Anda di halaman 1dari 26

1

LAPORAN KASUS RAWAT INAP


Meningitis TB
Apolonia Nogo Liwu, S.Ked
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
dr. Hendrikus Tokan, Sp.A; dr,Frans Taolin Sp.A

I. PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB anak adalah penyakit TB yang terjadi
pada anak usia 0-14 tahun.1
Lembaga kesehatan dunia WHO memperkirakan pada tahun 2015 terdapat 10,4
juta kasus baru TB di dunia. Asia Tenggara menempati posisi pertama dengan angka
kejadian TB tertinggi pada anak, yaitu 40% dari kasus di tahun 2015. Indonesia
termasuk dalam tiga negara dengan angka kejadian TB tertinggi di dunia, bersama
India dan Cina.2 Angka prevalensi tuberkulosis (TB) pada anak diperkirakan sekitar
500.000 setiap tahunnya dengan angka kematian berkisar 70.000 anak. Di Indonesia,
di antara semua kasus TB yang ternotifikasi dalam program TB, proporsi kasus TB
anak adalah 8%-11%.3
Salah satu TB ekstra paru yg sering terjadi adalah Meningitis Tuberkulosis.
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosis
merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium
tuberculosis dari infeksi primer pada paru.(4)

Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal


Fluid (CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis
purulenta dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan
meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan
2

gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga diperlukan
pengetahuan dan tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal ini berkaitan
dengan penanganan selanjutnya yang disesuaikan dengan etiologinya. Untuk
meningitis tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik dikarenakan
penyebabnya bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan antibiotik spektrum
luas. (5)
World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 menyatakan meningitis
tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer tuberkulosis, 83%
disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru. Penyakit ini dapat menyerang
semua umur, anak-anak lebih sering dibanding dengan dewasa terutama pada 5 tahun
pertama kehidupan. Jarang ditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak
pernah ditemukan pada usia dibawah 3 bulan (2).
Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis
yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-
20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali
(6)
normal secara neurologis dan intelektual . Angka kejadian TB paru di Indonesia
dilaporkan terus meningkat setiap tahun dan sejauh ini menjadi negara dengan urutan
ketiga dengan kasus TB paru terbanyak, pada tahun 2001, dilaporkan perubahan dari
tahun sebelumnya, penderita TB paru dari 21 orang menjadi 43 oreng per 100.000
penduduk, dan pasien BTA aktif didapatkan 83 orang per 100.000 penduduk (6,7).
Terjadinya penyakit TB bergantung pada sistem imun untuk menekan
multiplikasi kuman. Kemampuan tersebut bervariasi sesuai dengan usia, yang paling
rendah adalah pada usia yang sangat muda. HIV dan gangguan gizi menurunkan daya
tahan tubuh; campak dan batuk rejan secara sementara dapat mengganggu sistem
imun. Dalam keadaan seperti ini penyakit TB lebih mudah terjadi.(8)

II. LAPORAN KASUS


1. IDENTITAS
3

Masuk rumah sakit tanggal 25 Desember 2019 Pukul 18.50 WITA


Nama : An.DK
Tanggal lahir/Umur : 12 Januari 2007 / 12 tahun 11 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Alamat : Camplong

2. ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan keluarga pasien 28 Desember 2019)


Keluhan Utama : Penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien rujukan dari Puskesmas Naibonat dengan
diagnosis penurunan kesadaran e.c susp.Meningoensefalitis. Keluhan ini diawali oleh
pasien demam ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan demam ini terus
menerus setiap hari, dan menurun jika diberikan parasetamol namun tidak bertahan
lama dan demam muncul lagi. Selain demam pasin juga mengeluh nyeri
kepala.Nyeri kepala yg dirasakan terus menerus. Nyeri kepala yg dirasakan timbul
bersamaan dengan demam. Pasien juga terlihat mengantuk dan kurang berespon jika
dipanggil dan lemas 1 hari sebelum masuk rumah sakit Naibonat. Menurut keluaraga
pasien, sejak 1 tahun yang lau pasien mengalami penurunan berat badan dan sering
berkeringat dimalam. Keluhan batuk lama (-), Kejang (-), mimisan (-), perdarahan
gusi (-), nyeri menelan (-), nyeri dada (-), mual (+), muntah (+) 1 kali,nyeri perut (+),
BAB cair 1 x, buang air kecil (BAK) lancar sekitar 3-4x/sehari.
Riwayat penyakit dahulu: Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini
dan masukrumah sakit.
Riwayat penyakit keluarga: Ayah pasien mengalami batuk lama namun tidak
pernah memeriksakan diri ke rumah sakit dan sudah meninggal 1 tahun yang lalu.
Riwayat Kehamilan dan persalinan : Pasien merupakan anak ke 2 dari 2
bersaudara. Pada saat masa kehamilan ibu tidak pernah sakit berat dan rutin
melakukan perawatan antenatal care (ANC).Pasien lahir secara normal di rumah
4

