DR Anggie-Tetanus
DR Anggie-Tetanus
1
BAB I
STATUS PASIEN NEUROLOGI
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.S
Usia : 57 tahun
2
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Status Pernikahan: menikah
Tanggal Masuk : 3 Juli 2019
Tanggal Periksa : 4 Juli 2017
II. ANAMNESA
Autoanamnesa + Alloanamnesa kepada keluarga pada tanggal 4 Juli 2017 pukul 08.00
WIB di RSUD Indramayu.
KELUHAN UTAMA
Tidak bisa menelan dan tidak bisa membuka mulut sejak 4 hari SMRS
3
Pasien mengatakan hal ini baru pertama kali dialami. Riwayat diabetes mellitus
disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal dan riwayat hipertensi disangkal, riwayat
epilepsi disangkal.
4
GEJALA RANGSANG MENINGEAL
Kanan Kiri
Kaku kuduk : (+)
Laseque : >700 >700
Kerniq : >1350 >1350
Brudzinsky I : (-) (-)
NERVI CRANIALIS
N I. Olfaktorius
Daya Penghidu : Normosmia / Normosmia
N II. Optikus
Ketajaman Penglihatan : Baik/baik
Pengenalan Warna : Dapat membedakan warna
Lapang Pandang : Sama dengan pemeriksa
Fundus : Tidak dilakukan
5
Ukuran : Ǿ3 mm Ǿ3 mm
Bentuk : Bulat Bulat
Iso/anisokor : Isokor
Posisi : Sentral Sentral
Reflek Cahaya Langsung : (+) (+)
Reflek Cahaya Tidak Langsung : (+) (+)
N V. Trigeminus
Menggigit : (+)
Membuka Mulut : Simetris trismus ±1 jari
Sensibilitas Atas : (+) (+)
Tengah : (+) (+)
N VII. Fasialis
Pasif
Kerutan kulit dahi : Simetris kanan kiri
Kedipan mata : Simetris kanan kiri
Lipatan nasolabial : Simetris kanan kiri
Sudut mulut : Simetris kanan kiri
Aktif
Mengerutkan dahi : Simetris kanan kiri
Mengerutkan alis : Simetris kanan kiri
Menutup mata : Simetris kanan kiri
Meringis : Simetris kanan kiri
Menggembungkan pipi : Simetris kanan kiri
Gerakan bersiul : Simetris kanan kiri
Daya pengecapan lidah 2/3 depan : tidak diperiksa
Hiperlakrimasi : (-)
Lidah kering : (-)
N VIII. Vestibulocochlearis
6
Mendengan suara gesekan jari tangan : (+) (+)
Mendengar detik jam arloji : (+) (+)
Tes swabach : Tidak dilakukan
Tes rinne : Tidak dilakukan
Tes webber : Tidak dilakukan
N IX. Glosopharingeus
Sulit dinilai
N X. Vagus
Denyut nadi : Kuat angkat, reguler, ekual
Arcus pharynx : sulit dinilai
Bersuara : Tidak bisa berbicara
Menelan : Tersedak
N XI. Accesorius
Memalingkan kepala : Kontraksi M. Sternocleidomastoideus
Kaku
Sikap bahu : Simetris
Mengangkat bahu : Kontraksi M. Trapezeus kaku
Kesan kuduk kaku
N XII. Hipoglosus
Menjulurkan lidah : Tidak ada deviasi
Kekuatan lidah : Baik
Atrofi lidah : Tidak ada
Artikulasi : Baik
Tremor lidah : Tidak ada
SISTEM MOTORIK
Trofi : Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofii
Gerakan : Bebas Bebas
Bebas Bebas
Kekuatan : 5555 5555
7
5555 5555
Tonus : Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus
SISTEM REFLEKS
REFLEKS FISIOLOGIS
Refleks Tendon : Kanan Kiri
Refleks Biseps : (+) (+)
Refleks Triseps : (+) (+)
Refleks Patella : (+) (+)
Refleks Archilles : (+) (+)
Refleks Periosteum : Tidak dilakukan
Refleks Permukaan :
Dinding perut : Simetris
Cremaster : Tidak dilakukan
Spinchter Anii : Tidak dilakukan
SISTEM SENSIBILITAS
Eksteroseptif
Nyeri : Baik
Suhu : Baik
Taktil : Baik
8
Proprioseptif
Vibrasi : Tidak dilakukan
Posisi : Baik
Tekan dalam : Baik
FUNGSI OTONOM
Miksi
Inkontinensia : tidak dapat dinilai, terpasang kateter
Retensi : tidak dapat dinilai, terpasang kateter
Anuria : tidak dapat dinilai, terpasang kateter
Defekasi
Inkontinensia : (-)
Retensi : (-)
FUNGSI LUHUR
Fungsi bahasa : Baik
Fungsi emosi : Cemas
Fungsi orientasi : Baik
Fungsi memori : Baik
Fungsi kognisi : Baik
9
SGOT (AST) 26 <35 U/L
SGPT (ALT) 17 <40 U/L
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : convulsi parsial sederhana, trismus, opistotonus, kaku
kuduk
Diagnosis Topis : Neuromuscular junction
Diagnosis Etiologis : C. Tetanii
Diagnosis Patologi : Infeksi
VI. TERAPI
Pada prinsipnya, penanganan dikerjakan dengan mempertahankan hemodinamik, memelihara
fungsi neuron dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Pada pasien ini terapi medikamentosa
yang diberikan berupa terapi cairan, anti toxin, anti kejang dan antibiotik berfungsi untuk
mencegah kekakuan lebih lanjut dan penyebaran infeksi yang luas.
1. Medikamentosa :
a. Oksigen 3 LPM
b. Puasa
c. Infus NaCl 0.9% 20 tetes per menit
d. Injeksi metronidazol 3x500 mg
e. Drip diazepam 8 ampul dalam NaCl 0.9% 500 cc/24 jam
f. Intramuskular Tetagram 20.000 IU
g. Injeksi ceftriaxon 1x2 gram
2. Non-Medikamentosa :
Menjelaskan tentang diagnosa penyakit, faktor resiko apa saja yang terdapat pada
pasien, tatalaksana dan prognosis kepada keluarga pasien.
Tirah baring
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanactionam : Dubia ad bonam
Ad cosmeticum : Dubia ad bonam
10
VIII. FOLLOW UP
O : kesadaran : CM lemas
TD : 120/80 mmHg
N : 102 x.mnt
RR : 26 x/mnt
S : 38 oC
kepala : normocephal, trismus 0.5 cm
abdomen : opistotonus (+) BU +
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tetanus
11
utama di negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih
tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian
tetanus neonatorumnya tinggi.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat
dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate
yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan
baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian. Penatalaksanaan yang baik ditentukan
antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis,
komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus(3).
2.2 Definisi
Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai
oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering
progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi
dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan
kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf
perifer atau otot(4).
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap
desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam
tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis
tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung
saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang(5).
2.3 Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan
atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan
oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan
produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat(6).
Kuman ini dapat membentuk metaloexotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion
12
spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke
motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel
saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP(6).
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi
terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot
masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin
berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang(6).
Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna,
saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung,
hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu
jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan
penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun
gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti(6).
16
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum
protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan
maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat,
ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan
mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem
imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya
antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada
penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin(7).
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada
penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya
demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness
menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis
hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon.
Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya
penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan
terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin(8).
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung
dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat
berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-
ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan
klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal
disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari
hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu. Secara teoritis
ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena
gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang
17
otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ
dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas
kapiler pada organ tertentu.
19
Gambar 2. Gambaran kejang
20
2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat
luka.
Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot
perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun spontan
dimana kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium :
Lekositosis ringan
Trombosit sedikit meningkat
Glukosa dan kalsium darah normal
Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
Enzim otot serum mungkin meningkat
EKG dan EEG biasanya normal
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari
luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang
gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak
ditemukan. - Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas
kejang (> 3U/ml)
2. Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia
dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara
lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan
21
kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau
atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia,
aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan
fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli,
pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan
asidosis metabolik(10).
