adanya perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban. Pada umumnya
perikatan yang timbul antara dokter ddan pasien lebih banyak berdasarkan perjanjian
daripada berdasarkan undang-undang. Pada perikatan itu, terdapat kata sepakat dari
para pihak untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dalam bidang jasa peyananan
kesehatan. Perikatan antara dokter dan pasien berbentuk ikhitar atau upaya
Hubungan antara pasien dan dokter tidak terlepas dari rasa tanggung jawab yang
hukum. Tanggung jawab hukum berarti apabila dokter melakukan kesalahan atau
untuk diperiksa sesuai standar profesi medik. Tanggung jawab perdata dapat
hubungan tidak hanya antara dokter dengan pasien, tetapi juga antara dokter dengan
dokter lainnya (misalnya dokter spesialis atau sub-spesialis). Seorang dokter dalam
kesehatan bisa dilakukan oleh pihak pemberi konsultasi maupun peminta konsultasi.
Sebagai contoh kasus wanprestasi yang dilakukan oleh pemberi konsultasi dalam
“Sebagai ilustrasi kasus yang dapat saya berikan, menyebabkan dokter pemberi
konsultasi pada pelayanan telemedicine dikenakan tuntutan wanprestasi jika
dokter tersebut telah mencantumkan jadwal praktiknya pada jam sekian, namun
pada kenyataanya dokter tersebut tidak hadir atau memberikan respon pada jam
praktik tersebut dan justru baru membalas setelah sekian lama. Ilustrasi kasus ini
termasuk dalam wanprestasi karena terlambat melakukan apa yang dijanjikan.”
Selain itu, dari hasil pengumpulan data kuesioner terbuka oleh penulis di salah satu
ini juga dialami oleh salah satu dokter umum di RS Swasta di Kota Bandar
Kesehatan Pasal 18 Ayat (2) menyatakan bahwa fasyankes peminta konsultasi dalam
informasi medis, berupa gambar, pencitraan, teks, biosinyal, video dan/atau suara
kesehatan. Sebagai contohnya dialami oleh salah satu dokter spesialis penyakit
“Terkadang saya cukup bingung dengan bahasa teman sejawat di faskes primer
dalam mengkonsultasikan pasiennya, terkadang bahasanya berbelit-belit atau
mengirim gambar rontgen atau EKG yang tidak jelas/buram sehingga membuat
kami sebagai pemberi konsultasi menjadi bingung untuk mengarahkan untuk
penegakkan diagnosis maupun pemberian terapi pada pasien yang dikonsulkan.
Hal ini yang dikhawatirkan bisa terjadi misdiagnosis dan mistreatment.”