Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KGD PADA PASIEN STROKE

A. Pengertian
Stroke adalah satuan gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak
(dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan tanda dan
gejala klinis fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, desebabkan
oleh terhambatnya aliran darah ke otak karena perdarahan (stroke hemoragik)
ataupun sumbatan (stroke iskemik) dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang
terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau kematian (Junaidi,
2011).
Stroke non hemoragik adalah hilangnya fungsi otak secara mendadak akibat
gangguan suplai darah ke bagian otak (Brunner & Suddarth, 2013). Stroke non
hemoragik adalah proses terjadinya iskemia akibat emboli dan trombosis serebral
biasanya terjadi setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari dan
tidak terjadi perdarahan. Namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan
selanjutnya dapat timbul edema sekunder (Muttaqin, 2011). Stroke non hemoragik
adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke
otak disebabkan karena adanya thrombus atau embolus (Oktavianus, 2014). Stroke
non hemoragik didefinisikan sebagai gangguan cerebrovaskuler yang disebabkan
oleh tersumbatnya pembuluh darah akibat penyakit tertentu seperti aterosklerosis,
arteritis, trombus dan embolus (Khairunnisa, 2014).

B. Etiologi
Americafain Stroke Association (2018) menjelaskan bahwa stroke iskemik
disebabkan akibat penyumbatan di dalam pembuluh darah yang memasok darah ke
otak. Kondisi yang mendasari jenis penyumbatan ini adalah pengembangan deposit
lemak yang melapisi dinding pembuluh. Kondisi ini disebut ateroklerosis.
Deposit lemak ini bisa menyebabkan dua jenis penyumbatan:
a. Trombosis serebral mengacu pada trombus (bekuan darah) yang berkembang
pada bagian pembuluh yang tersumbat.
b. Emboli serebral umumnya mengacu pada bekuan darah yang terbentuk di lokasi
lain dalam sistem peredaran darah, biasanya jantung dan arteri besar pada dada

1
bagian atas dan leher. Sebagian bekuan darah otak sampai mencapai pembuluh
terlalu kecil untuk membiarkan berlalu. Penyebab embolisme penting kedua
adalah detak jantung tidak teratur, yang dikenal sebagai atrial fibrilasi. Ini
menciptakan kondisi dimana gumpalan bisa terbentuk di jantung, dislosge dan
perjalanan ke otak. Infark otak serentak (SCI), atau “silent stroke”, merupakan
cedera otak yang memungkinkan disebabkan oleh bekuan darah yang
mengganggu aliran darah otak.
Oktavianus (2014) menjelaskan bahwa penyebab stroke antara lain:
a. Timbulnya trombosis
Trombosis merupakan pembentukan plak pada pembuluh darah yang disebabkan
karena tingginya kadar lemak dalam darah. Black and Hawks (2014)
menyampaikan bahwa penggumpalan (trombus) mulai terjadi dari adanya
kerusakan pada bagian garis endotial dari pembuluh darah. Aterosklerosis
merupakan penyebab utama. Aterosklerosis menyebabkan zat lemak tertumpuk
dan membentuk plak pada dinding pembuluh darah. Plak ini terus membesar dan
menyebabkan penyempitan (stenosis) pada arteri. Stenosis menghambat aliran
darah yang biasanya lancar pada arteri. Selain itu, penyumbatan dapat terjadi
karena inflamasi pada arteri atau disebut arteritis atau vaskulitis tetapi hal ini
jarang terjadi.
b. Timbulnya emboli
Emboli merupakan plak yang lepas dari perlekatan dinding pembuluh darah
mengalir mengikuti aliran darah. Emboli ini biasanya menyebabkan sumbatan di
pembuluh darah yang menyebabkan hambatan aliran darah. Black and Hawks
(2014) menjelaskan bahwa sumbatan pada arteri serebral yang disebabkan oleh
embolus menyebabkan stroke embolik. Embolus terbentuk dibagian luar otak,
kemudian terlepas dan mengalir melalui sirkulasi serebral sampai embolus
tersebut melekat pada pembuluh darah dan menyumbat arteri. Embolus yang
paling sering terjadi adalah plak. Trombus dapat terlepas dari arteri karotis
bagian dalam pada bagian luka plak dan bergerak ke dalam sirkulasi serebral.
c. Akibat adanya kerusakan arteri yaitu usia, hipertensi, DM
Pembuluh darah mengalami degeneratif seiring bertambahnya usia seseorang.
Hipertensi dan DM meyebabkan dinding pembuluh darah mengalami

2
pengerasan sehingga tidak elastis lagi ketika harus berkompensasi terhadap
perubahan tekanan darah.

