CHOLELITIASIS
1. KONSEP DASAR
a. Pengertian
Cholelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana
terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesika fellea) dari unsur-
unsur padat yang membentuk cairan empedu yang memiliki ukuran,bentuk dan
komposisi yang bervariasi.
Cholelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun
terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia
lanjut, diet tinggi lemak dan genetik. Sinonimnya adalah batu empedu,gallstones,
biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di
dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa
unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu.
b. Etiologi
Penyebab pasti dari batu empedu belum diketahui. Satu teori menyatakan
bahwa kolesterol dapat menyebabkan supersaturasi empedu di kandung empedu.
Setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami supersaturasi menjadi
mengkristal dan memulai membentuk batu. Tipe lain batu empedu adalah batu
pigmen. Batu pigmen tersusun oleh kalsium bilirubin, yang terjadi ketika bilirubin
bebas berkombinasi dengan kalsium.
Batu empedu terdiri dari endapan konstituen empedu, sebagian besar berupa
kolesterol. Dapat terbentuknya banyak batu kecil atau sebuah batu besar. Penyebab
batu empedu tidak jelas tetapi faktor predisposisinya terdiri dari:
1) Perubahan komposisi empedu yang memengaruhi daya larut kandungannya
2) Kolesterol darah dan diet dalam kadar tinggi
3) Kolesistitis
4) Diabetes mellitus dengan kadar kolesterol darah yang tinggi
5) Penyakit hemolitik
6) Jenis kelamin wanita
7) Obesitas
8) Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka panjang
9) Beberapa kehamilan pada wanita muda, terutama jika disertai dengan obesitas.
c. Tanda dan Gejala
1) Menunjukkan gejala-gejala gastrointestinal ringan
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami
dua jenis gejala,yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung
empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan
empedu oleh batu empedu. Pasien merasakan sakit atau nyeri pada perut bagian
kuadran kanan atas, serta warna feses pasien menjadi pucat.
2) Mungkin akut dan kronis dengan distress epigastrik (distensi abdomen, nyeri
tak jelas pada kuadran kanan atas) setelah makan makanan banyak
mengandung lemak.
Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri
yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. Gangguan ini
dapat terjadi setelah individu mengkonsumsi makanan yang mengandung
lemak.
3) Jika saluran empedu tersumbat, maka kandung empedu mengalami distensi dan
akhirnya terinfeksi akan terjadi demam dan teraba massa pada abdomen.
Kolik bilier dengan nyeri abdomen kanan atas, manjalar ke punggung atau
bahu kanan, mual dan muntah beberapa jam setelah makan banyak. kolik bilier
semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat
mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam
keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding
abdomen pada daerah kartilago kosta sembilan dan sepuluh kanan. Sentuhan
ini menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga
dada.
4) Ikterik terjadi dengan tersumbatnya duktus komunis empedu.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu : getah empedu yang tidak lagi dibaawa
ke dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini
membuat kulit dan membrane mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering
disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.
5) Urine berwarna sangat gelap; feses warna pucat.
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak
kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “clay-coloured”.
6) Defisiensi vitamin A, D, E dan K (vitamin yang larut dalam lemak).
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorbsi vitamin A, D, E dan K
yang larut lemak. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah
yang normal.
7) Abses, nekrotis, perforasi dengan peritonitis dapat terjadi jika batu empedu
terus menyumbat saluran empedu.
Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini
dapat menyebabkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis
generalisata. Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat,
kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera
mereda dalam waktu yang relative singkat.
d. Patofisiologi
Ada dua tipe utama batu empedu: batu yang terutama tersusun dari pigmen dan
batu yang terutama tersusun dari kolesterol.
1) Batu pigmen
Kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak-terkonjugasi dalam
empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu. Batu ini
bertanggung jawab atas sepertiga dari pasien-pasien batu empedu di Amerika
Serikat. Risiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada pasien
sirosis, hemolisis dan infeksi percabangan biller. Batu ini tidak dapat dilarutkan
dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi (Suzanne, 2002).
2) Batu kolesterol
Bertanggung jawab atas sebagian besar kasus batu empedu lainnya.
Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak
larut dalam air. Kelarutannya tergantung pada asam-asam empedu dan lesitin
(fosfolipid) dalam empedu. Pada penderita yang menderita batu empedu akan
terjadi penurunan sisntesis kolesterol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan
supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah
empedu, mengendap dan membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh
kolesterol merupakan predisposisi timbulnya batu empedu dan berperan sebagai
iritan yang menyebabkan perdangan pada kandung empedu(Suzanne, 2002).
