Anda di halaman 1dari 36

MASALAH KESEHATAN KOMUNITAS POPULASI PENYAKIT KRONIK

Disusun Oleh :
Keperawatan B
Kelompok 3
Jumasing
Ulfa Wildana Hasan
Nurfadilah
Nur Annisa Berlin
Ainun Mutmainnah

PRODI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2019
MASALAH KESEHATAN KOMUNITAS POPULASI PENYAKIT KRONIK

A. Ulasan Penyakit Tidak Menular/Kronik di Indonesia


Penyakit kronis merupakan ancaman serius bagi kesehatan di negara-negara
berkembang. Pada negara-negara berkembang lainnya, kematian dan kecacatan dari
penyakit kronis sekarang persentasenya melebihi dari penyakit-penyakit menular
yang terdiri dari 49%, dibandingkan dengan sekitar 40% untuk penyakit menular dan
11% untuk cedera. Dominasi penyakit kronis di Negara berkembang ini tidak juga
diakui kalangan ahli kesehatan (Nugent 2008).
Asumsi lama adalah bahwa penyakit kronis ada terutama di negara-negara
kaya dan bahwa penyakit menular ada terutama di negara-negara berkembang.
Pembagian sederhana ini sudah tidak berlaku kembali. Menurut Nugent (2008)
Finlandia, Taiwan, dan Korea Selatan adalah contoh negara-negara yang relatif kaya
dengan prevalensi rendah dari tingkat kematian utama karena penyakit kronis.
Sebaliknya, negara-negara yang sangat berkembang sekalipun, seperti India dan
Pakistan, dan negara-negara yang cukup berkembang, seperti Rusia dan China,
menunjukkan tingkat kematian yang lebih tinggi dari penyakit kronis daripada
penyakit menular. Kesimpulannya adalah bahwa kondisi telah berubah di negara
berkembang dalam beberapa tahun terakhir, diasumsikan karena negara-negara
berkembang semakin mengadopsi gaya hidup tidak sehat dari negara maju.
Penyakit tidak menular (non-communicable disease) atau yang sering kita
sebut dengan penyakit kronik ternyata telah menjadi penyumbang kematian terbesar
di Asia Tenggara. Penyakit jantung, stroke, serta penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK) adalah contoh penyakit tidak menular yang menjadi tren gaya hidup saat ini.
Berdasarkan data dari WHO di Asia Tenggara pada tahun 2008, sebanyak 55%
kematian disebabkan oleh penyakit tidak menular, 35% disebabkan oleh penyakit
menular, dan sisanya 10,7% disebabkan luka (Tawilah, 2017).
Penyakit tidak menular merupakan salah satu masalah kesehatan yang
menjadi perhatian nasional maupun global pada saat ini. Data WHO tahun 2008
menunjukan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi, 36 juta atau hampir dua
pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. Di negara dengan tingkat
ekonomi rendah sampai menengah, 29% kematian yang terjadi pada penduduk
berusia kurang dari 60 tahun disebabkan oleh PTM (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia 2012).
Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir menghadapi masalah triple
burden diseases, yaitu penyakit menular yang masih menjadi masalah, kejadian re-
emerging diseases dan new emerging diseases yang masih sering terjadi, dan di sisi
lain kejadian PTM cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Menurut profil
Penyakit Tidak Menular WHO tahun 2011, di Indoesia tahun 2008 terdapat 582.300
laki-laki dan 481.700 perempuan meninggal karena PTM. Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1995 dan 2001, tampak bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi transisi
epidemiologi dimana kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat,
sedangkan kematian karena penyakit menular semakin menurun. Fenomena ini
diprediksi akan terus berlanjut (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2012)
Penyakit tidak menular diketahui sebagai penyakit yang tidak dapat
disebarkan dari seseorang terhadap orang lain. Terdapat empat tipe utama penyakit
tidak menular yaitu penyakit kardiovaskuler, kanker, penyakit pernapasan kronis, dan
diabetes.
B. Penyakit Konik yang Sering Terjadi di Masyarakat
1. Penyakit Kardiovaskuler: Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan
pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. WHO
(World Health Organization) memberikan batasan tekanan darah normal
adalah 140/90 mmHg. Batasan ini tidak membedakan antara usia dan jenis
kelamin (Marliani 2007).
b. Epidemiologi
Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah yang
mengganggu kesehatan masyarakat. Umumnya terjadi pada manusia ynag
berusia setengah baya (>40 tahun). Namun banyak yang tidak menyadari
bahwa mereka menderita hipertensi akibat gejalanya yan tidak nyata. Pada
stadium awal belum menimbulkan gangguan yang serius. Sekitar 1,8% -
28,6% penduduk dewasa penderita hipertensi. Prevalensi hipertensi di
seluruh dunia diperkirakan antara 15-2-% (DepKes 2006).
Lebih dari 90% kasus hipertensi disebabkan karena hal yang tidak
dketahui secara pasti atau disebabkan dengan hipertensi primer.
Selebihnya, hipertensi disebabkan karena penyakit ginjal,
hiperaldostoteron, kehamilan, penyempitan aorta atau efek samping obat.
Hipertensi yang disebabkan karena hal yang diketahui disebut dengan
hipertensi sekunder. Seseorang yang pernah teridentifikasi memliki
tekanan darah yang tinggi, harus dilakukan pemantauan arean hipertensi
adalah kondisi yang terjadi disepanjang hidup (Nies and McEwen 2019)
Prevalensi hipertensi lebih besar ditemukan pada pria, daerah
perkotaan, daerah pantai dan orang gemuk. Pada usia setengah baya dan
muda, hipertensi ini lebih banyak menyerang pria daripada wanita. Pada
golongan umur 55-64 tahun, penderita hipertensi pada pria dan wanita
sama banyak. Pada usia 65 tahun ke atas, penderita hipertens wanita lebih
banyak daripada pria (DepKes, 2006). Penelitian epidemiologi
membuktikan bahwa tingginya tekanan darah berhubungan erat dengan
kejadian penyakit jantung. Sehingga pengamatan pada populasi
menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dapat menurunkan
terjadinya penyakit jantung. Seseorang penderita hipertensi mempunyai
resiko terserang penyakit jantung koroner (DepKes 2006)
c. Penatalaksanaan
1) Terapi tanpa obat
a) Mengendalikan berat badan
Penderita hipertensi yang mengalami kelebihan berat badan
dianjurkan untuk menurunkan berat badannya sampai batas
normal.
b) Pembatasan asupan garam (sodium/Na)
Mengurangi pamakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram
natrium atau 6 gram natrium klorida setiap harinya (disertai
dengan asupan kalsium, magnesium, dan kalium yang cukup).
c) Berhenti merokok
Penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi
karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah keberbagai
organ dan dapat meningkatkan kerja jantung.
d) Mengurangi atau berhenti minum minuman beralkohol.
e) Mengubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan atau
kadar kolesterol darah tinggi.
f) Olahraga aerobic yang tidak terlalu berat.
Penderita hipertensi esensial tidak perlu membatasi
aktivitasnya selama tekanan darahnya terkendali.
g) Teknik-teknik mengurangi stress
Teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan TPR
dengan cara menghambat respon stress saraf simpatis.
h) Manfaatkan pikiran
Kita memiliki kemampuan mengontrol tubuh, jauh lebih besar
dari yang kita duga. dengan berlatih organ-organ tubuh yang
selama ini bekerja secara otomatis seperti; suhu badan, detak
jantung, dan tekanan darah, dapat kita atur gerakannya. (Muttaqin
2009)
2) Terapi dengan obat
a) Penghambat saraf simpatis
Golongan ini bekerja dengan menghambat akivitas saraf
simpatis sehingga mencegah naiknya tekanan darah, contohnya:
Metildopa 250 mg (medopa, dopamet), klonidin 0,075 & 0,15 mg
(catapres) dan reserprin 0,1 &0,25 mg (serpasil, Resapin).
b) Beta Bloker
Bekerja dengan menurunkan daya pompa jantung sehingga
pada gilirannya menurunkan tekanan darah. Contoh: propanolol 10
mg (inderal, farmadral), atenolol 50, 100 mg (tenormin,
farnormin), atau bisoprolol 2,5 & 5 mg (concor).
c) Vasodilator
Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan merelaksasi
otot pembuluh darah.
d) Angiotensin Converting Enzym (ACE) Inhibitor
Bekerja dengan menghambat pembentukan zat Angiotensin II
(zat yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah). Contoh:
Captopril 12,5, 25, 50 mg (capoten, captensin, tensikap), enalapril
5 &10 mg (tenase).
e) Calsium Antagonis
Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan
cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Contohnya:
nifedipin 5 & 10 mg (adalat, codalat, farmalat, nifedin), diltiazem
30,60,90 mg (herbesser, farmabes).
f) Antagonis Reseptor Angiotensin II
Cara kerjanya dengan menghalangi penempelan zat
angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya
daya pompa jantung. Contoh : valsartan (diovan).