d. Penyebab lain
Spasme arteri serebral yang disebabkan oleh infeksi, menurunkan aliran darah ke
otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang menyempit. Spasme yang
berdurasi pendek tidak selamanya menyebabkan kerusakan otak yang permanen
(Black and Hawks, 2014)

C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala umum stroke mencakup:
a. Paralisis adalah suatu keadaan atau kondisi lumpuhnya sejumlah bagian tubuh
akibat kerusakan yang terjadi pada sraf penggerak otot tubuh. Penderita paralisis
tidak dapat menggerakkan anggota tubuhnya manakala terkena penyakit gangguan
fungsi syaraf otot ini.
b. Paraplegi merupakan kondisi kelemahan pada anggota tubuh di bagian bawah,
terutama pinggang ke bawah (tungkai dan organ panggul). Sebagian besar kasus
paraplegia disebabkan oleh kerusakan dari otak, sumsum tulang belakang, atau
bisa juga keduanya.
c. Hemiparesis adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progesif
cepat, berupa defisit neurologis fokal yang berlangsung 24 jam atau lebih atau
langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan
peredaran otak non-traumatic.
d. Hemiplegia yaitu terjadinya kelemahan fungsi motorik pada salah satu sisi.
Kelemahan fungsi motorik ini dapat disebabkan karena pecahnya pembuluh darah
otak dan timbul lesi pada bagian fungsu motorik sehingga terjadi defisit
neurologis pada sisi yang berlawanan

D. Patofisiologi
Otak sangat tergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan oksigen.
Jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat karena trombus dan embolus, maka
mulai terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otak. Kekurangan selama 1 menit dapat
mencegah pada gejala yang dapat pulih seperti kehilangan kesadaran. Selanjutnya

3
kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan nekrosis
mikroskopik neuron-neuron area nekrotik kemudian disebut infark. Kekurangan
oksigen pada awalnya mungkin akibat iskemia umum (karena henyi jantung atau
hipotensi) atau hipoksia karena akibat proses anemia dan kesukaran bernafas. Stroke
karena embolus dapat merupakan akibat dari bekuan darah, plaque, ateroma fragmen
lemak.
Stroke emboli terjadi karena emboli yang lepas dari bagian tubuh lain sampai ke
arteri carotis, emboli tersebut terjebak di pembuluh darah otak yang lebih kecil dan
biasanya pada daerah percabangan lumen yang menyempit, yaitu arteri carotis di
bagian tengah atau Middle Cerebral Artery (MCA). Dengan adanya sumbatan oleh
emboli akan menyebabkan iskemia.
Pada stroke trombolitik, oklusi disebabkan karena adanya penyumbatan lumen
pembuluh darah otak karena thrombus yang makin lama makin menebal, sehingga
aliran darah menjadi tidak lancar. Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemia
yang akan terlanjut menjadi infark. Dalam waktu 72 jam daerah tersebut akan
mengalami edema dan lama kelamaan akan menjadi nekrosis. Lokasi yang paling
sering pada stroke trombosis adalah dipercabang arteri basiler. Onset stroke
trombotik biasanya berjalan lambat (Oktavianus, 2014). Pada stroke trombosis maka
otak mengalami iskemia dan infark sulit ditentukan. Ada peluang dominan stroke
akan meluas setelah serangan pertama sehingga dapat terjadi edema serebral dan
meningkatkan tekanan intrakranial dan kematian pada area yang luas. Prognosisnya
tergantung pada daerah otak yang terkena dan luasnya yang terkena.
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuk sirkulasi Willisi: arteri karotis interna dan sistem
vertebrobasilar dan semua cabang-caabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke
jaringan otak terputus selama 15-20 menit, akan terjadi infark atau kematian
jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark
di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut (Wijaya, 2013)

4
E. Pathway

Trombosis Cerebral Sumbatan pembuluh darah di otak Emboli Cerebral

Suplai darah O2 ke otak menurun

Menurun 25-30 ml/gr otak/mnt Menurun > -18ml/100gr otak/mnt


Risiko ketidak efektifan perfusi
Iskemia otak jaringan otak Infark cerebri

<24 jam 24 jam- 21 hari Cerebrum (Otak besar) Batang otak Cerebelum

Transient Stroke in Defisit Penurunan tingkat Defidit


ischemic evalution motorik kesadaran apatis s/d motorik
attack koma

Kelainan Gejala Reflek kematian Gerakan


neurologik neurologik menelan
sementara tumbuh menurun

Sembuh total Sembuh total Pengobatan & Gangguan Hambatan


< 24 jam beberapa hari perawatan tidak menelan mobilitas fisik
adekuat

Gangguan fungsi motorik

Bicara Kelemahan anggota gerak

Disfasia disatria Hemiplegi, hemiparese

Kerusakan komunikasi
verbal Hambatan mobilitas fisik Defisit perawatan diri

Gambar 2. 1 Pathway Stroke Non Hemoragik (Oktavianus, 2014)

