Anda di halaman 1dari 30

UNIVERSITAS DEPARTEMEN ILMU BEDAH

ISLAM
INDONESIA STATUS PASIEN UNTUK UJIAN
FAKULTAS KEDOKTERAN Untuk Dokter Muda
Nama Dokter Muda Nur Fadilla Aulia Tanda Tangan
NIM 15711196
Tanggal Ujian
Rumah sakit RSUD Wonosari
Gelombang Periode

A. Identitas
Nama : Bp. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 60th
Alamat : KARANGNONGKO 01/04
Agama : Islam
Mondok di bangsal : Cempaka
Pekerjaan : Pensiunan
Tanggal masuk : 3/3/20

B. Primary Survey
Airway: Mendengkur (-)
Breathing: ketertinggalan gerak (-)
Circulation: nadi teraba kuat, regular (+)
Disability: GCS E3V5M6 (compos mentis)

C. Anamnesis
Diberikan oleh : Pasien di bangsal Anggrek/ 4-3-20 / pukul 06.00
Keluhan Utama : Ibu jari dan telunjuk tangan kiri tangan melepuh setelah
jatuh dan tersetrum listrik yang berasal dari kabel yang tidak
utuh. Pusing di kepala kanan akibat jatuh.
Riwayat Penyakit Sekarang : Pada tanggal 2 Maret 2020 sore, pasien hendak mengganti lampu
namun nampaknya terdapat kabel yang tidak utuh sehingga pasien kesetrum dan jatuh. Pasien tidak
ingat kejadian secara pasti. Sesak nafas (-), pingsan (+), berdebar-debar (-), pusing (+), mual (+),
muntah (-), susah menelan (-). Pasien langsung ke rumah sakit, luka belum dilakukan penangan
sebelumnya, konsumsi obat apapun sebelum muncul keluhan disangkal, dan dibawa ke IGD RSUD
Wonosari pada tanggal 2 Maret 2020 malam.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat DM disangkal
- Riwayat epilepsy disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Riwayat hipertensi disangkal


- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat DM disangkal

Anamnesis Sistem

Sistem Cerebrospinal : nyeri kepala (+), penglihatan kabur (-)


Sistem Cardiovaskular : dada berdebar (-), tekanan darah tinggi (-), nyeri dada (-)
Sistem Respiratorius : sesak nafas (-), batuk (-)
Sistem Gastrointestinal : nyeri perut (-), kembung (-), mual (+), muntah (-), diare (-), susah
BAB (-), BAB darah (-)
Sistem Urogenitale : nyeri berkemih (-), panas/rasa terbakar saat berkemih (-), keluar
cairan yang tidak biasanya dari kemaluan (-)
Sistem Integumentum : perih (+), gatal (-), kemerahan (+), plenting (+)
Sistem Musculoskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-)

Resume Anamnesis : Pasien mengeluhkan perih pada kulit ibu jari dan telunjuk jari
tangan kiri yang sempat tersengat listrik.

C. Pemeriksaan Fisik

I. Status Generalis

Kondisi Umum : Sedang


Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Baik
Status Antopometri : Normal

Tanda vital :
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 92 x/min
Respirasi : 19 x/min
Suhu : 36,6 ‘c
Warna Kulit : Sawo matang
Cephal : CA (-/-), SI (-/-), epistaksis (-/-)
Collum : struma (-), peningkatan JVP (-)

Thorax :
Cor : S1S2 reguler, BJ (-)
Pulmo : SDV (+/+)

Abdomen : Supel, BU (+), NT (-)


Urogenitale : Hiperemis (-)

Extremitas ( Tonus Otot)


Superior dextra :5 Superior sinistra : 5
Inferior dextra : 5 Inferior sinistra : 5

II. Status Lokalis

Kepala dan leher : 0%


Trunkus anterior : 80%
Esktremitas atas kanan :%
Ekstremitas atas kiri : <1%
Ekstremitas bawah kanan : 0%
Ekstremitas bawah kiri :0%
Genitalia :0%+
Total : 1%
D. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Spesimen darah rutin
- EKG
- CT Scan

