Bab3 Burnoutpadapustakawan8feb2006
Bab3 Burnoutpadapustakawan8feb2006
BAB 3
Utami Hariyadi1
1. Pendahuluan
Burnout merupakan “epidemi” yang melanda dunia kerja dan burnout bisa
menyerang siapa saja tanpa memandang pekerjaan dan usia. Burnout adalah istilah yang
menggambarkan kondisi emosional seseorang yang merasa lelah dan jenuh secara mental,
emosional dan fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat.
Pines dan Aronson (1989) seperti dikutip oleh Sutjipto dalam artikelnya yang dimuat
secara online berjudul ‘Apakah anda mengalami burnout?”(2001), mendefinisikan burnout
sebagai kelelahan secara fisik, mental, dan emosional. Burnout dialami oleh seseorang yang
bekerja menghadapi tuntutan dari klien/pelanggan, tingkat keberhasilan dari pekerjaan
rendah, dan kurangnya penghargaan yang memadai terhadap kinerjanya. Situasi menghadapi
klien ini menggambarkan keadaan yang menuntut secara emosional (emotionally
demanding). Pada akhirnya dalam jangka panjang seseorang akan mengalami kelelahan,
karena ia berusaha memberikan sesuatu secara maksimal, namun memperoleh apresiasi yang
minimal.
Walaupun intensitas, durasi, frekuensi, dan konsekuensinya beragam, burnout
umumnya mempunyai tiga komponen, yaitu kelelahan fisik, kelelahan emosional, dan
kelelahan mental. Gambaran dari ketiga dimensi tersebut adalah sebagai berikut :
Kelelahan fisik yang menyebabkan sakit fisik seperti sakit kepala, demam, sakit
punggung (rasa ngilu), tegang pada otot leher dan bahu, sering terkena flu, susah
tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan makan.
Kelelahan emosi dicirikan antara lain seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinis,
mengeluh tiada henti, marah tanpa sebab, gelisah, tidak peduli dengan orang lain,
putus asa, sedih, tertekan dan rasa tidak berdaya.
Kelelahan mental dicirikan antara lain dengan rasa benci, rasa gagal, tidak peka,
sinis, kurang bersimpati dengan orang lain, mempunyai sikap negatif terhadap orang
lain, cenderung masa bodoh dengan dirinya, pekerjaannya dan kehidupannya, acuh
1
Diterbitkan dalam Bunga Rampai Perpustakaan dan Informasi Dalam Konteks Budaya, 2006.
37
Burnout pada pustakawan
tak acuh, selalu menyalahkan, rasa tidak puas terhadap pekerjaan, rendah diri dan
merasa tidak kompeten, dan tidak puas dengan jalan hidup.
Selanjutnya Sutjipto juga mengutip pendapat Cherniss (1980) yang menyatakan bahwa
burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara
psikologis dari pekerjaan, misalnya menjaga jarak dan bersikap sinis terhadap klien,
membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja. Pandangan Cherniss ini nampak
sejalan dengan pandangan Freudenberger (1974) bahwa seseorang dengan sikap antusias
tinggi dan penuh semangat pada awal bekerja biasanya mempunyai idealisme yang tinggi
pula. Namun, stres demi stres yang dialami terus menerus secara kronis menyebabkan orang
tersebut mengalami perubahan motivasi, dan pada akhirnya mengalami burnout.
2. Penyebab Burnout
1. Karakteristik Individu :
Sumber dari dalam diri individu yang memberi sumbangan timbulnya burnout dapat
digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian (Caputo, 1991;
Maslach, 1982; Farber, 1991).
38
Burnout pada pustakawan
a. Faktor Demografik :
Farber (1991) dalam penelitiannya tentang kondisi stres dan burnout di kalangan guru-
guru di Amerika menemukan bahwa pria lebih rentan terhadap stres dan burnout jika
dibandingkan dengan wanita. Pria tumbuh dan dibesarkan dengan nilai kemandirian khas
pria, dan mereka diharapkan dapat bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional.
