Anda di halaman 1dari 10

... lagi.

Sekali lagi, aku terbangun di tempat yang berbeda dari di mana aku tertidur. Hal ini sudah sangat sering
terjadi belakangan ini, dan entah sudah seberapa besar bagian dari otakku yang menjadi gila karenanya.

Ini bukan sekadar berjalan di saat tidur. Tidak, aku bahkan berharap bahwa apa yang kualami ini benar-
benar hanya merupakan sesuatu semacam itu. Maksudku, tertidur di kasur dan terbangun di sofa adalah
satu hal—

—tapi, terbangun di samping mayat penuh darah?

Itu sama sekali bukanl hal yang wajar.

Mayat seorang pria, dengan tangan terbentang seolah disalib, dengan berpuluh-puluh gunting
menancap di sekujur tubuhnya. Di atas kepalanya, tertulis sebuah rangkaian huruf berwarna merah—
BLOODSTAIN FEVER.

—aku takut.

Tiap satu minggu sekali aku mengalami kejadian serupa, dan hal ini sudah berlangsung hampir selama
satu tahun penuh. Jika ditotal, maka itu seharusnya sudah mencapai angka lima puluh lebih.

Benar.

Lima puluh kasus lebih—pembunuhan berantai atas nama Genocider.Sudah lima puluh kali lebih aku
terbangun di samping mayat, dengan pisau serta 'sisa' gunting tak terpakai tersimpan di dalam kantong
jaketku.

Membayangkan bahwa aku sudah terbiasa mengalaminya benar-benar membuatku sadar bahwa otakku
benar-benar sudah menjadi gila.

Lima puluh kali mengalami kejadian serupa, lima puluh kasus sejenis disebarluaskan di televisi seluruh
negeri, lima puluh kali pula aku tak pernah dicurigai oleh polisi—atau agen-agen khusus seperti yang ada
di film-film.

Jelas, aku tak bisa menceritakan ini ke psikiater.

Selama ada kemungkinan ia akan menghubungi polisi, aku takut 'ia' yang ada di dalam diriku ini, 'ia' yang
dijuluki Genocider itu, akan melanggar rutinitas mingguannya dengan menjadikan sang psikiater sebagai
korban.

Karena itu, aku menyimpulkannya sendiri. Tidak, mungkin lebih tepatnya menyadarinya sendiri.

Maksudku, bahkan bila aku tak memiliki ingatan, sensasi yang ada di tanganku, serta bekas gunting yang
menempel di jemari, jelas-jelas mengatakan bahwa memang aku yang melakukannya.

Walau aku tak pernah ingat bagaimana caranya.


Dari berita kejahatan yang aku tonton di televisi bersama adikku saat sarapan, sepertinya 'aku'
membunuh para korban secara acak dengan menebas leher atau menusuk jantung, sebelum menyalib
mereka dengan gunting-gunting yang entah aku dapatkan darimana, dan menuliskan BLOODSTAIN
FEVER yang sepertinya adalah semacam tanda tangan.

Tapi jelas, aku tak punya cara untuk membuktikannya.

'Ia' bergerak di saat aku telah melepas kendali atas tubuh—benar, bagi 'dirinya', 'bangun' adalah 'tidur'
bagiku. Di saat aku tertidur, seolah berganti jiwa, 'ia' yang bersemayam di dalam diri ini akan mengambil
alih.

Aku tak bisa mengingat apa pun.

Bahkan aku masih bisa mengingat mimpi yang kulihat semalam dengan lebih baik. Tapi di saat ia
mengambil alih—biasanya di malam Minggu—tak ada satu hal pun yang tertinggal di memori. Aku hanya
tertidur, lalu terbangun.

Begitu. Berkali-kali. Hingga aku terbiasa.

Kau tidak akan bisa membayangkan betapa takutnya diriku kalau tidak melihat atau pun mengalaminya
sendiri. Sayang sekali aku juga tak berniat membiarkanmu mengintip memori di kepalaku mengenai
kasus 'bangun' pertama yang kualami.