E. DIAGNOSIS BANDING

1. Combustio
2. Fixed drug eruption
3. DIC
4. Purpura fulminant
5. Sellulitis

F. DIAGNOSIS KERJA

- Combustio grade III 1% e.c. sengatan listrik


- CKR dengan GCS 14

G. USULAN TERAPI / TINDAKAN

- Inf. RL 24 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
- Inj. Ketorolac 30mg/8jam
- Inj. Manitol 125cc/ 6 jam (tapering off)
- Inj. Kalnex 500mg/8jam
- Inj. Ranitidin 50mg/8jam
- Diet TKTP

H. PROGNOSIS

Ad Vitam : Dubia ad Bonam


Ad Sanam : Dubia ad Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Bonam
Ad Cosmeticam : Dubia ad Malam
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka
bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang
memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak
langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah
tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat
menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi
menjadi:
- Paparan api
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian
terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk
terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan
menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka
bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya
antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau
peralatan masak.
- Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama
waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang
disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya.
Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama
lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka
umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan
garis yang menandai permukaan cairan.
- Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil.
Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap
serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat
menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.
- Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan
nafas akibat edema.
- Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya
luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan
membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
- Zat kimia (asam atau basa)
- Radiasi
- Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

II. Derajat Luka Bakar


Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat
I, II, atau III:
 Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk
dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan
dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul
dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I
adalah sunburn.

 Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat
epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut
misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut.
Dengan adanya jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3
minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat
dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri.
Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul
edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi
full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

 Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan yang
lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar
regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus
dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena
pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.
III. Luas Luka Bakar
Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Pada orang
dewasa digunakan Rule of 9 yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, perut, pinggang
dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai
dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%, sisa 1 persennya adalah area
genitalia. Rumus ini membantu penaksiran luas permukaan tubuh yang terbakar pada orang
dewasa.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relative permukaan kepala anak
lebih besar. Karena perbandingan luas tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk
bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak. Untuk anak, kepala dan leher 15%, badan depan dan
belakang masing-masing 20%, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10%,
ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 15%.

IV. Beratnya Luka Bakar


Beratnya luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh
kedalaman luka bakar. Walaupun deminkian, beratnya luka bakar bergantung pada dalam,
luas dan letak luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita juga menjadi factor penentu
prognosis.

V. Fase Pada Luka Bakar


Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar,
yaitu:
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran
nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di
dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti keseimbangan
cairan elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini
merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan
masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.
Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik, kontraktur
dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat
proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama

Pembagian zona kerusakan jaringan:


1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat
pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis
beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di daerah
ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit,
sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan
permeabilitas kapilar dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24
jam pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi
tanpa banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang
diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah menjadi
zona kedua bahkan zona pertama.

Indikasi Rawat Inap Pada Pasien Luka Bakar:


Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk dirawat inap
bila:
1. Luka bakar derajat III > 5%
2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki,
genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama)  risiko signifikan untuk masalah
kosmetik dan kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor
lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi

VI. Tatalaksana
Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah
mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi
sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat
atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat
tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi
yang terlampau banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih
dipilih daripada trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang
tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka
bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas ‘tersembunyi’. Oleh karena itu, setelah
mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana
jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka
bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi.
Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam
evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan
radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu
mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari
luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien
adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar
yang mengkonstriksi.

Tatalaksana resusitasi luka bakar:


a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:
1. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan
manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan
sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas.
2. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif
dan menimbulkan morbiditas lebih besar dibanding intubasi.
Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar tidal volume, lebih
mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat berbicara jika
dibanding dengan intubasi.
3. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat
patologi jalan nafas yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam
pemberian oksigen dosis besar karena dapat menimbulkan stress oksidatif,
sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat vasodilator dan
modulator sepsis.
4. Perawatan jalan nafas
5. Penghisapan sekret (secara berkala)
6. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam
lumen jalan nafas dan mencairkan sekret kental sehingga mudah
dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya menggunakan cairan dasar natrium
klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bias
ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat
(menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis
seluler) dan steroid (masih kontroversial)
7. Bilasan bronkoalveolar
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki
kompliansi paru

b. Tatalaksana resusitasi cairan


Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat
dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia
jaringan tidak terjadi pada setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar
dapat meminimalisasi dan eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi
status volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin survival/maksimal dari
seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi dan hipermetabolik dengan
menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam cairan seperti
kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya
resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat
mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi bedah
seawal mungkin. Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti.
Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:

 Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam
16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama.
Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

 Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam
16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama.
Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

c. Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan
sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian
nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya
mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian
nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah
terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal
dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan MODS.

Perawatan luka bakar:


Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin dalam
dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan ‘maintenance’ 5-20
mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi
ada juga yang menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam
merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar
dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri walau dengan pemberian morfin atau
methadone, dapat juga diberikan benzodiazepine sebagai tambahan.

Terapi pembedahan pada luka bakar


1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris
(debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7)
pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan
dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan
berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah sekitar
luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan menghambat aliran darah dari arteri
yang dapat mengakibatkan terjadinya iskemi pada jaringan tersebut ataupun
menghambat proses penyembuhan dari luka tersebut. Dengan semakin lama waktu
terlepasnya eskar, semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi –
komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis yang
melepaskan “burn toxic” (lipid protein complex) yang menginduksi dilepasnya
mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses
angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan
banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi
akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro – organisme patogen yang akan
menghambat pemulihan graft dan juga eskar yang melembut membuat tindakan eksisi
semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan
melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II
dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin
grafting” (dianjurkan “split thickness skin grafting”). Tindakan ini juga tidak akan
mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Kriteria penatalaksanaan
eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih
dari 3 minggu.
- Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
- Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
- Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh
posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka
lapis demi lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint).
Adapun alat-alat yang digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau
Humbly yang digunakan pada luka bakar dengan luas permukaan luka yang kecil,
sedangkan pisau Watson maupun mesin yang dapat memotong jaringan kulit perlapis
(dermatom) digunakan untuk luka bakar yang luas. Permukaan kulit yang dilakukan
tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh. Untuk
memperkecil perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet
sebelum dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah
yang dieksisi. Setelah dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan “skin graft”.
Keuntungan dari teknik ini adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan
keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari teknik adalah perdarahan dengan
jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai
lapisan fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh
(full thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang
digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong “electrocautery”.
Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
- Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak,
endpoint yang lebih mudah ditentukan
- Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada saraf-
saraf superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari eksisi
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode
ini adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada luka
bakar pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit manusia
yang berasal dari tubuh manusia lain yang telah diproses maupun berasal dari
permukaan tubuh lain dari pasien (autograft). Daerah tubuh yang biasa digunakan
sebagai daerah donor autograft adalah paha, bokong dan perut. Teknik mendapatkan
kulit pasien secara autograft dapat dilakukan secara split thickness skin graft atau full
thickness skin graft. Bedanya dari teknik – teknik tersebut adalah lapisan-lapisan kulit
yang diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor tersebut,
kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang – lubang pada kulit donor
(seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6) dengan
mesin. Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari
lokasi luka yang akan dilakukan grafting, usia pasien, keparahan luka dan telah
dilakukannya pengambilan kulit donor sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini
dapat dilakukan dengan mesin ‘dermatome’ ataupun dengan manual dengan pisau
Humbly atau Goulian. Sebelum dilakukan pengambilan donor diberikan juga
vasokonstriktor (larutan epinefrin) dan juga anestesi.
Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan dari
eksisi luka bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah dilakukan
eksisi, sehingga pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya, pengendalian
perdarahan sangat diperlukan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan penyatuan kulit donor dengan jaringan yang mau dilakukan grafting
adalah:
- Kulit donor setipis mungkin
- Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan
grafting), hal ini dapat dilakukan dengan cara :
o Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)
o Drainase yang baik
o Gunakan kasa adsorben

Cedera Kepala
I. Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil, 2006).
Cedera kepala sebagai penyakit neurologi yang serius diantara penyakit neurologi yang
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (60% kematian yang disebabkan kecelakaan lalu
lintas merupakan akibat cedera kepala).
Risiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat
perdarahan atau pebengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan TIK (Smetlzer & Bare, 2006).

