Anda di halaman 1dari 7

Masa Kecilku Terabadikan di Puruk Cahu

Oleh Afwah

Huuaaahh... ku melihat dengan sedikit buram tampak ayah yang sedang bersiap-siap.
Sepertinya ayah sudah mandi, cepat ku gosok mataku yang masih ingin tidur dan ku tanya
ayah.
“Ayah mau kemana?” keningku mengkerut.
“Mau cari buah durian” jawab ayah sambil menyisir rambut.
Durian memang musimnya sekarang apa lagi di daerah ini, yang baru saja pagi tadi
aku menginjakkan kaki di bumi ini dihulunya sungai Barito tepatnya di Puruk Cahu,
Kalimantan Tengah. Ayah mengajakku untuk ikut bersamanya mencari buah durian, sempat
ku menolak karena badanku masih sangat terasa capek, mataku pun masih sangat mengantuk.
Walaupun sudah dari pagi sampai sore ini aku tidur, capek dan kantuknya tak kunjung hilang,
bagaimana tidak sangat melelahkan, tadi malam baru saja ku tempuh perjalanan kurang lebih
tiga ratus lima puluh kilometer menggunakan motor bersama dengan ayah.
Perjalanan ku tadi malam dimulai dengan datangnya ayah ke rumah nenek, rumah
dimana aku tinggal, tepatnya di Barabai sebuah kecamatan yang ada di Kabupaten Hulu Sungai
Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan. Aku tinggal bersama nenek sudah berbulan bulan, di
rumah nenek aku memang tidak sekolah bukan karna libur panjang, tapi memang aku menunda
pendidikan ku ditahun ini. Sayang memang mengingat aku baru saja naik ke kelas enam di
Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda, Madrasah yang ada di Banjar tempat tinggaku dulu.
Semenjak ayah berhenti berdagang karena gulung tikar, ayah dan ibu berusaha mencari kerja
kesana kemari untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setelah mencoba berbagai pekerjaan kesana
kemari sampai lah dimana ayah dan ibu mendapat pekerjaan di Puruk Cahu yang menjadi
pekerjaan ayah dan ibu sekarang.
Ayah datang kerumah nenek untuk menjemputku karna aku tidak sanggup hidup
berjauhan dengan ayah dan ibu mungkin karna usiaku baru menginjak sebelas tahun.
Sesampainya ayah dirumah nenek.
“Yeeaayy ayah datang” ku sambut ayah dengan wajah ceria, kegirangan melihat ayah,
mengambarkan kerinduaanku.
Ayah tersenyum, sembari mengatakan.
“sudah siap nak?”
“sudah yah, Cuma ada sedikit barang lagi yang belum ku masukkan ke dalam tas”
“ya sudah ayah istirahat dulu ya, ba’da maghrib kita berangkat”.
“ayah serius?”
“iya nak, ayah tidak bisa libur lama-lama”
Ku pikir ayah memang sangat berani menempuh perjalan jauh dimalam hari, bukan
hanya sekedar jauh tapi rantauan yang dilalui begitu ekstreme. Ba’da maghrib aku dan ayah
berangkat, kulihat awan sedikit mendung, melihat awan itu membuatku menelan ludah dengan
sedikit terpaksa. Tidak begitu jauh dari rumah nenek hujan rintik pun turun, kupeluk ayah erat-
erat.
Huuhhh… Aku mengeluarkan nafas panjang, cahaya matahari sudah mulai redup
seakan menyambut datangnya malam, malam ini sangat menguji adrenalin. Kekhawatiran ku
bertambah kuat ketika ingat bahwa malam ini adalah malam jum’at. Ketika sudah memasuki
wilayah perbatasan antara Kalimantan Selatan dengan Kalimantan Tengah suasana semakin
seram pepohonan mulai berantai jika ada kampung-kampung maka terlihat kuburan yang di
atasnya ada seperti lambang penjumlahan (+) yang ku tau itu adalah kuburan nonmuslim.
Semakin jauh perjalanan semakin banyak kuburan itu kulihat walaupun terkadang masih ada
kampung-kampung muslim. Aku coba untuk memejamkan mata dan semakin ku peluk ayah
dengan erat walaupun aku tidak bisa tidur.
