Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan karunia-Nya berupa rahmat dan kesehatan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Filsafat Ilmu Pendidikan” sebagai tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.
Terima kasih kami ucapkan kepada Dosen Pengampu mata kuliah serta semua
pihak yang telah ikut berpartisipasi secara langsung dan tidak langsung sehingga
kami mampu menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini mengandung kekurangan sekalipun telah
diupayakan seoptimal mungkin oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi menghasilkan sebuah karya
ilmiah yang jauh lebih baik.
Semoga makalah ini memberikan manfaat dan menambah wawasan tentang
penelitian bagi siapapun yang membacanya.

Baubau, 22 oktober
2016

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.............................................................
1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................
1.2 Rumusan Masalah..................................................................
1.3 Tujuan Pembahasan................................................................
BAB II PEMBAHASAN..............................................................
2.1 Pengertian Filsafat
2.2 Ontologi Ilmu Pendidikan
2.3 Epistemologi Ilmu Pendidikan
2.4 Aksiologi Ilmu Pendidikan
2.5 Pengertian Filsafat Ilmu Pendidikan
2.6 Peranan Filsafat dalam Ilmu Pendidikan
2.7 Sasaran Filsafat Ilmu Pendidikan
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran .
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu adalah seperangakat pengetahuan yang merupakan buah pemikiran


manusia yang memiliki metode tertentu yang berguna untuk umat manusia agar
manusia dapat senantiasa eksis dalam kehidupannya. Ilmu yang menjadi alat bagi
manusia agar dapat menyesuaikan diri dan merubahlingkungan, memiliki kaitan
erat dengan kebudayaan. Talcot Parsons (Suriasumantri,1990:272) menyatakan
bahwa “Ilmu dan kebudayaan saling mendukung satu sama lain:dalam beberapa
tipe masyarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pulasebaliknya,
masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa di dukung
perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan”. Ilmu dan kebudayaan
berada dalamposisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu
pihak perkembangan ilmudalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi
kebudayaan. Sedangkan di pihak lain,pengembangan ilmu akan mempengrauhi
jalannya kebudayaan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ilmu memiliki arti
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu. Menurut Suriasumantri (2001:3). Ilmu merupakan salah satu
buah pemikirian manusia dalam menjawab pertanyaan. Sementara itu, Paul
Freedman dalam The Principles of Scientific Research mendefinisikan ilmu
sebagai bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia
memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang
alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan untuk
menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-
sifatnya sendiri.
Mengingat banyaknya sorotan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia,
banyak pihak yang mengingatkan perlu adanya telaah yang mendalam terhdap
kebijakan pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang diinginkan tidak hanya
bersifat substansial seperti yang tercantum dalam kurikulum pendidikan dasar
sampai dengan pendidikan di tingkat perguruan tinggi, akan tetapi hendaknya
secara integral dapat membentuk manusia Indonesia yang hakiki yang mampu
memiliki kecerdasan intelegensi, kecerdasan emosional maupun kecerdasan
spiritual.
Seiring dengan fenomena tersebut di atas, pembangunan pendidikan yang lebih
berkualitas telah dilaksanakan melalui berbagai upaya seperti, pengembangan dan
perbaikan kurikulum, pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan, sistem
evaluasi, pengembangan bahan ajar, pelatihan guru dan tenaga pendidik, dan
usaha lainnya.
Pembangunan dalam pendidikan menuntut semua pihak yang terlibat dalam
pendidikan memahami hakekat pendidikan yang sesungguhnya, dalam hal ini
implementasi filasafat pendidikan perlu dijalankan oleh semua pihak yang terlibat
dalam pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam
pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-
masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang
dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta
lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan,
dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa definisi filsafat ?
2. Apa yang dimaksud dengan ontology ilmu pendidikan ?
3. Apa yang dimaksud dengan epistemology ilmu pendidikan ?
4. Apa yang dimaksud dengan aksiologi ilmu pendidikan ?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui defines ontology,epistemology dan aksiologi ilmu
pendidikan
2. Untuk mengetahui hubungan dan peranan anatara filsafat dengan filsafat
ilmu pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Filsafat