2.5 Penatalaksanaan
1. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif.
Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin,
karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol,
metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali
sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-
14 hari. Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila
diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti
Penisilin
G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15
mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini
pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah,
perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus
sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan
dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10
hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari(10).
22
Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan
terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus
neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat
dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis
diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes
hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara
intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen.
Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan
pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang
disarankan 250-500 IU.
23
c. Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini
mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat
supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta
penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa
depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang
diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian
diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3
mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral,
sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan
100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa
dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB,
kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme
berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10
mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.
3.Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4
kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan
diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan
darah yang labil atau hipotensi.
2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta
nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat
dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125
ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120
kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda
bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus
dikerjakan.
24
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2
bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
a) Semua penderita dengan tetanus derajat IV
b) Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi
konservatif dan PaO2 <>
c) Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus
a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik,
HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.
b.Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau
trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian
cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan
intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta
pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan
pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3
jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti
propanolol(10).
2.6 Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan
hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam
prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas
pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan,
semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam
menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik
harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang
memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup,
meskipun terjadi tetanus(10).
25
Tabel 1. Philip’s Score
Waktu Masuk Skor Selama Perawatan Skor
Masa Inkubasi Spasme
> 14 hari 1 Hanya trismus 1
> 10 hari 2 Kaku seluruh badan 2
5 – 10 hari 3 Kejang terbatas 3
2 – 5 hari 4 Kejang seluruh badan 4
< 48 jam 5 Optistotonus 5
Imunisasi Frekuensi Spasme
Lengkap 0 6 x dalam 12 jam 1
< 10 tahun 2 Dengan rangsangan 2
> 10 tahun 4 Terkadang spontan 3
Ibu diimunisasi 8 Spontan < 3x per 15 menit 4
Tidak diimunisasi 10 Spontan > 3x per 15 menit 5
Luka Infeksi Suhu Suhu
Tidak diketahui 1 36.7 - 37 C 1
Distal/perifer 2 37.1 – 37.7 C 2
Proksimal 3 37.8 – 38.2 C 4
Kepala 4 38.3 – 38.8 C 8
Badan 5 > 38.8 C 10
Komplikasi Pernafasan
Tidak ada 1 Sedikit berubah 0
Ringan 2 Apnea saat kejang 2
Tidak membahayakan 4 Kadang apnea setelah kejang 4
Mengancam Nyawa (tidak langsung) 8 Selalu apnea setelah kejang 8
Mengancam nyawa 10 Perlu trakeostomi 10
2.7 Pencegahan
26
Leavell dan Clark (1965) dalam bukunya Preventive medicine for the doctors in his
community, mengenalkan konsep tentang tindakan preventif untuk semua jenis penyakit yang
dinamakan 5 LEVELS OF PREVENTION atau 5 tingkatan/tahapan pencegahan. Tingkatan
tersebut dapat dilakukan pada masa sebelum sakit dan pada masa sakit. Usaha-usaha
pencegahan tersebut berupa mempertinggi nilai kesehatan (Health promotion), memberikan
perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (Specific protection), mengenal dan
mengetahui jenis pada tingkat awal,serta mengadakan pengobatan yang tepat dan segera
(Early diagnosis and treatment), pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan
gangguan kemampuan bekerja yang diakibatkan sesuatu penyakit (Disability limitation),
rehabilitasi (Rehabilitation). Pada kasus tetanus pencegahan bisa dilakukan pada masa
prepatogenesis yaitu :
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Ningsih S, Witarti N. Tetanus. 2007. Available from:
www.pediatrik.com/pediatrik/061031-joiq163.doc. Accessed: 18 Agustus 2015.
2. Lubis UN. Tetanus Lokal pada Anak. 2004. Available from:
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accessed: 18 Agustus 2015.
3. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :
Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.
4. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology.
Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
5. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson
Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company. 2004
6. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305
7. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
8. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to date,
Bull WHO 1994; 72 : 155-157
9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 1777-1784
10. Widoyono. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan
pemberantasannya. Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33.
29