dibantu oleh bidan. Berat badan lahir (BBL) tidak diketahui, panjang badan lahir
(PBL) tidak diketahui.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Dapat mengangkat kepala usia 3
bulan, dapat duduk usia 7 bulan, berjalan usia 11 bulan, bicara lancar usia 2 tahun.
Riwayat makanan :
- ASI Eksklusif: 0-6 bulan, ASI diteruskan hingga usia 2 tahun + MPASI
- Usia 6 bulan : MPASI seperti bubur ditambah sayur-sayuran, ikan, telur,daging
dan buah-buahan.
- Usia 1 tahun : Makanan keluarga sehari-hari nasi,ikan, sayur, daging, telur.
Riwayat Imunisasi: Imunisasi yang telah didapat HB0 usia 0 hari, BCG usia 1 bulan,
Polio 1, 2, 3, 4; DPT HB-HIB 1,2,3, dan campak usia 9 bulan, campak lanjutan, DPT
HB-HIB usia 18 bulan, DT kelas 1 SD, Td kelas 2 dan kelas 5 SD.

Riwayat Pengobatan :

IVFD D5 ½ NS 1350 CC/24 jam

PCT Syr 3x1 cth jika S: ≥ 38,5

Inj.Ceftriaxon 850 mg/12 jam/IV

Inj.Dexametasone 3 mg/12 jam /IV

III. PEMERIKSAAN FISIK (28 Desember 2019)


Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital : Tekanan darah = 90/70 mmHg
Nadi = 90 x/menit, reguler, kuat
Respirasi = 26 x/menit, reguler
Suhu badan = 37,1 0C
Berat badan : 17,5 kg
Tinggi badan : 130 cm
5

IMT /U : < -3 SD (Gizi buruk)

Kulit : Ruam (-), petekie (-), turgor kulit baik (-), sianosis (-).
Kepala : Bentuk normocephal (+), rambut hitam-agak kuning di
ujungrambut, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera tidak ikterik, edema palpebra
(-/-)
Hidung : Rhinorrhea (-)
Telinga : Otorrhea (-)
Mulut : Mukosa bibir kering (-), Tonsil T1–T1 non hiperemis, karies (+)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran tiroid (-)
Thorax : retraksi (-), iga mengambang
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris bilateral, retraksi dinding dada
(-)
Palpasi : Vocal fremitus kanan sama dengan kiri, tidak teraba massa, tidak
teraba krepitasi, tidak ada nyeri tekan
Perkusi paru : Sonor pada lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi :Suara napas vesikuler menurun pada hemithorax dextra, ronchi
(-/-), wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi :Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi :Teraba pulsasi ictus cordis pada ICS V linea axilaris anterior
sinistra
Perkusi : Batas jantung kiri : ICS V linea axilaris anterio sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, gallop (-), murmur (-)
6

Abdomen
Inspeksi :Tampak sedikit cembung
Auskultasi :Peristaltik usus (+)kesan normal
Perkusi : Timpani, Shifting dullnes (-)
Palpasi:Nyeri tekan (+),supel, hepar tidakteraba
Anggota gerak :- Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
- Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
Genital :-
Punggung : Tidak ada kelainan, lordosis (-), kifosis (-), scoliosis (-).
Otot-otot : Eutrofi

Pemerksaan tanda rangsang meningeal


Kaku kuduk (+)

IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratoriumtanggal 25/12/19
Hasil Satuan Nilai rujukan Ket
Hemoglobin 12,3 g/dL 12,8-16,8 L
Eritrosit 5,47 10^6/uL 4,50-6,20
Hematrokrit 37,1 % 40,0-54,0 L
MCV 67,8 fL 81,0-96,0 L
MCH 22,5 Pg 22,0-34,0 L
MCHC 33,2 g/L 31,0-37,0 L
Leukosit 13,85 10^3/uL 4.5-13.00 H
Neutrofil 90,1 % 25-60 H
Limfosit 7,7 % 25-50 L
Trombosit 557 10^3/ul 184-488 H