Sudah seperempat perjalanan ayah menghentikan motor di sebuah masjid untuk
beristirahat sebentar, sekitar lima sampai sepuluh menit, ayah menatapku dengan tatapan
kasian.
“Gimana nak?” ayah bertanya sambil sedikit tertawa seakan tawa ayah mengatakan
bahwa sebenarnya ini adalah perjalanan yang tidak bagus tapi mau tidak mau harus dijalani.
“hehe aku baik-baik saja kok yah, masih jauh yah perjalanannya?” seperti ada
pertentangan dihatiku ketika aku mengabarkan baik kepada ayah, mau kukatakan yang
sebenarnya tapi aku takut membuat ayah sedih, inikan keinginanku.
“Masih jauh, ini baru seperempatnya nak”.
Aku lihat ayah sedikit khawatir meneruskan perjalanan ini mungkin karena rintik yang
semakin lebat kadang juga turun hujan. Sampai sepertiga perjanan ayah mengajakku makan
disebuah pasar yang aku tahu wilayah ini namanya Ampah, setelah makan ayah mengajakku
beristirahat disebuah toko yang tutup untuk aku bisa tidur walaupun hanya sebentar. Ku
rebahkan kepalaku dipangkuan ayah, kulihat mata ayah yang memandang lurus ke jalan tidak
mau melihatku ke bawah yang merebahkan badan dipangkuannya sepertinya ayah sengaja
menyembunyikan kesedihannya mungkin saja mata ayah saat itu sedang berkaca kaca.
Oh ayah kau memang Super Heroku…
Aku tidak bisa tidur, aku meminta ayah untuk melanjutkan perjalanan. Ayah tahu aku
mengantuk, lalu ayah mengambil sarung yang ada di tasku, ayah ikat badanku agar aku tidak
jatuh kalau kalau aku tertidur, hehe ayah memang pintar. Tapi ide ayah membuatku tidak
nyaman dan aku juga tidak bisa tidur dengan jas hujan itu. Sudah hampir tiga perempat jalan
aku dan ayah menempuh perjalanan, lagi-lagi ayah menyetop motornya disebuah masjid. Ayah
bilang kita lanjutkan perjalanan sesudah subuh saja, jam menujukkan pukul setengah tiga, jadi
ada beberapa jam untuk bisa tidur.
Malam ini benar-benar malam yang panjang, akan tetapi rasa takutku dengan perjalanan
malam sudah hilang karena perjalanan malam ini. Malam ini aku seperti berada di area balapan,
ayah bagaikan pembalap di moto GP. Biasanya aku hanya menonton di tv bersama ayah, tapi
malam ini aku rasa benar ayah seorang pembalab, ayah selalu memacu motor dengan kecepatan
tinggi dan terkadang disebuah tikungan ayah memiringkan motornya sampai lutut ayah hampir
bersentuhan dengan aspal yang membuatku menahan nafas karena merasa sedikit takut. Ingin
rasanya aku bisa mengendarai motor seperti ayah, tapi ayah selalu membatasiku “kakiku belum
terlalu sampai” itu lah yang selalu menjadi alasan ayah untuk melarangku. Aku belajar
mengendarai motor dari kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah, karna aku bisa mengendarai motor dari
kecil lah yang membuatku berkeinginan menjadi pembalab wanita, keinginan yang aneh
memang.
Pagi yang menyejukkan mataku. Perjalanan pagi ini membayar perjalan tadi malam
yang menyeramkan. Ku lihat dengan jelas pohon-pohon raksasa, perkiraanku pohon-pohon itu
lebih besar dari drum-drum 100 liter, tampak juga jalan yang berkelak-kelok dan turun-naik
gunung seperti ular. Indah memang, tapi sebenarnya berbahaya karna jurang-jurangnya.
Kedatangan ku di tempat ayah dan ibu tinggal selama bekerja di sini diiringi dengan
hujan yang deras, baju ku basah terkena air hujan ketika turun dari motor. Ku lihat ibu sudah
menunggu ku di depan pintu, ku sapa ibu dengan senyuman lebar. Pengen rasanya langsung
kupeluk ibu saking rindunya, tapi baju yang basah menghalangi ku. Setelah aku bersih-bersih,
makan, dan bercerita sedikit pada ibu tentang perjalananku tadi malam, aku langsung tidur dan
istirahat.
