maupun kelainan yang ada sebelumnya harus
diperhitungkan dalam menetapkan dosis, umumnya diberikan morfin dengan dosis awal 0. 05–
0. 1 miligram per kilogram berat badan.

5. Sistem gastrointestinal

Bila dimungkinkan, segera memulai pemberian nutrisi enteral dini melalui akses pipa oro– atau
naso–gastrik. Selama proses transfer, umumnya lebih aman lambung dalam keadaan kosong
untuk memperkecil risiko aspirasi saat terjadi muntah. Untuk tujuan ini, pipa oro– atau naso–
gastrik secara reguler diaspirasi dan dilakukan drenase terbuka. Hal ini diterapkan pada kasus
dewasa dengan luka bakar>20% atau anak–anak dengan luka bakar >10%.

6. Tetanus

Profilaksis tetanus diberikan pada kesempatan pertama. Detilnya dapat dilihat dalam lampiran
1. Untuk mendapatkan hasil optimal, lakukan kontak secara berkesinambungan dengan unit
luka bakar rujukan, lengkapi semua dokumentasi termasuk hal–hal yang diuraikan di atas.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


159
57
Mekanisme Transfer
Hubungan telefon dengan unit luka bakar rujukan saat penderita memerlukan prosedur
rujukan. Bila keputusan untuk rujukan telah ditetapkan, unit luka bakar rujukan berkewajiban
menyiapkan tempat dan unit luka bakar rujukan bertanggungjawab mengatur prosedur
transportasi. Prosedur transpor mengikuti protokol yang ada.

Pusat pelayanan yang melakukan rujukan bertanggungjawab pada stabilisasi penderita dan
membuat dokumentasi asesmen awal (survei primer dan sekunder) serta tatalaksana yang
sudah dilakukan; termasuk saat melakukan pemeriksaan, balans cairan, terapi termasuk dosis
obat yang diberikan. Pada saat transfer, sertakan dokumentasi ini.

Metode pengiriman ditentukan oleh pusat pelayanan yang melakukan rujukan beserta tim dan
petugas yang selanjutnya mengambil alih tugas dalam asesmen dan tindakan selama
pengiriman.

Ringkasan
 Penderita luka bakar listrik, kimia, cedera termal yang memenuhi kriteria rujukan yang
ditetapkan dalam ANZBA Criteria for Burn Unit Referral (Tabel 7. 1) harus memperoleh
asesmen dan dilakukan stabilisasi saat dirujuk ke unit luka bakar rujukan.
 Prosedur pengiriman merupakan tanggungjawab unit rujukan. Tim yang ikut dalam proses
rujukan bertugas melakukan stabilisasi penderita selama proses transfer.
 Dokumentasi merupakan hal yang sangat penting untuk suatu mekanisme transfer
pelayanan dari unit pelayanan pertama ke unit luka bakar.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


160
58
Bab 9

Luka Bakar pada Anak

Introduksi
Demikian banyak konsep emergensi penatalaksanaan luka bakar pada dewasa berlaku pula
pada anak–anak. Kasus anak dengan luka bakar harus dinilai dengan pola yang sama
sebagaimana asesmen pada kasus dewasa. Pada survei primer, harus terdeteksi adanya kondisi
mengancam jiwa. Prosedur tersebut dilanjutkan dengan melakukan pengamanan jalan napas
dan kecukupan sirkulasi yang perlu dipantau secara berkesinambungan berdasarkan produksi
urine.

Perbedaan bermakna antara anak–anak dengan dewasa adalah sebagaimana diuraikan


berikut:
 Ukuran dan proporsi tubuh pada anak [2]
 Dinamika cairan
 Ketebalan kulit
 Perbedaan sosial dan perkembangan emosional.

Epidemiologi
Insiden luka bakar pada populasi anak jauh lebih tinggi dibandingkan dewasa [3], dengan
penyebab yang berbeda sebagaimana terlihat pada tabel 9. 1

Tabel 9. 1
Penyebab luka bakar pada anak (%)

Air panas 55%


Kontak 21%
Api 13%
Friksi 8%
Listrik l 1%
Kimia 1%
Lainnya 1%
(ANZBA Bi-NBR Annual Report 2011[8])

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


161
59
PAda anak yang usianya lebih kecil, insiden luka bakar karena air panas menempati urutan
pertama, sementara luka bakar akrena api lebih umum dijumpai pada anak yang usianya lebih
besar [84, 85].

Riwayat
Sebagai pada luka bakar pada umumnya, anamnesis merupakan hal yang sangat penting [21].
Pada anamnesis harus diperoleh informasi mengenai modus dan waktu terjadinya cedera.
Catatan khusus harus diperoleh dari anamnesis tersebut adalah adanya inkonsistensi dari
riwayat dengan dengan temuan pada pemeriksaan fisik atau keterlambatan karena ada
kemungkinan berhubungan dengan luka bakar yang bukan terjadi karena kecelakaan. Masalah
jalan napas yang tidak nyata tampak seperti sleep apnoea atau asma harus teridentifikasi,
demikian pula halnya dengan hubungan psikologik anak dengan keluarganya.
Informasi penting lainnya yang perlu diperoleh adalah pertolongan yang sudah diberikan. Pada
kasus air panas, berapa suhu air, termasuk jenis pakaian yang dikenakan saat terjadi cedera.
Hal ini akan membantu memperkirakan kedalaman luka bakar dan perlunya diberikan edukasi
lebih lanjut.

Ukuran dan proporsi tubuh


Anak berbeda dengan dewasa dalam hal rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan
dan dalam hal ukuran relatif bagian tubuh tertentu dengan bagian tubuh lainya [7]. Dengan
besarnya rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan maka [21]:
 Rasio metabolisme besar
 Proses evaporasi tinggi
 Proses kehilangan panas lebih besar

Kesemuanya memiliki relevansi dengan penatalaksanaan luka bakar pada anak, karena
pemebrian cairan resusitasi didasarkan pada berat badan ketimbang luas permukaan.
Penerapan formula karenanya menjadi kompleks, sehingga sulit untuk diterapkan secara
universal. Namun, pada prakteknya, kasus luka bakar pada anak memerlukan lebih banyak
variasi kalkulasi volume cairan dibandingkan pada dewasa.
Pada anak, kepala dan leher merupakan bagian yang secara komparatif lebih besar
dibandingkan dewasa; demikian pula ukuran tungkai yang secara komparatif lebih kecil
dibandingkan dewasa (gambar 5. 2) [21]. Bayi berusia sampai satu tahun, luas permukaan
kepala dan leher berkisar 18% luas permukaan tubuh dan tungkai berkisar 14%. Dalam masa
pertumbuhannya, setiap tahun di atas usia satu tahun, maka ukuran kepala berkurang sekitar
1% dan ukuran tungkai bertambah 0. 5% dibandingkan luas permukaan tubuh [3]. Dengan
modifikasi kasar dari rule of nines terlihat untuk kepentingan klinik bahwa proporsi dewasa
tercapai saat seorang anak mencapai usia sepuluh tahun. Karenanya, dapat terjadi kesalahan
kalkulasi perhitungan laus luka bakar dan perhitungan kebutuhan cairanresusitasi.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


162
60
Kedalaman Luka Bakar
Kedalaman luka bakar sebanding dengan suhu, durasi penggunaan dan berbanding terbalik
dengan faktor–faktor yang merusak jaringan. Salah satu faktor adalah ketebalan kulit. Pada
anak–anak, kulit lebih tipis dibanding dewasa. Atas dasar ini, cedera termal menyebabkan
kerusakan deep–dermal atau bahkan seluruh ketebalan kulit; dibandingkan suhu dan durasi
yang sama pada dewasa.

Pada bayi, air dengan 60C akan menyebabkan


 Luka bakar seluruh ketebalan kulit dalam waktu kurang dari satu detik
 Anak yang sudah besar mampu bertahan sampai lima detik pada suhu ini.
 Dewasa hanya mendapat luka bakar yang dalam setelah 20 detik.

Refleks menghindar pada anak–anak


Adanya rangsang menyakitkan tidak menimbulkan respon dalam waktu cepat dan konsisten
sebagaimana pada dewasa. Seorang balita yang berdiri di air panas atau api tidak akan
berusaha menjauh, hal ini menyebabkan luka bakar dalam.

Asesmen kedalaman luka bakar


Pemeriksaan kedalaman luka bakar pada anak–anak lebih sulit dibanding pada dewasa. Pada
anak–anak, luka bakar superfisial (dengan lepuh) lebih umum dibandingkan luka bakar api dan
kedalamannya sangat sulit dinilai. Kulit tipis pada anak–anak menyebabkan kesulitan dalam
asesmen kedalaman luka bakar[7]. Perubahan warna kulit yang terbakar pada anak tidak selalu
sama dengan dewasa. Warna merah tua dengan sedikit bintik pada anak merupakan indikasi
dari deep–dermal atau seluruh ketebalan kulitdan beberapa hari berikutnya akan berubah
suram bahkan kekuningan yang menunjukkan kerusakan seluruh ketebalan kulit.

Pertolongan pertama dan transpor


Prinsip dari pertolongan pertama hentikan kontak dengan sumber panas, hentikan proses
pembakaran dan gunakan air dingin adalah sama sebagaimana pada dewasa. Namun, harus
diingat bahwa risiko hipotermia lebih besar pada anak dibandingkan dengan dewasa.

Hipotermia pada anak dikarenakan beberapa faktor. Besar rasio luas permukaan tubuh
terhadap massa tubuh merupakan hal yang sangat penting. Anak di bawah usia 1 tahun tidak
memiliki refleks mengigil. Anak yang lebih besar mungkin memiliki refleks mengigil, namun

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


163
61
massa otot mereka jauh lebih kecil; dengan demikian, rasio total massa tubuh dan konten suhu
jauh lebih kecil.

Risiko hipotermia harus diperhatikan saat melakukan pertolongan pertama dan selama
transportasi. Pertolongan pertama yang baik dan beanr harus diterapkan sebagaimana pada
dewasa namun harus benar–benar diaplikasikan pada daerah luka dan menjaga agar tubuh
anak tetap hangat. Pada luka bakar ekstensif, waktu penggunaan air dingin optimal dibatasi
hanya selama 20 menit guna menghindari hipotermia.

Jangan menggunakan es

Selama stabilisasi dan selama transportasi, selimut sangat sangat berguna mencegah
kehilangan panas tubuhmelalui evaporasi dan konveksi.Bagian tubuh yang terpapar harus
ditutup, sebaiknya gunakan lembaran yang menjaga kelembabansemacam plastik.

Jalan napas
Obstruksi jalannapas atas pada anak–anak merupakan hal umum. Pembesaran kelenjar
gondok, amandel dan laryngomalacia mungkin ada sebelum cedera termal (3) dan menurut
anamnesis terdeteksi adanya sleep apnoea seperti mendengkur atau melindur, mengantuk di
siang hari atau pernapasan bising. Narkosis mungkin tidak hanya akan menyebabkan depresi
respirasi namun juga menyebabkan relaksasi otot–otot faring dan meningkatkan kemungkinan
obstruksi. Adanya pembengkakan pada obstruksi dapat menimbulkan masalah.
Diameter saluran napas bagian bawah memiliki ukuran absolut lebih kecil pada anak
dibandingkan dewasa (2,3). Karenanya, adanya pembengkakan di mukosa bronkus atau
akumulasi sekret di bronkus menyebabkan jauh berkurangnya penampang dearah permukaan
mukosa sehingga menganggu aliran udara (2). Atas dasar ini, pipa tanpa cuff digunakan pada
anak dengan usia di bawah 10 tahun.

Reaksi hiperaktivitas bronkus (asma) merupakan kondisi umum dijumpai pada anak–anak yang
ditandai adanya riwayat batuk malam hari terutama dimusim dingin atau setelah suatu infeksi
pada sistem respirasi. Inhalasi asap sering menyebabkan bronkopasme pada anak–anak yang
rentan terhadap reaksi ini.

Teknik intubasi endotrakea sedikit berbeda pada anak dibandingkan dewasa. Laring lebih tinggi
ke arah sefalad dibanding dengan dewasa. Dengan pipayang berdiameter lebih kecil, maka
frekuensi suction harus ditingkatkan untuk pembersihan sekret. Stabilisasi pipa lebih sulit
khususnya bila wajah terbakar; pengunaan 2 buah pengikat, satu di atas telinga dan satu
dibawahnya (dandapat dipanjangkan saat edema bertambah) akan sangat berguna. Posisi
ujung pipa harus diperiksa melalui auskultasi sebelum memperbaiki posisi pipa diikuti
pemeriksaan foto toraksuntuk konfirmasi posisi pipa. Intubasi endotrakea pada anak hanya
dilakukan oleh praktisi yang terlatih dan berpengalaman.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


164
62
Jika terjadi obstruksi jalan napas dan intubasi endotrakea tidak dimungkinkan, lakukan
krikotiroidotomi. Jarum berdiameter besar (14G) melalui membran krikotiroid ditembuskan
dan berperan sebagai cricothyroidotomy. Ini merupakan solusi sementara dan mungkin
diperlukan trakeostomi emergensi.

Manajemen Cairan

1. Perbedaan antara anak dan dewasa

Dinamika cairan dan ukuran tubuh berbeda antara anak dan dewasa. Pada anak, proporsi
terbesar cairan tubuh adalah pada ekstra sel. Pada anak volume darah 80mL/kg, sedangkan
pada dewasa 60–70mL/kg [2]. Kapasitas konsentrasi tubulus renalis pada anak lebih kecil
dibanding dewasa. Berdasarkan hal ini, kehilangan cairan pada anak lebih besar dan mungkin
lebih cepat dibandingkan dewasa [2, 3] dan asupan cairan berlebihan sulit ditangani. Disisi lain,
depresi fungsi kardio–respirasi dan cadangan renal yang dijumpai pada dewasa tidak terjadi
pada anak–anak. Oleh karenanya, kecuali ada penyakit pre–morbid, fisiologi anak dapat
diandalkan untuk mengatasi beban cairan dengan cepat, meskipun ekses cairan dalam jumlah
besar kurang mudah ditangani seperti yang disebutkan di atas. Edema serebri lebih mungkin
dijumpai pada anak dengan kelebihan cairan terutama disertai hiponatremia. Risiko ini dapat
dikurangi dengan meninggikan posisi kepala dalam 24 jam pertama.

Atas dasar perbedaan ini, resusitasi cairan dimulai pada anak dengan luka bakar 10% bukan
20% seperti dewasa.

2. Asesmen status cairan

Mekanisme kompensasi yang baik pada anak menunjukkan sirkulasi yang terpelihara baik pada
kondisi dijumpai kekurangan cairan. Dengan demikian, sangat minim informasi yang dapat
menunjukkan gagal sirkulasi hingga dijumpainya tanda syok yang nyata. Pertanda syok dan
hipoksia yang umum dijumpai pada dewasa seperti agitasi dan takikardia kurang bermakna
karena kondisi ini dipengaruhi faktor lain. Misalnya, takikardia dapat disebabkan stres atau
respon hipermetabolik pada luka bakar dan agitasi akibat nyeri atau ansietas [7].

Hipotensi merupakan tanda lanjut dari suatu hipovolemia dan menunjukkan adanya
dekompensasi homeostasis: dan bila hal ini terjadi, penderita dengan sangat cepat jatuh ke
syok ireversibel.