Filsafat dan filosof berasal dari kata Yunani, yaitu Philosophia dan
philosophos. Menurut bentuk kata, seorang philosophos adalah seorang pencinta
kebijaksanaan. Pendapat lain mengatakan bahwa filsafat menurut asal katanya
adalah "cinta akan kebenaran", yang berasal dari bahasa Yunani philos (cinta) dan
shopia (kebenaran). Ada juga yang berpendapat bahwa, kata falsafah berasal dari
bahasa Yunani Kuno, apabila diterjemahkan secara bebas berarti "cinta akan
hikmah". Dengan demikian falsafat itu sendiri bukanlah hikmah; tetapi filsafat
adalah cinta terhadap hikmah dan selalu berusaha untuk mendapatkan hikmah.
Oleh karena itu, seorang filosof atau orang yang mencintai hikmah akan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian kepadanya dan menciptakan sikap yang
positif terhadapnya. Di samping itu, dalam mencari hakekat sesuatu, akan
berusaha menentukan sebab akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-
pengalaman manusia.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pengertian filsafat itu
berbeda-beda sesuai dengan pandangan masing-masing. Berikut ini adalah
beberapa pendapat tentang pengertian filsafat dari beberapa ahli :
Menurut Muhammad Noor Syam, istilah filsafat mengandung pengertian
sebagai berikut :
1. Filsafat sebagai aktivitas pikir mumi (reflective-thinking), atau kegiatan akal
manusia dalam usaha untuk mengerti secara mendalam tentang segala sesuatu.
2. Filsafat sebagai hasil kegiatan berpikir mumi mengandung pengertian bahwa
filsafat merupakan wujud suatu "ilmu" sebagai hasil pemikiran dan penyelidikan
berfilsafat itu. Juga merupakan suatu bentuk perbendaharaan yang terorganisir dan
memiliki sistematika tertentu, atau merupakan suatu bentuk ajaran tentang segala
sesuatu sebagai satu ideologi.

Dari pengertian tersebut kita memperoleh penjelasan bahwa filsafat bukan


sekedar suatu aktivitas berpikir, suatu usaha dan suatu proses, melainkan
mengandung kedua-duanya, yaitu sebagai aktivitas berpikir dan sebagai
perbendaharaan hasil aktivitas berpikir tersebut. Bahkan sejalan dengan
perkembangan peradaban manusia, filsafat telah terwujud sebagai suatu ilmu yang
sangat berpengaruh, juga merupakan suatu falsafah negara yang akan selalu
dijungjung tinggi.
Setiap uraian tentang pengertian filsafat akan selalu mencakup kedua makna
tersebut, sebab keduanya memiliki hubungan yang erat antara aktivitas berpikir
tersebut. Bahkan sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, filsafat telah
terwujud sebagai suatu ilmu yang sangat berpengaruh, juga merupakan suatu
falsafah negara yang akan selalu dijungjung tinggi.
Setiap uraian tentang pengertian filsafat akan selalu mencakup kedua makna
tersebut, sebab keduanya memiliki hubungan yang erat antara aktivitas dengan
produknya.

1. Menurut W H. Kilpatrick, filsafat adalah pembahasan secara kritis tentang


nilai-nilai kehidupan yang berlawanan, sedapat mungkin berusaha untuk
mendapatkan cara bagaimana mengelola kehidupan sekalipun bertentangan.
2. Pandangan ini, filsafat berusaha mengarahkan suatu pengertian yang cukup
dan paham kehidupan yang meliputi suatu kehidupan yang ideal. Maka berfilsafat
berarti memikirkan atau merenungkan nilai-nilai yang terbaik dan ideal.

3. Menurut Charles Gore, filsafat ialah hasil usaha akal budi atau berpikir
manusia secara mendalam. Hal itu mengingat bahwa tidak ada batasan tertentu
tentang mendalamnya suatu usaha berpikir, karena sifatnya kualitatif dan dihayati
sehingga dapat dibedakan mana yang filsafat dan mana yang bukan. Disamping
itu, ilmu pengetahuanpun sangat besar peranannya terhadap pemahaman filsafat
itu.

4. Menurut Brubacher, filsafat berasal dari perkataan Yunani Kuno, yaitu filos
dan sofia yang berarti cinta kebijaksanaan atau belajar ilmu pengetahuan. Atau
diartikan pula sebagai cinta belajar. Dalam proses pertumbuhan ilmu-ilmu
pengetahuan (Sciences) hanya ada di dalam filsafat. Maka filsafat pun dikatakan
sebagai induk atau ratu ilmu pengetahuan.

