Anda di halaman 1dari 3

Lahirnya hubungan hukum dokter dan pasien secara perdata disebabkan karena

adanya perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban. Pada umumnya

perikatan yang timbul antara dokter ddan pasien lebih banyak berdasarkan perjanjian

daripada berdasarkan undang-undang. Pada perikatan itu, terdapat kata sepakat dari

para pihak untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dalam bidang jasa peyananan

kesehatan. Perikatan antara dokter dan pasien berbentuk ikhitar atau upaya

(Inspanningverbintenis), jarang sekali berbentuk perikatan hasil

(Resultaatsverbintenis). Hubungan dokter-pasien yang baik hanya dapat tercapai bila

masing-masing pihak benar-benar menyadari hak dan kewajibannya, serta

memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hubungan antara pasien dan dokter tidak terlepas dari rasa tanggung jawab yang

didasarkan kewajiban profesional, dengan demikian menimbulkan tanggung jawab

hukum. Tanggung jawab hukum berarti apabila dokter melakukan kesalahan atau

kelalaian dalam menjalankan profesinya, ia dapat menuntut haknya terlebih dahulu

untuk diperiksa sesuai standar profesi medik. Tanggung jawab perdata dapat

didasarkan pada dua hal yaitu, tanggungjawab berdasarkan wanprestasi dan

perbuatan melawan hukum.

Dalam pelayanan telemedicine antar fasilitas pelayanan kesehatan di sini melibatkan

hubungan tidak hanya antara dokter dengan pasien, tetapi juga antara dokter dengan

dokter lainnya (misalnya dokter spesialis atau sub-spesialis). Seorang dokter dalam

menjalankan pelayanan telemedicine antar fasilitas pelayanan kesehatan dapat

dikategorikan wanprestasi, jika melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib

dilakukan, melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi


terlambat, melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak

sempurna, dan melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya

dilakukan. Wanprestasi dalam pelayanan telemedicine antar fasilitas pelayanan

kesehatan bisa dilakukan oleh pihak pemberi konsultasi maupun peminta konsultasi.

Sebagai contoh kasus wanprestasi yang dilakukan oleh pemberi konsultasi dalam

pelayanan telemedicine antar fasilitas pelayanan kesehatan dijelaskan oleh seorang

narasumber yang diwawancarai penulis, Konsultan Hukum (Spesialisasi Teknologi

Informasi), menyatakan bahwa :

“Sebagai ilustrasi kasus yang dapat saya berikan, menyebabkan dokter pemberi
konsultasi pada pelayanan telemedicine dikenakan tuntutan wanprestasi jika
dokter tersebut telah mencantumkan jadwal praktiknya pada jam sekian, namun
pada kenyataanya dokter tersebut tidak hadir atau memberikan respon pada jam
praktik tersebut dan justru baru membalas setelah sekian lama. Ilustrasi kasus ini
termasuk dalam wanprestasi karena terlambat melakukan apa yang dijanjikan.”

Selain itu, dari hasil pengumpulan data kuesioner terbuka oleh penulis di salah satu

forum diskusi profesional kesehatan Indonesia, beberapa dokter sebagai peminta

konsultasi menyatakan bahwa dalam pelayanan telemedicine antar fasilitas

pelayanan kesehatan terkadang tidak mendapatkan respon dari pemberi konsultasi

secara cepat. Padahal dengan adanya telemedicine antar fasilitas pelayanan

kesehatan diharapkan pasien bisa mendapatkan pelayanan yang lebih cepat

dibandingkan dengan pelayanan kesehatan konvensional. Kondisi memprihatinkan

ini juga dialami oleh salah satu dokter umum di RS Swasta di Kota Bandar

Lampung, yang menyatakan bahwa:

“Ya, saya pernah berkonsultasi dengan dokter spesialis jantung dengan


memggunakan telemedicine dalam pada saat jam 23.00 WIB karena pasien saya
yang sedang dirawat dalam kondisi gawat, saya sudah memberikan penanganan
awal, namun saya membutuhkan advis selanjutnya dari dokter spesialis tersebut,
namun beliau baru menjawab konsultasi saya pada pukul 05.00 WIB. Sayangnya,
pasien tersebut sudah dinyatakan meninggal dunia pada pukul 02.00 WIB.”
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Pasal 18 Ayat (2) menyatakan bahwa fasyankes peminta konsultasi dalam

melaksanakan pelayanan telemedicine memiliki kewajiban untuk mengirim

informasi medis, berupa gambar, pencitraan, teks, biosinyal, video dan/atau suara

dengan menggunakan transmisi elektronik sesuai standar mutu untuk meminta

jawaban konsultasi dan/atau memperoleh expertise. Tidak hanya wanprestasi dapat

dilakukan oleh pemberi konsultasi, peminta konsultasipun juga dapat melakukan

tindakan wanprestasi dalam pelayanan telemedicine antar fasilitas pelayanan

kesehatan. Sebagai contohnya dialami oleh salah satu dokter spesialis penyakit

dalam di RSUD di Kota Bandung, yang menjelaskan bahwa:

“Terkadang saya cukup bingung dengan bahasa teman sejawat di faskes primer
dalam mengkonsultasikan pasiennya, terkadang bahasanya berbelit-belit atau
mengirim gambar rontgen atau EKG yang tidak jelas/buram sehingga membuat
kami sebagai pemberi konsultasi menjadi bingung untuk mengarahkan untuk
penegakkan diagnosis maupun pemberian terapi pada pasien yang dikonsulkan.
Hal ini yang dikhawatirkan bisa terjadi misdiagnosis dan mistreatment.”

Anda mungkin juga menyukai

  • Document
    Document
    Dokumen3 halaman
    Document
    Radian Pandhika
    Belum ada peringkat
  • Tesis
    Tesis
    Dokumen11 halaman
    Tesis
    Radian Pandhika
    Belum ada peringkat
  • Soal Farmakologi Blok Tid
    Soal Farmakologi Blok Tid
    Dokumen7 halaman
    Soal Farmakologi Blok Tid
    Radian Pandhika
    Belum ada peringkat
  • Tugg
    Tugg
    Dokumen2 halaman
    Tugg
    Radian Pandhika
    100% (1)
  • Kasus Hi
    Kasus Hi
    Dokumen2 halaman
    Kasus Hi
    Radian Pandhika
    Belum ada peringkat