Anda di halaman 1dari 13

Sindroma Evans

Oleh dr. Edi Hidayat.


Bagian Ilmu penyakit Dalam RSMH/FK Unsri- Palembang

PENDAHULUAN
Sindroma Evans didefinisikan sebagai kombinasi dari anemia hemolitik autoimun
(AHAI) dan trombositopenia imun ( terjadi secara simultan atau sekuensial) yang kadang-kadang
disertai dengan neutropenia imun, dengan tanpa penyebab dasar yang diketahui. Sehingga
berdasarkan definisi sindroma Evans yang sebenarnya adalah diagnosa eksklusi tanpa kelainan
penyerta (Evans dkk, 1951).1
Selanjutnya tulisan ini akan merangkum secara ringkas tentang epidemiologi,
patofisiologi dan manifestasi klinis sindroma Evans dan lebih memfokuskan pada manajemen
kelainan yang sangat sulit ini.

SEJARAH
Sindroma Evans pertama sekali dijelaskan oleh Robert Evans pada tahun 1951 ketika
mempresentasikan bukti kemungkinan adanya hubungan antara AHAI dan trombositopenia
purpura primer.1 Beliau mempelajari 29 pasien ( usia 3-78 tahun): 4 orang dengan AHAI disertai
trombositopenia tanpa purpura, 6 trombositopenia purpura primer dengan sensitisasi eritrosit
tanpa hemolisis dan 4 AHAI dengan trombositopenia purpura (sisanya AHAI dan
trombositopenia saja masing-masing 10 dan 5 pasien). Observasi ini dan kesamaan dalam hal
respon terhadap splenektomi, menyebabkan Evans menduga bahwa kelainan-kelainan ini
kemungkinan memiliki etiologi yang identik. AHAI telah diketahui disebabkan oleh adanya
autoantibodi; Evans menduga bahwa trombositopenia juga sama oleh karena adanya autoantibodi
langsung terhadap trombosit, hipotesis ini didukung oleh adanya faktor aglutinasi trombosit
dalam serum mereka. Pada studi ini, ditemukan 4 pasien dengan neutropenia. Anemia dan
trombositopenia ditandai dengan variasi yang sangat luas dalam hal onset, perjalanan klinis dan
respon terhadap terapi serta remisi spontan dan seringnya eksaserbasi

EPIDEMIOLOGI
Sindroma Evans merupakan diagnosa yang jarang walaupun frekuensi pastinya masih
belum diketahui. Sebuah review pada pasien dewasa dengan imunositopenia dari tahun 1950
-1958 didapati 399 kasus AHAI dan 367 kasus trombositopenia; hanya 6 dari 766 pasien yang
menderita sindroma Evans (Silverstein & Heck, 1962).2 Pada pasien anak dengan 164 kasus
trombositopenia purpura idiopatik dan 15 kasus AHAI, didapati 7 dengan sindroma Evans (Pui
dkk, 1980).3
Sindroma Evans diketahui tidak memiliki predileksi terhadap jenis kelamin tertentu dan
dapat ditemukan pada semua kelompok etnis dan usia.4

PATOFISIOLOGI
1
Walaupun sindroma Evans tampaknya merupakan kelainan regulasi imun, patofisiologi
pastinya masih belum diketahui. Kebanyakan studi hanya melibatkan sejumlah kecil pasien dan
interpretasi hasil temuan dibuat menjadi semakin sulit oleh adanya pengenalan terbaru bahwa
beberapa kasus sindroma Evans ternyata sitopenia sekunder autoimun terhadap sindroma
limpoproliperatif autoimun.5 Akan tetapi, secara keseluruhan, terdapat bukti untuk mendukung
adanya abnormalitas seluler dan humoral pada sindroma Evans.
Studi oleh Wang (1983) dkk terhadap enam pasien anak menemukan adanya penurunan
persentase sel T4 ( T-helper), peningkatan persentase sel T8 (T-supressor) dan penurunan yang
nyata rasio T4:T8 dibandingkan dengan kontrol dan pasien ITP kronis; abnormalitas ini menetap
selama rata-rata periode follow-up satu tahun.6 Demikian pula halnya dengan studi oleh
Karakantza dkk (2000) menemukan adanya penurunan rasio CD4/CD8 pada anak laki-laki usia
12 tahun dengan sindroma Evans walaupun pada pasien ini jumlah limfosit CD4 dan CD8-nya
menurun.7 Mereka juga menemukan peningkatan produksi interleukin-10 dan interferon gamma
sehingga mereka membuat postulasi bahwa sindroma Evans disebabkan aktivasi autoreaktif,
antibodi penghasil sel B. Akantetapi, signifikansi abnormalitas imunitas seluler ini masih belum
jelas karena hal ini juga ditemukan pada kondisi autoimun lainnya, infeksi virus dan tidak
spesifik untuk sindroma Evans.
Walaupun seringnya sel hemopoietik-autoantibodi spesifik pada pasien sindroma Evans,
masih sedikit informasi yang menjelaskan tentang antigen target.