Sebaliknya, wanita diharapkan untuk mempunyai sikap membimbing, empati, kasih
sayang, membantu, dan lembut hati. Perbedaan cara dalam membesarkan pria dan wanita
memberi dampak berbeda pula pada pria dan wanita dalam menghadapi dan mengatasi
burnout. Seorang pria yang tidak dibiasakan untuk terlibat mendalam secara emosional
dengan orang lain akan rentan terhadap berkembangnya depersonalisasi. Wanita yang
lebih banyak terlibat secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap
kelelahan emosional.
Status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya burnout. Profesional yang
berstatus lajang lebih banyak mengalami burnout daripada yang telah menikah (Farber,
1991; Maslach, 1982). Jika dibandingkan antara seseorang yang memiliki anak dan yang
tidak memiliki anak, maka seseorang yang memiliki anak cenderung mengalami tingkat
burnout yang lebih rendah. Alasannya adalah:
(1) seseorang yang telah berkeluarga pada umumnya cenderung berusia lebih tua,
stabil, dan matang secara psikologis,
(2) keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental seseorang
dalam menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional,
(3) kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu seseorang dalam
mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan, dan
(4) seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih realistis
(Maslach, 1982).
Temuan lain adalah bahwa profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi
cenderung rentan terhadap burnout jika dibandingkan dengan mereka yang tidak
berpendidikan tinggi (Maslach, 1982). Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki
harapan atau aspirasi yang idealis sehingga ketika dihadapkan pada realitas bahwa
terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan, maka munculah kegelisahan dan
kekecewaan yang dapat menimbulkan burnout. Sebaliknya, bagi profesional yang
39
Burnout pada pustakawan
berpendidikan sedang saja, cenderung kurang memiliki harapan yang tinggi sehingga
tidak menjumpai banyak kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Caputo (1991) mengemukakan terdapat hubungan antara status profesional dengan
burnout. Profesional yang bekerja secara penuh waktu lebih berisiko terhadap burnout
jika dibandingkan dengan profesional yang bekerja paruh waktu. Smith dalam Caputo
(1991) dalam penelitiannya pada staf perpustakaan menemukan bahwa individu yang
mengalami burnout lebih banyak ditemukan pada mereka yang bekerja purnawaktu
(fulltimer).
b. Faktor Kepribadian:
Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout adalah individu yang
idealis dan antusias. Individu-individu ini, karena memiliki komitmen yang berlebihan,
dan melibatkan diri secara mendalam di pekerjaan akan merasa sangat kecewa ketika
imbalan dari usahanya tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gagal dan berdampak
pada menurunnya penilaian terhadap kompetensi diri. Maslach (1982) mengatakan bahwa
individu yang memiliki konsep rendah diri rentan terhadap burnout. Mereka pada
umumnya dilingkupi oleh rasa takut sehingga menimbulkan sikap pasrah.
Karakteristik kepribadian berikutnya adalah perfeksionis, yaitu individu yang selalu
berusaha melakukan pekerjaan sesempurna mungkin sehingga akan sangat mudah merasa
frustrasi bila kebutuhan untuk tampil sempurna tidak tercapai. Karenanya, menurut
Caputo (1991) individu yang perfeksionis rentan terhadap burnout.
Kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi juga merupakan salah satu
karakteristik kepribadian yang dapat menimbulkan burnout. Maslach (1982) menyatakan
bahwa seseorang ketika melayani klien pada umumnya mengalami emosi negatif,
misalnya marah, jengkel, takut, cemas, khawatir dan sebagainya. Bila emosi-emosi
tersebut tidak dapat dikuasai, mereka akan bersikap impulsif, menggunakan mekanisme
pertahanan diri (self-defence mechanism) secara berlebihan atau menjadi terlarut dalam
permasalahan klien. Kondisi tersebut akan menimbulkan kelelahan emosional yang
memicu burnout.
mendorong pemberi pelayanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindari untuk
terlibat dengan klien (Maslach, 1982).
