Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

Rabu, 17 Oktober 2018

GLAUKOMA SEKUNDER
EC SINDROM PSEUDOEKSFOLIASI

OLEH:
Rizki Febriyani, S.Ked
G1A216070

PEMBIMBING:
dr. Vonna Riasari, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN MATA RSUD ABDUL MANAP
FKIK UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2018

LEMBAR PENGESAHAN

0
Laporan Kasus

GLAUKOMA SEKUNDER
EC SINDROM PSEUDOEKSFOLIASI

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN MATA RSUD ABDUL MANAP
FKIK UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2018

Jambi, Oktober 2018


Pembimbing,

dr.Vonna Riasari ,Sp.M

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Glaukoma Sekunder ec Sindrom
Pseudoeksfoliasi”.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
kepada dr. Vonna Riasari ,Sp.M selaku pembimbing yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.

Jambi, Oktober 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan............................................................................................ 1

Kata Pengantar....................................................................................................... 2

Daftar Isi................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................6

BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................12

BAB IV ANALISIS KASUS.................................................................................32

BAB V KESIMPULAN.........................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................35

3
BAB I

PENDAHULUAN

Glaukoma berasal dari kata Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan,
yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma
adalah penyakit mata yang ditandai oleh meningkatnya tekanan intraokuler yang
disertai oleh pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapang pandang.1

Berdasarkan etiologi, glaukoma dibagi menjadi glaukoma primer, glaukoma


kongenital, glaukoma sekunder dan glaukoma absolut sedangkan berdasarkan
mekanisme peningkatan tekanan intraokularg glaukoma dibagi menjadi dua, yaitu
glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup. 1 Mekanisme peningkatan
tekanan intraokular pada glaukoma adalah gangguan aliran keluar aqueous humor
akibat kelainan sistem drainase sudut bilik mata depan (glaukoma sudut terbuka)
atau gangguan akses aqueous humor ke sistem drainase (glaukoma sudut
tertutup).2

Salah satu jenis glaukoma sekunder yaitu glaukoma pseudoeksfoliasi, yang


yang berhubungan dengan usia, manifestasi mata ditandai adanya deposit bahan
fibrillogranular amyloid berwarna putih abu-abu pada kapsul lensa anterior,
zonula zinn, badan siliari, pupil, iris, epitel kornea, vitreous anterior dan
trabekular meshwork.
Jumlah penyakit glaukoma di dunia oleh World Health Organization
(WHO) diperkirakan ± 60,7 juta orang di tahun 2010, akan menjadi 79,4 juta di
tahun 2020. Diperkirakan 3 juta penduduk Amerika Serikat terkena glaukoma,
dan diantara kasus-kasus tersebut, sekitar 50% tidak terdiagnosis. Data yang
tersedia menunjukkan bahwa 86.000 sampai 116.000 dari mereka telah
mengalami kebutaan bilateral.4

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, responden yang pernah
didiagnosis glaukoma oleh tenaga kesehatan sebesar 0,46%, tertinggi di Provinsi

4
DKI Jakarta (1,85%), berturut-turut diikuti Provinsi Aceh (1,28%), Kepulauan
Riau (1,26%), Sulawesi Tengah (1,21%), Sumatra Barat (1,14%) dan terendah di
Provinsi Riau (0,04%).5

5
BAB II

LAPORAN KASUS

Anamnesis
Identifikasi
Nama : Tn. H
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Muaro Jambi
Tanngal berobat : Rabu 17 Oktober 2018
Keluhan utama Mata kanan tidak bisa melihat sejak ± 2 minggu yang
lalu.
Anamnesa khusus Sejak kurang lebih satu bulan yang lalu, penderita
mengeluh pandangan mata kanan mulai kabur tetapi
pasien tidak berobat karena dirasa belum mengganggu
aktivitas. Keluhan tersebut tidak disertai dengan mata
merah. Dua minggu yang lalu, penglihatan mata kanan
terasa semakin kabur, bahkan penderita mengeluh tidak
bisa melihat. Karena keluhan tersebut penderita dibawa
berobat ke dokter spesialis mata dan dirawat inap selama
3 hari.. Penglihatan mata kiri masih dirasakan cukup
baik.
Selain itu, dari keterangan yang didapat dari keluarga
penderita, penderita juga mengeluh matanya terasa nyeri.
Keluhan mata berair berlebihan (-), nyeri kepala (-),
penglihatan seperti berawan atau berasap (-), riwayat
pernah terjatuh saat berjalan (+).
Riwayat penyakit Penderita belum pernah mengalami keluhan serupa
dahulu sebelumnya. Riw. sakit mata lain hingga berobat (-);

6
Riw. ggn pengelihatan sejak lahir/kecil (-); Riw. trauma
pd mata (-); Riw. penggunaan kacamata (-); Riw.
penggunaan tetes mata jangka panjang (-); Riw.
konsumsi obat-obatan jangka panjang (-); Riw. HT (-);
Riw. DM Riw. rawat inap (+)
Riwayat penyakit  Riw. keluhan serupa di keluarga (-)
keluarga  Riw. penyakit mata lainnya di keluarga (-)
 Riw. hipertensi (+), orang tua penderita
 Riw. alergi (-)
 Riw. keganasan (-)
Riwayat gizi IMT: 55/(1,58)2 = 22 (normal)
Kebiasaan sosial Penderita seseorang yang tidak bekerja karena penderita
ekonomi memiliki keterbatasan tidak bisa berbicara dan tidak bisa
mendengar, dengan perekonomian menengah ke bawah
dan sumber perkeonomian berasal dari saudara-saudara
penderita. Konsumsi obat-obatan (-); konsumsi jamu-
jamuan (-).

