Masalah KesKom Penyakit Kronik
Masalah KesKom Penyakit Kronik
Disusun Oleh :
Keperawatan B
Kelompok 3
Jumasing
Ulfa Wildana Hasan
Nurfadilah
Nur Annisa Berlin
Ainun Mutmainnah
PRODI KEPERAWATAN
2019
MASALAH KESEHATAN KOMUNITAS POPULASI PENYAKIT KRONIK
g) Diuretic
Obat ini bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh (lewat
urin) sehingga volume cairan tubuh berkurang, sehingga
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan. Contoh:
Hidroklorotiazid (HCT) (Muttaqin 2009)
4. PPOK
a. Definisi
Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD) mengartikan
PPOK adalah suatu penyakit yang bisa dilakukan pencegahan dan pengobatan.
PPOK memiliki tanda gejala terdapatnya hambatan aliran udara dalam saluran
pernafasan yang bersifat progresif. PPOK juga terdapat peradangan atau
inflamasi pada saluran pernafasan dan paru-paru yang diakibatkan oleh adanya
partikel dan gas yang berbahaya (GOLD, 2013). PPOK merupakan keadaan
irreversible yang ditandai adanya sesak nafas pada saat melakukan aktivitas dan
terganggunya aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru (Smeltzer et al,
2013). PPOK merupakan penyakit kronis ditandai dengan terhambatnya aliran
udara karena obstruksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh paparan yang
lama terhadap polusi dan asap rokok. PPOK merupakan istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama
(Agustin and Yunus 2008)
PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang secara umum
ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus21 menerus biasanya
progresif dan berhubungan dengan peradangan kronis, peningkatan respon dalam
saluran udara dan paru-paru dari partikel berbahaya atau gas. (Vestbo et.al.,
2013). Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit radang saluran
nafas utama ditandai dengan keterbatasan aliran udara sebagian besar ireversibel
yang menghasilkan hypoxemia dan hiperkapnia
b. Epidemiologi
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) disebabkan oleh adanya
keterbatasan aliran udara yang terus menerus yang diikuti respon inflamasi pada
saluran napas dan paru-paru akibat adanya partikel asing atau gas beracun
(GOLD, 2013). Respon inflamasi pada saluran nafas yang dipicu oleh infeksi
bakteri, virus atau polusi lingkungan akan menyebabkan PPOK eksaserbasi akut
yang ditandai dengan gejala dyspnea, batuk dan produksi sputum. Patofisiologi
dari respon inflamasi belum banyak diketahui tetapi biasanya ditandai dengan
meningkatnya neutrofil dan eosinofil pada dahak (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011) Pada tahun 2020 diperkirakan PPOK akan menjadi penyakit 3
besar penyebab kematian tertinggi (GOLD, 2017). Di Indonesia angka kejadian
dari beberapa sampel cukup tinggi yaitu di daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat
4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta 3,1%, Jawa Timur 3,6% dan Bali 3,6%
(Kemenkes, 2013). Angka dari penderita PPOK ini diperkirakan akan terus
bertambah dikarenakan semakin tingginya perokok di Indonesia dan udara yang
tidak bersih akibat dari penggunaan kendaraan bermotor serta asap yang
ditimbulkan industri. Risiko kegagalan pengobatan lebih rendah pada pasien
PPOK eksaserbasi akut yang diobati dengan antibiotik (Rothberg, 2010). Namun,
tidak semua PPOK eksaserbasi perlu diterapi dengan menggunakan antibiotik
karena pemicu terjadinya eksaserbasi akut tidak hanya disebabkan oleh bakteri,
tetapi ada juga yang disebabkan oleh non bakteri. Sehingga antibiotik harus
digunakan dengan bijak karena dapat menyebabkan resisten (Bathoorn, et al.,
2017).