Pemeriksaan kimia Darah

Glukosa Sewaktu 122 mg/dl 70-150


Pemeriksaan Elektrolit

Natrium darah 126 mmol/L 132-147 L


7

Kalium darah 4,6 mmol/L 3,5-4,5 H


Klorida darah 83 mmol/L 96-111 L
Calsium ion 1270 mmol/L 1120-1320
Total kalsium 2,7 mmol/L 2,2-2,55 H

Laboratorium tanggal 27/12/19


Pemeriksaan Kimia darah
Glukosa Sewaktu 221 mg/dl 70-150 H

Analisis Cairan Otak


Hasil Satuan Nilai rujukan
Makroskopik
Warna Tidak berwarna Tidak berwarna
Kejernihan Jernih Jernih
Bekuan Negatif Negatif
Mikroskopik
Jumlah sel 0,162 10 ˄ 3/ul <5
PN 7 %
MN 93 %
Kimia LCS
Glukosa Cairan 63,0 Mg/dl 45-70
Otak
Protein Cairan Otak < 0,8 g/dL 1,5-4,0

Pemeriksan MSCT tanpa Kontras


8

Kesan : Tak tampak Spce occuppaying lesion pada brain parenkim

Kesan :
Cor : CTR : 54 %
Pulmo : Infiltrat kedua paru
- Susp. KP Primer
- Kardiomegali

V. RESUME
9

Pasien laki-laki uasia 12 tahun diantar keluarga dengan keluhan penurunan

kesadaran sejak 1 hari SMRS. Keluhan ini diawali oleh pasien demam ± 1 minggu

sebelum masuk rumah sakit. Keluhan demam ini terus menerus setiap hari, dan

menurun jika diberikan parasetamol namun tidak bertahan lama dan demam muncul

lagi. Selain demam pasin juga mengeluh nyeri kepala.Nyeri kepala yg dirasakan terus

menerus. Nyeri kepala yg dirasakan timbul bersamaan dengan demam. Pasien juga

terlihat mengantuk dan kurang berespon jika dipanggil dan lemas 1 hari sebelum

masuk rumah sakit Naibonat. Menurut keluaraga pasien, sejak 1 tahun yang lau

pasien mengalami penurunan berat badan dan sering berkeringat dimalam. Keluhan

batuk lama (-), Kejang (-), mimisan (-), perdarahan gusi (-), nyeri menelan (-), nyeri

dada (-), mual (+), muntah (+) 1 kali, nyeri perut (+), BAB cair 1 x, buang air kecil

(BAK) lancar sekitar 3-4x/sehari.

Keadaan Umum : Sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital : Tekanan darah = 90/70 mmHg
Nadi = 90 x/menit, reguler, kuat
Respirasi = 26 x/menit, reguler
Suhu badan = 37,1 0C
Berat badan : 17,5 kg
Tinggi badan : 109 cm
IMT/U : < - 3 SD
Status Gizi : Gizi Buruk
10

Pada pemeriksaan fisik ditemukan kaku kuduk (+). Pada pemeriksaan lumbal

pungsi, dtemukan LCS tidak berwarna dan jernih, terdapat peningkatan sel dengan

jumlah 163 dan rasio glukosa CSS: glukosa serum yaitu 0,28. Pada pemeriksaan foto

thorax diperoleh gambaran infiltrate pada kedua lapang paru dengan kesan susp.Kp

Primer.

Tanggal Follow up
28-12-2019 S: Demam (-), keringat malam (+), sesak
(+),pasien menegeluh nyeri perut, mual muntah
(-), pasien belum BAB sejak 1 minngu yg lalu.
BAK tidakada keluhan.
O:
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
T: 36,8oC RR: 30x/m, N: 90x/m
Mata : Anemis -/-, ikterik -/-
Thoraks : simetris, retraksi intercosta (-), iga
mengambang
Pulmo : Ves +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : BJ I/II tunggal, reguler, murmur (-),gallop(-)
Abdomen : Datar, nyeri epigastrium (+)
Eks: akral hangat, CRT < 3”
A:
Meningitis TB
P:
1. IVFD D5 1/2 NS 20 tpm
2. Ceftriaxone 2x 850 gr
3. Rifampisin 1x225 mg
4. INH 1x175
5. PZA 2x250
6. Etambutol 1x300
7. B6 1x1
8. Prednison 3xII

29-12-2019 S: Demam (-), keringat malam (+), sesak


(+),pasien menegeluh nyeri perut, mual muntah
11

(-), pasien belum BAB sejak 1 minngu yg lalu.