Pertanda yang memberikan informasi ketidakcukupan sirkulasi merupakan indikator yang


direkomendasikan pada kursus Advanced Paediatric Life Support (APLS):

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


165
63
 Takikardia(sesuai usia)
 Waktu pengisian ulangkapiler >2 detik
 Suhu perifer (akral)dingin, pucat atau berbintik
 Disfungsi organ,takipnu, perubahan status mental

3. Produksi urin

Parameter yang dapat diandalkan untuk mengukur kecukupan resusitasi adalah produksi
urin[3, 7, 11, 14, 18, 20, 35]. Namun, pengukuran ini sangat sulit pada anak karena obstruksi
mekanik pada kateter urin yang berdiameter kecil sangat mudah terjadi; dan terkumpulnya
beberapa mililiter urin dalam pipa berdiameter besar dapat menyebabkan kekeliruan dalam
penilaian. Upayakan produksi urin 1mL / kg / jam sedapat mungkin dalam rentang 0. 5–2mL /
kg / jam [3, 7].

Saat penambahan cairan diperlukan, berikan 5 sampai 10 mL/kg dengan cepat. Penambahan
cairan juga dapat dilakukan dengan meningkatkan kebutuhan cairan berikutnya hingga 150%
dari volume kalkulasi. Kedua metode ini mungkin diperlukan saat status cairan mengalami
deplesi. Penilaian berulang tiap 15–30 menit diperlukan untuk menentukan apakah perlu
diberikan bolus cairan kembali.

4. Kanula intravena

Sebagaimana pada dewasa, pilihan utama pada pemberian cairan adalah kanulasi vena
perkutan; di daerah yang tidak terbakar [2]. Di tangan yang ahli, insersi perkutan dengan
kateter berdiameter besar pada vena utama seeprti femoralis akan sangat bermanfaat. Bagi
yang belum berpengalaman, teknik ini sangat berbahaya dilakukan pada anak–anak. Kanulasi
vena perifer perkutan pada daerah terbakar dapat dibenarkan meski lebih sulit [2]. Prosedur
vena sksi memerlukan keahlian, lebih lamban dan memisahkan vena secara permanen hingga
tidak direkomendasikan lagi.

Pemberian cairan intra–osseousrelatif lebih aman [2, 3, 7, 9, 72]dan cepat; kini merupakan
teknik pilihan untuk akses vena darurat.

5. Maintenance cairan

Pada anak–anak, kebutuhan cairan maintenance berhubungan dengan jumlah cairan resusitasi
[3]. Perhitungan kebutuhan cairan maintenance:
 100mL/kg untuk 10kg pertama
 50mL/kg untuk berat badan 10 kg–20kg
 20mL/kg untuk berat badan di atas 20kg

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


166
64
 5% glukosa dalam0. 45% salin (½normal) [3].

Cairan harus mengandung glukosa yang dapat ditambahkan ke dalam volume cairan resusitasi
pada anak–anak dengan berat badannya sampai dengan 30 kg. Tambahan glukosa ini sangat
diperlukan karena terjadi penurunan glikogen pada anak dan hipoglikemia terjadi dengan
cepat dan khususnya berkaitan dengan hipotermia. Estimasi kadar glukosa darah secara
reguler sangat diperlukan selama stabilisasi dan transportasi.

Eskarotomi
Eskarotomi ekstremitas pada anak sangat diperlukan sebagaimana pada dewasa [2].
Eskarotomi pada trunkus lebih sering diperlukan pada anak dibandingkan dewasa, karena anak
bernapas secara diafragmatik; adanya kekakuan dinding abdomen lebih mungkin
menyebabkan keterbatasan volume tidal. Untuk alasan ini, gangguan gerakan gas dapat terjadi
pada trunkus yang terbakar tanpa harus melingkar. Karenanya, pada luka bakar di sekitar dada
anterior, lateral dan bagian atas abdomen, eskarotomi harus dipertimbangkan. Pada situasi ini,
prosedur tambahan disamping prosedur yang dijelaskan pada bab 7 eskarotomi; diperlukan
sayatan melintas bagian atas abdomen sejajar tepi iga untuk memungkinkan gerakan dinding
abdomen terpisah dari gerakan dinding dada.

Saluran cerna
Anak–anak lebih rentan terhadap dilatasi lambung dibandingkan dewasa dan cenderung
menelan udara saat menangis. Diperlukan insersi pipa nasogastrik pada fase awal pemeriksaan
dan selama transportasi khususnya jika diperlukan evakuasi udara. Namun, tingkat
metabolisme anak–anak yang tinggi dan kebutuhan gizi mereka untuk pertumbuhan berarti
bahwa mereka memiliki toleransi yang sedikit atas kekurangan gizi. Makanan utama yang dini
harus diberikan secepat mungkin saat mereka tiba di rumah sakit karena ini dapat mengurangi
hilangnya fungsi usus dan menjaga nutrisi mereka.

Penilaian Progresivitas Luka


Penilaiankedalaman luka pada anak sulit dalam 7–10 hari pertama. Bagaimanapun, luka bakar
pada anak yang tidak mengalami epitelialisasi dalam 10 hari harus dilakukan skin grafting.

Aspek Emosional
Patologi psikososial sebelum traumamerupakan hal umum dijumpai pada luka bakar anak
sebagaimana dijumpai padadewasa, namun dengan patologi berbeda. Kekurangan dalam
berbagai hal, kurangnya bimbingan sosial dan asuhan menyebabkan kekurangan berlanjut

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


167
65
dalam hal perlindungan anak. Orang tua kerap bermuatan dan terlibat dalam kesibukan
masing–masing (masalah sosial dan emosional mereka) dan tak jarang membuat keputusan
yang berisiko bagi anaknya. Anak–anak remaja dari keluarga dengan orang tua seperti ini
sering melakukan pengambilan keputusan berisiko tanpa peran orang tua.

Perubahan emosional dan sosial pada anak sangat berbeda dengan dewasa. Bermain
merupakan bagian terpenting pada aktivas normal anak sehari–hari. Sosialisasi dalam
kelompok sebaya dan pemisahan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan
emosional seorang anak. Interaksi antar individu berbeda dan bahasa yang digunakan harus
sesuai dengan usia anak bersangkutan. Pentingnya menempatkan kepercayaan dalam
hubungan anak, menuntut seorang dewasa jujur terhadap anak mereka setiap saat.
Pernyataan tegas dan menakutkan harus dihindari.

Bila seorang anak mengalami luka bakar, maka seluruh keluarga mengalami gangguan
emosional; merasa bersalah dan saling menyalahkan adalah suatu keadaan yang paling
menonjol. Saudara sering sangat terpengaruh. Teman bermain, kelompok sebaya (misalnya
sekolah) juga terlibat. Semua aspek pada anak ini harus ditangani dan mendapat perhatian
sejak awal.

Perubahan emosional jangka panjang seorang anak pasca luka bakar tergantung peran /
bantuan emosional seluruh anggota keluarga;berbeda dengan dewasa yang terkonsentrasi
pada pasien itu sendiri. Oleh karena itu, dukungan keluarga sangat penting dan dimulai sejak
awal.

Cedera bukan kecelakaan


Faktor emosional yang sering memberi kontribusi pada penyebab luka bakar pada anak terdiri
darisuatu spektrum yang bervariasi dari kurang–pengawasan sesaat, hingga suatu kondisi
psikopatologik jangka panjang berupa tindak kekerasan pda anak [7]. Untuk menetapkan
cedera bukan kecelakaan ini berada di titik mana pada spektrum adalah sulit. Namun,
menentukan bahwa seorang anak “memiliki risiko” di masa depan akan lebih mudah. Di sisi
lain, petugas medik memiliki kewajiban hukum (yang bervariasi antar di setiap negara) untuk
melaporkan cedera yang dicurigai disengaja. Laporan mengenai hal ini dilakukan oleh unit
rujukan[7].

Bila terdapat kecurigaan adanya tindak kekerasan anak, maka rujukan ke unit luka bakar
diperlukan. Selama proses transfer ini, hal–hal yang menimbulkan kecurigaan
didokumentasikan dengan jelas dan dilaporkan. Tiap rumah sakit harus memiliki protokol
dalam penanganan hal ini dengan penekanan komunikasi antar–lembaga untuk memberikan
perlindungan anak.

Dugaan cedera bukan kecelakaan dapat dikemukakan bila [1, 10]:

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


168
66
 Penderita tidak segera dibawa ke rumah sakit
 Informasi pada anamnesis tidak konsisten dengan pemeriksaan fisik
 Informasi pada anamnesistidak sesuai dengan pola cedera
 Adanya tanda–tanda trauma lainnya
 Pola cedera tertentu (misalnya tanda rokok atau luka bakar melepuh pada “sepatu dan
kaos kaki”

Harus diingat bahwa tuduhan yang tidak benar atas cedera bukan kecelakaan sangat merusak
reputasi keluarga.Tampilan luka bakar yang tidak lazim dapat saja disebabkan oleh kecelakaan
dan jangan secara otomatis diasumsikan sebagai sesuatu yang disengaja. Anak–anak ini harus
ditransfer ke unit luka bakar anakdan mendapatkan penilaian dengan teknik sebagaimana
mestinya.

Dalam prakteknya, perbedaan antara ‘kecelakaan’ dan ‘bukan karena kecelakaan’ kurang
penting secara medis dibanding sosial. Semua anggota keluarga memerlukan bantuan selama
jangka waktu panjang dan yang terpenting adalah hasil akhir jangka panjang yang terbaik
secara fungsional.

Kriteria transfer
Pada anak–anak, batas kebutuhan untuk prosedur transfer lebih kecil dibandingkan dewasa.
Anak dengan luka bakar > 5%, prosedur transfer harus dipertimbangkan. Pada beberapa kasus,
alasan prosedur transfer mungkin demikian sederhana, misanya untuk manajemen nyeri,
karena pemberian opioid perkontinum tidak tersedia. Pada beberapa kasus lain, prosedur
transfer timbul pada kasus bukan kecelakaan yang memerlukan konsultasi dini dengan unit
luka bakar dan transfer secepat mungkin. Kriteria lainnya yang berlaku pada dewasa, seperti
luka bakar di area khusus (tangan, wajah, kaki dan perineum), dan diketahui atau diduga
cedera inhalasi, luka bakar disertai trauma berat lain, luka bakar pada pasien dengan kondisi
pre–morbid, juga berlaku pada kasus anak.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


169
67
Ringkasan
Semua prinsip pelayanan luka bakar yang berlaku pada dewasajuga berlaku pada kasus anak.

Faktor–faktor yang membedakan fokus pelayanan pada anak adalah:


 Perbedaan proporsi tubuh
 Perbedaan dinamika cairan
 Kulit yang tipis
 Perbedaan keperluan psikososial
Perbedaan fisikpada anak:
 Tendensi hipotermia
 Kedalaman luka bakar
 Tingginya kebutuhan cairan

Latar belakang psikososial dan kebutuhan emosional pada anak yang menderita luka bakar
beserta keluarganya berbeda dengan pasien dewasa.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


170
68
Bab 10

Luka Bakar Listrik


Introduksi
Luka bakar listrik terdiri dari tiga bagian, yaitu listrik tegangan rendah, tegangan tinggi dan
sengatan petir. Setiap kelompok memiliki gambaran tersendiri yang patut dipertimbangkan.
Gamabaran umum dari masing–masing adalah panas yang dihasilkan dapat berakibat pada
luka bakar.

Tabel 10. 1
Luka bakar listrik
Tegangan Kulit Kedalaman jaringan Gangguan irama jantung
Tegangan Luka masuk dan luka Jarang mencapai Henti jantung dini atau
Rendah keluar kedalaman tidak ada sama sekali
(<1000V)
Tegangan Luka bakar percikan Kerusakan otot dan Aliran melalui toraks
Tinggi (>1000V) apidengan luka rabdomiolisisdan dapat menyebabkan
masuk dan keluar sindroma kerusakanmiokardial dan
mencapai seluruh kompartemen, gangguan ritmik yang
ketebalan kulit (full timbul lambat
thickness)
Sambaran Petir Luka bakar percikan Henti napasdan
Perforasi gendang resusitasiberkepanjangan
apisuperfisial atau
telinga dan kerusakan
sedalam dermal.
kornea
Luka bakar keluar di
kaki

Tegangan listrik masuk ke dalam kategori rendah bila berada di bawah 1000 volt. Termasuk
suplai listrik satu–fase sebesar 240 volt alternating current (AC) dengan 50 siklus (50Hz) per
detik yang digunakan untuk perumahan di Australia dan Selandia Baru. Pasokan listrik pada
industri umumnya tiga fase dengan tegangan 415 volt.
Kecelakaan listrik tegangan rendah dapat terjadi pula pada arus satu arah (direct current, DC)
yang digunakan pada industri pelapisan logam, purifikasi elektrolit dan beberapa sistem
transportasi. Aki mobil umumnya menghasilkan arus dengan tegangan 12 volt yang
menyebabkan luka bakar ketika terjadi sirkuit / hubungan pendek dengan logam (misal, cincin

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


171
69
dan perhiasan). Prosedur hemostasis menggunakan diatermi merupakan penerapan efek
kauter direct current (DC).

Tegangan listrik masuk ke dalam kategori tinggi bila berada di atas 1000 volt.[10] Arus sebesar
11000 atau 33000 volt dalam kabel transmisi tegangan tinggi merupakan arus yang paling
umum digunakan. Tegangan lebih tinggi dijumpai pada pembangkit tenaga listrik maupun
gardu listrik.

Sambaran petir merupakan tegangan tinggi yang ekstrim, amplitude (amper) yang tinggi, aliran
listrik DC yang menghasilkan durasi sangat pendek dan dapat menyebabkan pola cedera yang
tidak lazim.

Patofisiologi
Kerusakan jaringan pada luka bakar listrik terjadi karena dihasilkannya panas akibat adanya:
 Resistensi jaringan
 Durasi kontak
 Besar arus listrik [86].

Setiap jaringan menunjukkan perbedaan karakteristik resistensi listrik sesuai dengan isi
elektrolitnya. Dalam rangka penurunan resistensi, berbagai jaringan terdaftar dibawah ini

 Tulang
 Kulit
 Lemak
 Saraf
 Otot
 Darah dan cairan tubuh.

Resistensi kulit bervariasi berdasarkan ketebalan, serta basah atau keringnya kulit. Kulit tebal
dan kering memiliki resistensi yang tinggi dibandingkan kulit yang tipis dan lembab (misal
berkeringat). Tingginya suhu yang dihasilkan konduktor tergantung pada panas yang
melampaui konduktor melalui proses konduksi, konveksi dan radiasi.
Listrik melampaui tulang sebagai suatu konduktor buruk menyebabkan kenaikan suhu
bermakna karena panas diserap. Kenaikan suhu tulang berkelanjutan bahkan setelah arus
listrik berhenti, menyebabkan kerusakan sekunder. Fenomena ini dikenal sebagai the joule
effect. Karena kedalaman tulang, panas dilepas perlahan dan menyebabkan kerusakan pada
periosteum, otot dan saraf di sekitarnya.
Tingginya arus pada titik kontak dan resistensi kulit yang tinggi menyebabkan panas tinggi yang
menyebabkan kulit hangus. Pada cedera tegangan tinggi, terjadi proses arcing (locatan arus
listrik, red.) pada sendi seperti pergelangan tangan dan siku, menyebabkan gosongnya kulit

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


172
70
dan luka dalam. Kulit hangus dengan luka serupa merupakan luka keluar yang terdapat di kaki
atau telapak tangan karena resistensi tinggi dan ketebalan kulit yang menghasilkan panas
tinggi.

Jenis luka
Pada listrik dengan arus tegangan rendah, terjadi kerusakan lokal yang signifikan di tempat
kontak, luka masuk dan luka keluar [10, 87] mungkin dijumpai kelainan jantung tetapi tidak
terjadi kerusakan jaringan dalam. Pada arus listrik di perumahan (50 Hz) terjadi kejang otot
atau tetani dan menyebabkan penderita tidak dapat lepas dari kontak dengan benda beraliran
listrik [2][23].