Kurangnya atau tidak adanya dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam
menyebabkan burnout . Sisi negatif dari lingkungan kerja yang dapat menimbulkan burnout
adalah hubungan antar rekan kerja yang buruk yang diwarnai dengan konflik, saling tidak
percaya, dan saling bermusuhan. Cherniss (1980) mengungkapkan sejumlah kondisi yang
potensial terhadap timbulnya konflik antar rekan kerja, yaitu:
(1) perbedaan nilai-nilai yang dimiliki setiap individu,
(2) perbedaan persepsi dalam melihat permasalahan, dan
(3) kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan pribadi
Kurang atau tidak adanya dukungan sosial dari atasan juga dapat menjadi sumber stres
emosional yang berpotensi menimbulkan burnout.. Atasan yang tidak tanggap akan
mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan
merasa bahwa segala upayanya dalam bekerja tidak berarti.
Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus bersikap sabar
dan memahami orang lain yang sedang dalam keadaan menghadapi krisis, frustrasi,
ketakutan, dan kesakitan (Freudenberger, 1974). Pemberi dan penerima pelayanan turut
membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara
tidak disengaja dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antar mereka dapat
memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya.
Di samping hal tersebut, para pekerja sering menerima umpan balik yang negatif. Hal
ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap pelayanan sehingga pemberi
layanan kesulitan untuk mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat. Seandainya
mereka dapat memenuhi standar tersebut, masyarakat pada umumnya tidak memberi pujian,
sebab masyarakat menganggap bahwa hal tersebut lumrah dan memang seharusnya seperti
itu.
Hal lain yang turut menyebabkan rendahnya penghargaan adalah bahwa penerima
pelayanan tidak mampu memberikan umpan balik positif karena keterbatasan mereka.
Dengan keadaan yang selalu menerima umpan balik yang negatif ini, maka pada diri pemberi
pelayanan akan terbentuk sikap yang negatif terhadap penerima pelayanan.
41
Burnout pada pustakawan
Burnout tidak selalu terjadi pada setiap orang, karena setiap individu mempunyai ketahanan
mental dan kondisi psikologis yang berbeda-beda.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur burnout dikembangkan oleh Maslach yang
dikenal sebagai Maslach Burnout Inventory (MBI). MBI diciptakan oleh Maslach dan
Jackson pada tahun 1981 untuk mengukur burnout pada pekerja bidang Pelayanan Sosial dan
dikenal sebagai MBI – Human Services Survey (MBI – HSS). MBI versi kedua kemudian
didesain bagi para pendidik yaitu MBI – Educators Survey (MBI – ES). Kedua versi tersebut
sama-sama terfokus pada jenis pekerjaan yang mengharuskan individu berinteraksi secara
intensif dengan orang lain yaitu klien dan pasien atau mahasiswa dan murid (Maslach,
Schaufeli & Leiter, 2001).
42
Burnout pada pustakawan
Alat ukur MBI terdiri dari 22 item pertanyaan yang menggambarkan tiga
skala/dimensi pengukuran yaitu:
1. Physical Exhaustion (Kejenuhan Fisik)
2. Emotional Exhaustion/Depersonalization (Kejenuhan
Emosional/Depersonalisasi)
3. Personal Accomplishment (Pencapaian personal)
Pekerjaan rutin yang dijalani oleh seorang pustakawan sangat berpotensi menjadi
penyebab stress. Hari-hari kerja “normal” seorang pustakawan, apapun jenis
perpustakaannya, selalu dipenuhi dengan interupsi, baik dari pengguna, sesama pustakawan
dan atasan, yang potensial menjadi penyebab stress. Interupsi yang dialamatkan kepada
pustakawan, yang pada umumnya berasal dari pengguna perpustakaan, menurut beberapa
penelitian lebih banyak diterima oleh pustakawan yang bertanggung jawab untuk pemberian
layanan rujukan. Hal ini cukup masuk akal, sebagai konsekwensi logis tugas pustakawan
rujukan yang harus berhadapan langsung dengan para pengguna. Keseharian tugas-tugas
pustakawan rujukan adalah mencari informasi sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan pengguna. Kompleksitas proses pencarian informasi ini tergantung pada jenis
pertanyaaan dan bagaimana pustakawan memahami pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pustakawan rujukan di perpustakaan yang dikelola dengan baik, menjadi “pemeran”
utama dari kegiatan pemberian layanan perpustakaan. Pengguna pada umumnya menaruh
harapan dan kepercayaan yang besar terhadap pustakawan rujukan dalam membantu
memenuhi kebutuhan informasi mereka.