BAK tidak ada keluhan.
O:
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
T: 36,8oC RR: 28x/m, N: 86 x/m
BB : 17,5 kg
TB :109 cm
Status gizi : Gizi buruk
Mata : Anemis -/-, ikterik -/-
Thoraks : simetris, retraksi intercosta (-), iga
mengambang
Pulmo : Ves +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : BJ I/II tunggal, reguler, murmur (-),gallop(-)
Abdomen : Datar, nyeri epigastrium (+)
Eks: akral hangat, CRT < 3”
A:
Meningitis TB
Gizi buruk
P:
1. IVFD D5 1/2 NS 20 tpm
2. Ceftriaxone 2x 850 gr
3. Rifampisin 1x225 mg
4. INH 1x175
5. PZA 2x250
6. Etambutol 1x300
7. B6 1x1
8. Prednison 3xII
9. F75 8x100 cc
10. Dulcolax extra

30-12-2019 S: Demam (-), keringat malam (+), sesak (+)


berkurang,myeri kepala (+), nyeri perut (-), mual
muntah (-), pasien sudah BAB. BAK tidak ada
keluhan.Makan setengah porsi dan minum baik.
O:
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
T: 36,8oC RR: 26x/m, N: 94x/m
Mata : Anemis -/-, ikterik -/-
Thoraks : simetris, retraksi intercosta (-), iga
mengambang
12

Pulmo : Ves +/+, rh -/-, wh -/-


Cor : BJ I/II tunggal, reguler, murmur (-),gallop(-)
Abdomen : Datar, nyeri epigastrium (-)
Eks: akral hangat, CRT < 3”
A:
Meningitis TB
Gizi buruk
P : 1. IVFD D5 1/2 NS 20 tpm
2. Ceftriaxone 2x 850 gr
3. Rifampisin 1x225 mg
4. INH 1x175
5. PZA 2x250
6. Etambutol 1x300
7. B6 1x1
8. Prednison 3xII
9.F75 8x100 cc

31-12-2019 S: Demam (-), keringat malam (+), sesak (-)


berkurang, nyeri perut (-), mual muntah (-), pasien
sudah BAB. BAK tidak ada keluhan. Makan
setengah porsi.minum baik.
O:
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
T: 37,2oC RR: 23 x/m, N: 94x/m
Mata : Anemis -/-, ikterik -/-
Thoraks : simetris, retraksi intercosta (-), iga
mengambang
Pulmo : Ves +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : BJ I/II tunggal, reguler, murmur (-),gallop(-)
Abdomen : Datar, nyeri epigastrium (+)
Eks: akral hangat, CRT < 3”
A:
Meningitis TB
Gizi buruk
P : 1. IVFD D5 1/2 NS 20 tpm
2. Ceftriaxone 2x 850 gr
3.Rifampisin 1x225 mg
4. INH 1x175
5. PZA 2x250
6. Etambutol 1x300
7. B6 1x1
13

8. Prednison 3xII
9.F75 8x100 cc

01/01/202 S: Demam (-), keringat malam (+), sesak (-)


berkurang, nyeri perut (-), mual muntah (-), pasien
sudah BAB. BAK tidak ada keluhan. Makan
setengah porsi.minum baik.
O:
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
T: 37,0 oC RR: 23 x/m, N: 94x/m
Mata : Anemis -/-, ikterik -/-
Thoraks : simetris, retraksi intercosta (-), iga
mengambang
Pulmo : Ves +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : BJ I/II tunggal, reguler, murmur (-),gallop(-)
Abdomen : Datar, nyeri epigastrium (+)
Eks: akral hangat, CRT < 3”
A:
Meningitis TB
Gizi buruk
P : 1. IVFD D5 1/2 NS 20 tpm
2. Ceftriaxone 2x 850 gr
3. Rifampisin 1x225 mg
4. INH 1x175
5. PZA 2x250
6. Etambutol 1x300
7. B6 1x1
8. Prednison 3xII
9.F75 8x100 cc