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien stroke yaitu
(Batticaca, 2011):

5
a. Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik
misalnya pertahanan atau sumbatan arteri
b. Scan Topografi Komputer (Computer Tomography scan-CT Scan).
Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
Berdasarkan penelitian (Elim, Tubagus and Ali, 2016) pasien yang melakukan CT
scan kepala dengan diagnosis CVD SI atau stroke non hemoragik sebanyak 136
kasus: 89 kasus dinyatakan mengalami stroke iskemik atau terdapatnya infark dan
sisinya yaitu 47 kasus dinyatakan keadaan noormal atau memiliki ekspertisi
berbeda dengan diagnosis.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Menunjukkan daerah infark, perdarahan,
malformasi arteriovena (MAV).
d. Ultrasonografi doppler (USG doppler). Mengidentifikasi penyakit arteriovena
(masalah sistem arteri karotis [aliran darah atau timbulnya plak]) dan
arteriosklerosis.
e. Elektroensefalogram (Electroencephalogram EEG). Mengidentifikasi masalah
pada gelombang otak dan memperhatikan daerah lesi yang spesifik.
f. Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng perienal daerah
yang berlawanan dari massa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada
trombosis serebral, klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarakhnoid.
g. Pemeriksaan laboratorium.
1) Pemeriksaan darah rutin: sejumlah pemeriksaan direkomendasikan untuk
dilakukan sebelum stroke terjadi. Pemeriksaan darah selain bermanfaat dalam
membantu mengidentifikasi faktor resiko terjadinya stroke (skrining) juga
berperan dalam menentukan penyebab stroke.
2) Fungsi lumbal: tekanan normal biasanya ada trombosis, emboli dan TIA.
Sedangkan tekanan yang meningkat dan cairan yang mengandung darah
menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid atau intrakranial. Kadar protein
total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan proses inflamasi.
3) Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula
darah mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun
kembali.

6
G. Komplikasi
Menurut Muttaqin (2016), komplikasi stroke dibagi 3 kondisi, berdasarkan
jangka waktu pasien terkena stroke, yaitu:
a. Komplikasi dini (0-48 jam pertama)
1) edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, dapat mengakibatkan
peningkatan kematian.
2) Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal
b. Komplikasi jarak pendek (1-14 hari pertama)
Emboli paru: cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, seringkali pada saat
penderita mulai mobilisasi
c. Komplikasi jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, gangguan faskuler lain: penyakit vaskler perifer.

H. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan di ruang rawat menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf
Indonesia (PERDOSSI, 2016) terdiri dari:
1) Cairan
a) Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi.
Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg
b) Pada umumnya, kebutuhan cairan 30/ml/kgBB/hari (parenteral maupun
enternal)
c) Balance cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin
sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan
ditambah lagi 300 ml perderajat celcius pada penderita panas).
d) Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan maknesium) harus selalu diperiksa
dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
e) Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
f) Cairan yang hipotonik atau mengandung glukos hendaklah dihandari
kecuali pada keadaan hipoglikemia.
2) Nutrisi
a) Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi
oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.

7
b) Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi
diberikan melalui pipa nasogastric.
c) Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
(1) Karbohidrat 30-40% dari total kalori
(2) Lemak 20-35% (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55%).
(3) Protein 20-30% (pada keadaan stres kebutuhan protein 1.4-2.0
g/kgBB/hari pada gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari)
d) Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang
diberikan. Contohnya, hindari makanaan yang banyak mengandung vitamin
K pada pasien yang mendapat wararin
b. Penatalaksanaan Khusus Stroke menurut (PERDOSSI, 2016) terdiri dari:
1) Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan
diberikan pada kebanyakan pasien stroke non hemoragik
2) Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah neurologik darah
secara karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak dianjurkan.
3) Pemberian antikoagulan: mencegah terjadinya gumpalan darah dan embolisasi
thrombus. Antikoagulan terurama digunakan pada penderita stroke dengan
kelainan jantung yang dapat menimbulkan embolus. Contohnya heparin,
dicumarol.
4) Pemberian antiagregasi trombosit (inhibitor platelet) berfungsi mencegah
menggumpalnya trombosit darah dan mencegah terbentuknya trombus atau
gumpalan darah dapat menyumbat lumen pembuluh darah.
5) Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk memperbaiki
aliran darah otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut, pemantauan
kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan secara ketat
c. Upaya pencegahan
1) Pada penderita stroke penurunan tekanaan darah sangat dianjurkan karena
untuk pencegahan terjadinya stroke berulang. Penurunan tekanan darah dapat
dilakukan dengan cara modifikasi gaya hidup seperti: pembatasan asupan
garam, penurunan berat badan, diit dengan kaya buah dan sayur, makan/minum
rendah lemak, tidak mengkonsumsi alkohol dan olahraga teratur.
2) Lipid: penurunan lipid/lemak diperlukan pada penderita stroke untuk
mengurangi risiko stroke berulang dan penyakit kardiovaskuler.