Ragam dan tingkat kesulitan pertanyaan yang diajukan pengguna menuntut
pustakawan rujukan untuk selalu mengikuti perkembangan mutakhir dari berbagai disiplin
ilmu dan juga berbagai metode, teknik dan strategi pencarian informasi sehingga dia dapat
memberikan layanan rujukan yang benar-benar berorientasi kepada kepuasan pengguna
(customer’ satisfaction-oriented reference service). Ia dituntut untuk selalu mengikuti
perkembangan terakhir sumber- sumber informasi yang mempunyai karakteristik dan fitur-
fitur yang berbeda satu sama lainnya, dan yang dikemas dalam berbagai bentuk media
penyimpanan, tercetak dan non-tercetak.
43
Burnout pada pustakawan
Pemicu stress (stressor) yang “menghantui’ para pustakawan dalam satu dekade
terakhir ini adalah penetrasi teknologi informasi ke berbagai kegiatan in-griya perpustakaan
yang tidak diimbangi dengan program pelatihan dan peningkatan kemampuan mengelola
teknologi informasi. Implementasi teknologi informasi untuk mendukung kegiatan-
kegiatan perpustakaan secara teoritis seharusnya akan mengurangi beban pekerjaan rutin
pustakawan. Namun penerapan teknologi informasi tidak bisa berdiri sendiri dalam
perencanaan kegiatan suatu perpustakaan. Banyak sekali aspek-aspek pendukung yang perlu
dilakukan agar penerapan teknologi informasi tidak akan justru malah mengakibatkan
45
Burnout pada pustakawan
bertambahnya beban kerja dan menimbulkan technostress terhadap para pustakawan yang
pada akhirnya mengarah ke kondisi burnout.
Technostress adalah istilah yang pertama kali digunakan pada awal tahun 1980an di
kalangan pustakawan. Richard Hudiburg (1996) mengutip definisi technostress yang
diberikan oleh Craig Brod dalam bukunya berjudul Technostress: the Human Cost of the
Computer Revolution (1984) sebagai berikut:
Technostress is a modern disease of adaptation caused by an inability to cope with
the new computer technologies in a healthy manner. Technostress merupakan adaptasi
penyakit modern yang disebabkan oleh ketidakmampuan menghadapi teknologi-teknologi
baru komputer dengan cara sehat.
Faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab burnout di kalangan pustakawan
perguruan tinggi menunjukkan kesamaan dengan faktor-faktor penyebab burnout di kalangan
profesi pemberi jasa lainnya seperti perawat dan pekerja sosial (Sheesley, 2001). Faktor-
faktor tersebut antara lain adalah:
pemberian sesi instruksi perpustakaan yang repetitif dalam frekuensi yang sangat
sering, terutama di awal masa perkuliahan dimana semua mahasiswa baru wajib
mengikuti sesi ini sebagai bagian dari rangkaian pekan orientasi mahasiswa. Hal ini
diperburuk dengan fasilitas teknologi informasi yang tidak memadai, akses ke
jaringan komputer dan ke Internet yang lambat, sehingga sesi instruksi perpustakaan
tidak lancar.
sikap para mahasiswa baru peserta sesi instruksi perpustakaan yang tidak
menunjukkan antusias dan perhatian terhadap sesi yang diberikan pustakawan,
walaupun hal ini bisa saja disebabkan karena padatnya waktu orientasi mahasiswa
yang sangat melelahkan.