Jika ada hal yang patut—atau lebih tepatnya, boleh—kalian ketahui, itu adalah bagaimana usaha yang
kulakukan untuk mencoba 'menghentikan'nya. Tidak, daripada menghentikan... mungkin lebih tepatnya
'berbicara'.

—dan pada akhirnya, 'bersatu'.

Aku baru mulai melakukan hal ini sekitar enam bulan setelah kejadian pertama, di saat aku mulai
terbiasa dengan pemandangan mengerikan dan aroma darah yang menyambut bangun tidur di hari
Minggu.

Sebelum aku tidur di hari yang—mungkin—adalah hari di mana 'ia' terbangun, aku meninggalkan
rekaman suara di dalam ponsel, lalu menuliskan 'Buka ponsel, lihat rekaman suara, buka yang paling
baru' di atas secarik kertas yang aku tempel di dahi sebelum memejamkan mata.

Dengan ini, sudah pasti 'ia' akan menyadari keberadaan dari pesan yang kutinggalkan.

Pesan suara yang kuberikan hanya berisi dari dua kata. Dua kata sederhana yang selalu ingin kutanyakan
sejak mimpi buruk—bukan, 'bangun buruk' mingguan ini dimulai,

"Kau... siapa?"

"..."

Aku terbangun.
Pipi—lebih tepatnya seluruh tubuhku terasa kaku dan dingin. Tidak butuh waktu lama hingga aku
menyadari, bahwa satu kali lagi, aku telah terbangun di tempat yang sama sekali bukan merupakan
ranjang empuk di kamar.

Rasa dingin yang menyerbu tubuh ini datang dari genangan air hujan yang sepertinya mengguyur
semalam.

Seperti biasa, 'ia' cukup baik hati untuk memakaikan jaket tebal dengan tudung berbulu halus yang
kusimpan di dalam lemari—walau sebenarnya aku kurang suka bila jaket favoritku digunakan untuk tidur
di tempat seperti ini.

Di kantong kiri jaket, pisau dapur kecil. Di bilahnya terdapat darah yang terlihat masih sega—baru. Di
kantong kanan, ada tiga gunting kecil yang sepertinya tak terpakai.

Di depan mata—seorang pria tampan, disalib dengan tangan terlentang. Darah mengalir dengan deras
bersama hujan yang mendera, membasahi luka di leher dan dadanya.

(Aku benar-benar takut dengan diriku yang bisa melihat dan mendeskripsikan ini dengan tenang)

Lalu, aku menyadari pesan dari'nya'.

Itu adalah sepasang garis yang ia buat di dahi korban dari 'permainan seni' yang sedang ia mainkan—
sebuah tanda yang langsung dapat kukenali sebagai simbol sama dengan.

... Ia menyuruhku untuk melakukan hal yang sama?

Jelas, 'hal yang sama' yang kumaksud bukanlah membunuh, melainkan 'membuka ponsel dan melihat
rekaman suara terbaru', sama seperti yang kupesankan padanya.

Aku segera pergi dari lokasi kejadian.

Dilihat dari sepinya jalanan dan gelapnya langit, ini jelas-jelas sesaat sebelum matahari terbit. Bisa gawat
apabila usaha melarikan diri selama setengah tahun belakangan ini berakhir sia-sia karena satu kali saja
bertindak ceroboh.

Sampai di rumah kontrakan kecil yang hanya kutinggali berdua dengan seorang adik laki-laki, aku masuk
tanpa membuka kunci pintu.

'Sama seperti biasa', 'ia' tidak pernah mengunci pintu setelah memaksaku untuk pergi dari rumah.

"..."

Memastikan bahwa adikku masih tertidur di atas ranjangnya, aku segera menaruh ponsel di atas meja
belajar, sebelum membersihkan darah yang membasahi pisau kecil di kantongku dan
mengembalikannya pada knife set di dinding dapur, atau pun menyiram jaketku yang mungkin memiliki
bau aneh yang tak mampu lagi aku cium karena terbiasa sebelum melemparnya ke dalam mesin cuci.
Haruskah aku mengatakan satu kali lagi bahwa aku takut pada diriku yang sudah terbiasa melakukan
semua ini?