g) Diuretic
Obat ini bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh (lewat
urin) sehingga volume cairan tubuh berkurang, sehingga
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan. Contoh:
Hidroklorotiazid (HCT) (Muttaqin 2009)

2. Penyakit Serebrovaskuler: Stroke


a. Definisi
Stroke atau yang dikenal juga dengan istilah Gangguan Peredaran
darah Otak (GPDO), merupakan suatu sindrom yang diakibatkan oleh
adanya gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak yang
menimbulkan gangguan fungsional otak berupa defisit neurologik atau
kelumpuhan saraf (Dinata 2013).
Stroke disebabkan oleh keadaan ischemic atau proses hemorrhagic
yang seringkali diawali oleh adanya lesi atau perlukaan pada pembuluh
darah arteri. Dari seluruh kejadian stroke, dua pertiganya adalah ischemic
dan sepertiganya adalah hemorrhagic. Disebut stroke ischemic karena
adanya sumbatan pembuluh darah oleh thromboembolic yang
mengakibatkan daerah di bawah sumbatan tersebut mengalami ischemic.
Hal ini sangat berbeda dengan stroke hemorrhagic yang terjadi akibat
adanya mycroaneurisme yang pecah (Dinata 2013)
b. Epidemiologi
Stroke merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit
jantung dan kanker, serta merupakan penyakit penyebab kecacatan
tertinggi di dunia. Menurut American Heart Association (AHA), angka
kematian penderita stroke di Amerika setiap tahunnya adalah 50 – 100
dari 100.000 orang penderita (Dinata 2013)
Di negara-negara ASEAN penyakit stroke juga merupakan masalah
kesehatan utama yang menyebabkan kematian. Dari data South East Asian
Medical Information Centre (SEAMIC) diketahui bahwa angka kematian
stroke terbesar terjadi di Indonesia yang kemudian diikuti secara berurutan
oleh Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Dari seluruh
penderita stroke di Indonesia, stroke ischemic merupakan jenis yang
paling banyak diderita yaitu sebesar 52,9%, diikuti secara berurutan oleh
perdarahan intraserebral, emboli dan perdarahan subaraknoid dengan
angka kejadian masing-masingnya sebesar 38,5%, 7,2%, dan 1,4% (Dinata
2013).
c. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum yaitu berupa tindakan darurat sambil
berusaha mencari penyebab dan penatalaksanaan yang sesuai dengan
penyebab. Penatalaksanaan umum ini meliputi memperbaiki jalan
napas dan mempertahankan ventilasi, menenangkan pasien,
menaikkan atau elevasi kepala pasien 30º yang bermanfaat untuk
memperbaiki drainase vena, perfusi serebral dan menurunkan tekanan
intrakranial, atasi syok, mengontrol tekanan rerata arterial, pengaturan
cairan dan elektroklit, monitor tanda-tanda vital, monitor tekanan
tinggi intrakranial, dan melakukan pemeriksaan pencitraan
menggunakan Computerized Tomography untuk mendapatkan
gambaran lesi dan pilihan pengobatan (Affandi, I.G. & Reggy 2016)
2) Terapi farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi yang bisa dilakukan untuk pasien
stroke yaitu pemberian cairan hipertonis jika terjadi peninggian
tekanan intra kranial akut tanpa kerusakan sawar darah otak (Blood-
brain Barrier), diuretika (asetazolamid atau furosemid) yang akan
menekan produksi cairan serebrospinal, dan steroid (deksametason,
prednison, dan metilprednisolon) yang dikatakan dapat mengurangi
produksi cairan serebrospinal dan mempunyai efek langsung pada sel
endotel (Affandi dan Reggy, 2016). Pilihan pengobatan stroke dengan
menggunakan obat yang biasa direkomendasi untuk penderita stroke
iskemik yaitu tissue plasminogen activator (tPA) yang diberikan
melalui intravena. Fungsi tPA ini yaitu melarutkan bekuan darah dan
meningkatkan aliran darah ke bagian otak yang kekurangan aliran
darah (Association 2016)
Penatalaksanaan farmakologi lainnnya yang dapat digunakan
untuk pasien stroke yaitu aspirin. Pemberian aspirin telah
menunjukkan dapat menurunkan risiko terjadinya early recurrent
ischemic stroke (stroke iskemik berulang), tidak adanya risiko utama
dari komplikasi hemoragik awal, dan meningkatkan hasil terapi jangka
panjang (sampai dengan 6 bulan tindakan lanjutan). Pemberian aspirin
harus diberikan paling cepat 24 jam setelah terapi trombolitik. Pasien
yang tidak menerima trombolisis, penggunaan aspirin harus dimulai
dengan segera dalam 48 jam dari onset gejala (National Medicines
Information Centre 2011)
3) Tindakan bedah
Penatalaksanaan stroke yang bisa dilakukan yaitu dengan
pengobatan pembedahan yang tujuan utamanya yaitu memperbaiki
aliran darah serebri contohnya endosterektomi karotis (membentuk
kembali arteri karotis), revaskularisasi, dan ligasi arteri karotis
komunis di leher khususnya pada aneurisma (Muttaqin, 2008).
Prosedur carotid endarterectomy/ endosterektomi karotis pada semua
pasien harus dilakukan segera ketika kondisi pasien stabil dan sesuai
untuk dilakukannya proses pembedahan. Waktu ideal dilakukan
tindakan (National Medicines Information Centre 2011).
Tindakan bedah lainnya yaitu decompressive surgery.
Tindakan ini dilakukan untuk menghilangkan haematoma dan
meringankan atau menurunkan tekanan intra kranial. Tindakan ini
menunjukkan peningkatan hasil pada beberapa kasus, terutama untuk
stroke pada lokasi tertentu (contohnya cerebellum) dan atau pada
pasien stroke yang lebih muda (< 60 tahun) (National Medicines
Information Centre 2011).
4) Penatalaksanaan medis lain
Penatalaksanaan medis lainnya menurut PERDOSSI (2011)
terdiri dari rehabilitasi, terapi psikologi jika pasien gelisah,
pemantauan kadar glukosa darah, pemberian anti muntah dan
analgesik sesuai indikasi, pemberian H2 antagonis jika ada indikasi
perdarahan lambung, mobilisasi bertahap ketika kondisi hemodinamik
dan pernapasan stabil, pengosongan kandung kemih yang penuh
dengan katerisasi intermitten, dan discharge planning (Perdossi 2011).
3. Kanker
Kanker adalah penyakit yang menyerang proses dasar kehidupan sel,
mengubah genom sel (komplemen genetik total sel ) dan menyebabkan
penyebaran liar dan pertumbuhan sel-sel. Kanker adalah istilah umum untuk
petumbuhan sel tidak norma l(yaitu, tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol,
dan tidak berirama) yang dapat menyusup (invasive) dan terus menyebar
melalui jaringan ikat, darah, dan menyerang organ-organ penting serta syaraf
