Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN MASALAH AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA (ALL)

DI RUANG PUDAK RSUP SANGLAH

OLEH:

AYU PRITA WINDARI


NIM. 1402105060

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR, 2018
LAPORAN PENDAHULUAN
AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA (ALL)

A. PENGERTIAN

Leukemia adalah keganasan organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang


didominasi oleh limfoblas yang abnormal. Leukemia limfoblastik akut adalah
keganasan yang sering ditemukan pada masa anak-anak (25-30% dari seluruh
keganasan pada anak), anak laki lebih sering ditemukan dari pada anak
perempuan, dan terbanyak pada anak usia 3-4 tahun. Faktor risiko terjadi
leukimia adalah faktor kelainan kromosom, bahan kimia, radiasi faktor
hormonal,infeksi virus (Ribera, 2009).
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan pada sel-sel
prekursor limfoid, yakni sel darah yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi
limfosit T dan limfosit B. LLA ini banyak terjadi pada anak-anak yakni 75%,
sedangkan sisanya terjadi pada orang dewasa. Lebih dari 80% dari kasus LLA
adalah terjadinya keganasan pada sel T, dan sisanya adalah keganasan pada sel
B.

B. EPIDEMIOLOGI
Insidennya 1 : 60.000 orang/tahun dan  didominasi oleh anak-anak usia < 15
tahun, dengan insiden tertinggi pada usia 3-5 tahun (Landier dkk, 2004).

ALL (Acute Lymphoid Leukemia) adalah insiden paling tinggi terjadi pada
anak-anak yang berusia antara 3 dan 5 tahun. Anak perempuan menunjukkan
prognosis yang lebih baik daripada anak laki-laki. Anak kulit hitam mempunyai
frekuensi remisi yang lebih sedikit dan angka kelangsungan hidup (survival rate)
rata-rata yang juga lebih rendah. ANLL (Acute Nonlymphoid Leukemia)
mencakup 15% sampai 25% kasus leukemia pada anak. Resiko terkena penyakit
ini meningkat pada anak yang mempunyai kelainan kromosom bawaan seperti
Sindrom Down. Lebih sulit dari ALL dalam hal menginduksi remisi (angka
remisi 70%). Remisinya lebih singkat pada anak-anak dengan ALL. Lima puluh
persen anak yang mengalami pencangkokan sumsum tulang memiliki remisi
berkepanjangan. (Betz, Cecily L. 2002. hal : 300)

C. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi
yang menyebabkan terjadinya leukemia yaitu :
1. Genetik
a. Keturunan
1) Adanya Penyimpangan Kromosom
Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital,
diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s
Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld,
sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von
Reckinghausen, dan neurofibromatosis. Kelainan-kelainan
kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi
gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola
kromosom yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy.

2) Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar
identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun
pertama kelahiran. Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan
insidensi leukemia yang sangat tinggi.
3) Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan
kerusakan kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan
obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat
pada leukemia akut, khususnya ALL.

4) Virus
Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA
virus menyebabkan leukemia pada hewan termasuk primata.
Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA dependent
DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada
sel-sel normal dan enzim ini berasal dari virus tipe C yang
merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada hewan.
(Wiernik, 1985). Salah satu virus yang terbukti dapat
menyebabkan leukemia pada manusia adalah Human T-Cell
Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell
Leukemia.

2. Bahan Kimia dan Obat-obatan


a. Bahan Kimia
Paparan kromis dari bahan kimia (misal : benzen) dihubungkan
dengan peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu
yang sering terpapar benzen. Selain benzen beberapa bahan lain
dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk –
produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang
elektromagnetik

b. Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik (misal : alkilator dan inhibitor
topoisomere II) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang
menyebabkan ALL.  Kloramfenikol,  fenilbutazon, dan 
methoxypsoralen  dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang
yang lambat laun menjadi ALL

c. Radiasi
Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia (ANLL) ditemukan
pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi
radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia
pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom.
Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat
terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja yang terekspos
radiasi dan para radiologis .

d. Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain
disebut Secondary Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related
leukemia. Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma,
myeloma, dan kanker payudara. Hal ini disebabkan karena obat-
obatan yang digunakan termasuk golongan imunosupresif selain
menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan DNA .

