Anda di halaman 1dari 9

3/23/2020 Standarisasi Pondok Pesantren | utawijaya

01

DES

Standarisasi Pondok Pesantren

i
6 Votes

STANDARISASI NASIONAL

KURIKULUM PENDIDIKAN PESANTREN

(Bagian I Pengantar)

Oleh:. Utawijaya[1]
PROLOG

Gus Dur (Abdurrahman Wahid) mengatakan bahwa Pondok Pesantren merupakan sebuah subkultur
dengan syarat: pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh
negara; kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dalam bentuk
kitab kuning; dan ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat
luas.

Bermodalkan ketiga elemen itulah, maka pondok pesantren memiliki hubungan yang sangat erat
dengan kehidupan masyarakat Indonesia, dan sekaligus sebagai salah satu penopang pilar utama
pendidikan di bumi Nusantara ini. Sebab, pondok pesantren telah membuktikan dirinya diterima
ditengah-tengah masyarakat dan kyainya menjadi panutan. Fenomena ini telah menunjukkan bahwa
puluhan ribu bahkan ratusan lebih orang Indonesia yang ikut merasakan pola pembelajaran pondok
pesantren.

Perjalanan sejarah pesantren terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan zaman dan
perkembangan modern. Dalam proses perubahan dan perkembangan tersebut, pesantren masih tetap
eksis dan survive dengan mainstream indigenous (wajah keasliannya). Sebab, pesantren dengan pola
pikir khasnya yang dikembangkan selama ini adalah: “al-muhâfazhah ‘ala al-qadîmi ash-shâlih wa al-
ahdzu bi al-jadîd al-ashlah” (memelihara hal/tradisi/pemikiran yang baik dan mengambil
hal/tradisi/pemikiran baru yang lebih baik).

Bersandikan pada kaidah ushuliyah seperti itu, menempatkan posisi pesantren pada dua fungsi
ganda, yaitu: sebagai pewarisan budaya (agent of conservative), dan sekaligus sebagai agen perubahan
(agent of change). Sebagai agen pewarisan budaya (agent of conservative), maka melalui pendidikan
sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan dan norma-norma, serta adat-kebiasaan dan berbagai
perilaku tradisional yang telah membudaya diwariskan pada suatu generasi ke generasi berikutnya.
https://utawijaya.wordpress.com/2011/12/01/standarisasi-pondok-pesantren/ 1/9
3/23/2020 Standarisasi Pondok Pesantren | utawijaya

Dengan cara ini, kebudayaan dapat dilestarikan, meskipun warga suatu masyarakat berganti-ganti,
sedangkan kebudayaan dan sistem sosialnya tetap berlaku. Di pihak lalin, lembaga pendidikan
pesantren berperan sebagai agen perubahan (agent of channge), yaitu adanya upaya untuk membuang
unsur budaya lama yang dipandang tidak cocok lagi dan perlunya memasukkan unsur budaya baru.

Atas dasar itulah, ketika Kementerian Agama Republik Indonesia berencana mengkaji standarisasi
pendidikan pesantren sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agama Suryadarma Ali dalam
kunjungan kerja ke Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasin, Kraton Pasuruan, Jawa Timur pada tanggal
24 Januari 2010 yang lalu, kalangan pesantren sudah merasa siap dengan rencana perubahan
kurikulum tersebut. Sebab, dengan bersandikan kaidah ushuliyah di atas, kurikulum pendidikan
pesantren sudah sangat siap dengan perubahan sistem pendidikan menuju standarisasi pendidikan
pesantren.

