Anda di halaman 1dari 3

AMIEN RAIS : KRITIKAN NEOLIBERALISME

DI INDONESIA

Neokolonialisme bukanlah istilah khayalan yang diciptakan oleh Presiden Sukarno, Ia


(neokolonialisme) itu nyata. Kita merasakannya tatkala kita hidup berada di bawah kontrol
agen – agen yang dikendalikan oleh mantan penjajah kita[1]”.

Kutipan di atas merupakan suatu indikasi awal gerakan model “penjajahan” baru yang dilakukan
oleh negara – negara barat atas negara – negara dunia ketiga dalam hal ini adalah Indonesia pada
masa post Asian Springs (Kebangkitan Negara – negara Benua Asia pada tahun 1945) yakni awal
masa 1960-an. Pada masa itu, Presiden Soekarno sebenarnya telah “mengendus” adanya early
signs model penjajahan baru ala negara – negara Barat, akan tetapi konspirasi barat dengan rezim
militer kemudian menjatuhkan Soekarno dari tampuk kekuasaan atas nama demokratisasi
Indonesia yang sejatinya merupakan awal dari imperialisasi ekonomi serta gerakan
neoliberalisme Indonesia.

Adapun perumusan neoliberalisme dilakukan antara Pemerintah Amerika Serikat beserta


lembaga – lembaga Bretton Woods macam IMF, World Bank, dll ini sudah tertera di
Washington Consensus yang mana itu merupakan “nasihat sakral” perumusan ekonomi yang
mampu “mensejahterakan rakyat” di negara dunia ketiga dikala itu keadaan perekonomian
sedang hancur akibat inflasi ekonomi yang berkepanjangan serta kekacauan politik yang begitu
hebat turut memperburuk keadaan negara tersebut. Melihat realita yang terjadi di negara – negara
dunia ketiga, negara barat “mencium” potensi untuk melakukan aksi – aksi filantropis dengan
menawarkan bantuan ekonomi besar – besaran kepada negara – negara tersebut disertai
menawarkan nasihat sakral ekonomi yang diklaim barat sanggup mensejahterakan perekonomian
rakyat. Tentu saja, dalam hal ini negara – negara dunia ketiga seperti Indonesia menerima secara
mentah – mentah  nasihat tersebut tampak melihat jauh ke depan dampak dari “nasihat” tersebut.

Adapun implementasi dari gerakan neoliberalisme di Indonesia sendiri dimulai pada saat rezim
Orde Baru berkuasa. Melalui Mafia Berkeley (Emil Salim dkk) yang merupakan agen – agen
ekonomi  negara – negara barat di Indonesia, perekonoman Indonesia diatur sedemikian rupa
agar “menurut” kepada Barat yakni adanya privatisasi ekonomi, pembukaan pasar, serta
pengelolaan sektor sumber daya alam seperti hasil mineral dan tambang diserahkan kepada
perusahan – perusahan Barat seperti Caltex, Exxon Mobile, ConocoPhillips di sektor migas dan
Freeport di sektor tambang. Untuk menghindari stigma munculnya dominasi barat terhadap hasil
bumi Indonesia maka perusahaan – perusahaan Barat mengadakan joint venture dimana
mengadakan kerjasama dengan perusahaan negara macam Pertamina, PGN, dll. Akan tetapi tetap
saja, barat memperoleh porsi yang besar dari hasil tambang tersebut. Hal itu pun berlaku sampai
Pemerintahan Yudhoyono dimana pemerintah “impoten” menghadapi dominasi Barat terhadap
hasil tambang Indonesia.

Adapun ekonomi neoliberalisme yang selama ini diwujudkan di Indonesia dalam berbagai hal
antara lain sebagai berikut.
1) Korporasi

Korporasi – korporasi negara – negara barat / maju selama ini tidak hanya menjalankan fungsi
investasi semata akan tetapi juga merupakan kepanjangan hegemoni negara maju atas
berkembang. Semisal Pemerintah mengeluarkan UU No 25 tahun 2007 yang sesungguhnya itu
merupakan regulasi yang didikte oleh negara barat untuk perbaikan perekonomian Indonesia
sehingga Pemerintah selama ini “menurut” pada Barat  karena ketergantungan negara ini yang
besar sehingga negara – negara barat / maju untuk menguasai Indonesia.

2) Free Trade Area

Zona ekonomi bebas dapat diibaratkan sebagai “pijakan” pertama negara barat untuk menguasai
ekonomi Indonesia dari belakang seperti pembukaan zona ekonomi Batam, Bintan, serta
pembukaan zona integrasi Sijori (Singapura – Johor – Riau) yang sesungguhnya akan mematikan
sektor mikro usaha ekonomi rakyat yang berkembang sehingga secara perlahan – lahan sektor
ekonomi lokal akan tumpul dan digantikan dengan ekonomi liberal karena tidak mampu bersaing
dengan produk – produk luar negeri.