8
3) Berhenti merokok: merokok tidak baik untuk kesehatan semua orang, terutama
bagi penderita stroke yang mempunyai riwayat merokok perlu diberikan
nasehat/pendidikan kesehatan untuk segera berhenti merokok.
4) Rajin olahraga: untuk pasien stroke yang masih bisa melakukan latihan
aktivitas fisik setidaknya 30 menit dengan intensitas sedang dapat menurunkan
faktor resiko dan satu upaya mencegah terjadinya stroke berulang

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut (Wijaya, 2013) pengkajian pada pasien stroke meliputi:
a. Identitas klien: nama, umur, jenis kelamin, ras, suku, bangsa dll.
b. Riwayat keperawatan
1) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat hipertensi, riwayat penyakit kardiovaskuler misalnya embolisme
serebral, riwayat kolesterol tinggi, obesitas, riwayat DM.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Kehilangan komunikasi, gangguan persepsi, kehilangan motorik.
3) Riwayat kesehatan keluarga yaitu
Apakah ada riwayat penyakit degenerative dalam keluarga.
c. Pengkajian data dasar
1) Aktivitas/istirahat
a) Merasa kesulitan melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensasi atau paralis (hemiplegi)
b) Merasa mudah lelah, susah beristirahat (nyeri, kejang otot)
c) Gangguan tonus otot (flaksid, plastik), paralitik hemiplegia dan terjadi
kelemahan umum. Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditemukan
kekuatan secara bilateral atau tidak. Derajat kekuatan otot dapat
ditemukan dengan:
Tabel 2. 1. Derajat Kekuatan Otot (Hidayat, 2014)
Persentase kekuatan
Skala Karakteristik
normal
0 0 Paralisis sempurna
Tidak ada gerakan, kontraksi otot
1 10
dapat di palpasi atau dilihat
2 25 Gerakan otot penuh melawan

9
gravitasi dengan topangan
Gerakan yang normal melawan
3 50
gravitasi
Gerakan penuh yang normal
4 75 melawan gravitasi dan melawan
tahanan minimal
Kekuatan normal, gerakan penuh
5 100 yang normal melawan gravitasi
dan tahanan penuh

d) Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk menilai


kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun dan
berpindah tanpa bantuan. Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah
sebagai berikut:
Tabel 2. 2 Indeks Tingkat Ketidakmampuan Aktivitas (Hidayat, 2014)
Tingkat
Kategori
aktivitas/mobilisasi
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang
lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain
dan peralatan
Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan
atau berpartisipasi dalam perawatan

2) Sirkulasi
a) Adanya penyakit jantung (misal reumatik/penyakit jantung vaskuler,
endokarditis, polisitemia, riwayat hipotensi postural)
b) Hipotensi arterial berhubungan dengan embolisme/malformasi vaskuler
c) Frekuensi nadi dapat bervariasi karena ketidakefektifan fungsi/keadaan
jantung.
3) Integritas ego
Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa, emosi labil, ketidaksiapan untuk
makan sendiri dan gembira, kesulitan untuk mengekpresikan diri
4) Eliminasi
Perubahan pola berkemih seperti: inkontinensia urin, anuria, distensi
abdomen, bising usus (-)
5) Makanan/cairan

10
a) Nafsu makan hilang, mual muntah selama feses akut/peningkatan TIK.
b) Kehilangan sensasi (rasa kecap pada lidah, pipi dan tenggorokan)
c) Disfagia, riwayat DM, peningkatan lemak dalam darah
d) Kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatun dan faringeal)
6) Neurosensori
a) Adanya sinkope/pusing, sakit kepala berat
b) Kelemahan, kesemutan, kebas pada sisi terkena seperti mati/lumpuh
c) Penglihatan menurun
d) Hilangnya rangsangan sensori
e) Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
f) Tingkat kesadaran: koma pada tahap awal hemoragik tetap sadar jika
thrombosis alami
g) Penurunan memori
h) Ekstermitas: kelemahan (kontralateral) tidak dapat menggenggam,
refleks tendon melemah secara kontralateral
i) Afasia: gangguan fungsi bahasa, afasia motorik (kesulitan mengucaplan
kata), afasia sensorik (kesulitan memahami kata-kata bermakna)
j) Kehilangan kemampuan mengenal/menghayati masuknya sensasi visual
pendengaran, taktil (agnosia seperti gangguan kesadaran terhadap citra
diri) kewaspadaan kelainan terhadap bagian yang terkena, gangguan
persepsi, kehilangan kemampuan menggunakan motorik saat klien ingin
menggunakannya.
7) Nyeri
Sakit kepala dengan intensitas berbeda (karena arteri karotis terkena).
Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketergantungan pada otot/fasia
8) Pernafasan
Merokok, ketidakmampuan untuk menelan, batuk/hambatan jalan nafas,
pernafasan sulit, tidak teratur, suara nafas terdengar/ronkhi (aspirasi sekresi)

