GLAUKOMA SEKUNDER
EC SINDROM PSEUDOEKSFOLIASI
OLEH:
Rizki Febriyani, S.Ked
G1A216070
PEMBIMBING:
dr. Vonna Riasari, Sp.M
LEMBAR PENGESAHAN
0
Laporan Kasus
GLAUKOMA SEKUNDER
EC SINDROM PSEUDOEKSFOLIASI
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Glaukoma Sekunder ec Sindrom
Pseudoeksfoliasi”.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
kepada dr. Vonna Riasari ,Sp.M selaku pembimbing yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan............................................................................................ 1
Kata Pengantar....................................................................................................... 2
Daftar Isi................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................35
3
BAB I
PENDAHULUAN
Glaukoma berasal dari kata Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan,
yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma
adalah penyakit mata yang ditandai oleh meningkatnya tekanan intraokuler yang
disertai oleh pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapang pandang.1
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, responden yang pernah
didiagnosis glaukoma oleh tenaga kesehatan sebesar 0,46%, tertinggi di Provinsi
4
DKI Jakarta (1,85%), berturut-turut diikuti Provinsi Aceh (1,28%), Kepulauan
Riau (1,26%), Sulawesi Tengah (1,21%), Sumatra Barat (1,14%) dan terendah di
Provinsi Riau (0,04%).5
5
BAB II
LAPORAN KASUS
Anamnesis
Identifikasi
Nama : Tn. H
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Muaro Jambi
Tanngal berobat : Rabu 17 Oktober 2018
Keluhan utama Mata kanan tidak bisa melihat sejak ± 2 minggu yang
lalu.
Anamnesa khusus Sejak kurang lebih satu bulan yang lalu, penderita
mengeluh pandangan mata kanan mulai kabur tetapi
pasien tidak berobat karena dirasa belum mengganggu
aktivitas. Keluhan tersebut tidak disertai dengan mata
merah. Dua minggu yang lalu, penglihatan mata kanan
terasa semakin kabur, bahkan penderita mengeluh tidak
bisa melihat. Karena keluhan tersebut penderita dibawa
berobat ke dokter spesialis mata dan dirawat inap selama
3 hari.. Penglihatan mata kiri masih dirasakan cukup
baik.
Selain itu, dari keterangan yang didapat dari keluarga
penderita, penderita juga mengeluh matanya terasa nyeri.
Keluhan mata berair berlebihan (-), nyeri kepala (-),
penglihatan seperti berawan atau berasap (-), riwayat
pernah terjatuh saat berjalan (+).
Riwayat penyakit Penderita belum pernah mengalami keluhan serupa
dahulu sebelumnya. Riw. sakit mata lain hingga berobat (-);
6
Riw. ggn pengelihatan sejak lahir/kecil (-); Riw. trauma
pd mata (-); Riw. penggunaan kacamata (-); Riw.
penggunaan tetes mata jangka panjang (-); Riw.
konsumsi obat-obatan jangka panjang (-); Riw. HT (-);
Riw. DM Riw. rawat inap (+)
Riwayat penyakit Riw. keluhan serupa di keluarga (-)
keluarga Riw. penyakit mata lainnya di keluarga (-)
Riw. hipertensi (+), orang tua penderita
Riw. alergi (-)
Riw. keganasan (-)
Riwayat gizi IMT: 55/(1,58)2 = 22 (normal)
Kebiasaan sosial Penderita seseorang yang tidak bekerja karena penderita
ekonomi memiliki keterbatasan tidak bisa berbicara dan tidak bisa
mendengar, dengan perekonomian menengah ke bawah
dan sumber perkeonomian berasal dari saudara-saudara
penderita. Konsumsi obat-obatan (-); konsumsi jamu-
jamuan (-).