II. Epidemiologi
Cedera otak traumatika masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan
tertinggi pada kelompok umur dibawah 40 tahun, sehingga menjadi masalah utama dalam
bidang kesehatan masyarakat dan sosial-ekonomi. Cedera otak traumatika, pada tahun 2020
akan menjadi penyebab kematian dan kecacatan terbanyak di dunia melebihi penyakit-
penyakit yang lain. Meskipun insidensi cedera otak traumatika di negara-negara maju di
Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia terus mengalami penurunan, namun
insidensinya mengalami kenaikan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Peningkatan ini erat hubungannya dengan meningkatnya industrialisasi dan pesatnya
pertumbuhan kendaraan bermotor.1-3 Di USA kejadian cedera otak traumatika setiap tahun
diperkirakan mencapai 500.000 kasus, dan 10% diantaranya meninggal sebelum sampai di
rumah sakit. Delapan puluh persen dari penderita yang sampai di rumah sakit
dikelompokkan sebagai cedera otak traumatika ringan, 10% termasuk cedera otak
traumatika sedang dan 10% sisanya adalah cedera otak traumatika berat. Lebih dari 100.000
orang, menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera otak traumatika setiap tahunnya
di USA.
Di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, pada tahun 2011 terjadi
peningkatan kejadian cedera otak traumatika sebanyak 14,5% jika dibandingkan dengan
kejadian cedera otak traumatika tahun 2010. Pada tahun 2011, kejadian cedera otak
traumatika 2.509 kasus yang terdiri atas 1.856 (74%) cedera otak traumatika ringan, 438
(17%) cedera otak traumatika sedang, dan 215 (9%) cedera otak traumatika berat. Angka
kematian pasien dengan cedera otak traumatika berat juga mengalami peningkatan dari
33% pada tahun 2010 menjadi 43% pada tahun 2011.

III. Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi
akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera yang
terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia,
hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat
berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).
A. Mekanisme Cedera Kepala
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004, klasifikasi
berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:
1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.

2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka tembak.

B. Morfologi Cedera Kepala

Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:

1. Fraktur Kranium. Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya,


dibedakan menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan keadaan lukanya,
dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur dengan luka tampak telah menembus
duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih intak
(Sjamsuhidajat, 2010).

2. Perdarahan Epidural. Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
Biasanya terletak di area temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya
arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010).

3. Perdarahan Subdural . Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan


epidural. Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan penyebab
dari perdarahan subdural. Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak, dan kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan
dengan perdarahan epidural (Sjamsuhidajat, 2010).

4. Contusio dan perdarahan intraserebral. Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi
kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah
meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah
kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri
sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap
bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari,
berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi
(Sjamsuhidajat, 2010).

5. Commotio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang berlangsung kurang
dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien
mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat (Sjamsuhidajat,
2010).

6. Fraktur basis cranii. Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan
kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat
berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik.
Gejala tergantung letak frakturnya:

- Fraktur fossa anterior. Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua
mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus
Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.

- Fraktur fossa media. Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi
hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).

- Fraktur fossa posterior.Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat
melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati
seketika (Ngoerah, 1991).

IV. Klasifikasi Cedera Kepala

Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu
skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang
terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara
(verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons). Cedera kepala diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan berdasarkan CT
scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT scan otak,
memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit setidaknya 48
jam. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS < 9
(George, 2009).

