Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perkembangan ekonomi dunia cenderung konstan bahkan beberapa negara mengalami
pertumbuhan yang negatif tetapi berbeda dengan Indonesia yang mengalami pertumbuhan
ekonomi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi suatu negara
didukung oleh perkembangan industrinya, semakin berkembang industri di suatu negara
berpengaruh terhadap perekonomian negara tersebut. Tuntutan dan perkembangan ekonomi
menuntut industri untuk mengembangkan dan meningkatkan produksinya, keadaan tersebut
berpengaruh terhadap proses produksi yang meliputi sumber daya manusia, pemakaian mesin
produksi, peralatan produksi, serta penggunaan bahan-bahan berbahaya dan proses produksi
yang berbahaya untuk menunjang kelancaran produksi. Hal ini sebanding dengan meningkatnya
potensi bahaya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Semakin kuatnya perekonomian Indonesia ditunjang dengan peningkatan di bidang
industri, sehingga standar keamanan proses produksi harus semakin ditingkatkan, rekayasa
teknologi digunakan untuk mengurangi dampak bahaya bagi manusia dan lingkungan akibat
perkembangan teknologi yang semakin meningkat. Tenaga kerja merupakan pelaku yang
sekaligus menjadi sasaran pembangunan, oleh karena itu perlu adanya pengembangan dan
pembinaan sumber daya manusia sehingga produktivitasnya meningkat. Pemerintah mewajibkan
perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk menerapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970
Pasal 3 tentang Keselamatan Kerja, yang salah satu isinya adalah menciptakan keserasian antara
manusia, mesin, dan lingkungan sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan nyaman dan tidak
terjadi kelelahan yang berlebihan serta mencegah timbulnya penyakit akibat kerja. Keselamatan
kerja yang dilaksanakan sebaik-baiknya akan membawa iklim yang aman dan tenang dalam
bekerja sehingga sangat membantu hubungan kerja dan manajemen (Suma’mur, 2001).
Semua indutri terutama di pabrik-pabrik yang proses produksinya menggunakan tenaga
manusia rentan akan ancaman terhadap keselamatan kerja karena menggunakan alat-alat kerja
berbahaya. Salah satu indutri yang perlu memperhatikan keselamatan kerja adalah PT Pudak
Scientific yaitu perusahaan pabrikasi yang membuat alat-alat peraga sekolah mulai dari SD,
SMP, SMA dan SMK. Alat yang dibuat digunakan untuk pembelajaran di laboratorium atau
untuk pelatihan otomotif. Pekerjaan di setiap bidang produksi di perusahaan tersebut
mengandung risiko, dapat menimbulkan potensi bahaya, kecelakaan kerja, ketidaknyamanan
dalam bekerja, dan dapat menimbulkan penyakit akibat kerja, terutama bagi para pekerja di
lokasi produksi alat penunjang produksi dan pembuatan alat laboratorium sekolah. Tahapan yang
dilakukan dalam kunjungan industri ini adalah melakukan indentifikasi dan evaluasi terhadap
kemungkinan potensi bahaya dan gangguan kerja yang mengacu kepada ambang batas di
Indonesia. Prosesnya dengan melakukan pengukuran terhadap beberapa faktor penyebab, seperti
kebisingan, kelembaban, cahaya, suhu, radiasi pada lingkungan kerja, dan kapasitas paru-paru
pada pekerja. Hasil dari proses pengukuran dibandingkan dengan nilai ambang batas sesuai
regulasi yang berlaku di Indonesia, seperti Peraturan Pemerintah atau aturan lainnya yang telah
diterapkan di Indonesia. Terakhir dilakukan evaluasi dan rekomendasi terhadap proses produksi,
hasilnya dapat diberikan kepada perusahaan sebagai saran dan masukan untuk meningkatkan
standar-standar kselematan kerja selama proses produksi.