tulang belakang ke jaringan tubuh normal sehingga mempengaruhi fungsi
tubuh. Kanker bukan merupakan penyakit menular. Kanker merupakan
penyakit atau kelainan pada tubuh sebagai akibat dari sel – sel tubuh yang
tumbuh dan berkembang abnormal, di luar batas dan sangat liar.
Jenis - jenis kanker :
a. Karsinoma
Merupakan jenis kanker yang berasal dari sel yang melapisi permukaan
tubuh atau permukaan saluran tubuh, misalnya jaringan epitel seperti sel
kulit, testis, ovarium, kelenjar mukus, sel melanin, payudara, leher rahim,
kolon, rektum, lambung, pankreas, dan esofagus.
b. Limfoma
Merupakan kanker yang berasal dari jaringan yang membentuk darah,
misalnya jaringan limfe, lakteal, limfa, berbagai kelenjar limfe, timus dan
sumsum tulang. Limfoma spesifik antara lain adalah penyakit hodgkin
(kanker kelenjar limfe dan limfa)
c. Leukimia
Leukimia tidak membentuk massa tumor, tetapi memnuhi pembuluh
darah dan mengganggu fungsi sel darah normal.
d. Sarkoma
Merupakan kanker jaringan penunjang yang berada di bawah
permukaan tubuh seperti jaringan ikat, termasuk sel – sel yang ditemukan
diotot dan tulang.
e. Glioma
Merupakan kanker susunan saraf, misalnya sel – sel glia (jaringan
penunjang) disusunan saraf pusat
f. Karsinomainsitu
Ini adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sel epitel
abnormal yang masih terbatas di daerah tertentu sehingga masih dianggap
lesi prainvasif (kalian/luka yang belum menyebur).
Lokasi Kanker
a. Kanker kolorektal
Tanda dan gejala kanker kolon pada lansia dapat meliputi perdarahan
rektal, darah merah atau hitam dalam feces, perubahan kebiasaan BAB
(konstipasi atau diare, feses yang mengecil). Tumor dalam kolon kanan
dapat menjadi besar dan dapat menyebabkan nyeri tumpul yang samar –
samar dan rasa tidak nyaman pada abdomen. Tumor dalam kolon kiri
cenderung lebih kecil dan lebih berinfiltrasi, dengan perdarahan dan
kemungkinan obstruksi usus.
b. Kanker paru
Resiko kanker paru 10 kali lebih tinggi pada perokok dari pada orang
yang tidak merokok.Tingginya mortalitas akibat kanker paru sebagian
disebabkan karena diagnosis yang terlambat, biologis tumor yang agresif,
seringnya metastasis ke otak dan organ – organ vital yang lain, dan tidak
efektifnya pengobatan konvensional.Tidak seperti kanker payudara,
deteksi dini kanker paru tidak menjamin kesempatan yang baik untuk
penyembuhan.Gejala batuk yang menetap, batu dengan sputum berdarah,
atau kesulitan bernapas dapat mengindikasikan kanker paru.Keletihan dan
kehilangan berat badan secara tiba – tiba sering merupakan gejala dari
penyakit yang lebih lanjut.
c. Kanker payudara
Selain adanya massa, tanda – tanda kanker yang lain adalah retraksi
kulit atau adanya lubang kecil pada kulit dan adanya perubahan kontur
payudara dari yang biasanya. Sekresi serosanguinosa dari puting susu
(jarang) pada wanita yang berusia lebih dari 50 tahun sering dikaitkan
dengan kanker payudara. Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan jika
ditemukan benjolan atau jika mamogram mecurigakan atau kedua –
duanya dapat meliputi aspirasi cairan dari kista, ultrasonografipada area
tersebut, dan biopsi lesi
d. Kanker ginekologik
Kanker ovarium sebagai kanker ginekologi yang paling sering
meningkat dengan bertambahnya usia. Faktor resiko yang berhubungan
dengan kanker ini termasuk riwayat keluarga dengan kanker ovarium dan
infertilitas.Pembesaran pinggul dan rasa tidak nyaman pada abdomen
adalah gejala yang mungkin terjadi pada kanker ovarium.
e. Kanker prostat
Prostat adalah penyebab kedua kanker pada pria lansia dan merupakan
penyebab ketiga kematian akibat kanker pada pria yang berusia 65 tahun
atau lebih. Gejala – gejala tidak terjadi sampai kanker telah menyerang
daerah sekitarnya atau telah menyebar dan pada umumnya termasuk
kesulitan dalam berkemih, hematuria, dan nyeri punggung atau tulang
f. Kanker kulit
Pemeriksaan kulit seseorang secara mandiri dapat berguna untuk
deteksi dini lesi kulit yang mencurigakan yang mungkin merupakan
kanker atau premalignan.Adanya perubahan pada kulit dan tahi lalat harus
dikaji. Kaker kulit yang paling serius melanoma maligna, lebih mematikan
pada lansia dan telah meningkat secara dramatis pada orang yang berusia
65 tahun dan lebih dalam waktu 20 tahun terakir ini.
g. Kanker gastrointerstinal
Berbagai macam tumor GI adalah penyebab morbiditas dan mortalitas
yang penting pada populasi lansia.
1) Kanker lambung
Gejala- gejalanya biasanya terjadi setelah penyakit berada pada
tahalanjut dan termasuk nyeri epigastrik, penurunan berat badan , rasa
penuh pada lambung setelah makan sejumlah kecil makanan dan
hematemesis. Intervensi pembedahan pada umumnya merupakan satu
– satunya kemungkinan untuk penyembuhan kanker lambung
2) Kanker pancreas
Penggunaan tembakau dan pankreatitis kronis adalah faktor
resiko yang penting.Penapisan rutin tidak dianjurkan dan gejala –
gejala mungkin tidak spesifik.Pembedahan mungkin dapat
menyembuhkan, tetapi kemoterapi dan radiasi lebih sering diguakan
untuk upaya paliatif.
3) Kanker esophagus
Kesulitan menelan dan nyeri epigastrik adalah gejala potensial
dari kanker esophagus. Kanker yang berhubungan dengan tembakau
ini lebih sering terjadi pada mereka yang berusia 60-an dan 70-an.
Intervensi pembedahan mungkin dapat menyembuhkan tetapi sebagian
besar pasien mendapatkan kemoterapi atau terapi radiasi untuk upaya
paliatif.
4) Kanker kandung kemih
Hematuria, sering berkemih, dan kesulitan dalam berkemih
yang merupakan gejala umum infeksi kandung kemih, juga dapat
menjadi gejala – gejala kanker kandung kemih.Pasien yang bergejala
memerlukan suatu pemeriksaan termasuk pemeriksaan sistoskopi
kandung kemih, termasuk biopsy.Penggunaan temabakau juga
merupakan faktor resiko untuk kanker ini
5) Kanker kepala dan leher
Kanker ini sering terjadi pada lansia terutama pada pria lansia.
Konsumsi alkohol dan penggunaan tembakau merupakan faktor resiko
yang penting.Pengkajian rongga mulut sangat penting. Kesulitan
menelan, suara serak, massa pada leher, atau terjadinya lesi baru dalam
daerah mulut harus dikaji lebih lanjut. Pembedahan dan terapi radiasi
mungkin menyembuhkan tetapi dapat mengakibatkan morbiditas dan
distsres psikologis yang signifikan.