V. Patofisiologi
Dari sudut waktu dan berat ringannya cedera otak yang terjadi, proses cedera otak dibagi:
1. Proses primer
Ini adalah kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh benturan/proses
mekanik yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kuatnya benturan
dan arahnya, kondisi kepala yang bergerak/diam, percepatan dan perlambatan gerak
kepala. Proses primer mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan segera dalam
rongga tengkorak/otak, robekan dan regangan serabut saraf dan kematian langsung
neuron pada daerah yang terkena
2. Proses sekunder
Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena kerusakan
primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur anatomi
maupun fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berlanjut, iskemia fokal/global otak, kejang, hipertermi. Insult sekunder pada
otak berakhir dengan kerusakan otak iskemik yang dapat melalui beberapa proses:
b. Kerusakan otak berlanjut (progressive injury)
Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak dan
sekitarnya serta terdiri dari 3 proses:
 Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel-sel dan sistokeletonnya.
Kerusakan ini dapat berakibat:
- Edema sintotoksik karena kerusakan pompa natrium terutama pada dendrit dan sel
glia
- Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa kalsium
mengenai semua jenis sel
- Inhibisi dari sintesis protein intraseluler
 Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparisis, disfungsi membran kapiler
disusul dengan edema vasogenik. Pada mikrosirkulasi regional ini tampak pula
sludging dari sel-sel darah merah dan trombosit. Pada keadaan ini sawar darah
otak menjadi rusak.
 Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak yang kemudian
membengkak akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan multipetekial. Ini
menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh di sekitarnya yang pada
akhirnya menyebabkan peninggian tekanan intrakranial Telah diketahui bahwa
trauma otak primer menyebabkan depolarisasi neuronal yang luas yang disertai
dengan meningkatnya kalsium intraseluler (Hays,5) dan meningkatnya kadar
neurotransmitter eksitatorik. Peningkatan dan kebocoran neurotransmitter
eksitatorik akan merangsang terjadinya delayed neuronal death. Selain itu
kerusakan dalam hemostasis ionik mengakibatkan meningkatnya kadar kalsium
(ca) intraseluler serta ion natrium. Influks ca ke dalam sel disertai rusaknya
sitoskeleton karena enzim fosfolipase dan merangsang terlepasnya radikal bebas
yang memperburuk dan merusak integritas membran sel yang masih hidup.
c. Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary barin injury)
Penyebab dari proses inibisa intrakranial atau sistemik:
 Intrakranial
Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat secara berangsur-
angsur dimana suatu saat mencapai titik toleransi maksimal dari otak sehingga
perfusi otak tidak cukup lagi untuk mempertahankan integritas neuron disusul
oleh hipoksia/hipoksemia otak dengan kematian akibat herniasi, kenaikan TIK ini
dapat juga akibat hematom berlanjut misalnya pada hematoma epidural. Sebab
TIK lainnya adalah kejang yang dapat menyebabkan asidosis dan
vasospasme/vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi.
 Sistemik
Perubahan sistemik akansangat mempengaruhi TIK. Hipotensi dapat
menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan iskemia global.
Penyebab gangguan sistemik ini disebut oleh Dearden (1995) sebagai nine deadly
Hs yaitu hipotensi , hipokapnia, hiperglikemia, hiperkapnia, hiperpireksia,
hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremia dan hipoproteinemia. Trauma yang
mengenai kepala, dapat diredam oleh rambut dan kulit kepala. Selanjutnya bagian
yang terberat dari benturan diteruskan ke tengkorak, yang cukup mempunyai
elastisitas hingga dapat mendatar, bila kepala terbentur pada objek yang tumpul
atau datar. Bila pendataran tengkorak melebihi toleransi elastisitas, tulang akan
patah/retak. Hal ini dapat menyebabkan fraktur linear yang sederhana, meluas dari
pusat pukulan sampai ke basis. Benturan yang lebih hebat dapat menyebabkan
fraktur stellata dan bila lebihhebat lagi dapat menyebabkan depresi fraktur.

VI. Diagnosis

A. Manifestasi Klinis Cedera Kepala


Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas
os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga), periorbital
ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe (cairan serebrospinal
keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah pasien tertidur
atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala
yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu
makan yang menurun, perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–tanda atau gejala
klinis untuk yang cedera kepala berat adalah perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias
Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan) apabila
meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal
ekstremitas (Reisner, 2009).