Menurut penelitian Ram et al., (2009) Penggunaan antibiotik (terlepas dari
jenisnya) mengurangi risiko kematian pasien sebesar 77% dan 53% pasien
dengan risiko tidak menanggapi intervensi antibiotik. Penelitian tersebut
mendukung penggunaan antibiotik (terlepas dari jenisnya) untuk pasien dengan
PPOK eksaserbasi dengan tingkat keparahan sedang dengan batuk dan dahak
yang meningkat. Pasien dengan 2 risiko tidak menanggapi intervensi dari
penggunaan antibiotik dengan persentase sebesar 53% membuktikan bahwa
penyebab PPOK eksaserbasi akut tidak hanya disebabkan oleh bakteri tetapi
dapat juga disebabkan oleh infeksi virus atau bahkan tanpa infeksi. Terapi
antibiotika untuk pasien PPOK eksaserbasi akut diberikan jika mengalami
minimal dua dari tiga gejala, yaitu peningkatan dyspnea, peningkatan volume
sputum dan meningkatnya purulence sputum (perubahan warna sputum) (Dipiro
et al, 2008). Antibiotik merupakan zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi atau
bakteri dan berkhasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman atau
bakteri dengan toksisitas yang relatif kecil (Tjay & Rahardja, 2007). Pemberian
antibiotika yang tidak tepat pada pasien PPOK eksaserbasi akan meningkatkan
risiko kegagalan terapi, lamanya tinggal di rumah sakit serta meningkatkan risiko
kematian (Barbara et al., 2012).
Pada pasien PPOK eksaserbasi akut di RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun
2011-2012 data menunjukkan sejumlah 36,2% masih sensitif terhadap antibiotik,
sedangkan 32,4% mengalami tingkat resistensi mikroorganisme jenis MDR
(Multi Drugs Resistence) dan 31,4% jenis monoresistan (Ria et al., 2012).
Munculnya resistensi ini akan merugikan pasien dan beban negara menjadi lebih
besar. Sebagai gambaran, pemerintah USA mengeluarkan tambahan 20 milyar
USD untuk menanggung biaya kesehatan, 35 milyar USD untuk biaya sosial
karena resistensi ini, dan terjadi kematian 2x lebih besar karena resistensi
antibiotik (APUA, 2010). Berdasarkan latar belakang diatas perlu dilakukan
evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien PPOK eksaserbasi akut di instalasi
rawat inap RSUD Dr. Moewardi tahun 2016-2017. Pemakaian antibiotik perlu
evaluasi apakah terapi antibiotik yang diberikan di rumah sakit tersebut tepat
indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis.
c. Penatalaksanaan
PPOK adalah penyakit paru-paru kronis yang bersifat progresif dan
irreversible. Penatalaksanaan PPOK dibedakan berdasarkan pada keadaan stabil
dan eksaserbasi akut. Penatalaksanaan PPOK berdasarkan PDPI (2016):
1) Tujuan penatalaksanaan berdasarkan GOLD (2006) dan dan PDPI (2016):
a) Meminimalkan gejala
b) Pencegahan terjadinya eksaserbasi
c) Pencegahan terjadinya penurunan fungsi paru
d) Peningkatan kualitas hidup
2) Penatalaksanaan umum PPOK terdiri dari:
a) Edukasi Penatalaksanaan edukasi sangat penting pada PPOK keadaan
stabil yang dapat dilakukan dalam jangka panjang karena PPOK
merupakan penyakit kronis yang progresif dan irreversible. Intervensi
edukasi untuk menyesuaikan keterbatasan aktifitas fisik dan pencegahan
kecepatan penurunan fungsi paru. Edukasi dilakukan menggunakan
bahasa yang singkat, mudah dimengerti dan langsung pada inti
permasalahan yang dialami pasien. Pelaksanaan edukasi seharusnya
dilakukan berulang dengan materi edukasi yang sederhana dan singkat
dalam satu kali pertemuan. Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
b) Mengetahui proses penyakit
c) Melakukan pengobatan yang optimal
d) Mencapai aktifitas yang maksimal
e) Mencapai peningkatan kualitas hidup Materi edukasi yang dapat
diberikan yaitu:
(1) Dasar- dasar penyakit PPOK
(2) Manfaat dan efek samping obat-obatan
(3) Mencegah penyakit tidak semakin memburuk
(4) Menjauhi faktor penyebab (seperti merokok)
(5) Menyesuaikan aktifitas fisik Materi edukasi menurut prioritas yaitu:
(a) Penyampaian berhenti merokok dilakukan pada saat pertama
kali penegakan diagnosis PPOK.
