Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

TETANUS

i
DAFTAR ISI

Judul.................................................................................................................. i
Daftar Isi............................................................................................................. ii
Bab 1 PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1. Latar belakang.............................................................................................1
1.2. Rumuan Masalah........................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan.........................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan .......................................................................................2
Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Definisi......................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi.................................................................................................3
2.3 Patofisiologi..................................................................................................4
2.4 Faktor Risiko................................................................................................7
2.5 Manifestasi Klinis..........................................................................................8
2.6 Diagnosis.....................................................................................................11
2.7 Tatalaksana..................................................................................................13
2.8 Komplikasi....................................................................................................14
2.9 Prognosis.....................................................................................................14
2.10 Pencegahan...............................................................................................15
BAB 3 PENUTUP..............................................................................................18
3.1 Kesimpulan...................................................................................................18
3.2 Saran............................................................................................................ 18
Daftar Pustaka..................................................................................................19

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tetanus merupakan suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
bakteri, yaitu Clostridium tetani (C.tetani) dan bisa menghasilkan toxin
neurologis. Tetanus yang memiliki mortality rate yang tinggi dan masih menjadi
isu kesehatan yang sangat signifikan seluruh dunia terutama pada negara
berkembang. Di negara maju, kasus tetanus memiliki insiden yang rendah. Di
Amerika Serikat, terdapat 43 kasus per tahun pada tahun 1998 hingga tahun
2020. Selain dari proses penyakit kekurangan pengalaman dalam mendiagnosa
tetanus berkontribusi pada mortality rate yang tinggi. Tetanus sering
menyebabkan kematian, dengan laporan kasus sebanyak 213,000 – 293,000
kematian seluruh dunia. Insiden kejadian tetanus adalah 1 per 10,000,000 di
Amerik Serikat (fan).Tetanus bacillus menghasilkan tetanospamin dan
tetanolysin, toksin yang menyebabkan inflamasi lokal di ganglion di terminal
nervus yang menimbulkan sindroma klinis. Kejang otot adalah ciri utama tetanus,
trismus mempengaruhi 95,7%, kekakuan leher mempengaruhi 89,3%, kejang
tubuh mempengaruhi 73%, dan disfagia mempengaruhi 38,9% pasien tetanus
(Fan, 2019).
Tetanus adalah infeksi yang dapat dicegah yang mengakibatkan masalah
yang berat di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Dipercayai
bahwa penanganan luka yang kurang baik dan kekurangan fasilitas dan
kesadaran terhadap imunisasi mengarah ke prevalen yang tinggi tetanus di
negara - negara berkembang. Insidens kejadian tetanus pada negara maju
adalah rendah karena program imunisasi yang sangat bagus. Antibiotik seperti
penicillin boleh digunakan dalam pengobatan tetanus untuk membunuh bakteri
tersebut. Muscle relaxant, juga bisa digunakan dalam perawatan tetanus (Imran,
2019).
Berdasarkan latar belakang tersebut, referat ini akan membahas mengenai
manifestasi klinis dan cara mendiagnosis tetanus serta mengetahui tatalaksana
pada kasus tetanus.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Bagaimanakah definisi dari penyakit tetanus?

1
2. Bagaimanakah epidemiologi, etiologi dan factor resiko penyakit
tetanus?
3. Bagaimanakah patofisiologi terjadinya tetanus?
4. Bagaimanakah manifestasi serta diagnosis dari tetanus?
5. Bagaimanakah tatalaksana pada tetanus?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami definisi dari penyakit tetanus.
2. Untuk memahami epidemiologi, etiologi dan faktor resiko penyakit
tetanus.
3. Untuk memahami patofisiologi terjadinya tetanus.
4. Untuk memahami manifestasi serta diagnosis dari tetanus.
5. Untuk memahami tatalaksana pada tetanus.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan referat ini diharapkan akan meningkatkan pengetahuan
serta pemahaman dokter muda mengenai penyakit tetanus dalam hal
definisi, penegakan diagnosis, serta manajemen dan tatalaksana yang
dapat dilakukan sehingga dapat berguna saat berpraktik di masyarakat
kelak.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Tetanus adalah acute-toxic-mediated disease yang disebabkan oleh
Clostridium tetani. Pada kondisi anaerob, seperti pada luka nekrotik yang kotor,
bakteri ini menghasilkan tetanospasmin yaitu suatu neurotoksin yang sangat
kuat. Toksin tetanus menghambat neurotransmitter inhibitor pada sistem saraf
pusat yang menyebabkan kekakuan otot dan kejang tetanus yang tipikal (WHO,
2010).
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh C. tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang
periodik dan berat. Tetanus dapat didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut
atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan
leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, serta terdapat riwayat
luka ataupun kecelakaan sebelumnya (Bleck TP, 2005).

Gambar 2.1 Clostridium tetani dengan drumstick appearance.


Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang merupakan
organisme obligat anaerob, berbentuk batang Gram positif. Dapat membentuk
spora yang ada di terminal sehingga menghasilkan penampilan stik drum pada
pewarnaan spora atau pewarnaan gram. Dapat ditemukan di tanah, debu,
garam, udara, atau feses. Sementara bentuk vegetatif bersama spora ada di
feses binatang, cavum oris mamalia, dan manusia. Spora (Brooks GF dkk.,
2013).
2.2. Epidemiologi
Insidens tetanus di dunia berkisar 1 juta kasus setiap tahun dengan
kematian yang bervariasi pada setiap negara. Di Indonesia, berdasarkan Survei