02/01/2020 S: Demam (-), keringat malam (+), sesak (-)


berkurang, nyeri perut (-), mual muntah (-), pasien
sudah BAB. BAK tidak ada keluhan. Makan
minum baik.
O:
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
T: 37,0 oC RR: 21 x/m, N: 94x/m
Mata : Anemis -/-, ikterik -/-
14

Thoraks : simetris, retraksi intercosta (-), iga


mengambang
Pulmo : Ves +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : BJ I/II tunggal, reguler, murmur (-),gallop(-)
Abdomen : Datar, nyeri epigastrium (+)
Eks: akral hangat, CRT < 3”
A:
Meningitis TB
Gizi buruk
P : 1. IVFD D5 1/2 NS 20 tpm
2. Ceftriaxone 2x 850 gr
3. Rifampisin 1x225 mg
4. INH 1x175
5. PZA 2x250
6. Etambutol 1x300
7. B6 1x1
8. Prednison 3xII
9. F100 8x200 cc

VI. DISKUSI dan PEMBAHASAN

Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen

yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis

tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen

bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada paru. (4)

Diagnosis ataupun suspek meningitis TB memerlukan gejala dan tanda

meningitis yang disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa dan

pada hasil foto rontgen toraks serta cairan serebrospinalis menunjukkan

infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.(4)

Dalam anamnesis didapatkan gejala klinis demam lebih dari 2 minggu,


15

batuk lebih dari 2 minggu dan terjadi penurunan berat badan disertai keringat

malam yang mengarah ke gejala klinis dari TB. Pada Meningitis TB

diperlukan gejala klinis saat akut adalah defisit saraf kranial, penurunan

keadaran, nyeri kepala, meningismus, dan perubahan status mental, kejang.

Gejala prodromal yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala, muntah, fotofobia,

dan demam. Adapun Trias Meningitis yaitu demam, sakit kepala, kaku kuduk
(4)
. Pada kasus ini gejala klinis sesuai dengan teori yaitu pasien mengalami

pasien mengalami demam, penurunan berat badan, penururnan nafsu makan,

keringat malam, penurunan kesadaran, nyeri kepala, muntah yang mengarah

ke Meningitis Tb.

Mycobacterium tuberculosis pertama akan menginfeksi paru-paru dan

bermultiplikasi pada makrofag alveolar. Multiplikasi makrofag alveolar

menyebabkan penyebaran Mtb ke organ lain, salah satunya otak khususnya

pada bagian selaput pembungkus otak (meninges).


16

Tubuh akan mengalami infeksi dan terjadi proses peradangan pada

selaput pembungkus otak, hal ini menyebabkan tubuh menstimulasi monosit

dan makrofag untuk memproduksi pirogen endogen seperti IL-1, IL-6, TNF-α,

dan IFN-γ. Sitokin pirogenik akan bekerja pada Preoptic Anterior

Hypothalamus untuk menginduksi produksi Prostaglandin E2 dan terjadi

peningkatan set point temperatur tubuh yang menyebabkan pasien demam.

Prostaglandin E2 juga meningkatkan Blood Brain Barrier Permeability yang

akan menyebabkan edema vasogen dan mengakibatkan terjadi peningkatan

tekanan intrakranial di otak. Peningkatan tekanan intrakranial ini akan

bermanifestasi dengan nyeri kepala, muntah,dan penurunanan kesadaran.


17

MTB diklasifikasikan ke dalam tiga tingkat keparahan berdasar British

Medical Research Council TBM grade. Tingkat 1 MTB didefinisikan dengan

Glasgow coma score (GCS) 15 dengan tanpa defisit neurologi fokal, Tingkat 2

MTB dengan GCS 15 dan defisit neurologi fokal, atau GCS 11-14, Tingkat 3

MTB dengan GCS ≤10.(9)Pada kasus ini pasien masuk kedalam tingkat 3

MTB karena GCS pasien pada saat masuk yaitu GCS E3V2M5

Pada pemeriksaan fisik pasien dengan TB paru, kelainan yang didapat

tergantung luas kelainan. Pada awal perkembangan penyakit sulit ditemukan

kelainan. Pada umumnya kelainan paru terletak di lobus superior terutama

apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Temuan yang

bisa didapatkan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas

melemah, ronki basah, tanda- tanda penarikan paru, diafragma, dan

mediastinum. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda rangsal

meningeal dan Defisit neurologis fokal lebih sering dijumpai pada pasien

dengan meningitis TB dibandingkan dengan meningoensefalitis lainnya.