Penyakit Sistemik
 Traktus respiratorius Tidak ada keluhan
 Tractus digestivus Tidak ada keluhan
 Kardiovaskuler Tidak ada keluhan
 Endokrin Tidak ada keluhan
 Neurologi Tidak ada keluhan
Tidak ada keluhan
 Kulit
Tidak ada keluhan
 THT
Tidak ada keluhan
 Gigi dan mulut
Tidak ada keluhan
 Lain-lain

PEMERIKSAAN FISIK

7
Pemeriksaan Visus dan Refraksi
OD OS
Visus : 1/300 Visus : 6/6
Muscle Balance
Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia

Pergerakan bola mata

Duksi : baik Duksi : baik


Versi : baik Versi : baik

Pemeriksaan Eksternal OD OS

Silia Trichiasis (-), madarosis (-) Trichiasis (-), madarosis (-)


Palpebra Superior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
Palpebra Inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
Konjungtiva tarsus Papil (-), folikel (-), litiasis(-) hiperemis Papil (-), folikel (-), litiasis(-) hiperemis
(-) (-)
Konjungtiva Bulbi hiperemis (-) hiperemis (-)
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Dangkal, jernih Dangkal jernih
Iris Kriptas jelas, coklat dengan warna pucat Coklat, Kripta iris normal
di tepi dalamnya 360◦
Pupil Bulat, Anisokor; 4 mm, Bulat, Anisokor; 2 mm,
Diameter RC direk (-)/ Indirek (-), iridoplegi RC direk (+)/ Indirek (+)

8
Lensa Jernih Jernih
Pemeriksaan TIO
Digital Fluktuasi (+),teraba keras; Fluktuasi (+), tidak teraba keras;
N++ N (normal)
Schiotz TIDAK DILAKUKAN
Aplanasi TIDAK DILAKUKAN
Non kontak TIDAK DILAKUKAN
Visual Field
TIDAK DILAKUKAN
Slit Lamp
TIDAK DILAKUKAN
Funduskopi
TIDAK DILAKUKAN

9
Gambar 2.1 Mata Kanan Penderita

Pemeriksaan Umum
Tinggi badan 158 cm
Berat badan 60 kg
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 86 kali/menit
Suhu 36,80C
Pernapasan 18 kali/menit
Kerdiovaskuler BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Traktus gastrointestinal Bising usus (+)
Paru-paru Vesicular (+/+), wheezing (-/-), rhonki
(-/-)
Neurologi Tidak dilakukan
Diagnosis
 Glaukoma Absolut OD ec Sindrom Pseudoeksfoliasi
Diagnosis Banding
 Glaukoma Pigmentari OD
 Glaukoma Primer Sudut Terbuka OD
 Katarak senilis matur OD
Anjuran pemeriksaan
 Gonioskopi
 Tonometri
 Perimetri
 USG
Tatalaksana
Non Farmakologi
 Menjelaskan mengenai penyakit glaucoma pada pasien
Farmakologi :
 Timolol 0,50% OD 2 x 1 tetes
 Azetazolamid 3 x 250mg
 Atropin 1 % OD 2x1 tetes
Prognosis

10
Oculi Dextra
 Quo ad vitam: Bonam
 Quo ad functionam: Dubia ad malam
 Quo ad sanationam: Bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Sekresi Aqueous


3.1.1 Anatomi
Mata adalah organ yang terdiri dari tiga lapisan atau tunika, yaitu lapisan
fibrosa terluar membentuk kornea dan sklera; lapisanvaskular medial (uvea); dan
lapisan neural terdalam yaitu retina. Uvea terbagi atas 3 bagian yaitu iris, badan siliari,
dan koroid (mulai dari depan hingga belakang).Badan siliari memanjang dari akar iris
ke ora serata. Badan siliari terbagi atas dua bagian yaitu anterior pars plikata dan
posterior pars plana.Pars plikata memiliki 70 prosesus siliari berorientasi radial yang
berproyeksi ke dalam ruang posterior. Setiapprosesus siliari dilapisi oleh lapisan epitel
yang berpigmen bersambung dengan epitel pigmen retina dan lapisan epitel tidak
berpigmen bersambung dengan neuroretina.Setiapprosesus memiliki arteriol sentral
yang berakhir dalam jaringan kapiler yang kaya.Kapiler dari stroma dan prosesus
siliari berlubang, sehingga memungkinkan mudahnya aliran cairan dan
makromolekul.6

11
3.1.2 Fisiologi
Aqueous humor merupakan cairan jernih yang mengisi kamera okuli anterior
(0,25ml) dan kamera okuli posterior (0,06ml) bola mata. Fungsi aqueous humor
adalah untuk mempertahankan tekanan intraokular yang memadai, peran metabolik
penting (menyediakan substrat dan memindahkan metabolit dari kornea avaskular dan
lensa), mempertahankan transparansi optik, dan menggantikan limfe yang tidak
ditemukan dalam bola mata.6
Komposisi aqueous humor normal sebagai berikut꞉
 Air 99,9% dan solid 0,1%, yang termasuk꞉
o Protein (kandungan koloid). Karena blood aqueous barrier, kandungan
protein dalam aqueous humor (5-16mg%) lebih sedikit dibandingkan di
plasma (6-7 gm%). Namun, pada inflamasi uvea (iridosiklitis), blood
aqueous barrier rusak dan kandungan protein aqueous meningkat
(plasmoidaqueous)
o Asam amino ditemukan sebanyak 5mg/kg air
o Non-koloid yaitu glukosa (6 milimol/kg air), urea (7 milimol/kg air), askorbat
(0,9 milimol/kg air), asam laktat (7,4 milimol/kg air), inositol (0,1 milimol/kg
air), Na+ (144 milimol/kg air), K+ (4,5 milimol/kg air), Cl- (10 milimol/kg air)
dan HCO3- (34 milimol/kg air)
o Oksigen ditemukan dalam aqueous pada kondisi dissolved.
Catatan꞉ Kandungan aqueous serupa dengan plasma kecuali di aqueous
terdapat konsentrasi askorbat, piruvat dan laktat yang tinggi, sedangkan
protein, urea, dan glukosa yang rendah.7
Komposisi aqueous humor di kamera okuli anterior berbeda dengan di
posterior karena adanya pertukaran metabolik.Perbedaan utama adalah HCO 3 (kadar di
kamera okuli posterior lebih tinggi), Cl- (di posterior lebih rendah), Askorbat (di
posterior sedikit lebih tinggi).7
Aqueous humor berasal dari plasma dalam jaringan kapiler prosesus siliari.
Kecepatan produksi normal adalah 2,3 μl/menit.13Aqueous humor diproduksi melalui
dua tahap, yaitu꞉
 Pembentukan filtrat plasma dalam stroma badan siliar.