Bagi kalangan pesantren, standarisasi pendidikan pesantren tidak hanya sebatas adanya pengakuan
legal formal dari Pemerintah terhadap lulusan pesantren. Sebab, pada prinsipnya alumni pesantren
“kurang” membutuhkan legal formal seperti itu. Tanpa legal formal dari Pemerintah pun, para
lulusan pesantren sudah eksis ditengah-tengah masyarakat dan bahkan diakui keberadaannya. Di
samping itu, orientasi para santri dalam memasuki pendidikan pesantren tidak berorientasi pada
perolehan legal formal berupa ijazah sebagaimana halnya lembaga pendidikan formal sekolah.
Kebutuhan pesantren yang paling utama saat ini adalah bagaimana Pemerintah secara formal
mengakui Pondok Pesantren sebagai sub sistem Pendidikan Nasional, sehingga tidak ada lagi
diskriminasi terhadap pesantren, baik dalam penetapam anggaran melalui APBN maupun APBD,
pengakuan formal ijazah pesantren, dan menjadikan sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu
tolok ukur pencapaian tujuan Pendidikan Nasional, terutama untuk mengevaluasi pencapaian
tujuan iman dan taqwa.

Upaya menghapus diskriminasi tersebut sebenarnya telah dilakukan pemerintah dengan


menerbitkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Hanya
saja persoalannya, implementasi PP tersebut perlu disempurnakan, agar tidak mengganggu
kekhasan pendidikan pesantren. Misalnya, saat ini beberapa pesantren telah mengikuti Wajar Dikdas
dengan keharusan pihak pesantren memasukkan ke dalam kurikulumnya muatan Pendidikan
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Sayangnya, pihak Diknas mengatur bahwa muatan wajib tersebut diselenggarakan secara terpisah,
tidak integral dalam sebuah kurikulum pendidikan diniyah di pesantren, termasuk ijazah Wajar
Dikdas yang pemerintah terbitkan, di samping ijazah yang diterbitkan oleh pihak pesantren.
Pertanyaan beberapa pondok pesantren, kenapa harus ada dua ijazah bagi peserta didik di
pesantren? Kenapa pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren
saja?

Sedangkan pada pendidikan diniyah tingkat menengah, sampai saat ini pemerintah mempunyai
kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas, yaitu memberikan legalitas
(pengakuan/persamaan) tanpa harus menerbitkan ijazah sendiri. Jadi, pemerintah menganggap
cukup ijazah yang dikeluarkan pihak pesantren. Beberapa pesantren menganggap model legalitas
pemerintah di tingkat pendidikan diniyah menengah ini lebih mendekati rasa keadilan.

Keinginan Departemen/Kementerian Agama yang akan melakukan standarisasi pendidikan


pesantren perlu difokuskan pada pengakuan legalitas, peningkatan kualitas dan persamaan hak.
Dengan demikian, standarisasi tersebut memberikan jaminan atas keragaman pondok pesantren,
termasuk jaminan tidak adanya proses pendangkalan struktural.

https://utawijaya.wordpress.com/2011/12/01/standarisasi-pondok-pesantren/ 2/9
3/23/2020 Standarisasi Pondok Pesantren | utawijaya

Standarisasi pendidikan pesantren dimaksudkan oleh Departemen Agama dilakukan karena selama
ini belum ada aturan baku yang bisa dijadikan acuan sistem pendidikan pesantren tersebut. “Ini
mencari solusi agar lulusan pesantren, terutama salafiyah, bisa mendapatkan pengakuan legal-formal
dari pemerintah,” ujar Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) dalam kunjungan kerja ke Pondok
Pesantren Terpadu Al-Yasini, Kraton, Pasuruan, Jawa Timur. Demikian keterangan pers dari Humas
Departemen Agama, Sabtu (24/1/2010).

SDA menyampaikan hal itu menanggapi aspirasi alim-ulama, pengelola, dan pengasuh pesantren
salafiyah yang sering terkendala masalah administrasi pendidikan, seperti ketiadaan ijazah bagi para
alumni. “Sistem pendidikan pesantren, terutama salafiyah, memiliki keunggulan dalam penguasaan
pengetahuan agama yang spesfik semisal tafsir, hadis, fikih, dan sebagainya. Apalagi, para santri
keluaran pesantren unggul dalam peran-peran kemasyarakatan (social building). Karena itu, sayang
kalau mereka belum mendapat pengakuan legal-formal dari pemerintah,” ujar SDA. SDA
menjelaskan, kini jumlah pesantren terus meningkat, bahkan mencapai angka 23.000 unit di seluruh
penjuru Tanah Air.