Sesuatu yang menurutku menyeramkan adalah sesuatu yang tidak pernah ku coba, rasa
takut dihati lah sebenarnya hantu itu. Aku hanya perlu mencoba, yang pertama memang
menegangkan yang kedua akan menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Hari ini adalah hari kedua aku disini, kalau kemarin aku sudah puas makan durian
dengan ayah dan ibu. Maka hari ini aku di rumah hanya sendirian ditinggal untuk jaga rumah
katanya, karna ayah dan ibu hari ini harus kembali bekerja menenyadap karet.
“Haii…”
Kulihat ada perempuan seumuran dengan ku menyapaku di depan pintu, aku tampak
kaget melihatnya. Senyumnya manis, anak yang ramah sepertinya pikirku tentangnya. Aku
hanya membalasnya dengan senyuman, aku gugup dengan kedatangannya yang masuk ke
dalam rumahku dan langsung menghampiriku. Dia bertanya.
“Nama kamu siapa? Nama ku Sonia”
“nnn na ma a kuu Bi bi yah”. Aku tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.
Aku memang bukan anak yang mudah berinteraksi dengan orang-orang yang baru ku
kenal. Tapi ditempat ini lah aku belajar bagaimana cara mengenal orang banyak dan
menghargai keberagaman. Ayah dan ibu membantuku untuk bisa berinteraksi dengan teman-
teman disini. Syukurnya dalam waktu kurang lebih sebulan aku sudah akrab dengan mereka,
mereka sering mangajarkan ku bahasa daerah sini bahasa dayak.
Pada kesempatan kali ini aku ikut dengan teman-teman ke kios yang ada di dekat jalan
raya, jaraknya lumayan jauh dari rumah hampir satu kilometer. Di tempat tinggalku sekarang
memang tidak banyak orang-orang yang berjualan bahkan didekat rumah saja cuma ada satu
itu juga tidak terlalu lengkap jadi kalau mau beli barang yang tidak ada di warung dekat rumah
harus ke warung yang ada di pinggir jalan raya karena rumah dimana aku dan orang tuaku
sekarang tinggal memang lumayan jauh dari jalan raya, rumah yang ditempati pun adalah
rumah seperti kontrakan tepatnya rumah memanjang yang disekat-sekat, disediakan
perusahaan Cina untuk para penyadap karet seperti ayah dan ibu.
Teman-teman yang mengajakku ke warung yang dekat dengan jalan raya itu,
menceritakan bahwa ada pohon jambu biji yang berwarna merah di samping rumah orang yang
punya warung, ini lah yang menjadi alasanku mau ikut dengan mereka. Agar kami tidak malu
meminta jambu biji tersebut masing-masing dari kami membawa sedikit uang untuk jajan, dan
pemilik pohon jambu itu memberi izin ketika kami memintanya.
Sebelum kami menaiki pohon jambu, kami membagi menjadi dua kelompok. Aku
dengan Sonia, sedangkan kelompok satunya Ratih, Rahmadi, dan Juli. Mereka bertiga Ratih,
Rahmadi, dan Juli adalah bersaudara sedangkan aku dan sonia sudah seperti sahabat. Aku dan
Sonia mengatur strategi dengan membagi tugas, Sonia bertugas memungut jambunya dan aku
bertugas memanjat. Ide yang tidak masuk akal bukan? Anak sepertiku bisa memanjat pohon.
Aku tertarik untuk memanjat pohon karena aku lihat dahan pertama jambu itu tidak terlalu
tinggi dan ukuran pohon itu juga besar dan tinggi, pohon yang kuat pikirku. Dikelompoknya
Ratih, Rahmadi yang memiliki tugas sama dengan ku. Lawan yang tak seimbang bagiku
bagaimana bisa dia laki laki sementara aku perempuan dan aku juga bukan anak yang pandai
memanjat pohon, di Banjar mana ada pohon jambu seperti ini besar dan tinggi tapi itu tidak
membuatku takut bahkan itu membuatku semakin tertantang.
Ternyata benar belum apa-apa Rahmadi sudah duluan memanjat pohon itu. Aku baru
memanjat dahan yang pertama saja susahnya minta ampun, kegesitan ku dalam mengambil
buah juga kalah dengan Rahmadi, mungkin aku baru dapat tiga dia sudah dapat lima. Sonia di
bawah mengarah-arahkanku dengan menunjuk- nunjuk buah yang dilihatnya sudah matang.