Pada arus tegangan tinggi ada dua kemungkinan mekanisme cedera. Pertama, luka akibat
letupan listrik yang menimbulkan bunga api. Pada luka jenis ini, dijumpai luka bakar di kulit
tanpa kerusakan jaringan dalam karena arus tidak melalui tubuh penderita. Adanya letupan
menyebabkan pakaian terbakar dan mengakibatkan luka bakar kulit tanpa luka kontak, luka
masuk dan luka keluar[10].

Transmisi arus tegangan tinggi umumnya menghasilkan kerusakan jaringan di titik kontak
berupa kerusakan seluruh ketebalan kulit (full thickness) dan kerusakan jaringan dalam [23].
Kerusakan organ tubuh adalah hal yang tidak umum, lebih mungkin disenbabkan karena jatuh
dari ketunggian (tiang atau menara listrik).
Kerusakan otot terjadi dibawah kulit yang kadang terlihat normal mungkin terjadi sangat hebat
melibatkan keseluruhan kompartemen di ekstremitas [88].

Pembengkakan ekstremitas akibat kerusakan otot menyebabkan kondisi menyerupai crushed


syndrome. Ekstremitas tegang pada perabaan, disertai gejalanyeri hebat, dan kondisi ini
menyebabkan penurunan sirkulasi ke distal, hilangnya pulsasi. Kondisi ini memerlukan
fasiotomi dan mungkin diperlukan anestesi umum.

Kerusakan dan nekrosis otot diikuti pelepasan mioglobin dari sel otot ke sirkulasi. Pigmen ini
bersama hemoglobin yang berasal dari hemolisis sel darah merah menyebabkan gangguan
ginjal karena kedua jenis haemochromogens tersebut mengendap di tubulus ginjal diikuti gagal
ginjal akut [10].

Sambaran petir diakibatkan tegangan yang sangat tinggi, dengan amplitudo (ampere) tinggi
dan sirkuit / hubungan pendek arus satu arah (direct current, DC). Bentuk cedera ini kurang
populer di Australia dan Selandia Baru. Tiap tahun 5 sampai 10 orang Australia, 90 di Amerika
Serikat, 10,000 orang di dunia mengalami kematian yang disebabkan oleh sambaran petir.

Pola cederanya sangat bervariasi [2]. Sengatan / sambaran langsung mengenai korban memiliki
risiko kematian tinggi. Yang umum terjadi adalah sambaran dalam bentuk kilatan atau

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


173
71
percikan, ketika petir menyambar sebuah obyek dengan resistensi tinggi seperti pohon.
Sengatan listrik selanjutnya mengenai tungkai penderita setelah sampai di tanah. Kekhasannya
adalah arus mengalir di permukaan tubuh penderita menyebabkan luka bakar superfisial
hingga ketebalan dermis. Juga dijumpai luka bakar keluar di tungkai atau kaki.

Durasi singkat sambaran petir umumnya tidak diikuti kerusakan jaringan dalam yang
nyatanamun kerap terjadi hentinapas henti jantung [2]. Gangguan napas terjadi awal akibat
dari dampak arus pada pada pusat napas di medula. Kondisi ini biasanya bersifat reversibel dan
memerlukan tindakan resusitasi yang panjang.

Organ lain yang dapat mengalami kerusakan adalah telinga. Perforasi membran timpani
mungkin dijumpai akibat ledakan dan harus diperiksa [2]. Kerusakan kornea juga dapat terjadi
dan ini mungkin dalam bentuk akut atau sekuel jangka panjang.

Sambaran petir juga dapat mengakibatkan kerusakan kulit yang tidak biasa, penampilan
arborescent atausplashedyang disebut Lichtenberg flowers dan patognomonik suatu sambaran
petir [2].

Manajemen
Prosedur penyelamatan korban kecelakaan listrik menghadapkan penyelamat pada risiko nasib
yang sama[24]. Hal yang harus diperhatikan adalah, pertama putuskan hubungan dengan
sumber arus listrik atau singkirkan kabel beraliran dari korban [24]. Jika hal ini tidak
dimungkinkan, pindahkan korban dari sumber arus listrik menggunakan sebuah non–
konduktor.
Harus diingat bahwa listrik bahwa tegangan tinggi akan dialirkan melalui udara; tegangan listrik
1.000 volt hanya akan menimbulkan loncatan beberapa milimeter saja, 5.000 volt akan
menyeberang sampai satu sentimeter, dan 40.000 volt hingga 13 sentimeter.

Setelah terbebas dari arus listrik, survei primer dapat dilakukan pada tiap cedera luka bakar.
Jalan napas harus bebas dan tulang belakang servikal terlindungi. Henti napas dapat terjadi
dampak arus listrik pada medula, dan henti jantung akibat efek arus listrik pada miokardium.
Sehingga resusitasi jantung–paru sangat penting pada tatalaksana korban luka bakar listrik.
Intubasi endotrakea mungkin diindikasikan untuk mempertahankan patensi jalan napas.
Proteksi tulang belakang servikal sangat penting karena trauma daerah ini sangat mungkin
terjadi bersamaan dengan luka bakar listrik [24]. Kejang otot hebat dapat terjadi pada arus
listrik di rumah tangga dan menyebabkan fraktur tulang. Petugas listrik mungkin jatuh dari
ketinggian seperti tiang, menara atau peralatan tinggi lainnya).

Kemungkinan fraktur pada tulang belakang servikal harus disingkirkan melalui pemeriksaan
pencitraan dengan metode khusus (penggunaan meja khusus untuk foto tulang belakang).
Sebelum menanggalkan imobilisan (hard collar) saat pemeriksaan radiologik, gunakan kantong

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


174
72
pasir atau fiksasi kepala dengan cara memegangnya. Gunakan papan tulang belakang atau
kantong pasir untuk melindungi tulang belakang torasik dan lumbal sampai kemungkinan
fraktur di daerah ini tersingkirkan.

Riwayat trauma
Selesai melakukansurvei primer, dapatkan riwayat trauma baik dengan melakukan anamnesis
pada pasien, saksi atau paramedis.
 Bagaimana terjadinya kecelakaan?
 Kapan terjadinya?
 Apakah pasien pinsan, bila ya, berapa lama?
 Apakah terjadi amnesia pada saat itu?
 Apakah terdapat trauma yang terkait?
 Apakah terjadi serangan jantung atau apakah terdapat gangguan aritmia?

Survei Sekunder
 Pertama, lepaskan semua pakaian dan barang–barang seperti jam tangan dan perhiasan.
 Lakukan pemeriksaan luka masuk atau kontak luka dengan perhatian khusus pada kulit
kepala, tangan dan kaki.
 Memperkirakan total area luka bakar dan kedalaman luka bakar tersebut.
 Lakukan pemeriksaan neurologik dengan fokus khusus pada susunan saraf pusat dan
perifer.
 Dokumentasikan semua temuan klinis.

Resusitasi
Jika pada saat penyelesaian survei sekunder, cedera yang ada memerlukan resusitasi cairan,
gunakan dua jalur intravena kanula besar seperti pada luka bakar luas lainnya.

Kebutuhan cairan pada luka bakar listrik cenderung volumenya lebih besar dibandingkan
jumlah yang diantisipasi pada luka bakar kulit saja. Kerusakan otot yang tidak tampak pada
ekstremitas mengakibatkan kehilangan cairan yang tidak diperhitungkan menggunakan rumus
standar.

Pada pasien dengan kerusakan jaringan yang dalam, haemochromogenuria harus diantisipasi
[2, 23]. Kateter urin harus dimasukkan untuk deteksi gejala dini perubahan warna urin dan
untuk memantau produksi urin. Jika terlihat pigmen pada urin, laju infus cairan harus
ditingkatkan guna mempertahankan produksi urin 75–100 mL/jam bagi dewasa dan 2
mL/kg/jam pada anak–anak.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


175
73
Bila produksi urin tidak tercapai dengan pemberian cairan yang sesuai, tambahkan 12.5 g
mannitol ke setiap liter cairan untuk tujuan dieresis osmotik.

Alkalisasi urin [23] dengan penambahan natrium bikarbonat secara tradisional telah digunakan
untuk meningkatkan larutan haemochromogens pada urin. Namun rasionalnya kini
dipertanyakan. Jika diperlukan penggantian cairan yang lebih dari sederhana untuk
membersihkan pigmen urin, diusulkan untuk meminta saran ke unit luka bakar.

Bila haemochromogens tidak dijumpai lagi di urine, jumlah cairan harus dikurangi hingga
produksi urine dapat dipertahankan 30–50 mL/jam pada dewasa, atau pada anak–anak < 30kg
1 mL/kg/jam.

Gangguan aritimia
Konduksi arus listrik melalui dada dapat menyebabkan gangguan ritmik jantung mulai dari
aritmia yang bersifat temporer hingga henti jantung; meskipun hal ini jarang terjadi pada
cedera tegangan listrik rendah (<1000V). Penderita dengan sengatan listrik mungkin
memerlukan pemantauan EKG selama 24 jam; jika mereka terpapar pada tegangan tinggi,
pingsan atau menunjukkan EKG abnormal saat datang di instalasi gawat darurat (23). Aritmia
mungkin terjadi jika pasien memiliki gangguan miokardium yang sudah ada sebelumnya dan
diperburuk oleh adanya aliran listrik.

Penilaian Sirkulasi Perifer


Penilaian sirkulasi perifer harus dilakukan setiap jam:
 Warna kulit
 Edema
 Pengisian ulang kapiler
 Pulsasi perifer
 Sensasi kulit

Jika terdapat luka masuk atau keluar yang ekstrim, kemungkinan edema di bawah fasia harus
diantisipasi. Edema ini sangat mungkin menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen
pada yang menyebabkan gangguan sirkulasi [2]. Peningkatan tekanan kompartemen pada otot
menyebabkan nyeri hebat. Ekstremitas tegang pada palpasi dan hilangnya pulsasi perifer.
Dalam keadaan ini, diperlukan tindakan fasiotomi.

Fasiotomi

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


176
74
Berbeda dengan eskarotomi yang dilakukan untuk melepaskan jeratan eskar, fasiotomi
dilakukan untuk melepas tekanan di suatu kompartemen untuk memperbaiki perfusi ke otot.
Cara terbaik dalam melakukan fasiotomi adalah dalam anestesia umum dan dilakukan di ruang
steril. Kehilangan darah mungkin dapat diperkirakan, dan fasilitas hemostasis seperti diatermi
dan ligasi harus tersedia. Pendarahan yang timbulnya perlahan dan lambat dapat terajdi
setelah penderita teresusitasi. Sayatan fasiotomi harus dibalut dengan perban atau kasa
pembalut yangn tidak menekan.

Sangat penting untuk memberikan resusitasi yang baik kepada pasien sebelum fasiotomi
dilaksanakan sehingga haemochromogens terlepas dari otot i yang baru mengalami perbaikan
perfus dengan cepat terbilas dan dibuang melalui ginjal. Perlu melakukan konsultasi dengan
unit luka bakar untuk pemberian mannitol sebelum fasiotomi sebagai prosedur profilaksis.

1. Ekstremitas atas

Otot–otot lengan bawah sangat rentan terhadap iskemia dan sindroma kompartemen.
Tekanan ini dibebaskan dengan melakukan sayatan panjang melintang garis mid–medial dan
mid–lateral pada lengan, melintas di atas siku dan pergelangan tangan. Sayatan dibuat pada
kulit dan lemak subkutis selanjutnya membuka fasia dalam; lakukan sayatan pada fasia.
Perhatian khusus untuk melindungi saraf ulnaris di daerah siku. Pendarahan mungkin terjadi
dengan cepat dan memerlukan pengendalian hemostasis menggunakan diatermi atau ligasi.

Jika pasien mengalami hipotensi saat prosedur dilakukan, maka pendarahan biasanya
tertunda. Pembebasan carpal tunnel mungkin diperlukan pada luka bakar di tangan. Sebelum
melanjutkan prosedur ini, lakukan konsultasi dengan unit luka bakar.

2. Ekstremitas bawah

Ada empat kompartemen ekstremitas bawah yang dipengaruhi adanya edema subfasia yang
menyebabkan sindroma kompartemen [2]. Masing–masing kompartemen ini memerlukan
sayatan tersendiri. Empat buah sayatan dapat dilakukan melalui dua sayatan di kulit. Sayatan
lateral dilakukan di atas fibula, memanjang dari kaput hingga tiga perempat panjangn fibula.
Hati–hati jangan sampai mencederai saraf peroneal yang meliwati kolum fibula. Septum
intermuskular memisahkan kompartemen anterior dan lateral disayat sepanjang sayatan kulit.

Sayatan medial dimulai dari proksimal, berjarak satu jari di bawah margo subkutan tibia dan
dilanjutkan hingga maleolus medialis. Sayatan pada kulit, lemak subkutis dan fasia dengan
hati–hati agar tidak mencederai vena dan saraf safena. Fasia diretraksi, selanjutnya
kompartemen posterior dapat diidentifikasi dan lakukan sayatan dekompresi sepanjang
sayatan kulit.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


177
75
Sebagaimana halnya dengan lengan, fasiotomi ekstremitas bawah terbaik dilakukan dalam
anestesia umum dan dilakukan di ruang steril. Pendarahan mungkin terjadi dengan cepat dan
memerlukan pengendalian hemostasis menggunakan diatermi atau ligasi. Sekali lagi,
Pendarahan yang timbulnya perlahan dan lambat dapat terajdi setelah penderita teresusitasi.
Sayatan fasiotomi harus dibalut dengan perban atau kasa pembalut yangn tidak menekan.

Manajemen luka
Prinsip–prinsip umum luka bakar berlaku untuk luka bakar listrik dan telah dijelaskan
sebelumnya.

Banyaknya otot non vital mengharuskan manajemen luka bakar yang baik dan pemberian
antibiotika topikal menjadi keharusan untuk pencegahan infeksi.

Luka bakar listrik pada anak


Mayoritas luka bakar listrik pada anak disebabkan tegangan rendah yang terjadi di rumah
tangga [65, 86]. Isolasi peralatan listrik dan kabel yang rusak atau menempatkan benda logan
di titik sumber listrik merupakan penyebab utama luka bakar listrik pada anak–anak [65]. Anak
kecil cenderung mengambil dan mengisap kabel listrik dan menyebabkan luka bakar dalam di
sekitar mulut; difasilitasi air liur yang membasahi kabel listrik [86, 89]. Luka bakar pada jari dan
tangan umumnya terjadi pada anak yang sudah lebih besar, teknisi yang bekerja memperbaiki
peralatan rumah tangga dalam keadaan menyala. Pada kebanyakan kejadian, hal ini dapat
dicegah menggunakan pemutus sirkuit pengaman.

Sebagian besar listrik tegangan rendah menyebabkan luka seluruh ketebalan berukuran kecil
yang memerlukan eksisi dan penutupan, skin grafting atau perbaikan lain dan harus dirujuk ke
unit pelayanan luka bakar untuk mendapat pelayanan yang memadai. Kejadian pada tegangan
rendah rumah tangga biasanya tidak menyebabkan kerusakan jaringan otot yang besar pada
ekstremitas. Bagaimanapun, pengawasan EKG selama 24 jam mungkin diperlukan jika mereka
menderita luka bakar yang disebabkan oleh listrik tegangan tinggi, pingsan atau menunjukkan
EKG abnormal saat masuk rumah sakit sebagaimana dijelaskan sebelumnya (23).