Rigiditas ekstrapiramidal dan gangguan pergerakan, postur deserebrasi dan

neuritis optik juga lebih sering dijumpai pada kasus meningitis TB, hal ini

mungkin dikarenakan meningitis TB menghasilkan eksudat basal yang lebih

banyak, sehingga mempengaruhi struktur ganglia basal, batang otak dan saraf

kranialis.(4) Pada pasien ini ditemukan adanya tanda rangsang meningeal yaitu

kaku kuduk. Kaku kuduk positif menandakan adanya perangsangan pada

meningealatau pada selaput otak.


18

Radiografi berperan sangat penting dalam menegakkan diagnosis

meningitis TB melalui Computed Tomography (CT) scan dan Magneto

Resonance Imaging (MRI), serta foto dada yang memberikan gambaran TB

mendukung diagnosis meningitis TB pada anak.23 Hasil CT scan kepala dan

MRI khususnya pada daerah basal otak, dengan gambaran lesi parenkim,

infark, dan tuberkuloma. Hidrosefalus dijumpai pada sebagian besar pasien.

Tuberkuloma intrakranial, yang selanjutnya sering ditemukan pada negara

dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi ditandai dengan gambaran space

occupying lesion. Sebagian besar tuberkuloma. Pada beberapa kasus biasanya

gambaran CT Scan tidak ditemukan kelainan. Pada kasus ini pada Rontgen

thorax ditemukan adanya infiltrat pada kedua lapang paru (4). Pada Pemeriksan

CT Scan tidak ditemukan kelainan dan space occupying lesion.

Diagnosis pasti meningitis ditegakkan melalui analisis, pewarnaan dan

kultur cairan serebrospinal (CSS). Pada prinsipnya, prosedur pengambilan

sampel cairan serebrospinal melalui pungsi lumbal sebaiknya dikerjakan pada

setiap kecurigaan meningitis dan/atau ensefalitis.10 Kelainan CSS klasik pada

meningitis tuberkulosis adalah sebagai berikut: (1) peningkatan tekanan

lumbal; (2) peningkatan jumlah hitung leukosit antara 10-500 sel/mm3 dengan

dominan limfosit; (3) peningkatan konsentrasi protein berkisar 100-500 mg/dl;

(4) penurunan konsentrasi glukosa (konsentrasi glukosa rata-rata sekitar 40

mg/dl), (5) Rasio glukosa CSS: serum ≤ 0,4 dan (6) kultur positif

Mycobacterium tuberculosis pada 75% pasien setelah 3-6 minggu biakan.


19

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan dengan teknik

PCR dan diagnostik molekular lainnya. Sensitivitas teknik PCR untuk deteksi

DNA Mycobacterium tuberculosis dalam CSS sekitar 54%, namun hasil

positif-palsu juga dapat terjadi sekitar 3-20% kasus.(10) Pemberian terapi tidak

perlu menunggu hasil pemeriksaan basil tahan asam melalui apusan atau

kultur, baik dari sputum, darah maupun CSS.(10,11) Hal ini karena bahkan

pemeriksaan terbaik sekalipun mungkin tidak dapat menemukan basil

tuberkulosis pada pasien meningitis tuberkulosis, infeksi HIV dan anak kecil.

Oleh karena itu, pada kondisi seperti ini atau pada pasien dengan sakit berat

dimana dicurigai tuberkulosis, maka penilaian klinis dapat digunakan untuk

memulai pemberian terapi empiris sembari menunggu hasil akhir pemeriksaan

seperti kultur yang membutuhkan waktu lama atau bahkan ketika hasil

pemeriksaan negatif. (12)

Pada kasus ini dilakukan pungsi lumbal dan analisis CSS terdapat

peningkatan jumlah sel, rasio glukosa serum : CSS adalah 0,28 diamana

glukosa serum 221mg/dl dan glukosa cairan serebrospinal 63,0 g/dl.