12
 Pembentukan aqueous dari filtrat ini melewati blood-aqueous barrier.
Menurut ada tiga mekanisme, yaitu ultrafiltrasi, difusi, dan sekresi berperan
dalam produksi aqueous humor pada tingkat yang berbeda. Ultrafiltrasi yaitu proses
dimana kebanyakan substansi plasma keluar dari epitel pigmen prosesus siliari. Filtrat
plasma berakumulasi di epitel prosesus siliari.7
Ada dua mekanisme terlibat, sebagai berikut꞉8
1. Sekresi aktif kebanyakan oleh epitel siliar yang tidak berpigmen. Ini adalah hasil
proses metabolik yang bergantung pada beberapa sistem enzim, terutama pompa
Na+/K+/ATPase yang menyekresi ion Na+ ke dalam ruang posterior. Ini
menyebabkan adanya perbedaan tekanan osmotik di sel epitel siliar sehingga air
dapat lewat secara pasif mengikuti gradien osmotik. Sekresi Cl -pada permukaan
sel tidak berpigmen mungkin merupakan faktor yang menghammbat. Karbonik
anhidrase juga memainkan peran, tetapi mekanisme pastinya tidak jelas. Sekresi
aqueous berkurang akibat faktor yang menghambat metabolisme aktif seperti
hipoksia dan hipotermia tetapi tidak bergantung pada kadar tekanan intraokular.
2. Sekresi pasif oleh ultrafiltrasi dan difusi (yang tergantung pada tingkat tekanan
hidrostatik kapiler. Tekanan onkotik dan tekanan intraokular diperkirakan
memainkan peranan kecil dalam kondisi normal.8

3.2 Aliran Aqueous


3.2.1. Anatomi
1. Anyaman trabekular merupakan saringan seperti struktur di sudut kamera okuli
anterior dimana sekitar 90% aqueous humor melalui anyaman ini untuk
meninggalkan mata. Ini terbagi atas tiga yaitu꞉8
a. Anyaman uveal merupakan bagian terdalam yang terdiri dari anyaman seperti
kabel yang membentang dari akar iris ke garis Schwalbe. Rongga
intertrabekular relatif besar dan memberikan sedikit resistensi terhadap aliran
aqueous.
b. Anyaman korneosklera membentuk bagian medial yang memanjang dari taji
sklera ke garis Schwalbe. Anyamannya seperti lembaran dan rongga
intertrabekular lebih kecil dibanding pada anyaman uvea.

13
c. Anyaman endotel (jukstakanalikular) merupakan bagian terluar trabekulum
yang menghubungkan anyaman korneosklera dengan endotel dinding dalam
kanal Schlemm. Jaringan jukstakanalikula memberikan kontribusi besar
resistensi terhadap aliran aqueous.

Gambar 3.1. Iris dan Lensa.

2. Kanal Schlemm merupakan saluran melingkar di sklera perilimbus yang


dijembatani oleh septa. Kanal ini terletak di luar anyaman trabekula dan
anterior taji sklera. Dinding dalam kanal dilapisi oleh sel endotel berbentuk
gelendong tidak beraturan yang mengandung vakuola besar. Lubang-lubang
dan vesikel pinositik di membran sel dapat menjadi jalan dari aliran aqueous
humor. Area yang memisahkan lapisan sel endotel kanal dari anyaman
trabekula disebut lapisan kribriform atau jaringan jukstakanalikular.Dinding
luar kanal dilapisi oleh sel datar licin dan mengandung bukaan saluran
kolektor yang terhubung secara langsung atau tidak langsung dengan vena
episklera.8

14
Gambar 3.2 Anatomi aliran aqueous. (a) anyaman uveal; (b) anyaman
korneosklera; (c) garis Schwalbe; (d) kanal Schlemm; (e) saluranpenghubung; (f)
otot longitudinal badan siliar; (g) taji sklera.8

3.2.2. Fisiologi
Aqueous mengalir dari kamera okuli posterior melalui pupil ke dalam kamera
okuli anterior. Terdapat dua jalur utama untuk keluar dari mata, yaitu꞉8
1. Sekitar 90% aliran aqueous melalui jalur trabekula (konvensional). Aliran
aqueous melalui trabekulum ke dalam kanal Schlemm dan kemudian dialiri
oleh pembuluh darah vena episklera. Ini adalah jalur yang sensitif terhadap
tekanan sehingga dengan peningkatan tekanan kepala akan meningkatkan
aliran.8
2. Jalur uveosklera (tidak konvensional) berperan untuk 10% aliran aqueous.
Aqueous melewati tubuh siliari ke ruang suprakoroidal dan didrainase oleh
sirkulasi vena dalam badan siliar, koroid dan sklera.Cairan ini bergerak ke
dalam rongga suprakoroidalis dan diserap ke dalam vena siliari anterior dan
vena vorteks.Sisa aqueous bergerak ke lubang anyaman korneosklera yang
lebih sempit dan melalui jaringan jukstakanalikular dan lapisan endotel ke
kanal Schlemm.Dalam bagian histologis, banyak sel-sel endotel yang melapisi
dinding dalam kanal ditemukan mengandung vakuola besar. Aliran uveosklera

15
berkurang dengan pemberian miotik dan ditingkatkan dengan atropine,
simpatomimetik dan prostaglandin. Sebagian aqueous juga mengalir melalui
iris.8

Gambar 3.3.Jalur aliran aqueous. (a)trabekula; (b) uveosklera; (c)iris.8

Gambar 3.4. Sistem aliran aqueous.7

16
Gambar 3.5. Bagan aliran aqueous humor.7

3.3 Glaukoma
3.3.1. Definisi
Istilah glaukoma mengacu pada sekelompok penyakit yang memiliki
karateristik umum neuropati optik bersamaan dengan hilangnya fungsi
penglihatan.Meskipun tekanan intraokular meningkat merupakan salah satu faktor
risiko utama, ada atau tidaknya tekanan tinggi tidak memiliki peranan dalam definisi
penyakit.
Tiga faktor yang menentukan tekanan intraokular adalah sebagai berikut꞉3
 Tingkat produksi aqueous humor oleh resistensi badan siliar terhadap aliran
aqueous di trabecular meshwork– Schlemm’s canal system
 Lokasi resistensi tertentu umumnya diduga berada di juxtacanalicular
meshwork
 Kadar tekanan vena episklera
Secara tradisional, glaukoma diklasifikasikan menjadi sudut terbuka atau
tertutup dan menjadi primer dan sekunder.Berdasarkan definisinya, glukoma primer
tidak terkait dengan gangguan sistemik atau okular diketahui yang menyebabkan