9) Keamanan
a) Motorik/sensori: masalah penglihatan, perubahann persepsi terhadap
orientasi tentang tubuh (stroke kanan), kesulitan melihat objek dari sisi
kiri, hilangnya kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit

11
b) Tidak mampu mengenali objek, warna dan wajah yang dikenali
c) Gangguan berespon terhadap panas dan dingin, gangguan regulasi tubuh
d) Tidak mandiri, gangguan dalam memutuskan, perhatian terhadap
keamanan sedikit
10) Interaksi sosial
Masalah bicara, tidak mampu berkomunikasi
11) Pemeriksaan saraf kranial
a) Saraf olfaktoris
Letakkan bahan yang tidak merangsang seperti kopi, di depan salah satu
lubang hidung orang tersebut sementara lubang hidung yang lain kita
tutup dan pasien menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk
memberitahu saat mulai tercium baunya bahan tersebut dan kalau
mungkin mengidentivikasikan bahan yang dicium baunya
b) Saraf optikus
Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, apabila menggunakan
kartu snellen masih tidak bisa membaca maka dapat diganti dengan
gerakkan jari tangan dan gerakan tangan.
c) Saraf okulomotoris
Gerakan bola mata, pada pasien diminta untuk melihat dan mengikuti
gerakan jari atau ballpoint kearah medial, atas, bawah, sekaligus ditanya
adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus.
Pemeriksaan pupil meliputi bentuk dan ukuran pupil, perbandingan pupil
kanan dan kiri (pupil sebesar diameter 1 mm, perbedaan masih dianggap
normal), refleks pupil
d) Saraf trokleasis
Pemeriksaan meliputi: gerakan mata ke lateral bawah, strabismus
konvergen dan diplopia

e) Saraf trigeminum
Sensabilitas: pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusuk dengan
lembut pada kulit, pasien ditanya apakan terasa tajam atau tumpul.
Refleks: pemeriksaan refleks meliputi reflek kornea langsung dan tidak

12
langsung. Pada pemeriksaan langsung pasien diminta melirik kearah
laterosuperior, kemudian dari arah lain kapan disentuhkan pada kornea
mata.
f) Saraf abdusens
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan
diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang
terkena dab bayangan yang timbul horizontal dan sejajar satu sama lain
g) Saraf fasialis
Tes kekuatan otot wajah: mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri,
menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudian pemeriksa
mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan
kiri, memperlihatkan gigi (asimetri), bersiul dan memoncongkan mulut
(asimetri/deviasi ujung bibir) dan meniup sekuatnya, bandingkan
kekuatan udara dari pipi masing-masing.
h) Saraf vestibulo cokhleris
Pemeriksaan pendengaran: tes pendengaran dengan menggunakan
gerakan jari, detik arloji, dan audiogram. Audiogram digunakan untuk
membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne dan tes
Weber. Pemeriksaan Fungsi Vestibuler: pemeriksaan fungsi vestibuler
meliputi: nistagmus, tes romberg dan berjalan lurus dengan mata tertutup,
head tilt test (Nylen-Baranny, dixxon-Hallpike) yaitu tes untuk postural
nistagmus.
i) Saraf glosofaringeus dan saraf vasgus
Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter
perhatikan apakah terjadi pergeseran uvula, kemudian pasien tersebut
“aaaa” jika uvula terletak ke satu sisi makan ini menunjukkan adanya
kelumpuhan saraf vagus unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik
kearah sisi yang sehat. Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi
dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia
merasakan sentuhan spacula tersebut setiap kali dilakukan.
j) Saraf asesorius
Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat
bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapeziuz dan usahakan untuk