Profil Perusahaan
PT Pudak Scientific adalah perusahaan terpercaya dalam bidang alat pendidikan. PT
Pudak melakukan pengembangan produksi dan distribusi berbagai jenis produk alat pendidikan
sekolah dasar, menengah dan kejuruan, universitas dan lembaga pendidikan lainnya. Pudak
menempati areal seluas 3,2 hektar dan bangunan 12.000 m2 untuk kegiatan administrasi, fasilitas
produksi, gudang, dan departemen R&D. Pudak memiliki karyawan ± 2000 orang staff dan
tenaga ahli yang dikombinasikan dengan teknik produksi dan managemen yang modern dan
menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga yang bersaing. PT Pudak Scientific
menyediakan peralatan sains yang terdiri dari:
• Ilmu Pengetahuan Alam (Fisika, Kimia, dan Biologi)
• Matematika
• Alat Pelatihan Vocational
• Furnitur untuk Labolatorium
Pabrik Pudak memiliki beberapa divisi atau bagian yang di tempatkan pada ruang-ruang tertentu
yaitu:
Ruang bahan dasar 1
Bahan dasar dalam pembuatan peralatan yang di produksi oleh Pudak scientific diantaranya:
- Bahan kaca Borosilikat yang tahan panas dan tidak pecah jika dibakar. Contoh Produk: tabung
reaksi, gelas kimia, gelas ukur, labu didih, buret, dan alat gelas lainya.
- Bahan kaca optik khusus untuk lensa , bukan kaca biasa yang berwarna kehijauan. Contoh
Produk: lensa-lensa optik, balok kaca.
- Bahan plastik Plastik ABS untuk keseragaman bentuk dan warna dan PS-HI untuk
karakterisitik keras dan tidak mudah pecah dan plastik SAN yang bening dan tidak mudah pecah.
Pudak tidak menggunakan plastik recycle yang getas mudah pecah. Contoh produk : komponen
kit berbahan plastik, lensa plastik dan lainnya.
- Stainless steel adalah besi tahan karat dengan masa pakai seumur hidup, jika dibandingkan
dengan besi krom harganya memang lebih mahal, tapi pada pemakaian umum lapisan krom akan
lepas dan berkarat. Contoh produk: statif set, pembakar spriritus.
- Aluminium diecast, untuk hasil produk yang presisi, kuat dan seragam. Contoh produk: klem
universal, klem bosshead.
- Aluminium extrusion berlapis anodize. Contoh produk : precision rail.
- Desain sekering otomatis elektronik pada unit catu daya, jika catu daya mengalami hubung
singkat atau kelebihan beban maka akan otomatis mati, catu daya akan berfungsi kembali dengan
menekan tombol reset tanpa perlu mengganti sekering seperti pada catu daya umumnya.
- Bahan pelapis pada komponen umum digunakan cat powder coating menggantikan cat biasa
yang mudah tergores/lepas.
Ruang bahan dasar 2
Terdapat dua divisi dalam perakitan yaitu perakitan mekanika dan elektronika, dalam perakitan
mekanika kami dapat melihat tentang perakitan balok untuk alat peraga di tingkat sekolah dasar,
sedangkan perakitan elektronika kami dapat melihat tentang pembuatan trafo, dimulai dari
pembuatan lilitan trafo hingga sampai menjadi trafo.
3. Ruang sablon
Di ruang ini kami dapat melihat tentang pembuatan nama atau jenis perangkat yang di sablonkan
pada tempat perangkat tersebut seperti pada Kit.
4. Ruang Kalibrasi dan printing
Ruangan ini adalah tempat untuk proses kalibrasi dan printing gelas yang biasanya digunkan
untuk pembuatan alat-alat kimia yang mempunyai skala atau ukuran.
5. Ruang CNC
Ruang CNC adalah ruang pembuatan alat-alat yang berbahan dasar logam, terdapat beberapa
mesin yang bekerja dengan bantuan system computer.
6. Ruang pengerjaan plastik
Di ruangan ini terdapat beberapa mesin pembuat alat-alat peraga yang berbahan dasar plastik.
Produk plastik dicetak menggunakan mesin Injeksi Plastik dengan Mold (matres) untuk
keseragaman bentuk dan warna, berbahan plastik ABS dan PS-HI untuk karakterisitik keras L
8. Ruang pengemasan
Sebelum dikirimkan kepada konsumen, barang barang di kemas terlebih dahulu. Barang-barang
dikemas secara manual ataupun menggunakan mesin. Barang yang akan dikirim kebanyakan
berbentuk kemasan Kit, yaitu wadah plastic dengan kompartemen individual untuk masing-
masing komponen sehingga mempermudah peletakan dan pengecekan alat-alat. kotak plastic
atau kotak kayu yang diberi kode warna (color code) juga di gunakan sebgai tempat
penyimpanan kit.
9. Pembuangan limbah
Limbah dari hasil produksi di Pudak scientific di tempatkan pada ruangan tertentu, untuk bahan
dari kayu dan kaca tidak bisa di daur ulang. Pudak Scientifik bekerja sama dengan warga sekitar
dalam usaha industri kecil limbah berupa bahan plastik bisa di daur ulang dan dijadikan alat-alat
keperluan rumah tangga seperti gayung, ember dan yang lainya.
PT Pudak Scientifik memiliki banyak produk, yaitu berupa alat peraga sederhana sampai
dengan trainer system yang canggih. Mulai dari alat tunggal (single item) sampai dengan
perangkat atau set alat peraga berupa Kit yang terdiri dari komponen-komponen untuk
memenuhi pengajaran berdasarkan kurikulum tertentu.
Pelanggan atau konsumen bisa lebih fleksibel dalm pemelihan produk sesuai dengan
kebutuhan menerut jenjang pendidikan. Selain itu PT Pudak Scientifik memenuhi kebutuhan set
peralatan sesuai dengan kurikulum sekolah.
Komponen-komponen peralatan di Pudak Scientific dibuat dari material yang berkualitas
sehingga menghasilkan produk yang memiliki kualitas yang baik dan tahan lama. Seluruh
produk Pudak memiliki garansi selama 1 tahun termasuk suku cadang dan biaya service. Selain
itu Pudak juga menjamin ketersediaan suku cadang selama 5 tahun.
Teori Dasar
Literatur Mengenai Potensi Bahaya di Industri PT PUDAK Scientific
Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat
mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja.
Potensi bahaya adalah segala sesuatu yang berpotensi menyebabkan terjadinya kerugian,
kerusakan, cidera, sakit, kecelakaan atau bahkan dapat mengakibatkan kematian yang
berhubungan dengan proses dan sistem kerja. Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja pada Pasal 1 menyatakan bahwa tempat kerja ialah tiap ruangan atau
lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja, atau yang sering
dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya.
Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang
merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut.
ILO memperkirakan bahwa tiap tahun sekitar 24 juta orang meninggal karena kecelakaan
dan penyakit di lingkungan kerja termasuk didalamnya 360.000 kecelakaan fatal dan
diperkirakan 1,95 juta disebabkan oleh penyakit fatal yang timbul di ligkungan kerja. Hal
tersebut berarti bahwa pada akhir tahun hampir 1 juta pekerja akan mengalami kecelakaan kerja
dan sekitar 5.500 pekerja meninggal akibat kecelakaan atau penyakit di lingkungan kerja. Dalam
sudut pandang ekonomi, 4% atau senilai USD 1,25 Trilyun dari Global Gross Domestic Prodct
(GDP) dialokasikan untuk biaya dari kehilangan waktu kerja akibat kecelakaan dan penyakit di
lingkungan kerja, kompensasi untuk para pekerja, terhentinya produksi, dan biaya-biaya
pengobatan pekerja. Potensi bahaya kecelakaan kerja diperkirakan menyebabkan 651.000 angka
kematian, terutama di negara-negara berkembang. Bahkan angka tersebut mungkin dapat lebih
besar lagi jika sistem pelaporan dan notifikasi nya lebih baik. Data ILO menyebutkan ada 1 juta
orang di Asia yang meninggal karena penyakit akibat kerja.
Potensi bahaya dari proses produksi, yaitu potensi bahaya yang berasal atau ditimbulkan
oleh bebarapa kegiatan yang dilakukan dalam proses produksi, yang sangat bergantung dari:
bahan dan peralatan yang dipakai, kegiatan serta jenis kegiatan yang dilakukan. Potensi bahaya
keselamatan terdapat pada alat/mesin, serta bahan yang digunakan dalam proses produksi, seperti
forklift (tertabrak), gancu (tertusuk), pallet (tertimpa), dan bahan baku (tertimpa, terjatuh dari
tumpukan bahan baku), feed additive (kerusakan mata akibat terkena debu feed additive), cutter,
mesin bubut/las (kerusakan mata akibat terpercik geram, lecet akibat terkena part panas, dan
kerusakan paru-paru akibat terhirup debu las), luka bakar akibat kebocoran gas, terjepit part,
semburan panas dari blow down otomatis, kebakaran, dan peledakan. Berkut ini adalah referensi
literature dalam pengukuran potensi bahaya bagi para pekerja.
Kebisingan
Bising adalah campuran dari berbagai suara yang tidak dikehendaki ataupun yang merusak
kesehatan, saat ini kebisingan merupakan salah satu penyebab penyakit lingkungan (Slamet,
2006). Sedangkan kebisingan sering digunakan sebagai istilah untuk menyatakan suara yang
tidak diinginkan yang disebabkan oleh kegiatan manusia atau aktifitas- aktifitas alam (Schilling,
1981). Kebisingan dapat diartikan sebagai segala bunyi yang tidak dikehendaki yang dapat
memberi pengaruh negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan seseorang maupun suatu
populasi.
Aspek yang berkaitan dengan kebisingan antara lain: jumlah energi bunyi, distribusi
frekuensi, dan lama pajanan.
Kebisingan dapat menghasilkan efek akut seperti masalah komunikasi, turunnya konsentrasi,
yang pada akhirnya mengganggu job performance tenaga kerja.
Pajanan kebisingan yang tinggi (biasanya >85 dBA) pada jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan tuli yang bersifat sementara maupun kronis.
Tuli permanen adalah penyakit akibat kerja yang paling banyak diklaim.
Kualitas bunyi ditentukan oleh 2 hal yakni frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan
dalam jumlah getaran per detik yang disebut hertz (Hz), yaitu jumlah gelombang-gelombang
yang sampai di telinga setiap detiknya. Biasanya suatu kebisingan terdiri dari campuran sejumlah
gelombang dari berbagai macam frekuensi. Sedangkan intensitas atau arus energi per satuan luas
biasanya dinyatakan dalam suatu logaritmis yang disebut desibel (dB). Berdasarkan frekuensi,
tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi dan tenaga bunyi maka bising dibagi dalam 3 kategori:
1) Occupational noise (bising yang berhubungan dengan pekerjaan) yaitu bising yang
disebabkan oleh bunyi mesin di tempat kerja, misal bising dari mesin ketik.
2) Audible noise (bising pendengaran) yaitu bising yang disebabkan oleh frekuensi bunyi
antara 31,5 . 8.000 Hz.
3) Impuls noise (Impact noise = bising impulsif) yaitu bising yang terjadi akibat adanya bunyi
yang menyentak, misal pukulan palu, ledakan meriam, tembakan bedil.
Selanjutnya dengan ukuran intensitas bunyi atau desibel ini dapat ditentukan apakah bunyi itu
bising atau tidak. Dari ukuran-ukuran ini dapat diklasifikasikan seberapa jauh bunyi-bunyi di
sekitar kita dapat diterima / dikehendaki atau tidak dikehendaki atau bising.
Bising diukur dengan menggunakan alat Sound Level Meter dengan satuan desibel (dB).
Karena yang ditinjau adalah efek kebisingan terhadap manusia, maka skala yang digunakan
adalah pembobotan A. Desibel digunakan dalam lingkup polusi suara (environmental noise
pollution) untuk menyatakan suatu besaran tingkat daya, tingkat intensitas, dan tingkat tekanan
suara. Alat Sound Level Meter terdiri dari mikropon, sirkuit elektronik, dan tampilan pembacaan.
Mikropon akan mendeteksi tekanan udara yang bervariasi yang kemudian bersama-sama dengan
bunyi akan mengubahnya menjadi sinyal elektrik. Sinyal ini kemudian akan diproses oleh sirkuit
elektronik yang terdapat di dalam alat. Pembacaan akan terlihat dalam satuan desibel. Untuk
pengukuran, Sound Level Meter digenggam dan diletakkan setinggi telinga manusia yang
terpapar bising (Woodside dan Kocurek, 1997).
Menurut SK Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen
Kesehatan RI Nomor 70-1/PD.03.04.Lp, (Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Kebisingan yang
Berhubungan dengan Kesehatan Tahun 1992), tingkat kebisingan diuraikan sebagai berikut:
1) Tingkat kebisingan sinambung setara (Equivalent Continuous Noise Level =Leq) adalah
tingkat kebisingan terus menerus (=steady noise) dalam ukuran dBA, berisi energi yang sama
dengan energi kebisingan terputus-putus dalam satu periode atau interval waktu pengukuran.
2) Tingkat kebisingan yang dianjurkan dan maksimum yang diperbolehkan adalah rata-rata nilai
modus dari tingkat kebisingan pada siang, petang dan malam hari.
3) Tingkat ambien kebisingan (=Background noise level) atau tingkat latar belakang kebisingan
adalah rata-rata tingkat suara minimum dalam keadaan tanpa gangguan kebisingan pada tempat
dan saat pengukuran dilakukan, jika diambil nilainya dari distribusi statistik adalah 95% atau L-
95.
Kebisingan mempengaruhi kesehatan antara lain dapat menyebabkan kerusakan pada
indera pendengaran sampai kepada ketulian.
a. Dampak Kebisingan pada Kesehatan
Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan yang dapat dikelompokkan
secara bertingkat sebagai berikut:
Gangguan Fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputus-putus atau
yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah (± 10
mmHg), peningkatan nadi, konstruksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan
kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris. Bising dengan intensitas
tinggi dapat menyebabkan pusing/sakit kepala.
Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, dan
cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit
psikosomatik berupa gastritis, jantung, stres, kelelahan, dan lain-lain.
Gangguan Keseimbangan
Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa atau
melayang yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing (vertigo)
atau mual-mual.
Efek pada Pendengaran
Pengaruh utama dari bising pada kesehatan adalah kerusakan pada indera pendengaran,
yang menyebabkan tuli progresif dan efek ini telah diketahui dan diterima secara umum
dari zaman dulu. Mula-mula efek bising pada pendengaran adalah sementara dan
pemulihan terjadi secara cepat sesudah pekerjaan di area bising dihentikan. Akan tetapi
apabila bekerja terus-menerus di area bising maka akan terjadi tuli menetap dan tidak dapat
normal kembali, biasanya dimulai pada frekuensi 4000 Hz dan kemudian makin meluas ke
frekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi yang biasanya digunakan untuk
percakapan.
b. Dampak Kebisingan pada Daya Kerja
Kebisingan mempunyai efek merugikan kepada daya kerja. Pengaruh-pengaruh negatif
demikan adalah sebagai berikut (Suma’mur, 1996):
Gangguan
Kebisingan adalah suara-suara yang tidak dikehendaki, maka dari itu kebisingan sering
mengganggu, walau pun terdapat variasi di antara penerangan dalam besarnya gangguan
atas jenis dan kekerasan suatu kebisingan. Pada umumya, kebisingan bernada tinggi sangat
mengganggu, terlebih lagi yang terputus-putus atau yang datangnnya secara tiba-tiba dan
tak terduga.
Komunikasi dengan pembicaraan
Resiko potensial kepada pendengaran terjadi jika komunikasi pembicaraan harus
dijalankan dengan berteriak. Gangguan komunikasi ini menyebabkan terganggunya
pekerjaan bahkan mungkin terjadi kesalahan terutama pada penggunaan tenaga baru.
Pengaruh pada komunikasi dengan pembicaraan dapat dilakukan dengan mengukur rata-
rata intensitas oktaf-oktaf di antara 600-1200, 1200-2400, dan 2400-4800 Hz. Nilai ini
disebut Tingkat Gangguan Pembicaraan (Speech Interferrence Level).
Kriteria Kantor
Kebutuhan pembicaraan, baik langsung atau pun lewat telepon adalah sangat penting di
kantor dan ruang sidang. Oleh karena itu telah ditemukan bahwa tingkat gangguan
pembicaraan saja tidak selalu memadai sebagai pedoman untuk menentukan tepat tidaknya
tingkat kegaduhan.
Efek pada Pekerjaan
Kebisingan mengganggu perhatian yang perlu terus-menerus dicurahkan. Maka dari itu,
tenaga kerja yang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap suatu proses produksi
atau hasil dapat membuat kesalahan-kesalahan akibat dari terganggunya konsentrasi.
Reaksi masyarakat
Pengaruhnya akan besar apabila kebisingan akibat suatu proses produksi membuat
masyarakat sekitar protes agar kegiatan produksi tersebut dihentikan.
Peraturan–peraturan yang berhubungan dengan lingkup kebisingan di industri antara lain:
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang “Baku Tingkat
Kebisingan”. Nilai baku tingkat kebisingan untuk tiap kawasan yang ada pada peraturan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Baku Mutu Tingkat Kebisingan
Tingkat kebisingan dB(A)
Peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan

a. Peruntukan kawasan
1. Perumahan dan pemukiman 55
2. Perdagangan dan jasa 70
3. Perkantoran dan perdagangan 65
4. Ruang terbuka hijau 50
5. Industri 70
Tingkat kebisingan dB(A)
Peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan

6. Pemerintahan dan fasilitas umum 60


7. Rekreasi 70
8. Khusus
Bandar udara
Stasiun kereta api 60
Pelabuhan laut 70
Cagar budaya

b. Lingkungan kegiatan
1. Rumah Sakit atau sejenisnya 55
2. Sekolah atau sejenisnya 55
3. Tempat ibadah atau sejenisnya 55

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 Tahun 1999 tentang “Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika di Tempat Kerja”. Salah satu faktor fisik yang diatur adalah kebisingan. Dalam
peraturan tersebut diatur nilai ambang batas kebisingan dimana diambil hubungan antara
waktu pemajanan kebisingan dan besaran intensitas kebisingan. Rata-rata eksposur yang
diterima seseorang dengan pembebanan waktu kerja disebut Time-Weight Average (TWA).
Nilai ambang batas pada keputusan Menteri tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Nilai Ambang Batas Kebisingan
Intensitas Kebisingan
Waktu Pemajanan per hari
dalam dB (A)
8 Jam 85
4 88
2 91
1 94
30 Menit 97
15 100
7,5 103
3,75 106
1,88 109
0,94 112

28,12 Detik 115


14,06 118
7,03 121
Intensitas Kebisingan
Waktu Pemajanan per hari
dalam dB (A)
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139