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


178
76
Ringkasan
 Hindari cedera bagi mereka yang akan memberikan bantuan
 Atasi serangan jantung dan pernapassan
 Periksa dan kelola trauma yang terkait.
 Pola cedera terbagi dalam tiga bagian: tegangan tinggi, tegangan rendah dan sambaran
petir atau halilintar.
 Rumus standar resusitasi luka bakar mungkin tidak sama.
 Haemochromogenuria merupakan hal yang umum pada cedera tegangan tinggi dan
memerlukan tindakan khusus untuk mengupayakan produksi urine 75–100 mL/jam bagi
dewasa, 2 mL/kg/jam pada anak–anak, setelah urine dijernihkan.
 Cedera tegangan tinggi pada ekstremitas mungkin memerlukan fasiotomi.
 Berdasarkan kriteria rujukan dari ANZBA, semua luka bakar listrik harus dibawa ke rumah
sakit untuk mendapat pelayanan kesehatan yang memadai.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


179
77
Bab11

Luka Bakar Kimia

Introduksi
Lebih dari 25,000 produk yang dapat menyebabkan luka bakar kimia saat ini dipasarkan untuk
digunakan dalam bidang industri, agrikultur, kepentingan militer dan rumah tangga. Di
Amerika Serikat, lebih dari 3,000 kematian terkait langsung dengan cedera kulit kimia atau
saluran cerna tercatat setiap tahunnya dengan estimasi penderita 60,000 memerlukan
pelayanan medis untuk luka bakar kimia.

Sebagai bagian tubuh yang rentan cedera dan bagian tubuh yang berhubungan langsung
dengan bahan–bahan berbahaya, tangan dan bagian atas tubuh merupakanarea yang paling
sering mengalami cedera.

Proteksi
Sangat penting bahwa semua petugas yang memberi pertolongan pertama menyadari
kepentingan menjaga diri dari kontaminasi, misalnya menggunakan sarung tangan, masker
pelindung wajah. Semua pakaian terkontaminasi harus dilepas secepat mungkin dan
ditempatkan dalam wadah pelindung untuk pembuangan selanjutnya.

Etiologi dan Klasifikasi


Kecelakaan di laboratorium, penggunaan zat kimiawi dalam industri, penggunaan untuk tujuan
medis dan tindak kekerasan menyebabkan sebagian besar luka bakar kimia pada populasi sipil.

Bahan kimia yang biasa digunakan dan menyebabkan luka bakar antara lain:

1. Keperluan industri

Alkali: Natrium, kalium, amonium, lithium, barium dan kalsium hidroksida (sabun deterjen,
pembersih dren, dan penghilang cat).
Asam: pikrat, sulfasalisilat, tannic, trichloroacetic, cresylic, asetat, format, klorida dan flourida
(kaca dan elektronik).

2. Keperluan Rumah Tangga

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


180
78
Alkali: pembersih dren, penghilang cat, reagen tablet tes glukosa urin.
Fenol: deodoran, pembersih, disinfektan.
Natrium hipoklorat: disinfektan, pemutih, deodoran.
Asam sulfat: pembersih toilet
Fosfor: kembang api, insektida, pupuk

3. Keperluan Militer

Fosfor merah atau putih


Vesicants

Patofisiologi
Kerusakan jaringan merupakan dampak langsung paparan bahan kimia apapun tergantung
pada:
 Kekuatan atau konsentrasi agen
 Kuantitas agen
 Cara dan lamanya kontak dengan kulit /kontak mukosa
 Daya penetrasi ke dalam jaringan
 Mekanisme kerja

Perbedaan utama antara luka bakar kimia dan termal adalah lamanya waktu dimana kerusakan
jaringan berlanjut sejak agen kimia menyebabkan kerusakan yang progresif hingga
dinonaktifkan menggunakan bahan penetral atau pengeceran menggunakan air.

Estimasi kedalaman luka bakar dengan penilaian klinis setelah luka bakar mungkin sulit dalam
beberapa hari pertama pasca cedera.

Semua agen di atas menyebabkan cedera sel melalui berbagai jenis reaksi kimia.

Secara umum dapat dikatakan sebagai berikut:


 Asam menghasilkan nekrosis koagulasi.
 Alkali menghasilkan nekrosis likuifaktif.
 Vesicants menyebabkan nekrosis iskemia dan anoksia (dilepaskannya amin dari jaringan
yang menyebabkan terbentuknya bula).
 Kesemuanya menyebabkan koagulasi protein melalui proses oksidasi, korosif atau
penggaraman protein.

Gambaran penting akibat toksisitas sistemik beberapa zat kimia.


 Hipokalsemia: oksalat, asam flourida dan fosfor yang terbakar.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


181
79
 Gangguan / kerusakan sel hati dan ginjal: tannic, formic dan asam pikrat, fosfor dan minyak
bumi
 Cedera Inhalasi: asam kuat atau amonia.
 Methemoglobinemia dan hemolisis masif: kresol
 Perforasi septum nasi: asam kromat

Pertolongan Pertama
Tanggalkan semua pakaian yang terkontaminasi bahan kimia yang kering [24]. Alirkan air
dengan konstan adalah pertolongan utama pada luka bakar kimia [2] (kecuali unsur natrium,
kalium dan lithium). Untuk mendapatkan efek terbaik, tindakan ini dimulai dalam waktu 10
menit setelah terjadinya kontak.

Agen yang Aspesifik


Beberapa zat kimia non–espesifik semacam diphoterine saat ini tersedia dan bermanfaat pada
kebanyakan luka bakar kimia

1. Luka Bakar karena asam

 Nyeri hebat
 Penampilannya bervariasi mulai dari eritema (dangkal) hingga eskar hitam (dalam)
 Irigasi menggunakan air
 Diatasi dengan tindakan pembedahan seperti pada luka bakar termal

Asam Flourida
 Sangat korosif, asam non–organik dari unsur fluorine: luas permukaan tubuh 2% dapat
berakibat fatal

Mekanisme kerusakan
a) Ion hidrogen menyebabkan luka bakar asam pada kulit yang khas, yang dapat
diminimalisasi dengan air.
b) Ion flourida yang bebas masuk melalui kulit rusak akan mengikat ion kalsium. Hal ini
menyebabkan nekrosis jaringan yang lunak dan hipokalsemia berat sehingga mobilisasi
ion kalsium dari tulang tidak memadai untuk mengatasinya. Derajat kerusakan
tergantung pada konsentrasi asam, tingkat dan durasi kontak [90].
c) Aritmia mungkin terjadi akibat hipokalsemia dan hipomagnesemia.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


182
80
Tatalaksana [90]
 Aliran air [10]
 Potong kuku
 Inaktivasi ion fluoride bebas racun dan mengubah garam tidak larut dengan:
a) Jel untuk luka bakar mengandung kalsium glukonat [10, 90] (dengan dimetil
sulfoksid 10% [DMSO]).
b) Injeksi kalsium glukonat 10% topical (injeksi multipel 0.1–0.2 mL menggunakan
jarum 30G di jaringan luka bakar). Jumlah dan frekuensi injeksi dipantau dengan
menilai respon nyeri.
c) Infus kalsium glukonat intra–arterial.
d) Infus kalsium glukonat intravena ischaemic retrograde (Biers block).
e) Kadang diperlukan eksisi dini.

2. Luka Bakar Alkali


 Paling umum terjadi di rumah
 Kerusakan jaringan tidak secepat zat asam, namun kerusakan jaringan terjadi dalam kurun
waktu panjang karena terjadi likuifaksi (pencairan) yang menyebabkan kerusakan lebih
dalam [10].
 Irigasi lebih lama dibanding dengan asam (kurang lebih 1 jam)
 Untuk luka bakar dalam diperlukan operasi

Luka Bakar Semen


 Semen basah mengandung zat kaustik dengan pH 12. 9
 Nyeri dan luka bakar timbul lambat (dalam beberapa jam)
 Irigasi dalam waktu lama diperlukan

Luka Bakar Fosfor


 Umumnya terjadi pada tentara
 Fosfor putih terbakar spontan saat terpapar pada udara
 Teroksidasi menjadi fosfor pentoksida
 Diredam dengan air
 Partikel fosfor yang tertanam di kulit akan terus membakar
 Pengobatan
a) Pemberian air dalam jumlah yang banyak
b) Singkirkan partikel yang tampak
c) Berikan tembaga sulfat (akan terbentuk tembaga fosfid hitam yang memfasilitasi
terlepasnya partikel fosfor)
d) Kematian berhubungan dengan efek sistemik dari hipotensi dan tubular nekrosis akut

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


183
81
Bensin
 Campuran alkana, sikloalkana dan hidrokarbon yang kompleks.
 Komponen hidrokarbon merusak sel endotel yang menyebabkan kerusakan paru–paru,
hati, limpa dan ginjal setelah kontak dengan kulit mencakup area luas.
 Bensin melarutkan senyawa lipid dengan cepat dan menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran diikuti kehilangan cairan.
 Ada dua macam luka bakar bensin:
a) Terbakar. Kebutuhan cairan sering lebih tinggi dari luka bakar lainnya. Luka bakar
cenderung menjadi lebih luas, memerlukan operasi dan perawatan di rumah sakit
lebih lama.
b) Terendam atau kontak kulit yang luas berdampak pada luka bakar dengan seluruh
ketebalan kulit, kadang disertai kerusakan sistemik termasuk paru–paru.

Aspal
 Produk penyulingan minyak bumi.
 Dilarutkan dengan produk minyak lainnya (minyak tanah, parafin medis, parafin lilin) dan
minyak sayuran.
 Untuk tujuan transportasi dan penggunaan, suhu mencapai 190C (normal 150C).
 Cair pada suhu 150C, dan semisolid pada suhu atmosfir.
 Luka bakar disebabkan bentuk cair yang panas, bukan efek racun dari aspal.
 Diobati dengan mendinginkan aspal menggunakan air dalam jumlah besar.
 Lepaskan pakaian namun jangan mencoba untuk melepaskan aspal melekat.
 Lepaskan aspal menggunakan minyak parafin (dapat ditambahkan minyak tanah 1/3 nya).

Ter

 Produk sisa industri gas batubara.


 Tidak umum di Australasia.
 Mengandung bahan kimia kompleks termasuk fenol, hidrokarbon dll menyebabkan
toksisitas berganda.
 Luka bakar disebabkan panas dan toksisitas fenol.
 Hanya larut dalam cairan aromatik (misalnya benzene, toluene, xylene) bukan bensin atau
minyak sayuran.
 Diatasi dengan pendingin dan lepaskan menggunakan toluene.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


184
82
Komplikasi Anatomik Khusus

Gastrointestinal
 Kecelakaan menelan zat korosif yang digunakan untuk keperluan rumah tangga biasanya
terjadi pada anak–anak.
 1/3 dari penderita dengan luka bakar intra–oral terbukti diikuti kerusakans esofagus.
 Gejala yang tidak khas dan untuk diagnosis pasti memerlukan pemeriksaan endoskopik.
 Panendoskopi yang melalui area cedera diperlukan untuk memastikan luas kerusakan.
 Foto toraks dan abdomen; CT scan toraks–abdomen menunjukkan kerusakan ekstra–
lumen.
 Eksplorasi bedah dan debriment jaringan nekrotik mungkin diperlukan.
 Steroid tidak terbukti manfaatnya.
 Terjadinya striktur esofagus merupakan hal yang umum.
 Diperlukan tindakan endoskopik dan operasi untuk mengatasi striktur.

Mata
 Luka bakar kimia pada mata diikuti tingginya insiden kerusakan mata residual.
 Tanda–tanda fisik termasuk blefarospasme, keluarnya air mata berlebihan dan
konjungtivitis
 Pembengkakan cepat epitel kornea, kekeruhan lapis anterior stroma dan terlepasnya sel di
kambra anterior.
 Atasi dengan pemberian air dalam jumlah besar. Diphoterine sangat berguna.
 Perawatan di rumah sakit lama (48jam).
 Antibiotika topikal untuk pencegahan infeksi sekunder.
 Perforasi dan ulserasi kornea, terbentuknya katarak, glaukoma sekunder, iridosiklitis dan
simblefaron adalah beberapa komplikasi lanjut.

Saluran Trakeobronkus
 Luka bakar langsung pada trakea dan bronkus jarang, terjadi setelah menghirup agen
kaustik atau terpapar gas kimia (misalnya amonia).
 Gangguan pernapassan atau hipoksia membutuhkan pemeriksaan bronkoskopi fibre–optic
 Bronkodilator dan steroid mengurangi bronkopasme serta peradangan.
 Mungkin diperlukan dukungan ventilator mekanik temporer.
 Dapat terjadi bronkiektasis sebagai komplikasi akhir.
 Diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk fungsi paru–paru dan foto toraks.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


185
83
Ringkasan
 Zat penyebab menyebabkan luka bakar kimia umum di jumpai di lingkungan.
 Semua luka bakar kimia memerlukan pemberian air dalam jumlah besar.
 Luka bakar asam hidrofluorat memerlukan netralisasi menggunakan kalsium glukonat.
 Toksisitas sistemik emrupakan hal umum pasca paparan terhadap asam hidroflourat,
bensin atau cresol.
 Luka bakar aspal dan alkali memerlukan pemberian air dengan waktu yang lama dibanding
luka bakar kimia lainnya.

 Luka bakar kimia pada mata juga memerlukan pemberian air dan selanjutnya rujukan ke
pusat pelayanan luka bakar.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


186
84
Bab 12

Manajemen Penderita Luka Bakar


setelah 24 Jam Pertama
Introduksi
Di Australia dan Selandia Baru, ada kalanya seorang penderita luka bakar tidak dapat segera
dirujuk ke unit luka bakar karena kesulitan transportasi dan akses. Bab ini dirancang untuk
membantu dokter dan perawat yang ditempatkan dalam situasi yang mengharuskan
perawatan berkelanjutan bagi penderita yang memenuhi kriteria ANZBA untuk transfer,
namun tidak mungkin dievakuasi dalam waktu 24 jam. Perawatan penderita lebih dari 24 jam
diperlukan, namun harus disadari bahwa kegagalan melakukan transfer penderita ke unit luka
bakar sedini mungkin akan berdampak buruk pada hasil akhir.

Adalah penting menyembuhkan luka bakar penderita secepat mungkin pasca cedera. Pada luka
bakar yang tebal dan dalam, perlu dilakukan eksisi dini dan pencangkokan kulit. Waktu yang
optimal untuk prosedur ini adalah antara tiga dan lima hari pasca cedera. Keterlambatan
dalam melakukan operasi ini memungkinkan timbulnya infeksi yang diikuti tingginya
morbiditas dan mortalitas.

Meski tidak dimungkinkan untuk melakukan evakuasi penderita ke unit luka bakar dalam
waktu 24 jam pasca cedera, perlu ditekankan bahwa setiap upaya harus tetap dilakukan untuk
mentransfer penderita sesegera mungkin. Prinsip–prinsip yang diuraikan dalam bab ini tidak
dilihat sebagai sebuah pembenaran penanganan penderita luka bakar kritis di pusat pelayanan
terpencil. Pedoman ini dirancang untuk membantu untuk menjaga penderita luka bakar kritis
berada pada kondisi optimal, sehingga bila transfer dimungkinkan, maka tatalaksana definitif
dapat dilanjutkan sebagai bagian dari kasus biasa. Pedoman ini dirancang sebagai suplemen
dari kontak telepon, email dan fax dengan unit luka bakar.

Prinsip–prinsip berikut adalah petunjuk yang dirancang untuk melengkapi bantuan dan saran
lebih lanjut yang mungkin dapat dilakukan di pusat pelayanan terpencil. Personil dengan
perawatan intensif dengan latar belakang anestesi atau trauma mungkin ada ketimbang staf
unit luka bakar, dan keahlian mereka dapat dimanfaatkan dalam keadaan darurat.

a. Topangan respirasi

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


187
85
Bermanfaat bagi penderita luka bakar kritis untuk terus bernapas dengan aliran oksigen 15
liter per menit sampai kadar COHb normal, kemudian titrasi untuk mempertahankan PaO2
yang cukup untuk oksigenasi jaringan yang terbakar.