13
menekan bahunya kebawah, kemudian pasien disuruh memutar
kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba
massa otot sternokleido masteideus
k) Saraf hipoglosus
Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi lemah
(terkena) jika terdapat lesi atau lower motorneuron unilateral
12) Fungsi motorik
a) Massa otot, kekuatan otot, dan tonus otot. Pada ekstremitas diperiksa
dulu.
b) Fleksi dan ekstensi lengan, abduksi lengan dan adduksi lengan, fleksi dan
ekstensi pergelangan tangan, abduksi dan adduksi jari, abduksi dan
adduksi pinggul, fleksi dan ekstensi lutut, dorsofleksi plantar ibu jari kaki
13) Fungsi sensori
Sentuhan ringan, sensasi nyeri, sensasi posisi, sensasi getaran, lokalisasi
taktil
14) Fungsi serebelum
Tes jari hidung, tes tumit lutut, gerakan berganti, tes Romberg, gaya
berjalan
15) Refleks
Pemeriksaan reflek dengan kekuatan pada tendon menggunakan reflek
hammer. Skala untuk peringatan reflek yaitu:
a) Tidak ada respon
b) Penurunan respon (+)
c) Normal (++)
d) Lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
e) Hyperaktif, dengan klonus (++++) m)
Reflek fisiologis:
a) Refleks Biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90˚ supinasi dan lengan
bawah di topang pada alas tertentu. Kemudian dipukul dengan hummer.
Normalnya kontraksi otot meningkat.
b) Refleks Triceps

14
Lengan ditopang dan direfleksikan pada sudut 90˚, tendon triceps diketuk
dengan reflek hummer. Respon yang normal adalah kontraksi otot sedikit
meningkat bila ekstensi ringan.
c) Refleks Patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat keatas sampai fleksi kurang
lebih 30˚. Dipukul dengan hammer di tendon patella. Respon berupa
kontraksi otot quadrisep femoris yaitu ekstensi dari lutut.
d) Refleks Achilles.
Posisi kaki adalah dorsoreflek, untuk memudahkan pemeriksaan reflek
ini kaki diperisa biasa diletakan atau disilangkan diatas tungkai bawah
kontralateral. Tendon Achilles dipukul dengan reflek hummer, respon
normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.
e) Refleks Abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilicus.
Kalau digores seperti itu umbilicus akan bergerak keatas dan kearah
daerah yang digores.
f) Refleks Patologis:
(1) Reflek babinski
Merupakan reflek yang paling penting. Reflek ini hanya dijumpai
pada penyakit teraktus kritikospinal. Untuk melakukan tes ini,
goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari
kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon
babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi. Respon yang
normal adalah fleksi plantar semua jari-jari kaki.
(2) Refleks snouting
Ketukan hammer pada tendon insertio m. orbicularis oris maka akan
menimbulkan reflek menyusu. Menggaruk bibir dengan menggunakan
tounge spatel akan timbul reflek menyusu. Normal pada bayi, jika
positif pada dewasa akan menandakan lesi UMN bilateral.

(3) Mayer reflek

15
Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal, secara halus
normal akan timbul adduksi dan aposisi dari ibu jari. Abdusen respon
ini menandakan lesi di tractus pyramidalis
(4) Reflek oppenheim
Lakukan goresan pada sepanjang tepi dengan tulang tibia dari atas ke
bawah, dengan kedua jari telunjuk dan tengah. Jika positif maka akan
timbul reflek seperti babinski
(5) Reflek rossolimo
Pukulan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek
akan terjadi fleksi jari-jari kaki (juda, 2012)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut (Yasmara, Nursiswati and Arafat, 2016) yaitu:
a. Resiko ketidak efektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan embolisme,
aneurisme serebral
b. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular.
c. Hambatan komunikasi verbal yang berhubungan dengan fisiologis (penurunan
sirkulasi ke otak).
d. Defisiensi perawatan diri (mandi, higiene, eliminasi, berpakaian, berhias, dan
makan) yang berhubungan dengan kelelahan.
e. Gangguan menelan berhubungan dengan kerusakan neuromuscular

3. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan (Yasmara, Nursiswati and Arafat, 2016).
a. Resiko ketidak efektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan interupsi
aliran darah, gangguan oklusi, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
menunjukkan perfusi jaringan otak adekuat
Kriteria Hasil:
1) Mempertahankan atau meningkatkan tingkat kesadaran, kognisi, dan fungsi
motorik/sensorik
2) Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan
TIK

16
3) Tidak menunjukkan perburukan lebih lanjut atau pengulangan kejadian
defisit
Intervensi:
1) Tentukan faktor yang berhubungan dengan situasi individual, penyebab
koma, penurunan perfusi serebral, dan kemungkinan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK)
2) Pantau dan dokumentasi status neurologis dengan sering dan dibandingkan
dengan nilai dasar
3) Pemantauan tanda vital
4) Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaktivitas terhadap
cahaya
5) Dokumentasi perubahan penglihatan, seperti laporan pandangan kabur, dan
perubahan lapang visual atau persepsi kedalaman
6) Kaji fungsi yang lebih tinggi, termasuk bicara, jika klien sadar
7) Kaji rigiditas, nukal, kedutan, peningkatan kegelisahan, iritabilitas dan
awitan kejang
8) Posisikan dengan kepala sedikit ditinggikan dan dalam posisi netral
9) Pertahankan tirah baring, beri lingkungan yang tenang, dan batasi
pengunjung atau aktivitas sesuai indikasi
10) Cegah mengejan saat defekasi atau menahan nafas

b. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan gangguan keterlibatan


neurovaskuler, kelemahan dan flaksid/paralisis hipotonik (awal), kerusakan
perseptual / kognitif
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mobilitas
terpenuhi
Kriteria hasil:
1) Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
yang terganggu atau terpengaruh
2) Mempertahankan posisi fungsi yang optimal sebagaimana dibuktikan
dengan tidak terjadi kontraktur dan footdrop
3) Mendemonstrasikan teknik dan perilaku yang memampukan pelaksanaan
kembali aktivitas

17
4) Mempertahankan integritas kulit
Intervensi: pemberian posisi
1) Kaji kemampuan fungsi dan luas hambatan pada saat pertama kali dan
secara teratur. Klasifikasi sesuai dengan skala 0-4. Ubah posisi minimal 2
jam (telentang, miring) dan kemungkinan lebih sering jika pasien
diposisikan miring ke sisi bagian tubuh yang terganggu
2) Posisikan tengkurap satu atau dua kali sehari jika pasien dapat
menoleransinya
3) Sangga ekstremitas dalam posisi fungsional, gunakan papan kaki selama
periode paralisis flasksid. Pertahankan posisi kepala netral.
4) Gunakan mitela lengan ketika pasien berada dalam posisi duduk tegak,
sesuai indikasi
5) Evaluasi penggunaan dan perlunya bantuan posisi selama paralisis spastik
6) Observasi warna, edema, atau tanda lain dari perburukan sirkulasi pada sisi
yang terganggu
7) Inspeksi kulit secara teratur, terutama diatas tonjolan tulang
Intervensi : terapi latihan
1) Mulai latihan rentang gerak pasif atau aktif ke semua ekstremitas saat
masuk ke rumah sakit. Dorong latihan, seperti latihan meremas bola karet,
dan ekstensi jari tangan, tungkai bawah, dan jari kaki
2) Bantu pasien mengembangkan keseimbangan pasien saat duduk (seperti
meninggikan bagian kepala), bantu pasienduduk di tepi tempat tidur, minta
pasien menopang berat badan menggunakan lengan yang kuat, dan tungkai
bawah yang kuat untuk menggerakan tungkai yang terganggu
3) Dudukan pasien di kursi segera setelah tanda vital stabil
4) Bantali alas duduk kursi dengan busa, bantu pasien memindahkan berat
badannya secara sering
5) Tetapkan tujuan dengan pasien untuk meningkatkan partisipasi dalam
aktifitas, latihan, dan perubahan posisi
6) Dorong pasien untuk membantu pergerakan dan latihan menggunakan
ekstremitas yang tidak terpengaruh untuk menopang serta menggerakan sisi
yang lemah

18
c. Hambatan komunikasi verbal yang berhubungan dengan fisiologis (penurunan
sirkulasi ke otak).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat
berkomunikasi
Kriteria hasil :
1) Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi
2) Menetapkan metode komunikasi yang dapat mengekspresikan kebutuhan
3) Menggunakan sumber dengan cepat
Intervensi :
1) Kaji tipe dan derajat disfungsi, seperti afasia reseptif- klien tampaknya tidak
memahami kata-kata atau afasia ekspresif- klien mengalami kesulitan
berbicara atau membuat paham diri sendiri.
2) Beri catatan diruang jaga perawat dan kamar klien tentang gangguan bicara.
Beri bel panggilan khusus jika perlu.
3) Beri metode komunikasi alternatif, seperti menulis atau merasakan papan
dan gambar, beri isyarat visual-gestur, gambar-daftar kebutuhan dan
demonstrasi.
4) Bicara secara langsung dengan klien, bicara secara perlahan dan jelas,
gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban ya atau tidak diawal.
5) Bicara dengan volume normal dan hindari berbicara terlalu cepat. Beri
waktu yang cukup untuk merespon, bicara tanpa memberi tekanan untuk
mendapat respon.
6) Dorong orang terdekat atau orang yang menjenguk klien untuk tetap
berupaya berkomunikasi dengan klien.
7) Diskusikan topik yang familier.
8) Hargai kemampuan klien sebelum cidera, jangan merendahkan klien atau
membuat komentar yang menunjukkan superioritas.

d. Defisiensi perawatan diri (mandi, higiene, eliminasi, berpakaian, berhias, dan


makan) yang berhubungan dengan kelelahan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dan keluarga
mampu merawat diri sendiri
Kriteria hasil :