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi yang timbul dapat berupa AHAI atau ITP yang muncul secara terpisah atau
bersamaan. Neutropenia ditemukan pada hampir 55 % pasien atau dapat dijumpai dengan
pansitopenia.4,8
Presentasi klinis meliputi gambaran anemia hemolitik yaitu: pucat, lesu, jaundice, gagal
jantung pada kasus yang berat; dan trombositopenia berupa petekie, lebam, perdarahan
mukokutan. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai limfadenopati, hepatomegali dan atau
splenomegali.3,4 Limfadenopati dan organomegali dapat dijumpai pada kondisi kronis,
intermitten dan pada beberapa kasus mungkin hanya terlihat selama episode eksaserbasi akut.4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada hitung darah lengkap akan memperlihatkan adanya sitopenia dan pemeriksaan darah
tipis menunjukkan gambaran AHAI (polikromasia, sferosit) dan untuk mengeksklusi diagnosa
lainnya ( keganasan, anemia hemolitik mikroangiopati, hemolitik kongenital dan keadaan-
keadaan trombositopenia ). Gambaran hemolitik yang seharusnya dicari meliputi peningkatan
jumlah retikulosit, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan penurunan haptoglobin. Tes
antiglobulin direk selalu positif ( walaupun sering positif lemah) dan dapat dengan IgG dan atau
komplemen (C3) yang positif.4 Tes antiglobulin indirek dapat ditemukan positif pada 52-83 %
pasien.8
Pemeriksaan antiplatelet dan antibodi antigranulosit menunjukkan hasil yang bervariasi.
Fagiolo melaporkan pada 32 pasien AHAI dewasa, ditemukan adanya antibodi antiplatelet pada

2
91% (dengan tromboaglutinasi dan indirect antiglobulin consumption tests) dan antibodi leukosit
pada 81 % (dengan citotoxicity test).9 Pui dkk menemukan adanya autoantibodi platelet hanya
pada 2 dari 6 pasien yang diperiksa dengan pemeriksaan pelepasan 14C serotonin dan antibody
granulositotoksik pada 3 dari 4 pasien.3Jadi pemeriksaan autoantibodi platelet dan granulosit bisa
positif tetapi hasil yang negatif tidak mengeksklusi diagnosa sindroma Evans.
Pada semua pasien sindroma Evans disarankan untuk diperiksa imunoglobulin serum dan
sub klas imunoglobulin, selain untuk mengeksklusi diagnosa banding juga sebagai nilai baseline
sebelum terapi imunomodulator. Sebagai tambahan, keadaan-keadaan autoimun lain, khususnya
sistemik lupus eritematosus, seharusnya diperiksa antinuclear antibody (ANA), double-stranded
DNA (dsDNA) dan rheumatoid factor. Diagnosa banding yang paling penting adalah ALPS.
Oleh karena itu pemeriksaan sub set sel T darah tepi dengan flowcitometri penting pada semua
kasus sindroma Evans. Adanya sel T double negative (CD4-/CD8-, CD3+,TCRαβ+) merupakan
pemeriksaan skrining lini pertama yang paling sensitif untuk ALPS ( untuk membedakan dengan
kasus sindroma Evans)5, lihat tabel 1.

Pemeriksaan sumsum tulang bermanfaat dalam mengevaluasi sindroma Evans dimana hal
ini penting untuk mengeksklusi proses infiltratif pada pasien-pasien dengan pansitopenia.
Sebaliknya pemeriksaan ini tidaklah selalu membantu karena temuan-temuannya yang tidak
spesifik dan mungkin normal atau menunjukkan peningkatan pada ketiga jenis sel darah.8

Tabel 1. Karakteristik sindroma Evans dibandingkan ALPS

3
DIAGNOSA BANDING
Sindroma Evans merupakan diagnosa per-eksklusi maka berdasarkan definisi kelainan
lainnya seharusnya tidak ditemukan. Oleh karena itu, sebelum menerima diagnosa sindroma
Evans penyebab-penyebab lain dari sitopenia imun dapatan seharusnya dikeluarkan, khususnya
SLE, defisiensi IgA, sindroma imunodefisiensi dapatan dan ALPS karena dibutuhkan
manajemen yang berbeda.5 Kondisi- kondisi lainya yang menyebabkan anemia hemolitik yang
terjadi bersamaan dengan trombositopenia dan menyerupai sindroma Evans meliputi paroxysmal
nocturnal hemoglobinuria (PNH), trombotik trombositopenia purpura dapatan, defisiensi
ADAMTS-13 yang diturunkan, hemolytic uremic syndrome dan sindroma Kasabach-Merrit.10
Sindroma Evans juga dapat terjadi sebagai sindroma sekunder; sejumlah laporan kasus
menjelaskan sindroma Evans yang sekunder terhadap penyakit Castleman multisentrik 11, terapi
interleukin-2 rekombinan pada karsinoma renal12 atau setelah transplantasi sum-sum tulang
autolog13 atau allogenik14.