Penyakit Sistemik
Traktus respiratorius Tidak ada keluhan
Tractus digestivus Tidak ada keluhan
Kardiovaskuler Tidak ada keluhan
Endokrin Tidak ada keluhan
Neurologi Tidak ada keluhan
Tidak ada keluhan
Kulit
Tidak ada keluhan
THT
Tidak ada keluhan
Gigi dan mulut
Tidak ada keluhan
Lain-lain
PEMERIKSAAN FISIK
7
Pemeriksaan Visus dan Refraksi
OD OS
Visus : 1/300 Visus : 6/6
Muscle Balance
Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia
Pemeriksaan Eksternal OD OS
8
Lensa Jernih Jernih
Pemeriksaan TIO
Digital Fluktuasi (+),teraba keras; Fluktuasi (+), tidak teraba keras;
N++ N (normal)
Schiotz TIDAK DILAKUKAN
Aplanasi TIDAK DILAKUKAN
Non kontak TIDAK DILAKUKAN
Visual Field
TIDAK DILAKUKAN
Slit Lamp
TIDAK DILAKUKAN
Funduskopi
TIDAK DILAKUKAN
9
Gambar 2.1 Mata Kanan Penderita
Pemeriksaan Umum
Tinggi badan 158 cm
Berat badan 60 kg
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 86 kali/menit
Suhu 36,80C
Pernapasan 18 kali/menit
Kerdiovaskuler BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Traktus gastrointestinal Bising usus (+)
Paru-paru Vesicular (+/+), wheezing (-/-), rhonki
(-/-)
Neurologi Tidak dilakukan
Diagnosis
Glaukoma Absolut OD ec Sindrom Pseudoeksfoliasi
Diagnosis Banding
Glaukoma Pigmentari OD
Glaukoma Primer Sudut Terbuka OD
Katarak senilis matur OD
Anjuran pemeriksaan
Gonioskopi
Tonometri
Perimetri
USG
Tatalaksana
Non Farmakologi
Menjelaskan mengenai penyakit glaucoma pada pasien
Farmakologi :
Timolol 0,50% OD 2 x 1 tetes
Azetazolamid 3 x 250mg
Atropin 1 % OD 2x1 tetes
Prognosis
10
Oculi Dextra
Quo ad vitam: Bonam
Quo ad functionam: Dubia ad malam
Quo ad sanationam: Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
11
3.1.2 Fisiologi
Aqueous humor merupakan cairan jernih yang mengisi kamera okuli anterior
(0,25ml) dan kamera okuli posterior (0,06ml) bola mata. Fungsi aqueous humor
adalah untuk mempertahankan tekanan intraokular yang memadai, peran metabolik
penting (menyediakan substrat dan memindahkan metabolit dari kornea avaskular dan
lensa), mempertahankan transparansi optik, dan menggantikan limfe yang tidak
ditemukan dalam bola mata.6
Komposisi aqueous humor normal sebagai berikut꞉
Air 99,9% dan solid 0,1%, yang termasuk꞉
o Protein (kandungan koloid). Karena blood aqueous barrier, kandungan
protein dalam aqueous humor (5-16mg%) lebih sedikit dibandingkan di
plasma (6-7 gm%). Namun, pada inflamasi uvea (iridosiklitis), blood
aqueous barrier rusak dan kandungan protein aqueous meningkat
(plasmoidaqueous)
o Asam amino ditemukan sebanyak 5mg/kg air
o Non-koloid yaitu glukosa (6 milimol/kg air), urea (7 milimol/kg air), askorbat
(0,9 milimol/kg air), asam laktat (7,4 milimol/kg air), inositol (0,1 milimol/kg
air), Na+ (144 milimol/kg air), K+ (4,5 milimol/kg air), Cl- (10 milimol/kg air)
dan HCO3- (34 milimol/kg air)
o Oksigen ditemukan dalam aqueous pada kondisi dissolved.
Catatan꞉ Kandungan aqueous serupa dengan plasma kecuali di aqueous
terdapat konsentrasi askorbat, piruvat dan laktat yang tinggi, sedangkan
protein, urea, dan glukosa yang rendah.7
Komposisi aqueous humor di kamera okuli anterior berbeda dengan di
posterior karena adanya pertukaran metabolik.Perbedaan utama adalah HCO 3 (kadar di
kamera okuli posterior lebih tinggi), Cl- (di posterior lebih rendah), Askorbat (di
posterior sedikit lebih tinggi).7
Aqueous humor berasal dari plasma dalam jaringan kapiler prosesus siliari.
Kecepatan produksi normal adalah 2,3 μl/menit.13Aqueous humor diproduksi melalui
dua tahap, yaitu꞉
Pembentukan filtrat plasma dalam stroma badan siliar.
12
Pembentukan aqueous dari filtrat ini melewati blood-aqueous barrier.