D. PATOFISIOLOGI
Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC)
dan leukosit atau sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh sel
darah normal diperoleh dari sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh
sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke dalam lymphpoid dan sel batang
darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal bakal sel yang terbagi
sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai hematopoiesis dan
terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang belakang., panggul, tulang
dada, dan pada proximal epifisis pada tulang-tulang yang panjang.
ALL meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan
lemah dan pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum tulang.
Biasanya dijumpai tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda dalam
sumsum tulang mulai dari yang sangat mentah hingga  hampir menjadi sel
normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk untuk
menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan
sel muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis, kadang-kadang leukopenia
(25%). Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula kadar
hemoglobin dan trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya
menunjukkan sel-sel blas yang dominan. Pematangan limfosit B dimulai dari sel
stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre pre-B, early B, sel B intermedia,
sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga berasal dari sel
stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel timosit imatur,
cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel limfosit T helper dan limfosit
T supresor.
Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat
ekstramedular sehingga anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan
hepatosplenomegali. Sakit tulang juga sering dijumpai. Juga timbul serangan
pada susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah-muntah, “seizures” dan
gangguan penglihatan.
Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam
jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ,
termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal.
Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer
sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan
haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel
darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan
pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang
serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan
jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan
gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem
retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh,
sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu
metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer &
Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi Leukemia
Klasifikasi leukimia biasanya di dasarkan pada:
a. Perjalanan dan lamanya penyakit
o Leukemia akut
Di hubungkan dengan awitan (omset) cepat, jumlah leukosit tidak matang berlebihan,
dengan cepat menjadi anemia, trombositupenia berat, demm tinggi, lesi infektif pada
mulut dan tenggorok, perdarahan dalam area vital, akumulasi leukosit dalam organ vital,
dan infeksi berat. Pemeriksaan laboritorium menunjukkan beberapa derajat anemia dan
trombositopenia, leukemia akut ini sesuai dengan jenis sel yang terlibatdan kematangan
sel tersebut.
o Leukemia menahun
Merupakan 35% sampai 50% dari semua kasus leukemia. Awitan dari penyakit ini di
karakteristikkan oleh awitan bertahab dan leukosit yang lebih matang, penyakit ini
paling banyak mengenai orang dewasa dan lansi. Perjalanan penyakit berlangsung lebih
lambat dari pada leukemia akut. Analisis laboratorium biasanya menunjukkan sel
leukemik yang terdiferensiasi baik yang dapat di klasifikasikansebagai imfositik atau
granulositik.
o Leukemia kronik
Didasarkan nya pada di temukan nya sel darah putih matang yang menyolok –
granulosit (leukemia granulositik/mielositik) atau limfosit (leukemia limfositik)
b. Jenis sel dan jaringan abnormal yang terkait
kategori besar berdasarkan sal jaringan adalah
o Mieloid yang mencakup granulosit (neutrofil, eusinofil dan basofil)
o Monosit
o Limfositik

F. GEJALA KLINIS
1. Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
2. Anoreksia, kehilangan berat badan, malaise
3. Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel leukemia),
biasanya terjadi pada anak
4. Demam, banyak berkeringat pada malam hari(hipermetabolisme)
5. Infeksi mulut, saluran napas, selulitis, atau sepsis. Penyebab tersering adalah
gramnegatif usus
6. Stafilokokus, streptokokus, serta jamur 
7. Perdarahan kulit, gusi, otak, saluran cerna, hematuria
8. Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati
9. Massa di mediastinum (T-ALL)
10. Leukemia SSP (Leukemia cerebral); nyeri kepala, tekanan intrakranial naik,
muntah,kelumpuhan saraf otak (VI dan VII), kelainan neurologik fokal, dan
perubahan status mental.

G. PEMERIKSAAN FISIK

H. PENATALAKSAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN

1. Leukemia Limfoblastik Akut :


Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan
menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali
di dalam sumsum tulang. Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat
di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung
kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.

Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin


memerlukan: transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi
trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi.
Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan dosisnya
diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu kombinasi terdiri
dari prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari vinkristin dengan
antrasiklin atau asparaginase intravena. Untuk mengatasi sel leukemik di
otak, biasanya diberikan suntikan metotreksat langsung ke dalam cairan
spinal dan terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu atau beberapa bulan
setelah pengobatan awal yang intensif untuk menghancurkan sel leukemik,
diberikan pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi) untuk
menghancurkan sisa-sisa sel leukemik. Pengobatan bisa berlangsung selama
2-3 tahun. Sel-sel leukemik bisa kembali muncul, seringkali di sumsum
tulang, otak atau buah zakar. Pemunculan kembali sel leukemik di sumsum
tulang merupakan masalah yang sangat serius. Penderita harus kembali
menjalani kemoterapi. Pencangkokan sumsum tulang menjanjikan
kesempatan untuk sembuh pada penderita ini. Jika sel leukemik kembali
muncul di otak, maka obat kemoterapi disuntikkan ke dalam cairan spinal
sebanyak 1-2 kali/minggu. Pemunculan kembali sel leukemik di buah zakar,
biasanya diatasi dengan kemoterapi dan terapi penyinaran.