PENGOBATAN
Pengobatan sindroma Evans masih menjadi tantangan. Sindroma ini ditandai oleh periode
remisi dan eksaserbasi dan respon terhadap pengobatan yang bervariasi bahkan pada individu
yang sama. Kebanyakan pasien membutuhkan pengobatan walaupun kadang-kadang remisi
spontan dapat terjadi: 1 dari 42 pasien dengan sindroma Evans pada survey nasional oleh
Matthew dkk pada tahun 1997.8 Indikasi pengobatan sindroma Evans berdasarkan studi
evidence-base masih belum dapat ditentukan. Walaupun demikian merupakan hal yang lazim
dan masuk akal untuk mengobati pasien simptomatik dengan sitopenia. Belum ada uji kontrol
acak dan masih sedikit trial untuk regimen pengobatan sindroma Evans dengan jumlah pasien
yang kecil.

Terapi Lini Pertama


Terapi lini pertama yang paling umum digunakan adalah kortikosteroid dan atau
immunoglobulin intravena (IVIG). Pada keadaan akut, 4transfusi darah dan atau trombosit dapat
dibutuhkan untuk mengurangi simptom4walaupun penggunaannya seharusnya diminimalisir.
Secara praktis dapat digunakan steroid sebagai terapi inisial dan kemudian dapat menambahkan
IVIG bila pasien tidak respon atau dependen steroid (gambar 1).

Kortikosteroid Walaupun sedikit trial dengan kontrol memperlihatkan efektifitasnya, steroid


masih merupakan pengobatan utama untuk mengkontrol sitopenia simptomatik, akut dengan
hasil awal yang baik. Pui dkk, memperlihatkan gambaran klinis dan follow-up jangka panjang 7
anak dengan sindroma Evans, didapati bahwa 6 anak yang mendapat pengobatan prednisolone 1-
2 mg/kgbb/hari mengalami remisi; walaupun respon ini hilang pada penurunan dosis dan atau
selama infeksi viral akut.3

4
Dosis prednisolone yang digunakan secara umum bervariasi dari 1mg/kg/hari sampai
4mg/kg/hari8, walaupun respon inisial yang baik juga dilaporkan pada pemberian mega dosis
metilprednisolone ( 30mg/kg/hari selama 3 hari kemudian 20 mg/kg/hari selama 4 hari,
selanjutnya 10, 5, 2,1 mg/kg/hari tiap satu minggu berikutnya). 14 Norton A dkk juga melaporkan
hal yang sama dengan Pui dkk dan Wang bahwa kebanyakan anak berespon dengan cepat
terhadap pemberian prednisone dengan dosis harian 1-2 mg/kgbb tetapi sering mengalami relaps
selama penghentian obat.3,6,16 Walaupun demikian pemberian steroid tetap direkomendasikan
sebagai terapi lini pertama pada anak dan dewasa karena bukan hanya luasnya pengalaman
pemberiannya dibandingkan dengan imunosupresif terbaru, tetapi respon terus terlihat pada
keadaan akut dan kadang-kadang respon komplit dapat dicapai.

Imunoglobulin intravena Pada pasien-pasien yang tidak respon dengan steroid atau
membutuhkan steroid dosis tinggi yang tidak dapat diterima untuk mempertahankan kondisi
remisi maka terapi lini pertama yang paling umum digunakan adalah IVIG. Proporsi pasien yang
mengalami respon terhadap IVIG bervariasi dan pada pasien yang respon dengan IVIG dapat
diperoleh normalisasi semua atau sebagian sitopenia. Dosis yang biasa digunakan 0,4g/kgbb/hari
selama 4 hari bahkan direkomendasikan dosis yang lebih tinggi ( sampai 5g/kgbb) untuk
memperbaiki respon AHAI.17
Belum ada studi yang menilai peranan IVIG tanpa kombinasi sebagai terapi lini pertama
pada sindroma Evans, akan tetapi digunakan bersama-sama dengan steroid atau setelah gagal
dengan pemberian steroid.

Gambar 1. Manajemen sindroma Evans: sebuah pendekatan sekuensial.*Terapi multiagen:


steroid/IVIG/vincristine/danazol/siklosporin (Scaradavou & Bussel, 1995); vincristine/methylprednisolone/siklosporin (Williams
& Boxer, 2003).