Menurut ada tiga mekanisme, yaitu ultrafiltrasi, difusi, dan sekresi berperan
dalam produksi aqueous humor pada tingkat yang berbeda. Ultrafiltrasi yaitu proses
dimana kebanyakan substansi plasma keluar dari epitel pigmen prosesus siliari. Filtrat
plasma berakumulasi di epitel prosesus siliari.7
Ada dua mekanisme terlibat, sebagai berikut꞉8
1. Sekresi aktif kebanyakan oleh epitel siliar yang tidak berpigmen. Ini adalah hasil
proses metabolik yang bergantung pada beberapa sistem enzim, terutama pompa
Na+/K+/ATPase yang menyekresi ion Na+ ke dalam ruang posterior. Ini
menyebabkan adanya perbedaan tekanan osmotik di sel epitel siliar sehingga air
dapat lewat secara pasif mengikuti gradien osmotik. Sekresi Cl -pada permukaan
sel tidak berpigmen mungkin merupakan faktor yang menghammbat. Karbonik
anhidrase juga memainkan peran, tetapi mekanisme pastinya tidak jelas. Sekresi
aqueous berkurang akibat faktor yang menghambat metabolisme aktif seperti
hipoksia dan hipotermia tetapi tidak bergantung pada kadar tekanan intraokular.
2. Sekresi pasif oleh ultrafiltrasi dan difusi (yang tergantung pada tingkat tekanan
hidrostatik kapiler. Tekanan onkotik dan tekanan intraokular diperkirakan
memainkan peranan kecil dalam kondisi normal.8
13
c. Anyaman endotel (jukstakanalikular) merupakan bagian terluar trabekulum
yang menghubungkan anyaman korneosklera dengan endotel dinding dalam
kanal Schlemm. Jaringan jukstakanalikula memberikan kontribusi besar
resistensi terhadap aliran aqueous.
14
Gambar 3.2 Anatomi aliran aqueous. (a) anyaman uveal; (b) anyaman
korneosklera; (c) garis Schwalbe; (d) kanal Schlemm; (e) saluranpenghubung; (f)
otot longitudinal badan siliar; (g) taji sklera.8
3.2.2. Fisiologi
Aqueous mengalir dari kamera okuli posterior melalui pupil ke dalam kamera
okuli anterior. Terdapat dua jalur utama untuk keluar dari mata, yaitu꞉8
1. Sekitar 90% aliran aqueous melalui jalur trabekula (konvensional). Aliran
aqueous melalui trabekulum ke dalam kanal Schlemm dan kemudian dialiri
oleh pembuluh darah vena episklera. Ini adalah jalur yang sensitif terhadap
tekanan sehingga dengan peningkatan tekanan kepala akan meningkatkan
aliran.8
2. Jalur uveosklera (tidak konvensional) berperan untuk 10% aliran aqueous.
Aqueous melewati tubuh siliari ke ruang suprakoroidal dan didrainase oleh
sirkulasi vena dalam badan siliar, koroid dan sklera.Cairan ini bergerak ke
dalam rongga suprakoroidalis dan diserap ke dalam vena siliari anterior dan
vena vorteks.Sisa aqueous bergerak ke lubang anyaman korneosklera yang
lebih sempit dan melalui jaringan jukstakanalikular dan lapisan endotel ke
kanal Schlemm.Dalam bagian histologis, banyak sel-sel endotel yang melapisi
dinding dalam kanal ditemukan mengandung vakuola besar. Aliran uveosklera
15
berkurang dengan pemberian miotik dan ditingkatkan dengan atropine,
simpatomimetik dan prostaglandin. Sebagian aqueous juga mengalir melalui
iris.8
16
Gambar 3.5. Bagan aliran aqueous humor.7
3.3 Glaukoma
3.3.1. Definisi
Istilah glaukoma mengacu pada sekelompok penyakit yang memiliki
karateristik umum neuropati optik bersamaan dengan hilangnya fungsi
penglihatan.Meskipun tekanan intraokular meningkat merupakan salah satu faktor
risiko utama, ada atau tidaknya tekanan tinggi tidak memiliki peranan dalam definisi
penyakit.