4. PPOK
a. Definisi
Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD) mengartikan
PPOK adalah suatu penyakit yang bisa dilakukan pencegahan dan pengobatan.
PPOK memiliki tanda gejala terdapatnya hambatan aliran udara dalam saluran
pernafasan yang bersifat progresif. PPOK juga terdapat peradangan atau
inflamasi pada saluran pernafasan dan paru-paru yang diakibatkan oleh adanya
partikel dan gas yang berbahaya (GOLD, 2013). PPOK merupakan keadaan
irreversible yang ditandai adanya sesak nafas pada saat melakukan aktivitas dan
terganggunya aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru (Smeltzer et al,
2013). PPOK merupakan penyakit kronis ditandai dengan terhambatnya aliran
udara karena obstruksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh paparan yang
lama terhadap polusi dan asap rokok. PPOK merupakan istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama
(Agustin and Yunus 2008)
PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang secara umum
ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus21 menerus biasanya
progresif dan berhubungan dengan peradangan kronis, peningkatan respon dalam
saluran udara dan paru-paru dari partikel berbahaya atau gas. (Vestbo et.al.,
2013). Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit radang saluran
nafas utama ditandai dengan keterbatasan aliran udara sebagian besar ireversibel
yang menghasilkan hypoxemia dan hiperkapnia
b. Epidemiologi
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) disebabkan oleh adanya
keterbatasan aliran udara yang terus menerus yang diikuti respon inflamasi pada
saluran napas dan paru-paru akibat adanya partikel asing atau gas beracun
(GOLD, 2013). Respon inflamasi pada saluran nafas yang dipicu oleh infeksi
bakteri, virus atau polusi lingkungan akan menyebabkan PPOK eksaserbasi akut
yang ditandai dengan gejala dyspnea, batuk dan produksi sputum. Patofisiologi
dari respon inflamasi belum banyak diketahui tetapi biasanya ditandai dengan
meningkatnya neutrofil dan eosinofil pada dahak (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011) Pada tahun 2020 diperkirakan PPOK akan menjadi penyakit 3
besar penyebab kematian tertinggi (GOLD, 2017). Di Indonesia angka kejadian
dari beberapa sampel cukup tinggi yaitu di daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat
4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta 3,1%, Jawa Timur 3,6% dan Bali 3,6%
(Kemenkes, 2013). Angka dari penderita PPOK ini diperkirakan akan terus
bertambah dikarenakan semakin tingginya perokok di Indonesia dan udara yang
tidak bersih akibat dari penggunaan kendaraan bermotor serta asap yang
ditimbulkan industri. Risiko kegagalan pengobatan lebih rendah pada pasien
PPOK eksaserbasi akut yang diobati dengan antibiotik (Rothberg, 2010). Namun,
tidak semua PPOK eksaserbasi perlu diterapi dengan menggunakan antibiotik
karena pemicu terjadinya eksaserbasi akut tidak hanya disebabkan oleh bakteri,
tetapi ada juga yang disebabkan oleh non bakteri. Sehingga antibiotik harus
digunakan dengan bijak karena dapat menyebabkan resisten (Bathoorn, et al.,
2017).
Menurut penelitian Ram et al., (2009) Penggunaan antibiotik (terlepas dari
jenisnya) mengurangi risiko kematian pasien sebesar 77% dan 53% pasien
dengan risiko tidak menanggapi intervensi antibiotik. Penelitian tersebut
mendukung penggunaan antibiotik (terlepas dari jenisnya) untuk pasien dengan
PPOK eksaserbasi dengan tingkat keparahan sedang dengan batuk dan dahak
yang meningkat. Pasien dengan 2 risiko tidak menanggapi intervensi dari
penggunaan antibiotik dengan persentase sebesar 53% membuktikan bahwa
penyebab PPOK eksaserbasi akut tidak hanya disebabkan oleh bakteri tetapi
dapat juga disebabkan oleh infeksi virus atau bahkan tanpa infeksi. Terapi
antibiotika untuk pasien PPOK eksaserbasi akut diberikan jika mengalami
minimal dua dari tiga gejala, yaitu peningkatan dyspnea, peningkatan volume
sputum dan meningkatnya purulence sputum (perubahan warna sputum) (Dipiro
et al, 2008). Antibiotik merupakan zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi atau
bakteri dan berkhasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman atau
bakteri dengan toksisitas yang relatif kecil (Tjay & Rahardja, 2007). Pemberian
antibiotika yang tidak tepat pada pasien PPOK eksaserbasi akan meningkatkan
risiko kegagalan terapi, lamanya tinggal di rumah sakit serta meningkatkan risiko
kematian (Barbara et al., 2012).
Pada pasien PPOK eksaserbasi akut di RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun
2011-2012 data menunjukkan sejumlah 36,2% masih sensitif terhadap antibiotik,
sedangkan 32,4% mengalami tingkat resistensi mikroorganisme jenis MDR
(Multi Drugs Resistence) dan 31,4% jenis monoresistan (Ria et al., 2012).
Munculnya resistensi ini akan merugikan pasien dan beban negara menjadi lebih
besar. Sebagai gambaran, pemerintah USA mengeluarkan tambahan 20 milyar
USD untuk menanggung biaya kesehatan, 35 milyar USD untuk biaya sosial
karena resistensi ini, dan terjadi kematian 2x lebih besar karena resistensi
antibiotik (APUA, 2010). Berdasarkan latar belakang diatas perlu dilakukan
evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien PPOK eksaserbasi akut di instalasi
rawat inap RSUD Dr. Moewardi tahun 2016-2017. Pemakaian antibiotik perlu
evaluasi apakah terapi antibiotik yang diberikan di rumah sakit tersebut tepat
indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis.
c. Penatalaksanaan
PPOK adalah penyakit paru-paru kronis yang bersifat progresif dan
irreversible. Penatalaksanaan PPOK dibedakan berdasarkan pada keadaan stabil
dan eksaserbasi akut. Penatalaksanaan PPOK berdasarkan PDPI (2016):
1) Tujuan penatalaksanaan berdasarkan GOLD (2006) dan dan PDPI (2016):
a) Meminimalkan gejala
b) Pencegahan terjadinya eksaserbasi
c) Pencegahan terjadinya penurunan fungsi paru
d) Peningkatan kualitas hidup
2) Penatalaksanaan umum PPOK terdiri dari:
a) Edukasi Penatalaksanaan edukasi sangat penting pada PPOK keadaan
stabil yang dapat dilakukan dalam jangka panjang karena PPOK
merupakan penyakit kronis yang progresif dan irreversible. Intervensi
edukasi untuk menyesuaikan keterbatasan aktifitas fisik dan pencegahan
kecepatan penurunan fungsi paru. Edukasi dilakukan menggunakan
bahasa yang singkat, mudah dimengerti dan langsung pada inti
permasalahan yang dialami pasien. Pelaksanaan edukasi seharusnya
dilakukan berulang dengan materi edukasi yang sederhana dan singkat
dalam satu kali pertemuan. Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
b) Mengetahui proses penyakit
c) Melakukan pengobatan yang optimal
d) Mencapai aktifitas yang maksimal
e) Mencapai peningkatan kualitas hidup Materi edukasi yang dapat
diberikan yaitu:
(1) Dasar- dasar penyakit PPOK
(2) Manfaat dan efek samping obat-obatan
(3) Mencegah penyakit tidak semakin memburuk
(4) Menjauhi faktor penyebab (seperti merokok)
(5) Menyesuaikan aktifitas fisik Materi edukasi menurut prioritas yaitu:
(a) Penyampaian berhenti merokok dilakukan pada saat pertama
kali penegakan diagnosis PPOK.
(b) Penggunaan dari macam-macam dan jenis obat yang meliputi:
cara penggunaan, waktu penggunaan dan dosis yang benar serta
efek samping penggunaan obat.
(c) Waktu dan dosis penggunaan oksigen. Mengenal efek samping
kelebihan dosis penggunaan oksigen dan cara mengatasi efek
samping penggunaan oksigen tersebut.
(d) Mengetahui gejala eksaserbasi akut dan penatalaksanannya
seprti adanya sesak dan batuk, peningkatan sputum, perubahan
warna sputum, dan menjauhi penyebab eksaserbasi.
(e) Penyesuaian aktifitas hidup dengan berbagai keterbatasan
aktifitasnya.
f) Terapi obat yaitu: bronkodilator, antibiotic, anti peradangan, anti
oksidan, mukolitik dan antitusif.
g) erapi oksigen Pasien PPOK mengalami hipoksemia yang progresif dan
berkepanjangan sehingga menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ-organ lainnya.
h) Ventilasi mekanis Ventilasi mekanis pada PPOK diberikan pada
eksaserbasi dengan adanya gagal nafas yang akut, gagal nafas akut pada
gagal nafas kronis atau PPOK derajat berat dengan gagal nafas kronis.
Ventilasi mekanis dapat dilakukan di rumah sakit (ICU) dan di rumah.
i) Nutrisi Pasien PPOK sering mengalami malnutrisi yang disebabkan
meningkatnya kebutuhan energi sebagai dampak dari peningkatan otot
pernafasan karena mengalami hipoksemia kronis dan hiperkapni
sehingga terjadi hipermetabolisme. Malnutrisi akan meningkatkan angka
kematian pada pasien PPOK karena berkaitan dengan penurunan fungsi
paru dan perubahan analisa gas darah.
j) Rehabilitasi Rehabilitasi ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan
toleransi pasien PPOK terhadap katifitas fisik yaitu: menyesuaikan
aktifitas, latihan batuk efektif dan latihan pernafasan.

5. Diabetes Melitus
a. Definisi
Pengertian Diabetes Melitus (DM) Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena peningkatan
kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar
belakangi oleh resistensi insulin. Diabetes Mellitus adalah kondisi abnormalitas
metabolisme karbohidrat yang disebabkan oleh defisiensi (kekurangan) insulin,
baik secara absolute (total) maupun sebagian (R 2006).
b. Epidemiologi
Diabetes Melitus Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya
171 orang diseluruh dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari
total populasi, insidennya terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun
2030 angka ini menjadi 366 juta jiwa atau sekitar 4.4% dari populasi dunia, DM
terdapat diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes Melitus tipe 2 terjadi di
negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika
, ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang
tidak sehat, di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari 24417
responden berusia > 15 tahun , 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu
(kadar glukosa140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban glucosa
sebanyak 75 gram), DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan
pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang
rendah, daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi adalah Kalimantan
Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1% sedangkan kelompok usia terbanyak DM
adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%, beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor
resiko DM adalah Obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya
komsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2007). Prevalensi nasional DM
berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun diperkotaan
5,7%, prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi
kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2% disebutkan pula
bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7%
(Depkes, 2008). Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 1993
di Jakarta daerah urban membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari
1.7% pada tahun 1982 menjadi 5.7% kemudian tahun 2001 di Depok dan
didaerah Jakarta Selatan menjadi 12.8%, demikian juga di Ujung Pandang daerah
urban meningkat dari 1.5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada tahun1998,
kemudian pada akhir 2005 menjadi 12.5%, di daerah rural yang dilakukan oleh
Arifin di Jawa Barat 1,1% didaerah terpencil, di tanah Toraja didapatkan
prevalensi DM hanya 0,8% dapat dijelaskan perbedaan prevalensi daerah urban
dan rural (PK et al. 2007).