Tidak ada atau kurangnya umpan balik positif yang diterima oleh pustakawan, dari
pengguna, manajemen, dan mungkin juga dari sesama pustakawan.
Adanya perasaan “terisolasi’ yang dialami oleh pustakawan perguruan tinggi.
Christina Maslach (1982) berpendapat bahwa timbulnya burnout adalah karena stres yang
dialami secara akumulatif akibat keterlibatan (seseorang) pemberi dengan penerima
pelayanan dalam jangka panjang.
46
Burnout pada pustakawan
47
Burnout pada pustakawan
Dua puluh dua pernyataan dalam Maslach Burnout Inventory tersebut adalah sebagai berikut:
2) Saya merasakan kelelahan fisik yang amat sangat di akhir hari kerja (PE)
3) Saya merasa lesu ketika bangun pagi karena harus menjalani hari di tempat kerja untuk
menghadapi klien (PE)
4) Saya dengan mudah dapat memahami bagaimana perasaan klien tentang hal-hal ingin
mereka penuhi dan mereka peroleh dari layanan yang saya berikan (PA)
5) Saya merasa bahwa saya memperlakukan beberapa klien seolah mereka objek impersonal
(EE/D)
6) Menghadapi orang/klien dan bekerja untuk mereka seharian penuh membuat saya
“tertekan”
7) Saya bisa menjawab dan melayani klien saya dengan efektif. (PA)
48
Burnout pada pustakawan
8) Saya merasa memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan orang lain melalui
pekerjaan saya sebagai pemberi jasa (PA)
9) Saya menjadi semakin “kaku” terhadap orang lain sejak saya bekerja sebagai pemberi
jasa.(EE/D)
10) Saya khawatir pekerjaan ini membuat saya “dingin” secara emosional (EE/D)
11) Saya merasa sangat bersemangat dalam melakukan pekerjaan saya dan dalam
menghadapi para klien saya (PA)
13) Pekerjaan sebagai pemberi jasa membuat saya merasa frustasi (EE/D)
14) Saya merasa bekerja terlampau keras dalam pekerjaan saya (PE)
15) Saya benar-benar tidak peduli pada apa yang terjadi terhadap klien saya (EE/D)
16) Menghadapi dan bekerja secara langsung dengan orang menyebabkan saya stress
(EE/D)
17) Saya dengan mudah bisa menciptakan suasana yang santai/relaks dengan para klien
(PA)
49
Burnout pada pustakawan
18) Saya merasa gembira setelah melakukan tugas saya untuk para klien secara langsung
(PA)
19) Saya telah mendapatkan dan mengalami banyak hal yang berharga dalam pekerjaan ini
(PA)
20) Saya merasa seakan akan hidup dan karir saya tidak akan berubah (EE/D)
21) Saya menghadapi masalah-masalah emosional dalam pekerjaan saya dengan tenang dan
“kepala dingin” (PA)
22) Saya merasa para pengguna menyalahkan saya atas masalah-masalah yang mereka alami
Pengukuran tingkat burnout dibagi menjadi empat (4) kategori berdasarkan jumlah angka
yang dihasilkan dari jawaban pertanyaan-pertanyaan diatas, sebagai berikut:
0–2
Tingkatan ini menunjukkan bahwa seseorang merasa cukup bahagia. Skor yang
rendah adalah skor yang bagus – yang menunjukkan seseorang dapat mengatasi stres
dengan baik. Walaupun seseorang mengalami stres, tetapi ia dapat mengelola stres
dengan baik dan dapat membuat hidupnya berimbang. Orang –orang pada tingkatan
skor ini tidak akan mudah naik pitam, dan dapat menerima stress yang dialami dalam
perjalanan hidup.