Ilmu merupakan pengetahuan yang digumuli sejak sekola dasar pendidikan


lanjutan dan perguruan tinggi, berfilsafat tentang ilmu berarti terus terang kepada
diri sendiri. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman
manusia juga disebabkan metode yang digunakan dalam menyusun yang telah
teruji kebenarannya secara empiris.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka
dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering
dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran
ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya
isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati
gunung es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut saja. Semantara
filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala
sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Sedangkan Pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya
dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan
dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-
lahan dari dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada bersama dengan
filsafat, sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan
manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami
kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.

2.2. Ontologi ilmu pendidikan


Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu
pendidikan. Adapun aspek realita yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan
melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris.
Objek material ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap
aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi
pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial
mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good
citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya). Agar pendidikan dalam
praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi
pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam
situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk
berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu
boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan
makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang
terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai
harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat
mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu
kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak
pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta
didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis
kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif maka
menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing
link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan
egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal,
misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang
mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas
manusianya belum tentu utuh.

2.3 Epistemoligi Ilmu Pendidikan


Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan
demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab.
Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga
pemula namun berdasarkan objek formil ilmu pendidikan memerlukaan
pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi
kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data
secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan
oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan
objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian
(verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan
(kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas
internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan
seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis
dan penelitian expost facto. Inti dasar epistemologis adalah bahwa dalam
menjelaskaan objek formalnya, ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan
ilmu terapan melainkan menuju kepada teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu
otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun
tidak dapat hanya menggunkan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental
(Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat
diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan
atau pragmatis (Randall & Buchler, 1942).

2.4 Aksiologi ilmu pendidikan


Manfaatan teori Aksiologi ilmu pendidikan tidak hanya penting sebagai ilmu
yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya
bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh
karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti
seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-
dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh
yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan
demikian ilmu pendidikan tidak bebas menilai mengingat hanya terdapat batas
yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi
pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai
bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya
pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari
iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya
dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di
Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada
ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu
- ilmu terdapat unifikasi satu - satunya metode ilmiah (KalrPerason,1990).

2.5. Pengertian Filsafat Ilmu Pendidikan


Filsafat Ilmu pendidikan menururt Al-Syaibany (19?9:30) adalah :
"Pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan.
Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan
menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip prinsip dan kepercayaan-kepercayaan
yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah
pendidikan secara praktis".
Filsafat Ilmu pendidikan bersandarkan pada filsafat formal atau filsafat umum.
Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat.
Masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat
umum, seperti :
1. Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha untuk
mencapainya
2. Hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima
pendidikan
3. Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasamya merupakan suatu
proses sosial
4. Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk
tercapainya
Selanjutnya Al Syaibany (1979) berpandangan bahwa filsafat ilmu pendidikan,
seperti halnya filsafat umum, berusaha mencari yang hak dan hakikat serta
masalah yang berkaitan dengan proses pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha
untuk mendalami konsep-konsep pendidikan dan memahami sebab-sebab yang
hakiki dari masalah pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha juga membahas
tentang segala mungkin mengarahkan proses pendidikan.

Pada bagian lain Al Syaibany (1979) mengemukakan bahwa terdapat


beberapa tugas yang diharapkan dilakukan oleh seorang filsof pendidikan,
diantaranya :
1. Merancangkan dengan bijak dan arif untuk menjadikan proses dan usaha-
usaha pendidikan pada suatu bangsa
2. Menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar beriman kepada
Tuhan dengan segala aspeknya
3. Menunjukkan peranannya dalam mengubah masyarakat dan mengubah cara-
cara hidup mereka ke arah yang lebih baik
4. Mendidik akhlak, perasaan seri dan keindahan pada masyarakat, dan
menumbuhkan pada diri mereka sikap menghormati kebenaran, dan cara-cara
mencapai kebenaran tersebut.
Filosof menyeluruh tentang wujud dan segala aspek yang berkaitan dengan
ketuhan, kemanusiaan, pengetahuan kealaman dan pengetahuan sosial. Filsof
pendidikan harus pula mampu memahami nilai-nilai kemanusiaan yang terpancar
pada nilai-nilai kebaikan, keindahan dan kebenaran. Filsafat Ilmu pendidikan
dikatakan spekulatif karena berusaha membangun teori-teori hakikat manusia,
hakikat masyarakat, hakikat dunia, yang sangat bermanfaat dalam menafsirkan
data-data sebagai hasil hasil penelitian sains yang berbeda. Filsafat Ilmu
pendidikan dikatakan preskriptif apabila filsafat pendidikan menentukan tujuan-
tujuan yang harus diikuti dan dicapainya, dan menentukan cara-cara yang tepat
dan benar untuk digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Karena secara
tersurat menentukan tujuan pendidikan yang akan dicapai.
Filsafat Ilmu pendidikan dikatakan analitik, apabila filsafat pendidikan
menjelaskan pertanyaan-pertanyaan spekulatif dan preskriptif. Misalnya menguji
rasinalitas yang berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan dan
menguji bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain. Misalnya kita
memperkenalkan konsep “Cara Belajar Siswa Aktif”. Filsafat pendidikan
analitik menguji logis konsep-konsep pendidikan, seperti apa yang dimaksud
dengan : “Pendidikan Dasar 9 Tahun”, “Pendidikan Akademik”,
“Pendidikan Seumur Hidup” dan sebagainya
Peranan-peranan filsafat tersebut sangat besar dalam mendasari berbagai aspek
pendidikan bagi pembinaan pedagogik.