Penilaian berulang harus dilakukan, terutama pada luka bakar di kepala dan leher, riwayat atau
adanya kecurigaan cedera inhalasi, seperti yang diuraikan pada Bab 2, intubasi endotrakea
mungkin diperlukan pada fase ini. Tenaga medis berperan melanjutkan perawatan penderita
yang terintubasi yang tidak mungkin ditransfer karena alasan logistik. Beberapa pemeriksaan,
termasuk analisis gas darah dan foto toraks bermanfaat dalam membantu proses pemantauan.
Selama fasse ini, mungkin diperlukan topangan respirasi non–invasif, termasuk penghisapan
sekret berkala dan pengaturan posisi kepala dan leher penderita. Perasat chin lift dan
pengamanan jalan napas menggunakan oro-pharyngeal airway atau naso-pharyngeal airway
direkomendasikan. Bila dengan metode ini pengamanan jalan napas tidak berhasil, mungkin
diperlukan intubasi endotrakea dan harus dilakukan secepatnya, sebelum pembengkakan
faring semakin berat yang akan menyulitkan prosedur intubasi.

1. Intubasi endotrakea

Pemasangan pipa endotrakea yang benar menjamin patensi dan terlindunginya jalan napas,
memungkinkan pemberian oksigen efektif, mempermudah pembersihan sekret,
memungkinkan pemberian analgesia dosis besar, pemberian sedasi yang aman dan
memungkinkan diterapkannya ventilasi mekanis. Pada kasus luka bakar dengan cedera
inhalasi, prosedur intubasi semakin sulit karena pembengkakan mukosa jalan napas
membengkak dan hipoksia semakin berat. Karenanya prosedur intubasi dipertimbangkan lebih
awal.

Prosedur intubasi endotrakea secara teknis sulit pada luka bakar jalan napas bagian atas
disertai edema dan cedera di daerah wajah. Komplikasi ter penting adalah kegagalan teknis
yang dalam hal ini sering berakhir fatal. Masalah jangka pendek lainnya termasuk penempatan
pipa endobronkea yang salah, trauma pada jalan napas bagian atas dan obstruksi pipa oleh
sekret serta tertekuknya pipa.

Setiap penderita luka bakar yang memerlukan intubasi membutuhkan perawatan definitif oleh
spesialis di rumah sakit besar, sebaiknya sebuah rumah sakit yang memiliki unit luka bakar
khusus.

2. Indikasi dan Teknik

Intubasi dan ventilasi harus dipertimbangkan pada penderita dengan distres pernapasan yang
jelas secara klinis, hipoksia berat atau hiperkarbia, defek neurologik disertai gangguan refleks
pernapasan atau upaya bernapas, luka dada yang parah, atau obstruksi jalan napas bagian atas
akibat pembengkakan karenakan cedera inhalasi. Kadang indikasi ventilasi mekanik didasari

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


188
86
suatu alasan logis, seperti keamanan transportasi atau memfasilitasi beberapa prosedur
terapeutik maupun diagnostik.

Rute oro–trakea merupakan yang paling sederhana, namun intubasi naso–trakeal terkadang
berhasil pada situasi dimana intubasi oral tidak dimungkinkan. Bila tidak dapat dilakukan
dengan cepat atau dijumpai obstruksi jalan napas, prosedur kricotiroidotomi merupakan satu–
satunya alternatif. Hal ini relatif mudah dan harus dilakukan tanpa keraguan.

Zat induksi anestesi atau relaksan otot akan mempermudah prosedur intubasi, namun hanya
dapat digunakan oleh mereka yang memiliki kepercayaan diri tinggi dan terlatih. Semua zat ini
memiliki efek samping yang signifikandan memiliki potensi terjadinya penurunan status,
penderita yang mulanya dihadapkan pada gangguan respirasi namun jalan napas baik dengan
ventilasi mencukupi, menjadi penderita yang tidak dapat diintubasi atau diventilasi.
Setelah prosedur intubasi, dilakukan penilaian posisi pipa dilakukan secara klinis dan
radiologis.

3. Fisiologi

Transportasi oksigen dari udara ke darah kapiler alveoli berlangsung terutama melalui difusi
dan aliran darah di arteri pulmoner (yaitu cardiac output). Sebaliknya, CO2 mengalami difusi
dari pembuluh kapiler ke alveoli dan dihembuskan pada proses ventilasi, yang yang akan
menurunkan kadar CO2. Dengan demikian, oksigenasi tergantung pada konsentrasi oksigen
inspirasi, kapasitas difusi paru dan cardiac output, sedangkan kadar pCO2 arteri ditentukan
oleh ventilasi alveolar.

Ventilasi alveolar mengalami delivery dalam berbagai pola. Volume tidal yang kecil dengan
frekuensi cepat memperkecil efek samping tekanan intratorakal yang tinggi (lihat di bawah),
dan sebagian besar udara yang dihirup pada pernapasan terbuang sia–sia, ventilasi ruang mati
(yang meningkat pada penggunaan pipa endotrakea, sirkuit ventilator dan faktor penderita
lainnya), dan meningkatkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Sebaliknya volume besar
dengan frekuensi lambat memperkecil kemungkinan atelektasis dan memperkecil terbuangnya
ventilasi di ruang mati, namun masalah yang ditimbulkan tekanan tinggi dan volume
diperbesar. Pada praktek klinik, hal–hal seperti ini harus dijadikan orientasi dalam tatalaksana.

4. Kelebihan (keuntungan) dan kekurangan (kerugian) Ventilasi


Mekanik

Sebagai upaya memperbaiki pernapasan spontan yang tidak tercukupi, ventilasi mekanik
memungkinkan pengendalian pO2 dan pCO2 arteri. Ventilasi mekanik juga meniadakan kerja
pernapasan hingga menghemat oksigen yang digunakan dalam proses. Namun, tekanan positif
akan mengurangi aliran vena ke jantung (venous return) yang menyebabkan hipotensi,

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


189
87
terutama pada penderita hipovolemik. Kesesuaian ventilasi–perfusi (ventilation–perfusion
match) biasanya tidak seefektif pernapasan spontan.

Distensi berlebihan dapat terjadi saat dijumpai kondisi patologik (termasuk luka bakar jalan
napas dan cedera inhalasi) menyebabkan paru–paru kaku (non–compliant), menggunakan
volume tidal berlebihan, atau adanya obstruksi jalan napas letak rendah (asma atau penyakit
paru obstruktif kronis) menyebabkan hiperinflasi. Kondisi ini mennimbulkan komplikasi
mengancam jiwa seperti tension pneumothorax.

Karenanya, ventilasi mekanik hampir selalu membutuhkan sedasi dan pemberian relaksan otot
masih tetap dihadapkan pada potensi timbulnya komplikasi dan efek samping.

5. Masalah Respirasi khusus pada Luka Bakar

1. Intoksikasi Karbon Monoksida (CO)

Bila fasilitas hiperbarik tersedia dan mudah diperoleh, banyak pihak merekomendasikan
penggunaannya. Namun, eliminasi CO berlangsung cepat bila penderita segera menghirup
oksigen 100% secara cepat. Atas dasar itu, pemberian awal oksigen bersifat mandatorik bila
ada kecurigaan keracunan CO. Penggunaan oksigen hiperbarik dapat dilakukan secara elektif
setelah konsultasi dengan unit luka bakar.

2. Cedera inhalasi dan Luka Bakar pada dinding dada

Kedua bentuk cedera ini mempengaruhi pertukaran udara di paru (gas exchange) dan
kekakuan mekanik (complaince). Gejala yang ditimbulkannya adalah distres pernapasan dan
hipoksemia. Mungkin dijumpai batuk produktif dan partikel jelaga di jalan napas, dan pada
foto toraks dijumpai peningkatan densitas jaringan interstisium alveolar difus yang konsisten
dengan bentuk sindroma distress pernapasan akut lainnya. Kondisi ini memerlukan
penatalaksanaan definitif yang melibatkan spesialis yang intensif di rumah sakit yang besar
dengan fasilitas canggih.

3. Trauma toraks

Kontusio paru dapat menyebabkan hipoksia yang nyata atau hemoptisis dan flail chest yang
menimbulkan inefisiensi pernapasan spontan. Dikumpainya cedera ini pada penderita luka
bakar meningkatkan kebutuhan penggunaan ventilasi mekanis.

Trauma toraks meningkatkan kemungkinan kerusakan paru selama ventilasi mekanik.


Kemungkinan timbulnya tension pneumothorax harus dipertimbangkan. Bila terdapat fraktur
tulang iga dan ventilasi mekanik diperlukan, maka drenase interkostal (pipa intratorakal)
sebagai profilaksis, mungkin merupakan tindakan yang tepat.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


190
88
Kasus–kasus seperti ini harus didiskusikan dengan spesialis intensif.

4. Luka bakar pada dinding dada

Adanya eskar melingkar dinding dada memengaruhi compliance dinding dada. Kondisi ini harus
dibedakan dengan penurunan compliance paru pada penggunaan tekanan inspiratorik tinggi
yang digunakan untuk mencapai volume tidal yang dibutuhkan yang mungkin tidak terlalu
membahayakan. Bagaimanapun, pada kondisi ini diperlukan eskarotomi dinding dada.

6. Pola / setting Ventilator optimal

Pada umumnya, untuk dewasa dimulai dengan volume tidal 5–7 mL/kg berat badan dengan
frekuensi napas 10 kali/menit dan 50% oksigen. Hal ini cukup aman untuk mempertahankan
saturasi oksigen adekuat. Tekanan inspiratorik pada dewasa tidak lebih dari 35 cmH2O (pada
anak, 15–20 cmH2O), dan sistem kardiovaskular stabil.
Analisis gas darah arteri harus diperiksa segera setelah dimulainya ventilasi, dan selanjutnya
dilakukan penyesuaiannya. Pemeriksaan diulang secara frekuen hingga penderita dalam
kondisi stabil.

Bila compliance paru buruk dan atau dijumpai instabilitas sistem kardiovaskular, volume tidal
harus diturunkan, juga bila normokarbia tidak tercapai. Dalam jangka pendek, hal ini tidak akan
membahayakan kecuali dijumpai cedera kepala berat. Bila ada kecurigaan intoksikasi CO atau
instabilitas kardiovaskular berkelanjutan, maka harus diberikan oksigen 100%. Gangguan
compliance paru progresif menunjukkan adanya tension pneumothorax maupun beberapa
masalah mekanik lainnya, dalam hal ini, pemeriksaan foto toraks harus diperoleh sesegera
mungkin.

Ventilator perawatan intensif modern memiliki berbagai setting, yang memungkinkan


penderita bernapas spontan dengan sejumlah variabel bantuan mesin ventilator yang
bervariasi. Tipe ventilator ini bermanfaat pada kasus–kasus sulit dan tatalaksana jangka
panjang dan penyapihan (weaning) ventilator, namun memerlukan keahlian dan peralatan
canggih. Bagi praktisi umum, penggunaan ventilator sederhana, kontrol–penuh bantuan
ventilasi dengan sedasi dalam dan penggunaan relaksan otot merupakan pilihan jangka pendek
yang relatif mudah. Namun, pengawasan dan perawatan one to one sangat penting untuk
menjamin keamanan penderita pada situasi seperti ini.

7. Sedasi / Relaksan otot selama ventilasi

Sedasi selama ventilasi mekanik biasanya menggunakan kombinasi opioid dan benzodiazepin.
Morfin dan midazolam paling sering diberikan perinfus secara kontinu, titrasi untuk

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


191
89
mendapatkan efek yang diinginkan (masing–masing 0–10 mg/jam pada dewasa), sesekali
dengan bolus tambahan bila diperlukan.

Bila pengendalian ventilasi adekuat tidak tercapai, dengan cara ini, maka relaksan non–
depolarisasi otot dapat ditambahkan. Pankuronium dan vekuronium paling sering digunakan
dan biasanya diberikan bergantian bolus iv (6–8 mg dosis dewasa, diikuti oleh 2–4mg prn).
Harus ditekankan bahwa sedasi dalam dan atau kelumpuhan otot menjadikan penderita
benar–benar tak berdaya saat terjadi kerusakan ventilator atau terjadi gangguan koneksi;
maka dalam hal ini mutlak diperlukan pengawasan yang konstan.

8. Pementauan sederhana pada penggunaan ventilator

Pulse oxymetry, denyut jantung, tekanan darah, end tidal CO2 dan alarm pemutus–tekanan
merupakan syarat minimal yang mutlak pada semua penderita dengan ventilasi mekanik.
Alarm pemutus–tekanan bukan hanya merupakan satu kesatuan dalam unit ventilator, namun
juga tersedia dalam bentuk portable tetapi juga tersedia sebagai suatu unit tersendiri; terlepas
dari ventilator. Beberapa alat pemantauan volume tidal/menit juga sangat diperlukan,
beberapa ventilator memiliki sarana ini dalam kesatuan (built in) namun bentuk yang
sederhana tersedia pada ventilator Wright. Pada penggunaan ventilator, sangat dibutuhkan
pemantauan analisis gas darah dan foto toraks.

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah, penggunaan alat pemantau (monitor) bukan sebagai
penganti perawat terlatih dalam pemantauan klinis. Pemantauan merupakan suatu yang
bersifat mandatorik pada penderita dengan ventilator.

9. Ventilasi selama prosedur transportasi

Transportasi penderita terventilasi memiliki risiko jauh lebih tinggi dibandingkan


penggunaannya di rumah sakit. Selain dihadapkan potensi terjadinya ekstubasi yang tidak
disengaja, perubahan posisi pipa, kerusakan peralatan, pergerakan dan getaran berkontribusi
pada gangguan kardio–respirasi. Petugas yang mendampingi harus bekerja di tempat sempit,
pencahayaan kurang, lingkungan tidak stabil dan sangat mungkin dihadapkan pada masalah
transportasi seperti mabuk perjalanan. Tim petugas yang terlibat dalam transportasi harus
dilengkapi peralatan portabel, sumber listrik, oksigen, obat–obatan, dan harus mampu
menangani masalah–masalah tak terduga yang muncul di perjalanan.

Di ketinggian terjadi penurunan tekanan oksigen inspirasi, terutama pada pesawat tanpa
sarana pengatur tekanan, peningkatan volume udara (seperti pada pneumothorax, udara pada
balon pipa endotrakea atau ruang mati di iv flask) dapat mengubah kinerja ventilator.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


192
90
Hal–hal yang diuraikan di atas harus dijadikan pertimbangan saat merencanakan untuk
merujuk penderita kritis. Sebelum dipindahkan, harus ada diskusi antara pihak yang merujuk
dan pihak yang menerima.

Akses vaskular yang handal dan pemantauan harus terjamin, dan setiap upaya harus dilakukan
untuk stabilisasi kondisi penderita sejauh mungkin. Bila ada tim transportasi perawatan kritis
yang berpengalaman, akan lebih baik memanfaatkan tenaga mereka bahkan bila penundaan
terjadi. Tidak ada satupun penderita terventilasi yang harus dirujuk tidak dikawal oleh petugas
medis senior yang terampil.

B. Topangan sirkulasi
Kondisi hemodinamik penderita luka bakar berat tetap berada pada kondisi tidak stabil dalam
24 jam kedua. Kebutuhan cairan seringkali tidak mengikuti aturan standar dan penilaian
berulang berkelanjutan menggunakan kriteria klinis umum, nadi, urine dan tekanan darah
diperlukan untuk memastikan bahwa jumlah cairan yang diberikan adalah tepat.