“yang itu Biyah, yang itu… di kanan kamu Biyah, itu Biyah”. Teriaknya Sonia.
Setelah dapat beberapa biji buah jambu dengan perbandingan buah yang Rahmadi
dapat, aku terdiam sebentar dan kulihat-lihat buah yang mana bisa ku raih. Pandangan ku
tertuju di atas kepala, wah ternyata dahan yang ku naiki di atasnya banyak buah yang matang
lebih banyak dibandingkan disebelah kiri atau kananku. Ku lihat Rahmadi sibuk sendiri, aku
tidak mau banyak bicara nanti Rahmadi embat buah yang ada di atas kepalaku, aku mulai
sedikit demi sedikit naik ke atas dahan yang lebih tinggi.
“Biyahhhh… jangan terlalu tinggiiiii…” Sonia berteriak.
Aku yang sedang asyik menaiki dahan dan semakin dekat kulihat buah jambu yang
matang dan besar itu membuatku tidak memperdulikan Sonia.
Teriakan Sonia, membuat Rahmadi dan Ratih menoleh kearahku. Rahmadi yang
menatapku dengan tatapan menginginkan jambu yang sedang ku incar, membuatku melaju
menaiki dahan itu. Aku menghentikan panjatanku karena dahan yang ku naik mulai mengecil,
kucoba meraih jambu itu dengan tangan sebelah, dan sebelahnya ku pegang dahan yang kunaiki
kuat-kuat.
“ihhhh….” Tanganku mencoba meraih jambu itu, tapi tak kunjung sampai. Aku
beranikan diri untuk lebih tinggi memanjat lagi, tiba-tiba.
“Aaaaaaaaaaaaa…….” Aku berteriak.
“Aaaaaa…… Aaaaa….. Aaaaa…….”
“Biyahhhhhhhhh……..” Sonia melihatku dengan melotot.
Ternyata dahan yang kupegang bisa terlihat tegak karena pucuknya bersender kepucuk
pohon karet yang ada di sebelah pohon itu.
Semua orang disana kaget melihatku, melihat dahan yang kunaiki berayun-ayun seperti
ayunan. Sebelah tanganku yang tadinya ingin meraih jambu kutarik dan kupegangkan kuat-
kuat kedahan yang sedang membawaku berayun-ayun, kulihat tampak tanah di bawahku yang
jauh sekali. Dalam detik itu aku juga sempat berpikir bahwa aku akan mati terjatuh, apa lagi di
sebelah kananku ada kolam karet yang berisi rendaman karet yang baunya tidak akan hilang
sehari jika aku terlempar kedalam kolam itu. Aku tidak bisa seperti monyet yang bisa meloncat
dari satu dahan kedahan yang lain seperti yang disuruh oleh pemilik pohon itu, aku rasa ide
pemilik pohon itu hanya akan membuatku mati karna tak kuat memegang dahan yang kuloncati
dan bisa saja aku akan terjatuh. Lalu aku memutuskan untuk tidak pindah kemana-mana dan
tetap memeluk erat-erat dahan itu.
Syukurnya ayunan dahan itu semakin lama semakin lambat sampai akhirnya berhenti
berayun. Tapi ada yang menyebalkan sekali, kelompok Ratih malah mengambil kesempatan
dalam kesempitan, dahan yang kunaiki kan dahan yang banyak buah jambunya yang matang
juga besar. Setelah ayunan pohon itu berhenti dan pucuk pohon itu menunduk dan buahnya
bisa diambil dengan tangan dari bawah kelompok Ratih tidak menunggu lama dan dipetiknya
buah-buah itu. Sonia yang syok melihat ku dia tidak sempat mengambil buah jambu yang sudah
menunduk itu. Dia mencoba membantuku untuk turun tidak mementingkan buah jambu itu
lagi, benar- benar teman sejati pikirku. Sebenarnya setelah turun aku sedikit takut kalau-kalau
pemilik pohon itu marah, tapi ternyata pemiliknya tidak marah sungguh dia baik hati.