Tak lupa membersihkan gunting di kantong jaket sebelum menaruhnya di bagian yang jarang digunakan
dari lemari pakaian, aku akhirnya bisa menarik nafas lega.

Terduduk di atas ranjang, dengan ponsel di tangan kanan.

Yang terpampang di layar adalah fitur rekaman suara. Berkas suara terbaru, dibuat sekitar satu jam
setelah aku tertidur, menunggu untuk disentuh oleh jari sebelum memperdengarkan isinya.

Jantungku berdegup kencang. Bahkan keringat membasahi wajah dan tubuhku, seolah-olah mengatakan
bahwa kipas angin yang menyala dengan kecepatan tertinggi di sudut ruangan sama sekali tak memiliki
guna.

Hanya untuk berjaga-jaga, aku memasang

earphone, memakai kedua ujung bundarnya pada telinga. Lalu, dengan sedikit ragu dan jari telunjuk
yang sedikit bergetar, aku—memutar rekaman tersebut.

"Siapa... aku? Aku adalah dirimu."

—suara tersebut, tanpa diragukan lagi, adalah milikku.

Suara halus seorang perempuan yang baru saja lulus dari sekolah menengah pertama, suara halus
seorang penulis novel legendaris yang sudah mulai menulis sejak usia sepuluh tahun.

Benar.

Ini tidak mungkin salah.

Aku tidak perlu ragu, aku tidak perlu heran. Dariawal hal ini sudah jelas. Maksudku, harusnya dengan
bekas gunting yang terpatri di jemariku saja sudah menjawab bahwa memang akulah pelaku dari
pembunuhan berantai ini.

"Apa... aku merepotkanmu...? Maaf... tapi aku... tidak bisa... menahan diri..."

Suara yang terdengar dari dua benda bulat yang menempel di telingaku itu benar-benar merupakan
suara yang sama dengan suara yang keluar saat aku berbicara—berapa kali pun aku meragukannya, hal
itu merupakan fakta.

Meski begitu, aku sama sekali tidak merasakan takut.

Aku justru merasa... tenang.

Mendengar suaranya—suaraku—yang terputus-putus dan dipenuhi nada kesedihan serta pesimisme,


seolah-olah mewujudkan segala perasaan tak layak berada di dunia yang ia rasakan, aku merasa sangat
nyaman.
Ini bukan narsis, ataupun pemujaan diri yang berlebih. Hanya saja... entah kenapa, aku merasakan
perasaan itu kala mendengar suaranya—suaraku sendiri. Tenang, rileks, nyaman.

Ah... benar.

Bila kupikir jawaban apa yang cocok, huruf, kata, kalimat apa yang cocok untuk menjadi alasan kenapa
aku merasakan perasaan tak masuk akal seperti ini kala mendengar suara seorang pembunuh berantai,
itu mungkin...

... karena saat ini, aku merasa sangat lengkap.

Karena ia, pemilik suara perempuan yang terekam di sini, tidak perlu diragukan lagi, bukan hanya
sekadar jiwa lain yang hinggap di dalam diriku, atau pun kepribadian berbeda yang menumpang tinggal

—ia adalah bagian dari diriku sendiri.

—ia adalah kesadaran lain yang membuat diriku yang penuh akan kekurangan ini... menjadi manusia
yang seutuhnya.

Enam bulan telah berlalu semenjak aku mulai bertukar pesan suara dengan diriku sendiri. Enam bulan,
dengan kata lain, sekitar 24 kali sudah, aku dan 'ia' saling menceritakan diri kami yang berada di dalam
satu tubuh.

Ia bilang bahwa adik laki-lakiku sangat manis. Aku juga setuju. Aku akan menghajarnya bila ia berani
mengatakan bahwa satu-satunya anggota keluarga yang kumiliki itu adalah anak yang jelek.