3
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), jumlah kasus tetanus neonatorum sebanyak
141 kasus pada tahun 2007, turun menjadi 114 kasus pada tahun 2011 dengan
case fatality rate (CFR) 60,5%. Profil Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan
kenaikan kasus tetanus neonatorum menjadi 119 kasus, namun jumlah pasien
meninggal turun menjadi 59 kasus dengan CFR 49,6% (Kemenkes, 2012; PDI,
2012).
Penelitian oleh Thwaites et al pada tahun 2006 mengemukakan bahwa
Case Fatality Rate (CFR) dari pasien tetanus berkisar antara 12-53% (Thwaites,
2006).Angka mortalitas dari data WHO pada tahun 1992 sebanyak 1.000.000
kasus di seluruh dunia, termasuk didalamnya 580.000 kematian akibat tetanus
neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara dan 152.000 di Afrika. Mortalitas dari
penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang, dengan penyebab
kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan akut. Angka
mortalitas menurun karena perbaikan sarana intensif (ICU dan ventilator),
membuktikanbahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli sangat
berguna dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus (CDC,2015).
2.3. Patofisiologi
Bentuk vegetatif C. tetani gampang mati akibat oksigen, akan tetapi spora
dapat bertahan di berbagai kondisi dan memungkinkan transmisi bakteri. Spora
dapat bertahan hidup dari perubahan pH atau suhu, bahkan dapat bertahan
selama autoklaf beberapa menit. Begitu spora masuk ke dalam jaringan, spora
akan berubah menjadi bentuk vegetatif. Tetanus neonatorum terjadi karena
perawatan tali pusar yang tidak baik. Penggunaan alat yang tidak steril Saat
memotong tali pusar menyebabkan tetanus pada neonatus. Sementara infeksi
pada anak-anak dan dewasa disebabkan oleh laserasi atau luka yang
terkontaminasi bakteri maupun sporanya. Otitis media, karies dentis juga penting
dalam infeksi tetanus pada anak-anak (Farrar J, 2014).
Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolysin dan
tetanospasmin. Tetanolysin merupakan hemolisin dan labil terhadap oksigen
(mudah diinaktivasi oleh oksigen), sedangkan tetanospasmin merupakan
neurotoxin yang tidak tahan panas. Tetanolysin merupakan suatu toksin yang
dikode oleh plasmid. Toksin ini mirip dengan Streptolysin O ( Streptococcus
pyogenes) dan hemolysin yang dihasilkan oleh Clostridium
perfringens dan Listeria monocytogenes. Kepentingan klinis dari toksin ini tidak

4
diharapkan karena sifatnya mudah dihambat oleh oksigen dan serum kolesterol
(Farrar J, 2014).
Tetanospasmin adalah toksin yang berperan dalam manifestasi klinis dari
tetanus. Begitu toksin ini dikeluarkan ke dalam saraf, toksin tidak dapat
dieliminasi. Penyebaran tetanospasmin dapat melalui hematogen atau limfogen
yang kemudian mencapai targetnya di ujung saraf motorik. Toxin ini memiliki 2
subunit dan 3 domain, subunit A (rantai ringan) dan subunit B (rantai
berat). Begitu toksin disekresikan, suatu protease endogen akan memecah
tetanospasmin mejadi 2 subunit. Reseptor untuk toksin ini adalah gangliosida
pada neuron motoris. Domain pengikat karbohidrat (Domain pengikat
karbohidrat) pada ujung carboxy-terminal subunit B berikatan dengan reseptor
asam sialat yang spesifik dan glikoprotein pada permukaan sel saraf
motorik. Kemudian toksin akan diinternalisasi oleh vesikel endosome. Asidifikasi
endosom akan menyebabkan perubahan pada ujung N-terminus subunit B,
kemudian terjadi insersi subunit B menjadi membran endosome, sehingga
memungkinkan subunit A keluar menembus membran endosome menju ke
sitosol. Toxin memulai retrograde transport axonal dari perifer kemudian menu
presinaps saraf, tempat toksin tersebut bekerja sebelumnya. Subunit A
merupaan suatuzinc-dependent metalloprotease yang memecah vesikel-terkait
membran protein-2, VAMP-2 (atau sinaptobrevin). Protein ini merupakan
komponen utama SNARE-kompleks yang dimasukkan dalam endositosis dan
pelepasan neurotransmitter. Toksin ini menghambat pelepasan neurotransmitter
penghambat, yaitu glisin dan GABA (gamma-amino butyric acid). Terkait aktifitas
motor neuron menjadi tidak terinhibisi dan memberikan kekakuan otot, spasme
dan paralisis spastik. Proses ini terjadi di semua sinaps, termasuk persimpangan
neuromuskuler (NMJ). Otot-otot yang memiliki jaras persarafan (jalur neuronal)
terpendek akan lebih banyak dikeluarkan, seperti otot-otot mastikasi. Tergantung
pada awal timbulnya trismus (kaku rahang) dan disfagia (Farrar J, 2014).
C. tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora
berkembang pada keadaan anaerobik (oksigen rendah). Toksin yang dihasilkan
dapat menyebar melalui pembuluh darah dan saluran limfatik (CDC, 2015).
Selain itu, toksin dapat diabsorpsi di tautan saraf otot yang kemudian bermigrasi
melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat (SSP). Toksin tetanus
merupakan metaloproteinase tergantung seng yang menarget protein
(sinaptobrevin/ vesicle-associated membrane protein – VAMP) untuk melepaskan