2. Pengobatan Leukeumia Limfoblastik Kronik


Berkembang dengan lambat, sehingga banyak penderita yang tidak
memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun sampai jumlah limfosit
sangat banyak, kelenjar getah bening membesar atau terjadi penurunan
jumlah eritrosit atau trombosit. Anemia diatasi dengan transfusi darah dan
suntikan eritropoietin (obat yang merangsang pembentukan sel-sel darah
merah). Jika jumlah trombosit sangat menurun, diberikan transfusi
trombosit. Infeksi diatasi dengan antibiotik.

Terapi penyinaran digunakan untuk memperkecil ukuran kelenjar getah


bening, hati atau limpa. Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid
diberikan jika jumlah limfositnya sangat banyak. Prednison dan
kortikosteroid lainnya bisa menyebabkan perbaikan pada penderita leukemia
yang sudah menyebar. Tetapi respon ini biasanya berlangsung singkat dan
setelah pemakaian jangka panjang, kortikosteroid menyebabkan beberapa
efek samping. Leukemia sel B diobati dengan alkylating agent, yang
membunuh sel kanker dengan mempengaruhi DNAnya. Leukemia sel
berambut diobati dengan interferon alfa dan pentostatin.
Penatalaksanaan lain :
1. Pelaksanaan Kemoterapi
a. Melalui mulut
b. Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena)
c. Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel)
d. Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal
e. Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua
fase yang digunakan untuk semua orang.

2. Tahap 1 (terapi induksi)


Tujuan dari tahap pertama pengobatan auntuk membunuh sebagian besar
sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi
kemoterapi biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit yang panjang
karena obat menghancurkan banyak sel darah normal dalam proses
membunuh sel leukemia. Pada tahap ini dengan memberikan kemoterapi
kombinasi yaitu daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.

3. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)


Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi
yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk
mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat.
Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan kemudian.

4. Tahap 3 ( profilaksis SSP)


Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP.
Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis
yang lebih rendah. Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang
berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk
mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat.

5. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)


Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi. Tahap
ini biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun. Angka harapan hidup yang
membaik dengan pengobatan sangat dramatis. Tidak hanya 95% anak
dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60% menjadi sembuh. Sekitar 80%
orang dewasa mencapai remisi lengkap dan sepertiganya mengalami
harapan hidup jangka panjang, yang dicapai dengan kemoterapi agresif
yang diarahkan pada sumsum tulang dan SSP.

6. Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi
untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini
diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik. Bagi pasien
dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi yang digunakan
adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel
leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh
sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi penderita
dengan leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan adalah
bahan alami bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-
sel leukemia.

7. Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar
berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar
pasien, sebuah mesin yang besar akan mengarahkan radiasi pada limpa,
otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-sel
leukemia ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang diarahkan ke
seluruh tubuh. (radiasi seluruh tubuh biasanya diberikan sebelum
transplantasi sumsum tulang.)

8. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)


Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell).
Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat
yang tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan menghancurkan
sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum tulang.
Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat
melalui tabung fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik besar di
daerah dada atau leher. Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel
induk (stem cell) hasil transplantasi ini. Setelah transplantasi sel induk
(stem cell), pasien biasanya harus menginap di rumah sakit selama
beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien dari infeksi
sampai sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan
sel-sel darah putih dalam jumlah yang memadai.

9. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%.


Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan
transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan
heparin.

10. Kortikosteroid

11. Sitostatika.

12. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam


kamar yang suci hama).

13. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai


remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 - 106), imunoterapi
mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian
imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar
terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan
spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah
diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang
spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan
dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh
sempurna.