Ia juga sangat suka dengan jaket berbulu milikku, makanya ia mengenakannya tiap kali melakukan
pembunuhan. Tentu saja. Itu jaket favoritku. Aku membelinya setelah menabung cukup lama.

Ia bilang ia sangat bahagia saat aku berinisiatif untuk meninggalkan pesan. Hm, aku juga bahagia. Aku
tidak menyangka berbicara dengan diriku sendiri akan menyenangkan seperti ini.

Berbicara dengannya, atau lebih tepat jika kukatakan sebagai mendengarnya berbicara dan
memperdengarkanku bicara, jauh lebih menyenangkan daripada mendengar celotehan teman sekolah
yang tak punya kerjaan lain selain menggangguku.

Entah sejak kapan, hidupku mulai bergantung pada dirinya.

Di malam-malam selain malam di mana ia bangun untuk memuaskan hasrat terpendamnya, sering
kudapati diriku sendiri tertidur dengan mendengarkan suaranya sepanjang malam.

Kau pasti tidak bisa membayangkan betapa tingginya tingkat euforia yang kurasakan tatkala malam
Minggu, malam di mana ia akan memakai tubuhku dan mencari mangsa serta meninggalkan cerita baru
untukku tiba.

Lalu—
—malam itu tiba.

Tepat satu tahun sejak aku mulai terbangun di tempat yang tak masuk akal. Tidak, lebih baik kukatakan
tepat satu tahun setelah ia yang berada di dalam diriku 'terlahir' ke dunia ini.

Malam itu, aku tak tidur.

'Ia' mengatakan bahwa ia ingin mengajakku ikut dengannya untuk menciptakan karya seni baru. 'Ia' juga
mengatakan, kalau seandainya ini berhasil, kami akan selalu bisa saling berbicara sepanjang waktu.

Kami akan bersama.

Kami bukan hanya akan menjadi dua jiwa dalam satu tubuh, menjadi yin dan yang yang hanya berganti
posisi satu kali seminggu, melainkan menjadi pribadi abu-abu baru, percampuran dari dua jiwa yang
selalu bersama setiap saat.

Karena itu, aku tak tidur.

Aku sudah terbiasa dengan darah. Aku sudah terbiasa dengan mayat. Makanya, aku tak tertidur malam
itu. Atau lebih tepatnya, aku tak ingin tidur. Atau lebih tepatnya lagi, aku tak bisa tertidur.

Bahkan bila aku ingin menunda malam di mana kami bersatu dan jatuh, ikut dalam godaan sang dewi
kantuk yang mengundang ke alamnya, aku tak bisa melakukannya.

Itu karena—aku bisa mendengar suara wanita di kamar adikku.

Benar... suara wanita.

Adik laki-lakiku, satu-satunya anggota keluarga yang kumiliki, adik manis yang kupercaya dan kurawat
dengan sepenuh hati, membawa seorang gadis seumurannya yang bahkan masih berseragam ke dalam
kamar.

Awalnya aku sudah curiga dengannya yang sering pulang malam belakangan atas alasan kegiatan
ekstrakurikuler atau kerja kelompok. Bila ia

nongkrong di suatu tempat dan membakar uang dengan rokok masih bisa kumaafkan, tapi bermain
dengan perempuan... adalah sesuatu yang tak mampu aku maafkan.

Bahkan bila ia adikku.

Karena itu, aku tak tertidur.

Atau lebih tepatnya, aku tak ingin tertidur.

Atau lebih tepatnya lagi, aku tak bisa tertidur.

"Bagaimana kalau kakakmu dengar...? Aaah, jangan... j-jangan sentuh disitu—"


"Sst... makanya, kecilkan suaramu. Kakakku biasanya sudah tertidur di jam seperti ini. Tapi bukannya
melakukan ini dengan resiko dilihat seseorang justru menambah kenikmatan?"

—aku tak bisa memaafkannya. Perempuan yang namanya tak kuketahui itu. Adik laki-laki manis yang
kini sudah kehilangan akal dan dipengaruhi oleh busuknya hawa nafsu manusia itu.