Ada sedikit kekecewaan yang kubawa dalam perjanan pulang dari tempat pohon jambu
itu ke rumah, melihat jambu yang aku dan Sonia bawa tidak terlalu banyak. Mati-matian aku
mengambil buah jambu itu, hatiku marah-marah sendiri dan menampakkan wajah cemberut
melambangkan kekecewaan. Ratih yang melihat ku, menawarkan jambu miliknya, yaaa itu
sedikit menawar kesedihanku. Dan dijalan aku masih terbayang akan kejadian di pohon itu,
membuat aku senyum-senyum sendiri, ternyata pohon yang bisa melentur itu memang ada
bukan kebohongan film belaka.

Keanggotaan sebagai bagian dari kelompok bukan ternilai dari tugas yang didapatkan
masing-asing anggota tapi dari kesetia kawanan. Perlombaan bukan semata soal menang tapi
kejujuran.
Terkadang ketika aku ingin menuju ke suatu tujuan
Ada banyak pilihan jalan
Sama sama jalan menuju titik yang sama
Tapi semua jalan memiliki rintangan yang berbeda-beda
Jika jalan pendek yang kutempuh mungkin lumpur kan kujalani
Jika jalan panjang yang kutempuh mungkin lelah mengiringi…
Keningku mengkerut, hati berbicara.
“apa yang ayam itu makan?” Ada tanda tanya dikepalaku.
Tanah yang ada dipinggir sungai itu materialnya seperti pasir, lalu ada apa disana
sehingga ayam itu betah.
Sekarang aku berdiri di atas rumah lanting, heran sebenarnya aku terhadap rumah ini
cuma ada satu rumah tidak ada tetangga. Jaraknya lumayan jauh dari rumahku mungkin lebih
dari satu kilometer, keberadaanku diatas sini ingin kekampung halamannya Lina. Lina adalah
kakaknya Ratih, untuk kekampung halaman mereka aku harus menggunakan perahu untuk bisa
sampai kesana, perahu itu bisa kami naiki dengan harga sepuluh ribu yang ada di rumah lanting
ini. Ada urusan yang harus ayahku selesaikan di kampung mereka karna itu aku, Lina dan
Rahmadi menemani ayah.
Seminggu setelah aku menemani ayah kekampung halaman keluarga Lina dan kejadian
aku melihat ayam dipinggir sungai itu, Ratih menghampiri aku yang sedang duduk santai
didepan rumah.
“Biyah, kita kekampung ku lagi yuk, kemaren kan kamu perginya sama Lina kali ini
sama aku. Kita cari buah-buahan” Ratih mengajakku sambil tersenyum.
“Emm… nanti aku izin dulu ya”
Idenya Ratih bagus juga, kalau aku pergi kekampung mereka lagi aku bisa makan
banyak buah tanpa harus bayar, lagi pula kalau meminta ayah untuk membelikan buah
kayaknya akan lama, menunggu ada waktu kosong, menunggu gajihan, dan juga perlu
mengeluarkan banyak ongkos jika harus beli dipasar, harga buahnya memang murah tapi
ongkos jalannya yang mahal semua harga disini dua kali lipat dari harga di Banjar parahnya
disini uang receh gak ada harganya. Sedangkan modal kekampung halamnya Ratih cuma
sepuluh ribu, dan itu hanya untuk bayar ongkos perahu.
Bibirku tersenyum gembira, sambil ku turuni gunung ini, angin mengibarkan bajuku,
kulihat burung-burung berkicau dan kupikir sekarang aku sudah seperti burung yang bebas
tanpa sangkar. Ayah memang beda sekarang aku selalu mendapt izin, berbeda kalau aku di
Banjar yang hanya boleh di dekat-dekat rumah saja. Entah apa yang membuat ayah bisa dengan
mudah mengizinkanku kemana-mana, mungkin pikir ayah di Puruk Cahu ini kan hutan pastilah
aku tidak akan pergi jauh-jauh. Tapi jika itu alasan ayah apa ayah tidak takut aku dimakan
binatang buas, entahlah. Yang pasti sekarang aku senang bisa kemana-mana, walaupun
kemana-mana aku harus jalan berjalan kaki. Seperti sekarang yang ku jalani bersama Ratih dan
Rahmadi ke kampung mereka hanya dengan berjalan kaki, sebenarnya aku juga heran kenapa
aku bisa sekuat ini menempuh pejalanan sampai berkilo-kilometer apalagi disini selalu ada
gunung-gunung yang didaki juga dituruni.