Pemeriksaan laboratorium berikut ini akan membantu memandu pengobatan dengan cairan:

 Hemoglobin dan hematokrit


 Urea dan Elektrolit
 Analisis gas darah arteri (yang sesuai)
 Kadar glukosa darah (pada anak)

1. Komposisi Cairan

Seiring dengan kembali permeabilitas kapiler secara bertahap di akhir hari pertama pasca luka
bakar, cairan koloid dapat diberikan untuk menjaga ruang intravaskular terekspansi. Jumlah
keseluruhan volume disesuaikan untuk untuk mempertahankan produksi urin 30–50 mL/jam
pada dewasa dan pada anak–anak (kurang dari 30 kg) 1,0 mL / kg /jam.

Cairan yang diberikan selama 24 jam kedua harus mencakup 0.3–0.5 mL koloid per kg berat
badan per persentase luas luka bakar. Cairan koloid yang diberikan adalah albumin serum
normal 5% (50g per liter).

Pada dewasa, dekstrosa 4% dengan larutan salin normal 0,18% ditambahkan untuk
mempertahankan produksi urin cukup. Pada anak–anak, perlu ditambahkan glukosa dengan
larutan salin ½ normaluntuk tujuan yang sama.

2. Cairan per oral / nasogastrik / nasojejunal

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


193
91
Penderita yang tolerir terhadap cairan per oral dapat menerima porsi kecil cairan disamping
cairan intravena, atau cairan per oral dapat menggantikan komponen dekstrosa / salin.
Penderita luka bakar berat tanpa ileus harus menerima suplementasi cairan tinggi protein baik
secara bebas melalui oral bila ditoleransi atau melalui pipa naso–gastric / nasojejunal. Hal ini
memerlukan diskusi dengan ahli gizi namun harus diperhatikan jangan sampai menyebabkan
kelebihan cairan.

3. Keseimbangan Cairan

Selama 24 jam kedua kebutuhan cairan lebih kecil dibandingkan dengan 24 jam pertama, hal
terpenting adalah jangan sampai terjadi kelebihan cairan, terutama pada mereka yang disertai
kelainan jantung dan paru. Pola cairan yang menghasilkan urin berlebihan tidak tepat dan
diikuti kemungkinan terjadinya edema paru karena pemberian cairan terlalu banyak [16].

Sindroma kompartemen abdominal dapat terjadi sebagai komplikasi sekunder serius bila
volume cairan berlebihan diberikan untuk mempertahankan produksi urin yang cukup dan
mempertahankan stabilitas hemodinamik. Pemantauan tekanan kandung kemih sangat
bermanfaat untuk memperoleh informasi penting mengenai tekanan intra–abdomen.

Selama 24 jam kedua, diuresis alami harus sudah mulai dan produksi urin mungkin mengalami
peningkatan, melebihi jumlah cairan yang diberikan. Sedangkan pada kondisi dimana dijumpai
haemochromogenuria, dieresis alami akan dimulai 24–48 jam pasca luka bakar.

Pemantauan hemoglobin dan hematokrit pada tahap ini mungkin menunjukkan penurunan
hemoglobin yang terjadi akibat hemolisis, sehingga pemberian whole blood mungkin
diperlukan pada tahap ini. Dengan demikian, hematokrit tidak dapat digunakan sebagai
panduan.

C. Perawatan Luka
Luka harus diperiksa ulang untuk memperoleh informasi akurat mengenai luas dan kedalaman
luka bakar. Luka bakar yang dalam 24 jam pertama hanya berujud eritema mungkin
kedalamannya berkembang menjadi luka bakar seluruh ketebalan kulit (full thickness) dalam
24 jam kedua. Penilaian ulang formal luka bakar mengharuskan dilakukannya kalkulasi ulang
kebutuhan cairan untuk 24 jam kedua.

Luka bakar dangkal hingga mid dermal dirawat dengan pembalut biologik yang sesuai
(Biobrane, Opsite, Duoderm atau sejenisnya) dan bila pembalut ini pada 24 jam kedua masih
dalam kondisi baik, maka tidak perlu ditukar.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


194
92
Setiap luka bakar dalam atau tebal harus diberi antimikroba topikal, demikian pula pada semua
penderita yang evakuasinya tertunda. Hubungi unit luka bakar untuk mendapat saran tentang
pembalut yang tepat.

Sebagai kelanjutan perawatan luka bakar menggunakan pembalut antimikroba, yang terbaik
adalah melakukan pencucian luka, baik dalam bath tube, di kamar mandi, atau menggunakan
shower. Pembalut lama dan kulit yang terkelupas harus dibuang.

Setelah pengeringan, ambil foto klinik untuk tujuan pemantauan luka. Aplikasi balutan bersih
pada luka agar penderita merasa nyaman.

Perhatian ditujukan untuk memastikan balutan tidak terlalu ketat, sensasi dan sirkulasi distal
baik. Dalam 24–48 jam pertama, dalam melakukan pembalutan, ujung jari tangan dan kaki
harus dubiiarkan terbuka sehingga adanya perubahan warna dan penilaian sirkulasi dapat
dilakukan secara reguler.

Ekstremitas atas dan bawah harus ditinggikan denegan bantal atau bantalan busa untuk
memfasilitasi resolusi edema. Bila tersedia, USG Doppler dapat digunakan untuk membantu
pemantauan sirkulasi pada ekstremitas yang mengalami edema.

Eskarotomi dan Pendarahan

Pengisian ulang kapiler secara reguler dan observasi ekstrremitas harus memberi informasi
kemungkinan dilakukannya eskarotomi. Edema pada luka bakar dapat berlanjut selama 24 jam
kedua pasca luka bakar, sehingga mungkin diperlukan eskarotomi untuk memastikan sirkulasi
darah yang baik ke distal.

Dengan kembali normalnya sirkulasi perifer pada tahap ini, terbukanya pembuluh perifer yang
bertahap dari memungkinkan terjadi pendarahan pasca eskarotomi yang dilakukan
sebelumnya. Mungkin diperlukan diatermi bipolar atau klem arteri dan ligasi untuk
mengendalikan pendarahan. Penerapan balut tekan untuk mengatasi pendarahan adalah tidak
tepat karena menghalagi sirkulasi perifer yang telah diperbaiki melalui eskarotomi.

D. Manajemen nyeri
Pada 24 jam kedua, cara sederhana dan aman dalam manajemen nyeri adalah pemberian
analgesia cukup dengan narkotika intravena dosis rendah. Dosis tersebut harus dititrasi
terhadap respon penderita termasuk frekuensit pernapasan. Tidak ada fasilitas canggih
diperlukan untuk pemberian dan pemantauannya [9].

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


195
93
Namun, bila fasilitas (pompa infus) tersedia, dosis 20–30 mikrogram per kg per jam (setelah
pemberian dosis awal) merupakan bentuk yang paling fleksibel dalam manajemen nyeri. Dosis
yang lebih tinggi kadang diperlukan, dan untuk tujuan tersebut dilakukan penambahan
kecepatan pemberian infus intravena ini; dibutuhkan waktu cukup panjang agar dicapai
kadarnya di dalam darah untuk memberi efek analgesia yang baik. Tidak akan ada efek adiksi
narkotika pada tahap ini. Saat nyeri dirasakan, pemberian analgetik yang tepat harus
diberikan.
Nyeri akan terasa lebih selama penggantian balutan, episode mobilisasi, dan fisioterapi.
Analgetik narkotik intravena harus diberikan untuk mengatasi nyeri selama episode nyeri ini.

Pemberian analgesia yang dikendalikan penderita (patient controlled analgesia, PCA) sangat
efektif pada luka bakar dan bila peralatan ini tersedia, maka menjadi metode pilihan. Peralatan
ini dapat digunakan pada anak kecil dengan hati–hati. Diperlukan keahlian bidang anestesi
untuk prosedur ini.

Oksida nitrit atau methoxyfluorane yang diberikan mencegah distribusi oksigen tidak tercukupi
merupakan suplemen bermanfaat, terutama saat melakukan prosedur, namun pemberiannya
harus dilakukan oleh seorang ahli anestesi atau staf yang berpengalaman.

E. Nutrisi
Pemberian nutrisi melalui rute gastrik seawal mungkin pasca luka bakar adalah penting.
Kehadiran nutrien melalui usus akan melindungi mukosa usus halus dari kerusakan yang terjadi
pada trauma dan starvasi. Kerusakan sel mukosa memungkinkan terjadinya translokasi bakteri
usus ke aliran darah menyebabkan sepsis berat oleh gram negatif yang kerap berakibat fatal
pada luka bakar kritis. Pemberian nutrisi dini membantu mencegah hal ini.

Pada penderita dengan luka bakar berat (>10% pada anak–anak,>20% pada dewasa) kerap
dijumpai ileus, terutama pada keterlambatan resusitasi cairan dan syok yang nyata. Pipa naso–
gastrik harus dimasukkan untuk mengosongkan lambung, menghindari aspirasi bila muntah.
Nutrisi segera diberikan bila terdengar bising usus atau memang bising usus terdengar sejak
penderita masuk rumah sakit.

Kurang lebih dua kali jumlah energi yang dibutuhkan per hari pada keadaan normal (biasa).
Pada penderita luka bakar kritis, nutrisi diberikan dalam bentuk suplemen diet yang tersedia.
Bila ini tidak, produk susu akan sangat bermanfaat.

Penderita dapat mengonsumsi diet normal. Komposisi diet harus kaya akan protein dan kalori
yang mencukupi. Penambahan susu bubuk skim ke dalam susu biasa (200 gram per liter)
secara signifikan meningkatkan kadar protein. Pemberian protein tinggi dengan penambahan
telur sering kali dapat ditolerir.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


196
94
Penderita luka bakar berat sering tidak dapat mengonsumsi cukup nutrisi. Pada kondisi ini,
pipa naso–gastrik atau naso–jejunal dimasukkan untuk pemberian nutrisi. Kepala ditinggikan
30 saat pemberian. Pemberian dimulai dengan jumlah kecil dan ditingkatkan secara bertahap.
Dengan cara ini masalah diare dapat dicegah.
Penderita harus ditimbang setiap hari, peristaltik usus didokumentasikan, demikian pula setiap
perubahan dan bila penderita makan secara spontan, berikan waktu ekstra untuk
menghabiskan makanan. Makanan ekstra dapat diberikan berupa makanan kecil diantara
waktu makan biasa bila penderita tidak mampu menghabiskan makanannya. Penderita luka
bakar pada tangan mungkin memerlukan bantuan.

Karena risiko ulserasi lambung akut pasca luka bakar kritis demikian tinggi, perlindungan
dengan pemberian inhibitor pompa proton, H2 antagonis, dan yang paling penting, pemberian
nutrisi enteral.

F. Fisioterapi dan Terapi Okupasional


Karena luka bakar dalam cenderung diikuti kontraktur, maka sangat penting menjaga semua
sendi berada pada posisi yang tepat.

Pencegahan kontraktur dimulai sejak awal (pada hari–hari pertama). Penderita tidak
diperbolehkan mengikuti posisi kontraktur karena posisi yang nyaman adalah posisi
kontraktur. Posisi yang tepat tergantung pada aspek sendi yang terlibat. Biasanya posisi yang
benar adalah:
 leher – ekstensi
 ketiak – abduksi
 siku – ekstensi
 pergelangan tangan – netral atau ekstensi
 sendi metakarpofalangeal – fleksi
 sendi jari interfalangeal – ekstensi
 lutut – ekstensi
 pergelangan kaki – 90o dorsofleksi

Bidai diperlukan dan setidaknya sekali dalam sehari semua sendi harus digerakkan dalam
rentang gerak (range of movement, ROM) sejauh nyeri dapat ditolerir. Penderita dengan
cedera inhalasi dan dalam keadaan sadar atau yang eskar dinding dada harus menjalani latihan
bernapas dan batuk untuk memastikan ekspansi paru.

Pada penggunaan bidai, hindari balutan yang ketat dan menekan saraf di sekitar sendi. Saraf
ulnaris di siku dihadapkan risiko mengalami cedera pada penggunaan bidai atau tekanan tepi
tempat tidur dan meja operasi. Demikian pula saraf peroneal komunis di sekitar kaput fibula
dihadapkan pada risiko drop foot.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


197
95
Selama perawatan di ICU, imobilisasi penderita luka bakar berat dihadapkan risiko ulkus
dekubitus sehingga perawatan area tekanan sangat penting, terutama di daerah sakrum,
oksipital dan kalkaneus. Penekanan di daerah lain juga mungkin terjadi. Posisi penderita harus
diatur setiap dua jam. Penggunaan kasur anti dekubitus menjadi suatu kebutuhan.

G. Pengendalian Infeksi

 Semua peralatan harus dibersihkan secara efektif, terutama alat yang digunakan untuk
beberapa penderita. Pencucian tangan sebelum dan sesudah menangani penderita adalah
cara yang paling efektif untuk mencegah penularan infeksi.
 Pembersihan selama tiga menit harus dilakukan sebelum mengawali setiap prosedur.
 Ketika melakukan perawatan penderita secara langsung, gaun isolasi berbeda harus
dipakai untuk setiap penderita.
 Kasur penderita dan daerah disampingnya harus dibersihkan tiap hari menggunakan
antiseptik.

Ringkasan
 Penderita harus dirujuk ke unit luka bakar dalam waktu 24 jam untuk memaksimalkan
pertolongan penderita. Bila hal ini tidak mungkin, manajemen perawatan intensif
diperlukan untuk menjaga penderita dalam keadaan terbaik untuk dirujuk.
 Perhatian untuk alat penopang respirasi dan sirkulasi, perawatan luka, manajemen nyeri,
nutrisi, fisioterapi, dan pengendalian infeksi.
 Hubungi unit luka bakar atau ICU diperlukan.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


198
96
Bab 13

Manajemen Rawat Jalan pada


Luka Bakar Ringan
Introduksi
Sekitar 1% warga Australia memerlukan pengobatan setelah mengalami luka bakar setiap
tahun. Dari 220.000 penderita setiap tahun, sekitar 10% (22.000) memerlukan perawatan
rumah sakit dan 100 orang meninggal akibat luka bakar (Sumber: Survei Kesehatan Nasional
Australia 2001 2001)

Cukup banyak penderita luka bakar akut pergi ke unit gawat darurat rumah sakit di perifer atau
perkotaan dan cukup banyak penderita mendapat perawatan pertama dari dokter umum.

A. Penilaian

1. Riwayat penyakit dan anamnesis

Riwayat/ terjadinya kecelakaan sangat penting [21]. Penyebab dan pertolongan yang sudah
dilakukan memberi petunjuk dalam menentukan kedalaman luka.

Luka bakar akibat air panas yang mendapat pertolongan sesuai dengan rekomendasi
cenderung tidak terlalu dalam seperti luka bakar api. Namun pada anak dan orang tua, luka
bakar akibat air panas seringkali dijumpai lebih dalam dibandingkan pemeriksaan awal.
Informasi mengenai seberapa panas air yang menyebabkan cedera harus diperoleh. Luka bakar
api biasanya dalam, terutama bila menggunakan bahan bakar, atau bahan pakaian yang
terbakar.

Kecurigaan mengenai cedera bukan karena kecelakaan pada anak maupun dewasa seringkali
terpandu oleh adanya inkonsistensi antara pemeriksaan fisik dengan anamnesis yang
diperoleh. Adanya kecurigaan ini menimbulkan keharusan segera merujuk ke unit luka bakar
untuk penyelidikan lebih lanjut.

2. Pemeriksaan fisik

Lakukan pemeriksaan dan lakukan pencatatan dengan teliti [2] hal–hal sebagai berikut.
1) Warna
2) Adanya bula

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


199
97
3) Waktu pengisian kapiler
4) Neyri (luka bakar dangkal lebih nyeri dibandingkan luka bakar dalam)
5) Kondisi eksudat (yang dapat mengindikasikan risiko infeksi bila terjadi penundaan)
6) Adanya inflamasi sekitar yang menunjukkan sepsis.