Cara pengobatan :
a. Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berba-
gai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sam-
pai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
b. Konsolidasi
Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
c. Rumat (maintenance)
Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu masa
remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika
separuh dosis biasa.
d. Reinduksi
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan
setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti pada induksi se-
lama 10-14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.
Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk
mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400-
2.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia sereb-
ral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
f. Pengobatan imunologik
Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali
dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna.
(Sutarni Nani, 2003)

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang mengenai leukemia adalah :
1. Hitung darah lengkap menunjukkan normositik, anemia normositik.
2. Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 ml
3. Retikulosit : jumlah biasanya rendah
4. Jumlah trombosit : mungkin sangat rendah (<50.000/mm)
5. SDP : mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP yang imatur
(mungkin menyimpang ke kiri). Mungkin ada sel blast leukemia.
6. PT/PTT : memanjang
7. LDH : mungkin meningkat
8. Asam urat serum/urine : mungkin meningkat
9. Muramidase serum (lisozim) : penigkatabn pada leukimia monositik akut
dan mielomonositik.
10. Copper serum : meningkat
11. Zinc serum : meningkat/ menurun
12. Biopsi Sumsum Tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau
lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan
prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
13. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat
keterlibatan

J. KOMPLIKASI
 Perdarahan akibat defisiensi trombosit (trombositopenia). Angka
trombosit yang rendah ditandai  dengan :
 Memar (ekimosis)
 Petchekie (bintik perdarahan kemerahan atau keabuan sebesar ujung
jarum dipermukaan kulit)
 Perdarahan berat jika angka trombosit < 20.000 mm 3 darah. Demam dan
infeksi dapat memperberat perdarahan
 Infeksi akibat kekurangan granulosit matur dan normal. Meningkat
sesuai derajat netropenia dan disfungsi imun.
 Pembentukan batu ginjal dan kolik ginjal.
 Akibat penghancuran sel besar-besaran saat kemoterapi meningkatkan
kadar asam urat sehingga perlu asupan cairan yang tinggi.
 Anemia
 Masalah gastrointestinal.
Mual
Muntah
Anoreksia
Diare
 Lesi mukosa mulut terjadi akibat infiltrasi lekosit abnormal ke organ
abdominal, selain akibat kemoterapi.

1.PENGKAJIAN
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan data yang
akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola
pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta
merumuskan diagnosa keperawatan. (Budi Anna Keliat, 1994)

Pengkajian pada leukemia meliputi:

a.Riwayat penyakit

b.Kaji adanya tanda-tanda anemia:

1).Pucat
2).Kelemahan
3).Sesak
4).Nafas cepat

c.Kaji adanya tanda-tanda leukopenia:

1).Demam
2).Infeksi

d.Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia:

1).Ptechiae
2).Purpura
3).Perdarahan membran mukosa

e.Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola:


1).Limfadenopati
2).Hepatomegali
3).Splenomegali

f.Kaji adanya pembesaran testis

g.Kaji adanya:

1).Hematuria
2).Hipertensi
3).Gagal ginjal

4).Inflamasi disekitar rektal

5).Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani, 2001: 178)

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko Infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
3. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan
atau stomatitis
5. Nyeri berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia

L. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan efek fisiologis dari sel : depresi sumsum tulang,
hepar, limpha, pembesaran organ/nodus limfe (Wong, 2004).
Tujuan :
Nyeri berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan
kriteria hasil wajah rileks, mampu istirahat tenang, melaporkan nyeri
terkontrol.
Intervensi :
a. Monitor skala nyeri.
b. Ajarkan pasien teknik relaksasi dan distraksi dengan nafas dalam.
c. Berikan posisi yang nyaman, sokong sendi dan ekstremitas dengan
bantal.
d. Ubah posisi secara periodik dan berikan atau bantu latihan rentang gerak
lembut.
e. Berikan obat analgesik sesuai indikasi.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, sekunder


penurunan oksigen ke jaringan (Wong, 2004 : 536).
Tujuan :
Anak dapat beraktifitas sesuai kemampuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria hasil, peningkatan toleransi aktivitas,
beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari sesuai kemampuan.
Intervensi :
a. Berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung.
b. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas.
c. Berikan posisi semi fowler tinggi untuk pertukaran udara yang optimal.
d. Ajak bermain untuk mengatasi kebosanan dan menstimulasi tumbuh
kembang anak.
e. Anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas anak.

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan


tubuh sekunder : gangguan dalam kematangan sel darah putih, prosedur
infasif (Wong, 2004 : 414).
Tujuan :
Tidak menunjukkan gejala-gejala infeksi setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria hasil, tidak ada tanda-tanda infeksi, leukosit
dalam batas normal ( 4000-10.000/mmk), suhu tubuh normal (35,5-37º C).
Intervensi :
a. Gunakan teknik aseptik untuk seluruh prosedur infasif.
b. Ajarkan keluarga untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah membantu
aktivitas anak.
c. Ciptakan lingkungan yang bersih.
d. Evaluasi keadaan anak terhadap tempat-tempat munculnya infeksi.
e. Berikan antibiotik sesuai program.
f. Monitor penurunan jumlah leukosit yang menunjukkan anak memiliki
resiko besar untuk terkena infeksi.

4. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


peningkatan kebutuhan kalori dan kesulitan mencerna kalori yang
mencakupi sekunder akibat kanker (Carpenito, 2001 : 260).
Tujuan :
Nutrisi sesuai kebutuhan setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan
kriteria hasil, klien dapat menghabiskan satu porsi makanannya, albumin
dalam batas normal, tidak mual dan muntah.
Intervensi :
a. Observasi dan catat masukan makanan.
b. Observasi dan catat mual dan muntah.
c. Timbang berat badan setiap hari.
d. Berikan makanan porsi kecil tapi sering.
e. Anjurkan keluarga untuk memodifikasi lingkungan atau variasi
makanan.
f. Berikan antiemetik sesuai advis.

5. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan melemahnya


kemampuan fisik sekunder terhadap kanker. (Carpenito, 2001 : 156)
Tujuan :
Mempertahankan fungsi motorik dan kemampuan komunikasi verbal yang
ada atau meningkatkannya dengan kriteria hasil anak mampu melaksanakan
tugas perkembangannya sesuai usia, orang tua mengerti tugas-tugas
perkembangan secara normal sesuai usia, orang tua mengerti dan mampu
menstimulasi perkembangan anak sesuai usia.
Intervensi :
a. Ajari orang tua tentang perkembangan anak sesuai usia.
b. Perkuat perkembangan kata-kata dengan pengulangan kata-kata yang
digunakan anak.
c. Ajak anak untuk bermain, dengan bermain untuk merangsang
kemampuan motorik dan pendengaran.
d. Kaji tingkat perkembangan yang telah dicapai anak.

6. Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan pengaruh proliferasi sel


(Wong, 2004 : 596).
Tujuan :
Anak tidak mengalami luka atau perdarahan setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria hasil kulit dan selaput lendir baik, tidak ada
memar atau ptekie, jumlah trombosit dalam batas normal (150.000 –
450.000/mmk).
Intervensi :
a. Berikan perawatan pada klien dengan lembut.
b. Berikan tekanan halus pada daerah penusukan setidaknya 10 menit
setelah penyuntikan.
c. Berikan lapisan yang lembut pada tempat tidur.
d. Observasi adanya epistaksis dan perdarahan di bawah kulit.
e. Observasi jumlah trombosit.
f. Kolaborasi untuk pemberian transfuse dengan dokter.

7. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis obat, efek samping obat


berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan :
Keluarga dapat menjelaskan tentang Leukemia Limfositik Akut dengan
kriteria hasil, keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan gejala,
efeki samping obat Leukemia Limfositik Akut.
Intervensi :
a. Jelaskan mengenai pengertian, tanda dan gejala, efek samping
kemoterapi.
b. Beri kesempatan untuk bertanya.
c. Tanyakan kembali hal yang telah dijelaskan.
d. Beri reinforcement positif atas jawaban yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

Aster, Jon.2007.Sistem Hematopoietik dan Limfoid dalam Buku Ajar Patologi Edisi 7.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC

Atul, Mehta dan A. Victor Hoffbrand. 2006.At a Glance Hematologi.Edisi 2. Jakarta:


Erlangga

Baldy, Catherine M.2006.Komposisi Darah dan Sistem Makrofag-Monosit dalam


Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.


(terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Landier W, Bhatia S, Eshelman DA, Forte KJ, Sweeney T, Hester AL, et al.Development of risk-
based guidelines for pediatric cancer survivors: the Children'sOncology Group Long-
Term Follow-Up Guidelines from the Children's OncologyGroup Late Effects
Committee and Nursing Discipline. J Clin Oncol. Dec 152004;22(24):4979-90.

Margolin JF, Steuber CP, Poplack DG. Acute lymphoblastic leukemia. In: Pizzo
PAPoplack DG, eds. Principles and Practice of Pediatric Oncology. 15th ed. 2006:538-
90.3.
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC),  Mosby Year-
Book, St. Louis

Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-


2002,  NANDA

Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I.
Jakarta : Salemba Medika; 2001.

Ribera JM, Oriol A. Acute lymphoblastic leukemia in adolescents and young adults.
Hematol Oncol Clin North Am. Oct 2009;23(5):1033-42.2.

Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.2.
Tucke

Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes.


Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed.Jakarta : EGC; 19945.

Anda mungkin juga menyukai