(b) Penggunaan dari macam-macam dan jenis obat yang meliputi:
cara penggunaan, waktu penggunaan dan dosis yang benar serta
efek samping penggunaan obat.
(c) Waktu dan dosis penggunaan oksigen. Mengenal efek samping
kelebihan dosis penggunaan oksigen dan cara mengatasi efek
samping penggunaan oksigen tersebut.
(d) Mengetahui gejala eksaserbasi akut dan penatalaksanannya
seprti adanya sesak dan batuk, peningkatan sputum, perubahan
warna sputum, dan menjauhi penyebab eksaserbasi.
(e) Penyesuaian aktifitas hidup dengan berbagai keterbatasan
aktifitasnya.
f) Terapi obat yaitu: bronkodilator, antibiotic, anti peradangan, anti
oksidan, mukolitik dan antitusif.
g) erapi oksigen Pasien PPOK mengalami hipoksemia yang progresif dan
berkepanjangan sehingga menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ-organ lainnya.
h) Ventilasi mekanis Ventilasi mekanis pada PPOK diberikan pada
eksaserbasi dengan adanya gagal nafas yang akut, gagal nafas akut pada
gagal nafas kronis atau PPOK derajat berat dengan gagal nafas kronis.
Ventilasi mekanis dapat dilakukan di rumah sakit (ICU) dan di rumah.
i) Nutrisi Pasien PPOK sering mengalami malnutrisi yang disebabkan
meningkatnya kebutuhan energi sebagai dampak dari peningkatan otot
pernafasan karena mengalami hipoksemia kronis dan hiperkapni
sehingga terjadi hipermetabolisme. Malnutrisi akan meningkatkan angka
kematian pada pasien PPOK karena berkaitan dengan penurunan fungsi
paru dan perubahan analisa gas darah.
j) Rehabilitasi Rehabilitasi ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan
toleransi pasien PPOK terhadap katifitas fisik yaitu: menyesuaikan
aktifitas, latihan batuk efektif dan latihan pernafasan.
5. Diabetes Melitus
a. Definisi
Pengertian Diabetes Melitus (DM) Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena peningkatan
kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar
belakangi oleh resistensi insulin. Diabetes Mellitus adalah kondisi abnormalitas
metabolisme karbohidrat yang disebabkan oleh defisiensi (kekurangan) insulin,
baik secara absolute (total) maupun sebagian (R 2006).
b. Epidemiologi
Diabetes Melitus Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya
171 orang diseluruh dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari
total populasi, insidennya terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun
2030 angka ini menjadi 366 juta jiwa atau sekitar 4.4% dari populasi dunia, DM
terdapat diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes Melitus tipe 2 terjadi di
negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika
, ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang
tidak sehat, di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari 24417
responden berusia > 15 tahun , 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu
(kadar glukosa140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban glucosa
sebanyak 75 gram), DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan
pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang
rendah, daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi adalah Kalimantan
Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1% sedangkan kelompok usia terbanyak DM
adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%, beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor
resiko DM adalah Obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya
komsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2007). Prevalensi nasional DM
berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun diperkotaan
5,7%, prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi
kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2% disebutkan pula
bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7%
(Depkes, 2008). Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 1993
di Jakarta daerah urban membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari
1.7% pada tahun 1982 menjadi 5.7% kemudian tahun 2001 di Depok dan
didaerah Jakarta Selatan menjadi 12.8%, demikian juga di Ujung Pandang daerah
urban meningkat dari 1.5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada tahun1998,
kemudian pada akhir 2005 menjadi 12.5%, di daerah rural yang dilakukan oleh
Arifin di Jawa Barat 1,1% didaerah terpencil, di tanah Toraja didapatkan
prevalensi DM hanya 0,8% dapat dijelaskan perbedaan prevalensi daerah urban
dan rural (PK et al. 2007).