Suhu dan Kelembaban


Suhu adalah ukuran energi kinetik rata-rata dari pergerakan molekul-molekul. Suhu suatu
benda ialah keadaan yang menentukan kemampuan benda tersebut, untuk memindahkan atau
transfer panas ke benda-benda lain atau menerima panas dari benda – benda lain tersebut. Selain
itu suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas dingin suatu benda. Alat yang biasa
digunakan untuk mengukur suhu adalah thermometer. Indikator yang paling umum digunakan
dalam melakukan uji kenyamanan pada temperatur adalah suhu udara. Meskipun merupakan
indikator penting yang harus diperhitungkan, suhu bukan satu-satunya indikator. Menurut
Haditia (2012), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kenyamanan pekerja
terhadap suhu suatu lingkungan pekerjaan, faktor tersebut merupakan faktor personal maupun
lingkungan, yaitu sebagai berikut:
Suhu Udara merupakan suhu di sekitar tubuh, hal ini biasanya ditunjukkan dalam derajat
Celcius maupun Farenheit.
Suhu Radiasi adalah panas yang terpancar dari benda yang menghasilkan panas. Panas radiasi
muncul ketika terdapat sumber panas dalam suatu lingkungan. Suhu radiasi memiliki
pengaruh lebih besar dari suhu udara karena suhu radiasi menentukan seberapa besar suatu
lingkungan mendapatkan panas dari sebuah sumber panas. Seperti contohnya adalah matahari,
api, tungku, mesin uap, dan mesin pelebur logam.
Kecepatan Udara menunjukkan kecepatan pergerakan udara yang melalui pekerja, udara ini
dapat saja membantu menyejukkan udara di sekitar pekerja jika udara disekitar pekerja yang
bertiup lebih dingin dari pada udara di lingkungan. Faktor kecepatan udara merupakan faktor
penting dikarenakan tubuh manusia sensitif terhadap hal tersebut. Udara yang tidak
bersikulasi akan menyebabkan pengap dan menimbulkan bau. Pergerakan udara dalam suatu
lingkungan yang bersuhu tunggi dapat mengurangi panas karena pergerakan panas melalui
konveksi.
Kelembaban udara adalah rasio antara jumlah aktual uap air di udara dan jumlah maksimal
uap air yang dapat disimpan udara pada suatu keadaan suhu tertentu. Kelembaban relatif
antara 40 % - 70% tidak berdampak besar terhadap kenyamanan.
Pakaian, pada dasarnya, pakaian akan mengganggu kemampuan manusia untuk mengeluarkan
panas ke lingkungan. Kenyamanan termal sangat tergantung pada efek isolasi yang diberikan
pakaian terhadap tubuh pekerja. Menggunakan pakaian yang berlapis-lapis dapat menjadi
penyebab utama tekanan panas bahkan saat lingkungan tidak dianggap panas sekalipun.
Work Rate, tingkat pekerjaan atau metabolisme sangat penting untuk penilian resiko termal.
Ini menggambarkan panas yang dihasilkan dalam tubuh saat manusia melakukan akivitas
fisik. Semakin berat aktivitas fisik yang dilakukan, semakin banyak panas yang dihasilkan.
Semakin banyak panas yang dihasilkan, semakin banyak pula panas yang harus dikeluarkan
tubuh agar tidak terjadi overheat. Tingkat metabolisme seseorang sangat berdampak terhadap
kenyamanan termal seseorang.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 261 Tahun 1998, menyatakan bahwa
suhu pada lingkungan kerja industri dalam rentang 21-30 0C dan kelembaban antara 65% 95%.
Penerangan / Pencahayaan (Illuminasi)
Cahaya merupakan satu bagian berbagai jenis gelombang elektromagnetis yang terbang
ke angkasa dimana gelombang tersebut memiliki panjang dan frekuensi tertentu yang nilainya
dapat dibedakan dari energi cahaya lainnya dalam spectrum elektromagnetisnya (Suhadri, 2008).
Menurut Kepmenkes No. 1405 Tahun 2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran, dan Industri, pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif.
Penerangan dalam lingkungan kerja harus cukup untuk menimbulkan kesan yang
higienis. Disamping itu cahaya yang cukup akan memungkinkan pekerja dapat melihat objek
yang dikerjakan dengan jelas dan menghindarkan dari kesalahan kerja. Berkaitan dengan
pencahayaan dalam hubungannya dengan penglihatan orang didalam suatu lingkungan kerja
maka faktor besar-kecilnya objek atau umur pekerja juga mempengaruhi. Pekerja di suatu pabrik
arloji misalnya objek yang dikerjakan sangat kecil maka intensitas penerangan relatif harus lebih
tinggi dibandingkan dengan intensitas penerangan di pabrik mobil. Demikian juga umur pekerja
dimana makin tua umur seseorang, daya penglihatannya semakin berkurang. Orang yang sudah
tua dalam menangkap objek yang dikerjakan memerlukan penerangan yang lebih tinggi daripada
orang yang lebih muda. Akibat dari kurangnya penerangan di lingkungan kerja akan
menyebabkan kelelahan fisik dan mental bagi para karyawan atau pekerjanya. Gejala kelelahan
fisik dan mental ini antara lain sakit kepala (pusing-pusing), menurunnya kemampuan
intelektual, menurunnya konsentrasi dan kecepatan berpikir. Disamping itu kurangnya
penerangan memaksa pekerja untuk mendekatkan matanya ke objek guna mmeperbesar ukuran
benda. Hal ini akomodasi mata lebih dipaksa dan mungkin akan terjadi penglihatan rangkap atau
kabur. Untuk mengurangi kelelahan akibat dari penerangan yang tidak cukup dikaitkan dengan
objek dan umur pekerja ini dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
Perbaikan kontras dimana warna objek yang dikerjakan kontras dengan latar belakang objek
tersebut. Misalnya cat tembok di sekeliling tempat kerja harus berwarna kontras dengan
warna objek yang dikerjakan.
Meningkatkan penerangan, sebaiknya 2 kali dari penerangan diluar tempat kerja.Disamping
itu di bagian-bagian tempat kerja perlu ditambah dengan dengan lampu-lampu tersendiri.
Pengaturan tenaga kerja dalam shift sesuai dengan umur masing-masing tenaga kerja.
Misalnya tenaga kerja yang sudah berumur diatas 50 tahun tidak diberikan tugas di malam
hari.
Disamping akibat-akibat pencahayaan yang kurang seperti diuraikan diatas, penerangan
/pencahayaan baik kurang maupun cukup kadang-kadang juga menimbulkan masalah apabila
pengaturannya kurang baik yakni silau. Silau juga menjadi beban tambahan bagi pekerja
maka harus dilakukan pengaturan atau dicegah.
Pencegahan silau dapat dilakukan antara lain:
Pemilihan jenis lampu yang tepat misalnya neon. Lampu neon kurang menyebabkan silau
dibandingkan lampu biasa.
Menempatkan sumber-sumber cahaya / penerangan sedemikian rupa sehingga tidak langsung
mengenai bidang yang mengkilap.
Tidak menempatkan benda-benda yang berbidang mengkilap di muka jendela yang langsung
memasukkan sinar matahari.
Penggunaan alat-alat pelapis bidang yang tidak mengkilap.
Mengusahakan agar tempat-tempat kerja tidak terhalang oleh bayangan suatu benda. Dalam ruangan
kerja sebaiknya tidak terjadi bayangan-bayangan.
Penerangan yang silau buruk (kurang maupun silau) di lingkungan kerja akan menyebabkan hal-
hal sebagai berikut:
Kelelahan mata yang akan berakibat berkurangnya daya dan efisiensi kerja.
Kelemahan mental
Kerusakan alat penglihatan (mata).
Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas maka dalam mendirikan bangunan tempat kerja
(pabrik, kantor, sekolahan, dan sebagainya) sebaiknya mempertimbangkan ketentuan-ketentuan
antara lain sebagai berikut:
Jarak antara gedung dan abngunan-bangunan lain tidak mengganggu masuknya cahaya
matahari ke tempat kerja, Jendela-jendela dan lubang angin untuk masuknya cahaya matahari
harus cukup, seluruhnya sekurang-kurangnya 1/6 daripada luas bangunan, Apabila cahaya
matahari tidak mencukupi ruangan tempat kerja, harus diganti dengan penerangan lampu yang
cukup, Penerangan tempat kerja tidak menimbulkan suhu ruangan panas (tidak melebihi 32
derajat celsius), Sumber penerangan tidak boleh menimbulkan silau dan bayang-bayang yang
mengganggu kerja, Sumber cahaya harus menghasilkan daya penerangan yang tetap dan
menyebar serta tidak berkedip-kedip .Efek pencahayaan yang buruk: mata tidak nyaman, mata
lelah, sakit kepala, berkurangnya kemampuan melihat, dan menyebabkan kecelakaan.
Keuntungan pencahayaan yang baik: meningkatkan semangat kerja, produktivitas, mengurangi
kesalahan, meningkatkan housekeeping, kenyamanan lingkungan kerja, mengurangi kecelakaan
kerja.
Peraturan Sistem Pencahayaan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1405 Tahun 2002, pencahayaan adalah
jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara
efektif. Pencahayaan minimal yang dibutuhkan menurut jenis kegiatannya adalah sebagai
berikut:
Tabel 3. Pencahayaan Minimal untuk Beberapa Jenis Pekerjaan (Sumber: KEPMENKES RI. No.
1405/MENKES/SK/XI/02)
Jenis Kegiatan Tingkat Pencahayaan Keterangan
Minimal (Lux)
Pekerjaan kasar dan tidak 100 Ruang penyimpanan & ruang
terus–menerus peralatan/instalasi yang
memerlukan pekerjaan yang
kontinu/ terus menerus
Pekerjaan kasar dan terus- 200 Pekerjaan dengan mesin dan
menerus perakitan kasar
Pekerjaan rutin 300 Ruang administrasi, ruang
kontrol, pekerjaan mesin &
perakitan/penyusun
Pekerjaan agak halus 500 Pembuatan gambar atau
bekerja dengan mesin kantor,
pekerjaan pemeriksaan atau
pekerjaan dengan mesin
Pekerjaan halus 1000 Pemilihan warna,
pemrosesan teksti, pekerjaan
mesin halus & perakitan
halus
Pekerjaan amat halus 1500 Mengukir dengan tangan,
Tidak menimbulkan pemeriksaan pekerjaan mesin
bayangan dan perakitan yang sangat
halus
Pekerjaan terinci 3000 Pemeriksaan pekerjaan,
Tidak menimbulkan perakitan sangat halus
bayangan
Penerangan di Tempat Kerja
Menurut Kepmenkes No. 1405 tahun 2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja Perkantoran dan Industri, agar pencahayaan memenuhi persyaratan kesehatan, perlu
dilakukan tindakan sebagai berikut:
1. Pencahayaan alam maupun buatan diupayakan agar tidak menimbulkan kesilauan dan
memiliki intensitas sesuai dengan peruntukannya.
2. Kontras sesuai dengan kebutuhan, hindarkan terjadinya kesilauan atau bayangan.
3. Untuk ruang kerja yang menggunakan peralatan berputar dianjurkan untuk tidak
menggunakan lampu neon.
4. Penempatan bola lampu dapat menghasilkan penyinaran yang optimum dan bola lampu sering
dibersihkan.
5. Bola lampu yang mulai tidak berfungsi dengan baik segera diganti.
Radiasi Elektromagnetik
Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam bentuk panas, partikel
atau gelombang elektromagnetik/cahaya (foton) dari sumber radiasi. Ada beberapa sumber
radiasi yang kita kenal di sekitar kehidupan kita, contohnya adalah televisi, lampu penerangan,
alat pemanas makanan (microwave oven), komputer, dan lain-lain. Selain benda-benda tersebut
ada sumber-sumber radiasi yang bersifat unsur alamiah dan berada di udara, di dalam air atau
berada di dalam lapisan bumi. Beberapa di antaranya adalah Uranium dan Thorium di dalam
lapisan bumi; Karbon dan Radon di udara serta Tritium dan Deuterium yang ada di dalam air.
Secara garis besar radiasi digolongkan ke dalam radiasi pengion dan radiasi non-pengion.
a. Radiasi Pengion
Radiasi pengion adalah jenis radiasi yang dapat menyebabkan proses ionisasi (terbentuknya
ion positif dan ion negatif) apabila berinteraksi dengan materi. Yang termasuk dalam jenis
radiasi pengion adalah partikel alpha, partikel beta, sinar gamma, sinar-X dan neutron. Setiap
jenis radiasi memiliki karakteristik khusus. Yang termasuk radiasi pengion adalah partikel alfa
(α), partikel beta (β), sinar gamma (γ), sinar-X, partikel neutron.
b. Radiasi Non Pengion
Radiasi non-pengion adalah jenis radiasi yang tidak akan menyebabkan efek ionisasi apabila
berinteraksi dengan materi. Radiasi non-pengion tersebut berada di sekeliling kehidupan kita.
Yang termasuk dalam jenis radiasi non-pengion antara lain adalah gelombang radio (yang
membawa informasi dan hiburan melalui radio dan televisi); gelombang mikro (yang digunakan
dalam microwave oven dan transmisi seluler handphone); sinar inframerah (yang memberikan
energi dalam bentuk panas); cahaya tampak (yang bisa kita lihat); sinar ultraviolet (yang
dipancarkan matahari).
Ada dua macam sifat radiasi yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan sumber radiasi
pada suatu tempat atau bahan, yaitu sebagai berikut :
Radiasi tidak dapat dideteksi oleh indra manusia, sehingga untuk mengenalinya diperlukan suatu
alat bantu pendeteksi yang disebut dengan detektor radiasi. Ada beberapa jenis detektor yang
secara spesifik mempunyai kemampuan untuk melacak keberadaan jenis radiasi tertentu yaitu
detektor alpha, detektor gamma, detektor neutron, dll.
Radiasi dapat berinteraksi dengan materi yang dilaluinya melalui proses ionisasi, eksitasi dan
lain-lain. Dengan menggunakan sifat-sifat tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk
membuat detektor radiasi.
c. Radiasi Ultraviolet
Berdasarkan panjang gelombang, radiasi UV dibagi atas UV-C (100 - 280 nm), UV-B (280 - 315
nm) dan UV-A (315 - 400 nm), sedangkan radiasi infra merah dibagi atas IR-A (770 nm -1,4
μm), IR-B (1,4 – 3 μm) dan IR-C (3 μm – 1 mm). Efek yang ditimbulkan akibat pajanan radiasi
optik pada tubuh sangat bergantung pada panjang gelombang yang berhubungan dengan daya
tembus atau penetrasi radiasi optik pada jaringan tubuh. Sasaran utama dari pajanan pada tubuh
adalah kulit dan mata.