Sementara itu, menurut KH Abdul Mujib Imron mewakili para pengasuh pesantren salafiyah,
pihaknya sering menjadi tempat mengadu para santri alumni. “Upaya mereka bertahun-tahun
menimba ilmu seakan-akan menjadi sia-sia hanya karena beberapa lembar kertas. Karena tak punya
ijazah sebagai pengakuan pemerintah, mereka sulit mendapat akses ke dunia kerja,” katanya.

Para alumnus ponpes ini pun kesulitan saat memasuki dunia politik, untuk menjadi kepala desa atau
lurah saja tidak bisa. Apalagi mencalonkan diri menjadi legislator atau kepala daerah. “Padahal
secara kualitas, alumni kami tak kalah bersaing dengan alumni lembaga pendidikan umum,”
ujarnya.

Menjawab aspirasi tersebut, SDA mengatakan, Depag sedang mengupayakan standarisasi


pendidikan pesantren. Dia menuturkan, sejauh ini Depag sudah mulai memetakan persoalan yang
sudah berlangsung sejak lama itu. Di tempat yang sama, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren Depag Chairul Fuad Yusuf menyebutkan, berencana menyiapkan tim untuk mengkaji
standarisasi itu. “Kita mulai siapkan semacam tim. Mereka akan segera bekerja dan melakukan
kajian mendalam. Mudah-mudahan tahun depan (2011) atau paling lambat 2012 sudah bisa
diterapkan,” ucapnya.

Standarisasi pendidikan pesantren yang direncanakan pemerintah mendapat tanggapan kritis dari
Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-
NU). Wakil Sekretaris Pengurus Pusat RMI, HM Sulthan Fatoni, mengatakan, upaya itu harus melalui
kajian yang melibatkan pesantren. Jika tidak, bisa jadi standarisasi itu akan mengarah pada
pendangkalan. “Keterlibatan pesantren penting agar kebijakan yang diambil pemerintah sesuai
kebutuhan masyarakat pesantren dan tidak malah mengarah pada pendangkalan,” katanya di
Jakarta, Senin (25/1).

Upaya menghapus diskriminasi tersebut juga sebenarnya telah dilakukan pemerintah dengan
menerbitkan PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
“Masalahnya, implementasi PP tersebut perlu disempurnakan agar tidak mengganggu kekhasan
pendidikan pesantren,” katanya. Ia mencontohkan, saat ini beberapa pesantren telah mengikuti
wajar Dikdas dengan keharusan pihak pesantren memasukkan ke dalam kurikulumnya muatan
pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.

Sayangnya, pihak Departemen Pendidikan Nasional mengatur bahwa muatan wajib tersebut
diselenggarakan secara terpisah, tidak integral dalam sebuah kurikulum pendidikan diniyah di
pesantren, termasuk ijazah wajar Dikdas yang Pemerintah terbitkan, di samping ijazah yang

https://utawijaya.wordpress.com/2011/12/01/standarisasi-pondok-pesantren/ 3/9
3/23/2020 Standarisasi Pondok Pesantren | utawijaya

diterbitkan oleh pihak pesantren. “Pertanyaan beberapa pondok pesantren, kenapa harus ada dua
ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah
yang diterbitkan pesantren saja?”.

Pada pendidikan diniyah tingkat menengah (wustha’), sampai saat ini pemerintah memiliki
kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas, yaitu memberikan legalitas tanpa harus
menerbitkan ijazah sendiri, jadi Pemerintah menganggap cukup ijazah yang dikeluarkan pihak
pesantren. Beberapa pesantren menganggap model legalitas pemerintah di tingkat pendidikan
diniyah menengah lebih mendekati rasa keadilan. Keinginan Departemen Agama yang akan
melakukan standardisasi pendidikan pesantren perlu difokuskan pada pengakuan legalitas,
peningkatan kualitas, dan persamaan hak. Dengan demikian standardisasi tersebut memberikan
jaminan atas keragaman pondok pesantren, termasuk jaminan tidak adanya proses pendangkalan
struktural.