19
1) Mendemonstrasikan tekhnik dan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan
perawatan diri.
2) Melaksanakan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.
3) Mengidentifikasi sumber personal dan komunitas yang dapat memberikan
bantuan sesuai kebutuhan.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan dan tingkat defisit (skala 0-4) untuk melaksanakan
kegiatan sehari-hari.
2) Hindari melakukan hal-hal untuk klien dapat klien lakukan sendiri, beri
bantuan sesuai kebutuhan.
3) Waspadai perilaku impulsif atau tindakan yang menunjukkan gangguan
penilaian.
4) Pertahankan sikap suportif yang tegas, beri waktu yang cukup kepada klien
untuk mencapai tugas.
5) Beri umpan balik positif untuk upaya dan pencapaian.
6) Buat rencana untuk defisit visual yang ada.
7) Beri alat bantu.
8) Kaji kemampuan klien untuk mengkomunikasikan kebutuhan untuk
berkemih dan kemampuan menggunakan pispot berkemih atau pispot
defekasi.

e. Gangguan menelan berhubungan dengan kerusakan neuromuscular.


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan dharapkan pasien tidak
kesulitan menelan.
Kriteria hasil:
1) Mendemonstrsikan metode pemberian makan yang tepat bagi situasi
individual, dengan mencegah aspirasi
2) Mempertahankan berat badan yang diinginkan

Intervensi:
1) Tinjau patologi individual dan kemampuan menelan, perhatikan luasnya
paralisis, kejelasan bicara, keterlibatan wajah dan lidah, kemampuan untuk

20
melindungi jalan napas dan episode batuk atau terseda, keberadaan suara
napas tambahan dan jumlah serta karakter sekresi oral. Timbang berat badan
secara periodik, sesuai indikasi.
2) Sediakan perlengkapan pengisap di samping tempat tidur, terutama selama
saat-saat pertama upaya makan
3) Jadwalkan aktivitas dan medikasi untuk memberikan waktu minimal 30
menit istirahat sebelum makan
4) Bantu pasien dengan kontrol kepala atau penopang kepala dan posisikan
berdasarkan disfungsi spesifik.
5) Letakkan pasien dalam posisi duduk tegak selama dan setelah makan,
dengan tepat.
6) Beri perawatan oral berdasarkan kebutuhan individual sebelum makan.
7) Stimulasi bibir untuk menutup atau secara manual buka mulut dengan
memberi sedikit tekanan pada bibir atau bagian bawah dagu, jika
diperlukan.
8) Letakkan makanan dengan konsistensi tepat di sisi mulut yang tidak
terganggu.
9) Sentuh bagian pipi dengan spatel lidah atau tempelkan es pada lidah yang
lemah.
10) Pertahankan posisi tegak selama 45 sampai 60 menit setelah makan

21
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, fransisca b (2011) asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Black, J. M. and Hawks, J. H. (2014) Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis


Untuk Hasil yang Diharapkan, 3.

Brunner & Suddarth (2013) ‘Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth’, in


Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. doi: 10.1116/1.578204.

Elim, C., Tubagus, V. and Ali, R. H. (2016) ‘Hasil pemeriksaan CT scan pada penderita
stroke non hemoragik di Bagian Radiologi FK Unsrat/SMF Radiologi RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado periode Agustus 2015 – Agustus 2016’, e-CliniC. doi:
10.35790/ecl.4.2.2016.14398.

Hidayat, A. A. & U. M. (2014) pengantar kebutuhan dasar manusia. Jakarta: Salemba


Medika.

Junaidi, I. (2011) Stroke waspadai ancamannya, Yogyakarta: Penerbit Andi. doi:


10.1176/appi.ajp.162.2.383.

Khairunnisa, N. and -, F. (2014) ‘HEMIPARESE SINISTRA, PARESE NERVUS VII,


IX, X, XII e.c STROKE NON-HEMORAGIK’, Jurnal Medula.

Muttaqin, A. (2011) asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persyarafan.


Jakarta: EGC.

Muttaqin, A. (2016) Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.


Jakarta: Salemba Medika.

Oktavianus (2014) asuhan keperawatan pada sistem neurobehavior. Yogyakarta: Graha


Medika.

PERDOSSI (2016) ‘Panduan Praktik Klinis Neurologi’, Ikatan Dokter Indonesia. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.

1
Wijaya, A. S. & P. Y. M. (2013) KMB 2 keperawatan medikal bedah (keperawatan
dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika.

Yasmara, D., Nursiswati and Arafat, R. (2016) ‘RENCANA ASUHAN


KEPERAWATAN MEDIKAL-BEDAH: DIAGNOSIS NANDA-1 2015-2017
INTERVENSI NIC HASIL NOC’, in RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
MEDIKAL-BEDAH: DIAGNOSIS NANDA-1 2015-2017 INTERVENSI NIC
HASIL NOC.

Anda mungkin juga menyukai