Tabel 4. Waktu Pemajanan radiasi Sinar Ultraviolet yang Diperkenankan

1.3.5.1 Pengaruh Radiasi Terhadap Tubuh Manusia


Sel dalam tubuh manusia terdiri dari sel genetic dan sel somatic. Sel genetic adalah sel
telur pada perempuan dan sel sperma pada laki-laki, sedangkan sel somatic adalah sel-sel lainnya
yang ada dalam tubuh. Berdasarkan jenis sel, maka efek radiasi dapat dibedakan atas efek genetik
dan efek somatik. Efek genetik atau efek pewarisan adalah efek yang dirasakan oleh keturunan
dari individu yang terkena paparan radiasi. Sebaliknya efek somatik adalah efek radiasi yang
dirasakan oleh individu yang terpapar radiasi. Waktu yang dibutuhkan sampai terlihatnya gejala
efek somatik sangat bervariasi sehingga dapat dibedakan atas efek segera dan efek tertunda. Efek
segera adalah kerusakan yang secara klinik sudah dapat teramati pada individu dalam waktu
singkat setelah individu tersebut terpapar radiasi, seperti epilasi (rontoknya rambut), eritema
(memerahnya kulit), luka bakar dan penurunan jumlah sel darah. Kerusakan tersebut terlihat
dalam waktu hari sampai mingguan pasca iradiasi. Sedangkan efek tertunda merupakan efek
radiasi yang baru timbul setelah waktu yang lama (bulanan/tahunan) setelah terpapar radiasi,
seperti katarak dan kanker.
Bila ditinjau dari dosis radiasi (untuk kepentingan proteksi radiasi), efek radiasi
dibedakan atas efek deterministik dan efek stokastik. Efek deterministik adalah efek yang
disebabkan karena kematian sel akibat paparan radiasi, sedangkan efek stokastik adalah efek yang
terjadi sebagai akibat paparan radiasi dengan dosis yang menyebabkan terjadinya perubahan pada
sel.Efek Deterministi (efek non stokastik) Efek ini terjadi karena adanya proses kematian sel
akibat paparan radiasi yang mengubah fungsi jaringan yang terkena radiasi. Efek ini dapat terjadi
sebagai akibat dari paparan radiasi pada seluruh tubuh maupun lokal. Efek deterministik timbul
bila dosis yang diterima di atas dosis ambang (threshold dose) dan umumnya timbul beberapa saat
setelah terpapar radiasi. Tingkat keparahan efek deterministik akan meningkat bila dosis yang
diterima lebih besar dari dosis ambang yang bervariasi bergantung pada jenis efek. Pada dosis
lebih rendah dan mendekati dosis ambang, kemungkinan terjadinya efek deterministik dengan
demikian adalah nol. Sedangkan di atas dosis ambang, peluang terjadinya efek ini menjadi 100%.
Efek Stokastik Dosis radiasi serendah apapun selalu terdapat kemungkinan untuk
menimbulkan perubahan pada sistem biologik, baik pada tingkat molekul maupun sel. Dengan
demikian radiasi dapat pula tidak membunuh sel tetapi mengubah sel Sel yang mengalami
modifikasi atau sel yang berubah ini mempunyai peluang untuk lolos dari sistem pertahanan tubuh
yang berusaha untuk menghilangkan sel seperti ini. Semua akibat proses modifikasi atau
transformasi sel ini disebut efek stokastik yang terjadi secara acak. Efek stokastik terjadi tanpa ada
dosis ambang dan baru akan muncul setelah masa laten yang lama. Semakin besar dosis paparan,
semakin besar peluang terjadinya efek stokastik, sedangkan tingkat keparahannya tidak ditentukan
oleh jumlah dosis yang diterima. Bila sel yang mengalami perubahan adalah sel genetik, maka
sifat-sifat sel yang baru tersebut akan diwariskan kepada turunannya sehingga timbul efek genetik
atau pewarisan. Apabila sel ini adalah sel somatik maka sel-sel tersebut dalam jangka waktu yang
relatif lama, ditambah dengan pengaruh dari bahan-bahan yang bersifat toksik lainnya, akan
tumbuh dan berkembang menjadi jaringan ganas atau kanker. Paparan radiasi dosis rendah dapat
menigkatkan resiko kanker dan efek pewarisan yang secara statistik dapat dideteksi pada suatu
populasi, namun tidak secara serta merta terkait dengan paparan individu.
· Radiasi infra merah dapat menyebabkan katarak.
· Laser berkekuatan besar dapat merusak mata dan kulit.
· Medan elektromagnetik tingkat rendah dapat menyebabkan kanker.
· Contoh radiasi ultraviolet : pengelasan, Radiasi Inframerah : furnacesn/ tungku pembakaran.
Prinsip dasar yang harus dipatuhi dalam penggunaan radiasi untuk berbagai keperluan
Dalam penggunaan radiasi untuk berbagai keperluan ada ketentuan yang harus dipatuhi untuk
mencegah penerimaan dosis yang tidak seharusnya terhadap seseorang. Ada 3 prinsip yang telah
direkomendasikan oleh International Commission Radiological Protection (ICRP) untuk dipatuhi,
yaitu :
1. Justifikasi, Setiap pemakaian zat radioaktif atau sumber lainnya harus didasarkan pada azaz
manfaat. Suatu kegiatan yang mencakup paparan atau potensi paparan hanya disetujui jika
kegiatan itu akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar bagi individu atau masyarakat
dibandingkan dengan kerugian atau bahaya yang timbul terhadap kesehatan.
2. Limitasi, Dosis ekivalen yang diterima pekerja radiasi atau masyarakat tidak boleh melalmpaui
Nilai Batas Dosis (NBD) yang telah ditetapkan. Batas dosis bagi pekerja radiasi dimaksudkan
untuk mencegah munculnya efek deterministik (non stokastik) dan mengurangi peluang terjadinya
efek stokastik.
3. Optimasi, Semua penyinaran harus diusahakan serendah-rendahnya (as low as reasonably
achieveable - ALARA), dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial. Kegiatan
pemanfaatan tenaga nuklir harus direncanakan dan sumber radiasi harus dirancang dan
dioperasikan untuk menjamin agar paparan radiasi yang terjadi dapat ditekan serendah-rendahnya.
Berikut ini adalah efek dari radiasi sinar bagi manusia.
Gambar 1. Efek Radiasi Non Pengion