3–5
Tingkatan ini menunjukkan perlunya memonitor situasi yang dihadapi dan
pengambilan tindakan jika keadaan yang dihadapi menjadi lebih buruk. Walaupun
tidak perlu diberi peringatan, namun orang pada tingkatan ini perlu meluangkan
50
Burnout pada pustakawan
6 – 8 -- Sinyal Kuning
Orang-orang pada tingkatan ini cenderung mudah terkena burnout. Ritme
kehidupannya cenderung “panas”. Ia sebaiknya berhenti sejenak dari kegiatan-
kegiatannya untuk menentukan prioritas kegiatan dan menghilangkan beberapa
penyebab stres. Orang pada tingkatan ini perlu pula memeriksakan kesehatan,
meninjau kembali tujuan hidup, keseimbangan antara kerja dan hiburan, dan sistem
dukungan sosial yang dimilikinya (keluarga, teman dan jaringan sosial lainnya).
9 – 10 -- Sinyal Merah
Mereka yang mendapatkan skor pada tingkatan ini sebaiknya segera berhenti untuk
beristirahat sebelum muncul tanda-tanda wake-up call yang lebih serius. Mereka
membutuhkan konsultansi dan nasihat, baik medis maupun psikologis agar terhindar
dari kondisi kehilangan kendali. Ia memerlukan istirahat serta menilai kembali hidup
dan pekerjaannya. Perolehan skor di tingkatan ini menunjukkan bahwa ia sedang
dalam tekanan stres berlebihan dalam waktu yang menerus dan sudah cukup lama.
Perlu diwaspadai bahwa manusia mempunyai batas toleransi fisik dan mental.
Diperlukan langkah-langkah konkrit untuk menanggulangi sinyal-sinyal bahaya yang
timbul, misalnya dengan berkonsultasi intensif dengan profesional dan mendapatkan
dukungan penuh berkesinambungan dari keluarga dan jaringan sosial yang
dimilikinya untuk mendapatkan masukan dan kemudian menentukan arahan masa
depan hidup selanjutnya.
51
Burnout pada pustakawan
sendiri-sendiri teknik penanggulangan untuk mengatasi stres di tempat kerja yang bisa
mengarah ke kondisi burnout.
Strategi/teknik penanggulangan individual ini menurut Steven Casano (2002) dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:
teknik mengeliminasi stres (stress elimination technique): individual yang
menerapkan teknik ini akan melakukan tindakan drastis dan langsung, misalnya
berganti pekerjaan,
teknik mengurangi stres (stress reduction technique) dilakukan dengan beberapa
langkah seperti: menetapkan ulang tujuan, belajar mengatakan “Tidak”; belajar
teknik-teknik relaksasi (meditasi, yoga); pergi berlibur; memperbaiki lingkungan
kerja (mengganti warna cat dinding, lampu, dan mengurangi kebisingan)
teknik mentolerir stres (stress tolerance technique): menjaga kesehatan mental dan
emosi dengan cara bersikap lebih asertif, tidak bersifat personal (taking things less
personally) berolahraga teratur dan menjaga pola makan.
Menurut Esther Greenglass dalam artikelnya Proactive Coping, Work Stress and
Burnout (2001), penanganan dan pencegahan stres dan burnout umumnya dilakukan secara
reaktif, artinya melakukan tindakan mengatasi dan mencegah stres dan burnout setelah stres
dan burnout terjadi. Sedangkan Proactive coping berarti penanggulangan yang dilakukan
secara proaktif oleh individu untuk mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan, yang
umumnya dari luar diri individu, dengan kemampuan individu itu sendiri.
Perilaku proaktif (proactive behaviour) menurut Schwarzer seperti dikutip oleh
Greenglass (2001), adalah perilaku dari seseorang yang mampu mengenali kemungkinan
akan timbulnya potensi stressor dan mampu menghindarinya jauh sebelum stressor itu
terjadi. Schwarzer lebih lanjut mengatakan bahwa individu proaktif berupaya keras untuk
memperbaiki lingkungan kehidupannya. Penanggulangan proaktif bersifat otonomis
(autonomous), dan merupakan proses pencapaian tujuan yang ditetapkan sendiri oleh
seseorang. Penanggulangan proaktif adalah penegasan hal-hal yang memotivasi orang
tersebut dalam upaya pencapaian tujuan tersebut, dan bagaimana ia bertekad (to commit)
mengelola kualitas personalnya. Seseorang yang mempunyai perilaku proaktif adalah orang
yang penuh ide (resourceful), bertanggungjawab (responsible) dan mempunyai prinsip
(principled).