5
neurotransmitter dari ujung saraf melalui fusi vesikel sinaps dengan membran
plasma saraf. Gejala awal infeksi lokal tetanus ialah paralisis flaksid akibat
gangguan pelepasan asetilkolin di tautan saraf otot. Toksin tetanus dapat
menyebar secara retrograde di akson lower motor neuron (LMN) dan akhirnya
mencapai medula spinalis atau batang otak. Di tempat ini, toksin
ditransportasikan menyeberangi sinaps dan diambil oleh ujung saraf inhibitor
GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan/atau saraf glisinergik yang mengontrol
aktivitas LMN. Sesampainya toksin pada terminal saraf inhibitor, toksin tetanus
akan memecah VAMP, sehingga menghambat pelepasan GABA dan glisin. Hal
ini mengakibatkan denervasi fungsional dan parsial LMN menyebabkan
hiperaktivitas dan peningkatan aktivitas otot dalam bentuk rigiditas dan spasme
(Hessel B, 2013).
Periode inkubasi bervariasi 3 - 21 hari dengan rerata 8 hari. Makin jauh
lokasi luka dari SSP, periode inkubasi makin lama. Singkatnya periode inkubasi
berkaitan dengan peningkatan risiko kematian. Pada tetanus neonatorum, gejala
biasanya muncul mulai dari hari ke-4 hingga 14 setelah melahirkan dengan
rerata 7 hari. Toksin tetanus menyebabkan hiperaktivitas otot rangka dalam
bentuk rigiditas dan spasme. Rigiditas merupakan kontraksi otot involunter tonik,
sedangkan spasme merupakan kontraksi otot yang berlangsung lebih singkat,
dapat dirangsang oleh peregangan otot atau stimulasi sensorik sehingga disebut
sebagai refleks spasme.Tetanus dikelompokkan menjadi generalisata, neonatus,
lokal, dan sefalik. Sekitar 80% tetanus merupakan tipe generalisata(CDC, 2015).
Tetanus lokal jarang dengan presentasi kontraksi otot persisten di area
anatomi yang mengalami trauma. Tetanus tipe ini dapat menjadi awal dari
tetanus umum, tetapi lebih ringan, dan hanya sekitar 1% menjadi fatal. Tetanus
sefalik jarang terjadi, biasanya pada otitis media atau pasca-trauma kepala
dengan gejala terutama di daerah fasial. Tetanus generalisata tampak dengan
pola menyebar ke distal. Gejala awal bermula dari trismus diikuti spasme leher,
kesulitan menelan, dan rigiditas otot abdominal. Tungkai biasanya sedikit
terpengaruh; jika terdapat opistotonuspenuh, akan muncul fleksi lengan
danekstensi kaki seperti posisi dekortikasi. Gejala lain meliputi peningkatan suhu,
berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan takikardia episodik. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan dramatis adrenalin dan noradrenalin yang dapat
berujung pada nekrosis miokardial. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4
minggu. Toksin tetanus dapat menyerang saraf sensorik yang menyebabkan

6
perubahan sensasi seperti nyeri dan alodinia. Toksin tidak dapat menyeberangi
ganglia sensorik spinal, sehingga efek sensorik seharusnya terjadi di perifer.
Akan tetapi, pelepasan neurotransmitter dari saraf sensorik terjadi sentral di
medula spinalis atau batang otak. Paradoks ini merefleksikan bahwa perubahan
sensasi dapat terlihat di daerah kepala seperti daerah saraf trigeminus (Hessel B,
2013).
2.4. Faktor Resiko
Dalam Centers for Disease Control and Prevention (CDC), disebutkan
bahwa hampir seluruh kasus tetanus di Amerika serikat terjadi pada orang yang
tidak pernah mendapatkan vaksinasi tetanus atau tidak melakukan vaksin
booster pada usia 10 tahun. Selain itu, sebanyak 73% kasus tetanus di amerika
serikat terjadi setelah pasien mengalami cedera akut, termasuk luka tusuk (50%),
laserasi, (33%), dan abrasi (9%).
Orang dengan usia lanjut sangat beresiko terhadap tetanus. Pada tahun
2000 hingga 2014, di Perancis, 70 pasien dengan tetanus (rata-rata usia 80
tahun) masuk ke intensive care unit (ICU) dan sepuluh (14%) dari pasien
meninggal. Insiden yang lebih tinggi dilaporkan di Jepang, dimana survey
database nasional melaporkan 499 kasus tetanus pada tahun 2010 hingga
2016, yang kemungkinan disebabkan karena imunitas rendah pada individu
dengan usia lanjut (>40 tahun) (Nakajima, et al., 2018). Hal ini juga dapat
disebabkan karena penurunan titer antibodi dari vaksin seiring berjalannya
waktu. Penyebab lain kemungkinan karena mereka dilahirkan sebelum program
vaksinasi diperkenalkan. Sebuah survei dari enam negara Eropa pada tahun
2015 menunjukkan bahwa sekitar 25% orang berusia 65 tahun atau lebih
memiliki konsentrasi antibodi yang subprotektif (Yen, et al, 2019). Kemudian
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan bahwa
kebanyakan kasus yang merupakan pasien dewasa. Sejak tahun 2009 sampai
dengan 2017, lebih dari 60% kasus yang dulaporkan merupakan pasien yang
berusia 20 sampai 64 tahun. Seperempat dari kasus yang dilaporkan merupakan
pasien dengan usia lebih dari 65 tahun dan risiko kematian karena tetanus paling
tinggi pada pasien dengan usia 65 tahun atau lebih.
Pengguna narkoba suntik diidentifikasi sebagai kelompok berisiko tinggi
lebih dari 100 tahun yang lalu. Injeksi subkutan (dikenal sebagai skin popping)
atau injeksi intramuskular obat jalanan merupakan predisposisi infeksi anaerob
dan dianggap sangat berisiko tinggi. Selain itu, diabetes juga dikaitkan dengan