1.3.6. Debu
Salah satu tipe pencemar udara adalah partikel debu. Debu adalah salah satu partikel yang
melayang di udara, berukuran 1-500 µm. Debu umumnya timbul karena aktivitas mekanis seperti
aktivitas mesin-mesin industri,
transportasi, bahkan aktivitas manusia lainnya.
• Debu memiliki sifat-sifat berikut, antara lain :
• Debu dapat mengendap karena dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi.
• Debu memiliki permukaan yang selalu basah karena dilapisi oleh air.
• Debu mampu membentuk gumpalan atau koloni karena permukannya yang selalu basah.
• Debu bersifat listrik statis, artinya debu mampu menangkap partikel lain yang
berlawanan.
• Debu bersifat opsis, artinya debu mampu memancarkan cahaya pada saat gelap
Sedangkan menurut macamnya, debu diklasifikasikan atas 3 jenis yaitu :
• Debu organik, yaitu debu yang berasal dari makhluk hidup
• Debu metal, yaitu debu yang di dalamnya terkandung unsur-unsur logam (Pb, Hg, Cd,
dan As)
• Debu mineral, yaitu debu yang di dalamnya terkandung senyawa kompleks
Debu memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, antara lain
• Debu fisik (debu tanah, batu, dan mineral),
• Debu kimia (debu organic dan anorganik),
• Debu biologis (virus, bakteri, kista),
• Debu eksplosif atau debu yang mudah terbakar (batu bara, Pb),
• Debu radioaktif (Uranium, Titanium),
• Debu Inert (debu yang tidak bereaksi kimia dengan zat lain)
Debu industri yang terdapat dalam udara terbagi dua, yaitu :
• Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara,
partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi.
• Suspended particulate matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah
mengendap.
Pengukuran total suspended particulate (TSP) dilakukan untuk mengetahui seluruh kadar
particulate matter (PM) yang terdapat di udara. PM merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
menunjukkan campuran partikel padat dan cairan droplet yang tersuspensi di udara. Partikel-
partikel ini terbentuk dari berbagai sumber, seperti pembangkit listrik, proses industri, dan mesin
kendaraan bermotor. Particulate matter tersusun atas partikel kasar dan halus.
Partikel kasar memiliki diameter aerodinamis antara 2.5 µm hingga 10 µm (PM 10).
Terbentuk dari berbagai proses industri seperti crushing, grinding, abrasion of surfaces,
evaporation of sprays, dan suspension of dust. Waktu tinggal PM10 di udara berkisar dari mulai
menit hingga jam, dan memiliki jarak tempuh bervariasi antara <1km hingga 10 km.
Partikel halus memiliki diameter aerodinamis kurang dari 2.5 µm (PM 2.5). PM 2.5
berbeda dari PM 10 dari segi ukuran dan komposisi kimia. Partikel ini terbentuk dari gas dan
kondensasi uap temperatur tinggi selama pembakaran, dan pada umumnya tersusun atas senyawa
sulfat, senyawa nitrat, senyawa karbon, ammonium, ion hidrogen, senyawa organik, logam (Pb,
Cd, V, Ni, Cu, Zn, Mn, dan Fe), dan partikel air. Sumber utama dari PM 2.5 adalah pembakaran
bahan bakar fosil, pembkaran vegetasi, dan pemrosesan logam. Waktu tinggal di udara berkisar
dari hari hingga minggu dan memiliki jarak tempuh yang berkisar antara 100 hingga >1000 km.
Debu yang berukuran 5-10 μm akan tertangkap pernafasan bagian atas, 3-5 μm
tertangkap pernafasan bagian tengah, 1-3 μm tertangkap pada alveoli (paru-paru bagian dalam).
Sedangkan debu yang berukuran 0,1-1 μm akan mengikuti gerak brown dan terbawa keluar
kembali.
Pengaruh debu terhadap kesehatan dapat berupa pneumoconiosis (silicosis, asbestosis,
dan fibrosis parah), keracunan sistemik (debu yang mengandung logam berat), metal fume fever,
alergi, iritasi pada hidung dan tenggorokan, infeksi bakteri dan jamur, serta kerusakan jaringan
organ dalam.
1.3.7. WBGT
Iklim kerja merupakan kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan
dan suhu radiasi. Kombinasi keempat faktor tersebut bila dihubungkan dengan produksi panas
oleh tubuh dapat disebut dengan tekanan panas. Indeks tekanan panas disuatu lingkungan kerja
adalah perpaduan antara suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan udara, dan panas
metabolisme sebagai hasil aktivitas seseorang.
Suhu tubuh manusia dapat dipertahankan secara stabil oleh sistem termoregulator pada
tubuh. Suhu dapat stabil karena adanya keseimbangan antara panas yang dihasilkan didalam tubuh
sebagai akibat metabolisme dan pertukaran panas diantara tubuh dengan lingkungan sekitar.
Produktivitas kerja manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24-
27°C. Iklim kerja dibagi menjadi iklim kerja panas dan iklim kerja dingin serta terdapat berbagai
macam jenisnya, yaitu:
A. Iklim Kerja Panas
Iklim kerja panas merupakan meteorologi dari lingkungan kerja yang dapat disebabkan
oleh gerakan angin, kelembaban, suhu udara, suhu radiasi dan sinar matahari. Panas merupakan
energi kinetik gerak molekul yang secara terus menerus dihasilkan dalam tubuh sebagai hasil
sampingan dari metabolisme dan panas tubuh yang dikeluarkan kelingkungan sekitar. Agar tetap
seimbang antara pengeluaran dan pembentukan panas maka tubuh mengadakan usaha pertukaran
panas dari tubuh ke lingkungan sekitar melalui kulit dengan cara konduksi, konveksi, radiasi dan
evaporasi.
1. Konduksi, merupakan pertukaran keadaan antara tubuh dan benda-benda sekitar melalui
sentuhan atau kontak. Konduksi akan menghilangkan panas dari tubuh apabila benda-benda
sekitar lebih dingin suhunya, dan akan menambah panas kepada tubuh apabila benda-benda sekitar
lebih panas dari tubuh manusia.
2. Konveksi, adalah petukaran panas dari badan dengan lingkungan melalui kontak udara dengan
tubuh. Pada proses ini pembuangan panas terbawa oleh udara sekitar tubuh.
3. Radiasi, merupakan tenaga dari gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang lebih
panjang dari sinar matahari.
4. Evaporasi, adalah keringat yang keluar melalui kulit keudian menguap bila udara diluar badan
kering dan terdapat aliran angin sehingga terjadi pelepasan panas dipermukan kulit, sehinggat
terjadi penguapan yang cepat dan akhirnya suhu badan menurun.
Lingkungan kerja panas dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:
1. Lingkungan panas lembab ditandai dengan temperatur bola kering yang tinggi disertai tekanan
uap air yang tinggi.
2. Lingkungan panas kering ditandai dengan temperatur bola kering mencapai 40°C disertai beban
panas radiasi tinggi.
Terdapat beberapa contoh tempat kerja dengan iklim kerja panas diantaranya:
1. Proses produksi yang menggunakan panas, misalnya peleburan, pengeringan dan pemanasan.
2. Pekerjaan yang langsung terkena sinar matahari, misalnya pekerjaan jalan raya, bongkar muat,
nelayan dan petani.
3. Tempat kerja dengan ventilasi udara kurang.
B. Iklim Kerja Dingin
Pengaruh suhu dingin dapat mengurangi efisiensi kerja disertai keluhan kaku atau
kurangnya koordinasi otot. Kondisi semacam ini dapat meningkatkan tingkat kelelahan seseorang.
Terdapat beberapa contoh tempat kerja dengan iklim kerja dingin diantaranya di pabrik es, kamar
pendingin, laboratorium, ruang komputer dan lain-lain. Masalah kesehatan yang berhubungan
dengan iklim dingin, yaitu:
• Chilblains : Bagian tubuh yang membengkak, merah, panas dan sakit diselingi gatal. Penyakit
ini diderita akibat bekerja ditempat dingin dengan waktu lama dan akibat defisiensi besi.
• Trench foot : Kerusakan anggota badan terutama kaki akibat kelembaban atau dingin walaupun
suhu diatas titik beku. Stadium ini diikuti tingkat hyperthermis yaitu kaki membengkak, merah,
dan sakit. Penyakit ini berakibat cacat semetara.
• Frosbite : Akibat suhu rendah dibawah titik beku, kondisi sama seperti trench foot namun
stadium akhir penyakit frosbite adalah gangrene dan bisa berakibat cacat tetap.
Efek panas terhadap kesehatan dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, obesitas,
keseimbangan air dan elektrolit serta kebugaran. Ada 2 cara tubuh untuk menghasilkan panas yang
terdiri dari panas metabolisme dimana tubuh menghasilkan panas pada saat mencerna makanan,
bekerja dan latihan, kemudian panas lingkungan dimana tubuh menyerap panas dari lingkungan
sekeliling, berupa panas matahari atau panas ruangan.
Apabila tubuh terpapar cuaca kerja panas, secara fisiologis tubuh akan berusaha
menghadapinya dengan maksimal, dan bila usaha tersebut tidak berhasil akan timbul efek yang
membahayakan. Karena kegagalan tubuh dalam menyesuaikan dengan lingkungan panas maka
timbul keluhan-keluhan seperti kelelahan yang dijelaskan sebagai berikut :
• Ruam panas (prickly heat), dapat terjadi dilingkungan panas, lembab dimana keringat
tidak dapat dengan mudah menguap dari kulit. Keadaan ini dapat mengakibatkan ruam yang
dalam beberapa kasus menyebabkan rasa sakit yang hebat. Prosedur untuk mencegah atau
memperkecil kondisi ini adalah beristirahat berulang kali ditempat yang dingin dan mandi secara
teratur untuk memastikan dengan seksama kekeringan pada kulit.
• Kelelahan. Pekerja bekerja maksimal 40 jam/minggu atau 8 jam sehari. Tenaga kerja
akan merasa cepat lelah karena pengaruh lingkungan kerja yang tidak nyaman akibat tekanan
panas.
• Heat cramps, terjadi karena bertambahnya keringat yang menyebabkan hilangnya garam
natrium dari dalam tubuh, sehingga bisa menyebabkan kejang otot, lemah dan pingsan.
• Heat exhaustion, terjadi karena cuaca panas terutama bagi pekerja yang belum terbiasa
terhadap udara panas.
Heat stroke, terjadi karena pengaruh suhu panas yang sangat tinggi, sehingga suhu badan naik,
kulit kering dan panas. Kondisi ini dapat diatasi dengan mendinginkan tubuh penderita dengan
air atau menyelimutinya dengan kain basah (Budiono dkk., 2003).
Tabel 5. Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola yang diperkenankan di
Indonesia.
Beban kerja setiap jam ISBB (Indeks Suhu Basah dan Bola) °C

Beban Kerja

Pengaturan Waktu Kerja Setiap Ringan Sedang Berat


Jam

75-100% 31,0 28,0 -

50-75% kerja 31,0 29,0 27,5

25-50% kerja 32,0 30,0 29,0


0-25% kerja 32,2 31,1 30,5

Sumber : Keputusan Menteri Tenaga Kerja Indonesia No. 13/MEN/X/2011

Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di luar ruangan dengan panas radiasi :
ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,2 Suhu bola + 0,1 Suhu kering.
lndeks Suhu Basah dan Bola untuk di dalam atau di luar ruangan tanpa panas radiasi:
ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,3 Suhu bola.
Catatan:
- Beban kerja ringan membutuhkan kalori sampai dengan 200 Kilo kalori/jam.
- Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih dari 200 sampai dengan kurang dari 350 Kilo
kalori/jam.
- Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih dari 350 sampai dengan kurang dari 500 Kilo
kalori/jam.

1.3.9. Kapasitas Paru-paru


Paru-paru terletak di dalam rongga dada (mediastinum), dilindungi oleh struktur tulang
selangka. Rongga dada dan perut dibatasi oleh suatu sekat disebut diafragma. Berat paru-paru
kanan sekitar 620 gram, sedangkan paru-paru kiri sekitar 560 gram. Masing-masing paru-paru
dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluhpembuluh besar serta struktur-struktur lain di
dalam rongga dada. Selaput yang membungkus paru-paru disebut pleura.