3) Regulasi

Selama ini Pemerintah RI selalu saja mengeluarkan UU ekonomi yang sarat akan nilai liberal
seperti UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 21 tahun 2001 tentang
Minyak & Gas, PP No. 2 tahun 2008 tentang Kehutanan, dll yang semua ini memihak pro barat
sehingga praktik ekonomi liberal tumbuh dengan sumbur bak cendawan di musim hujan karena
payung hukum yang “melegitimasi” kegiatan imperialisme ekonomi oleh perusahaan –
perusahaan Barat. Pemerintah pun memble dengan perusahaan barat ini karena hasil imbal pajak
yang mereka setorkan begitu besar masuk ke kas APBN, tak sebegitu besar dengan hasil pajak
yang mereka setorkan lebih besar ke negara asal perusahaan tersebut. Walaupun disinyalir bahwa
terjadi kerusakan alam yang begitu hebat akibat eksploitasi besar – besaran negara barat tersebut.

Adapun pemikiran kritis Amien Rais dalam menanggapi semakin merajalelanya praktik ekonomi
liberal ini antara lain.

1) Ekonomi Pancasila

Selama ini struktur ekonomi yang dibangun di bumi Indonesia ini sangat market friendly
oriented sehingga praktik ekonomi neoliberalisme di Indonesia oleh korporasi – korporasi Barat
yang merupakan kepanjangan tangan dari negara barat / maju untuk menguasai bangunan
perekonomia Indonesia. Sebagai contoh kini akibat dari praktik ekonomi neoliberal, hanya 1/6
penduduk dunia khususnya negara berkembang macam Indonesia hanya memperoleh pendapatan
kurang dari satu dollar AS perharinya sehingga “nasihat sakral” yang digembar – gemborkan
oleh negara – negara maju ampuh dalam mensejahterkan rakyat kebanyakan justru sebaliknya
mensengsarakan masyarakat di dunia ketiga. Maka alangkah baiknya, pedoman dasar untuk
membangun perekonomian bangsa kini carut marut adalah Pasal 33 UUD 1945 serta Pancasila
khususnya sila ke 5 dimana rakyat disejahterakan secara besar – besarnya dengan memanfaatkan
hasil bumi, air, dan tanah Indonesia bukannya negara asing yang menikmatinya dengan
menghasilkan kerusakan ekologi lingkungan alam Indonesia yang begitu besar dan tak mungkin
pulih dengan waktu singkat tetapi berpuluh – puluh tahun untuk mengembalikan tatanan
lingkungan seperti sedia kala.

2) Nasionalisasi

Pemerintah harus sadar bahwa untuk menghentikan praktik ekonomi neoliberal yang begitu
besar yang dilakukan oleh korporasi asing, hendaknya pemerintah mulai berpikir untuk mengkaji
memiliki perusahaan asing tersebut dengan membeli saham serta obligasinya dari negara asal
dengan menjadikannya sebagai BUMN sehingga sektor ekonomi vital seperti migas, mineral, dll
akan dimiliki negara seluruhnya bukan berbagi dengan negara asing yang porsinya lebih besar
hasil tambangnya. Maka niscaya kesejahteraan rakyat akan lebih membaik bila negara berani
mengambil langkah nasionalisasi ini.

Sebagai contohnya, Pemerintah harus mengkaji ulang kontrak Freeport yang memiliki izin usaha
sampai 25 tahun serta Exxon Mobile yang masih saja beroperasi di ladang minyak Cepu padahal
kontraknya sudah habis.

3) Pengkajian UU Ekonomi Bermasalah

Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa selama ini kebijakan ekonomi Indonesia
cenderung liberal seperti penerbitan UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU
No 21 tahun 2001 tentang Minyak & Gas, PP No. 2 tahun 2008 tentang Kehutanan, dll sehingga
neoliberalisme mendapat tempat dalam perekonomian Indonesia sehingga diperlukan pengkajian
kembali UU yang bermasalah dan tidak sesuai dengan pedoman dasar  struktur ekonomi
Indonesia yakni Pasal 33 UUD 1945.

Maka, dalam hal ini pemerintah dituntut tegas dalam menghadapi UU ini yang sangat disinyalir
merupakan kebijakan ekonomi yang telah digariskan oleh pihak asing yang ingin menguasai
perekonomian Indonesia ini yang katakanlah perekonomian Indonesia lebih liberal daripada
perekonomian negara liberal sendiri karena kebijakan – kebijakan yang dibuat sangat pro barat.

4) Bebas dari Hutang Luar Negeri

Langkah berani sudah dilakukan oleh Pemerintahan Yudhoyono dengan membubarkan lembaga
donor Indonesia yakni CGI (Consultative Group Indonesia). Namun, tetap saja Pemerintah tetap
mengandalkan hutang dengan World Bank, Asian Development Bank, maupun JBIC (Japan
Bank for International Cooperation) untuk menutup defisit anggaran APBN yang tiap tahun
semakin besar sehingga dengan leluasa lembaga donor internasional ini mampu mengintervensi
perekonomian Indonesia agar terbuka dengan investor asing sehingga turut menambah praktik
neoliberalisme. Pemerintah harus secepatnya berani untuk melakukan debt swap yakni negosiasi
pembayaran hutang dengan menjalankan progam – progam kemanusiaan bagi rakyat serta
mengajukan moratorium hutang dengan negara barat sehingga hutang Indonesia akan semakin
mengecil bahkan tidak ada dengan sendirinya.

Anda mungkin juga menyukai