Pesantren saat ini sudah dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan pendidikan nasional.
Pengakuan ini sebenarnya cukup menggembirakan bagi kalangan pesantren yang sebelumnya
dianaktirikan. Dukungan pendanaan dari pemerintah juga semakin besar bagi pesantren yang
memungkinkannya untuk terus berkembang. Namun adanya Peraturan Pemerintah (PP) PP No
55/2007 sebagai penjabaran UU Sistem Pendidikan Nasional dikhawatirkan akan menjebak pesantren
pada standarisasi dan reduksi pengajaran agama.

PP tersebut memungkinkan pemerintah atau lembaga mandiri yang berwenang untuk melakukan
akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai
Standar Nasional Pendidikan (SNP). Isi SNP tersebut meliputi standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga pendidikan, standar sarana dan prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Keadaan ini dalam
jangka panjang akan mengancam eksistensi, karakter dan ciri khas pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang mengajarkan keilmuan dan nilai-nilai agama (tafaqquh fiddin), sebagai kontrol sosial
dan sebagai agen pengembangan masyarakat.

PP ini hanya cocok untuk sekolah formal sedangkan pendidikan informal dan non formal perlu
dibuatkan aturan tersendiri. PP ini sangat besar kemungkinannya akan menempatkan pesantren
sebagai lembaga yang harus ditertibkan. Aturan seperti ini akan membunuh dengan adanya standar
nasional dan Ujian Nasional (UN). Ukuran-ukuran seperti ini dianggapnya terlalu menyederhanakan
dan tidak akan mampu menghadapi kompleksitas permasalahan di pesantren. Kehawatirkan
sebagian kalangan pesantren tentang rencana standarisasi pendidikan pesantren adalah adanya
reduksi pengajaran agama.

Dengan terbitnya PP ini, pemerintah dinilainya juga abai mempertimbangkan aspek budi pekerti
yang harus dimiliki para siswa. Jika terjadi penurunan nilai moral, maka bukan semata kesalahan
orang tua, tapi kesalahan pemerintah yang tidak bijak dalam mengelola pendidikan.

Di pesantren, anak didik sangat ditekankan pada nilai-nilai moralitas seperti keikhlasan dan
spiritualitas yang tidak bisa dengan mudah diukur dengan standar yang dibuat dalam PP tersebut.
Apa yang ada di pesantren seperti keikhlasan dan spiritualitas mendorong kita untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Jiwa keikhlasan sudah menjadi tuntunan.

Ini berbeda sekali dengan sistem boarding school, meskipun sama-sama diasramakan layaknya
pesantren, motif dan tujuan pembelajarannya sangat berlainan sehingga bisa distandarkan dengan
PP tersebut. Diakuinya saat ini memang terjadi perubahan kebijakan terhadap orang-orang yang
akan duduk dalam jabatan publik seperti perlunya persyaratan ijazah bagi politisi, lurah, bupati dan
lainnya. Pesantren dalam hal ini juga harus luwes dan mampu mengakomodasi kepentingan santri

https://utawijaya.wordpress.com/2011/12/01/standarisasi-pondok-pesantren/ 4/9
3/23/2020 Standarisasi Pondok Pesantren | utawijaya

yang berminat meniti karir di sektor publik. Meskipun begitu, ciri khas pesantren tak boleh
dihilangkan. Kita harus bebas intervensi dari siapa pun. Sebab pesantren telah memberikan
sumbangan yang besar dalam pelayanan publik.

Bagi penulis, Standarisasi Pendidikan Pesantren adalah penting dilakukan oleh Pemerintah dan
didukung oleh para pengelola pesantren. Persoalan kemudian adalah langkah apa yang harus
dilakukan oleh pesantren dalam menghadapi rencana standarisasi pendidikan tersebut? Menurut
hemat penulis, dalam kurun waktu mendatang dan sangat mendesak adalah pembenahan terhadap
beberapa komponen standarisasi nasional pendidikan sebagaimana digariskan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP, yaitu: Standar isi, Standar proses, Standar
kompetensi lulusan, Standar pendidik dan tenaga kependidikan, Standar sarana dan prasarana,
Standar pengelolaan, Standar pembiayaan, dan Standar penilaian pendidikan.