7
risiko tetanus. Antara 1995 dan 1997, 2% dari kasus tetanus di AS adalah pada
pasien dengan diabetes, dan 13% pada tahun 2009 sampai 2015. Meskipun
alasan peningkatan ini tidak jelas, tren ini dapat dikaitkan dengan praktik injeksi,
dan konsentrasi serum antibodi antitetanus yang lebih rendah juga telah
ditemukan pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan orang sehat
(Yen, et al. 2019)
Adanya konflik atau bencana alam juga dapat meningkatkan insiden
tetanus oleh karena gangguan program vaksinasi atau terjadi peningkatan
cedera yang rawan tetanus. Hal tersebut bahkan dapat terjadi di negara-negara
dengan infrastruktur kesehatan publik yang berfungsi baik. Di Aceh, Indonesia,
106 kasus tetanus (kebanyakan orang dewasa) dilaporkan dalam satu bulan
setelah tsunami pada 26 Desember 2004. Demikian pula, pada bulan setelah
gempa Kashmir pada 2005 dan gempa Yogyakarta pada 2006, masing-masing
139 dan 71 kasus tetanus terjadi (Yen, et al., 2019).
Pada tetanus neonatus, kelahiran dirumah dengan individu yang tidak
terlatih, proses kelahiran yang tidak steril merupakan faktor risiko. Selain itu,
rendahnya tingkat ekonomi dan edukasi, daerah pedesaan, usia ibu yang masih
muda, adanya batasan akses ke layanan kesehatan untuk ibu hamil
dihubungkan dengan praktik yang tidak higienis serta rendahnya tingkat asuhan
ante natal dan vaksinasi toksoid tetanus yang tidak adekuat, semua itu dianggap
sebagai faktor risiko terjadinya tetanus neonatal (Zhou, et al., 2015).
2.5 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala tetanus dihasilkan dari aksi neurotoxin dalam sistem
saraf pusat. Disinhibisi saraf motorik menyebabkan peningkatan tonus otot dan
gejala kekakuan serta nyeri otot. Peningkatan disinhibisi menimbulkan spasme
otot rangka yang merupakan ciri khas tetanus (Thwaites dan Yen, 2014). Tanda
dan gejala pasien saat datang ke rumah sakit pada kasus tetanus non-neonatal
di tunjukkan pada tabel 1 (Yen dan Thwaites, 2019).
Tabel 1. Tanda dan gejala pada pasien saat datang ke rumah sakit pada kasus tetanus
non-neonatal
Trismus (93–98%)
Ketegangan otot umum (94–95%)
Kekakuan otot (96%)
Disfagia (83%)
Dispneu (7%)
Spasme otot (46–80%)
Suhu tubuh >38·4°C (76%)
Nadi ≥120 kali/menit (34%)

8
Tetanus secara klasik dibagi menjadi empat tipe klinis: umum
(generalized), terlokalisasi (localized), sefalik (cephalic), dan neonatal. Klasifikasi
ini adalah perbedaan diagnostik dan prognostik yang penting namun lebih
mencerminkan faktor inang dan tempat inokulasi daripada perbedaan dalam aksi
toksin. Istilah yang menggambarkan tahap awal tetanus, yaitu periode inkubasi
(waktu dari inokulasi ke gejala pertama) dan periode onset (waktu dari gejala
pertama hingga kejang umum pertama). Semakin pendek periode-periode
tersebut terjadi, semakin buruk prognosisnya. Terdapat berbagai skala penilaian
derajat keparahan tetanus (Hodowanec, 2015). Periode asimtomatik setelah
inokulasi, yang disebut periode inkubasi umumnya terjadi dalam 7-10 hari. Hal ini
diikuti dengan periode onset, kurang lebih dalam 24-72 jam, dimana terjadi
peningkatan gejala yang akhirnya berujung pada spasme otot. Gejala awal yang
umum muncul antara lain, trismus (lockjaw), kekakuan otot, nyeri punggung,
nyeri otot general (Thwaites dan Yen, 2014).
a. Generalized Tetanus
Tetanus umum atau generalized adalah bentuk yang paling umum
dikenali dan sering dimulai dengan risus sardonicus atau sardonic smile
(peningkatan tonus pada orbicularis oris) dan trismus ("lockjaw"; kekakuan otot
masseter). Kekakuan perut juga bisa terjadi. Kejang umum menyerupai postur
decorticate dan terdiri dari postur opistotonik dengan fleksi lengan dan ekstensi
kaki. Pasien tidak kehilangan kesadaran dan mengalami nyeri hebat selama
kejang. Kejang seringkali spontan atau dipicu oleh rangsangan seperti suara
keras, cahaya terang, atau manipulasi fisik.
Selama kejang, jalan napas bagian atas dapat terhambat, dan kontraksi
otot umum juga dapat terjadi pada otot diafragma. Salah satu dari hal tersebut
dapat mengganggu respirasi, dan apabila berkepanjangan dapat berujung
kematian yang disebabkan karena asfiksia. Spasme laring termasuk pada pita
suara dapat terjadi pada fase awal penyakit dan dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi jalan napas. Aspirasi juga merupakan masalah khusus pada tetanus,
yang disebabkan karena sekresi berlebih dan ketidakmampuan untuk menelan
dikarenakan rigiditas otot faringeal. Kedua hal ini menjelaskan mengapa hipoksia
merupakan gejala umum yang muncul pada pasien tetanus sedang atau berat
Namun, di era modern perawatan intensif, masalah pernapasan sudah lebih
mudah ditangani. Disfungsi otonom yang biasanya terjadi beberapa hari setelah

9
gejala, telah dianggap sebagai penyebab utama kematian (Hodowanec, 2015;
Thwaites dan Yen, 2014).

Gambar 2.2 Trismus pada tetanus


Penyakit ini dapat berlangsung selama sekitar 2 minggu, mencerminkan
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transportasi toksin, yang sudah
berada di intraaksonal ketika pengobatan antitoksin diberikan. Pemulihan
membutuhkan waktu satu bulan dan sembuh kecuali jika terjadi komplikasi.
Tetanus berulang dapat terjadi jika pasien tidak menerima imunisasi aktif karena
jumlah toksin yang dihasilkan tidak memadai untuk menginduksi imunitas.