2.6. Peranan filsafat dalam Ilmu pendidikan


Setelah kita mempelajari arti filsafat dan pendidikan dapat ditarik kesimpulan
bahwa pendidikan itu adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus
menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan
hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam
masyarakatnya.

Peranan filsafat pendidikan menurut para ahli :


1. Brauner dan Burn berpendapat bahwa pendidikan dan filsafat tidak dapat
dipisahkan, karena tujuan pendidikan sama dengan tujuan filsafat. Kebijaksanaan
dan jalan yang ditempuh oleh filsafat sama dengan yang ditempuh oleh
pendidikan.
2. Kupatrick mengemukakan bahwa berfilsafat dan mendidik adalah
memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik,
sedangkan mendidik adalah usaha untuk merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita
tersebut di dalam kehidupan dan kepribadian manusia.
3. Prof. Brameld berpendapat bahwa untuk mengatasi persoalan-persoalan
pendidikan secara efisien kita harus membawa filsafat. Filsafat selain digunakan
untuk mengatasi persoalan pendidikan dengan efisien jelas dan sistematis, juga
berfungsi sebagai alat analisa, untuk sinthesis dan penialain.

2.7. Sasaran Filsafat Ilmu Pendidikan

2.7.1. Tujuan Ilmu Pendidikan


Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Karena bersifat filosofis,
maka hakekatnya adalah penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan
pendidikan. Sasaran utamanya adalah tujuan pendidikan, sebagai jawiban dari
pertanyaan "Untuk apa sekolah ini diadakan?; Ke arah mana pendidikan ini akan
dibawa?". Untuk menentukan tujuan pendidikan itu, filsafat mengadakan tinjauan
yang luas dan mendalam mengenai realita, dikupaslah pandangan tentang dunia
dan pandangan hidup manusia. Akhimya konsep-konsep dari semua itu dijadikan
landasan penyusunan konsep tujuan pendidikan. Kemudian, dikupas pula
mengenai pengalaman pendidik dalam mengembangkan dan menumbuhkan anak
yang berhubungan dengan realita. Semua ini akan dipakai sebagai bahan pertim-
bangan dalam mengembangkan diri. Di samping itu dikaji pula pandangan
mengenai hakekat Khalik, makhluk, alam semesta, pengetahuan dan nilai-nilai.
Semuanya dipadukan dalam menentukan kurikulum.

2.7.2 Metode
Apabila tujuan telah dirumuskan sesuai dengan tujuan filsafat yang dianut,
langkah selanjutnya adalah mengupas tentang cara-cara menerapkan aspek-aspek
pendidikan yang terkandung dalam tujuan pendidikan. Filsafat akan mengadakan
pembahasan tentang aku (ego) dan tujuan, lalu dibahas pula metode apa yang
tepat bagi pribadi yang bersangkutan. Misalnya, berdasarkan ilmu jiwa
kepribadian, aliran monisme faham Materialisme menganggap bahwa manusia
adalah makhluk reaksi, pola reaksinya disampaikan sebagai stimulus response.
Untuk meningkatkan efektivitas tingkah laku manusia hanya dibutuhkan
pengalaman atau latihan (drill). Sedangkan menurut aliran monisme faham
Idealisme memandang bahwa manusia itu asas primemya adalah jiwa, karena
jasmani tanpa jiwa tidak akan berdaya. Maka pendidikan harus dilaksanakan
berdasarkan kodrat dan kebutuhan asas roldaani, untuk membina rasio, perasaan,
kemauan dan spirit manusia.
Dari kedua faham tersebut bisa melahirkan beberapa metode yang bisa
digunakan dalam proses pendidikan, misalnya metode latihan, metode penugasan,
metode ceramah dan sebagainya. Jadi memilih metode pun harus mengacu kepada
tujuanberdasarkan kajian filsafat.