6. Arthritis Rhematoid
a. Definisi
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun sistemik (Symmons, 2006). RA merupakan salah satu kelainan
multisistem yang etiologinya belum diketahui secara pasti dan
dikarateristikkan dengan destruksi sinovitis (Helmick, 2008). Penyakit ini
merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan
keterlibatan sendi yang simetris. Penyakit RA ini merupakan kelainan
autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung kronik
dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis) (Suarjana 2009).
b. Epidemiologi
Prevalensi RA relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% di
seluruh dunia (Suarjana, 2009). Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi
18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis
dan diantara berbagai grup etnik dalam suatu negara. Misalnya,
masyarakat asli Ameika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di
Amerika Utara dilaporkan memiliki rasio prevalensi dari berbagai studi
sebesar 7%. Prevalensi ini merupakan prevalensi tertinggi di dunia. Beda
halnya, dengan studi pada populasi di Afrika dan Asia yang menunjukkan
prevalensi lebih rendah sekitar 0,2%-0,4% (Longo, 2012). Prevalensi RA
di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75%
(Suarjana 2009)
Sedangkan, di Jerman sekitar sepertiga orang menderita nyeri
sendi kronik mulai dari usia 20 tahun dan juga seperduanya berusia 40
tahun. Satu dari penyebab utama nyeri yang timbul, dengan konsekuensi
yang serius, merupakan RA . RA adalah penyakit inflamasi reumatik yang
paling sering dengan prevalensi 0,5% sampai 0,8% pada populasi dewasa.
Insidensinya meningkat seiring usia, 25 hingga 30 orang dewasa per
100.000 pria dewasa dan 50 hingga 60 per 100.000 wanita dewasa
(Schneider, 2013). Studi RA di Negara Amerika Latin dan Afrika
menunjukkan predominansi angka kejadian pada wanita lebih besar dari
pada laki-laki, dengan rasio 6-8:1 (Longo, L. MD., and MD 2012).
Di Cina, Indonesia dan Filipina prevalensinya kurang dari 0,4%
baik didaerah urban ataupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa
Tengah mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,2% di daerah rural dan
0,3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang
pada penduduk berusai diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi RA
sebesar 0,5% didaerah kotamadya dan 0,6% didaerah kabupaten. Di
poliklinik reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru
RA merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru pada tahun 2000 dan pada
periode januari s/d juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus RA dari
jumlah seluruh kunjungan sebanyak 12.346 orang (15,1%). Prevalensi RA
lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki
dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan
angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima
(Suarjana 2009).
Prevalensi RA yang hanya sebesar 1 sampai 2 % diseluruh dunia,
pada wanita di atas 50 tahun prevalensinya meningkat hampir 5%. Puncak
kejadian RA terjadi pada usia 20-45 tahun. Berdasarkan penelitian para
ahli dari universitas Alabama, AS, wanita yang memderita RA
mempunyai kemungkintan 60% lebih besar untuk meninggal dibanding
yang tidak menderita penyakit tersebut (Suarjana 2009)
Dari data presurvey di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung
didapatkan bahwa penyakit RA menjadi salah satu dari 10 penyakit
terbesar sejak tahun 2011. Pada presurvey ini dilakukan pengamatan data
sejak tahun 2007 sampai dengan 2012. RA muncul pada tahun 2011
menempati urutan kedelapan dengan angka diagnosa sebanyak 17.671
kasus (5,24%) dan naik ke urutan keempat pada tahun 2012 dengan
50.671 kasus (7,85%) (Y 2008)
Dan dari profil kesehatan di dinas kesehatan sejak tahun 2007-
2011 didapatkan penyakit RA muncul menjadi salah satu dari 10 penyakit
terbesar di kota Bandar Lampung pada tahun 2009 di urutan keempat
dengan presentase sebesar 5,99%, tahun 2010 menjadi urutan ketiga
sebesar 7,2% dan tahun 2011 pada urutan keempat dengan presentasi
sebesar 7,11% (DinKes 2011)
c. Penatalaksanaan
RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi
penjelasan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan (Sjamsuhidajat,
2010). Terapi RA harus dimulai sedini mungkin agar menurunkan angka
perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak muncul
gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD
(Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) (Suarjana 2009).