Gambar 2.3 Opisthotonus


b. Localized Tetanus
Tetanus terlokalisasi atau localized melibatkan kekakuan otot yang terkait
dengan tempat inokulasi spora. Gejala mungkin ringan dan persisten dan sering
sembuh secara spontan. Disfungsi lower motor neuron (kelemahan dan
penurunan tonus otot) sering terjadi pada otot yang terlibat. Bentuk kronis dari
penyakit ini mencerminkan kekebalan parsial terhadap tetanospasmin. Tetanus
terlokalisasi umumnya merupakan awal dari tetanus umum, yang terjadi ketika
cukup toksin mendapatkan akses ke sistem saraf pusat (Hodowanec, 2015).
c. Cephalic Tetanus

10
Kemudian yang ketiga, yaitu cephalic tetanus, merupakan bentuk khusus
penyakit lokal yang mempengaruhi otot-otot saraf kranial, hampir selalu setelah
luka kepala yang nyata. Meskipun laporan sebelumnya mengaitkan tetanus
cephalic dengan prognosis yang buruk, penelitian yang lebih baru menunjukkan
banyak kasus yang lebih ringan. Lesi pada lower motor neuron sering
menyebabkan kelemahan saraf wajah. Pada kasus cephalic tetanus, adanya
spasme pada otot laryngeal atau faringeal dapat mengarahkan pada aspirasi dan
obstruksi jalan nafas mendadak sehingga memerlukan observasi yang ketat.
d. Neonatal Tetanus
Tetanus neonatal terjadi setelah infeksi umbilikal, paling sering
disebabkan oleh kegagalan teknik aseptik jika ibu tidak diimunisasi secara
adekuat. Praktik budaya juga dapat berkontribusi. Ibu biasanya mengeluhkan
kesulitan dalam menyusui, dan kondisi yang terlihat pada neonates biasanya
berupa kelemahan umum, sedangkan kekakuan dan kejang terjadi kemudian.
Tingkat mortalitas melebihi 90%, dan keterlambatan perkembangan umum terjadi
di antara mereka yang selamat. Faktor prognostik yang buruk termasuk usia
lebih muda dari 10 hari, gejala kurang dari 5 hari sebelum ke rumah sakit, dan
adanya risus sardonicus atau demam. Apnea adalah penyebab kematian utama
di antara pasien tetanus neonatal pada minggu pertama kehidupan, dan sepsis
pada minggu kedua. Infeksi bakteri pada pusar menyebabkan sepsis pada
hampir separuh bayi dengan tetanus neonatal, yang berkontribusi terhadap
mortalitas meskipun telah diobati (Hodowanec, 2015; Thwaites dan Thwaites,
2020).
2.6 Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan secara klinis. Tidak dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pertama dapat dilakukan anamnesis
kepada pasien atau keluarga pasien untuk mengetahui riwayat imunisasi, trauma
dan mencari apakah ada faktor risiko dari pasien. Kemudian juga dapat
ditanyakan mengenai gejala yang dialami pasien seperti kesulitan untuk
membuka mulut, berbicara, menelan, dan gejala lain yang mengarahkan pada
diagnosis tetanus.
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan, yaitu tes spatula. Tes spatula
merupakan sebuah tes diagnostic sederhana, yaitu dengan menempelkan ujung
spatula atau tongue blade ke daerah orofaring. Pada kondisi normal hal ini akan
menimbulkan gag reflex, dan pasien akan berusaha mengeluarkan spatula (hasil

11
tes negatif). Sedangkan pada tetanus akan terjadi reflex spasme pada masseter
dan pasien menggigit spatula (hasil positif). Pada sebuah penelitian 400 pasien
dengan suspek tetanus di tes dengan tes spatula, hasil positif didapatkan pada
94% pasien dan tidak didapatkan pada pasien tanpa tetanus. Hal ini
menunjukkan bahwa pemeriksaan ini memberikan spesifitas dan sensitivitas
yang tinggi untuk mendiagnosis tetanus (Apte, et al., 1995).
Kultur C. tetani dari luka merupakan pemeriksaan yang bersifat suportif,
namun tidak untuk diagnostik karena bakteri tersebut sulit untuk di kultur dan
pada banyak kasus luka yang merupakan lokasi awal masuknya bakteri
seringkali tidak ditemukan (Thwaites dan Yen, 2014). Selain itu meski dilakukan
secara hati-hati, kultur anaerobic seringkali memberikan hasil negative. Selain
itu, hasil yang positif tidak selalu mengindikasikan bahwa organisme
mengandung plasmid yang memproduksi toxin dan hasil positif juga bisa didapat
tanpa adanya gejala klinis dari pasien dengan imunitas yang adekuat
(Hodowanec, 2015).
Dalam guideline WHO (2010), disebutkan bahwa definisi tetanus pada
orang dewasa adalah dengan adanya salah satu dari tanda dan gejala, yaitu
trismus (ketidakmampuan pasien untuk membuka mulut) atau risus sardonicus
(spasme pada otot wajah) atau kontraksi otot yang disertai nyeri. Diagnosis
tersebut tentunya perlu disertai dengan riwayat trauma atau luka, meskipun ada
juga pasien yang tidak dapat mengingat riwayat trauma maupun luka spesifik.
Sedangkan UNICEF, UNFPA, dan WHO (2012), menyebutkan bahwa
tetanus nonatal yang terkonfirmasi didefinisikan sebagai bayi baru lahir dengan
tangisan dan kemempuan minum yang normal pada 2 hari pertama kehidupan,
dan onset penyakit timbul antara hari ke 3 – 28 kehidupan, dan terdapat
ketidakmampuan untuk menyusu yang diikuti kaku dan/atau kejang.
Pada pasien dengan trismus, diagnosis banding termasuk keadaan
patologi yang local pada faring, oral, atau mandibular. Sedangkan pada pasien
dengan spasme otot umum termasuk keracunan strychnine dan reaksi distonik
dari obat-obatan seperti phenothiazine dan obat anti-dopaminergik seperti
metoclopramide yang memberi manifestasi spasme abdomen episodik (Yen dan
Thwaites, 2019). Tetanus cephalic dengan gejala klinis dapat di diagnosis
banding dengan infeksi orofaringeal. Sedangkan tetanus pada neonatus
dihubungkan dengan hipokalsema atau meningoensefalitis (Thwaites dan T
hwaites, 2020)

12
2.7 Tatalaksana
Secara umum, pasien tetanus harus dipisahkan dari pasien lain dan
terlindung dari stimulasi taktil atau auditorik. Semua luka harus dibersihkan dan
dikasih debridemen sesuai indikasi. Jaringan nekrotik dan benda asing harus
diangkat. Tetanus nya bisa diobati dengan Imunoterapi. Jika tersedia diberikan
TIG manusia 500 unit diinjeksikan intramuskular sesegera mungkin. Antitoksin
diberikan untuk menginaktivasi toksin tetanus bebas, sedangkan toksin yang
sudah berada di saraf terminal tidak dapat ditangani dengan antitoksin. Oleh
karena itu, gejala otot dapat tetap berkembang karena toksin tetanus berjalan
melalui akson dan trans-sinaps serta memecah VAMP. Seterusnya, dapat
ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 cc sesuai usia dengan injeksi
intramuskuler di tempat yang beda. Penyakit tetanus tidak menginduksikan
imunitas, jadi pasien tanpa riwayat vaksinasi TT primer harus menerima dosis
kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan kemudian
(WHO,2010).
Selain itu, terapi antibiotik juga bisa diberikan kepada pasien dengan
tetanus. Antaranya adalah Metronidazole 500mg setiap 6 jam secara intravena
atau per oral, Penicillin G dengan dosis 100.00- 200.00 IU/kg/hari secara
intravena, diberikan dalam 2-4 dosis yang terbagi. Pasien alergi golongan
penisilin dapat diberi antibiotik yang lain seperti tetrasiklin, makrolida, klindamisin,
sefalosporin dan kloramfenikol juga dikatakan efektif pada tetanus (WHO,2010).
Terapi yang lain juga diberikan pada tetanus, misalnya obat
benzodiazepin untuk mengurangi spasme otot. Orang dewasa diberikan
diazepam intravena dimulai dari 5 mg atau lorazepam dimulai dari 2 mg, titrasi
untuk mencapai kontrol spasme otot tanpa sedasi dan hipoventilasi yang
berlebihan. Dosis anak dimulai dari 0,1-0,2 mg/kg setiap 2-6 jam. Selain itu,
magnesium sulfat dapat digunakan tunggal atau dengan kombinasi
benzodiazepin untuk mengontrol spasme otot dan disfungsi autonom. Dosisnya
adalah 5 gr atau 75mg/kg intavena loading dose, kemudian 2-3 gram per jam
sampai target spasm control tercapai. Untuk menghindari overdose, refleks
patela dipantau sebagai areflexia. Jika areflexia berkembang, dosis harus
diturunkan (WHO,2010).
Kontrol disfungsi otonom dengan pemberian magnesium sulfat atau
morfin. - blocker seperti propanolol yang digunakan sebelumnya bisa
menyebabkan hipotensi dan kematian mendadak. Hanya esmalol yang

13
direkomendasikan saat ini. Obat yang digunakan untuk mengontrol spasme dan
memberikan efek sedasi dapat menyebabkan depresi saluran napas. Ventilasi
mekanik diberikan sesegera mungkin. Trakeostomi lebih dipilih dibandingkan
intubasi endotrakeal yang dapat memprovokasi spasme dan memperburuk
napas. Cairan dan nutrisi yang adekuat harus diberikan karena spasme tetanus
mengakibatkan tuntutan metabolisme yang tinggi dan status katabolik. Dukungan
nutrisi akan meningkatkan peluang bertahan hidup (WHO,2010).
2.8 Komplikasi
Antara komplikasi yang bisa terjadi pada tetanus adalah laringospasme,
spasme pita suara atau otot-otot pernapasan yang menyebabkan gangguan
pernapasan. Selain itu, fraktur tulang belakang atau tulang panjang dapat terjadi
akibat kontraksi dan spasme yang berkelanjutan. Hiperaktivitas dari sistem saraf
otonom dapat menyebabkan hipertensi dan atau irama jantung yang tidak
normal. Seterusnya, infeksi nosokomial sering terjadi karena rawat inap yang
berkepanjangan serta infeksi sekunder dapat berupa sepsis dari kateter,
pneumonia HAP dan ulkus decubitus. Emboli paru khususnya masalah pada
pengguna narkoba dan pasien lanjut usia. Selanjutnya, pneumonia aspirasi
adalah komplikasi umum fase akhir tetanus ditemukan pada 50%-70% kasus
autopsi. Dalam beberapa tahun terakhir ini, tetanus menjadi fatal pada sekitar
11% dari kasus yang dilaporkan. Kasus fatal yang paling umumnya adalah pada
lansia 60 tahun ke atas dan pada orang yang tidak divaksinasi. Pada sekitar 20%
kematian tetanus, tidak ada patologi yang jelas dan kematian dikaitkan dengan
efek langsusng toksin tetanus (CDC,2019).
2.9 Prognosis
Prognosis tetanus tergantung dari periode inkubasi yaitu lama dari mulai
inokulasi spora ke gejala pertama yang muncul ke spasme tetani yang pertama
kali muncul. Sekiranya periode inkubasi pendek maka prognosis lebih buruk dan
tetanus yang derajat lebih berat. Periode inkubasi yang kurang dari 7 hari
mempunyai manifestasi klnis yang lebih berat dan kadar mortalitas yang lebih
tinggi . Faktor resiko yang meningkatkan mortalitas antara lainnya adalah early
onset convulsions, keterlambatan mendapatkan pengobatan, lesi terkontaminasi
di wajah dan kepala dan tetanus neonatus . Pada individu diatas usia 40 tahun
lebih sering terkena tetanus karena menurunnya imunitas terhadap tetanus.
Faktor lain yang menyebabkan prognosis buruk seperti mortalitas tinggi lainnya