Dari kedelapan standar terebut, bagi pesantren dan bahkan jenis pendidikan lainnya, tidak mungkin
dilaksanakan sekaligus. Oleh karena itu, pada periode dua tahun mendatang (2010-2012), SNP yang
perlu diterapkan di pesantren cukup beberapa saja, di antaranya yang paling memungkinkan dalam
waktu mendesak adalah: Standar Isi (Kurikulum), Standar Kompetensi Lulusan, Standar
Pengelolaan, dan Standar Penilaian. Kemudian pada tahun 2012-2014, seluruh SNP tersebut bisa
dilaksanakan oleh pondok pesantren. Amiin insya allah.

Pada kesempatan ini, penulis akan membahas tentang Standar Isi atau Standar Kurikulum di Pondok
Pesantren. Kemudian pada edisi berikutnya akan dibahas standar-standar lainnya.

PENTINGNYA STANDARISASI PENDIDIKAN PESANTREN

Hasil survei United Nation Development Project (UNDP) menyebutkan bahwa kualitas sumber daya
manusia Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia seperti
Thailand, Malaysia Philipna, dan China. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya rangking Human
Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara lainnya yakni berada pada ranking 108 dari 112 negara.

Rendahnya kualitas SDM salah satunya disebabkan karena rendahnya mutu pendidikan nasional.
Dari berbagai hasil survei dan penelitian menunjukkab bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia
tergolong rendah. Tidak ada satu pun juga universitas di Indonesia yang masuk kelompok 100
universitas terbaik di Indonesia, apalagi di tingkat dunia. Apabila kualitas pendidikan tingginya
sudah demikian rendahnya apalagi pendidikan dasar dan menengahnya, tentunya kualitasnya tidak
lebih baik.

Rendahnya kualitas SDM Indonesia yang disebabkan karena rendahnya mutu pendidikan telah
mendorong timbulnya hasrat dari semua pihak untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Dari keinginan tersebut muncul kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah. Langkah-langkah Pemerintah dalam memperbaiki mutu pendidikan nasional adalah
dengan dikeluarkannya regulasi kebijakan tentang Sistem Pendidikan Nasional yakni dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Dalam pasal 35 UU Sisdiknas tersebut disebutkan
bahwa salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional adalah melalui Standardisasi
Pendidikan Nasonal atau SNP. Regulisi kebijakan ini kemudian lebih jauh ditegaskan melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Lahirnya PP 19 Tahun 2005 tentang SNP merupakan penjabaran dari UU Nomor 20 Tahun 2003
terutama Bab IX Pasal 35. Dalam pasal 35 ayat (1) UU Sisdiknas disebutkan: “Standar Nasional
Pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara
https://utawijaya.wordpress.com/2011/12/01/standarisasi-pondok-pesantren/ 5/9
3/23/2020 Standarisasi Pondok Pesantren | utawijaya

berencana dan berkala”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan: “Standar Nasional Pendidikan
digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan dan pembiayaan”.

Pasal 1 ayat (1) PP 19/2005 menyatakan bahwa: “Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria
minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Kemudian Pasal 3 menyatakan bahwa “Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai
dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan
pendidikan nasional yang bermutu”. Tujuannya sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 yaitu:
“Menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat”.

Jadi, kebijakan Standardisasi Pendidikan Nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 35 UU


Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan PP Nomor 19 Tahun 2005 adalah perlunya standardisasi
terhadap pendidikan nasional agar mutu pendidikan di Indonesia semakin meningkat. Oleh karena
itu Standardisasi Pendidikan adalah mutlak diperlukan karena BERFUNGSI sebagai dasar dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam mewujudkan pendidikan nasional
yang bermutu serta BERTUJUAN untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermartabat. Standar Nasional Pendidikan disempurnakan
secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional dan global.