5
Terapi Lini Kedua
Terapi lini kedua sebagai terapi sindroma Evans meliputi bahan imunosupressif
(siklosporin, mycophenolate mofetil (MMF) dan danazol), antibodi monoklonal rituximab dan
kemoterapi (vincristine). Splenektomi juga dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua.
Pilihan terapi lini kedua mana yang akan digunakan tergantung pada kriteria klinis khususnya
usia, keparahan penyakit dan perjalanan penyakit oleh karena semua terapi ini memiliki efek
samping jangka pendek dan panjang yang signifikan. Norton dkk menyarankan untuk memulai
terapi dengan siklosporin yang kemudian diikuti dengan MMF 16 (gambar 1). Rituximab
digunakan pada pasien yang gagal berespon terhadap siklosporin dan MMF atau tetap
membutuhkan steroid dosis tinggi demikian halnya dengan siklosporin/MMF.16

Tabel II. Pilihan terapi lini kedua dan ketiga sindroma Evan

Siklosporin Pertama sekali pemakaian siklosporin dilaporkan pada sindroma Evans adalah
dengan dosis 5 mg/kgbb 2 x perhari selang sehari bersama dengan prednisolone untuk
pengobatan seorang anak perempuan usia 6 tahun dengan hemolisis berulang yang berat
mengancam jiwa dengan multiterapi termasuk steroid, IVIG, anti-limfosit globulin (ALG) dan
splenektomi.18 Dalam 8 minggu terapi, hitung darah pasien mengalami perbaikan dan steroid
berhasil diturunkan dari 2 mg/kgbb/hari menjadi 0,5mg/kgbb/hari. Setelah hampir dua tahun
regimen ini diberikan pasien tetap terbebas dari episode hemolisis atau trombositopenia serius
dan myopati terkait steroid juga teratasi.
Semenjak laporan tersebut diatas, berikutnya banyak dilaporkan keberhasilan dengan
regimen yang serupa pada pasien sindroma Evans yang refrakter yang menggabungkan
kortikosteroid dengan siklosporin (dosis inisial berkisar 5-10 mg/kg/hari). Studi oleh Ucar dkk,
melaporkan bahwa respon komplit dipertahankan selama lebih dari 1 tahun setelah penghentian
siklosporin dan prednisolone.19 Liu dkk juga melaporkan efek siklosporin pada 44 pasien AHAI
dengan sindroma Evans bahwa didapati angka respon yang lebih besar pada pasien yang diobati
dengan prednisolone dan danazol (89%) dibandingkan dengan yang mendapat prednisolone saja
atau kombinasi dengan danazol. Juga dilaporkan penurunan angka relaps pada kelompok yang
mendapat terapi siklosporin. 20
6
Siklosporin juga digunakan sebagai sebagai bagian dari multi terapi. Scaradavou &
Bussel menggunakan protocol ‘stepwise’: (i) steroid + IVIG; kemudian (ii) pulsed steroid
intravena, IVIG, vincristine iv dan danazol oral; dan akhirnya (iii) penambahan siklosporin oral
(5-6 mg/kg/hari) untuk pasien yang tidak respon.21
Mycophenolate mofetil merupakan inhibitor inosine monofospat dehidrogenase yang poten,
menghambat proliferasi limfosit. Studi oleh Howard dkk pada 2 pasien dewasa dengan ITP
refrakter dan AHAI memulai MMF dengan dosis 500 mg 2 kali perhari, ditingkatkan menjadi 1
gram b.i.d setelah 2 minggu. Kedua pasien mendapat prednisolone pada saat studi dimulai dan
terus dilanjutkan. Pada 13-15 bulan follow-up, satu pasien mengalami respon parsial menetap
dan diperkenankan untuk menurunkan dosis prednisolone, pasien lainnya mengalami respon
komplit meskipun prednisolon dihentikan ( MMF tetap diteruskan).22 Sebuah studi oleh Kotb dkk
(2005), pasien sindroma Evans (sebelumnya refrakter terhadap steroid dosis tinggi dan IVIG)
mengalami respon komplit dengan MMF (1 gram/hari); dengan menghentikan prednisolone
(2mg/kg/hari) dan mempertahankan MMF saja selama 6 bulan setelah memulai terapi. 23 Studi-
studi diatas menyarankan bahwa MMF dapat ditoleransi dengan baik dan mungkin bermanfaat
pada sindroma Evans, dan dipercaya bahwa MMF daapt dicoba bila dengan siklosporin
mengalami kegagalan, walaupun demikian dibutuhkan studi-studi lebih lanjut untuk memastikan
peranannya.