B. Pemeriksaan Fisik Cedera Kepala


Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai
berikut:
1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom pada mastoid
(tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva tanpa adanya
batas posterior, yang menunjukkan darah dari orbita yang mengalir ke depan),
keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (cairan jernih tidak berwarna,
positif mengandung glukosa), perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS)
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk melihat tanda–tanda
ancaman herniasi tentorial (Ginsberg, 2007).

Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk


mengetahui adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala, gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi penting yang harus
ditanyakan adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan sistem
organ (Iskandar, 2002). Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit
sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan
neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup
pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan
reflek (Sjamsuhidayat, 2010).

VII. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan cranium : untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami
gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik
eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis, atau tanda
neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada pasien
yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkan
oleh robekan arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
2. Pemeriksaan CT scan kranial
Segera untuk dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika terdapat
fraktur kranium disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis fokal
(Ginsberg, 2007). CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi dan
kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom
subdural.
Hematom epidural: Gambaran hiperdens dan tampak bikonveks
Hematom Subdural : Gambaran hiperdens tampak seperti bulan sabit
Perdarahan Subarachnoid Traumatika: Gambaran hiperdens diruang subarakhnoid.

VIII. Tatalaksana

Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan
dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari
paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik.
Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan,
selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar
radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa
memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Macam dan urutan prioritas
tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:
A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15) Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa
dibagi dalam 2 jenis:
1. Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa
maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka.
Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk
mengobservasi kesadaran.
2. Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan
penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.

B. Pasien dengan kesadaran menurun


1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal
serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala.
CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat
lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi.
Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.
2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu
urutan tindakannya sebagai berikut:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain.
Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain.
d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping
kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien dengan cedera
kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensidan hiperkapnia akibat gangguan
kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:
 Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan
 Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan
sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne
stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah
aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan
pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian
oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
 Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder.
Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor
ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik.
Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan
mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
b. Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit
fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat
sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen
diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan
menanggulangi penyebabnya.
c. Pemeriksaan Radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan abdomen dibuat
atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila
secara klinis diduga ada hematom intrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau
hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK.
TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus
diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol,
dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang
diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30
mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi
hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila
TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang
untuk menyingkirkan hematom
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek
dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo
peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus
3. Terapi diuretik
- Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui
sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis
pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB
dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam.
Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
- Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan
cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya
bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik
serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi
yang tersebut diatas. Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam
dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg
%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-
48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.

5. Steroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan
bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan
posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit
sehingga drainase vena otak menjadi lancar.

e. Keseimbangan cairan elektrolit


Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema
serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya
dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema
serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan
takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat
dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana
terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan,
misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate
anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula
darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena
meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila
ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral
melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan
yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering
timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi,
hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.

Pengobatan:
 Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
 Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cenderung
berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam
dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti
obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-
pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral.
 Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi,
seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia
post traumatik panjang
h. Komplikasi sistematik
 Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi. seperti: pada
fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
 Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah
kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap
kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping
tindakan menurunkan suhu dengan kompres.
 Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi danlesi
gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat dicegah
dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.
 Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo
hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada yang
bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.
i. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan
jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat
obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain,
antagonis kalsium, antagonis glutama dan sitikolin.

Tujuan utama dari pengobatan pada cedera kepala adalah menghilangkan atau
meninimalkan kelainan sekunder, karena itu pengendalian klinis dan penanggulannya
sangat penting. Adanya jarak walaupun singkat antara proses primer dansekunder harus
digunakan sebaik mungkin, waktu tersebut dinamakan jendela terapi.
.
IX. Prognosis