Pada sisi lain, PERLUNYA Standardisasi Pendidikan Nasional didasari atas pemikiran bahwa
pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan. Setiap proses yang bertujuan tentunya
mempunyai ukuran atau yardstick sudah sampai di mana perjalanan pendidikan itu mencapai
tujuannya. Berbeda dengan tujuan fisik seperti jarak suatu tempat atau suatu target produksi, tujuan
pendidikan merupakan suatu yang intangible dan terus menerus berubah dan meningkat. Tujuan
pendidikan selalu bersifat sementara atau “tujuan yang berlari”. Hal ini berarti tujuan pendidikan
setiap saat perlu direvisi dan disesuaikan dengan tuntutan perubahan, tidak kaku tetapi fleksibel.
Dalam kaitan dengan tujuan pendidikan, maka menurut pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
SISDIKNAS disebutkan bahwa: “Tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”.

Dengan kata lain, Pendidikan Nasional yang bermutu diarahkan untuk pengembangan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggungjawab. Untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional yang bermutu tersebut, maka
MUTLAK diperlukan adanya standardisasi terhadap Pendidikan Nasional Indonesia.

Apa saja yang perlu distandardkan dalam Pendidikan Nasional? Menurut pasal pasal 2 ayat (1) PP
19/2005, lingkup Standar Nasional Pendidikan mencakup: standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,
standar pengelolaan, dan standar penilaian pendidikan.

STANDARD ISI (SI) lebih lanjut dijabarkan dalam implementasinya oleh Permendiknas Nomor 22
tahun 2006 tentang Standar Isi. SI mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
dituangkan dalam kriteria tentang: kompetensi tamatan, kompetensi mata pelajaran, Kerangka Dasar
dan Struktur Kurikulum, Beban belajar, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dan Kalender
Pendidikan/Akademik.

https://utawijaya.wordpress.com/2011/12/01/standarisasi-pondok-pesantren/ 6/9
3/23/2020 Standarisasi Pondok Pesantren | utawijaya

STANDARD PROSES (SP) lebih lanjut dijabarkan oleh Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Standar Proses. Standar Proses berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan
pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Proses pembelajaran interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan
ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

STANDARD KOMPETENSI LULUSAN (SKL) lebih lanjut dijabarkan dalam Permendiknas Nomor
23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan. SKL merupakan standar nasional pendidikan
tentang kualifikasi kemampuan lulusan yang berkaitan dengan sikap,pengetahuan, dan
keterampilan. Standar Kompetensi Lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan
kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.

STANDARD PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN merupakan standar kriteria


pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Penjabaran lebih lanjut tentang Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan diatur dalam
Permendiknas seperti Permendiknas Nomor 16/2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru. Permendiknas Nomor 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah. Permendiknas
Nomor 12/2007 tentang Standar Pengawas.

STANDARD SARANA DAN PRASARANA merupakan persyaratan minimal tentang:

1. Sarana yang mencakup:perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber
belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yg diperlukan menunjang proses
pembelajaran
2. Prasarana yang mencakup: ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang
pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang
unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah,
tempat bermain, tempat berkreasi.

Mengenai Standar Sarana dan Prasarana tersebut lebih jauh dijabarkan oleh Permendiknas Nomor 24
Tahun 2004 tentang Standar Sarana Prasarana Pendidikan.

STANDARD PENGELOLAAN merupakan standar pengelolaan pendidikan yang mencakup:


perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan, pengelolaan pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota, provinsi, dan pada tingkat nasional.
Tujuannya ialah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.