Hasil pemeriksaan ini sesuai dengan teori analisis cairan serebrospinalyang

mengarah pada diagnosis meningitis tuberkulosa.

Tuberkulosis paru dan ekstraparu ditatalaksana dengan regimen

antituberkulosis yang sama, yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid,

etambutol selama 2 bulan fase intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4


20

bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli merekomendasikan pemberian

terapi obat anti tuberkulosis pada meningitis tuberkulosis selama minimal 9

hingga 12 bulan. WHO dan PDPI mengklasifikasikan meningitis tuberkulosis

(tuberkulosis ekstra paru, kasus berat) ke dalam kategori I terapi tuberkulosis.

Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus meningitis

tuberkulosis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan.(13,14)

Pada kasus ini pasien mendapat rifampisisn, Izoniazid, pirazinamid dan

etambutol diberikan juga vit. B6. Pada kasus diberikan Vitamin B6 1x1 tablet yang
21

dimaksudkan untuk mencegah efek samping INH berupa neuritis perifer yang timbul

akibat inhibisi kompetitif pada metabolisme piridoksin.(7)

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua

jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh

isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat

perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.

Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan

serebrospinal. Distribusi rifampisin ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada

keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal.

Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan

air mata menjadi warna oranye kemerahan(4,7,12).

Isoniazid ( H ) Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada

kuman intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan

tubuh, termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa,

dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid mempunyai dua efek toksik

utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer(4,7,12).

Pirazinamid ( Z ) Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi

baik pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat ini bersifat

bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diabsorbsi baik pada saluran

cerna. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna,

dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak) (4,7,12).


22

Etambutol ( E ) Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat

bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain

itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap

obat-obat lain. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan

buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak

yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya(4,7,12).

Pada kasus ini,pasien juga diberikan kortikosteroid yaitu prednisone. Pemberiaan

kortikosteroid berupa deksametason atau prednisolon yang ditappering off selama 6-8

minggu direkomendasikan pada pasien meningitis tuberkulosis. Kortikosteroid

sebaiknya diberikan intravena pada awalnya dan dilanjutkan dengan pemberian per

oral sesuai klinis pasien. Respon jaringan terhadap inflamasi pada meningitis

tuberkulosis adalah eksudat inflamasi mendorong struktur pada bagian dasar otak,

nervus dan pembuluh darah di daerah ini. Vaskulopati mempengaruhi sirkulus

Willisi, sistem vertebrobasiler, dan cabang kecil dari arteri serebri media

menyebabkan infark. Selanjutnya, eksudat di basal menghambat aliran cairan

serebrospinal setinggi tentorium menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan

hidrosefalus.21 Proses patofisiologi pada meningitis tuberkulosis ini yang mendorong

penggunaan antiinflamasi kortikosteroid untuk memodifikasi kerusakan jaringan yang

terjadi. Pemberian kortikosteroid dapat menekan respons inflamasi dalam ruang

subaraknoid sehingga mengurangi risiko edema serebral, peningkatan tekanan

intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Selain itu,
23

pemberian kortikosteroid terbukti memperbaiki outcome dengan penurunan tingkat

mortalitas dan keparahan dari komplikasi neurologis.(16)

Timbulnya penyakit TB paru tidak lepas dari peranan faktor risiko. Status gizi

sangat berperan penting. Anak dengan gizi buruk akan mengakibatkan

kekurusan,lemah dan rentan terserang infeksi TB. Hal ini dikarenakan sistem

kekebalan tubuh yang berkurang pada anak.(17) Status giziyang buruk dapat

memengaruhi tanggapan tubuh berupa pembentukan antibodi dan limfosit terhadap

adanya kuman penyakit. Pembentukan ini memerlukan bahan baku protein dan

karbohidrat, sehingga pada anak dengan gizi buruk produksi antibodi dan limfosit

terhambat. Gizi buruk dapat menyebabkan gangguan imunologi dan memengaruhi

proses penyembuhan penyakit.(17)

Pemberian antibiotik menurut World Health Organization (WHO) pada anak gizi

buruk penting diberikan dikarenakan rentan terkena infeksi bakteri. WHO

merekomendasikan antibiotik spektrum luas seperti kotrimoksazol 2x1 hari selama 5

hari, untuk gizi buruk tanpa komplikasi. Sedangkan pemberian amoksisilin, serta

gabungan ampisilin dan gentamisin untuk gizi buruk dengan komplikasi. Berdasarkan

penelitian dan data epidemiologi pada pasien gizi buruk tanpa komplikasi lebih baik

diberikan antibiotik seftriakson dan kotrimoksazol selama 5 hari.Pada pasien ini

diberikan ceftriaxon dikarenakanpasien merupakan gizi buruk tanpa komplikasi TB.