Vincristine Pada sebuah review dari 10 anak dengan sindroma Evans yang diobati (Wang,
1988), empat anak yang kembali kambuh (refrakter) dengan steroid dan splenektomi mendapat
terapi vincristine (1.5mg/m2/minggu i.v) selama 3 minggu. Perbaikan sementara pada ITP
terlihat pada semua pasien akan tetapi setelah itu dibutuhkan pengobatan lanjutan.24
Vincristine juga digunakan sebagai bagian dari terapi multi-agen bersama-sama dengan
immunosupressan lainnya (Scaradavou & Bussel, 1995; Williams & Boxer, 2003). 21,25 Norton A
dkk menyarankan bahwa pemberian vincristine pada sindroma Evans seharusnya
dipertimbangkan sebagai terapi multi-agent dibandingkan dengan pemberian tunggal, walaupun
lebih disarankan untuk memulai untuk mencoba pemberian rituximab sebelum menggunakan
vincristine.16
Danazol Pemberian danazol pada sindroma Evans masih bersifat anekdot, biasanya dikombinasi
dengan kortikosteroid, danazol termasuk terapi pilihan lini kedua oleh karena efek samping
jangka panjangnya yang kurang serius.
Pignon dkk (1993) menggunakan danazol ( 600-800mg) dan prednisolone 1mg/kg/hari sebagai
terapi lini pertama. Dua pasien syndrome Evans gagal mencapai respon, walaupun satu pasien
yang sebelumnya refrakter terhadap terapi mengalami respon parsial dan memiliki hemoglobin
yang normal selama 77 bulan melanjutkan terapi ( 10 mg prednisolon dan 400 mg danazol
perhari).26 Danazol juga termasuk dalam terapi multi-agen yang diusulkan oleh Scaradavou dan
Bussel (1995).21 Kurangnya data yang berarti mempersulit dalam pembuatan rekomendasi
tentang peran danazol pada sindroma Evans. Akan tetapi mengingat danazol yang dikombinasi
dengan prednisolone sebagai bagian dari protokol multi-agen (Scaradavou & Bussel, 1995)

7
mungkin bernilai sebelum terpaksa menggunakan terapi yang lebih toksik seperti splenektomi
atau transplantasi. 21

Rituximab Rituximab merupakan antibodi monoklonal tikus/manusia dengan target CD20


pada limfosit B, yang penggunaannya meningkat pada manajemen kelainan auto imun termasuk
sindroma Evans. Studi-studi terkait penggunaan rituximab pada sindroma Evans dapat dilihat
pada tabel III. Bukti terbaru, walaupun kebanyakan dari laporan yang bersifat anekdot, mem
berikan harapan dengan respon komplit menetap sampai 17 bulan dan dilaporkan kemungkinan
untuk mendapatkan respon komplit kedua atau ketiga dengan siklus yang diulang. Shanafelt dkk
(2003) mengobati 4 pasien dewasa dengan rituximab (375 mg/m2). Dua pasien mengalami
perbaikan pada AHAI atau ITP tetapi tidak pada keduanya; dua pasien sisanya tidak mengalami
respon terhadap terapi (salah satunya wanita tua dengan karsinoma hati).27
Zecca dkk (2003) mengevaluasi efikasi rituximab dengan studi multisenter prospektif pada anak
dengan AHAI refrakter, 5 diantara dengan sindroma Evans. Kisaran usia 0,3 sampai 12,5 tahun
dan semuanya mendapat 2 sampai 3 siklus terapi imunosupresif sebelumnya ( termasuk
kortikosteroid, IVIG, azatioprin dan siklosporin); tidak satupun yang menjalani splenektomi.
Pengobatan terdiri dari rituximab intra vena mingguan (375 mg/m2/dosis) untuk 3 dosis pada
emapt pasien dan 4 dosis pada satu pasien. Mayoritas pasien juga mendapat terapi kombinasi
steroid dengan atau tanpa sikosporin dan atau tanpa azatioprin. Kelima pasien mengalami respon
dalam 72 hari dengan sekurang-kurangnya peningkatan hemoglobin 1.5 mg/dl dan trombosit
secara simultan dari rata-rata 27x109/l sebelum pengobatan menjadi 140x109/l setelah dua bulan
pengobatan. Obat-obat imunsupresif kombinasi lainnya di tapering dan dihentikan dalam 25
minggu pada semua pasien. Selanjutnya pada follow-up dua pasien mengalami relaps ( pada 7
dan 8 bulan). Kemudian pada kedua pasien ini terapi rituximab menghasilkan remisi kedua; satu
pasien membutuhkan 4 siklus rituximab secara total untuk keadaan relaps tetapi mencapai respon
positif pada tiap pengobatan. Pada follow-up tiga pasien sisanya rata-rata 13 bulan menunjukkan
remisi yang berlanjut setelah hanya dengan satu siklus terapi. Pada studi ini semua anak
mendapat IVIG (0.4g/kg) setiap 3 minggu selama 6 bulan paska terapi rituximab untuk
mencegah hipogamaglobulinemia yang diinduksi oleh terapi.28
Laporan kasus dengan 1 pasien sindroma Evans yang mendapat terapi rituximab dapat dilihat
pada tabel III, dari 8 pasien yang digambarkan dalam laporan kasus ( Abdel-Raheem dkk, 2001;
Seipet dkk, 2001; Galor & O’Brien, 2003; Knecht dkk, 2004; Mantadakis dkk 2004; Quinn dkk,
2004; Urban dkk, 2004; Jubinsky & Rashid, 2005), tujuh mendapatkan respon komplit. Dari 8
pasien ini 5orang dewasa dan 3 anak; hanya yang tidak respon adalah pasien anak yang
mengalami sindroma Evans fatal refrakter terhadap semua pengobatan 10 bulan setelah
transplantasi sumsum tulang dengan donor tidak bertalian darah (Urban dkk,
2004).12,29,30,31,32,33,14,34 Pada setiap kasus dosis rituximab yang diberikan adalah 375 mg/m2 dengan
variasi jadwal dosis ( paling umum 1x/minggu untuk 4 dosis). Komplikasi yang terjadi terkait
rituximab pada studi-studi ini minimal. Penggunaan infus IVIG profilaksis setelah terapi
rituximab tidak tercatat pada kebanyakan laporan ini dan tidak terdapat efek samping serius yang

8
diakibatkan oelh rituximab. Hal ini bertolak belakang dengan studi terapi rituximab yang
diberikan pada kondisi lain ( seperti reaktivasi hepatitis B, pure red cell aplasia sekunder
terhadap infeksi parvovirus B19 dan varisela visceral fatal; Bermudez dkk, 2000; Dervite dkk,
2001; Song dkk 2002).
Walaupun masih relatif sedikitnya laporan penggunaan rituximab, khususnya pada anak,
belum jelasnya efek samping jangka panjang yang dapat terjadi, hasil terbaru yang menjanjikan
yang digambarkan diatas memberi kesan bahwa rituximab sekurang-kurangnya sama efektifnya
dan lebih aman dibandingkan dengan splenektomi. Norton A dkk, menawarkan rituximab
sebagai terapi sindroma Evans yang resisten terhadap terapi lini pertama dan siklosporin/MMF
sebagai alternative terhadap splenektomi.16
Tabel III. Rituximab untuk pengobatan sindroma Evans

Splenektomi Walaupun splenektomi merrupakan terapi lini kedua pada pasien-pasien sitopenia
autoimun (ITP atau AHAI) yang gagal atau relaps terhadap terapi standar dengan steroid +/-
IVIG, peranan splenektomi dalam manajemen sindroma Evans masih belum jelas. Secara umum,
angka respon terhadap splenektomi pada sindroma Evans lebih buruk dibandingkan dengan
angka respon 70-75 % yang dilaporkan pada ITP kronik. Walaupun splenektomi sering
menghasilkan perbaikan yang segera atau bahkan normalisasi hitung darah yang sempurna,

9
respon ini seringkali bersifat transien dan relaps terjadi pada kebanyakan kasus 1-2 bulan setelah
splenektomi3,8 tanpa memandang apakah steroid paska operasi dilanjutkan6

Terapi Lini Ketiga


Mayoritas pasien akan berespon terhadap terapi lini pertama atau kedua, sekurang-kurangnya
selama beberapa tahun. Akan tetapi pada pasien dengan penyakit yang berat akan relaps
meskipun dengan terapi lini kedua, sehingga pilihan lainnya harus dipertimbangkan. Terapi lini
ketiga yang utama meliputi siklofosfamid, alemtuzumab atau transplantasi sumsum tulang.
Untuk pasien dewasa yang lebih tua transplantasi bukanlah pilihan, oleh karena mortalitas dan
angka kegagalannya yang tinggi.

Siklofosfamid Terdapat sedikit laporan penggunaan siklofosfamid pada sindroma Evans.