Umumnya kedalaman luka dapat ditentukan berdasarkan temuan butir–butir di atas; lihat
lebih rinci pada Bab 7 Manajemen Luka. Untuk luka bakar tidak luas, dan bila dijumpai kendala
rujukan (lihat kriteria di Bab 10), maka kasus ini dapat dikelola oleh ahli bedah untuk prosedur
eksisi dan prosedur skin graft. Bila ada keraguan mengenai kedalaman atau tatalaksana,
hubungi unit luka bakar.

3. Penilaian luas Luka Bakar

Terapkan rule of nines dari Wallace sebagaimana dibahas pada Bab 5 dan dapatkan informasi
akurat luas luka bakar [21, 25, 27, 56–58]. Sebagai alternatif, gunakan permukaan telapak
tangan (1% dari luas permukaan tubuh) sebagai panduan menilai luas luka bakar [21, 56–58].

Pada penderita dengan luka bakar superfisial dan mid–dengan luas kurang dari 10% pada
dewasa atau kurang dari 5% pada anak dapat menjalani rawat jalan. Dengan tersedianya
balutan biologis modern yang sesuai, diungkinkan untuk melindungi, mengobati dan
memfasilitasi proses penyembuhan alami. Namun, pada luka mendekati 10% dan perawatan
yang memerlukan pergantian balutan secara frekuen dengan metode di luar kompetensi
dokter umum atau rumah sakit daerah, pertimbangkan untuk merujuk ke rumah sakit yang
telah menjalin kerjasama dengan unit luka bakar untuk pelaksanaan rawat jalan.

B. Manajemen Nyeri
Pada luka bakar tidak luas, dengan pembalutan yang baik dapat diberikan parasetamol
digabung dengan kodein peroral, intranasal atau inhalasi untuk penderita rawat jalan.
Pada prosedur pembalutan, kerap dijumpai kesulitan dan nyeri, terutama pada anak–anak.
Untuk tujuan ini, pemebrian sedatif dan analgesik oral dapat diberikan 30–45 menit sebelum
pembalutan. Opioid intranasal memiliki onset yang lebih cepat dan masa kerja yang cocok
untuk lingkungan rawat jalan. Sekali lagi, bila tidak mungkin untuk memberikan analgesia yang
memadai dalam kondisi rawat jalan atau perawatan primer, maka perlu untuk dilakukannya
rawat inap.

C. Manajemen Luka
Setelah pertolongan pertama (Bab 2), manajemen luka harus mengacu pada prinsip yang
berlaku untuk penanganan luka apapun. Teknik aseptik harus diterapkan dalam memperkecil

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


200
98
risiko kontaminasi, dan setiap upaya perawatan harus ditujukan mencegah kerusakan jaringan
lebih lanjut.
Pada tahap akut, luka dicuci menggunakan antibakteri. Cairan mengandung klorheksidin 0,1
atau 0,2% umum digunakan, tetapi bila ini tidak tersedia, gunakan sabun dan air [10]. Selama
prosedur pembersihan, harus diperoleh dasar luka yang bersih, sehingga kulit yang terkelupas
harus dibuang menggunakan gunting steril. Bula kecil dapat dibiarkan, sedangkan bula
berukuran besar maupun pecah dan kulit melipat, maka kulit terkelupas harus dibuang [10].

Setelah luka bersih, pemeriksaan lebih lanjut diperlukan untuk menilai kedalaman luka bakar.

Luka bakar Epidermal

Luka bakar bewarna merah muda cerah ke merahan, sangat nyeri tanpa bula menunjukkan
kedalaman hanya mencapai epidermis [2]. Contoh yang khas adalah sengatan matahari atau
percikan api. Luka kedalaman initidak memerlukan pengobatan spesifik, tapi mungkin sangat
nyeri dan membutuhkan analgetik. Krim pelembab mungkin diperlukan tanpa balutan.

Luka bakar Dermal

Luka bakar dengan bula biasanya mencapai kedalaman dermis. Dasar luka dengan
pengembalian kapiler dengan sensasi menunjukkan luka bakar dangkal dan akan mengalami
penyembuhan spontan [2]. Setelah dibersihkan, luka dengan kedalaman dermis dan epidermis
superfisial dihadapkan terpaparnya papilae dermis. Bila dibiarkan mengering atau terinfeksi,
unsur–unsur epidermis yang berepran untuk proses epitelialisasi akan mati dan luka akan
bertambah dalam. Akibatnya penyembuhan spontan tidak dimungkinkan dan memerlukan skin
graft.

Pengobatan yang tepat untuk luka jenis ini adalah pembalut biologis atau balutan silikon
hidro–koloid balutan perak atau film. Beberapa balutan dapat di lihat dalam tabel pada
Lampiran 4.

Pembalut seperti Biobrane, kulit babi atau kulit kadaver yang diawetkan juga ideal. Namun,
sangat mahal dan umumnya hanya dipakai di unit luka bakar.

Luka bakar dangkal terus mengeluarkan eksudat sebagai reaksi inflamasi. Balutan mengalami
kejenuhan akibat produksi cairan dan harus lebih sering diganti. Balutan hidrokoloid
memerlukan penggantian setiap 3–5 hari, atau lebih sering bila eksudat berlebihan atau bau
yang menusuk. Balutan yang melekat pada luka seperti Biobrane atau kulit manusia yang
diawetkan harus dikelupas secara bertahap (mulai di tepi) setelah epitelialisasi berlangsung.

Pada luka bakar, inspeksi luka berulang direkomendasikan setiap 3 hari untuk memastikan
bahwa penilaian awal kedalaman luka bakar benar dan komplikasi dari luka (terutama infeksi)

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


201
99
tidak terjadi. Perubahan manajemen mungkin diperlukan bila pada penilaian ulang
menunjukkan luka bakar dalam atau terinfeksi.

Luka terinfeksi

Sepsis luka mungkin terjadi pada luka yang terkontaminasi saat cedera, atau luka yang dirawat
dengan balutan yang tidak mengandung antibakteri.

Luka yang terinfeksi di saat awal, atau diduga terkontaminasi saat cedera, harus ditatalaksanai
lebih dini menggunakan antimikroba topikal. Produk yang paling tepat di Australia dan
Selandia Baru adalah balutan silver slow–release. Setelah menerapkan balutan utama, penting
untuk mengamankan balutan dengan perban atau perekat.

Silver sulfadiazin dapat digunakan, namun preparat ini sering menyebabkan perubahan luka
menjadi luka lembab bewarna kuning kecoklatan yang menyebabkan penilaian dasar luka lebih
sulit.

Tanda peradangan di sekitar atau tanda–tanda infeksi sistemik menunjukkan sepsis. Bila hal ini
dijumpai, maka prosedur rujukan disegerakan karena luka bakar dermal sejenis ini berubah
menjadi luka lebih dalam.

Dengan perawatan terbuka, luka mengering dan berubah menjadi luka bakar dalam,
karenanya perawatan terbuka kecuali untuk luka bakar epidermal sangat tidak tepat.

Bila pada penilaian ulang, atau diagnosis awal tidak benar, maka rujukan untuk prosedur
operasi harus dilaksanakan.

D. Tindak Lanjut / Follow Up


Tergantung pembalut yang digunakan, umumnya penilaian dilakukan dalam 2–3 hari setelah
balutan pertama untuk kemudian dilakukan dalam interval 3–7 hari.

Pada setiap kesempatan, penting diperoleh informasi apakah lingkungan rumah penderita
memenuhi syarat dalam penerapaan manajemen rawat jalan. Dalam situasi dimana penderita
tidak mampu mengatasi, maka rawat inap diperlukan. Misalnya orang tua, penderita yang
tinggal sendiri, atau anak dengan orang tua yang bekerja, yang kelanjutan rawat jalannya sulit
dilanjutkan karena kurang dukungan dari keluarga. Komorbiditas penderita juga memengaruhi
manajemen rawat jalan. Penderita dengan inkontinensia atau gangguan mental mungkin
memerlukan pergantian balutan lebih sering dan manajemen luka.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


202
100
Pelayanan keperawatan rawat jalan di rumah bermanfaat dalam esktensi pelayanan rawat
jalan primer dan membantu dalam pelaksanaan penggantian balutan luka, terutama pada
penderita yang sulit datang ke klinik rawat jalan atau operasi.

1. Fisioterapi / Terapi Okupasi

Luka bakar ringan pada tangan, ekstremitas dan di sekitar sendi yang tidak sesuai kriteria
rawat unit luka bakar membutuhkan terapi. Pada luka bakar yang memerlukan waktu
penyembuhan lebih lama dari 2 minggu atau mereka yang membutuhkan operasi, kerap
terjadi parut hipertrofik. Fisioterapi dan terapi okupasi mungkin diperlukan dalam manajemen
parut menggunakan garmen elastis, media kontak atau plester [2]. Dokter umum dapat
melakukan koordinasi manajemen, dan unit luka bakar dapat memberikan saran fisioterapi
dan terapi okupasi untuk perawatan ini.

2. Edukasi pada proses penyembuhan

Luka yang baru mengalami penyembuhan (epitelialisasi) memerlukan perlindungan dari


sengatan matahari menggunakan pelindung sinar matahari 30+ dan pakaian yang sesuai. Luka
yang baru mengalami penyembuhan jangan terlalu banyak dibebani untuk bekerja, dan
diperlukan istirahat untuk memungkinkan penebalan normal. Pemakaian krim pelembab yang
berkelanjutan untuk mengatasi kurangnya kelembaban alami kulit akibat kerusakan kelenjar
sebasea selama beberapa waktu pasca luka bakar.

Gatal merupakan masalah pada luka bakar yang baru mengalami penyembuhan. Aplikasi krim
pelembab, pijatan dan tekanan sangat membantu mengatasi hal ini. Antihistamin dan kompres
dingin dapat meringankan. Mandi air hangat mengandung solusi seperti Pinetarsal, gandum
atau aloe vera dapat membantu, terutama pada luka bakar akibat air panas.

3. Penurunan fungsi pasca Luka Bakar

Beberapa luka bakar yang memerlukan waktu penyembuhanlebih lama dari 14 hari akan
diikuti terbentuknya jaringan parut hipertrofik dan kontraktur. Bila terjadi di sekitar sendi
maka akan diikuti gangguan fungsi sekunder. Kehilangan fungsi dan tidak respon terhadap
manajemen parut disertai fisioterapi memerlukan rujukan ke unit luka bakar untuk
rekonstruksi dalam mengatasi masalah fungsi ini. Pada luka bakar minor dengan kontraktur
ringan dapat dirawat oleh terapis dan umumnya dengan terapi yang baik tidak memerlukan
operasi.

4. Masalah estetik pasca Luka Bakar

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


203
101
Luka bakar menyebabkan kecacadan yang nyata, baik masalah warna defek pada
penyembuhan spontan maupun masalah parut hipertrofik. Beberapa penderita tidak
mempedulikan, namun sebagian lainnya mengalami depresi menghadapi hal ini.

Ganguan body image pasca luka bakar kadang melebihi proporsi ukuran luka bakar itu sendiri.
Konseling pada awal perawatan yang difasilitasi oleh psikolog atau psikiater dapat membantu
manajemen. Mungkin ada permintaan tidak masuk akal untuk perbaikan estetik pada cacat ini.
Operasi revisi dengan eksisi parut dan skin graft selalu meninggalkan bekas yang tidak lebih
baik dibandingkan bentuk awal. Dalam kasus ini, dukungan psikoterapi dengan konseling
berulang merupakan manajemen yang tepat.

Selain masalah estetik, banyak penderita dan keluarga mungkin dihadapkan pada amarah yang
tak kunjung reda atau rasa bersalah terkait dan mungkin memerlukan penanganan yang
merupakan bagian dari pengobatan.

Ringkasan

 Banyak luka bakar ringan dapat ditangani secara memuaskan di tingkat perawatan primer.
Karena sebagian besar luka bakar di Australia dan Selandia Baru masuk ke dalam kategori
ini, tepat bagi praktisi lokal untuk mengembangkan keahlian dalam manajemen luka bakar
ringan dan unit luka bakar tersedia untuk memberi nasihat atau pengobatan yang
diperlukan.
 Pengelolaan penderita luka bakar meliputi perhatian yang cermat pada luka bakar untuk
memfasilitasi penyembuhan normal dan mencegah komplikasi. Banyak produk yang tidak
disebutkan dalam bab ini yang sama efektifnya. Daftar produk yang dicantumkan pada
tabel tidak semuanya termasuk.
 Rujukan sekunder dari luka bakar ringan yang telah sembuh mungkin diperlukan untuk
operasi rekonstruktif, manajemen luka, fisioterapi, terapi okupasi atau psikoterapi.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


204
102
Referensi
1. Peck M. Epidemiology of burn injuries globally. www. uptodate.
com/contents/epidemiology–of–burn–injuries–globally 2011.
2. Herndon DN.ed. Total Burn Care. 3rd ed. 2007, Saunders: London.
3. Holland AJ. Pediatric burns: the forgotten trauma of childhood. Canadian J Surg, 2006.
49(4):6.
4. Singer AJ, et al. The association between hypothermia, prehospital cooling, and mortality
in burn victims. Acad Emerg Med. 2010. 17(4):456–9.
5. Gurfinkel R, et al. Development of a novel animal burn model using radiant heat in rats
and swine. Acad Emerg Med. 2010. 17(5):514–20.
6. Taira BR, et al. Rates of compliance with first aid recommendations in burn patients. J
Burn Care Res. 2010.31(1):121–4.
7. Williams C. Assessment and management of paediatric burn injuries. Nurs Stand. 2011.
25(25):60–4,66,68.
8. ANZBA, Bi–National Burns Registry: Annual Report 1st July 2009 – 30th June 2010. 2011,
Autralian and New Zealand Burn Association: Melbourne.
9. Hettiaratchy S, Papini R. Initial management of a major burn: II––assessment and
resuscitation. BMJ. 2004. 329(7457):101–3.
10. Benson A, Dickson WA, Boyce DE. ABC of wound healing: burns. Bri Med J, 2006. 332:649–
652.
11. Blumetti J, et al. The Parkland formula under fire: is the criticism justified? J Burn Care
Res, 2008. 29(1):180–6.
12. Kahn SA, Schoemann M, Lentz CW. Burn resuscitation index: a simple method for
calculating fluid resuscitation in the burn patient. J Burn Care Res, 2010. 31(4):616–23.
13. Greenhalgh DG. Burn resuscitation. J Burn Care Res, 2007. 28(4):555–65.
14. Jaskille AD, et al. Repetitive ischemia–reperfusion injury: a plausible mechanism for
documented clinical burn–depth progression after thermal injury. J Burn Care Res, 2007.
28(1):13–20.
15. Saffle JI. The phenomenon of "fluid creep" in acute burn resuscitation. J Burn Care Res,
2007. 28(3): 382–95.
16. Ipaktchi K, Arbabi S. Advances in burn critical care. Crit Care Med, 2006. 34(9 Suppl):S239–
44.
17. Freiburg C et al. Effects of differences in percent total body surface area estimation on
fluid resuscitation of transferred burn patients. J Burn Care Res, 2007. 28(1):42–8.
18. Ansermino JM, Vandebeek CA, Myers D. An allometric model to estimate fluid
requirements in children following burn injury. Paediatr Anaesth. 2010. 20(4):305–12.
19. Maybauer,DM, Maybauer MO, and Traber DL. Resuscitation with hypertonic saline in burn
shock and sepsis. Crit Care Med. 2006. 34(6):1849–50.
20. Jeng JC, et al. Improved markers for burn wound perfusion in the severely burned patient:
the role for tissue and gastric PCO2. J Burn Care Res. 2008. 29(1):49–55.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