Jumlah wanita yang menderita batu kolesterol dan penyakit kandung
empedu adalah 4 kali lebih banyak daripada laki-laki. Biasanya wanita tersebut
berusia lebih dari 40 tahun, multipara, dan obesitas. Insidens pembentukan batu
empedu meningkat pada pengguna pil konstrasepsi, estrogen dan klobifrat yang
diketahui meningkatkan saturasi kolesterol bilier. Insidens pembentukan batu
meningkat bersamaan dengan pertambahan umur, peningkatan insidens ini
akibat bertambahnya sekresi kolesterol oleh hati dan menurunnya sintesis asam
empedu. Disamping itu, risiko terbentuknya batu empedu juga meningkat akibat
malabsorpsi garam-garam empedu pada pasien dengan penyakit gastrointestinal
atau fisula T-tube atau pada pasien yang pernah menjalani operasi pintasan atau
reseksi ileum. Insidens penyakit ini juga meningkat pada para penyandang
penyakit diabetes (Suzanne, 2002).
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu empedu, melalui peningkatan dikuamasi sel dan
pembentukan mucus. Mucus meningkatkan viskositas dan unsure seluler dan
bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi infeksi lenih sering
menjadi akibat dari pembentukan batu empedu dari pada sebab pembentukan
batu empedu(Suzanne, 2002).
Pathway
Peningkatan HCL
f. Penatalaksanaan
1) Identitas Klien
Mengcakup nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, No Mr, pendidikan,
status pekawinan, diangnosa medis dll.
2) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya pada klien ini mempunyai riwayat hipertensi, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemi, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang
lama, pengunaan obat-obat antikoagulan, aspirin dan kegemukan/obesitas.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien sakit kepala, mual muntah bahkan kejang sampai tak
sadarkan diri, kleumpuhan separoh badan dan gangguan fungsi otak.
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada anggota keluarga yang menderita atau mengalami penyakit
seperti : hipertensi, Diabetes Melitus, penyakit jantung.
d) Riwayat Psikososial
Biasanya masalah perawatan dan biaya pengobatan dapat membuat emosi
dan pikiran klein dan juga keluarga sehingga baik klien maupun keluarga
sering merasakan sterss dan cemas.
3) Pemeriksaan Fisik
(1) Rambut dan hygiene kepala
(2) Mata:buta,kehilangan daya lihat
(3) Hidung,simetris ki-ka adanya gangguan
(4) Leher,
(5) Dada
I: simetris ki-ka
P: premitus
P: sonor
A: ronchi
(6) Abdomen
I: perut acites
P :hepart dan lien tidak teraba
P :Thympani
A :Bising usus (+)
(7) Genito urinaria :dekontaminasi,anuria
(8) Ekstramitas :kelemahan,kelumpuhan.
4) Pemeriksaan Fisik Sistem Neurologis
(1) Tingkat Kesadaran
i. Kualitatif
Adalah fungsi mental keseluruhan dan derajat kewasapadaan.
CMC → dasar akan diri dan punya orientasi penuh
APATIS → tingkat kesadaran yang tampak lesu dan mengantuk
LATARGIE → tingkat kesadaran yang tampak lesu dan
mengantuk
DELIRIUM → penurunan kesadaran disertai pe ↑ abnormal
aktifitas psikomotor → gaduh gelisah
SAMNOLEN → keadaan pasien yang selalu mw tidur →
diransang bangun lalu tidur kembali
KOMA → kesadaran yang hilang sama sekali
ii. Kuantitatif
Dengan Menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
Respon membuka mata ( E = Eye )
o Spontan (4)
o Dengan perintah (3)
o Dengan nyeri (2)
o Tidak berespon (1)
Respon Verbal ( V= Verbal )
o Berorientasi (5)
o Bicara membingungkan (4)
o Kata-kata tidak tepat (3)
o Suara tidak dapat dimengerti (2)
o Tidak ada respons (1)
Respon Motorik (M= Motorik )
o Dengan perintah (6)
o Melokalisasi nyeri (5)
o Menarik area yang nyeri (4)
o Fleksi abnormal/postur dekortikasi (3)
o Ekstensi abnormal/postur deserebrasi (2)
o Tidak berespon (1)
(2) Pemeriksaaan Nervus Cranialis
i. Test nervus I (Olfactory)
Fungsi penciuman Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta
klien mencium benda yang baunya mudah dikenal seperti sabun,
tembakau, kopi dan sebagainya. Bandingkan dengan hidung bagian
kiri dan kanan.
ii. Test nervus II ( Optikus)
Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang Test aktifitas visual, tutup
satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di koran, ulangi untuk
satunya. Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di
kanan, klien memandang hidung pemeriksa yang memegang pena
warna cerah, gerakkan perlahan obyek tersebut, informasikan agar
klien langsung memberitahu klien melihat benda tersebut.
iii. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).