6. Arthritis Rhematoid
a. Definisi
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun sistemik (Symmons, 2006). RA merupakan salah satu kelainan
multisistem yang etiologinya belum diketahui secara pasti dan
dikarateristikkan dengan destruksi sinovitis (Helmick, 2008). Penyakit ini
merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan
keterlibatan sendi yang simetris. Penyakit RA ini merupakan kelainan
autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung kronik
dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis) (Suarjana 2009).
b. Epidemiologi
Prevalensi RA relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% di
seluruh dunia (Suarjana, 2009). Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi
18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis
dan diantara berbagai grup etnik dalam suatu negara. Misalnya,
masyarakat asli Ameika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di
Amerika Utara dilaporkan memiliki rasio prevalensi dari berbagai studi
sebesar 7%. Prevalensi ini merupakan prevalensi tertinggi di dunia. Beda
halnya, dengan studi pada populasi di Afrika dan Asia yang menunjukkan
prevalensi lebih rendah sekitar 0,2%-0,4% (Longo, 2012). Prevalensi RA
di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75%
(Suarjana 2009)
Sedangkan, di Jerman sekitar sepertiga orang menderita nyeri
sendi kronik mulai dari usia 20 tahun dan juga seperduanya berusia 40
tahun. Satu dari penyebab utama nyeri yang timbul, dengan konsekuensi
yang serius, merupakan RA . RA adalah penyakit inflamasi reumatik yang
paling sering dengan prevalensi 0,5% sampai 0,8% pada populasi dewasa.
Insidensinya meningkat seiring usia, 25 hingga 30 orang dewasa per
100.000 pria dewasa dan 50 hingga 60 per 100.000 wanita dewasa
(Schneider, 2013). Studi RA di Negara Amerika Latin dan Afrika
menunjukkan predominansi angka kejadian pada wanita lebih besar dari
pada laki-laki, dengan rasio 6-8:1 (Longo, L. MD., and MD 2012).
Di Cina, Indonesia dan Filipina prevalensinya kurang dari 0,4%
baik didaerah urban ataupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa
Tengah mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,2% di daerah rural dan
0,3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang
pada penduduk berusai diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi RA
sebesar 0,5% didaerah kotamadya dan 0,6% didaerah kabupaten. Di
poliklinik reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru
RA merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru pada tahun 2000 dan pada
periode januari s/d juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus RA dari
jumlah seluruh kunjungan sebanyak 12.346 orang (15,1%). Prevalensi RA
lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki
dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan
angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima
(Suarjana 2009).
Prevalensi RA yang hanya sebesar 1 sampai 2 % diseluruh dunia,
pada wanita di atas 50 tahun prevalensinya meningkat hampir 5%. Puncak
kejadian RA terjadi pada usia 20-45 tahun. Berdasarkan penelitian para
ahli dari universitas Alabama, AS, wanita yang memderita RA
mempunyai kemungkintan 60% lebih besar untuk meninggal dibanding
yang tidak menderita penyakit tersebut (Suarjana 2009)
Dari data presurvey di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung
didapatkan bahwa penyakit RA menjadi salah satu dari 10 penyakit
terbesar sejak tahun 2011. Pada presurvey ini dilakukan pengamatan data
sejak tahun 2007 sampai dengan 2012. RA muncul pada tahun 2011
menempati urutan kedelapan dengan angka diagnosa sebanyak 17.671
kasus (5,24%) dan naik ke urutan keempat pada tahun 2012 dengan
50.671 kasus (7,85%) (Y 2008)
Dan dari profil kesehatan di dinas kesehatan sejak tahun 2007-
2011 didapatkan penyakit RA muncul menjadi salah satu dari 10 penyakit
terbesar di kota Bandar Lampung pada tahun 2009 di urutan keempat
dengan presentase sebesar 5,99%, tahun 2010 menjadi urutan ketiga
sebesar 7,2% dan tahun 2011 pada urutan keempat dengan presentasi
sebesar 7,11% (DinKes 2011)
c. Penatalaksanaan
RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi
penjelasan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan (Sjamsuhidajat,
2010). Terapi RA harus dimulai sedini mungkin agar menurunkan angka
perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak muncul
gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD
(Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) (Suarjana 2009).

7. Tuberculosis (TBC)
a. Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menyerang pada
saluran pernafasan yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
(Smeltzer 2013).
Tuberkulosis adalah penyakit yang menyerang paru-paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis (TBC) adalah
penyakit akibat kuman Mycobacterium tuberculosis sistemis sehingga
dapat mengenal semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru-paru
yang baisanya merupakan lokasi infeksi primer (Nurhidayah 2011).
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama
menyerang parenkim paru. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit
menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang
merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang
sebagian besar basil tuberkulosis masuk ke dalam jaringan paru melalui
airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang di kenal sebagai
focus primer dari ghon (Wijaya, Putri, and Marisa 2013).
b. Epidemiologi
Masalah yang dihadapi saat ini adalah meningkatnya kasus TB dengan
pesat selain karena peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS juga
meningkatnya kasus multidrug resistence-TB (MDR-TB), hasil penelitian
di Jakarta mendapatkan >4% dari kasus baru. Masalah lain adalah peran
vaksinasi BCG dalam pencegahan infeksi dan penyakit TB yang masih
kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan proteksi dari vaksinasi
BCG untuk pencegahan penyakit TB berkisar antara 0%-80%, secara
umum diperkirakan daya proteksi BCG hanya 50%, dan vaksinasi BCG
hanya mencegah terjadinya TB berat, seperti milier dan meningitis TB.
Daya proteksi BCG terhadap meningitis TB 64%, dan miler TB 78% pada
anak yang mendapat vaksinasi.8 Salah satu metode untuk estimasi
insidensi TB dan evaluasi TB di komunitas atau di suatu negara dilakukan
dengan menilai ARTI (annual risk of tubeculosis infections) di populasi
umum. Nilai ARTI menggambarkan proporsi individu di komunitas yang
berpeluang terinfeksi atau terinfeksi ulang dalam kurun waktu satu tahun,
diperkirakan dari hasil survei uji tuberkulin di populasi umum.8 Dilain
pihak, ARTI merupakan indikator transmisi di komunitas yang bergantung
pada prevalensi kasus TB yang infeksius dan efikasi dari aktivitas
pengendalian TB seperti penemuan kasus (case finding) dan pengobatan.9
Untuk menilai faktor risiko harus dibedakan antara infeksi TB dan sakit
TB. Risiko infeksi TB tergantung pada lamanya terpajan, kedekatan
dengan kasus TB, dan beban kuman pada kasus sumber. Risiko tinggi
untuk sakit TB antara lain umur kurang dari 5 tahun (balita), malnutritisi,
infeksi TB baru, dan imunosupresi terutama karena HIV (Kartasasmita
2009).
c. Morbiditas dan mortalitas
Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun 2000
lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB
bertanggung jawab terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap
tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang. World Health
Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang
paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa.
Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan
AIDS. Pada wanita kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian
karena kehamilan, didapatkan 4,3% (63/1482) anak usia 6–59 bulan,
menderita TB.15 Data seluruh kasus TB anak dari tujuh rumah sakit Pusat
Pendidikan Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) dijumpai 1086 kasus
TB dengan angka kematian bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia
terbanyak 12-60 bulan (42,9%), sedangkan bayi <12 bulan didapatkan
16,5%.16 Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
didapatkan prevalensi 12 bulan TB paru klinis di Indonesia 1% dengan
kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua). Berdasarkan kelompok
umur dijumpai prevalensi TB, kurang dari 1 tahun 0,47%, 1–4 tahun
0,76% dan antara 5–14 tahun 0,53%.16 Selama tahun 1985-1992,
peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun (54,5%),
diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun
2005, diperkirakan kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya
terjadi di negara berkembang. Di Amerika Serikat dan Kanada,
peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun 19%, sedangkan pada usia 5-
15 tahun 40%. Di Asia Tenggara selama 10 tahun, diperkirakan jumlah
kasus baru 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8 juta) disertai infeksi HIV.
Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam
jumlah kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus)
dan Cina (1,1 juta kasus), 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak
berusia <15 tahun. Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada
saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis tidak
tepat, (2) pengobatan tidak adekuat (Kartasasmita 2009).
d. Penatalaksanaan
Menurut (Nurhidayah 2011) penatalaksanaan medis untuk TB paru
adalah sebagai berikut:
1) Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
2) Prinsip pengobatan
a) Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip
sebagai berikut:
(1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT
– KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
(2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
(3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
dan lanjutan.
3) Jenis, sifat dan dosis OAT
4) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
a) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:
(1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
(2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
(3) Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan
(HRZE)
(4) Kategori Anak: 2HRZ/4HR
b) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan
kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT
kombipak.
(1) Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien.Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
(2) Paket Kombipak
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket,
yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol.Paduan
OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai.Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
(3) KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
(a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
(b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep.
(c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien.

C. Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular


Faktor penyebab penyakit tidak menular di gunakan dengan istilah risk
faktor (faktor resiko) untuk membedakan dengan istialah etiologi dan diagnosis
klinis. Adapun macam-macam penyakit menular adalah :
1. Menurut dapat – tidaknya resiko itu diubah:
a. Unchangeable risk factors
Faktor resiko yang tidak dapat diubah. Contohnya: umur, genetik
b. Changeable risk factor
Faktor resiko yang dapat berubah. Contohnya : kebiasaan
merokok, olahraga
2. Menurut kestabilan peranan faktor resiko:
a. Suspected risk factor (faktor resiko yang dicurigai)
Suspected risk factor (faktor resiko yang dicurigai) yaitu faktor
resiko yang belum mendapat dukungan ilmiah/penelitian, dalam
peranannya sebagai faktor yang berperan dalam kejadian suatu penyakit.
Misalnya: merokok bisa meyebabkan kanker leher rahim.
b. Established risk factor ( faktor resiko yang telah ditegakkan)
Established risk factor ( faktor resiko yang telah ditegakkan) yaitu
faktor resiko yang telah mendapat dukungan ilmiah/penelitian, dalam
peranannya sebagai faktor yang berperan dalam kejadian suatu penyakit.
Misalnya : rokok sebagai faktor resiko kanker paru. Perlunya
dikembangkan konsep faktor resiko ini dalam epidemologi PTM
berkaitan dengan beberapa alasan, yakni:
1) Tidak jelasnya kausa PTM terutama dalam hal ada tidaknya
mikroorganisme dalam PTM
2) Menonjolnya penerapan konsep multikausal pada PTM
3) Kemungkinan adanya penambahan atau interaksi antar resiko
4) Perkembangan metodologik telah memberi kemampuan untuk
mengukur besarnya faktor resiko (Irwan 2016)
Faktor resiko untuk timbulnya penyakit krtidak menular yang bersifat kronis
belum ditemukan secara keseluruhan, karena:
1. Untuk setiap penyakit, faktor resiko dapat berbeda-beda ( merokok, hipertensi,
hiperkolesterolemia)
2. Satu faktor resiko dapat menyebabkan penyakit berbeda-beda. Misalnya merokok
dapat menimbulkan penyakit jantung koroner, kanker paru.
3. Untuk kebanyakan penyakit, faktor-faktor resiko yang telah diketahui hanya dapat
menerangkan sebagian kecil kejadian penyakit, tetapi etiologinya secara pasti
belum diketahui (Irwan 2016).
Faktor-faktor resiko yang telah diketahui ada kaitannya dengan penyakit tidak
menular yang bersifat kronis antara lain:
1. Tembakau
2. Alkohol
3. Kolestrol
4. Hipertensi
5. Diet
6. Obesitas
7. Aktivitas
8. Stress
9. Pekerjaan
10. Lingkungan masyarakat sekitar (Irwan 2016).

D. Faktor Risiko Perilaku yang Dapat di Modifikasi


Penyakit tidak menular muncul dari kombinasi faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Fakor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi oleh individu adalah usia, jenis kelamin, dan genetika.
Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah faktor yang dapat diubah
melalui keadaran individu itu sendiri dan intervensi sosial. Faktor- faktor yang
dapat dimodifikasi tersebut adalah:
1. Merokok
Efek berbahaya dari merokokterhadap kematian yang disebabkan oleh
kanker, penyakit kardiovaskuler, dan penyakit pernapasan kronis telah lama
diketahui.Selain itu, paparan asap rokok pada perokok pasif seperti ibu hamil,
anak-anak, dan orang dewasa yang tidak hamil di rumah maupun di tempat-
tempat umum menyebabkan hasil kelahiran yang merugikan, penyakit
pernapasan pada masa kanak-kanak, dan penyakit lainnya seperti yang
diderita oleh perokok aktif. Setiap tahunnya, tembakau menyumbang sekitar 6
juta kematian (termasuk perokok pasif) dan diproyeksikan akan meningkat
menjadi 8 juta pada tahun 2030 (Warganegara and Nur 2016)
Selain pergeseran pola prevalensi merokok, telah terjadi perubahan
dalam jenis rokok yang tersedia, seperti rokok rendah tar dan rokok elektrik.
Namun, hasil tinjauan menyimpulkan bahwa selama lima dekade desain rokok
berkembang tidak mengurangi risiko penyakit di kalangan perokok. Satu-
satunya tindakan yang efektif untuk mencegah bahaya merokok adalah
dengan pencegahan dan penghentian merokok (Warganegara and Nur 2016).
2. Konsumsi Alkohol
Alkohol merupakan zat psikoaktif dengan memproduksi substansi
yang membuat ketergantungan pengkonsumsinya.Dampak alkohol ditentukan
oleh volume alkohol yang dikonsumsi, pola minum, dan kualitas alkohol yang
dikonsumsi. Pada tahun 2012, sekitar 3.3 juta kematian, atau sekitar 5.9% dari
seluruh kematian global disebabkan oleh konsumsi alkohol (Warganegara and
Nur 2016).
Konsumsi Alkohol sangat umum di seluruh dunia meskipun membawa
risiko yang merugikan bagi kesehatan dan konsekuensi sosial terkait efek
memabukkan, sifat beracun, dan ketergantungan.Konsumsi alkohol
merupakan faktor risiko utama untuk beban penyakit di negara berkembang
berkaitan dengan berbagai penyakit dan cedera, termasuk kecelakaan lalu
lintas, kekerasan, dan bunuh diri.Secara keseluruhan, 5.1% dari beban
penyakit global dan cedera disebabkan oleh alkohol (diukur dalam Disability-
Adjusted Life Years, DALYs).Konsumsi alkohol yang berlebih tidak hanya
meningkatkan risiko cedera secara substansial, tetapi juga memperburuk
penyakit kardiovaskuler dan hati. Konsumsi alkohol terus meningkat di
Jepang, Cina, dan banyak negara lain di Asia yang sebelumnya rendah
(Warganegara and Nur 2016)
Faktor lingkungan meliputi pembangunan, ekonomi, budaya,
ketersediaan alkohol, serta kelengkapan tingkat pelaksanaan dan penegakkan
kebijakan alkohol mempengaruhi pola konsumsi alkohol dan besarnya
masalah yang berhubungan dengan alkohol dalam populasi (Warganegara and
Nur 2016)w
3. Pola Makan yang Buruk
Sekitar 16 juta (1%) DALYs (ukuran potensial kehilangan kehidupan
karena kematian dini dan tahun-tahun produktif yang hilang karena cacat) dan
1.7 juta (2.8%) dari kematian di seluruh dunia disebabkan oleh kurangnya
konsumsi buah dan sayur.Konsumsi cukup buah dan sayur mengurangi risiko
penyakit kardiovaskular, kanker perut, dan kanker kolorektal. Konsumsi
makanan tinggi kalori seperti makanan olahan yang tinggi lemak dan gula
cenderung menyebabkan obesitas dibandingkan makanan rendah kalori seperti
buah dan sayuran (Warganegara and Nur 2016).
Jumlah garam yang dikonsumsi merupakan faktor penentu penting
dari tingkat tekanan darah dan risiko kardiovaskuler secara keseluruhan.
Diperkirakan bahwa mengurangi asupan garam dari konsumsi rata-rata 9-12
gram per hari menjadi 5 gram per hari memiliki dampak besar pada tekanan
darah dan penyakit kardiovaskuler (Warganegara and Nur 2016).
Konsumsi makanan tinggi lemak jenuh dan trans fatty acid terkait
dengan penyakit jantung; minyak nabati tak jenuh ganda dapat menjadi
pengganti untuk menurunkan risiko penyakit jantung koronerdan diabetes
mellitus tipe 2 (Warganegara and Nur 2016).
4. Kurangnya Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang tidak memadai merupakan satu dari sepuluh faktor
risiko utama kematian global. Orang yang kurang aktif secara fisik memiliki
20%-30% peningkatan faktor risiko penyebab kematian dibandingkan dengan
mereka yan setidaknya melakukan aktivitas fisik selama 150 menit per
minggu, atau setara seperti yang direkomendasikan WHO (Warganegara and
Nur 2016)
Aktivitas fisik yang teratur mengurangi risiko penyakit jantung
iskemik, diabetes, kanker payudara, dan kanker kolon.Selain itu, aktivitas
yang cukup mengurangi risiko stroke, hipertensi, dan depresi. Aktivitas fisik
juga merupakan penentu utama dari pengeluaran energi dan dengan demikian
penting untuk keseimbangan energy dan control berat badan (Warganegara
and Nur 2016)
Empat perilaku umum diatas (merokok, konsumsi alkohol, pola makan
yang buruk, dan kurangnya aktivitas fisik) menyebabkan gangguan metabolik
berupa peningkatan tekanan darah, kelebihan berat badan/obesitas, tingginya
kadar glukosa darah, dan peningkatan kadar kolesterol yang berpengaruh terhadap
kejadian penyakit tidak menular (Warganegara and Nur 2016).