Gambar 2. Anatomi Sistem Pernapasan


Sumber: American Lung Association: Occupational Lung Diseases: An Introduction. New
York, NY. Macmillan. 1979: pp 10. (5).
Fungsi Paru-Paru Fungsi paru yang utama adalah proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
dari udara luar yang masuk ke dalam saluran napas dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan
untuk proses metabolisme dan karbondioksida yang terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan
dari dalam darah ke udara luar. Proses respirasi dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: 1. Ventilasi yaitu
proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta keluarnya karbondioksida dari alveoli ke
udara luar. 2. Difusi yaitu proses berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah, serta
keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli. 3. Perfusi yaitu distribusi darah yang telah
teroksigenasi di dalam paru untuk dialirkan ke seluruh tubuh (Siregar, 2004). Semua volume paru
dapat diukur secara langsung dengan spirometer, kecuali volume residu. Untuk mengetahui fungsi
paru, parameter yang digunakan ialah VC, FVC, dan FEV.
Fisiologi Paru-Paru Fungsi paru-paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida.
Pada pernapasan melalui paru-paru, oksigen dipungut melalui hidung dan mulut. Pada waktu
bernapas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkhial ke alveoli, dan dapat erat dengan
darah di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membran, yaitu membran alveoli-kapiler,
memisahkan oksigen dari darah. Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin
sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini, dipompa di dalam arteri ke semua bagian tubuh.
Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mmHg dan pada tingkat ini
hemoglobinnya 95 persen jenuh oksigen.
A. Karakteristik Penyakit Paru Kerja yaitu:
1. Penyakit paru kerja mempunyai gejala yang tidak khas sehingga sulit dibedakan dengan
penyakit paru lainnya. Dengan demikian penyebab penyakit paru kerja atau lingkungan harus
dievaluasi dan ditata laksana secara berkala.
2. Pajanan di tempat kerja dapat menyebabkan lebih dari satu penyakit atau kelainan, misalnya
kobal dapat menyebabkan penyakit pada parenkim paru atau saluran napas.
3. Beberapa penyakit paru disebabkan oleh berbagai faktor, dan faktor pekerjaan mungkin
berinteraksi dengan faktor lainnya. Misalnya risiko menderita penyakit kanker pada pekerja
terpajan debu asbes yang merokok, lebih besar dibandingkan pekerja yang terpajan asbestos atau
rokok saja.
4. Dosis pajanan penting untuk menentukan proporsi orang yang terkena penyakit atau beratnya
penyakit. Dosis umumnya berhubungan dengan beratnya penyakit pada penderita yang mengalami
toksisitas langsung
nonimunologi seperti pneumonia toksik kimia, asbestosis atau silikosis. Pada penyakit keganasan
atau immune-mediated, dosis biasanya lebih berhubungan dengan insidens dibandingkan beratnya
penyakit.
5. Ada perbedaan kerentanan pada setiap individu terhadap pajanan zat tertentu. Faktor pejamu
kyang berperan dalam kerentanan terhadap agen lingkungan masih belum banyak diketahui, tetapi
diduga meliputi faktor genetik yang diturunkan maupun faktor yang didapat seperti diet, penyakit
paru lain dan pajanan lainnya.
6. Penyakit paru akibat pajanan di tempat kerja atau lingkungan biasanya timbul setelah periode
laten yang dapat diduga sebelumnya.
B. Pengukuran Volume dan Kapasitas Paru
Volume dan kapasitas paru Menurut Guyton (2007) volume paru terbagi menjadi 4
bagian, yaitu:
1. Volume Tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada setiap kali
pernafasan normal. Besarnya ± 500 ml pada rata-rata orang dewasa.
2. Volume Cadangan Inspirasi adalah volume udara ekstra yang diinspirasi setelah volume tidal,
dan biasanya mencapai ± 3000 ml.
3. Volume Cadangan Eskpirasi adalah jumlah udara yang masih dapat dikeluarkan dengan
ekspirasi maksimum pada akhir ekspirasi normal, pada keadaan normal besarnya ± 1100 ml.
4. Volume Residu, yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru-paru setelah
ekspirasi kuat. Besarnya ± 1200 ml.
Kapasitas paru merupakan gabungan dari beberapa volume paru dan dibagi menjadi empat
bagian, yaitu:
1. Kapasitas Inspirasi, sama dengan volume tidal + volume cadangan inspirasi. Besarnya ± 3500
ml, dan merupakan jumlah 18 udara yang dapat dihirup seseorang mulai pada tingkat ekspirasi
normal dan mengembangkan paru sampai jumlah maksimum.
2. Kapasitas Residu Fungsional, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume residu.
Besarnya ± 2300 ml, dan merupakan besarnya udara yang tersisa dalam paru pada akhir eskpirasi
normal.
3. Kapasitas Vital, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume tidal + volume cadangan
ekspirasi. Besarnya ± 4600 ml, dan merupakan jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan
dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimal dan kemudian mengeluarkannya
sebanyak-banyaknya.
4. Kapasitas Vital paksa (KVP) atau Forced Vital Capacity (FVC) adalah volume total dari udara
yg dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa
minimum. Hasil ini didapat setelah seseorang menginspirasi dengan usaha maksimal dan
mengekspirasi secara kuat dan cepat ( Ganong, 2005).
5. Volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1) atau Forced Expiratory Volume in One Second
(FEV1) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum per satuan
detik. Hasil ini didapat setelah seseorang terlebih dahulu melakukakn pernafasan dalam dan
inspirasi maksimal yang kemudian diekspirasikan secara paksa sekuat-kuatnya dan 19
semaksimal mungkin, dengan cara ini kapasitas vital seseorang tersebut dapat dihembuskan
dalam satu detik.
6. Kapasitas Paru Total, sama dengan kapasitas vital + volume residu. Besarnya ± 5800ml,
adalah volume maksimal dimana paru dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi
paksa.Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita ± 20 – 25% lebih kecil daripada pria, dan
lebih besar pada atlet dan orang yang bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan
astenis (Guyton, 2007).
Tabel 6. Daftar nilai KVP dan VEP1 beserta interpretasinya

Sumber: Klasifikasi nilai KVP dan VEP1 (Pierce, 2007)


Gangguan fungsi paru dibagi menjadi dua digolongkan menjadi dua yaitu gangguan fungsi paru
obstruktif (hambatan aliran udara) dan restriktif (hambatan pengembangan paru). Seseorang
dianggap mempunyai gangguan fungsi paru obstruktif bila nilai VEP1/KVP kurang dari 70% dan
menderita gangguan fungsi paru restriktif bila nilai kapasitas vital kurang dari 80% dibanding
dengan nilai standar (Alsagaff dkk., 2005).

Gambar 3. Spirogram dari volume dan kapasitas paru, (Tortora, 2012)


1.3.10. Spirometri
Spirometri yang termasuk jenis paling umum dalam pulmonary function test (PFT),
digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap kesehatan paru-paru pekerja dalam program
pemeriksaan kesehatan dan untuk menyeleksi pekerja dalam melakukan suatu pekerjaan khusus.
Hasil tes spirometri menjadi sumber acuan utama mengenai pekerjaan pekerja, evaluasi APD
yang digunakan, dan pemeriksaan efek kesehatan karena paparan (OSHA, 2013).
Beberapa jenis gangguan pernapasan akan mengurangi kecepatan dari udara yang
dihembuskan, sedangkan gangguan lain akan mengurangi volume udara yang dapat diambil
kemudian dihembuskan. Untuk mendeteksi gangguan ini, spirometry mengukur volume dan
kecepatan maksimal udara yang dikeluarkan setelah melakukan inspirasi maksimal. Forced Vital
Capacity ((FVC) diartikan sebagai volume udara total yang dihembuskan setelah inspirasi
maksimal. Kecepatan udara yang dikeluarkan ditentukan dengan membagi volume udara pada
detik pertama, misalnya Forced Expiratory Volume in one second (FEV1) dengan total FVC
untuk mendapatkan rasio FEV1/FVC (OSHA, 2013).
Gambar 4. Grafik volume dan laju udara pada waktu tertentu (OSHA, 2013)

Ketika seorang pekerja menghembuskan udara, maka grafik volume-waktu (Gambar 1-


kiri) menunjukkan peningkatan volume yang cepat di awal ekshalasi. Volume ini kemudian
berangsur meningkat perlahan hingga ekshalasi berhenti dan FVC diketahui. Grafik aliran-
volume (Gambar 1-kanan) dalam periode ekshalasi yang sama, menunjukkan PEF (Peak
Expiratory Flow) yang merupakan kecepatan maksimal udara yang dihembuskan pertama kali
dan berangsur turun perlahan hingga FVC tercapai.
Beberapa jenis data yang diperoleh dari pengukuran spirometry, diantaranya (Pierce, R.
dan Johns, D.P., 2008):
VC (Vital Capacity) yaitu volume maksimal dimana udara dapat dihirup dan dihembuskan
selama maximally forced (FVC) ataupun secara perlahan (VC).
FVC yaitu volume udara total yang dihembuskan setelah inspirasi maksimal.
FEV1 yaitu volume udara yang dihembuskan pada detik pertama dari ekspirasi maksimal setelah
inspirasi maksimal dan sangat berguna untuk melihat seberapa cepat paru-paru dapat
dikosongkan.
Rasio FEV1/FVC yaitu FEV1 yang ditampilkan sebagai perbandingan dengan FVC (dengan
volume yang lebih besar) dan memberikan nilai klinis yang menunjukkan pembatasan dalam
aliran udara.
Berbagai jenis hasil analisis spirometri yang dapat diperoleh (Pierce, R. dan Johns, D.P.,
2008):
Obstructive impairment
Ketika FEV1/FVC dan FEV1 berada di bawah batas normal, menunjukkan adanya
airways obstruction. Pekerja dengan obstructive lung diseases, seperti Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) atau asma kronis seringkali memiliki nilai FEV1/FVC dan FEV1 di
bawah normal.
Ketika FEV1/FVC berada di bawah nilai normal, namun FEV1 berada di atas batas
normal, maka pekerja mungkin mengalami borderline obstruction atau normal physiologic
variant. Borderline obstruction terjadi ketika FEV1 berada di bawah 100% dari FEV 1 normal.
Pekerja dengan hasil uji ini harus dipantau terus menerus dan dilihat riwayat pemeriksaan paru-
parunya. Namun jika FEV1 dan FVC berada di atas rata-rata, maka dapat disebut sebagai normal
physiologic variant.
Orang-orang yang memiliki obstructive lung disease memiliki nafas yang lebih pendek
karena kesulitan mengeluarkan seluruh udara dari dalam paru-paru. Karena rusaknya paru-paru
atau terjadi penyempitan jalur udara di dalam paru-paru, maka udara yang dikeluarkan lebih
sedikit dengan laju yang rendah. Pada akhir ekshalasi, sejumlah udara abnormal masih terdapat
dalam paru-paru.
Penyebab utama dari obstructive lung disease diantaranya:
COPD
Kondisi COPD merujuk kepada suatu kelompok kondisi berupa berkembangnya
keterbatasan aliran udara yang pada umumnya tidak akan pulih seperti semula dengan
pengobatan medis. Emphysema dan chronic obstructive bronchitis merupakan dua
penyebab utama COPD. Pada chronic obstructive bronchitis, pembatasan aliran udara
disebabkan karena inflamasi dan keluarnya mucus secara berlibihan yang mengganggu
aliran udara kecil di dalam paru. Sedangkan pada emphysema, pembatasan aliran udara
disebabkan karena destruksi jaringan elastis pada paru-paru dimana terjadi pertukaran gas
(bagian respiratory branchioles dan alveoli).
Asthma
Bronchiectasis
Cystic fibrosis
Obstructive lung disease membuat pernapasan semakin sulit untuk dilakukan, terutama
ketika adanya peningkatan aktivitas atau eksersi. Ketika laju pernapasan meningkat, tidak
terdapat cukup waktu untuk mengeluarkan seluruh udara yang ada di paru-paru sebelum inhalasi
berikutnya.
Restrictive impairment
Jika FVC berada di bawah batas normal, maka restrictive impairment mungkin dapat
terjadi. Pulmonary function test yang lebih jauh untuk mengevaluasi volume paru-paru mungkin
diperlukan untuk memastikan restrictive impairment. Riwayat pemeriksaan klinis dan uji
gambaran berupa X-ray dada juga sangat direkomendasikan. Pekerja dengan gangguan paru
fibrosis, seperti asbestosis, terkadang memiliki nilai FVC dan FEV 1 yang rendah, tetapi rasio
FEV1/FVC secara umum akan berada di atas nilai normal.
Orang-orang dengan restrictive lung disease tidak dapat mengisi paru-paru mereka
dengan udara sepenuhnya. Paru-paru tersebut terbatas untuk melakukan pembesaran volume.
Restrictive lung disease seringkali disebabkan karena kaku yang terjadi di dalam paru-paru
tersebut. Kaku juga dapat terjadi pada dinding dada, otot yang lemah, atau saraf yang rusak dapat
menyebabkan kegagalan dalam perluasan volume paru.
Beberapa kondisi yang menyebabkan restrictive lung disease diantaranya:
Interstitial lung disease, seperti idiopathic pulmonary fibrosis
Sarcoidosis, sebuah penyakit autoimun
Obesity, termasuk obesity hypoventilation syndrome
Scoliosis
Neuromuscular disease, seperti muscular dystrophy atau amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
Pneumonia
Asbestosis
Lung cancer
Mixed impairment
Jika obstruction dan restriction ada, maka disebut dengan mixed impairment. Uji fungsi
paru yang lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah terjadi mixed impairment.
Normal respiration
Jika FEV1/FVC lebih besar daripada batas normal, maka tidak terdapat obstructive
impairment. Jika FVC juga berada di atas batas normal, maka tidak terdapat restrictive
impairment, dan pekerja dinyatakan memiliki hasil spirometry normal.

