Anda di halaman 1dari 30

MANAJEMEN PASIEN ANAK DI BIDANG KEDOKTERAN GIGI

(LITERATURE REVIEW / TINJAUAN PUSTAKA)

DRG. LUH WAYAN AYU RAHASWANTI, SP.KGA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan

hidayahnya penulis dapat menyelesaikan makalah berupa Literature review yang

berjudul “Manajemen Pasien Anak di Bidang Kedokteran Gigi”.

Makalah ini disusun agar pembaca memperoleh gambaran mengenai metode-metode

yang dapat digunakan dalam menghadapi pasien anak di bidang Kedokteran Gigi,

sehingga dapat memberikan perawatan yang dibutuhkan secara optimal. Semoga

makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan

pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Udayana. Kami

menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk

itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1


1.1 Latar Belakang …….……………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah …..…………………………………………….. 3
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………… 3
1.4 Manfaat Penulisan …………………………………………………. 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………… 4


2.1 Faktor-Faktor Kecemasan Anak terhadap Perawatan Gigi ……. 4
2.1.1 Kecemasan Orang Tua ………………………………………….. 6
2.1.2 Fear of the unknown ……………………………………………… 8
2.1.3 Lack of control …………………………………………………….. 8
2.1.4 Pengalaman Medis Umum dan Gigi ……………………………. 9
2.1.5 Sikap dan Prilaku Dokter Gigi …………………………………… 10
2.1.6 Lingkungan Praktek Dokter Gigi ………………………………… 12
2.1.7 Komunikasi dengan Pasien ……………………………………… 13

2.2 Manajemen Perilaku Mengatasi Kecemasan Anak terhadap


Perawatan Gigi ……………………………………………………… 15
2.2.1 Tell – show – do 15
2.2.2. Behavior shaping 16
2.2.3 Disentisasi 18
2.2.4 Sedasi 18
2.2.5 Distraksi (Pengalihan Perhatian) 20
2.2.6 Modelling 21
BAB III. PENUTUP ………………………………………………………... 23
3.1 Kesimpulan …….……………………………………………………. 23
3.2 Saran ………………………………………………………………… 23

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 24


ABSTRAK

Anak-anak memiliki kemampuan komunikasi yang terbatas dan kurang mampu untuk
mengungkapkan ketakutan dan kecemasan mereka. Perilaku mereka adalah cerminan
ketidakmampuan mereka untuk mengatasi kecemasan dan manajemen perilaku adalah
sebuah panduan yang dapat memberikan strategi penanganan yang tepat pada pasien
anak. Faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan anak terhadap perawatan gigi, antara
lain : kecemasan Orang Tua, fear of the unknown, lack of control, pengalaman medis
umum dan gigi, sikap dan prilaku dokter gigi, lingkungan praktik dokter gigi, dan
komunikasi dengan pasien.
Metode manajemen perilaku yang tepat dalam mengatasi kecemasan anak terhadap
perawatan gigi, antara lain: Tell – show – do, behavior shaping, disentisasi, sedasi,
distraksi, dan modelling.

Keyword : pasien anak, perilaku, cemas, manajemen


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecemasan pada perawatan gigi bisa menjadi hambatan utama bagi anak-

anak pada saat menerima perawatan gigi. Anak-anak memiliki kemampuan

komunikasi yang terbatas dan kurang mampu untuk mengungkapkan ketakutan dan

kecemasan mereka. Perilaku mereka adalah cerminan ketidakmampuan mereka

untuk mengatasi kecemasan dan manajemen perilaku adalah sebuah panduan yang

dapat memberikan strategi penanganan yang tepat pada pasien anak (Gupta,dkk

2014).

Penatalaksanaan perilaku pasien anak adalah bagian penting dari praktik

kedokteran gigi anak. Bagi anak yang tidak mampu bekerja sama, dokter gigi harus

mengandalkan teknik manajemen perilaku sebagai pengganti atau penambahan

pada manajemen perawatan. Metode manajemen perilaku menyangkut komunikasi

dan edukasi pada anak serta orang tua pasien. Menjalin hubungan dengan anak,

keluarga dari anak serta tim dokter gigi merupakan proses yang saling berhubungan.

Proses ini dimulai sebelum pasien mendapat perawatan pembedahan serta dapat

memberikan informasi tertulis pada orang tua pasien serta pertukaran gagasan,

nada suara, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan sentuhan pada pasien anak.

Perkembangan dan berbagai pandangan terhadap perawatan gigi sangat penting

bagi dokter gigi untuk memiliki berbagai macam teknik manajemen perilaku dan

teknik komunikasi untuk memenuhi kebutuhan setiap anak (Singh, dkk 2014).

Pengelolaan untuk keberhasilan penanganan anak-anak seperti keterampilan

dan pengetahuan tentang bahan gigi dalam praktik gigi dan dapat dicapai melalui

penerapan berbagai Teknik Manajemen Perilaku (BMTs). Teknik Manajemen

1
Perilaku (BMTs) adalah prosedur yang ditujukan untuk meningkatkan keterampilan

mengatasi anak, mencapai kesediaan dan penerimaan perawatan gigi secara

menyeluruh dan pada akhirnya mengurangi persepsi anak bahwa perawatan gigi

sangat berbahaya. Dengan kata lain, Teknik Manajemen Perilaku adalah teknik yang

dilakukan oleh dokter gigi untuk merawat pasien gigi anak sehingga dapat

membangun komunikasi, mengurangi rasa takut dan cemas, memfasilitasi

penyampaian perawatan gigi yang berkualitas, membangun hubungan saling

percaya antara dokter gigi, anak, dan orang tua, dan mempromosikannya. Sikap

positif anak terhadap kesehatan gigi dan mulut serta perawatan kesehatan mulut

sehingga pasien anak bersedia melakukan prosedur perawatan gigi (Kawiya, dkk

2015).

Tujuan dari manajemen perilaku adalah untuk menanamkan sikap positif

pada pasien anak yang cemas. Ini adalah cara dimana tim dokter gigi dapat secara

efektif dan efisien melakukan perawatan, dan mendorong seorang anak untuk

memiliki minat dalam waktu jangka panjang dalam meningkatkan kesehatan gigi dan

pencegahan penyakit yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, manajemen

perilaku merupakan keterampilan penting dan harus diperoleh oleh semua anggota

tim gigi yang merawat anak. Mengelola anak-anak yang cemas bisa menjadi

tantangan serta pengalaman berharga bagi semua orang yang bersangkutan

(Gupta,dkk 2014). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis

ingin melakukan telaah pustaka mengenai faktor-faktor yang memengaruhi

kecemasan anak terhadap perawatan gigi dan manajemen perilaku yang tepat

dalam mengatasi kecemasan anak terhadap perawatan gigi.

2
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah

ini adalah:

1. Faktor-faktor yang apa saja memengaruhi kecemasan anak terhadap

perawatan gigi?

2. Bagaimana manajemen perilaku yang tepat untuk mengatasi kecemasan

anak terhadap perawatan gigi?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan anak

terhadap perawatan gigi.

2. Untuk mengetahui manajemen perilaku yang tepat dalam mengatasi

kecemasan anak terhadap perawatan gigi.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Dapat digunakan sebagai sumber informasi mengenai faktor-faktor yang

memengaruhi kecemasan anak terhadap perawatan gigi dan mengetahui

manajemen perilaku yang tepat dalam mengatasi kecemasan anak

terhadap perawatan gigi.

2. Dengan mengetahui faktor-faktor dan manajemen perilaku yang tepat

dalam mengatasi kecemasan anak terhadap perawatan gigi diharapkan

dapat digunakan sebagai acuan dalam praktik kedokteran gigi.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor-Faktor Kecemasan Anak terhadap Perawatan Gigi

Kecemasan merupakan hal yang sering terjadi pada anak-anak dan salah

satunya dipengaruhi oleh faktor usia anak. Kecemasan dental dapat didefinisikan

sebagai rasa takut dengan perawatan gigi yang tidak selalu berhubungan dengan

rangsangan dari luar (Chadwick dan Hosey, 2003). Anak-anak yang berasal dari

keluarga dengan tingkat ekonomi rendah atau berasal dari keluarga dengan

lingkungan sosial yang kurang baik, umumnya akan lebih mudah mengalami

kecemasan. Contohnya anak yang berasal dari keluarga kelompok imigran.