52
Burnout pada pustakawan
Pada tahun 1999, Greenglass memperkenalkan alat ukur psikometri Proactive Coping
Inventory (PCI) yang terdiri dari 7 rangkaian pengukuran (sub-scale) yang dikembangkan
untuk menilai berbagai aspek penanggulangan proaktif. Ke tujuh subscale tersebut adalah:
1. Proactive Coping Scale: terdiri dari 14 item yang mengkombinasikan penetapan
tujuan secara otonomis dengan perilaku dan kognisi pencapaian tujuan yang
ditetapkan sendiri.
2. Reflective Coping Scale, (11 item) menjelaskan simulasi dan kontemplasi tentang
alternatif-alternatif perilaku yang mungkin dilakukan, dengan jalan membandingkan
efektifitas dari masing-masing perilaku tersebut, termasuk dalam proses ini adalah
curah pendapat (brainstorming), menganalisa masalah dan sumber-sumbernya, serta
mengupayakan rencana kegiatan hipotetikal.
3. Strategic Planning Scale (4 item) berfokus pada proses pembuatan jadwal kegiatan
yang berorientasi pada tujuan, dimana tugas-tugas yang ekstensif dibagi-bagi
menjadi komponen yang manageable.
4. Preventive Coping Scale (10 item) meliputi antisipasi tindakan terhadap stressor
potensial dan persiapan yang perlu dilakukan sebelum stressor berkembang penuh.
5. Instrumental Support Seeking Scale (8 item) berfokus pada usaha mendapatkan
nasihat, informasi dan feedback dari orang-orang yang tergabung dalam jaringan
sosial seseorang, ketika berhadapan dengan stressor.
53
Burnout pada pustakawan
6. Emotional Support Seeking Scale (5 item) ditujukan pada upaya mengatur emotional
distress temporer dengan jalan menceritakan kepada orang lain hal-hal yang dialami
individu untuk memperoleh empati dan mencari pendampingan dari jaringan sosial
yang dimiliki individu tersebut.
7. Avoidance Coping Scale diukur dengan 3 item yang menggambarkan penghindaran
tindakan jika menghadapi masalah dengan jalan menunda.
Dalam penelitiannya yang mengambil sampel 178 orang profesional di satu kota
besar di Kanada, Greenglass menggunakan salah satu perangkat PCI, yaitu Proactive
Coping Scale untuk mengetahui dan membuktikan efek dari instrumen ini dalam mengatasi
dan mengurangi burnout. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa Penanggulangan Proaktif
adalah strategi yang bermanfaat mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan, dan
kemampuan individu, dan terbukti bisa digunakan untuk mengatasi burnout karena:
Penanggulangan proaktif menggabungkan dan memanfaatkan sumber-sumber sosial
dan non-sosial;
Penanggulangan proaktif menggunakan strategi emosional positif dan mengacu
pada visi-visi keberhasilan.
Penanggulangan proaktif meliputi penentuan tujuan dan cara pencapaian tujuan
tersebut.