. Glasgow Outcome Scale sering digunakan untuk menilai hasil terapi pada kasus
cedera kepala berat. Kategori-kategeri hasil akhir termasuk kematian, status vegetatif
persistent, disabilitas berat (memerlukan bantuan untuk menjalani aktifitas hidup sehari-
hari), disabilitas sedang (tidak memerlukan bantuan dalam aktifitas hidup sehari-hari), dan
sembuh (dapat menjalani pekerjaan sebelumnya). Pada seri Becker, yang
merepresentasikan operasi dan terapi agresif, hasilnya adalah sebagai berikut: mortalitas,
32%; disabilitas berat/status vegetatif, 11%; disabilitas sedang/sembuh, 57%.Bermacam-
macam faktor pretrauma mempengaruhi prognosis cedera kepala berat). Umur adalah faktor
yang paling penting, karena mortalitas cedera kepala meningkat seiring dengan
bertambahnya umur. Tren ini disebabkan oleh insidens komplikasi medis yang tinggi pada
pasien tua dengan cedera kepala berat; terlebih lagi, lesi masa intrakranial lebih sering
terjadi pada pasien tua. Adanya cedera atau penyakit terdahulu (sebelum trauma) pada otak
juga memperburuk prognosis.. Berbagai macam aspek koma sangat berhubungan erat
dengan hasil akhir.
Nilai Glasgow Coma Scale berhubungan dengan hasil akhir. Kematian atau status
vegetatif adalah hasil akhir pada 80% pasien dengan nilai 3 sampai 4, pada 54% pasien
dengan nilai 5 sampai 7, pada 27% pasien dengan nilai 8 sampai 10, dan pada 6% pasien
dengan nilai 11 sampai 15. Tanda-tanda disfungsi batang otak merupakan faktor prognosis
yang buruk. Jika respons pupil terhadap cahaya negatif pada kedua mata, mortalitasnya
mencapai 65% pada pasien dengan lesi masa dan 82% pada pasien dengna cedera otak
difus. Jika respons okulovestibular nihil, mortalitas mendekati 60%. Postur deserebrasi
terkait dengan 50% mortalitas.
.
Daftar Pustaka

Bullock MR, Hovda DA. Introduction to Traumatic Brain Injury. In : Youman’s (ed)
Neurological Surgery 6th.ed. Philadelphia : Elsevier Saunders. 2011 : 3267-69.
Cohadon F. The concept of secondary damage inbrain trauma, in ischemia in head injury.
Proceedings of 10th Europe Congress of Neurosurgery, 1995:1-7.
Data Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2011.
Fane RA, Nassar T, , dkk. Neuroprotection by glucagon: role of gluconeogenesis. J Neurosurg
114:85-91, 2011.
Fearnside MR, Simpson DA. Epidemiology. In : Head Injury Pathophysiology and Management.
London : Hodder Arnold. 2005 : 3-25.
Graham DI. Neuropathology of brain injury in neurology and trauma. Philadelphia : WB
Sounders, 1996: 53-90
Imron A. Pola pasien cedera otak traumatika di RSHS. 2012.
Kelly DF. General principles of head injury management. New York: McGraw Hill, 1996
Marshall SB. Neuroscience and critical care, pathophysiology and management.
Philadelphia: WB Sounders, 1990: 169-213
Reilly P. Pathophysiology and management of severe close injury. London: Chapman & Hall
Medical, 1997
Robertson et al. Oxygen utilization and cardiovasculer function in head patients.
Neurosurgery 1996 (15):307-314
Schouton JW, Maas AIR. Epidemiology of Traumatic Brain Injury. In : Youman’s (ed)
Neurological Surgery 6th.ed. Philadelphia : Elsevier Saunders. 2011 : 3267-69.
Teasdale G. Pathological and clinical evidence of ischemic brain damage in brain
trauma. London : Chapman & Hall Medical, 1995:21-29
Thomson WA. Severe head injury, in TEOH (ed) Sydney: Butterworth, 1990:427-431

Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.


Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter
JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s principal surgery. 8th ed. USA: The McGraw-Hill
Companies; 2007.
Naradzay JFX, Alson R. Thermal burns. Dalam: Slapper D, Talavera F, Hirshon JM, Halamka J,
Adler J, editors. http://www.emedicinehealth.com.
Split & Full Thickness Skin Grafting. http://www.burnsurvivorsttw.org/burns/grafts.html.
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Luka, 2017 Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.4 Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 101 – 110

Anda mungkin juga menyukai