14
adalah kondisi hidup dan layanan kesehatan primer yang kurang (Muteya et al.,
2013).
Prognosis adalah lebih bagus sekiranya individu diberikan vaksinasi
tetanus, terutama individu dewasa yang tidak diketahui riwayat imunisasinya dan
pasien pasca-trauma (Wang et al., 2020).
2.10 Pencegahan
Pencegahan tetanus adalah dengan imunisasi dengan toksoid tetanus
pada jadwal yang sudah ditetapkan. Vaksin tetanus dibuat dengan toksoid
tetanus yang sudah disterilkan dan diobati dengan formaldehyde dan kemudian
di absorbs ke dalam adjuvant. Adjuvant yang digunakan adalah aluminium
phosphate atau aluminium hydroxide (England, 2013).
Imunisasi tetanus pada anak-anak dan dewasa
Imunisasi tetanus dibagi kepada dua, yaitu imunisasi primer dan
imunisasi sekunder. Imunisasi primer terdiri dari 3 dosis sebanyak 40IU toksoid
tetanus. Imunisasi primer diberikan pada usia 2, 3 dan 4 bulan. Dosis diberikan
dengan interval 1 bulan. Sekiranya imunisasi diinterupsi, maka imunisasi di
teruskan dan tidak diulang dari awal. Imunisasi primer untuk individu berumur
diatas 10 tahun sebanyak 3 dosis dengan konsentrasi 20IU. Interval antar 1
dosis dengan dosis yang lain adalah selama 1 bulan. Jenis vaksin yang
direkomendasikan untuk individu diatas 10 tahun adalah tipe Td. Mirip dengan
imunisasi pada individu dibawah 10 tahun, sekiranya terjadi interupsi dari
imunisasi maka vaksinasinya diteruskan dan tidak diulang (England, 2013).
Imunisasi sekunder juga disebut dengan booster. Sekiranya jadwal dari
imunisasi dasar diikuti, maka booster pertama diberikan pada usia 5 tahun atau
setelah 3 tahun dari imunisasi primer dosis yang ke-3. Tetapi sekiranya imunisasi
nya tidak mengikuti jadwal maka booster pertama diberikan minimal setelah 1
tahun dari dosis ke 3 imunisasi primer. Untuk pasien yang diatas usia 10 tahun,
booster pertama diberikan minimal setelah 5 tahun dari imunisasi primer dosis
ke-3. Booster ke-2 diberikan 10 tahun setelah booster pertama. Sekiranya
imunisasi tidak mengikuti jadwal imunisasi dasar, maka booster ke-2 diberikan
minimal 5 tahun setelah booster yang pertama (England, 2013).

15
Gambar 2.4 Jadwal Imunisasi Menurut Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 2017

Six Cleans of Delivery


Dikarenakan infeksi tetanus terutama pada neonatus boleh berlaku
sewaktu persalinan, maka komponen prevensi dari terkena infeksi tetanus adalah
Six Cleans of Delivery yang di advokasikan oleh WHO. Komponen Six Cleans of
Delivery adalah (Thwaites and Loan, 2015):
1. Clean hands
2. Clean perineum
3. Clean delivery surface
4. Clean cord cutting
5. Clean cord tying
6. Clean cord care
Strategi ini dilaporkan dapat menurunkan kadar infeksi neonatus dan
kada kematian neonatus yang diakibatkan oleh infeksi tetanus (Thwaites and
Loan, 2015).
Manajemen Luka
Manajemen luka adalah penting untuk mencegah dari terkena infeksi
tetanus. Menurut CDC, semua pasien yang tidak mempunyai riwayat imunisasi
tetanus atau unknown history of tetanus vaccine diberikan vaksin Td. Tabel
dibawah membagi tipe luka dan pemberian vaksin booster tetanus dan difteri
(Td) atau tetanus immune globulin (TIG) (Nicks et al., 2010):
Tabel 2.2 Tipe luka dan tipe vaksin atau immune globulin yang diberikan menurut
tipe luka dan riwayat vaksinasi (Nicks et al., 2010).