17
meningkatnya resistensi terhadap aliran aqueous atau penutupan sudut.Glaukoma
primer biasanya mempengaruhi kedua mata.Sebaliknya, glaukoma sekunder terkait
dengan gangguan mata atau sistemik yang bertanggung jawab atas menurunnya aliran
aqueous.Penyakit yang menyebabkan glaukoma sekunder sering bersifat asimetris atau
unilateral.3
Salah satu jenis glaukoma sekunder yaitu glaukoma ec sindrom
pseudoeksfoliasi, yang berhubungan dengan usia, manifestasi mata ditandai adanya
deposit bahan fibrillogranular amyloid berwarna putih abu-abu pada kapsul lensa
anterior, zonula zinn, badan siliari, pupil, iris, epitel kornea, vitreous anterior dan
3
trabekular meshwork.
Sindrom pseudoeksfoliasi adalah suatu penyakit kelainan metabolisme dari
protein glikosaminoglikan yang membentuk banyak struktur dalam mata ditandai
adanya serpihan material putih. Material tersebut bertumpuk di lapisan luar lensa, tepi
iris dan zonula zinn. Zonul ini merupakan suatu pengikat yang mempertahankan lensa
di dalam mata. Target dari serpihan material putih ini ialah bagian sentral dari pupil.3
Serpihan putih abu-abu ini terus menumpuk hingga menyumbat sistem
drainase mata. Sindrom pseudoeksfoliasi ini terjadi pada 1 dari 3 penderita glaukoma.
Dikarenakan adanya penyumbatan deposit serpihan putih abu-abu tersebut pada
saluran trabekulum meshwork maka akan dapat meningkatkan tekanan intraokular.3

3.3.2. Epidemiologi
Prevalensi sindrom pseudoeksfoliasi di Eropa ditemukan 4,7% di Inggris, 6,3%
di Norwegia, 4% di Jerman, 1,1% di Yunani, dan 5,5% di Perancis. Bartholomew
melaporkan prevalensi sindrom pseudoeksfoliasi di Afrika Selatan sebanyak 8.2%.
Prevalensi pada populasi Jepang adalah 3,4%, 3,5% di Arab Saudi, dan 3,73% dalam
studi India Selatan. Studi berbasis Rumah Sakit menunjukkan prevalensi 6,45% di
Pakistan dan 7,4% di India. Tingkat prevalensi 0,4% diidentifikasi di China dan Iran.5

18
Di Norwegia, Aasved melaporkan bahwa prevalensi pseudoeksfoliasi adalah
0,4% pada individu berusia 50-59 tahun dan 7,9% pada individu berusia 80-89 tahun.
Usia rata-rata yang mengalami sindrom pseudoeksfoliasi berkisar 69-75 tahun.
Jonasson et al melaporkan adanya peningkatan 10% setiap tahunnya prevalensi dari
glaukoma sudut terbuka dan pseudoeksfoliasi pada orang berusia 50 tahun dan lebih
tua di Islandia.9
Sindrom pseudoeksfoliasi terjadi 3 kali lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Sindrom pseudoeksfoliasi jarang terlihat sebelum usia 50 tahun,
dan insiden akan meningkat sejalan dengan usia.4

3.3.3. Etiologi
Apakah sindrom pseudoeksfoliasi terjadi sebagai bagian dari proses genetik
atau dalam hubungan dengan penyakit lain masih belum dapat dijelaskan. Agregasi
familial mendukung gagasan bahwa mungkin diwariskan sebagai sifat dominan
autosomal dengan penetrasi yang tidak lengkap dan dengan onset yang lambat.
Frekuensi meningkat dengan bertambahnya usia. 4

3.3.4. Patofisiologi
Sindrom pseudoeksfoliasi merupakan manifestasi umum dari suatu penyakit
sistemik. Etiologi pasti penyakit ini masih belum diketahui. Material pseudoeksfoliasi
dikaitkan dengan adanya kelainan membrana basalis di sel epitel dan memiliki
distribusi yang luas di seluruh tubuh. Bahan pseudoeksfoliatif telah ditemukan di
dinding pembuluh darah vena dan arteri retina sentral. Jaringan luar mata yang terlibat
termasuk paru-paru, kulit, hati, jantung, ginjal, kandung empedu, pembuluh darah, otot
ekstraokular, dan meningens. Pada mata, sindrom pseudoeksfoliasi menimbulkan
deposit material serpihan putih abu-abu pada kapsul lensa anterior, badan siliris,
zonula zinn, tepi iris, endotel kornea, anterior vitreous, dan trabekular meshwork.
Sehingga manifestasi sindrom pseudoeksfoliasi pada mata adalah glaukoma dan
katarak.4
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pigmen pada epitel iris, epitel silia, dan
perifer epitel lensa anterior memproduksi material serpihan putih abu-abu yang
bergerak ke dalam aqueous humor dan dibawa ke trabekular meshwork, mengikuti

19
aliran normal, lalu terjadi obstruksi trabekular meshwork oleh material tersebut dan
disertai dengan adanya perubahan degeneratif di kanalis Schlemm dan daerah juksta
kanalikular sehingga menyebabkan peninggian tekanan intraokular (TIO).4
Kejadian katarak berhubungan dengan iskemik okular, hipoksia aqueous,
radiasi sinar UV, trauma, infeksi dan stres oksidatif. Asam askorbat, berperan dalam
melindungi lensa terhadap sinar UV, ditemukan berkurang pada aquous humor pada
sindrom pseudoeksfoliasi.5

3.3.5. Gejala Klinis


Pasien biasanya mengeluhkan adanya penurunan penglihatan yaitu seperti pada
katarak dan glaukoma. Pada penderita katarak yang disertai dengan sindrom
pseudoeksfoliasi perjalanan stadium kataraknya lebih cepat dibandingkan dengan
penderita katarak tanpa sindrom pseudoeksfoliasi. Katarak nuklear dan katarak
subkapsular merupakan jenis katarak yang sering terjadi pada sindrom
pseudoeksfoliasi. Katarak pada sindrom pseudoeksfoliasi memiliki visus yang lebih
jelek dan tingkat kekeruhan lensa yang lebih tinggi dibandingkan dengan katarak
tanpa sindrom pseudoeksfoliasi. Katarak dengan pseudoeksfoliasi merupakan penyulit
intra operasi karena zonula zinn yang menyangga lensa sangat lemah dikarenakan
adanya pseudoeksfoliasi tersebut.3
Pada penderita glaukoma dengan pseudoeksfoliasi biasanya muncul dengan
adanya tekanan intraocular yang tinggi yang cenderung meningkat secara cepat
dibandingkan dengan pasien glaukoma sudut terbuka tanpa sindrom pseudoeksfoliasi.
Peningkatan TIO ini dapat diobservasi dengan adanya kerusakan nervus optikus dan
kehilangan penglihatan secara cepat. 7