Tak bisa kumaafkan . Tak bisa kumaafkan. Tak bisa kumaafkan.

Di saat aku menghabiskan waktu bekerja keras demi menafkahimu, kau malah menghabiskan uang yang
kuberikan untuk perempuan jalang sepertinya?

Di saat aku banting tulang agar kau menjadi orang hebat, kau malah menggunakannya demi perempuan
murahan sepertinya?

Di mana akalmu?

Di mana sisi manis yang dulu selalu kulihat dan kubanggakan darimu?

Di mana sosok adik laki-laki penuh impian yang selalu dapat kubanggakan, sosok pria yang suatu saat
kupercaya dapat menjadi orang hebat di masa depan?

Karena itu, aku tak bisa memaafkan mereka.

Baik wanita itu—ataupun adikku sendiri.

Meski begitu, aku tetap tak tidur. Meski begitu, aku tetap tak memejamkan mata. Aku hanya melamun,
menyaksikan langit-langit kamar yang sudah mulai bobrok.

Di kamar sunyi yang gelap ini, satu-satunya yang menemaniku hanyalah suara deru kipas angin yang
menggeleng secara perlahan, serta desahan mesra penuh gejolak asmara yang terdengar dari kamar
sebelah.

Sial.

Dasar perempuan tak tahu diri. Dasar adik tak tahu diri.

Kau sudah bukan lagi adikku. Kau sudah bukan lagi adik laki-laki yang bisa kubanggakan seperti dulu.

Kau sama saja dengan mereka. Kau tak ada beda dengan mereka. Kau sama sekali, tanpa terkecuali,
persis dengan lima puluh empat orang yang sudah ia—aku bunuh.

Mungkin karena itu, aku bertekad.

Tidak, kau boleh menghapus kata 'mungkin' dari kalimat sebelumnya. Kau juga boleh menggantinya
dengan kata 'benar-benar' atau 'sungguh-sungguh', dan merubah sedikit posisinya agar menjadi kalimat
yang lebih sesuai.
Di saat malam yang dijanjikan tiba, di saat waktu yang dijanjikan tiba, di saat aku dan 'ia' yang berada di
dalam diriku menjadi satu, di saat yin

dan yang yang selalu bersama namun tak pernah bersatu ini menjadi abu-abu kelam, sebuah jiwa yang
baru—

—adikku dan gadis yang ia tiduri itu—

—akan menjadi yang kelima puluh lima.

"Hai, diriku."

Ia menyapaku. Sosok yang selama ini hanya mampu aku dengar dari rekaman suara, kini mampu aku
dengar secara langsung. Walau aku tidak melihatnya, aku tahu, aku sedang bersamanya.

"Hai juga, diriku."

Walau ia tak mendapatkan sosok baru, walau ia tak menggunakan tubuh baru, walau ia tak
mengendalikan tubuhku, ia sedang menampakkan dirinya. Ia sedang menunjukkan dirinya.

Ia berdiri di sana, menatap wajahku.

"Mau kita lakukan sekarang?"

Matanya yang sama suramnya denganku, mataku yang kini sama dinginnya dengannya. Sosoknya yang
berada di balik cermin itu begitu indah, begitu memukau, begitu mempesona.

"Ya. Ayo lakukan. Tidak ada waktu yang lebih sempurna daripada sekarang."

Ini bukan narsis. Ini bukan pemujaan diri yang berlebih. Aku hanya, kali ini, secara penuh, telah menjadi
sebuah diri yang penuh, sebuah diri baru yang lengkap dan sempurna.

"Sudah bawa pisau favorit kita? Gunting? Ah, walau ini masih di dalam rumah, tak ada salahnya kalau
kita memakai jaket favorit kita yang itu, 'kan?"

"Tentu, diriku. Apa yang kau inginkan adalah apa yang aku inginkan... karena kita adalah abu-abu,
percampuran dari yin dan yang yang akhirnya bersatu setelah sekian lama tak mampu menjadi satu
walau selalu bersama."