16
Riwayat Luka minor, bersih Luka lain
vaksinasi Td TIG Td TIG
Tidak
diketahui/ < 3 Ya Tidak Ya Ya
dosis
Tidak Tidak (Ya
(Ya sekiranya sekiranya
dosis ke-3 dosis ke-3
≥ 3 dosis Tidak Tidak
lebih dari 10 lebih dari 5
tahun yang tahun yang
lalu) lalu)

17
BAB 3
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Tetanus adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi toksin yang
diproduksi oleh bakteri Clostridium tetani. Faktor resiko tetanus adalah individu
yang tidak mendapat imunisasi dari vaksinasi. Individu lain adalah orang usia
lanjut diakibatkan imunitas yang rendah, orang yang menggunakan narkoba
suntik karena infeksi kuman anaerob, bencana alam atau konflik civil dan pada
neonatus yang dilahirkan di rumah oleh individu yang tidak terlatih dan pada
lingkungan yang tidak bersih. Manifestasi klinis dari tetanus non-neonatal
diakibatkan oleh neurotoxin yang mengganggu sistem saraf pusat dan
menyebabkan gejala khas tetanus yaitu spasme otot rangka. Tetanus dibagi
menjadi empat tipe klinis yaitu generalized tetanus, localized tetanus, cephalic
tetanus, dan neonatal tetanus. Diagnosis tetanus dilakukan secara klinis dan
tidak ada pemeriksaan penunjang yang khas untuk penegakkan diagnosis.
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah tes spatula positif. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah kultur C. tetani. Tetapi bakteri tersebut
sukar untuk ditemukan dan seringkali tidak ditemukan. Pencegahan tetanus
adalah dengan imunisasi vaksin menggunakan vaksin tetanus toxoid yang
dijadwalkan sebagai sebuah imunisasi dasar untuk anak-anak pada usia 2,3, dan
4 bulan diikuti dengan booster pada usia 18 bulan, 5, 10 dan 18 tahun.
Pencegahan neonatal tetanus pula adalah dengan menerapkan Six Cleans of
Delivery yang direkomendasikan oleh WHO. Prognosis dari tetanus sendiri
tergantung lama timbulnya tanda dan gejala dari mulai inkubasi. Sekiranya
periode inkubasi kurang dari 7 hari maka severitas penyakit adalah lebih berat
dan mempunyai mortalitas yang tinggi.

3.2 Saran
Kami menyarankan perlu adanya pengetahuan, skil dan keterampilan
klinis yang memadai untuk dokter umum dalam menangani kasus tetanus yang
akan ditemui kelak.

18
DAFTAR PUSTAKA

Apte NM, Karnad DR. Short report: the spatula test: a simple bedside test to
diagnose tetanus. Am J Trop Med Hyg. 1995 Oct. 53(4):386-7. [Medline].
Brooks GF, Caroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzener TA. 2013. Jawetz, Edisi
International Microbiology Medis Melnick & Adelberg, 26ed. Perusahaan
McGraw-Hill, New York.
Center for Disease Control and Prevention. Tetanus. Epidemiology and
prevention of vaccine-preventable disease 13th ed. [Internet]. 2015 [cited
2015 May 29]; p. 341-51. Available from:
http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
England, p. H. 2013. Immunisation against infectious disease. Chapter 30
tetanus.
Fan, Z., Zhao, Y., Wang, S., Zhang, F. and Zhuang, C., 2019. Clinical features
and outcomes of tetanus: a retrospective study. Infection and drug
resistance, 12, p.1289.
Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lallo D, White NJ.2014. Penyakit
Tropis, Manson, Edisi dua puluh tiga. Elsevier, Philadhelpia.
Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, treatment, and the possibility of using
botulinum toxin against tetanus-induced rigidity and spasms. Toxins
(Basel). 2013; 5(1): 73-83.
Hodowanec A. & Bleck P. T. 2015. Tetanus (Clostrisium tetani). Mandell,
Douglas, and Bennett's Principles and Practice of Infectious Diseases (8th
Edition) Volume 2, Pages 2757-2762.e2
Muteya, m. M., a kabey, a. K., lubanga, t. M., tshamba, h. M. & a nkoy, a. M. T.
2013. Prognosis of tetanus patients in the intensive care unit of provincial
hospital jason sendwe, lubumbashi, dr congo. Pan african medical
journal, 14.
Nakajima M, Aso S, Matsui H, Fushimi K, Yasunaga H. 2018. Clinical features
and outcomes of tetanus: analysis using a national inpatient database in
Japan. J Crit Care; 44: 388–91.
Pusat Data dan Informasi. Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (MNTE) di
Indonesia. Bul Jendela Data dan Informasi Kesehatan Eliminasi Tetanus
Maternal & Neonatal. 2012; 1: 1-22.
Qadir, M.I. and Komal, T., 2019. Public Awareness about Tetanus.

19
Thwaites, c. & loan, h. 2015. Eradication of tetanus. British medical bulletin, 116,
69.
Thwaites, G.E. & Thwaites, C.L. 2020. Tetanus. Hunter's Tropical Medicine and
Emerging Infectious Diseases (10th Edition). Pages 548-550
Thwaites, C. L., & Yen, L. M. 2014. Tetanus. Manson’s Tropical Infectious
Diseases, 399–403.e1. doi:10.1016/b978-0-7020-5101-2.00033-9 
UNICEF, UNFPA, WHO. 2012. Achieving and Sustaining Maternal and Neonatal
Tetanus Elimination. Strategic Plan ;2012–15. http://www
.who.int/immunization/diseases/MNTEStrategicPlan_E.pdf.
Wang, x., yu, r., shang, x., li, j., gu, l., rao, r., han, x., chen, m., yang, j. & wu, j.
2020. Multicenter study of tetanus patients in fujian province of china: a
retrospective review of 95 cases. Biomed research international, 2020.
WHO. Current Recommendation for Treatment of Tetanus during Humanitarian
Emergencies. WHO Teach Note [internet]. 2010 [cities 2015 May].
Available from http://www.who.int/diseasecontrol_emergencies/who_
hse_gar_dce_en2010.pdf
Yen, L. M., & Thwaites, C. L. 2019. Tetanus. The Lancet. doi:10.1016/s0140-
6736(18)33131-3
Zhou ZM et al. 2015. Risk factors of neonatal tentanus in Wenzhou, China: a
case-control study. Western Pacific Surveillance and Response Journal,
2015, 6(3). doi:10.5365/wpsar.6.1.020

20

Anda mungkin juga menyukai