Tiga faktor yang menentukan tekanan intraokular adalah sebagai berikut꞉3
Tingkat produksi aqueous humor oleh resistensi badan siliar terhadap aliran
aqueous di trabecular meshwork– Schlemm’s canal system
Lokasi resistensi tertentu umumnya diduga berada di juxtacanalicular
meshwork
Kadar tekanan vena episklera
Secara tradisional, glaukoma diklasifikasikan menjadi sudut terbuka atau
tertutup dan menjadi primer dan sekunder.Berdasarkan definisinya, glukoma primer
tidak terkait dengan gangguan sistemik atau okular diketahui yang menyebabkan
17
meningkatnya resistensi terhadap aliran aqueous atau penutupan sudut.Glaukoma
primer biasanya mempengaruhi kedua mata.Sebaliknya, glaukoma sekunder terkait
dengan gangguan mata atau sistemik yang bertanggung jawab atas menurunnya aliran
aqueous.Penyakit yang menyebabkan glaukoma sekunder sering bersifat asimetris atau
unilateral.3
Salah satu jenis glaukoma sekunder yaitu glaukoma ec sindrom
pseudoeksfoliasi, yang berhubungan dengan usia, manifestasi mata ditandai adanya
deposit bahan fibrillogranular amyloid berwarna putih abu-abu pada kapsul lensa
anterior, zonula zinn, badan siliari, pupil, iris, epitel kornea, vitreous anterior dan
3
trabekular meshwork.
Sindrom pseudoeksfoliasi adalah suatu penyakit kelainan metabolisme dari
protein glikosaminoglikan yang membentuk banyak struktur dalam mata ditandai
adanya serpihan material putih. Material tersebut bertumpuk di lapisan luar lensa, tepi
iris dan zonula zinn. Zonul ini merupakan suatu pengikat yang mempertahankan lensa
di dalam mata. Target dari serpihan material putih ini ialah bagian sentral dari pupil.3
Serpihan putih abu-abu ini terus menumpuk hingga menyumbat sistem
drainase mata. Sindrom pseudoeksfoliasi ini terjadi pada 1 dari 3 penderita glaukoma.
Dikarenakan adanya penyumbatan deposit serpihan putih abu-abu tersebut pada
saluran trabekulum meshwork maka akan dapat meningkatkan tekanan intraokular.3
3.3.2. Epidemiologi
Prevalensi sindrom pseudoeksfoliasi di Eropa ditemukan 4,7% di Inggris, 6,3%
di Norwegia, 4% di Jerman, 1,1% di Yunani, dan 5,5% di Perancis. Bartholomew
melaporkan prevalensi sindrom pseudoeksfoliasi di Afrika Selatan sebanyak 8.2%.
Prevalensi pada populasi Jepang adalah 3,4%, 3,5% di Arab Saudi, dan 3,73% dalam
studi India Selatan. Studi berbasis Rumah Sakit menunjukkan prevalensi 6,45% di
Pakistan dan 7,4% di India. Tingkat prevalensi 0,4% diidentifikasi di China dan Iran.5
18
Di Norwegia, Aasved melaporkan bahwa prevalensi pseudoeksfoliasi adalah
0,4% pada individu berusia 50-59 tahun dan 7,9% pada individu berusia 80-89 tahun.
Usia rata-rata yang mengalami sindrom pseudoeksfoliasi berkisar 69-75 tahun.
Jonasson et al melaporkan adanya peningkatan 10% setiap tahunnya prevalensi dari
glaukoma sudut terbuka dan pseudoeksfoliasi pada orang berusia 50 tahun dan lebih
tua di Islandia.9
Sindrom pseudoeksfoliasi terjadi 3 kali lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Sindrom pseudoeksfoliasi jarang terlihat sebelum usia 50 tahun,
dan insiden akan meningkat sejalan dengan usia.4
3.3.3. Etiologi
Apakah sindrom pseudoeksfoliasi terjadi sebagai bagian dari proses genetik
atau dalam hubungan dengan penyakit lain masih belum dapat dijelaskan. Agregasi
familial mendukung gagasan bahwa mungkin diwariskan sebagai sifat dominan
autosomal dengan penetrasi yang tidak lengkap dan dengan onset yang lambat.
Frekuensi meningkat dengan bertambahnya usia. 4
3.3.4. Patofisiologi
Sindrom pseudoeksfoliasi merupakan manifestasi umum dari suatu penyakit
sistemik. Etiologi pasti penyakit ini masih belum diketahui. Material pseudoeksfoliasi
dikaitkan dengan adanya kelainan membrana basalis di sel epitel dan memiliki
distribusi yang luas di seluruh tubuh. Bahan pseudoeksfoliatif telah ditemukan di
dinding pembuluh darah vena dan arteri retina sentral. Jaringan luar mata yang terlibat
termasuk paru-paru, kulit, hati, jantung, ginjal, kandung empedu, pembuluh darah, otot
ekstraokular, dan meningens. Pada mata, sindrom pseudoeksfoliasi menimbulkan
deposit material serpihan putih abu-abu pada kapsul lensa anterior, badan siliris,
zonula zinn, tepi iris, endotel kornea, anterior vitreous, dan trabekular meshwork.