3.3.6. Pemeriksaan Fisik


Sindrom pseudoeksfoliasi didiagnosis secara klinis dengan menggunakan slit
lamp dengan sensitivitas nya sebesar 85% dan spesifisitasnya 100%. Material dari
pseudoeksfoliation ini dapat terlihat pada perbatasan pupil dan iris tanpa dilatasi.4

20
Gambar 3.6 Slitlamp pada sindrom pseudoeksfoliasi

Gambar 3.7 sindrom pseudoeksfoliasi (kelemahan zonula zinn)

21
Gambar 3.8 material pseudoeksfoliasi di pinggir pupil

Pasien dengan sindrom pseudoeksfoliasi memiliki TIO lebih tinggi


daripada pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka. Karena ini TIO tinggi
ini, kehilangan fungsi visual dan kerusakan saraf optik lebih nyata.4
Tanda-tanda lain dari sindrom pseudoeksfoliasi sulit untuk midriasis,
sinekia posterior, deposisi pigmen pada permukaan iris, deposisi pigmen dan
bahan pseudoexfoliation pada endotel kornea, pigmen setelah dilatasi pupil,
dan material di badan silier dan zonula zinn.4

3.3.7. Diagnosis banding


Diagnosis banding pseudoexfoliation adalah Uveitis Fuchs Heterokromik,
Glaukoma Pigmentari, dan Glaukoma Primer Sudut Terbuka.4
a. Uveitis Fuchs Heterokromik
Uveitis Fuchs heterokromik jarang terjadi. Penyakit ini merupakan proses
kronis dari iridoskiklitis yang ditandai dengan heterokromia pada iris dengan

22
kehilangan pigmen iris, COA dangkal, katarak posterior subkapsular, dan
glaukoma sekunder sudut terbuka. Kelainan ini bersifat unilateral dan terjadi pada
umur usia dewasa. Dari hasil gonioskopi ditemukan pembuluh darah pada
trabekular meshwork. Pembuluh darah bersifat rapuh dan dapat menyebabkan
pendarahan pada anterior chamber yang terjadi spontan ataupun dipicu oleh
trauma, termasuk operasi katarak dan glaukoma.6

Sumber: American Academy Of Ophtalmology 2009


Gambar 3.9 Uveitis Fuchs Heterokromik

b. Glaukoma Pigmentari
Glaukoma pigmentari disebabkan adanya gangguan autosom dominan
yang ditandai dengan adanya penyebaran pigmen dari epithelium iris. Pada
glaukoma pigmentari sering terdapat ikatan pigmen yang vertical pada endotel
kornea, yang disebut Krukenberg spindle atau garis zentmeyer yang sangat jarang
ditemukan pada glaukoma dengan sindrom pseudoeksfoliasi.7

Sumber: American Academy Of Ophtalmology 2009


Gambar 3.10 Krukenberg spinlde

23
c. Glaukoma Primer Sudut Terbuka
Glaukoma pada sindrom pseudoeksfliasi berbeda dengan glaukoma primer
sudut terbuka. Sindrom pseudoeksfoliasi bersifat monokular dan terdapat
pigmentasi pada trabelukar meshwork. Tekanan intraokuler sindrom eksfoliasi
lebih tinggi dan memiliki fluktuasi diurnal yang lebih besar dibandingkan dengan
glaukoma glaukoma primer sudut terbuka.6

3.3.8. Penatalaksanaan
Banyak pilihan terapi pada glaukoma dengan pseudoeksfoliasi ini,
diantaranya seperti pengobatan untuk menurunkan TIO seperti halnya dengan
glaukoma biasa dapat dilakukan sebagai terapi pilihan pertama. Pengobatan ini
dapat menggunakan beta bloker, alfa 2 reseptor agonis selektif, sistemik dan
topikal inhibitor karbonik anhidrase, agonis prostaglandin dan simpatomimetik.7
Glaukoma dengan sindrom eksfoliatif pada dasarnya diperlakukan sama
dengan glaukoma sudut terbuka primer. Meskipun telah ditekankan bahwa tipe
glaukoma lebih sulit terkontrol. Operasi laser sering dilakukan lebih awal
daripada glaukoma sudut terbuka primer. Laser trabekuloplasti mungkin sangat
efektif dalam sindrom pseudoeksfoliasi, pengaturan energi yang lebih rendah
namun diperlukan karena pigmentasi meningkat ditemukan di mata dengan
pseudoeksfoliasi. Pengobatan untuk memberikan efek konstriksi pada pupil yaitu
miosis, yang dapat membantu mengurangi gesekan pada bagian posterior iris
terhadap serpihan pseudoeksfoliasi dan dapat mengurangi jumlah pigmen
tersebut. Obat topikal sama dengan obat pada penderita glaukoma sudut terbuka.
Ketika pengobatan tidak lagi adekuat, trabekuloplasti laser diindikasikan dan rata-
rata tingkat keberhasilanya tinggi. Operasi filtrasi (trabekulektomi) umumnya
dianjurkan.8
Penatalaksanaan katarak pada sindrom pseudoeksfoliasi sering
diindikasikan untuk peningkatan ketajaman penglihatan pada beberapa pasien,
meskipun tidak untuk pengobatan utama glaukoma. Pada beberapa penelitian
yang dilakukan dari tahun ke tahun, dilaporkan bahwa materi eksfoliasi

24
berkurang dan regresi setelah ekstraksi katarak intrakapsular. Ekstraksi katarak
pada mata dengan sindrom eksfoliasi bisa terjadi komplikasi yaitu sinekia antara
epitel pigmen iris dan sekeliling kapsul lensa anterior yang dapat menyebabkan
ruptur dari kapsul lensa selama operasi.8
Manifestasi dari sidrom pseudoeksfoliasi adalah kelemahan pada zonula
zinn dan keterbatasan dilatasi pupil karena deposit psudoekfoliasi.
Ketidakstabilan zonula zinn dapat menyebabkan fakodenesis, subluksasi lensa dan
glaukoma sudut tertutup karena blok pupil dan badan siliaris.1

3.3.9. Prognosis dan Komplikasi


Glaukoma pseudoeksfoliasi memiliki prognosis yang lebih buruk daripada
glaukoma primer sudut terbuka, dan glaukoma pesudoeksfoliasi memiliki respon
yang buruk terhadap pengobatan, sehingga kerusakan saraf optik lebih cepat, dan
cacat lapangan pandang yang berkembang lebih cepat dan lebih parah.9

Pasien dengan sindrom pseudoeksfoliasi memiliki peningkatan risiko


katarak dan lebih rentan terhadap komplikasi pada saat ekstraksi katarak.
Penurunan dilatasi pupil, bersama dengan serat zonula lemah dan sinekia antara
iris dan perifer kapsul lensa anterior, membuat operasi katarak secara teknis sulit.
Selain itu, terdapat peningkatan insiden kapsuler pecah, kehilangan vitreous dan
dehiscence zonula selama ekstraksi katarak pada pasien dengan sindrom
pseudoeksfoliasi.9

Subluksasi lensa dan fakodonesis pada sindrom pseudoeksfoliasi


dilaporkan 8,4% - 10.6% terjadi selama operasi. Komplikasi pasca operasi
ekstraksi katarak juga meningkat pada sindrom pseudoeksfoliasi, termasuk
peradangan, kekeruhan kapsul posterior, sindrom kontraksi kapsul dan desentrasi
IOL.1,9

3.4 Glaukoma Akibat Steroid

Steroid – induced glaucoma tergolong glaukoma sekunder.


Glaukoma akibat steroid adalah glaukoma yang menyerupai glaukoma

25
sudut terbuka primer (GPSTb), namun naiknya tekanan intra okular (TIO)
disebabkan oleh pemakaian steroid baik topikal, periokular, intravitreal,
1
inhalasi maupun sistemik dalam jangka waktu yang lama. Penelitian
terdahulu menunjukkan sebanyak 4 – 5% populasi mengalami peningkatan
2-4
TIO setelah pemakaian steroid topikal dalam jangka waktu ± 1 bulan.
Keadaan tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang mempunyai gen
tertentu saja yang dapat di pengaruhi steroid tersebut. Data di RSCM pada
tahun 2000 – 2010 menunjukkan sebanyak 81 dari 1010 pasien glaukoma
5
sekunder atau sebanyak 8.1% adalah steroid – induced glaucoma. Pada
ilmu penyakit mata terdapat cukup banyak penyakit yang ditangani dengan
pemberian kortikosteroid seperti: konjungtivitis, blefaritis, keratitis,
skleritis, uveitis, edema makula, neuritis dan endoftalmitis.

3.4.1 Faktor Resiko

Beberapa kondisi ataupun penyakit dianggap menjadi faktor resiko


terjadinya steroid – induced glaucoma, sehingga pasien – pasien dengan
kondisi tertentu itu harus diawasi ketika mendapatkan pengobatan dengan
kortikosteroid.

1. Riwayat GSTaP sebelumnya dan pada keluarga


Pemakaian steroid jangka panjang minimal lebih dari 2 minggu
dapat meningkatkan TIO, namun pada pasien dengan riwayat
GPSTb yang ditetesi steroid, mengakibatkan TIO lebih meningkat
yang dapat membahayakan serabut saraf retinadan saraf optikus
dan berakhir kebutaan permanen. Namun Armaly menunjukkan
90% dari populasi dengan pemakaian steroid, mendapatkan

peningkatan TIO level sedang.5 Sedangkan pada populasi dengan


glaukoma ataupun suspek glaukoma, pemberian steroid lebih
peningkatan TIO.

26
2. Usia
Laporan penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi usia, semakin

besar resiko menjadi glaukoma akibat kortikosteroid.6, 7


Pada anak
dengan kondisi yang membutuhkan steroid, seperti penderita asma,
berupa steroid topikal, juga dapat meningkatkan TIO, namun bila
steroid dihentikan, TIO dapat kembali normal, hanya sebagian kecil
yang menunjukkan gejala glaukomatosa optik. Peningkatan TIO ini

dipengaruhi oleh dosis dan durasi pemberian steroid topikal.8 selain itu
steroid inhalasi juga memberikan efek peningkatan TIO pada anak –
anak. Pemberian steroid inhalasi dalam waktu 1 bulan, TIO meningkat
diatas 21 mmHg, meskipun pada studi ini tidak ditemukan perbedaan
bermakna antara TIO pada anak dengan pemberian steroid inhalasi dan

pemberian placebo.9 Meskipun orang dewasa juga memiliki resiko


peningkatan TIO setelah pemberian steroid, namun peningkatannya
didapatkan lebih cepat dan lebih tinggi pada usia anak, sehingga
pemberiannya harus dalam pengawasan ketat.

3. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus secara general menjadi faktor resiko
10
terbentuknya glaukoma, seperti hipertensi okular. Namun hubungan
pasti mengeani DM dengan glaukoma belum dapat dibuktikan, bahkan
beberapa penelitian tidak menemukan asosiasi diantara keduanya dan
menyatakan baha DM bukanlah faktor resiko untuk glaukoma.10

4. Miopia tinggi
Pada penelitian terdahulu didapatkan miopia dinyatakan sebagai
faktor resiko yang penting pada glaukoma. Pada glaukoma karena
steroid beberapa penelitian terbaru membuktikan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara miopia tinggi dan glaukoma
karena kortikosteroid.

27
5. Penyakit jaringan ikat
Pada pasien dengan penyakit jaringan ikat seperti reumatiod
artritis, penggunaan kortikosteroid tetes mata didapatkan
mendapati respon yang lebih tinggi dibandingkan populasi
normal.2,8,10

3.4.2 Patofisiologi

Perjalanan penyakit dari glaukoma akibat kortikosteroid adalah


melalui efek kortikosteroid kepada jalur pengeluaran akuos. Pada anyaman
trabekular diketahui terdapat reseptor kortikosteroid, yang berperan pada
2
terbentuknya glaukoma akibat kortikosteroid.

Kortikosteroid menyebabkan perubahan pada morfologi anyaman


trabekular dan menurunkan pengeluaran akuos. Pada anyaman trabekular
kortikosteroid juga menyebabkan perubahan pada fungsi selularnya yakni
dengan merubah proliferasi fagositosis, ukuran dan bentuk sel. Selain itu
pada anyaman trabekular, pemberian kortikosteroid dapat menyebabkan
penumpukkan ekstraselular matriks serta debris sehingga menghambat
outflow dari akuos.10

Pada kondisi mata dengan inflamasi, pemberian kortikosteroid akan


menurunkan efek inflamasi pada badan siliar dan anyaman trabekular serta
merubah sel endotel pada anyaman trabekular sehingga pada akhirnya
akan meningkatkan masuknya humor akuos serta mengurangi pengleuaran
melalui anyaman trabekular yang pada akhirnya akan meningkatkan TIO.
10

Pemberian kortikosteroid via injeksi intravitreal memiliki beberapa


mekanisme yang dapat meningkatkan TIO. Pertama adalah peningkatan
secara langsung akibat peningkatan volume pada okular pasca injeksi.