"Ahaha! Aku suka dirimu saat mulai mengatakan hal-hal memalukan yang sulit dimengerti itu."

"Ini... baru pertama kali aku melakukannya. Kau mau membantuku kalau ada yang tidak aku mengerti,
'kan?"

"Baik, baik. Tenang saja. Aku akan membantumu, sebaik yang aku bisa—tidak, bukankah sekarang kita
telah menjadi satu? Aku sangat yakin bahwa kali ini akan menjadi karya seni terbaik yang pernah kita
buat."
"... sungguh?"

"Aku yakin."

"Kalau begitu, aku percaya."

Langkah kaki kami yang gontai memasuki kamar dari adik laki-laki yang dulu kami sayangi. Kami
bergerak, dalam satu tubuh, dalam satu pikiran, mendekati dua tubuh polos di atas ranjang tanpa
menghasilkan sedikit pun mengeluarkan suara.

Seperti katanya , yang pertama kami bunuh adalah perempuan jalang itu. Kami menutup mulutnya
dengan tangan yang sudah dilindungi oleh sarung tangan, sebelum memutus urat leher dan nyawanya
dalam satu kali tebas.

Ia memujiku. Kami tertawa bersama-sama.

Aku tidak tahu bahwa mencipta karya seni adalah sesuatu yang menyenangkan seperti ini. Seharusnya
aku ikut dengannya dari dulu. Aku ingin menghujat diriku yang telah menolak kenikmatan seperti ini
sejak satu tahun yang lalu.

Darah merah yang hangat milik perempuan jalang tersebut membasahi ranjang, mengalir tanpa suara,
menyentuh tubuh laki-laki yang tertidur di sampingnya.

Tentu, kami membunuh adik laki-laki tersebut sebelum ia sempat berteriak. Sepertinya ia sempat
membuka mata, tapi hal tersebut sudah tak lagi berarti. Yang penting sekarang ia tak lebih dari sekadar
onggokan daging.

Lalu, kami mulai bekerja.

Ini akan jadi mahakarya yang lebih hebat dari sebelumnya.

Secara perlahan namun pasti, kami yang berada di dalam satu tubuh dan pikiran, mulai menyatukan
kedua telapak tangan dua insan yang baru saja menghabiskan malam penuh kenikmatan terakhir
mereka.

Tak puas, kami menyatukan kulit paha mereka.

Tak puas, kami menyatukan dada mereka.

Tak puas, kami menyatukan bibir mereka.

Sekarang mereka akan selalu bersama, di kala sedih dan duka—sengaja tak kusebutkan senang dan
suka, karena, yah, hal itu tak akan ada di dunia sana, 'kan?—sebelum akhirnya polisi melepas mereka
atas nama simpati.
Tentu, sebagai tanda tangan, kami menyalib tubuh mereka yang bersatu ke dinding dengan serangkaian
gunting, membuat mereka seolah saling memeluk satu sama lain, dan menuliskan kata BLOODSTAIN
FEVER dengan darah mereka.

Dengan begini, mahakarya pertama 'kami' sebagai pribadi abu-abu yang baru telah selesai. Mahakarya
yang akan dikenang abadi dengan bahan terbaik yang ada di dunia.

' Adik Tak Tahu Diri dan Perempuan Jalang Favoritnya'.

Ah, judul yang indah. Kami memastikan memotret hasil seni ini dengan ponsel yang sebelumnya menjadi
satu-satunya jalan bertukar suara bagi kami, menggabungkannya dengan 54 koleksi berharga lainnya,
yang baru berani aku buka hari ini.

... sudah selesai.

Nah...

... sekarang aku tak mungkin lagi kembali ke rumah ini. Aku dalam bahaya. Aku tak ingin
membahayakannya. Ia benar-benar pribadi yang pengertian. Karena kami sekarang adalah satu.

Benar.

Kami... adalah satu.

" Karya seni macam apa yang akan kita buat selanjutnya?"

Anda mungkin juga menyukai