Sehingga manifestasi sindrom pseudoeksfoliasi pada mata adalah glaukoma dan
katarak.4
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pigmen pada epitel iris, epitel silia, dan
perifer epitel lensa anterior memproduksi material serpihan putih abu-abu yang
bergerak ke dalam aqueous humor dan dibawa ke trabekular meshwork, mengikuti
19
aliran normal, lalu terjadi obstruksi trabekular meshwork oleh material tersebut dan
disertai dengan adanya perubahan degeneratif di kanalis Schlemm dan daerah juksta
kanalikular sehingga menyebabkan peninggian tekanan intraokular (TIO).4
Kejadian katarak berhubungan dengan iskemik okular, hipoksia aqueous,
radiasi sinar UV, trauma, infeksi dan stres oksidatif. Asam askorbat, berperan dalam
melindungi lensa terhadap sinar UV, ditemukan berkurang pada aquous humor pada
sindrom pseudoeksfoliasi.5
20
Gambar 3.6 Slitlamp pada sindrom pseudoeksfoliasi
21
Gambar 3.8 material pseudoeksfoliasi di pinggir pupil
22
kehilangan pigmen iris, COA dangkal, katarak posterior subkapsular, dan
glaukoma sekunder sudut terbuka. Kelainan ini bersifat unilateral dan terjadi pada
umur usia dewasa. Dari hasil gonioskopi ditemukan pembuluh darah pada
trabekular meshwork. Pembuluh darah bersifat rapuh dan dapat menyebabkan
pendarahan pada anterior chamber yang terjadi spontan ataupun dipicu oleh
trauma, termasuk operasi katarak dan glaukoma.6
b. Glaukoma Pigmentari
Glaukoma pigmentari disebabkan adanya gangguan autosom dominan
yang ditandai dengan adanya penyebaran pigmen dari epithelium iris. Pada
glaukoma pigmentari sering terdapat ikatan pigmen yang vertical pada endotel
kornea, yang disebut Krukenberg spindle atau garis zentmeyer yang sangat jarang
ditemukan pada glaukoma dengan sindrom pseudoeksfoliasi.7
23
c. Glaukoma Primer Sudut Terbuka
Glaukoma pada sindrom pseudoeksfliasi berbeda dengan glaukoma primer
sudut terbuka. Sindrom pseudoeksfoliasi bersifat monokular dan terdapat
pigmentasi pada trabelukar meshwork. Tekanan intraokuler sindrom eksfoliasi
lebih tinggi dan memiliki fluktuasi diurnal yang lebih besar dibandingkan dengan
glaukoma glaukoma primer sudut terbuka.6
3.3.8. Penatalaksanaan
Banyak pilihan terapi pada glaukoma dengan pseudoeksfoliasi ini,
diantaranya seperti pengobatan untuk menurunkan TIO seperti halnya dengan
glaukoma biasa dapat dilakukan sebagai terapi pilihan pertama. Pengobatan ini
dapat menggunakan beta bloker, alfa 2 reseptor agonis selektif, sistemik dan
topikal inhibitor karbonik anhidrase, agonis prostaglandin dan simpatomimetik.7
Glaukoma dengan sindrom eksfoliatif pada dasarnya diperlakukan sama
dengan glaukoma sudut terbuka primer. Meskipun telah ditekankan bahwa tipe
glaukoma lebih sulit terkontrol. Operasi laser sering dilakukan lebih awal
daripada glaukoma sudut terbuka primer. Laser trabekuloplasti mungkin sangat
efektif dalam sindrom pseudoeksfoliasi, pengaturan energi yang lebih rendah
namun diperlukan karena pigmentasi meningkat ditemukan di mata dengan
pseudoeksfoliasi. Pengobatan untuk memberikan efek konstriksi pada pupil yaitu
miosis, yang dapat membantu mengurangi gesekan pada bagian posterior iris
terhadap serpihan pseudoeksfoliasi dan dapat mengurangi jumlah pigmen
tersebut. Obat topikal sama dengan obat pada penderita glaukoma sudut terbuka.