28
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan itu
bersifat sementara dan TIO akan kembali normal secara bervariasi dari 15
hingga 120 menit pasca injeksi. Penumpukkan presipitasi kristal dari
cairan intravitreal kortikosteroid menjadi mekanisma kedua penyebab
peningkatan TIO. Penupukkan ini terjadi pada bagian inferior dari BMD
yang disebut sebagai pseudohipopion, yang kemudian mengoklusi
anyaman trabekular sehingga mengganggu outflow humor akuos dan
terjadilah peningkat TIO sekunder. Pseudohipopion dapat terjadi sesaat
setelah injeksi hingga 3 hari pasca injeksi. Mekanisme terakhir yang
terjadi adalah disfungsi pada anyaman trabekular yang diduga karena
penumpukan matriks ekstraselular, inhibisi fungi sel pada anyaman
trabekular melalui inhibisi fagositosis dan akumulasi mukopolisakarida
pada membran, reorganisasi dari sitoskeleton trabekular dan peningkatan
10
adhesi sel.

3.4.3 Tampilan Klinis

Tampilan klinis dari glaukoma karena kortikosteroid serupa dengan


tampilan GSTaP. Sehingga umumnya pasien dengan steroid-induced
glaucoma didapatkan asimtomatik hingga TIO cukup tinggi untuk
menimbulkan gejala glaukoma.

Perbedaan usia akan mempengaruhi tampilan klinis pada glaukoma


akibat kortikosteroid. Pada usia balita tanda glaukoma akibat
kortikosteroid biasanya didapatkan dengan adanya pengeluaran air mata
yang banyak, fotofobia, peningkatan TIO dan adanya cupping pada diskus
2
optikus. Sedangkan pada remaja gejala yang ditimbulkan serupa dengan
GSTaP; dimana umumnya penderita tidak menyadari peningkatan TIO
yang terjadi akibat penggunaan steroid (umumnya adalah steroid topikal
.2, 13
ataupun injeksi intravitreal) Beberapa gejala tambahan yang dapat
muncul pada glaukoma akibat kortikosteroid adalah midriasis, peningkatan

29
ketebalan kornea, ulkus kornea, ptosis serta atropi pada kulit kelopak
2
mata.

Perbedaan yang nyata dibandingkan dengan GSTaP adalah, pada


glaukoma akibat steroid peningkatan TIO umumnya bersifat sementara,
dan TIO dapat kembali normal dengan penghentian pemberian
kortikosteroid.

3.4.4 Manajemen

Penanganan glaukoma akibat steroid yang paling utama ada


pemonitoran dari TIO secara rutin yakni 2 minggu pada pasca pemberian
steroid topikal dan dilanjutkan setiap 4 minggu selama 2 – 3 bulan dan
8, 15
setiap 6 bulan apabila pemberian kortikosteroid masil dilanjutkan.
Sedangkan pada pasien dengan pemberian kortikosteroid sistemik,
terutama pada pasien dengan pemberian dosis di atas 10 mg, screening
untuk peningkatan TIO dapat dilakukan pada bulan ke 1, 3 dan 6 dan
15
setiap 6 bulan sesudahnya pasca pemberian kortikosteroid. Selain itu
pada glaukoma yang diyakini diakibatkan oleh penggunaan kortikosteroid,
maka kortikosteroid harus dihentikan, terutama pada pasien dengan
peningkatan TIO yang progresif. Penghentian kortikosteroid akan
menurunkan TIO pada 1 – 4 minggu. Apabila dengan penghentian
kortikosteroid tidak menimbulkan respon penurunan TIO, maka
penanganan secara medikamentosa, ataupun non-medikamentosa berupa
laser dan pembedahan bisa digunakan. 10

Obat – obatan medikamentosa yang dapat diberikan pada glaukoma


diantaranya adalah obat – obatan penurun tekanan yang umum digunakan
pada pengobatan glaukoma yakni: penghambat-beta topikal, penghambat-
8, 15
alfa, prostaglandin analog, dan inhibitor karbonik anhidrasi.

30
Penggunaan obat – obatan ini dapat diberikan dengan satu jenis saja
ataupun dikombinasikan, dengan rerata penggunaan obat anti glaukoma
10
sebanyak 1.3 jenis (dari 1 – 2.1 jenis obat). Jenis obat penghambat-alfa
dan prostaglandin analog dilaporkan dapat menyebabkan uveitis pada
penggunaannya, namun dengan pengontrolan teratur obat ini masih dapat
digunakan untuk menurunkan TIO. Sedangkan inhibitor karbonik
anhidrase digunakan untuk menurunkan TIO dalam jangka waktu singkat,
hal ini disebabkan sensitivitasnya akan berkurang seiring dengan lamanya
penggunaan, oleh karena ini umumnya dipilih pada glaukoma akibat
8,
kortikosteroid karena peningkatan TIO yang cenderung sementara.

Apabila penggunaan terapi medikamentosa tidak menurunkan TIO


makan tatalaksana berikutnya adalah menggunakan laser. Selective laser
trabeculoplasty (SLT) diyakini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
dengan trabekulektomi diantaranya memiliki komplikasi seperti anestesi,
hipotoni, katarak ataupun endoftalmitis yang lebih rendah selain itu
tindakan ini lebih efektif secara waktu dan biaya pelaksanaan. Selain itu
SLT memiliki kelebihan karena dapat mempertahankan efek steroid pada
intraokular sehingga fungsi terapeutiknya tetap bekerja meskipun TIO
8
telah diturunkan.

Penanganan berikutnya adalah dengan pembedahan. Beberapa jenis


pembedahan untuk glaukoma akibat steroid sama dengan galukoma pada
umumnya, diantaranya adalah vitrektomi, trabekulektomi, trabekulotomi
8
dan implan. Vitrektomi tidak banyak dilakukan untuk penanganan
glaukoma akibat kortikosteroid, karena pada penggunaan vitrektomi efek
pengobatan steroid berhenti sehingga penyakit yang mendasari pengobatan
steroidnya. Dari keempat jenis pembedahan tersebut trabekulotomi dan
implan diyakini merupakan tindakan yang efektif untuk penanganan
8
peningkatan TIO. Namun pada kasus tertentu vitrektomi dapat digunakan

31
untuk mencegah timbulnya glaukoma pada penggunaan injeksi
kortikosteroid intravitreal.