Sekarang kekesalanku terhadap Ratih dan saudaranya sudah hilang, aku tidak ingin
berlama-lama menyimpan kekesalan, toh yang mereka lakukan belum tentu aku tidak
melakukannya. Tetapi ada pelajaran yang harus ku terapkan dalam hidup dari kejadian di
pohon jambu kemaren, bahwa aku tidak boleh curang dalam berkompetensi.
Kami sudah hampir sampai dirumah lanting tepatnya dipersimpangan, Rahmadi
menanyakan mau jalan mana yang diambil. Ada dua jalan, jalan pertama adalah jalan yang
lebih jauh dan harus melalui hutan sedikit dan jalan kedua lebih dekat tapi kita harus menyisiri
jalan di pinggir sungai jelasnya Rahmadi. Aku sudah pernah melewati jalan pertama bersama
ayah diminggu lalu, apa salahnya kalau mencoba jalan yang kedua jaraknya lebih dekat dan
juga kulihat ayam minggu lalu yang ada dipinggir sungai itu tenang-tenang saja seperti di
pinggir pantai mengingat materialnya pasir.
Setibanya kami di pinggir sungai, kami ingin menjalani tanah pasir itu Rahmadi
memimpin di depan aku di tengah sedangkan Ratih di belakangku. Setelah aku menginjakkan
kaki dipasir itu, tidak ada apa-apa kulihat Rahmadi tenang-tenang saja di depan, tidak ada hal
yang buruk.
Entah kenapa kepalaku sedikit menunduk ke bawah dan pandanganku tertuju ke
kakinya Rahmadi yang tidak memakai sandal. Mata ku terbelalak ketika melihatnya, seketika
mulut ku terbuka, aku kaget.
“Rahmadi…” gumamku.
Aku melihat ketika Rahmadi mengangkat kaki untuk melangkah maju disetiap
langkahnya tertempellah pasir-pasir itu dikakinya seakan mengelupas sedikit pasir itu, ketika
pasir itu terkelupas karena injakan kaki Rahmadi terlihat lah cacing-cacing yang banyak, itulah
yang mengagetkan ku.
Langsung kulirik kakiku, sebelumnya ada rasa yang aneh di kakiku. Setelah kulihat,
aku langsung berteriak.
“Aaaaaaa….. Cacing….” Ada cacing ternyata yang merayap di kakiku.
Ku lempar sandalku karena kagetnya melihat cacing-cacing itu, aku tidak sadar ketika
melempar sandalku maka kakiku akan menginjak langsung cacing itu. Semakin lah aku merasa
takut dan berteriak-teriak lagi.
“Aaa…tolong Ratih…” sambil loncat-loncat.
Ratih bingung melihatku yang tiba-tiba ketakutan. Ratih dan Rahmadi memang sudah
tahu bahwa ada cacing di pinggir sungai itu tapi mereka tidak tahu bahwa aku takut dan jijik
dengan binatang melata itu.
Aku bingung apa yang harus aku lakukan, satu-satunya cara aku segera berlari ketempat
yang ada rumput-rumput dan pohonnya. Lucunya, Ratih yang melihatku berlari ketakutan dia
juga ikut berlari. Kasihan Rahmadi menjadi korban untuk mengambilkan sandalku yang ku
lempar entah kemana.
Ayah dan ibu yang mendengarkan ceritaku dari tadi ikut mentertawakanku, Akhirnya
kami semua tertawa bersama, mngkin inilah bentuk kebahagiaan dari keluargaku.
Biodata Penulis

Afwah, S. Pd. Lahir di Kertak Hanyar, 25 Desember 1976. Sekarang tinggal di Jalan A.Yani
Km.10 Green Yakin No. 8 Rt. 2 Rw. 1 Kertak Hanyar (70654) Kabupaten Banjar Kal-Sel.
(HP/Wa. 08125054116). Sekarang bertugas mendidik anak bangsa di MAN 3 Banjar. Ini
adalah pengalaman pertama menulis sebuah cerpen, dan juga mencoba untuk menulis pantun.
Karena keduanya adalah bagian dari karya sastra, sebagai suatu kekayaan budaya yang harus
dilestarikan, dan melalui sastra kita bisa jadikan media untuk menyampaikan semua rasa dan
asa kita.

Anda mungkin juga menyukai