Ketika pengobatan tidak lagi adekuat, trabekuloplasti laser diindikasikan dan rata-
rata tingkat keberhasilanya tinggi. Operasi filtrasi (trabekulektomi) umumnya
dianjurkan.8
Penatalaksanaan katarak pada sindrom pseudoeksfoliasi sering
diindikasikan untuk peningkatan ketajaman penglihatan pada beberapa pasien,
meskipun tidak untuk pengobatan utama glaukoma. Pada beberapa penelitian
yang dilakukan dari tahun ke tahun, dilaporkan bahwa materi eksfoliasi
24
berkurang dan regresi setelah ekstraksi katarak intrakapsular. Ekstraksi katarak
pada mata dengan sindrom eksfoliasi bisa terjadi komplikasi yaitu sinekia antara
epitel pigmen iris dan sekeliling kapsul lensa anterior yang dapat menyebabkan
ruptur dari kapsul lensa selama operasi.8
Manifestasi dari sidrom pseudoeksfoliasi adalah kelemahan pada zonula
zinn dan keterbatasan dilatasi pupil karena deposit psudoekfoliasi.
Ketidakstabilan zonula zinn dapat menyebabkan fakodenesis, subluksasi lensa dan
glaukoma sudut tertutup karena blok pupil dan badan siliaris.1
25
sudut terbuka primer (GPSTb), namun naiknya tekanan intra okular (TIO)
disebabkan oleh pemakaian steroid baik topikal, periokular, intravitreal,
1
inhalasi maupun sistemik dalam jangka waktu yang lama. Penelitian
terdahulu menunjukkan sebanyak 4 – 5% populasi mengalami peningkatan
2-4
TIO setelah pemakaian steroid topikal dalam jangka waktu ± 1 bulan.
Keadaan tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang mempunyai gen
tertentu saja yang dapat di pengaruhi steroid tersebut. Data di RSCM pada
tahun 2000 – 2010 menunjukkan sebanyak 81 dari 1010 pasien glaukoma
5
sekunder atau sebanyak 8.1% adalah steroid – induced glaucoma. Pada
ilmu penyakit mata terdapat cukup banyak penyakit yang ditangani dengan
pemberian kortikosteroid seperti: konjungtivitis, blefaritis, keratitis,
skleritis, uveitis, edema makula, neuritis dan endoftalmitis.
26
2. Usia
Laporan penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi usia, semakin
dipengaruhi oleh dosis dan durasi pemberian steroid topikal.8 selain itu
steroid inhalasi juga memberikan efek peningkatan TIO pada anak –
anak. Pemberian steroid inhalasi dalam waktu 1 bulan, TIO meningkat
diatas 21 mmHg, meskipun pada studi ini tidak ditemukan perbedaan
bermakna antara TIO pada anak dengan pemberian steroid inhalasi dan
3. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus secara general menjadi faktor resiko
10
terbentuknya glaukoma, seperti hipertensi okular. Namun hubungan
pasti mengeani DM dengan glaukoma belum dapat dibuktikan, bahkan
beberapa penelitian tidak menemukan asosiasi diantara keduanya dan
menyatakan baha DM bukanlah faktor resiko untuk glaukoma.10
4. Miopia tinggi
Pada penelitian terdahulu didapatkan miopia dinyatakan sebagai
faktor resiko yang penting pada glaukoma. Pada glaukoma karena
steroid beberapa penelitian terbaru membuktikan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara miopia tinggi dan glaukoma
karena kortikosteroid.
27
5. Penyakit jaringan ikat
Pada pasien dengan penyakit jaringan ikat seperti reumatiod
artritis, penggunaan kortikosteroid tetes mata didapatkan
mendapati respon yang lebih tinggi dibandingkan populasi
normal.2,8,10
3.4.2 Patofisiologi
28
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan itu
bersifat sementara dan TIO akan kembali normal secara bervariasi dari 15
hingga 120 menit pasca injeksi. Penumpukkan presipitasi kristal dari
cairan intravitreal kortikosteroid menjadi mekanisma kedua penyebab
peningkatan TIO. Penupukkan ini terjadi pada bagian inferior dari BMD
yang disebut sebagai pseudohipopion, yang kemudian mengoklusi
anyaman trabekular sehingga mengganggu outflow humor akuos dan
terjadilah peningkat TIO sekunder. Pseudohipopion dapat terjadi sesaat
setelah injeksi hingga 3 hari pasca injeksi. Mekanisme terakhir yang
terjadi adalah disfungsi pada anyaman trabekular yang diduga karena
penumpukan matriks ekstraselular, inhibisi fungi sel pada anyaman
trabekular melalui inhibisi fagositosis dan akumulasi mukopolisakarida
pada membran, reorganisasi dari sitoskeleton trabekular dan peningkatan
10
adhesi sel.