BAB IV
ANALISA KASUS

Dari anamnesis didapatkan penderita mengalami penurunan penglihatan secara


perlahan pada mata kanan yang disertai nyeri namun tidak disertai dengan mata merah.
Selain itu, penderita juga memiliki riwayat terjatuh saat berjalan hal ini mengarah pada
penyempitan lapangan pandang Hal ini sesuai dengan literatur dimana dikatakan
pasien dengan glaukoma mengalami hal-hal tersebut di atas.

Dari pemeriksaan fisik status oftalmologis pada mata kanan penderita,


menunjukkan tanda- tanda dari glaukoma sekunder es sindrom pseudoeskfoliasi
seperti visus yang buruk yaitu 1/300 , TIO yang meningkat, COA dangkal, pada pupil
kanan ditemukan midriasis berdiamater 4mm dengan reflex cahayan (-), pada iris
mata kanan ditemukan kripta terlihat jelas warna coklat pucat 360◦ di tepinya.

Pada mata kiri didapatkan pemeriksaan tajam penglihatan 6/6, segmen anterior
dalam batas normal.

Penanganan awal terutama ditujukan untuk mengontrol TIO dengan


medikamentosa. Pada penderita telah diberikan beberapa kombinasi preparat
antiglaukoma dari golongan ß-blocker (Timolol maleat 0,50% ED 2 x gtt I) . ß-
blocker menurunkan TIO dengan cara menurunkan sekresi akuos humor, dan dengan
efek yang kecil pada tekanan vena episkleral atau pada uveoscleral outflow. Selain itu

32
diberikan juga Azetazolamide 250 mg yang merupakan golongan diuretik yang
bekerja untuk menngurangi produksi aqoues humor sehingga dapat menurunkan TIO.

Anjuran pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah gonioskopi untuk


menentukan sudut terbuka, sempit, tertutup dan untuk menyingkirkan kondisi lain
yang dapat menyebabkan peningkatan TIO, ultrasonografi mata untuk melihat struktur
abnormal pada mata, serta pemeriksaan lapangan pandang dan funduskopi berkala
untuk penilaian kemajuan terapi.

Prognosis quo ad functionam adalah dubia ad malam, mengingat pada


pseudoeksfoliasi memiliki prognosis yang lebih buruk daripada glaukoma primer
sudut terbuka, dan glaukoma pesudoeksfoliasi memiliki respon yang buruk
terhadap pengobatan, sehingga kerusakan saraf optik lebih cepat, dan cacat
lapangan pandang yang berkembang lebih cepat dan lebih parah.

33
BAB V
KESIMPULAN

Istilah glaukoma mengacu pada sekelompok penyakit yang memiliki


karateristik umum neuropati optik bersamaan dengan hilangnya fungsi
penglihatan.Meskipun tekanan intraokular meningkat merupakan salah satu faktor
risiko utama, ada atau tidaknya tekanan tinggi tidak memiliki peranan dalam definisi
penyakit.Secara tradisional, glaukoma diklasifikasikan menjadi sudut terbuka atau
tertutup dan menjadi primer dan sekunder.
Salah satu jenis glaukoma sudut terbuka sekunder glaukoma ec sindrom
pseudoeksfoliasi, yang berhubungan dengan usia, manifestasi mata ditandai adanya
deposit bahan fibrillogranular amyloid berwarna putih abu-abu pada kapsul lensa
anterior, zonula zinn, badan siliari, pupil, iris, epitel kornea, vitreous anterior dan
trabekular meshwork. Sindrom pseudoeksfoliasi adalah suatu penyakit kelainan
metabolisme dari protein glikosaminoglikan yang membentuk banyak struktur dalam
mata ditandai adanya serpihan material putih. Material tersebut bertumpuk di lapisan
luar lensa, tepi iris dan zonula zinn. Zonul ini merupakan suatu pengikat yang
mempertahankan lensa di dalam mata. Target dari serpihan material putih ini ialah
bagian sentral dari pupil.
Gambaran klinis biasanya Pada penderita glaukoma dengan pseudoeksfoliasi
biasanya muncul dengan adanya tekanan intraocular yang tinggi yang cenderung
meningkat secara cepat dibandingkan dengan pasien glaukoma sudut terbuka tanpa

34
sindrom pseudoeksfoliasi. Peningkatan TIO ini dapat diobservasi dengan adanya
kerusakan nervus optikus dan keerlhilangan penglihatan secara cepat.
Prognosis pada pseudoeksfoliasi lebih buruk daripada glaukoma primer
sudut terbuka, dan glaukoma pesudoeksfoliasi memiliki respon yang buruk
terhadap pengobatan, sehingga kerusakan saraf optik lebih cepat, dan cacat
lapangan pandang yang berkembang lebih cepat dan lebih parah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S & Yulianti, SR (2014). Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. Riordan-Eva, P & Witcher, JP (2008). Vaughan & Asbury’s General
Ophtalmology, 17th Edition. New York: McGraw-Hill Companies.
Diterjemahkan: Diana Susanto. 2009. Oftalmologi Umum Vaughan &Asbury,
Ed. 17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
3. American Academy of Opthalmology. 2012. Basic and Clinical Science
Course Section 10 Glaucoma. p3-5,108-9.
4. American Academy of Ophtalmology. 2011. Glaucoma. San Francisco:
American Academy of Ophtalmology
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2015. Situasi dan
Analisis Glaukoma. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
6. Remington, A. 2005. Chapter 1Visual System. In: Clinical Anatomy of the
Visual System. USA: Elsevier Inc p1.
7. Khurana, A.K. 2003. Chapter 9 Glaucoma. In ꞉ Comprehensive Ophthalmology
Fourth Edition. New Delhi꞉ New Age International (P) Ltd. p206-8.
8. Kanski, J.J. 2007. Chapter 13Glaucoma. In꞉ Clinical Ophthalmology A
Systematic Approach 6th Edition. Philadelphia꞉ Butterworth Heinemann
Elsevier. P372-4.

35
9. Ilyas S, Taim H, Simarmata M, et al. Glaukoma. Dalam : Ilmu Penyakit Mata
Untuk Dokter Umum dan Mahaiswa Kedokteran Edisi Ke-2. Sagung Seto,
Jakarta : 2002
10. Vaughan D, Riordan P. Glaukoma. Dalam (Alih Bahasa : Tambajong J) :
Oftalmologi Umum (General Ophthalmology) Edisi 14. Widya Medika,
Jakarta : 2000

36

Anda mungkin juga menyukai