(18)

Pasien ini juga ditemukan gizi buruk dan diberikan terapi susu formula F75 dan

dilanjutkan dengan F100. Pada kasus ini, anak sudah dapat menghabiskan F75
24

pemberian 4 jam dan F100 pemberian minimum sehingga dilanjutkan bertahap 10-

15ml setiap harinya dan saat ini pasien sudah mendapatkan F100 6x100. Hal ini

sesuai dengan teori yaitu pada fase stabilisasi diberikan F75 sesuai kondisi dan berat

badan anak. F75 dapat diganti ke F100 jika anak mampu menghabiskan F75 dalam

waktu 4 jam. Setelah fase stabilisasi dilanjutkan dengan fase trasnsisi dan rehabilitasi

dimana anak diberikan susu F100 dosis maksimal ditambah cairan dan makanan

untuk mengejar tumbuh kembang anak.(19)

KESIMPULAN
Telah dilaporkan satu laporan kasus anak laki-laki berusia 12 tahun dengan

diagnosis meningitis TB dan gizi buruk. Dari kasus di atas, pendekatan dalam

menegakkan diagnosis dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan laboratorium, dimana hasil-hasil dari pemeriksaan bermanfaat sebagai

penuntun terapi.
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 2016. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia, Perpari, Jakarta.pp:1-38
2. World Health Organization. Global tuberculosis report 2016: World Health
Organization. Geneva: WHO; 2016.
3. Rahajoe, dkk. Petunjuk teknis manajemen TB Anak. Jakarta:Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan PenyehatanLingkungan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia; 2016
4. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. Nicola Principi*,
Susanna Esposito. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Università
degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale Maggiore
Policlinico, Via Commenda 9, 20122 Milan, Italyen
5. Meningitis tuberculosis.
http://www.mayoclinic.com/health/tuberculosis Accessed September, 25th
2013.
6. Epidemiologi tbc Indonesia. http://www.tbindonesia.or.id.
Accessed September, 25th2013.
7. Rogelio Hernández-Pando, Rommel Chacón-Salinas, Jeanet Serafín-López, and
Iris Estrada.,Immunology, pathogenesis, virulence., In: tuberculosis 2007 from
basic science to patient care.,2007.,Diunduh dari www.tuberculosistextbook.com.,
pp:157-205
8. Nofareni. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU.
2003; 1-13.
9. McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Rote NS. Pathophysiology The
Biologic Basis for Disease in Adults adn Children seventh edition. Elsevier;
2014. 498-500 p.
10. Goetz CG. Textbook of clinical neurology. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier;
26

2007.
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran tata laksana tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.
12. TB CARE I Organizations. International standards for tuberculosis care. Edisi
ke-3. TB CARE I, The Hague; 2014. hlm. 28.
13. Thamrin APY. Pria 31 tahun dengan suspek meningitis tuberkulosis dan AIDS.
MEDULA. 2015; 4(1):1-7.
14. Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis & penatalaksanaan
tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2006.
15. Van De Beek D, Brouwer M, Thwaites G. Advances in treatment of bacterial
meningitis. Lancet. 2012; 380:1693-702.
16. Thwaites GE, Bang ND, Dung NH et al. Dexamethasone for the treatment of
tuberculous meningitis in adolescents and adults. NEJM. 2004; 351(17):1741-5.
17. Husna CA, Yani FF, Masri M. Gambaran status gizi pasien tuberkulosis anak di
RSUP dr. M. Djamil Padang. JKes Andalas.2016; 5(1):228-32.
18. Dubray. Treatment of severe malnutrition with 2-day intramuscular ceftriaxone
vs 5-day amoxicilin. Annals tropic ped. 2008; 28(13):1322.
19. Departemen kesehatan Republik Indonesia.,Dalam: Bagan Tatalaksana Anak Gizi
Buruk.,Edisi Revisi, cetakan 7., Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.,2013., pp:7-14

Anda mungkin juga menyukai