29
ketebalan kornea, ulkus kornea, ptosis serta atropi pada kulit kelopak
2
mata.
3.4.4 Manajemen
30
Penggunaan obat – obatan ini dapat diberikan dengan satu jenis saja
ataupun dikombinasikan, dengan rerata penggunaan obat anti glaukoma
10
sebanyak 1.3 jenis (dari 1 – 2.1 jenis obat). Jenis obat penghambat-alfa
dan prostaglandin analog dilaporkan dapat menyebabkan uveitis pada
penggunaannya, namun dengan pengontrolan teratur obat ini masih dapat
digunakan untuk menurunkan TIO. Sedangkan inhibitor karbonik
anhidrase digunakan untuk menurunkan TIO dalam jangka waktu singkat,
hal ini disebabkan sensitivitasnya akan berkurang seiring dengan lamanya
penggunaan, oleh karena ini umumnya dipilih pada glaukoma akibat
8,
kortikosteroid karena peningkatan TIO yang cenderung sementara.
31
untuk mencegah timbulnya glaukoma pada penggunaan injeksi
kortikosteroid intravitreal.
BAB IV
ANALISA KASUS
Pada mata kiri didapatkan pemeriksaan tajam penglihatan 6/6, segmen anterior
dalam batas normal.
32
diberikan juga Azetazolamide 250 mg yang merupakan golongan diuretik yang
bekerja untuk menngurangi produksi aqoues humor sehingga dapat menurunkan TIO.
33
BAB V
KESIMPULAN
34
sindrom pseudoeksfoliasi. Peningkatan TIO ini dapat diobservasi dengan adanya
kerusakan nervus optikus dan keerlhilangan penglihatan secara cepat.
Prognosis pada pseudoeksfoliasi lebih buruk daripada glaukoma primer
sudut terbuka, dan glaukoma pesudoeksfoliasi memiliki respon yang buruk
terhadap pengobatan, sehingga kerusakan saraf optik lebih cepat, dan cacat
lapangan pandang yang berkembang lebih cepat dan lebih parah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S & Yulianti, SR (2014). Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. Riordan-Eva, P & Witcher, JP (2008). Vaughan & Asbury’s General
Ophtalmology, 17th Edition. New York: McGraw-Hill Companies.
Diterjemahkan: Diana Susanto. 2009. Oftalmologi Umum Vaughan &Asbury,
Ed. 17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
3. American Academy of Opthalmology. 2012. Basic and Clinical Science
Course Section 10 Glaucoma. p3-5,108-9.
4. American Academy of Ophtalmology. 2011. Glaucoma. San Francisco:
American Academy of Ophtalmology
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2015. Situasi dan
Analisis Glaukoma. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
6. Remington, A. 2005. Chapter 1Visual System. In: Clinical Anatomy of the
Visual System. USA: Elsevier Inc p1.
7. Khurana, A.K. 2003. Chapter 9 Glaucoma. In ꞉ Comprehensive Ophthalmology
Fourth Edition. New Delhi꞉ New Age International (P) Ltd. p206-8.
8. Kanski, J.J. 2007. Chapter 13Glaucoma. In꞉ Clinical Ophthalmology A
Systematic Approach 6th Edition. Philadelphia꞉ Butterworth Heinemann
Elsevier. P372-4.
35
9. Ilyas S, Taim H, Simarmata M, et al. Glaukoma. Dalam : Ilmu Penyakit Mata
Untuk Dokter Umum dan Mahaiswa Kedokteran Edisi Ke-2. Sagung Seto,
Jakarta : 2002
10. Vaughan D, Riordan P. Glaukoma. Dalam (Alih Bahasa : Tambajong J) :
Oftalmologi Umum (General Ophthalmology) Edisi 14. Widya Medika,
Jakarta : 2000
36