2.7.3 Alat Pendidikan


Yang dimaksud dengn alat pendidikan ialah segala sesuatu apa yang
dipergunakan dalam usaha mencapai pendidikan. Pendidikan pun merupakan alat
untuk mencapai tujuan pendidikan.
Berdasarkan fungsinya, alat-alat pendidikan dapat dibedakan atas tiga jenis,
yaitu :
· Alat sebagai perlengkapan.
· Alat sebagai pembantu dalam mempermudah usaha pencapaian tujuan.
· Alat sebagai tujuan.
Dalam memikirkan alat-alat yang akan dipakai dalam pendidikan, fungsi
setiap alat sebaiknya diperhitungkan. Antara lain soal kematangan anak-anak
untuk menerima pendidikan itu, dan soal ruangan serta waktunya. Jadi
pemilihan alat harus disesuaikan dengan hal-hal tersebut.

Berdasarkan taraf-taraf perkembangan anak, alat-alat pendidikan terbagi atas :


· Alat-alat yang memberi perlengkapan berupa kecakapan berbuat dan
pengetahuan hapalan. Alat ini dapat disebut sebagai alat pembiasaan.
· Alat-alat untuk memberi pengertian, membentuk sikap, minat dan cara-cara
berpikir.
· Alat-alat yang membawa ke arah keheningan bathin, kepercayaan dan
penyerahan diri kepada Tuhan.
Selain pembagian tersebut, alat-alat pendidikan dapat pula dibedakan atas :
· Alat-alat langsung, yaitu alat-alat yang bersifat menganjurkan sej alan dengan
maksud usaha.
· Alat-alat tidak langsung; yaitu alat-alat yang bersifat pencegahan dan
pembasmian hal-hal yang bertentangan dengan maksud usaha.

Alat-alat langsung disebut juga alat positif, misalnya segala jenis anjuran,
perintah, keharusan. Sedangkan alat-alat tidak langsung disebut alat negatif,
misalnya larangan-larangan, peringatanperingatan dan sejenisnya dengan segala
akibatnya,. Pembagian yang lain adalah si terdidik dan pendidik. Disamping
ketiga hal tersebut, yang termasuk sasaran Filsafat Pendidikan adalah faktor-
faktor pendidikan, dan usaha-usaha mengintegrasikan ilmu pengetahuan yang
mendukung usaha pendidikan.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Filsafat Ilmu pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seseorang mengenai
pendidikan yang merupakan kumpulan dari prinsip yang membimbing tindakan
profesional seseorang. Lebih jauh lagi filsafat Ilmu pendidikan berkaitan dengan
“Penetapan hakekat dari tujuan, alat pendidikan, dan menerjemahkan prinsip-
prinsip ini dalam kebijakan-kebijakan untuk mengimplementasikan.
Maka dengan memahami filsafat ilmu pendidikan. Pelaksanaan pendidikan akan
lebih efektif dan efisien lebih mengarah kepada sasaran yang akan di capai
sehingga mempercepat tercapainya tujuan pendidikan.

3.2. SARAN
Dengan adanya hubungan anatara filsafat dengan filsafat ilmu pendidikan
maka disarankan kepada mahasiswa untuk menggali pengetahuan lebih dalam lagi
dalam referensi-referensi lain yang lebih lengkap tentang filsafat ilmu pendidikan
lainnya.Sehingga dapat menerapkannya dalam dunia pendidikan dan mencapai
tujuannya.

DAFTAR PUSTAKA

Agustrisno,dkk.(2005).Filsafat.Medan:USU
Jujun S.Suriasumantri.(2005) Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer.Jakarta:Sinar Harapan
Suparno,Paul, dkk.(1997).Filsafat Konstruktivisme Dalam
Pendidikan.Yogyakarta: Kanisius
Syafarudin,dkk.(2003).Filsafat Ilmu Pendidikan.Medan :Yayasan Penerbit
Pendidikan FKIP IAIN
Usiono.(2009).Pengantar Filsafat Pendidikan.Jakarta:Hijri Pustaka Utama.
http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai