Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRE KLINIK

RSUP.DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO
RUANG FISIOTERAPI MOTHER AND CHILD

GANGGUAN TUMBUH KEMBANG USIA 4 BULAN


KELEMAHAN TIPE SPASTIK QUADRIPLEGI EC.
CRANIOSINOSTOSIS EC. EPILEPSI PADA ANAK USIA 1,5
TAHUN.

OLEH :

Fakhiha Anugrah Prastica


PO714241161014

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV FISIOTERAPI


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus pre klinik di ruang fisioterapi Mother and Children mulai
tanggal 15-16 April 2019 dengan judul kasus “Gangguan tumbuh kembang usia
4 bulan kelemahan tipe spastik quadriplegia ec. craniosinostosis ec. epilepsi
pada anak usia 1,5 tahun” telah disetujui oleh Pembimbing Lahan (Clinical
Educator) dan Preceptor (Dosen).

Makassar, April 2019


Clinical Educator Proceptor

NIP. NIP.

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................5

PENDAHULUAN....................................................................................................5

BAB II......................................................................................................................6

TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................6

A. Anatomi Sistem Saraf Pusat.........................................................................6

B. Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan..................................................12

C. Patologi.......................................................................................................14

1) Definisi.................................................................................................14

2) Epidemiologi........................................................................................16

3) Etiologi.................................................................................................16

4) Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi......................................18

5) Gambaran Klinis..................................................................................19

6) Prognosis..............................................................................................21

7) Intervensi Fisioterapi...........................................................................21

BAB III...................................................................................................................22

PROSES FISIOTERAPI........................................................................................22

A. Identitas Umum Pasien...............................................................................22

B. Anamnesis Khusus.....................................................................................23

C. Inspeksi.......................................................................................................24

D. Palpasi........................................................................................................25

E. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar...............................................................25

F. Orientasi test...............................................................................................25

G. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran......................................................26

H. Algoritma Assesment Fisioterapi...............................................................27

I. Diagnosa Fisioterapi....................................................................................29
J. Problematika Fisioterapi dan Bagan ICF.....................................................29

K. Tujuan Intervensi Fisioterapi.....................................................................29

L. Program Intervensi Fisioterapi...................................................................29

M. Intervensi Fisioterapi.................................................................................30

N. Evaluasi dan Edukasi................................................................................31

BAB IV..................................................................................................................31

PENUTUP..............................................................................................................31

BAB I

PENDAHULUAN

Angka prevalensi kejadian cerebral palsy di dunia mempengaruhi


sekitar 3-4 individu per 1000 populasi pada umumnya (Aisen et al., 2011).
Menurut data Riskesdas (2014), pada tahun 2013 di Indonesia prevalensi anak
berumur 24-59 bulan yang mengalami kecacatan karena CP mencapai sekitar
0,09%. Dari laporan ke laporan menunjukkan sekitar 70% anak memiliki tipe
spastik, 15% atetotik, 5% ataksia dan sisanya tipe campuran (Rudolph et al.,
2007).
Cerebral palsy merupakan keseluruhan kondisi gangguan kontrol
gerak dan postur yang bersifat non-progresif disebabkan oleh terbatasnya
aktivitas yang terjadi saat perkembangan otak janin (bayi). CP merupakan
istilah umum yang menggambarkan beberapa gangguan. Tergantung pada
daerah otak yang rusak dan sejauh mana kerusakannya, masing-masing
menghasilkan gejala yang berbeda (Hockenberry, 2015).
Craniosynostosis adalah sebuah kelainan di tulang tengkorak yang
menyebabkan bentuk kepala bayi tidak normal atau tidak proporsional.
Dikatakan craniosynostosis jika satu atau beberapa jaringan sutura menutup
lebih cepat dari kondisi normal. Akibatnya, otak bayi tidak berkembang
maksimal karena terhambat oleh tulang tengkorak. Kondisi ini sangat
berbahaya karena bisa mengakibatkan munculnya beberapa gangguan dan
kelainan.
Fisioterapi berperan dalam menangani gangguan motorik, dimana
menangani sesuai kebutuhan kemampuan anak untuk meminimalkan kesulitan
dengan postur tubuh dan kontrol badan (Rudolph et al., 2007). Tujuan lain
juga meningkatkan kekuatan otot yang lemah dan menimbulkan pola
perkembangan yang normal. Pendekatan fisioterapi dalam memberikan
pengobatan rehabilitasi anak dapat menggunakan beberapa teknik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sistem Saraf Pusat


Sistem saraf adalah salah satu organ yang berfungsi untuk
menyelenggarakan kerja sama yang rapi dalam organisasi dan koordinasi
kegiatan tubuh. Dengan bantuan saraf kita dapat menerima suatu rangsangan
dari luar kerja otot (Harsono, 2013).

1. Otak
Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak), terdiri atas semua
bagian sistem saraf pusat (SSP) diatas korda spinalis. Otak terdiri dari sel-
sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai glia,
cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah
neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi diantara berbagai
neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar
2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar
20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial (Harsono,
2013).
Jika terjadi kerusakan atau gangguan di otak maka akan
mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta
gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah (Hayes, 2017).
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen
bagiannya adalah:
1) Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri
dari sepasang hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks.
Korteks ditandai dengan sulkus (celah) dan girus (Untari, 2012).
Korteks serebri adalah lapisan terluar dari otak. Korteks serebri
berupa lapisan tipis (1,5 mm sampai 5 mm) yang membungkus otak.
Korteks serebral dilapisi oleh selaput meninges yang tersusun dari
ratusan hingga ribuan sel saraf yang saling berdempetan. Korteks otak
sering juga disebut sebagai materi abu-abu (Untari, 2012).
Sebagian besar pemrosesan informasi sensorik dari lima indera
terjadi di korteks serebral. Bagian otak ini yang paling berkembang
dari otak manusia dan bertanggung jawab untuk berpikir, memahami,
berbicara, memproduksi dan memahami bahasa, ingatan,
perhatian/kewaspadaan, kepedulian, kesadaran, organisasi dan
perencanaan, pemecahan masalah, kemampuan sosial, fungsi motorik
lanjutan, hingga mengambil keputusan (Untari, 2012).
Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu
a) Lobus frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual
yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar,
bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi.
Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di
gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat area asosiasi
motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca
yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan
sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Untari,
2012).
b) Lobus temporalis
Berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual,
pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan
perkembangan emosi (Sholiha, 2016).
c) Lobus parietalis
Merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan
pendengaran (Untari, 2012).
d) Lobus oksipitalis
Berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan, menginterpretasi dan memproses rangsang
penglihatan dari nervus opticus dan mengasosiasikan rangsang ini
dengan informasi saraf lain dan memori (Untari, 2012).
e) Lobus limbic
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia,
memori emosi dan bersama hipothalamus menimbulkan
perubahan melalui pengendalian atas susunan endokrin dan
susunan otonom (Untari, 2012).
2) Cerebellum
Otak kecil (cerebellum) mempunyai fungsi utama dalam
koordinasi terhadap otot dan tonus otot, keseimbangan dan posisi tubuh.
Bila ada rangsangan yang merugikan atau berbahaya maka gerakan
sadar yang normal tidak mungkin dilaksanakan. Otak kecil juga
berfungsi mengkoordinasikan gerakan yang halus dan luwes.
3) Brainstem
Brainstem atau batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau
rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis
(CDC, 2004). Brainstem berfungsi untuk mengatur seluruh proses
kehidupan yang mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya
dan medulla spinalis dibawahnya. Struktur-struktur fungsional batang
otak yang penting adalah jaras asenden dan desenden traktus
longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman
sel saraf dan 12 pasang saraf cranial. Secara garis besar brainstem
terdiri dari tiga segmen, yaitu mesensefalon, pons dan medulla
oblongata (Hayes, 2017).
2. Medulla spinalis
Merupakan bagian susunan saraf pusat mulai dari foramen
magnum tengkorak ke bawah sepanjang lebih kurang 45cm (18 inci)
sampai setinggi vertebra lumbal (VL1) dan dikelilingi serta dilindungi oleh
tulang vertebra dan meningens (duramater, araknoid, piamater). Medula
spinalis tersusun dari 31 pasang saraf spinalis yaitu : 8 pasang saraf
cervical, 12 pasang saraf thorakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf
sacral, 1 pasang saraf cocsigeal (Sugiritama dkk, 2015).
Susunan traktus-traktus serat saraf sebagai berikut:
a. Traktus Asenden
1) Traktus dalam columna alba posterior terdiri dari fasciculus
gracilis dan cutaneus yang merupakan dua traktus asenden yang
besar yang menyalurkan informasi sensibilitas proprioseptif,
getaran, dan diskriminasi taktil.
2) Traktus dalam columna alba lateralis, terdiri dari :
(a) Traktus spinocerebellaris posterior, berfungsi menyalurkan
informasi dan kontribusi tambahan reseptor rasa raba dan
tekanan. Informasi ini memungkinkan cerebellum untuk
berpartisipasi dalam pengendalian gerakan volunteer.
(b) Traktus cerebellaris anterior, berfungsi menyalurkan
informasi dan kontribusi tambahan reseptor rasa raba dan
tekanan. Informasi ini memungkinkan cerebellum untuk
berpartisipasi dalam pengendalian gerakan involunter.
(c) Traktus spinothalamicus lateralis, berfungsi menyalurkan
informasi yang berkaitan dengan sensibilitas nyeri dan suhu.
(d) Traktus spinotectalis, berkaitan dengan suatu lintasan
asenden reflek spinovisual.
(e) Traktus posterolateralis, terbentuk dari serabut bagian lateral
radiks posterior, yang terbagi menjadi cabang asenden dan
desenden.
(f) Traktus spinoretikularis yang merupakan campuran dengan
traktus spinothalamicus lateralis.
(g) Traktus spinoolivarius, berfungsi menyalurkan informasi dari
organ kulit dan proprioseptif.
3) Traktus dalam columna alba anterior : traktus spinothalamicus
anterior terletak dibagian medial radik saraf anterior dan
berfungsi untuk menyalurkan sensibilitas taktil dan tekanan.
b. Traktus Desenden
1) Traktus columna alba posterior
2) Traktus columna alba lateralis
(a) Traktus corticospinalis, merupakan lintasan motorik yang
penting yang berkaitan dengan gerakan volunter.
(b) Traktus rubrospinalis, berfungsi menyalurkan impuls yang
berkaitan dengan aktivitas otot.
(c) Traktus reticulispinalis lateralis, berperan penting dalam
aktivitas otot.
(d) Serabut-seabut autonomic decenden, berfungsi dalam
pengendalian fungsi visceral.
(e) Traktus olivispinalis, fungsi tepatnya tidak
diketahui,kendatipun dapat berhubungan dengan aktivitas
otot.
3) Traktus columna alba anterior
(a) Traktus corticospinalis anterior, berkaitan dengan gerak
volunteer
(b) Traktus vestibulospinalis, berfungsi menyalurkan informasi
yang berkaitan dengan pengendalian keseimbangan ke sel-
sel corn grisea anterior dan karena itu berhubungan dengan
pengendalian tonus otot
(c) Traktus tectospinalis, membentuk bagian dari lintasan
reflex saraf yang berhubungan dengan rotasi kepala dan
pergerakan lengan sebagai respon terhadap stimulus visual.
(d) Serabut reticulospinalis, tersebar diseluruh columna
anterior dan berkaitan dengan fungsi motorik.

B. Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan


1. Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif,
yaitu bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ,
maupun individu. Anak tidak hanya bertambah besar secara fisik,
melainkan juga ukuran dan struktur organ-organ tubuh dan otak. Sebagai
contoh, hasil dari pertumbuhan otak adalah anak mempunyai kapasitas
lebih besar untuk belajar, mengingat, dan mempergunakan akalnya. Jadi
anak tumbuh baik secara fisik maupun mental. Menurut Karl E Garrison,
pertumbuhan adalah perubahan individu dalam bentuk ukuran badan,
perubahan otot, tulang, kulit, rambut dan kelenjar (Sarayati, 2016).
Sedangkan perkembangan adalah proses kualitatif yang mengacu
pada penyempurnaan fungsi sosial dan psikologis dalam diri seseorang
dan berlangsung sepanjang hidup manusia. Menurut para ahli
perkembangan merupakan serangkaian perubahan progresif yang terjadi
sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman, terdiri atas
serangkaian perubahan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif (E.B
Harlock dalam Syamsulbahri, 2013), dimaksudkan bahwa perkembangan
merupakan proses perubahan individu yang terjadi dari kematangan
(kemampuan seseorang sesuai usia normal) dan pengalaman yang
merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan sekitar yang
menyebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif (dapat diukur) yang
menyebabkan perubahan pada diri individu tersebut. Perkembangan
merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf pusat dengan organ
yang dipengaruhinya, misalnya perkembangan sistem neuromuscular,
kemampuan bicara, emosi dan sosialisasi (Sarayati, 2016).
Proses tumbuh kembang anak mulai dari konsepsi sampai dewasa
dipengaruhi banyak faktor yang bisa menghambat atau mengoptimalkan
tumbuh kembang anak. Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh
kembang anak yaitu faktor genetik yaitu berbagai faktor bawaan yang
normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa, faktor
lingkungan yaitu faktor lingkungan prenatal (sebelum kelahiran), factor
lingkungan natal (saat kelahiran) dan faktor lingkungan pascanatal
(setelah kelahiran), faktor psikososial dan faktor keluarga, dimana
tempat anak tumbuh dan berkembang serta mendapat stimulasi
(Soetjiningsih et al., 2013).
2. Aspek Pertumbuhan dan Perkembangan
a. Aspek pertumbuhan
Untuk menilai pertumbuhan anak dilakukan pengukuran
antopometri, yang meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan
(panjang badan), lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan lingkar
dada (Sarayati, 2016).
Pengukuran berat badan digunakan untuk menilai hasil
peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh,
pengukuran tinggi badan digunakan untuk menilai status perbaikan
gizi disamping faktor genetik, sedangkan pengukuran lingkar kepala
dimaksudkan untuk menilai pertumbuhan otak. Pertumbuhan otak
kecil (mikrosefali) menunjukkan adanya reterdasi mental, apabila
otaknya besar (volume kepala meningkat) terjadi akibat
penyumbatan cairan serebrospinal. Pada umur 6 bulan lingkar kepala
rata-rata adalah 44 cm (Sarayati, 2016).
b. Aspek Perkembangan
1. Motorik kasar (gross motor) merupakan keterampilan meliputi
aktivitas otot-otot besar seperti gerakan lengan, duduk, berdiri,
berjalan dan sebagainya.
2. Motorik halus (fine motor skills) merupakan keterampilan fisik
yang melibatkan otot kecil dan koordinasi mata dan tangan yang
memerlukan koordinasi yang cermat. Perkembangan motorik
halus mulai memiliki kemampuan menggoyangkan jari-jari kaki
menggambar dua tau tiga bagian, menggambar orang,
melambaikan tangan dan sebagainya.
3. Bahasa (Languange) adalah kemampuan untuk memberikan
respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan,
berkomunikasi.
4. Sosialisasi dan kemandirian merupakan aspek yang berhubungan
dengan kemampuan mandiri (makan sendiri, membereskan
mainan selesai bermain), berpisah dengan ibu/pengasuh anak,
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Tabel: Milestone perkembangan motorik kasar pada anak


Umur Rata-rata
Kemampuan Motorik Kasar
(Bulan)
Berguling dari telungkup ke 3,6
terlentang
Berguling dari terlentang ke 4,8
telungkup
Duduk disokong 5,3
Duduk tanpa disokong 6,3
Merayap 6,7
Duduk dari posisi berbaring 7,5
Merangkak 7,8
Berdiri berpegangan dari posisi 8,1
duduk
Berjalan berpegangan meja 8,8
(merambat)
Jalan tanpa berpegangan 11,7
Jalan ke belakang 14,3
Berlari 14,8

C. Patologi

1) Definisi

Cerebral Palsy (CP) merupakan istilah yang digunakan untuk


menggambarkan sekelompok gangguan gerakan, postur tubuh, dan tonus yang
bersifat nonprogresif, berbeda-beda, kronis, dan akibat cedera pada sistem
saraf pusat selama awal masa perkembangan. Waktu timbulnya cedera dapat
sebelum, pada saat atau segera setelah lahir. Sementara istilah cerebral palsy
mengacu secara tersendiri pada gangguan motorik, dapat juga disertai dengan
gambaran seperti serangan kejang, retardasi mental ringan atau berat,
gangguan bahasa, bicara, penglihatan, pendengaran dan persepsi sensorik,
sehingga menyebabkan ketidakmampuan belajar. Gangguan motorik bisa
dalam bentuk produksi gerakan, hambatan gerakan atau mengatur gerakan
(Rudolph et al., 2007; Sondheimer, 2013).
Cerebral palsy merupakan keseluruhan kondisi gangguan kontrol
gerak dan postur yang bersifat non-progresif disebabkan oleh terbatasnya
aktivitas yang terjadi saat perkembangan otak janin (bayi). CP merupakan
istilah umum yang menggambarkan beberapa gangguan. Tergantung pada
daerah otak yang rusak dan sejauh mana kerusakannya, masing-masing
menghasilkan gejala yang berbeda (Hockenberry, 2015).
Craniosynostosis adalah sebuah kelainan di tulang tengkorak yang
menyebabkan bentuk kepala bayi tidak normal atau tidak proporsional.
Dikatakan craniosynostosis jika satu atau beberapa jaringan sutura menutup
lebih cepat dari kondisi normal. Akibatnya, otak bayi tidak berkembang
maksimal karena terhambat oleh tulang tengkorak. Kondisi ini sangat
berbahaya karena bisa mengakibatkan munculnya beberapa gangguan dan
kelainan.
Craniosynostosis yang berat jika dibiarkan tanpa pengobatan, selain
menyebabkan gangguan pada otak, bisa juga menyebabkan perubahan bentuk
(deformitas) wajah. Craniosynostosis juga berisiko mengalami peningkatan
tekanan intrakranial, yang jika tidak segera ditangani bisa menyebabkan
kejang, gangguan gerakan bola mata, kebutaan, keterlambatan perkembangan,
gangguan fungsi kognitif, bahkan kematian.
Epilepsi adalah suatau kelainan otak yang ditandai dengan adanya
faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif dan psikologis, yang menimbulkan berbagai
permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh-kembang, dan
menentukan kualitas hidup anak (Major, 2007). Kejang epileptik disebabkan
oleh lepasnya muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok
neuron di otak. Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi)
sebanyak dua kali atau lebih dengan interval lebih dari 24 jam antara kejang
pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan
kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis (Shorvon, 2007; Swaiman
dan Ashwal, 2012).

2) Epidemiologi

Angka prevalensi kejadian cerebral palsy di dunia mempengaruhi


sekitar 3-4 individu per 1000 populasi pada umumnya (Aisen et al., 2011).
Menurut data Riskesdas (2014), pada tahun 2013 di Indonesia prevalensi anak
berumur 24-59 bulan yang mengalami kecacatan karena CP mencapai sekitar
0,09%. Dari laporan ke laporan menunjukkan sekitar 70% anak memiliki tipe
spastik, 15% atetotik, 5% ataksia dan sisanya tipe campuran (Rudolph et al.,
2007).

3) Etiologi

Cerebral palsy dapat disebabkan oleh kejadian yang terjadi baik


sebelum, saat, atau sesudah kelahiran sampai umur 3 tahun. Etiologi cerebral
palsy bersifat multifaktorial. Sekitar 70 – 80% kasus cerebral palsy diperoleh
selama masa prenatal dan lebih dari 50 % penyebab cerebral palsy tidak
diketahui. Beberapa faktor penyebab terjadinya cerebral palsy antara lain:
1. Pranatal
a) Inheritance: Jika diduga lebih dari satu kasus cerebral palsy ditemukan
pada saudara kandung. Penyebabnya mungkin lesi otak perinatal
sebagai komplikasi persalinan (persalinan prematur) yang dapat terjadi
lebih dari satu kali pada ibu yang sama.
b) Infeksi: Jika ibu mengalami infeksi organisme yang dapat menembus
plasenta dan menginfeksi janin, proses ini meyebabkan prenatal brain
injury. Infeksi janin tersering adalah syphilis, toxoplasmosis, rubella,
cytomegalic atau infeksi virus lainnya dan kehamilan yang terkena
paparan radiasi berlebih. Semuanya dapat menyebabkan tanda dan
gejala akut pada neonatus yang diikuti dengan kerusakan otak
permanen saat masa kanak-kanak. Didominasi oleh temuan retardasi
mental tapi gangguan gerak juga dapat muncul.
c) Komplikasi lain selama kehamilan: Komplikasi selama kehamilan
seperti episode anoxia, radiasi x-ray, intoksikasi maternal dapat
mempengaruhi fetus. Jika terjadi kondisi yang menyebabkan gangguan
pada otak fetus, biasanya akan terjadi retardasi yang biasanya
dikombinasi dangan cerebral palsy.
2. Perinatal
a) Anoxia: dapat terjadi seketika sebelum atau setelah kelahiran. Risiko
meningkat jika proses persalinan mengalami komplikasi seperti posisi
abnormal janin atau disproporsional antara pelvis ibu dan kepala janin
menyebabkan partus lama dan bayi kekurangan oksigen.
b) Perdarahan intrakranial: kondisi yang sama yang dapat menyebabkan
anoxia juga dapat menyebabkan perdarahan intracranial. Ini dapat
terdiri dari perdarahan berat dari sinus venosus, biasanya akibat
sobekan tentorium cerebelli. Perdarahan dapat berlokasi di dalam otak
dan menyebabkan cerebral palsy.
c) Prematur: bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita
perdarahan otak lebih banyak di bandingkan bayi cukup bulan. Karena
pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan darah dan lain-lain masih
belum sempurna.
d) Keracunan air ketuban
3. Postnatal
Beberapa cedera otak yang terjadi selama periode postnatal dari
perkembangan otak dapat menyebabkan serebral palsy. Contohnya
trauma yang menyebabkan kecelakaan fisik, trauma kepala, meningitis,
infeksi otak, enchepalitis.

4) Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi

Cerebral Palsy terjadi karena adanya kerusakan pada sel-sel


otak yang berfungsi untuk mengontrol pergerakan otot. Ketika sel-sel
tersebut mati, maka tidak ada lagi impuls yang diteruskan ke sel otot.
Hilangnya kontrol pada otot dapat terlihat pada gejala-gejala yang terdapat
pada penderita CP. Gambaran lesi otak pada anak-anak dibagi berdasarkan
luas dan lokasi lesi, termasuk pada korteks motoris serebral, ganglia basalis
atau serebelum (Muliati, 2011).
Kelainan neuropatologik yang terjadi tergantung pada berat dan
ringannya kerusakan. Jadi kelainan neuropatologik yang terjadi sangat
kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks motorik traktus
piramidalis daerah paraventrikuler ganglia basalis, batang otak dan
serebelum (Muliati, 2011).
Trauma lahir akan menimbulkan kompresi serebral atau
perobekan sekunder. Trauma lahir ini menimbulkan gejala yang irreversibel.
Lesi irreversibel lainnya akibat trauma adalah terjadi sikatriks pada sel-sel
hipokampus yaitu pada kornu ammonis, yang akan bisa mengakibatkan
bangkitan epilepsi (Muliati, 2011).
Jika pada saat dilahirkan ubun-ubun bayi sudah menutup, maka
kemungkinan penyebabnya bisa merupakan kelainan bawaan atau infeksi
selama kehamilan. Ubun-ubun yang menutup terlalu cepat akan menghambat
perkembangan otak bayi dan menimbulkan gangguan. Dengan kata lain, sel-
sel otak yang seharusnya berkembang akan tertahan oleh tulang tengkorak.
Biasanya, gangguan yang muncul berupa cerebral palsy, atau kelumpuhan
yang sifatnya kaku.
Jika penutupan yang terlalu cepat itu terjadi pada usia yang tidak jauh
dari batas normal (6-20 bulan), maka kelainannya tidak terlalu berat. Begitu
pula jika ubun-ubun yang menutup itu tidak diikuti dengan penutupan sutura-
sutura lainnya, maka gangguan yang terjadi akan lebih ringan daripada bila
ubun-ubun dan suturanya sama-sama sudah menutup.
Namun jika proses penutupan tulang tengkorak berlangsung sejak baru
lahir atau berada di kandungan, proses keterhambatan perkembangan otak
bayi lebih lama sehingga gangguan yang timbul akan lebih banyak dan berat.
Oleh karena itu, manifestasi gangguan tumbuh kembang pada bayi yang
bersangkutan bisa berbeda-beda, tergantung pada bagian otak mana yang
perkembangannya terhambat, dan kapan terjadinya proses penghambatan atau
penutupan tersebut.

5) Gambaran Klinis

Pada sebagian kasus, craniosynostosis menyebabkan adanya gangguan


atau kerusakan pada otak, serta menghambat proses pertumbuhan secara
umum. Keluhan-keluhan yang menandai gangguan ini adalah: gangguan
pendengaran, mata sulit digerakkan, lebih sering tidur dan jarang bermain,
lebih mudah menangis dibanding biasanya.
Tanda-tanda craniosynostosis biasanya sudah tampak saat bayi lahir,
dan semakin terlihat jelas setelah beberapa bulan. Tanda-tanda tersebut antara
lain:
1. Ubun-ubun (fontanelles) pada bagian atas kepala bayi tidak terlihat.
2. Bentuk tengkorak bayi tampak tidak proporsional dan bisa menyebabkan
brachycephaly atau plagiochepaly.
3. Munculnya ICP atau peningkatan tekanan di dalam tengkorak bayi.
4. Kepala bayi tidak berkembang sejalan dengan pertambahan usia.
Tanda awal cerebral palsy biasanya terlihat pada usia kurang dari tiga
tahun. Orang tua mulai mencurigai ketika fungsi motorik anak tidak normal.
Bayi dengan cerebral palsy sering mengalami keterlambatan perkembangan,
misalnya pada usia enam bulan belum bisa tengkurap. Sebagian mengalami
abnormalitas tonus otot. Penurunan tonus otot/hipotonia membuat bayi
tampak lemah dan lemas, kadang floppy. Peningkatan tonus otot/hipertonia
membuat bayi tampak kaku. Pada sebagian kasus, bayi pada periode awal
tampak hipotonia dan selanjutnya berkembang menjadi hipertonia setelah dua
sampai tiga bulan pertama (Fitriadi, 2014).
Pasien An. Q menderita cerebral palsy tipe spastisitas quadriplegi.
Adapun lokasi lesi yang menyebabkan spastisitas terutama pada traktus
kortikospinal. Pada spastisitas terjadi peningkatan konstan pada tonus otot,
peningkatan refleks otot kadang di sertai klonus (refleks peregangan otot yang
meningkat) dan refleks neonatus lainnya menghilang pada waktunya.
Hipertonik permanen dan tidak hilang selama tidur. Peningkatan tonus otot
tidak sama pada setiap grup otot. Ciri-cirinya berupa lengan abduksi, siku dan
pergelangan tangan fleksi, tangan pronasi, jari-jari fleksi dengan jempol
melintang di telapak tangan, kaki adduksi, kaki plantar-fleksi dengan tapak
kaki berputar ke dalam. Golongan spastisitas ini meliputi 2/3-3/4 penderita
cerebral palsy.
Cerebral palsy tipe spastisitas dijumpai sekitar 80% dari kejadian CP.
Disebabkan oleh adanya gangguan pada upper motor neuron yaitu lesi pada
korteks serebral dan traktus piramidalis. Tipe ini ditandai dengan peningkatan
tonus otot, hiperrefleks, klonus, kelainan postur, gangguan keseimbangan,
refleks babinski abnormal, kekakuan otot, posisi tubuh abnormal, dan kontrol
motorik terganggu.
Gangguan perkembangan mental juga ditemukan pada sekitar setengah
dari seluruh pasien cerebral palsy. Perkembangan mental harus selalu di nilai
dengan perhatian besar pada anak dengan retardasi perkembangan motorik.
Kecacatan motorik harus selalu dapat dimengerti dan latih potensi terbaik
anak sebelum perkembangan intelektual mereka dievaluasi. Beberapa dari
mereka menunjukkan gejala perhatian yang mudah teralih, kurang konsentrasi,
gelisah, dan prilaku tidak di duga.
Selain itu, gangguan pendengaran juga ditemukan 5-10% dari seluruh
anak yang menderita CP, dimana paling banyak pada anak dengan syndrome
perubahan tonus otot. Kesulitan berbicara pun dapat terjadi dari ringan hingga
berat.

6) Prognosis

Prognosis pada penderita CP dengan gejala motorik ringan adalah baik.


Makin banyak gejala penyertanya dan makin berat gejala motoriknya maka
semakin buruk prognosisnya. Komplikasi dapat berupa retardasi mental,
epilepsi, gangguan pendengaran dan visual (Fitriadi, 2014).
Anak-anak dengan CP berat dan keterbelakangan mental juga kadang
mengalami epilepsy dan beresiko tinggi mengalami chest infection, status
epilepticus dan masalah lainnya. Cerebral palsy berat juga menyebabkan
prognosis yang buruk pada pasien yang lebih tua. Perkiraan yang tepat dari
kelangsungan hidup dari cerebral palsy berat sangat sulit, tapi yang penting
adalah perencanaan untuk kebutuhan pasien dan keperluan tujuan
medikolegal (Fitriadi, 2014).

7) Intervensi Fisioterapi

Tujuan utama neurorehabilitasi pada anak dengan cerebral palsy


adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan tiap anak berdasarkan
kombinasi spesifik gangguan motorik dan gangguan terkait yang ditemukan
dengan tujuan akhir untuk memperoleh kemandirian tertinggi yang dapat
dicapai oleh anak dengan cerebral palsy (Gunardi et al., 2011).
Fisioterapi berperan dalam menangani gangguan motorik, dimana
menangani sesuai kebutuhan kemampuan anak untuk meminimalkan kesulitan
dengan postur tubuh dan kontrol badan (Rudolph et al., 2007). Tujuan lain
juga meningkatkan kekuatan otot yang lemah dan menimbulkan pola
perkembangan yang normal. Pendekatan fisioterapi dalam memberikan
pengobatan rehabilitasi anak dapat menggunakan beberapa teknik seperti
neurodevelompmental treatment, passive stretching, pemakaian orthoses,
reactive balance training, dan physio ball exercise. Kebutuhan tiap anak CP
berbeda bergantung pada tahap milestone apa anak saat ini dan deformitas
yang terjadi. Dalam memberikan intervensi pada anak CP harus selalu
melibatkan aktivitas anak (Alexander dan Mattews, 2010).

BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien


Nama : An. Q
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 1,5 tahun (Polewali/07 Agustus 2017)
Alamat : Maros
Agama : Islam
Diagnosa medis : Craniosinostosis, epilepsi, CP spastik quadriplegi
Waktu pemeriksaan : 15 April 2019
B. Anamnesis Khusus
Keluhan Utama : Kaku pada kedua tangan dan kaki, serta belum
bisa duduk, merangkak, berdiri dan berjalan.
Lokasi Keluhan : Kedua tangan dan kaki
Penyebab : Epilepsi
RPP : Anak lahir saat usia kandungan 10 bulan.
Menurut dokter, anak keracunan air ketuban
sehingga harus dioperasi sesar. Berat badan anak
saat lahir 3,2 kg dan panjangnya 50 cm. Lahir
dengan ubun-ubun tertutup dan tidak menangis
sejak lahir hingga seminggu kemudian. Anak di
inkubator selama 1 bulan. Dokter meminta untuk
melakukan pemeriksaan kembali 3 bulan
kemudian. Saat usia 4 bulan, anak mengalami
kejang dan dilakukan CT-scan kepala dan EEG,
hasil diagnosa dokter adalah craniosinostosis dan
epilepsi. Sampai sekarang anak mengonsumsi obat
epilepsi. Sejak usia 4 bulan menjalani Fisioterapi
di Polmas, lalu dirujuk ke Makassar saat usia anak
6 bulan dan difisioterapi hingga sekarang. Sebelum
terapi, anak belum bisa apa-apa dan hanya tidur
terlentang saja. Sekarang anak sudah bisa
tengkurap dan kontrol kepala lumayan baik. Anak
mau makan dan minum susu dengan cukup baik.
Untuk aktivitas buang air besar dan buang air kecil
lancar. Merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara,
dimana anak pertama sehat dan normal. Riwayat
kehamilan ibu sering kontrol ke dokter kandungan,
tidak pernah keguguran, tidah pernah jatuh saat
hamil.
Vital Sign Denyut nadi : 120 kali / menit
Suhu : 36,8 °C
Frekuensi Napas : 28x/menit
Berat badan : 6,8 Kg
Panjang Badan : 0,7 m

C. Inspeksi
Statis 1) Kepala tampak kecil
2) Posisi kepala cenderung ekstensi dan rotasi
dekstra
3) Kedua tangan selalu menggenggam
4) Elbow dan wrist cenderung fleksi
5) Kaki tampak menyilang dengan kedua knee
lurus kaku
6) Telapak kaki plantar fleksi dan terputar ke
dalam
Dinamis 1) Anak datang digendong olah ibunya
2) Sering terkaget-kaget
3) Kontrol kepala cuckup bagus saat didudukkan,
sedangkan kontrol badan/trunk belum cukup
kuat
4) Mata tampak tidak fokus ketika diajak
berkomunikasi
5) Gerakan kedua tangan dan kaki tampak kaku

D. Palpasi
Suhu : Normal
Kontur kulit : Normal
Oedem : Tidak ada
Tonus otot :Hipertonus ekstremitas superior dan inferior
hipertonus bilateral
ekstremitas
superior dan
inferior bilateral

E. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar


Gerakan Keterangan
Aktif Kondisi anak tidak memungkinkan untuk mengikuti
instruksi
Pasif Ada tahanan saat menggerakkan anggota tubuh, namun
sendi-sendi masih bisa full ROM
TIMT Tidak dapat dilakukan

F. Orientasi test
Kriteria penilaian + : Bisa tanpa bantuan
± : Bisa dengan bantuan
- : Tidak Bisa
Miring kanan kiri : +
Tengkurap : +
Dari tiduran ke duduk : -
Dari duduk ke berdiri : -
Berdiri dengan suport : -
Berdiri : -
Berdiri pada kaki kanan : -
Berdiri pada kaki kiri : -
Jongkok : -

G. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran


1. Usia
Usia Kalender : 1,5 tahun
Usia Tumbang : 4 bulan (tengkurap dan kontrol kepala cukup
baik)

2. Skala Asworth
Hasil :3
IP : Peningkatan tonus lebih nyata sepanjang sebagian
besar ROM, tapi sendi masih mudah digerakkan.

3. Lingkar kepala
Hasil : 36 cm (N: 44,5-50,5 cm)

4. Refleks Fisiologi
Knee pes refleks : Hiper refleks
Achilles pes refleks : Hipo refleks

5. Refleks Primitif
Hasil : Babinsky (-), Glabella (-), Oppenheim (-),
Rooting (+), sucking (+) , refleks menggenggam
(+)

6. Pemeriksaan Visual
Hasil : Anak kadang bisa fokus pada suatu objek dan
mampu mengikuti gerak objek tersebut

7. Pemeriksaan auditori
Hasil : Anak tidak merespon suara dan tidak mencari
sumber suara

8. Tes Kognitif
Hasil : Anak tidak mampu mendengarkan dan
   melakukan instruksi yang diberikan
: Kognitif terganggu
IP

9. Pemeriksaan Radiologi (CT-Scan Kepala)


Pada tanggal : 07 Desember 2017
Hasil : Craniosinostosis
H. Algoritma Assesment Fisioterapi
History Taking
Anak lahir saat usia kandungan 10 bulan. Menurut dokter, anak keracunan air
ketuban sehingga harus dioperasi sesar. Berat badan anak saat lahir 3,2 kg dan
panjangnya 50 cm. Lahir dengan ubun-ubun tertutup dan tidak menangis sejak
lahir hingga seminggu kemudian. Anak di inkubator selama 1 bulan. Dokter
meminta untuk melakukan pemeriksaan kembali 3 bulan kemudian. Saat usia 4
bulan, anak mengalami kejang dan dilakukan CT-scan kepala dan EEG, hasil
diagnosa dokter adalah craniosinostosis dan epilepsi. Sampai sekarang anak
mengonsumsi obat epilepsi. Sejak usia 4 bulan menjalani Fisioterapi di Polmas,
lalu dirujuk ke Makassar saat usia anak 6 bulan dan difisioterapi hingga sekarang.
Sebelum terapi, anak belum bisa apa-apa dan hanya tidur terlentang saja.
Sekarang anak sudah bisa tengkurap dan kontrol kepala lumayan baik. Anak mau
makan dan minum susu dengan cukup baik. Untuk aktivitas buang air besar dan
buang air kecil lancar. Merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara, dimana anak
pertama sehat dan normal. Riwayat kehamilan ibu sering kontrol ke dokter
kandungan, tidak pernah keguguran, tidah pernah jatuh saat hamil.

Inspeksi
Statis 1) Kepala tampak kecil
2) Posisi kepala cenderung ekstensi dan rotasi dekstra
3) Kedua tangan selalu menggenggam
4) Elbow dan wrist cenderung fleksi
5) Kaki tampak menyilang dengan kedua knee lurus kaku
6) Telapak kaki plantar fleksi dan terputar ke dalam
Dinamis 1) Anak datang digendong olah ibunya
2) Sering terkaget-kaget
3) Kontrol kepala cuckup bagus saat didudukkan,
sedangkan kontrol badan/trunk belum cukup kuat
4) Mata tampak tidak fokus ketika diajak berkomunikasi
5) Gerakan kedua tangan dan kaki tampak kaku
Jika tidak
Pemeriksaan Fisik
Algoritma lain

 PFGD : aktif (tidak memungkinkan), pasif (ada tahanan saat menggerakkan


tubuh, namun sendi masih bisa full ROM), TIMT (tidak dapat dilakukan)
 Usia : Kalender (1,5 tahun), Tumbang (4 bulan/tengkurap dan kontrol kepala)
 Skala Asworth : nilai 3
 Lingkar kepala : 36 cm (hipochepalus)
 Refleks fisiologi : knee pes refleks (hiper), achilles pes refleks (hipo)
 Refleks primitif : Babinsky (-), Glabella (-), Oppenheim (-), Rooting (+),
sucking (+) , refleks menggenggam (+)
 Visual : Kadang bisa fokus pada satu objek dan mengikuti gerak objek
 Auditori : Tidak merespon suara
 Kognitif : Tidak dapat mengikuti instruksi
 Keseimbangan fungsional : (-)
 Radiologi : Craniosinostosis

Diagnosa ICF
Gangguan tumbuh kembang usia 4 bulan kelemahan tipe spastik quadriplegia ec.
craniosinostosis ec. epilepsi pada anak usia 1,5 tahun
I. Diagnosa Fisioterapi
Gangguan tumbuh kembang usia 4 bulan kelemahan tipe spastik
quadriplegia ec. craniosinostosis ec. epilepsi pada anak usia 1,5 tahun
J. Problematika Fisioterapi dan Bagan ICF
Diagnosis ICF
Gangguan tumbuh kembang usia 4 bulan kelemahan tipe spastik
quadriplegia ec. craniosinostosis ec. epilepsi pada anak usia 1,5 tahun

Impairment Activity Limitation Participation


1. Hipertonus Restriction
ekstremitas superior dan 1. Gangguan ADL
inferior bilateral; (sitting, crawling, 1. Tidak mampu
2. Spasme otot-otot standing dan walking) berinteraksi dengan
ekstensor trunk; orang lain

K. Tujuan Intervensi Fisioterapi


Jangka Pendek : Mengurangi tonus otot, mengurangi spasme,
meningkatkan keseimbangan.
Jangka Panjang : Melatih fungsional ADL mulai dari duduk,
merangkak, berdiri hingga berjalan.

L. Program Intervensi Fisioterapi


M. Intervensi Fisioterapi

1. Manual therapy
Tuj : Stimulasi taktil untuk mengurangi spastik pada
uan kedua lengan dan tungkai
Dos
is : 1x/hari
F : 8x repetisi
I : Positioning dan stimulasi taktil
T : 15 menit
T

2. Exercise therapy
Tuj : Mengurangi tonus otot dan mencegah limitasi
uan ROM
Dos
is : 1x/hari
F : 8x repetisi / 3xrepetisi
I : Promex
T : 15 menit
T

N. Evaluasi dan Edukasi


Pasien sakit ±3 pekan sehingga tidak menjalani program fisioterapi di
RSWS selama itu. Pasien kembali spastik seperti awal pertama terapi dan
beberapa kali kejang selama proses fisioterapi.
Orang tua diedukasi untuk melakukan latihan-latihan di rumah berupa
latihan tengkurap, berguling kiri kanan, serta meluruskan posisi tubuh anak
apabila bergerak abnormal.
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Pasien anak dengan inisial Q mengalami gangguan pertumbuhan pada


kepala. Ukuran kepala yang kecil dan tidak sesuai dengan ukuran normal standar
tumbuh kembang mengakibatkan adanya gangguan pada otak. Anak lahir saat
usia kandungan 10 bulan. Menurut dokter, anak keracunan air ketuban sehingga
harus dioperasi sesar. Berat badan anak saat lahir 3,2 kg dan panjangnya 50 cm.
Anak di inkubator selama 1 bulan. Dokter meminta untuk melakukan pemeriksaan
kembali 3 bulan kemudian. Saat usia 4 bulan, anak mengalami kejang dan
dilakukan CT-scan kepala dan EEG, hasil diagnosa dokter adalah craniosinostosis
dan epilepsi. Sampai sekarang anak mengonsumsi obat epilepsi. Sejak usia 4
bulan menjalani Fisioterapi di Polmas, lalu dirujuk ke Makassar saat usia anak 6
bulan dan difisioterapi hingga sekarang. Sebelum terapi, anak belum bisa apa-apa
dan hanya tidur terlentang saja. Sekarang anak sudah bisa tengkurap dan kontrol
kepala lumayan baik. Anak mau makan dan minum susu dengan cukup baik.
Untuk aktivitas buang air besar dan buang air kecil lancar. Namun, anak
mengalami keterlambatan tumbuh kembang. Bila ditinjau dari usia kalender,
sekarang anak berusia 1,5 tahun dengan kemampuan motorik belum bisa duduk.
Anak hanya bisa tengkurap dan mampu mengontrol posisi kepala. Cranisinostosis
dan epilepsi menyebabkan cerebral palsy pada anak dengan tipe spastik pada
seluruh anggota gerak (quadriplegi).

Saran

Memberikan pengobatan berupa rehabilitasi anak dapat menggunakan


beberapa teknik seperti neurodevelompmental treatment, passive stretching,
pemakaian orthoses, reactive balance training, dan physio ball exercise.
Kebutuhan tiap anak CP berbeda bergantung pada tahap milestone apa anak saat
ini dan deformitas yang terjadi. Dalam memberikan intervensi pada anak CP harus
selalu melibatkan aktivitas anak.

DAFTAR PUSTAKA

Aisen, Mindy, et al. 2011. Cerebral Palsy: Clinical Care and Neurological
Rehabilitation. Lancet Neural. 10: 844-52.
Alexander, M.A., Mattews, D.J. 2010. Pediatric Rehabilitation : Principle and
Practice 4th Edition. Nerw York : Demos Medical Publishing.
Aras, Djohan. 2013. Buku Ajar Proses dan Pengukuran Fisioterapi. Makassar:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Carney, P.R. and Geyer, J.D. 2010. Pediatric practice: Neurology: MCGraw-Hill.
Gunardi, H, et al. 2011. Kumpulan Tips Pediatri Edisi 2. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
Fitriadi, Yogi, Sareharto, Tun Paksi, Istiadi. 2014. Pengaruh Penyuluhan Tentang
Palsi Cerebral Terhadap Pengetahuan Masyarakat Umum. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Guyton, A.C., Hall, J.E. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Harsono, 2013. Buku Ajar Neurologi Klinis. Cetakan kelima. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Hayes, C, Hardian, Hardian. 2017. Pengaruh Brain Training Terhadap Tingkat
Inteligensia Pada Kelompok Usia Dewasa Muda. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Hockenberry, Marilyn. J., and Wilson, D. 2015. Wong Buku Ajar Keperawatan
Pediatrik Edisi 6. Jakarta: EGC.
Jan, MMS. 2006. Cerebral Palsy: Comprehensive Review and Updates. Ann
Saudi Med.
Khandaker, G. et al. 2015. Bangladesh Cerebral Palsy Register (BCPR): a pilot
study to develop a national cerebral palsy (CP) register with surveillance of
children for CP. BMC Neurology. 15 (173): 1-7.
Muliati. 2011. Gambaran Pemberian Terapi NDT pada Pasien CP berdasarkan
Level Kemampuan Fungsional. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar:
Program Studi S1 Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar.
Riskesdas. 2014. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kementrian
Kesehatan RI.
Rudolph, Abraham, et al. 2007. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 3. Jakarta:
EGC.
Sarayati, Safirah. 2016. Analisis Faktor Perilaku Seksual Pada Anak SD Di SDN
Dukuh Kupang II -489 Kecamatan Dukuh Pakis Kelurahan Kupang
Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Jakarta. EGC.
Sholiha, AA. 2016. Korelasi Antara Volume Perdarahan Intraserebral Dengan
Nilai Indeks Barthel pada Stroke Hemoragik. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Soetjiningsih. 2013. Tumbuh Kembang Anak Edisi 2. Jakarta: EGC.
Yudhiastuti, R.R.D.O. 2014. Penambahan Head Control Exercise Pada
Intervensi Trunk Balance Exercise Tidak Lebih Baik Dalam Meningkatkan
Kemampuan Fungsional Duduk Pada Anak Cerebral Palsy Tipe Spastik
Diplegi Usia 3-10 Tahun Di Klinik Happy Kids Therapy. Skripsi
dipublikasikan. Jakarta: Fakultas Fisioterapi Universitas Esa Unggul.
Yunivitasari, ED. 2014. Karakteristik Klinik Dan Histopatologi Tumor Otak Di
Dua Rumah Sakit Di Kota Bandar Lampung. Lampung: Universitas
Lampung.

Anda mungkin juga menyukai