Siklofosfamid dilaporkan untuk menginduksi remisi trombositopenia pada pasien sindroma
Evans yang refrakter terhadap terapi lain dengan dosis 1-2 mg/kg/hari secara oral selama 2-3
bulan (Wang dkk, 1988; Gombakins dkk, 1999).24,35 Brodsky dkk (1998) menjelaskan pemberian
siklofosfamid dosis tinggi (200mg/kg) pada 3 pasien dengan kondisi auto imun berat ( sindroma
Evans, ITP atau AHAI).36
Alemtuzumab Sedikit data yang mempublikasikan tentang penggunaan Alemtuzumab pada
sindroma Evans. Willis dkk (2001) mengobati 21 pasien dengan sitopenia autoimun, 3
diantaranya dengan sindroma Evans, dan ketiganya refrakter terhadap pengobatan sebelumnya,
yang meliputi prednisolone, IVIG, vincristine, azatioprine, siklosporin dan siklofosfamid.
Alemtuzumab diberikan dengan dosis 10 mg/hari selama 10 hari dengan 10infuse intravena.
Respon dijumpai pada 2 dari 3 pasien dengan sindroma Evans; akan tetapi keduanya relaps pada
3 bulan. Kedua pasien respon terhadap siklus kedua walaupun satu orang mengalami relaps
kembali pada 19 bulan dan yang lainnya meninggal karena metastase lima bulan setelah
menyempurnakan terapi. Pasien ketiga dengan sindroma Evans hanya mengalami respon
sementara dan meninggal akibat perdarahan serebral 80 hari setelah terapi ( Willis dkk, 2001).37
Terapi lainnya Terapi dan obat immunosupresif lainnya telah dicoba pada sindroma Evans
meliputi azatioprine, ALG, 6-tioguanine, tacrolimus, anti-D dan plasmaparesis dengan hasil yang
bervariasi. Peranan obat-obat ini dalam pencapaian respon sulit untuk dijelaskan oleh karena
penggunaannya bersama-sama dengan terapi lainnya (Matthew dkk, 1997), laporan tentang
penngunaannya juga terbatas.
Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang autolog dan allogenik telah digunakan pada sejumlah kecil pasien
sindroma Evans. Secara keseluruhan sekitar 50 % pasien hidup dengan respon komplit.

Tabel IV. Transplantasi sumsum tulang pada sindroma Evans

10
PROGNOSA
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sindroma Evans ditandai oleh
episode relaps dan remisi dari ITP dan AHAI yang berulang. Pada beberapa pasien kelihatannya
pengobatan jangka panjang hanya dapat dicapai dengan transplantasi sum-sum tulang. Pada
follow-up jangka panjang kebanyakan dilaporkan episode ITP lebih sering terjadi dan lebih sulit
dikontrol dibandingkan dengan AHAI. Data survival jangka panjang masih sangat terbatas. Dari
75 pasien yang difollow-up untuk rata-rata 3,7 dan 8 tahun (kisaran 4 bulan-19 tahun)
menunjukkan angka mortalitas berturut-turut adalah 7%, 36% dan 30 % (Wang, 1988). 24
Penyebab kematian terutama dikaitkan dengan perdarahan dan sepsis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Evans, RS., Takahashi, K. & Duane, RT. Primary thrombocytopenic purpura and
acquired hemolytic anemia. Archives of Internal Medicine, 1951;87:48-65.
2. Silverstein, MN & Heck FJ. Acquired hemolytic anemia and associated
thrombocytopenic purpura: with special reference to Evans syndrome. Mayo Clinic
Proceedings, 1962;78:1340-1346.
3. Pui C, Williams J & Wang W. Evans syndrome in childhood. The Journal of Pediatrics,
1980;97:754-758.
4. Savasan S, Warrier I & Ravindranath Y. The spectrum of Evans syndrome. Archives of
Disease in Childhood. 1997;77:245-248.
5. Teachey DT, Manno CS, Axsom KM dkk. Unmasking Evans syndrome: T-cell
phenotype and apoptotic response reveal autoimmune lymphoproliperative syndrome
(ALPS). Blood, 2005;105:2443-2448.
6. Wang W, Herrod H, Pui C dkk. Immunoregulatory abnormalities in Evans syndrome.
American Journal of Hematology. 1983;15:381-390.
7. Karakantza M, Moukaki A, Theodopoulou M dkk. Th1 and Th2 cytokines in a patients
with Evans syndrome and profound lymphopenia. British Journal of Haematology.
2000;110:968-970.