Penentuan Lokasi Pengukuran


Proses pengukuran di PT Pudak Scientific dilakukan di beberapa titik sesuai dengan
lokasi pabrik yang dikunjungi, pengukuran berdasarkan kondisi di dalam pabrik, alat pengukuran
yang dipakai serta hasil pengukuran yang diinginkan. Berikut ini adalah referensi-referensi
dalam proses pengukuran.
Bising
Pengukuran kebisingan di lingkungan kerja dapat dilakukan dengan menggunakan alat Sound
Level Meter. Ada tiga cara atau metode pengukuran akibat kebisingan di lokasi kerja.
1. Pengukuran dengan Titik Sampling
Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang batas hanya pada satu atau
beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga dapat dilakukan untuk mengevalusai kebisingan yang
disebabkan oleh suatu peralatan sederhana, misalnya Kompresor/generator. Jarak pengukuran
dari sumber harus dicantumkan, misal 3 meter dari ketinggian 1 meter. Selain itu juga harus
diperhatikan arah mikrofon alat pengukur yang digunakan.
2. Pengukuran dengan Peta Kontur
Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam mengukur kebisingan, karena
peta tersebut dapat menentukan gambar tentang kondisi kebisingan dalam cakupan area.
Pengukuran ini dilakukan dengan membuat gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai
dengan pengukuran yang dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambarkan
keadaan kebisingan, warna hijau untuk kebisingan dengan intensitas dibawah 85 dBA warna
orange untuk tingkat kebisingan yang tinggi diatas 90 dBA, warna kuning untuk kebisingan
dengan intensitas antara 85 – 90 dBA.
3. Pengukuran dengan Grid
Untuk mengukur dengan Grid adalah dengan membuat contoh data kebisingan pada lokasi yang
di inginkan. Titik–titik sampling harus dibuat dengan jarak interval yang sama diseluruh lokasi.
Jadi dalam pengukuran lokasi dibagi menjadi beberpa kotak yang berukuran dan jarak yang
sama, misalnya : 10 x 10 m. kotak tersebut ditandai dengan baris dan kolom untuk memudahkan
identitas.
Cahaya
Pengukuran intensitas cahaya penerangan ini dilakukan dengan menggunakan alat Luxmeter
yang dinyatakan dalam satuan lux. Alat ini mengubah energi cahaya menjadi energi listrik,
kemudian energi listrik dalam bentuk arus digunakan untuk menggerakkan jarum skala. Pada
luxmeter digital, energi listrik diub ah menjadi angka yang dapat dibaca pada layar monitor
1. Penentuan Titik Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja
Penerangan setempat: Obyek kerja berupa meja kerja maupun peralatan.
Bila objek yang diukur merupakan meja kerja, maka pengukuran dapat dilakukan di atas meja
yang ada.
Penerangan umum: Titik potong garis horisontal panjang dan lebar ruangan pada setiap jarak
tertentu setinggi 1 satu meter dari lantai.
2. Jarak tersebut dibedakan lagi berdasarkan luas ruangan sebagai berikut :
Luas ruangan kurang dari 10 meter persegi: titik potong garis horisontal panjang dan lebar
ruangan adalah pada jarak setiap 1(satu) meter.
Luas ruangan antara 10 meter persegi sampai 100 meter persegi: titik potong garis horisontal
panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 3(tiga) meter.
Luas ruangan lebih dari 100 meter persegi: titik potong garis horisontal panjang dan lebar
ruangan adalah pada jarak setiap 6(enam) meter.
3. Persyaratan Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja
Pintu ruangan dalam keadaan sesuai dengan kondiisi tempat pekerjaan dilakukan.
Lampu ruangan dalam keadaan dinyalakan sesuai dengan kondisi pekerjaan.
Radiasi dan Spirometeri
Standar pengukuran radiasi elektromagnetik adalah dengan menggunakan alat pengukur
radiasi. Pengukuran dilakukan di ruangan yang terdapat alat-alat pabrik, misalnya alat-alat yang
terbuat dari logam, besi atau baja. Pengukuran dilakukan jika pada alat menunjukan nilai apabila
tidak terdapat nilai di alat otomatis pengukuran tidak perlu dilakukan karena tidak terdapat
radiasi eletromagnetik di ruangan tersebut. Spirometri dilakukan terhadap pekerja pabrik yang
sudah bekerja dalam rentang waktu yang lama, pengukuran dilakukan terhadap pekerja dengan
jenis kelamin laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.airinfonow.org/pdf/particulate_matter.pdf (Diakses pada 25 November 2015).

http://www.pudak-scientific.com/profile.php (Diakses pada 25 November 2015).

https://www.osha.gov/Publications/concrete_manufacturing.html (Diakses pada 25 November


2015).

Afriyanti, F. 2012. Pengaruh Suhu, Kelembaban, Kecepatan Angin Terhadap Pekerja di

Industri Beton.Universitas Diponogoro. Semarang

Alatas, Zubaidah. 2004. Efek Radiasi Pengion dan Non Pengion pada Manusia. IPTEK.

Anies. 2007. Mengatasi Gangguan Kesehatan Masyarakat Akibat Radiasi Elektromagnetik


Dengan Manajemen Berbasis Lingkungan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Semarang.

Djlante, S. 2010. Analsisis Tingkat Kebisingan Pabrik Studi Kasus Pabrik Industri Gula.

Jurusan Teknik Sipil Universitas Halu Uleo. Kendari.

Erwin, Dyah. 2004. WBGT As The Threshold Limit Value of Heat Stress in The Work Place.

Bagian Kesehatan Kerja. FKM-UNAIR. Surabaya.

Ilmiah Populer. Puslitbang Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir-BATAN.

Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 1998. Keputusan Menteri Kesehatan KepMen/Kep-26.Men/1998

Tentang Nilai Ambang Batas Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja di Kantor dan

di Industri.

Kementerian Tenaga Kerja RI. 1999. Keputusan Menteri Tenaga Kerja KepMen/Kep-

51.Men/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.

N, Macmillan. 1979.American Lung Association: Occupational Lung Diseases: An


Introduction. New York, USA.
Pusparini, Adriana., Budiono Sugeng dan Jusuf. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan KK

Semarang. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

Salami, dkk. (2015): Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan Kerja. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Kerja.

Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

OSHA (2013) : Spirometry Testing in Occupational Health Programs. Best Practices for

Healthcare Professionals. Occupational Safety and Health Administration. U.S.

Department of Labor.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 51 Tahun1999 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di

Tempat Kerja.

Pierce, R dan Johns, D.P. (2008) : Spirometry. The Measurement and Interpretation of

Ventilatory Function in Clinical Practice. National Asthma Council Ltd. Melbourne.

Prayudi, Teguh. (2001): Kualitas Debu dalam Sebagai Dampak Industri Pengolahan Logam.

Jurnal Teknologi Pertanian Vol.2, No. 2, Mei 2001 : 168-174.

Surat Keputusan Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan

RI Nomor 70-1/PD.03.04 tahun 1992.

Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: Sagung Seto.

Tortora, G. 2012. Principles of Anatomy and Phyislogy. USA

OSHA. Pocket Guide Worker Safety Series: Concrete Manufacturing.

WHO. 1995. Guidelines for Community Noise. World Health Organization, Jenewa, Swiss.

Woodside, Gayle and Dianna Kocurek. 1997. Environmental, Safety, and Health Engineering.

John Wiley and Sons: Canada.

Anda mungkin juga menyukai