E. Pencegahan Penyakit Tidak Menular


Sekarang ini pencegahan penyakit diartikan secara luas. Dalam pencegahan
penyakit dikenal pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Djauzi, 2009).
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang
sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Secara
garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum (melalui
pendidikan kesehatan dan kebersihan lingkungan) dan pencegahan khusus
(ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai risiko dengan melakukan
imunisasi). Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk menghambat
progresivitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi
ketidakmampuan yang dapat dilakukan melalui deteksi dini dan pengobatan
secara cepat dan tepat. Pencegahan tersier dimaksudkan untuk mengurangi
ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat ketiga
ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi organ yang mengalami
kecacatan (Sjamsuhidajat, R 2010)
F. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Penyakit Tidak Menular
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2349/Menkes/Per/XI/2011 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Bidang Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit.
Pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular (PTM) yang paling
efektif adalah melalui upaya promotif dan preventif, yakni dengan menerapkan
perilaku sehat di masyarakat. Langkah ini merupakan intervensi yang lebih murah
dan efektif bila dibandingkan dengan upaya pengobatan setelah timbulnya
penyakit, terang Menkes. Guna menyikapi besarnya tantangan dalam
pengendalian penyakit tidak menular dan faktor risiko, pemerintah pusat
merancang Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS). Pada kesempatan tersebut,
Gerakan masyarakat sehat yang diprakarsai oleh Bapak Wapres yang telah
disusun oleh Bappenas bersama Kemenkes dan lintas sektor terkait, merupakan
payung besar yang pada pelaksanaannya akan diterbitkan Inpres dan akan segera
diluncurkan tahun depan. Menkes berharap, agar ke depannya inisiasi gerakan ini
dapat diselaraskan sampai ke pelosok daerah melalui kepemimpinan para Bupati
(DepKes 2006)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, I.G. & Reggy, P. 2016. “Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial Pada
Stroke.” Vol. 43 No: 180–84.
Agustin, H, and F Yunus. 2008. “Proses Metabolisme Pada Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK), J Respire Indo.” Vo. 28 No.
Association, National Stroke. 2016. Post-Stroke Conditions.
DepKes. 2006. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Depkes RI.
Dinata, Cintya Agreayu. 2013. “Gambaran Faktor Risiko Dan Tipe Stroke Pada
Pasien Rawat Inap Di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Solok Selatan
Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012.” Volume 2 N.
DinKes. 2011. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2011. Dinas
Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung. Lampung: DinKes.
Irwan. 2016. Epidemologi Penyakit Tidak Menular. Yogyakarta: KDT.
Kartasasmita, Cissy B. 2009. “Epidemiologi Tuberkulosis.” Vol. 11 No.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Buletin Jendela Data Dan
Informasi Kesehatan Penyait Tidak Menular. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI.
Longo, Kasper L. MD., and Dennis L. MD. 2012. “Harrison’s Principle of Internal
Medicine ed.18 Chapter 231: Rheumatoid Arthritis. McGraw-Hill Companies,
Inc. USA.”
Marliani. 2007. 100 Question & Answers Hipertensi. Jakarta: PT Elex Media.
Muttaqin, A. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.
National Medicines Information Centre. 2011. “The Management of Stroke.
Management of Stroke Bulletin.” Vol. 17 No.
Nies, Mary A., and Melanie McEwen. 2019. Keperawatan Kesehatan Komunitas
Dan Kelarga. Singapura: Elsevier.
Nugent, Mary. 2008. The Educate Together Ethos and Parental Participation.
Nurhidayah. 2011. Keperawatan Medikal Bedah 1. Makassar: Alauddin Press
University.
Perdossi. 2011. Guideline Stroke. Jakarta: Perdossi.
PK, Martono H et al. 2007. Diabetes Melitus Pada Lanjut Usia. In: Darmono ST,
Dkk Editor. Naskah Lengkap Diabetes Melitus. Semarang: Badan Penerbit
UnDip.
R, Gustaviani. 2006. Diagnosis Dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: FKUI.
Sjamsuhidajat, R, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth. 12th ed.
Jakarta: EGC.
Suarjana. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V,. Jakarta: Interna Publishing.
Warganegara, Efrida, and Nida Nabilah Nur. 2016. “Faktor Risiko Perilaku Penyakit
Tidak Menular.” Vol. 5 No.
Wijaya, Andra Saferi Putri, and Yessie Marisa. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 1.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Y, Rindiastuti. 2008. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik.
Surakarta: FK UNS.

Anda mungkin juga menyukai