205
103
21. Moss LS. Treatment of the burn patient in primary care. Adv Skin Wound Care, 2010.
23(11): 517–24;quiz 525–6.
22. Hudspith J, Rayatt S. First aid and treatment of minor burns. BMJ, 2004. 328(7454):1487–
9.
23. Maghsoudi H, Adyani Y, Ahmadian N. Electrical and lightning injuries. J Burn Care Res,
2007. 28(2):255–61.
24. Laskowski–Jones L. First aid for burns. Nursing. 2006. 36(1):41–3.
25. Evers LH, Bhavsar D, Mailander P. The biology of burn injury. Exp Dermatol. 2010.
19(9):777–83.
26. Jackson DM. The diagnosis of the depth of burning. Br J Surg. 1953. 40(164):588–96.
27. KaganRJ,. Smith SC. Evaluation and treatment of thermal injuries. Dermatol Nurs. 2000.
12(5): 334–5,338–44,347–50.
28. Devgan L, et al. Modalities for the assessment of burn wound depth. J Burns Wounds.
2006. 5:e2.
29. Singh V, et al. The pathogenesis of burn wound conversion. Ann Plast Surg. 2007.
59(1):109–15.
30. Loos MS, Freeman BG, Lorenzetti A. Zone of injury: a critical review of the literature. Ann
Plast Surg. 2010. 65(6):573–7.
31. Demling RH. The burn edema process: current concepts. J Burn Care Rehabil. 2005. 26(3):
207–27.
32. Shupp JW, et al. A review of the local pathophysiologic bases of burn wound progression.
J Burn Care Res. 2010. 31(6):849–73.
33. Jackson DM. Second thoughts on the burn wound. J Trauma. 1969. 9(10):839–62.
34. Merz J, et al. Wound care of the pediatric burn patient. AACN Clin Issues. 2003.
14(4):429–41.
35. Bak Z, et al. Hemodynamic changes during resuscitation after burns using the Parkland
formula. J Trauma. 2009. 66(2):329–36.
36. Fodor, L. , et al. , Controversies in fluid resuscitation for burn management: literature
review and our experience. Injury, 2006. 37(5): p. 374–9.
37. Kramer G, Lund T, Beckum O. Pathophysiology of burn shock and burn edema, in Total
Burn Care, Herndon DN, Editor. 2007, Saunders: London. p. 93–106.
38. Latenser BA. Critical care of the burn patient: the first 48 hours. Crit Care Med. 2009.
37(10): 2819–26.
39. Pham TN, Cancio LC,. Gibran NS. American Burn Association practice guidelines burn
shock resuscitation. J Burn Care Res. 2008. 29(1): 257–66.
40. Sheridan RL. Burns. Crit Care Med, 2002. 30(11 Suppl):S500–14.
41. Palmieri TL. Use of beta–agonists in inhalation injury. J Burn Care Res. 2009. 30(1): 156–9.
42. Fidkowski CW, et al. Inhalation burn injury in children. Paediatr Anaesth. 2009. 19 Suppl 1:
147–54.
43. Shirani KZ. , B. A. Pruitt, and A. D. J. Mason, The influenece of inhalation injury and
pneumonia on burn mortality. Ann Surg. 1987. 205(1):82–87.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


206
104
44. Maybauer MO,. Maybauer DM, Herndon D. Incidence and outcomes of acute lung injury.
N Engl J Med. 2006. 353(16):1685–93.
45. Kimmel EC, Still KR. Acute lung injury, acute respiratory distress syndrome and inhalation
injury: an overview. Drug Chem Toxicol. 1999. 22(1):91–128.
46. Smith DL, et al. Effect of inhalation injury, burn size, and age on mortality: a study of 1447
consecutive burn patients. J Trauma, 1994. 37(4):655–9.
47. Finnerty CC,. Herndon DN,. Jeschke MG. Inhalation injury in severely burned children does
not augment the systemic inflammatory response. Crit Care. 2007. 11(1):R22.
48. Palmieri TL, et al. Inhalation injury in children: a 10 year experience at Shriners Hospitals
for Children. J Burn Care Res. 2009. 30(1):206–8.
49. Fraser JF, Venkatesh B. (2005) Recent advances in the management of burns. Australasian
Anaesthesia. 23–32.
50. Endorf FW, Gamelli R. Inhalation injury, pulmonary pertubations, and fluid resuscitation. J
Burn Care Res. 2007. 28(1):80–3.
51. Mlcak RP, Suman OE, Herndon DN. Respiratory management of inhalation injury. Burns.
2007. 33(1):2–13.
52. Toon MH, Maybauer MO, Fraser JF. Management of acute smoke inhalation injury. Crit
Care Resusc. 2010. 12:53–61.
53. Bartlett D. Tricky toxic presentation at triage. H J Emerg Nurs. 2005. 31(4):403–404.
54. Kealey GP, Barillo DJ, Wells SM. Study proposals for inhaled gases. J Burn Care Res. 2009.
30(1): 154–155.
55. Cochran A. Inhalation injury and endotracheal intubation. J Burn Care Res. 2009. 30(1):
190–1.
56. Robb BWK, et al. Outpatient and emergency department management of thermal injuries.
Problems in General Surgery. 2003. 20(1):7–15.
57. Reed JL, Pomerantz, WJ. Emergency management of pediatric burns. Pediatr Emerg Care.
2005. 21(2):118–29.
58. Johnson RM, Richard R. Partial–thickness burns: identification and management. Adv Skin
Wound Care. 2003. 16(4):178–87; quiz 188–9.
59. Harris PNS, Vardaxis N, ed. Mosby's Dictionary Of Medicine, Nursing & Health
Professionals. 2nd ed. 2010, Elsevier: Sydney.
60. Bensouilah JBP. Aromadermatology: Aromatherapy in the treatment and care of common
skin conditions. 2006: Radcliffe Publishing.
61. Brown DEH. Lewis's Medical Surgical Nursing. 2nd ed. 2008, Marrickville: Mosby.
62. Copstead–Kirkhorn LCBJL. Pathophysiology. 4th ed. 2009: WB Saunders.
63. MacNeal RJ. Structure and function: biology of the skin: Merck Manual Home Edition.
http://do3. jcsb.
org/jde/2011/6th_Grade_Science/5_Organization_Dev_Living_Organisms/resources_orga
nization_organisms/BODY_SYSTEMS/Structure_and_Function_Skin. pdf 2006.
64. Brannon H. Skin anatomy. In About.com Dermatology. 2007.
65. Chen LSM, Chen P, Liu W, Hsu C. Hypertonic saline enhances host defence and reduces
apoptosis in burn mice by increasing toll–like receptors. Shock. 2010. 35(1):59–66.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


207
105
66. Lawrence A, et al. Colloid administration normalizes resuscitation ratio and ameliorates
"fluid creep". J Burn Care Res. 2010. 31(1): 40–7.
67. Mitra B, et al. Fluid resuscitation in major burns. ANZ J Surg. 2006. 76(1–2):35–8.
68. Foldi V, et al. Effects of fluid resuscitation methods on burn trauma–induced oxidative
stress. J Burn Care Res. 2009. 30(6):957–66.
69. Cartotto R, Zhou A. Fluid creep: the pendulum hasn't swung back yet! J Burn Care Res.
2010. 31(4):551–8.
70. Mosier, M. J. , et al. , Early acute kidney injury predicts progressive renal dysfunction and
higher mortality in severely burned adults. J Burn Care Res, 2010. 31(1): p. 83–92.
71. Kahn SA, Beers RJ, Lentz CW. Resuscitation after severe burn injury using high–dose
ascorbic acid: a retrospective review. J Burn Care Res. 2011. 32(1):110–7.
72. Marshall WB. Resuscitation of combat casualties. AACN Advanced Critical Care. 2010.
21(3):279–287.
73. Yuan J, et al. Assessment of cooling on an acute scald burn injury in a porcine model. J
Burn Care Res. 2007. 28(3):514–20.
74. Bartlett N, et al. Optimal duration of cooling for an acute scald contact burn injury in a
porcine model. J Burn Care Res. 2008. 29(5):828–34.
75. Rajan V, et al. Delayed cooling of an acute scald contact burn injury in a porcine model: is
it worthwhile? J Burn Care Res. 2009. 30(4):729–34.
76. Cuttle L, et al. The optimal temperature of first aid treatment for partial thickness burn
injuries. Wound Repair Regen. 2008. 16(5):626–34.
77. Cuttle L, et al. The optimal duration and delay of first aid treatment for deep partial
thickness burn injuries. Burns. 2010. 36(5):673–9.
78. Cuttle, L. , et al. , A review of first aid treatments for burn injuries. Burns. 2009. 35(6): p.
768–75.
79. Jandera V, et al. Cooling the burn wound: evaluation of different modalites. Burns. 2000.
26(3):265–70.
80. Cuttle L, et al. An audit of first–aid treatment of pediatric burns patients and their clinical
outcome. J Burn Care Res. 2009. 30(6):1028–34.
81. Cuttle, L. , et al. , The efficacy of Aloe vera, tea tree oil and saliva as first aid treatment for
partial thickness burn injuries. Burns, 2008. 34(8): p. 1176–82.
82. Orgill DP, Piccolo N. Escharotomy and decompressive therapies in burns. J Burn Care Res.
2009. 30(5):59–68.
83. Feldmann ME, Evans J. Early management of the burned pediatric hand. J Craniofac Surg.
2008. 19(4):942–50.
84. Spallek M, et al. Scald prevention campaigns: do they work? J Burn Care Res. 2007.
28(2):328–33.
85. Abeyasundara SL, et al. The changing pattern of pediatric burns. J Burn Care Res. 2011.
32(2): 178–84.
86. Ogilvie MP, Panthaki ZJ. Electrical burns of the upper extremity in the pediatric
population. J Craniofac Surg 2008. 19(4):1040–6.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


208
106
87. Vierhapper MF, et al. Electrical injury: a long–term analysis with review of regional
differences. Ann Plast Surg. 2011. 66(1):43–6.
88. Li YY, et al. Successful treatment of a case of severe electrical burns with heart and lung
injuries. J Burn Care Res. 2007. 28(5): p. 762–6.
89. Yeroshalmi F, et al. Oral electrical burns in children–a model of multidisciplinary care. J
Burn Care Res. 2011. 32(2):e25–30.
90. Roblin I, et al. Topical treatment of experimental hydrofluoric acid skin burns by 2.5%
calcium gluconate. J Burn Care Res. 2006. 27(6):889–94.

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


209
107
LAMPIRAN 1

Penilaian Neurologik
Skoring Coma dari Glasgow
Respon Skor
Pembukaan mata Spontan 4
Untuk Nama 3
Untuk nyeri 2
Tidak ada 1
Tanggapan verbal terbaik Berorientasi 5
Bingung 4
Tidak tepat 3
Tidak dimengerti 2
Tidak ada 1
Tanggapan motor yang terbaik Mematuhi 6
Melokalisir 5
Penarikan 4
Abnormal Fleksi 3
Perpanjangan 2
Tidak ada 1
15
Gambar 2. 1

Cedera Kepala
Kategori GCS
Berat < 9
Sedang 9 – 12
Ringan 13 – 15
Gambar 2. 2

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


210
108
LAMPIRAN 2

Protokol Tetanus
TabeL 3. 21. 1: Panduan untuk tetanus profilaksis dalam manajemen luka
Riwayat Waktu sejak Jenis luka DTPa, DTPa– Tetanus
vaksinasi dosis kombinasi, dT, DTPA, immunoglobulin*
tetanus terakhir yang sesuai (TIG)
≥3 dosis <5 tahun Semua luka Tidak Tidak
≥3 dosis 5–10 tahun Luka ringan Tidak Tidak
≥3 dosis 5–10 tahun Semua luka Ya Tidak
yang lain
≥3 dosis >10 tahun Semua luka Ya Tidak
<3 dosis atau Luka ringan Ya Tidak
ı dak pası †
<3 dosis atau Semua luka Ya Ya
ı dak pası † yang lain

Dosis yang dianjurkan untuk TIG adalah 250 IU, diberikan melalui suntikan im menggunakan
jarum berukuran 21, sesegera mungkin setelah cedera. Bila lebih dari 24 jam telah berlalu, 500
IU harus diberikan.

† penderita yang ı dak memiliki riwayat yang tercatat dari vaksinasi pertama (3 dosis) dengan
tetanus toksoid yang mengandung vaksin harus menerima semua dosis yang dilewati. Lihat
Bagian 1. 3. 5, diikuti.

(Sumber: Buku Panduan Immunisasi Australia (Edisi Sembilan) Halaman 288)

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


211
109
LAMPIRAN 3

Rekomendasi untuk Sayatan Eskarotomi

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


212
110
LAMPIRAN 4

Balutan
Produk Perawatan Fungsi Indikasi Aplikasi Catatan /
Luka Apa? Mengapa? Kapan? Bagaimana? Pencegahan
 Silikon / busa  Tidak patuh  Luka bakar  Dipakai untuk  Tidak boleh
 busa hidrofilik  Mematuhi superfisial membersihkan digunakan bila
poliuretan luka ada infeksi
 + Lapisan silikon  Tutup dengan
lembut balutan fiksasi
 +lapisan luar
tahan air
 Juga tersedia
dengan perak
 Hydrocolloid  Bantuan  Luka bakar  Batas 2–5cm  Tidak boleh
 Hydrocolloid autolisis yang superficial sekitar luka. digunakan bila
wafer jaringan hingga mid –  Dapat tetap ada infeksi
 Menyediakan dermal utuk 2–3 hari
lingkungan  mengeluarkan  Wafer sampai 5
lembab eksudat rendah hari bila tidak
 Menyerap sampai sedang ada tanda–
eksudat tanda infeksi.
 Kasa  Balutan  Luka bakar kulit  Digunakan  Rendam bila
 Vaseline yang antiseptik yang tebal langsung pada digunakan pada
dilapisi kasa  Mematuhi  Bagian luka dasar luka.
minyak pengcangkokan  2–3 lapis untuk
dan donor emergensi
 Tutup dengan
balutan
sekunder
 Ganti setiap 1–
3 hari
 Perak  Spektrum  Luka bakar  Digunakan  Kejenuhan
 Sodium antimikroba superficial untuk luka yang eksudat
carboxymethyc yang besar hingga dalam lembab. menunjukkan
ellulose (CMC)  fasilitas  Cukup  Memunkinkan indikasi
& 1. 2% ion Ag Debridement membersihkan 2–5 cm penggantian
pada bahan  Menyerap luka bersamaan balutan
berserat eksudat waktu
 Juga Contreet H  Tutup dengan
balutan kedua.
 Ulas 7–10 hari

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


213
111
 Biarkan utuh
sampai sembuh

 Perak  Proteksi  Luka bakar  Basahi dengan  Hiperpigmentas


 Nanokristalin Spektrum dalam H2O; alirkan i temporer
Ag yang dilapisi antimikroba  Bagian dan terapkan  Hindari bila
dengan jala luas pengcangkokan sisi biru / perak alergi terhadap
Mengurangi dan donor menghadap ke perak
fpembentukane  Luka terinfeksi bawah.  Hindari
ksudat  Lembabkan hipotermia
balutan kedua
 Ganti 3–4 hari
or 7 hari
 Perak  Mengurangi  Luka yang  Pakailah jumlah  Tidak
 Silver infeksi terinfeksi yang benar direkomendasik
Sulfadiazin 1%  Luka bakar kulit  Gunakan an untuk semua
yang besar bila sarung tangan jenis luka bakar
tersedia  Terapkan karena
balutan perubahan
sekunder. pada
penampilan
luka dan
frekuensi
penggantian
balutan

KOLEGIUM ILMU BEDAH INDONESIA


214
112

Anda mungkin juga menyukai