Penelitian terbaru di Swedia melaporkan bahwa, diantara pasien yang dirujuk ke

dokter gigi anak, terdapat anak yang mengalami kesulitan dalam penerimaan

perawatan (tidak kooperatif) berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah,

lingkungan sosial yang buruk, dan keluarga dengan perceraian orang tua (Koch dan

pulsen, 2009).

4
Kemampuan anak dalam menjalani prosedur perawatan gigi tergantung pada

tingkatan tumbuh kembang anak tersebut. Balita menunjukan kecemasannya

dengan menangis, sementara anak-anak yang usianya lebih tua menunjukan

kecemasan dengan cara lain. Kecemasan yang umum terjadi pada anak-anak yaitu

rasa tidak mengenal dan rasa khawatir terhadap pemeriksaan dan perawatan gigi.

Anak-anak dapat dikategorikan sebagai kooperatif, potensial kooperatif, atau tidak

memiliki kemampuan untuk bersikap kooperatif (pre kooperatif). Anak-anak pre

kooperatif biasanya berusia muda dan anak dengan disabilitas spesifik tertentu

yang merupakan anak dengan tingkat kerjasama rendah (Gupta dkk., 2014).

Gambar 2. 1 Penyebab kecemasan pada anak (Koch dan Pulsen, 2009)

5
Faktor-faktor kecemasan anak terhadap perawatan gigi dapat dijelaskan sebagai

berikut:

2.1.1 Kecemasan Orang Tua

Kecemasan pada anak akan semakin menjadi buruk diakibatkan sikap dari

orang sekitarnya (umumnya orang tua, saudara, dan teman sebaya) terhadap

bidang kedokteran gigi. Orang tua yang tidak dapat mengendalikan rasa cemas

tanpa disadari dapat diteruskan ke anak mereka atau menyebabkan kondisi

semakin buruk ketika sebenarnya orang tua berusaha untuk membantu. Bailey

dkk (1973) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara kecemasan ibu dan

menajemen perawatan pada anak di seluruh kategori usia, khususnya usia ≤4

tahun (Gupta dkk., 2014). Beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh

kehadiran orang tua adalah membingungkan komunikasi, mempengaruhi sikap

anak, membicarakan aspek negatif perawatan gigi saat anak mendengarkan dan

mengancam anak dengan perawatan gigi (Chadwick dan Hosey, 2003).

Salah satu satu cara yang dapat digunakan menurunkan rasa takut orang tua

dan dapat membantu para orang tua untuk persiapan kunjungan ke dokter gigi

adalah dengan mengirimkan orang tua surat pendahuluan yang menjelaskan

mengenai hal yang diperlukan untuk kunjungan pertama kali ke dokter gigi. Surat

ini sangat berguna khususnya sebagai masukan kepada orang tua mengenai

bagaimana cara menyiapkan anak untuk kunjungan pertama kali ke dokter gigi

(Gupta dkk., 2014).

Cara lain yang dapat digunakan adalah:

1. Menjadikan orang tua sebagai bagian dari tim gigi

6
Staf perawatan gigi menjelaskan peraturan tentang kehadiran orang tua saat

perawatan gigi anak, sesuai dengan usia anak (Chadwick dan Hosey, 2003).

2. Persiapan psikologis

Dokter gigi perlu mengajarkan orangtua bagaimana menyiapkan kunjungan

berikutnya agar orangtua mengetahui apa yang akan terjadi pada saat

kunjungan berikutnya dan dapat menanyakan pertanyaan sebelumnya.

Persiapan dari orangtua, dengan: penggunaan kata-kata yang tidak

mengancam seperti “geli”, untuk kata “sakit”, memberanikan orangtua untuk

membantu kesiapan anak untuk kunjungan berikutnya dengan “permainan

dokter gigi” terutama ketika perlu dilakukan pencetakan, menyarankan

orangtua untuk menyembunyikan kecemasan mereka, atau anak ditemani

dengan orang dewasa yang tidak takut, penggunaan pesan positif dan

menghindari kalimat jaminan yang dapat meningkatkan kecemasan

(Chadwick dan Hosey, 2003).

3. Tips Praktis

• Mengetahui siapa orang dewasa yang menemani si anak.

• Selalu menghadirkan orangtua untuk anak-anak prasekolah (mencegah

rasa cemas karena terpisah dari orangtuanya).

• Mengajarkan orangtua bagaimana menyiapkan diri dan anak-anak

mereka.

• Mendiskusikan rencana perawatan anak dengan orangtua mereka.

• Memastikan orangtua paham akan perannya dalam perawatan anak-

anak mereka (“kita semua berada dalam satu pihak”).

• Selalu memastikan memiliki informed consent yang sah (Chadwick dan

Hosey, 2003).

7
2.1.2 Fear of the unknown

Untuk beberapa pasien rasa ketidaktahuan dapat menyebabkan kecemasan

pada saat kunjungan pertama pasien ke dokter gigi (Chadwick dan Hosey, 2003).

2.1.3 Lack of control

Duduk di dental chair menimbulkan rasa tidak berdaya pada anak, selain itu

keterbatasan komunikasi dengan dokter gigi juga menyebabkan pasien merasa

tidak berdaya, ini disebabkan oleh rongga mulut yang terisi penuh dengan

instrumen gigi menyebabkan rasa tidak berdaya pada pasien (Chadwick dan

Hosey, 2003).

8
2.1.4 Pengalaman Medis Umum dan Gigi

Anak yang mempunyai pengalaman buruk, terhadap kunjungan terakhir ke

rumah sakit atau perawatan medis yang diterima, atau kunjungan ke dokter gigi,

akan lebih cemas terhadap perawatan gigi dan berhati-hati membangun

hubungan kepercayaan dengan dokter gigi (Gupta, 2012; Roberts, 2010). Ketika

anamnesis mengenai riwayat medis, sangat penting untuk menanyakan kepada

orang tua mengenai perawatan terakhir yang diterima dan bagaimana respon

anak terhadap perawatan tersebut. Hal ini mungkin dapat mengidentifikasi

timbulnya kecemasan yang berhubungan dengan kebiasaan dan memungkinkan

dokter gigi untuk menggunakan strategi yang tepat untuk mengoreksi kebiasaan

anak (Gupta, 2014). Anak yang mendapat banyak perhatian dari orang tuanya

9
saat anak tersebut menangis akan lebih mungkin menangis saat kunjungan

berikutnya (Robert, 2010).

2.1.5 Sikap dan Prilaku Dokter Gigi

Ekspresi wajah dokter gigi dapat menambah kesan atau bahkan dapat

mengganggu komunikasi verbal (misalnya: perasaan seperti disbelief atau

ketidakpercayaan, mencela, tidak suka, terkejut) dapat terlihat dari ekspresi wajah

yang ditunjukkan oleh dokter gigi. Senyum adalah sarana yang sangat baik dan

dapat menunjukkan sikap untuk memotivasi pasien. Ketika dokter gigi memakai

masker, meskipun wajahnya tidak terlihat, tetap berusaha untuk bersikap ramah

kepada pasien sehingga pasien dapat melihat ‘senyum’ dokter gigi meskipun

tertutup oleh masker (Chadwick dan Hosey, 2003).

10
Dokter gigi dengan kontak mata yang kurang kemungkinan akan mengurangi

tingkat kepercayaan pasien pada dokter gigi. Gerak gerik dan postur tubuh dari

dokter gigi juga dapat mempengaruhi kecemasan anak. Sikap menyilangkan

lengan saat berbicara dapat menunjukkan sikap seolah-olah mencela pasien,

terutama jika dilakukan dengan mengetukkan kaki ke lantai. Dokter gigi dapat

menunjukkan tingkah lakunya untuk mengatasi atau meningkatkan kecemasan

anak. Tindakan dokter gigi dalam merespon tingkah laku anak seperti

menanyakan apa yang mereka rasakan (empati) dan menekan dengan lembut

bahu atau tangan dapat mengurangi tingkat kecemasan pada pasien usia muda

dan memperbaiki tingkah laku mereka saat duduk di dental chair. Sementara

sikap dokter gigi yang memaksa atau membujuk akan memperburuk tingkah laku

anak. Sikap kontraproduktif harus dihindari, misalnya memberi penghiburan

secara verbal seperti “ini tidak akan sakit” akan memungkinkan anak untuk

berpikir sebaliknya. Mengatakan bahwa “tidak ada yang perlu dikhawatirkan”

malah akan membuat anak khawatir (Chadwick dan Hosey, 2003).

11
2.1.6 Lingkungan Praktek Dokter Gigi

Pemandangan yang asing, suara, dan bau dari perawatan gigi berkontribusi

menimbulkan kecemasan pada anak. Tindakan bedah dan ruang tunggu pasien

harus dibuat ramah untuk anak dan tidak membuat anak merasa terancam

dengan cara mendekorasi ruangan dengan gambar berorientasi anak-anak dan

meletakkan beberapa mainan yang ditempatkan secara strategis (misalnya,

children's corner). Ventilasi yang baik dapat meminimalkan bau yang

berhubungan dengan kedokteran gigi yang ditimbulkan oleh bahan atau alat

kedokteran gigi. Penggunaan instrumen getaran yang rendah juga dapat

membantu menurunkan kecemasan anak (Gupta, 2014).

12
2.1.7 Komunikasi dengan Pasien

Staf penerima pasien dan tim kedokteran gigi, harus ramah dan bersahabat.

Komunikasi verbal dan non-verbal memiliki peran utama dalam manajemen

perilaku. Tim kedokteran gigi harus membentuk hubungan berdasarkan

kepercayaan dengan anak dan orang dewasa yang menyertainya untuk

memastikan kepatuhan terhadap pencegahan dan ijin untuk melakukan tindakan.

Komunikasi non-verbal terjadi sepanjang waktu dan kadang-kadang dapat

bertentangan dengan komunikasi verbal. Bagi pasien anak dan pasien yang pre

kooperatif, komunikasi non-verbal memiliki peran yang paling penting (Gupta,

2014).

13
Pasien mungkin tidak mengerti kata yang di gunakan, tetapi mereka akan

mengenali senyum dan menanggapi nada suara. Seperti tersenyum, komunikasi

non verbal juga termasuk menjaga kontak mata untuk membangun kepercayaan.

Jabat tangan dapat meningkatkan kepercayaan untuk beberapa orang tua. Sikap

tenang, peduli, dan empati lebih berhasil dalam menangani kecemasan anak.

Anak-anak harus menjadi pusat perhatian, seperti menyapa nama mereka (Gupta,

2014).

Komunikasi harus disesuaikan dengan usia anak dan tim kedokteran gigi

perlu mengembangkan kosa kata spesifik untuk komunikasi dengan anak-anak.

Contohnya seperti “jus mengantuk” untuk anestesi lokal, atau “mewarnai gigi”

untuk fissure sealant. Penjelasan harus diberikan dalam bahasa sederhana dan

tidak mengancam, serta hindari penggunaan jargon. Perlu komunikasi yang baik

dan melibatkan anak, dokter gigi,orang tua, dan perawat gigi. Namun, anak

mungkin hanya bisa berkonsentrasi pada satu orang dalam satu waktu. Ketika

terjadi masalah, orang tua atau pengasuh sering membuat keadaan lebih buruk

dengan komunikasi yang kurang sesuai antara anak dan orang tua atau

pengasuh. Setiap anggota dalam tim kedokteran gigi dan orang tua yang

menemani harus mengerti peran mereka dalam perawatan gigi yang dilakukan.

Jika dokter gigi memperbolehkan orang tua atau wali menemani anak saat

operasi, dokter gigi harus memastikan mereka telah memberikan penjelasan

kepada orang tua atau wali apa yang harus dibantu dan apa yang dokter gigi

inginkan maupun yang tidak diinginkan dan apa yang dokter gigi ingin orang tua

lakukan dan katakan (Gupta, 2014).

14
2.2 Manajemen Perilaku Mengatasi Kecemasan Anak terhadap Perawatan Gigi

Berikut ini adalah beberapa teknik manajemen perilaku yang umum

digunakan. Pemilihan tehknik manajemen prilaku tergantung pada individu pasien.

Beberapa tehnik manajemen prilaku juga dapat dikombinasikan sesuai dengan

kebutuhan pasien.

2.2.1 Tell – show – do

Teknik ini secara luas digunakan untuk membiasakan pasien dengan prosedur

baru, sambil meminimalkan rasa takut. Dokter gigi menjelaskan kepada pasien

apa yang akan dilakukan (memperhitungkan usia pasien menggunakan bahasa

yang mudah dipahami). Memberikan demontrasi prosedur misalnya gerakan

handpiece yang lambat pada jari) kemudian lakukan tindakan yang sesuai dengan

prosedur yang telah ditetapkan. Tell-show-do dapat mengurangi kecemasan pada

pasien anak yang baru pertama ke dokter gigi (Gupta, 2014).

15
2.2.2. Behavior shaping

Pembentukan perilaku (Behavior shaping) merupakan teknik nonfarmakologi.

Teknik ini merupakan bentuk modifikasi perilaku yang didasarkan pada prinsip-

prinsip pembelajaran sosial. Prosedur ini secara bertahap akan mengembangkan

perilaku dan memperkuat perilaku sosial. Behavior shaping terjadi saat perawat

gigi atau dokter gigi mengajarkan anak bagaimana cara berperilaku. Anak-anak

diajarkan melalui prosedur ini secara bertahap. Berikut ini adalah outline untuk

behavior shaping model:

1. Pada tahap pertama, jelaskan sejak awal tujuan atau tugas anak

2. Jelaskan pentingnya prosedur yang akan dilakukan. Seorang anak akan

mengerti alasan dan dapat bekerja sama.

3. Jelaskan prosedur dengan sederhana. Seorang anak sulit memahami

prosedur dengan satu penjelasan, sehingga harus dijelaskan secara

perlahan dan bertahap.

4. Perhatikan tingkat pemahaman anak. Gunakan ungkapan yang lebih halus

dan sederhana.

5. Gunakan perkiraan dalam keberhasilan. Sejak tahun 1959, teknik Tell-

Show-Do merupakan acuan dalam panduan berperilaku.

6. Memperkuat/membentuk perilaku yang tepat. Sespesifik mungkin, karena

memperkuat perilaku dengan spesifik lebih efektif daripada pendekatan

umum. Saran ini didukung oleh penelitian klinis Weinstein dan rekan-

rekannya, yang meneliti respon dokter gigi terhadap perilaku anak-anak

dan menemukan bahwa penguatan perilaku secara langsung dan spesifik

paling konsisten diikuti oleh penurunan perilaku terkait rasa takut pada

anak-anak.

16
7. Mengabaikan perilaku yang tidak pantas. Perilaku buruk yang diabaikan

cenderung akan hilang sendiri ketika dilakukan pembentukan perilaku

(Dean dkk., 2011)

Pembentukan perilaku dianggap sebagai model pembelalajaran. Aturan

umum mengenai model pembelajaran bahwa model pemebelajaran yang paling

efektif adalah yang paling mendekati teori model pembelajaran. Penyimpangan

dari model pembelajaran akan mengurangi efisensi dalam proses pembelajaran.

Salah satu cara untuk meningkatkan konsistensi di bidang ini adalah dengan

merekam berbagai sesi klinis dengan pasien anak, menggunakan alat perekam

atau sistem rekaman video dan kemudian meninjau rekaman dengan mengingat

dasar-dasar model pembelajaran pembentukan perilaku. Meskipun tell-show-do

(ceritakan-perlihatkan-lakukan) mirip dengan pembentukan perilaku (behavior

shaping), keduanya berbeda. Selain memerlukan penguatan perilaku kooperatif,

pembentukan perilaku memerlukan penelusuran/pengulangan kembali langkah-

langkah yang dilakukan bila terjadi perilaku yang tidak diinginkan. Misalnya, jika

anak diperlihatkan instrumen dan berpaling, dokter gigi harus kembali ke langkah

penjelasan prosedur. Pembentukan perilaku mengharuskan untuk selalu

mengawasi “perilaku yang diinginkan”. Jika dokter gigi melanjutkan langkah-

langkah berikutnya dan mulai melakukan perawatan ketika perilaku yang

diinginkan belum terbentuk, maka terjadi penyimpangan dari model pembelajaran

dan kemungkinan terjadinya perilaku yang tidak diinginkan akan lebih tinggi (Dean

dkk., 2011).

17
2.2.3 Disentisasi

Disentisasi adalah jenis manajemen perilaku yang diperkenalkan oleh Joseph

Wolpe (1969) berdasarkan pemahaman bahwa relaksasi dan kecemasan tidak

dapat ada pada individu di saat yang bersamaan. Dalam prakteknya, untuk

manajemen kecemasan dental, stimulus penghasil rasa takut dibangun, dimulai

dengan stimulus dengan ancaman terendah. Namun, sebelum ini dilakukan,

pasien diajarkan untuk rileks. Jika keadaan relaksasi sudah tercapai, stimulus

yang menimbulkan rasa takut mulai diperkenalkan diawali dengan stimulus yang

tidak menimbulkan kecemasan kemudian dapat dilanjutkan dengan stimulus yang

mulai menimbulkan rasa takut (Duggal dkk., 2013).

Desentisasi membantu seseorang untuk menangani ketakutan atau phobia

yang spesifik melalui kontak yang berulang. Stimulus penghasil rasa takut

diciptakan dan diterapkan pada pasein secara berurutan, dimulai dengan yang

paling sedikit menimbulkan rasa takut. Teknik ini berguna untuk menangani

ketakutan yang spesifik, contohnya anastesi gigi pada anak (Gupta dkk., 2014).

2.2.4 Sedasi

Terdapat berbagai metode untuk sedasi pada pasien anak. Obat-obatan

sedatif dapat diberikan melalui inhalasi, atau melalui oral, rektal, submukosa,

intramuskular, atau intravena. Penggunaan obat kombinasi dan pilihan rute

pemberian tertentu bertujuan untuk memaksimalkan efek, meningkatkan

keamanan, serta memaksimalkan penerimaan pada pasien. Inhalasi campuran

nitrous oxide sering disertai dengan pemberian agen sedasi lain dengan rute

pemberian berbeda (Dean dkk., 2011).

18
Adapun Kriteria Pemulangan pasca penggunaan sedasi, adalah:

1. Fungsi kardiovaskular yang stabil dan memuaskan.

2. Saluran nafas tidak terganggu dan memuaskan.

3. Pasien dapat dibangunkan dengan mudah dan reflek protektif masih

intak.

4. Status hidrasi pasien yang adekuat.

5. Pasien dapat berbicara, jika memungkinkan.

6. Pasien dapat berjalan, jika memungkinkan, dengan bantuan minimal.

7. Jika anak masih sangat kecil atau mengalami cacat, tidak mampu

memberi respon yang biasanya diharapkan, dapat dibandingkan dengan

tingkat responsivitas pre-sedasi apakah sama atau mendekati tingkat

tersebut.

8. Terdapat individu yang dapat bertanggung jawab terhadap pasien (Dean

dkk., 2011).

19
Peresepan obat-obatan sedatif harus dalam pengawasan langsung dari

tenaga kesehatan terlatih. Penggunaan obat sedatif diluar fasilitas kesehatan

tidak lagi dibenarkan (contoh: pemberian oleh orang tua atau perawat di rumah)

karena memiliki risiko yang berat, terutama bagi bayi dan anak balita (pedoman

AAPD). Tujuan teknik sedasi yaitu menghasilkan pasien yang tenang untuk

kualitas pengobatan terbaik, mencapai rencana pengobatan yang lebih kompleks

atau lebih panjang dalam periode singkat dengan memperpanjang periode

pertemuan dan mengurangi jumlah kunjungan ulangan. Berkurangnya kecemasan

dapat mengurangi jumlah analgesia yang dibutuhkan. Sedasi juga dapat

memberikan suasana pengobatan yang nyaman dan lebih diterima bagi pasien

dengan gangguan fisik maupun kognitif. Walaupun adanya gangguan kesehatan

tertentu merupakan kontraindikasi sedasi, beberapa pasien mendapatkan manfaat

dari penggunaan sedasi. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan risiko untuk

mengalami komplikasi, sehingga harus dipantau ketat oleh dokter yang biasa

menangani mereka (Dean dkk., 2011).

2.2.5 Distraksi (Pengalihan Perhatian)

Beberapa jenis kegiatan dapat digunakan untuk mengalihkan perhatian anak,

seperti memainkan film yang sesuai usia anak, bermain video game, dan lainnya

bisa bermanfaat untuk mengalihkan perhatian anak. Namun, berbicara dengan

anak selama perawatan adalah metode yang efektif untuk mengalihkan perhatian

anak (Duggal dkk., 2013).

20
2.2.6 Modelling

Video klip dari anak-anak lain yang sedang menjalani perawatan gigi yang

diputar di monitor TV dapat dijadikan sebagai model saat mereka menjalani


21
prosedur perawatan gigi. Sebagian besar studi modeling menunjukkan bahwa ada

baiknya memperkenalkan anak ke dokter gigi dengan cara ini, namun tidak semua

penelitian menunjukkan perilaku kooperatif yang secara statistik lebih baik pada

anak-anak. Kurangnya replikasi mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam

desain eksperimental, tim dokter gigi, kaset video dan film. Ini menunjukkan

perlunya rekaman video atau pemilihan film yang digunakan pada kantor dokter

gigi (Dean dkk., 2011; Koch dan Pulsen, 2009)

Modifikasi perilaku dapat juga dilakukan pada pasien seperti saudara

kandung, anak-anak lainnya, atau orangtua. Banyak dokter gigi mengijinkan anak

untuk mengajak orang tuanya masuk keruang operator untuk melihat riwayat

medis gigi. Karena anak yang sedang mengamati kemungkinan akan

diperkenalkan perawatan gigi, dimulai dengan pemeriksaan gigi. Kunjungan

kembali orang tua dapat dijadikan kesempatan modeling yang baik. Pada

kesempatan ini banyak anak yang langsung menaiki dental chair setelah

kunjungan kembali. Pada saat anak menaiki dental chair, dokter gigi harus

berhati-hati. Pasien anak biasanya ditakutkan dengan suara yang keras seperti

suara pada high-speed handpiece (Dean dkk., 2011).

22
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penulisan ini adalah:

1. Faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan anak terhadap perawatan

gigi, antara lain : kecemasan Orang Tua, fear of the unknown, lack of

control, pengalaman medis umum dan gigi, sikap dan prilaku dokter gigi,

lingkungan praktik dokter gigi, dan komunikasi dengan pasien.

2. Metode manajemen perilaku yang tepat dalam mengatasi kecemasan

anak terhadap perawatan gigi, antara lain: Tell – show – do, behavior

shaping, disentisasi, sedasi, distraksi, dan modelling.

3.2 Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan dari hasil penulisan ini adalah dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengenai penyebab kecemasan

pada pasien anak dan mengaplikasikan metode yang sesuai sehingga dokter

gigi dapat memberikan perawatan gigi dan mulut optimal yang dibutuhkan oleh

pasien anak.

23
DAFTAR PUSTAKA

Chadwick, B.L. dan Hosey, M.T., 2003, Child Taming : How To Manage in Dental

Prectice, 1st ed., Quintessence Publishing Co. Ltd., London, hal.9-11, 19-20,

27-28.

Dean, Avery, McDonald, 2011, Dentistry for the Child and Adolescent, 9th ed., Mosby

inc., London, hal. 52, 260-261.

Duggal, M., Cameron, A., Toumba, J., 2013, Paediatric Dentistry at a Glance, 1st ed.,

Blackwell Pub., Oxford, hal.21.

Gupta, A., dkk., 2014, Behaviour management of an anxious child, Stomatologija,

Baltic Dental and Maxillofacial Journal; Vol. 16, No 1.

Kawiya, H. M , Mbawalla, H. S., Kahabuka, F. K., 2015, Application of Behavior

Management Techniques for Paediatric Dental Patients by Tanzanian Dental

Practitioners, The Open Dentistry Journal.,9:455-461.

Robert, J.F., dkk., Review: Behaviour Management Techniques in Paediatric

Dentistry, European Archives of Paediatric Dentistry.

Singh, H., Rehman, R., Kadtane, S., Dalai, D. R., Dev Jain, D. C., 2014, Techniques

for the Behaviors Management in Pediatric Dentistry, International Journal of

Scientific Study., 2(7):269-272.

24
Koch, G., dan Poulsen, S., 2009, Pediatric dentistry : a clinical approach, 2nd ed,

Blackwell Publishing Ltd United Kingdom, hal. 33.

25

Anda mungkin juga menyukai