7. Tuberculosis (TBC)
a. Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menyerang pada
saluran pernafasan yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
(Smeltzer 2013).
Tuberkulosis adalah penyakit yang menyerang paru-paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis (TBC) adalah
penyakit akibat kuman Mycobacterium tuberculosis sistemis sehingga
dapat mengenal semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru-paru
yang baisanya merupakan lokasi infeksi primer (Nurhidayah 2011).
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama
menyerang parenkim paru. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit
menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang
merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang
sebagian besar basil tuberkulosis masuk ke dalam jaringan paru melalui
airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang di kenal sebagai
focus primer dari ghon (Wijaya, Putri, and Marisa 2013).
b. Epidemiologi
Masalah yang dihadapi saat ini adalah meningkatnya kasus TB dengan
pesat selain karena peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS juga
meningkatnya kasus multidrug resistence-TB (MDR-TB), hasil penelitian
di Jakarta mendapatkan >4% dari kasus baru. Masalah lain adalah peran
vaksinasi BCG dalam pencegahan infeksi dan penyakit TB yang masih
kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan proteksi dari vaksinasi
BCG untuk pencegahan penyakit TB berkisar antara 0%-80%, secara
umum diperkirakan daya proteksi BCG hanya 50%, dan vaksinasi BCG
hanya mencegah terjadinya TB berat, seperti milier dan meningitis TB.
Daya proteksi BCG terhadap meningitis TB 64%, dan miler TB 78% pada
anak yang mendapat vaksinasi.8 Salah satu metode untuk estimasi
insidensi TB dan evaluasi TB di komunitas atau di suatu negara dilakukan
dengan menilai ARTI (annual risk of tubeculosis infections) di populasi
umum. Nilai ARTI menggambarkan proporsi individu di komunitas yang
berpeluang terinfeksi atau terinfeksi ulang dalam kurun waktu satu tahun,
diperkirakan dari hasil survei uji tuberkulin di populasi umum.8 Dilain
pihak, ARTI merupakan indikator transmisi di komunitas yang bergantung
pada prevalensi kasus TB yang infeksius dan efikasi dari aktivitas
pengendalian TB seperti penemuan kasus (case finding) dan pengobatan.9
Untuk menilai faktor risiko harus dibedakan antara infeksi TB dan sakit
TB. Risiko infeksi TB tergantung pada lamanya terpajan, kedekatan
dengan kasus TB, dan beban kuman pada kasus sumber. Risiko tinggi
untuk sakit TB antara lain umur kurang dari 5 tahun (balita), malnutritisi,
infeksi TB baru, dan imunosupresi terutama karena HIV (Kartasasmita
2009).
c. Morbiditas dan mortalitas
Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun 2000
lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB
bertanggung jawab terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap
tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang. World Health
Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang
paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa.
Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan
AIDS. Pada wanita kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian
karena kehamilan, didapatkan 4,3% (63/1482) anak usia 6–59 bulan,
menderita TB.15 Data seluruh kasus TB anak dari tujuh rumah sakit Pusat
Pendidikan Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) dijumpai 1086 kasus
TB dengan angka kematian bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia
terbanyak 12-60 bulan (42,9%), sedangkan bayi <12 bulan didapatkan
16,5%.16 Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
didapatkan prevalensi 12 bulan TB paru klinis di Indonesia 1% dengan
kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua). Berdasarkan kelompok
umur dijumpai prevalensi TB, kurang dari 1 tahun 0,47%, 1–4 tahun
0,76% dan antara 5–14 tahun 0,53%.16 Selama tahun 1985-1992,
peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun (54,5%),
diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun
2005, diperkirakan kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya
terjadi di negara berkembang. Di Amerika Serikat dan Kanada,
peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun 19%, sedangkan pada usia 5-
15 tahun 40%. Di Asia Tenggara selama 10 tahun, diperkirakan jumlah
kasus baru 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8 juta) disertai infeksi HIV.
Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam
jumlah kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus)
dan Cina (1,1 juta kasus), 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak
berusia <15 tahun. Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada
saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis tidak
tepat, (2) pengobatan tidak adekuat (Kartasasmita 2009).
d. Penatalaksanaan
Menurut (Nurhidayah 2011) penatalaksanaan medis untuk TB paru
adalah sebagai berikut:
1) Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
2) Prinsip pengobatan
a) Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip
sebagai berikut:
(1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT
– KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
(2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
(3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
dan lanjutan.
3) Jenis, sifat dan dosis OAT
4) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
a) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:
(1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
(2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
(3) Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan
(HRZE)
(4) Kategori Anak: 2HRZ/4HR
b) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan
kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT
kombipak.
(1) Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien.Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
(2) Paket Kombipak
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket,
yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol.Paduan
OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai.Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
(3) KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
(a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
(b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep.
(c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, I.G. & Reggy, P. 2016. “Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial Pada
Stroke.” Vol. 43 No: 180–84.
Agustin, H, and F Yunus. 2008. “Proses Metabolisme Pada Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK), J Respire Indo.” Vo. 28 No.
Association, National Stroke. 2016. Post-Stroke Conditions.
DepKes. 2006. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Depkes RI.
Dinata, Cintya Agreayu. 2013. “Gambaran Faktor Risiko Dan Tipe Stroke Pada
Pasien Rawat Inap Di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Solok Selatan
Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012.” Volume 2 N.
DinKes. 2011. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2011. Dinas
Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung. Lampung: DinKes.
Irwan. 2016. Epidemologi Penyakit Tidak Menular. Yogyakarta: KDT.
Kartasasmita, Cissy B. 2009. “Epidemiologi Tuberkulosis.” Vol. 11 No.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Buletin Jendela Data Dan
Informasi Kesehatan Penyait Tidak Menular. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI.
Longo, Kasper L. MD., and Dennis L. MD. 2012. “Harrison’s Principle of Internal
Medicine ed.18 Chapter 231: Rheumatoid Arthritis. McGraw-Hill Companies,
Inc. USA.”
Marliani. 2007. 100 Question & Answers Hipertensi. Jakarta: PT Elex Media.
Muttaqin, A. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.
National Medicines Information Centre. 2011. “The Management of Stroke.
Management of Stroke Bulletin.” Vol. 17 No.
Nies, Mary A., and Melanie McEwen. 2019. Keperawatan Kesehatan Komunitas
Dan Kelarga. Singapura: Elsevier.
Nugent, Mary. 2008. The Educate Together Ethos and Parental Participation.
Nurhidayah. 2011. Keperawatan Medikal Bedah 1. Makassar: Alauddin Press
University.
Perdossi. 2011. Guideline Stroke. Jakarta: Perdossi.
PK, Martono H et al. 2007. Diabetes Melitus Pada Lanjut Usia. In: Darmono ST,
Dkk Editor. Naskah Lengkap Diabetes Melitus. Semarang: Badan Penerbit
UnDip.
R, Gustaviani. 2006. Diagnosis Dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: FKUI.
Sjamsuhidajat, R, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth. 12th ed.
Jakarta: EGC.
Suarjana. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V,. Jakarta: Interna Publishing.
Warganegara, Efrida, and Nida Nabilah Nur. 2016. “Faktor Risiko Perilaku Penyakit
Tidak Menular.” Vol. 5 No.
Wijaya, Andra Saferi Putri, and Yessie Marisa. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 1.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Y, Rindiastuti. 2008. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik.
Surakarta: FK UNS.