11
8. Mathew P, Chen G, Wang W. Evans syndrome: result of a national survey. Journal of
Pediatric Hematology/Oncology. 1997;19:433-437.
9. Fagiolo E. Platelet and leukocyte antibodies in autoimmune hemolytic anemia. Acta
Haematologica. 1976;56:97-106.
10. Schneppenheim R, Budde U, Hassenpflug W et al. Severe ADAMTS-13 deficiency in
childhood. Seminars in Haematology.2004;41:83-89.
11. Marsh JH, Colbourn DS, Donovan D et al. Systemic Castleman’s disease in association
with Evans syndrome and vitiligo. Medical Pediatric Oncology. 1990;18:169-172.
12. Abdel-Raheem MM, Potti A, Kobrinsky N. Severe Evans syndrome secondary to
interleukin-2 therapy: treatment with chymeric monoclonal anti CD20 antibody. Annals
of Hematology, 2001;80:543-545.
13. Kamekazi K, Fukuda T, Makino S et al. Evans Syndrome following autologous
peripheral blood stem cell transplantation for non-Hodgkin’s lymphoma. Clinical
Haematology, 2004;26-291-293.
14. Urban C, Benesch M, Sovinz P et al. Fatal Evans syndrome after matched unrelated
donor transplantation for hyper-IgM syndrome. European Journal of Haematology, 2004;
72:444-447.
15. Ozsoylo F. Megadose methylprednisolone for Evans syndrome. Pediatric Hematology
and Oncology.2000;17:727-728.
16. Norton A, Roberts I. Management of Evans syndrome. British Journal of Haematology.
2005;132:125-137.
17. Hilgartner MW, Bussel J. Use of intravenous gamma globulin for the treatment of
autoimmune neutropenia of childhood and autoimmune hemolytic anemia. American
Journal of Medicine. 1987;83:25-29.
18. Rackoff WR, Manno CS. Treatment of refractory Evans syndrome with alternate-day
cyclosporine and prednisolone. The American Journal of Pediatric
Hematology/Oncology. 1994;16:156-159.
19. Ucar B, Akg}un N, Durmus¸ et al. Treatment of refractory Evans’ syndrome with
cyclosporine and prednisolone. Pediatrics International, 1999; 41: 104–107.
20. Liu H, Shao Z, Jing L. The effectiveness of cyclosporine A in the treatment of
autoimmune hemolytic anemia and Evans syndrome. Zhonghua Xue Ye Xue Za Zhi.
2001;22:581-583.
21. Scaradavou A, & Bussel J. Evans Syndrome. Results of a pilot study utilizing a
multiagent treatment protocol. Journal of Pediatric Hematology/Oncology, 1995;17: 290–
295.
22. Howard J, Hoffbrand AV, Prentice HG & Mehta A. Mycophenolate mofetil for the
treatment of refractory autoimmunehaemolytic anaemia and autoimmune
thrombocytopenic purpura. British Journal of Haematology, 2002;117:712–715.

12
23. Kotb R, Pinganaud C, Trichet C, et al. Efficacy of mycophenolate mofetil in adult
refractory autoimmune cytopenias: a single center preliminary study. European Journal of
Haematology.2005;75: 60–64.
24. Wang, W. Evans syndrome in childhood: pathophysiology, clinical course, and treatment.
The American Journal of Pediatric Hematology/Oncology.1988;10:330–338.
25. Williams, J.A. & Boxer, L.A, Combination therapy for refractory idiopathic
thrombocytopenic purpura in adolescents. Journal of Pediatric Hematology/Oncology,
2003; 25: 232–235.
26. Pignon J, Poirson E. & Rochant H. Danazol in autoimmune haemolytic anaemia. British
Journal of Haematology,1993:83:343–345.
27. Zecca M, Nobili B, Ramenghi U, Perrotta, S. Rituximab for the treatment of refractory
autoimmune hemolytic anemia in children. Blood, 2003;101:3857–3861.
28. Shanafelt T.D, Madueme HL, Wolf RC , et al. Rituximabfor immune cytopenia in
adults: idiopathic thrombocytopenicpurpura, autoimmune hemolytic anemia, and
Evanssyndrome. Mayo Clinic Proceedings 2003;78:1340–1346.
29. Seipelt G, Bohme A, Korschmieder S. Effective treatment with rituximab in a patient
with prolymphocytoid transformed B-chronic lymphocytic leukemia and Evans
syndrome. Annals of Hematology, 2001;80:170–173.
30. Galor A, O’Brien T. Rituximab treatment for relapsed autoimmune hemolytic anemia in
Evans syndrome. European Journal of Haematology 2003;78:335–336.
31. Knecht H, Baumberger M, Tobon A. Sustained remission of CIDP associated with Evans
syndrome. Neurology, 2003;63:730–732.
32. Mantadakis E, Danilatou V, Stiakaki E, at al. Rituximab for refractory Evans syndrome
and other immunemediated hematologic diseases. American Journal of Hematology,
2004;77:303–310.
33. Mantadakis E, Danilatou V, Stiakaki E, et al. Rituximab for refractory Evans syndrome
and other immunemediatedhematologic diseases. American Journal of Hematology,
2004;77:303–310.
34. Jubinsky PT, Rashid N. Successful treatment of a patient with mixed warm and cold
antibody-mediated Evans syndrome and glucose intolerance. Pediatric Blood Cancer,
2005;44:,1–4.
35. Gombakis N, Trahana M., Athanassiou M, et al. Evans syndrome: successful
management with multiagent treatment including intermediate-dose intravenous
cyclophosphamide. Journal of Pediatric Hematology/Oncology, 1999;21: 248–249.
36. Brodsky RA, Petri M, Smith BD, S, et al. Immunoablativehigh-dose cyclophosphamide
without stem cell rescue for refractory,severe autoimmune disease. Annals of Internal
Medicine, 1998;129: 1031–1035.
37. Willis F, Marsh JCW, Bevan DH, et al. The effect of treatment with Campath-1H in
patients withautoimmune cytopenias. British Journal of Haematology, 2001;114:891–
898.

13

Anda mungkin juga menyukai