Berikut ini adalah item-item Proactive Coping Scale yang sudah diadaptasi
kedalam bahasa Indonesia, berupa pernyataan-pernyataan yang menggambarkan reaksi seseorang
jika menghadapi situasi situasi tertentu. Skor tanggapan atas pernyataan-pernyataan dibawah ini
adalah dalam rentang 1 sampai 4 sebagai berikut:
54
Burnout pada pustakawan
6 Walau mengalami beberapa kegagalan, saya biasanya berhasil mendapatkan yang saya
inginkan
7 Saya mencoba untuk menjurus ke hal-hal yang saya perlukan untuk keberhasilan
8 Saya selalu mencoba menemukan cara untuk menghindari hambatan-hambatan; tidak
ada hal apapun yang bisa menghentikan saya
9 Saya sering mengalami kegagalan, karena itu saya tidak menaruh harapan terlalu tinggi
(-)
10 Jika saya melamar suatu posisi, saya membayangkan diri saya menempati posisi
tersebut
11 Saya merubah hambatan-hambatan menjadi pengalaman-pengalaman positif
12 Kalau seseorang mengatakan pada saya bahwa saya tidak mampu melakukan sesuatu,
anda saya yakinkan bahwa saya akan melakukan hal tersebut
13 Kalau saya mengalami masalah, saya mengambil inisiatif untuk mengatasi masalah
tersebut
14 Kalau saya menghadapi masalah, saya biasanya menempatkan diri saya pada no-win
situation (-)
(-) Reverse items
10. Kesimpulan
Apabila kondisi burnout yang dialami oleh staf perpustakaan dan pustakawan
dibiarkan berlarut-larut, maka para pustakawan ini akan benar-benar mengalami burnout
yang pada akhirnya akan merugikan stakeholders perpustakaan termasuk pustakawannya
sendiri.
Kondisi burnout yang dialami para pustakawan bukanlah hal yang tidak bisa
dihindari. Penulis beranggapan bahwa pengukuran kondisi burnout yang menggunakan
instrumen ukur Maslach Burnout Inventory pada para pekerja pemberian jasa termasuk para
staf perpustakaan dan juga pustakawan rujukan, perlu ditindaklanjuti dengan penggunaan
instrumen ukur Proactive Coping Inventory (PCI) . Dengan instrumen ukur PCI,
diharapkan kondisi burnout yang terdeteksi dapat dikurangi dan dihilangkan jika sudah
terlanjur terjadi, dan sebaiknya diantisipasi untuk dihindari, jika kondisi burnout belum
terjadi.
Menurut penulis, pustakawan yang telah terlanjur mengalami burnout, yaitu mereka
yang telah berada di tingkatan sinyal kuning dan sinyal merah berdasarkan perolehan skor
Maschlach Burnout Inventory, perlu mengikuti program konseling menggunakan instrumen
ukur Proactive Coping Inventory. Seyogyanya penggunaan instrumen ukur MBI untuk
55
Burnout pada pustakawan
56
Burnout pada pustakawan
Bibliografi
Baird, Tim & Baird, Zahra.M. (2005). Running on empty: dealing with burnout in the
library setting.
Bopp, Richard E., and Linda C. Smith. (2001). "Stress and Burnout." In Reference and
Information Service, 18-19. Englewood: Libraries Unlimited, Inc.
Caputo, Janette S. 1991. Stress and Burnout in Library Service. Phoenix, Oryx Press.
Farber, B. A. (1991). Crisis in Education: Stress and Burnout in the American Teacher.
Oxford: Jossey – Bass.
Freudenberger, H. J. (1974). “Staff burnout.” Journal of Social Issues, 30(1), pp. 159-165
Greenglass, Esther R. (2001). “Proactive coping, work stress and burnout.” Stress News, 13,
no.2
Hudiburg, R.A., and Necessary, J.R. (1996b). “Coping with computer stress.” Journal of
Educational Computing Research, 15, pp.107-118.
http://www2.una.edu/psychology/hudiburg.htm Diakses 25 Juni, 2005
Maslach, C. & Jackson, S. E. (1981). ”The measurement of experienced burnout.” Journal of
Occupational Behavior, 2, 99-113.
Sheesley, Deborah F.(2001). “Burnout and the academic teaching librarian: an examination
of the problem and suggested solutions.” Journal of Academic Librarianship 27, pp.
447 – 451
Sutjipto. 2002. Apakah anda mengalami burnout?
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/32/apakah_anda_mengalami_burnout.htm.
Diakses 25 Juni 2005.
57