Test N III Oculomotorius (respon pupil terhadap cahaya),
menyorotkan senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari
arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan
keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar.
Test N IV Trochlear, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang
lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan.
Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus.
Test N VI Abducens, minta klien untuk melihat kearah kiri dan
kanan tanpa menengok.
iv. Test nervus V (Trigeminus)
Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada
kelopak mata atas dan bawah.
Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.
Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip
kontralateral.
Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula
dengan mata klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan
adanya sentuhan
Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa
melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter.
v. Test nervus VII (Facialis)
Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap
asam, manis, asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa
dengan kapas/teteskan, klien tidak boleh menarik masuk
lidahnya karena akan merangsang pula sisi yang sehat.
Otonom, lakrimasi dan salvias
Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta
klien untuk: tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata
sementara pemeriksa berusaha membukanya.
vi. Test nervus VIII (Acustikus)
Fungsi sensoris :
Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien,
pemeriksa berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari
bergantian kanan-kiri.
Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan
lurus, apakah dapat melakukan atau tidak.
vii. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)
N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi
bagian ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus.
Bagian parasimpatik N IX mempersarafi M. Salivarius inferior. N X,
mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum
lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak.
viii. Test nervus XI (Accessorius)
Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah
Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian
palpasi kekuatannya. Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa
berusaha menahan test otot trapezius.
ix. Nervus XII (Hypoglosus)
Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan
Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)
Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan
cepat dan minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.
(3) Menilai Kekuatan Otot
Kaji cara berjalan dan keseimbangan
Observasi cara berjalan, kemudahan berjalan dan koordinasi gerakan
tangan, tubuh – kaki
i. Periksa tonus otot dan kekuatan
Kekualan otot dinyatakan dengan menggunakan angka dari 0-5
0 = tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot ; Iumpuh total
1 = terlihat kontraksi tetap ; tidak ada gerakan pada sendi.
2 = ada gerakan pada sendi tetapi tidak dapat melawan gravitasi
3 = bisa melawan gravitasi tetapi tidak dapat menahan tahanan
pemeriksa
4 = bisa bergerak melawan tahanan pemeriksa tetapi kekuatannya
berkurang
5 = dapat melawan tahanan pemeriksa dengan kekuatan maksimal
c. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (insisi pembedahan pada
cholesistektomi)
2) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasive, insisi post pembedahan
3) Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake tidak
adekuat
d. Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Hasil
No (Nursing Intervention
Keperawatan (Nursing Outcome)
Classification)
1. Nyeri Setelah dilakukan tindakan NIC :
berhubungan keperawatan selama 2x24 jam, Pain Management
dengan agen diharapkan nyeri teratas 1. Lakukan pengkajian nyeri
injuri (insisi Kriteria hasil : secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi,
laparaskopik) Pain level :
frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi
Indikator IR ER
2. Observasi reaksi nonverbal
Melaporkan adanya 2 3 dari ketidaknyamanan
nyeri 3. Gunakan teknik komunikasi
Frekuensi 3 4 terapeutik untuk mengetahui
Ekspresi wajah 2 3 pengalaman nyeri pasien
Kurangnya istirahat 3 4 4. Kaji kultur yang
Ekspresi wajah 2 3 mempengaruhi respon nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri
masa lampau
Ket. 6. Evaluasi bersama pasien dan
1. Kuat tim kesehatan lain tentang
2. Berat ketidakefektifan kontrol nyeri
3. Sedang masa lampau
4. Ringan 7. Bantu pasien dan keluarga
5. Tidak ada untuk mencari dan
menemukan dukungan
8. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
9. Kurangi faktor presipitasi
nyeri
10. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
11. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
13. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
14. Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
17. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi dari
analgesik ketika pemberian
lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
6. Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
7. Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala (efek
samping)
Nutrition Monitoring:
1. BB pasien dalam batas
normal
2. Monitor adanya penurunan
berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa dilakukan
4. Monitor interaksi anak atau
orangtua selama makan
5. Monitor lingkungan selama
makan
6. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
7. Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
8. Monitor turgor kulit
9. Monitor kekeringan, rambut
kusam, dan mudah patah
10. Monitor mual dan muntah
Daftar Pustaka
Lesmana, L. (2000). Batu empedu. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
North American Nursing Diagnosis Association. 2012. Nursing Diagnoses : Definition &
Classification 2012-2014. Philadelphia.
Sudoyo, A.W., dkk. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universittas
Indonesia.
Sudoyo, A.W., dkk. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta: Internal
Publishing.