Lebih jauh Standar Pengelolaan Pendidikan diatur dalam Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 yang
didalamnya berisi tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan
pemerintah pada jenjang pendidikan:

DIKDASMEN : menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian,


kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas
DIKTI : menerapkan otonomi perguruan tinggi yang dalam batas-batas yang diatur dalam
ketentuan perundang-undangan yang berlaku memberikan kebebasan dan mendorong
kemandirian

STNDARD PEMBIAYAAN maksudnya adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
komponen dan besarnya biaya operasional satuan pendidikan selama satu tahun. Standar
Pembiayaan ini lebih lanjut diatur dalam Permendiknas Nomor 47 Tahun 2007. Dalam Permendiknas
tersebut diatur mengenai pembiayaan pendidikan tentang persyaratan minimal mengenai:
https://utawijaya.wordpress.com/2011/12/01/standarisasi-pondok-pesantren/ 7/9
3/23/2020 Standarisasi Pondok Pesantren | utawijaya

1. Biaya Investasi meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya
manusia, dan modal kerja tetap.
2. Biaya Personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa
mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
3. Biaya Operasi meliputi:

gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,
bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan
sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

STANDARD PENILAIAN PENDIDIKAN maksudnya adalah standar nasional penilaian


pendidikan tentang mekanisme, prosedur, instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
Pengaturan Standar Penilaian Pendidikan ini lebih lanjut diatur dalam Permendiknas Nomor 20
Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Penentuan kedelapan standar pendidikan seperti tersebut di atas merupakan salah satu tugas dari
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang merupakan lembaga mandiri, profesional dan
independen yang mengemban misi untuk mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan
mengevaluasi pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan. Tugas dan kewenangan terpenting BSNP di
antaranya adalah: mengembangkan Standar Nasional Pendidikan, menyelenggarakan Ujian
Nasional, memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penjaminan
dan pengendalian mutu pendidikan, merumuskan kriteria kelulusan pada satuan pendidikan jenjang
pendidikan dasar dan menengah, dan menilai kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikan buku
teks pelajaran.

Pentingnya SNP pada dasarnya adalah karena pendidikan bagi bangsa Indonesia merupakan
investasi SDM (Human Capital Investment). Oleh karena itu Standarisasi Pendidikan diperlukan untuk
peningkatan SDM yang Bemutu dan Kompetitif. SDM bermutu adalah SDM yang cerdas secara
komprehensif, yang meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan
cerdas kinestetis. Pendidikan sebagai investasi SDM memiliki fungsi paling menonjol yaitu sebagai
sarana untuk memberdayakan (empowering) masyarakat, yang pada gilirannya akan memberikan
tingkat balikan yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Dalam
kaitannya pendidikan sebagai investasi SDM, maka setiap jenis, jenjang, dan jalur pendidikan harus
mendasarkan pada Standar Nasional Pendidikan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.

Pendidikan dalam setiap jenjangnya (termasuk Pendidikan Pesantren), merupakan suatu proses
bertujuan. Setiap proses yang bertujuan tentunya mempunya ukuran sudah sampai di mana
perjalanan pencapaian tujuan tersebut. Dalam konteks Pendidikan Nasional Indonesia diperlukan
standard yang perlu dicapai dalam kurun waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Oleh karena itu, wajib hukumnya pendidikan pesantren memiliki standar yang jelas, agar pencapaian
tujuan pendidikan pesantren mudah diukur. Wallâhu a’lam.

BERSAMBUNG KE EDISI BERIKUTNYA

[1] Penulis adalahKetua Forum Pondok Pesantren Jawa Barat

Iklan

https://utawijaya.wordpress.com/2011/12/01/standarisasi-pondok-pesantren/ 8/9
3/23/2020 Standarisasi Pondok Pesantren | utawijaya

Powered by wordads.co

Seen ad many times

Not relevant

Offensive

Covers content

Broken

LAPORKAN IKLAN INI


Komentar ditutup.

8 TAHUN YANG LALU URL PENDEK

uncategorized

TULISAN SEBELUMNYA TULISAN BERIKUTNYA

Blog di WordPress.com.Tema: Esquire oleh Ma hew Buchanan.

https://utawijaya.wordpress.com/2011/12/01/standarisasi-pondok-pesantren/ 9/9

Anda mungkin juga menyukai