Lapsus Nstemi Dan DMT2
Lapsus Nstemi Dan DMT2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan kategori penyakit tidak menular (PTM)
yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara global, regional,
nasional maupun lokal. Salah satu jenis penyakit metabolik yang selalu
mengalami peningkatan penderita setiap tahun di negara-negara seluruh dunia.
Diabetes merupakan serangkaian gangguan metabolik menahun akibat pankreas
tidak memproduksi cukup insulin, sehingga menyebabkan kekurangan insulin
baik absolut maupun relatif, akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa
dalam darah.1
Diabetes yang tidak terkontrol, mengacu pada kadar glukosa yang melebihi
batasan target dan mengakibatkan dampak jangka pendek langsung (dehidrasi,
penurunan BB, penglihatan buram, rasa lapar) serta jangka panjang (kerusakan
pembuluh darah mikro dan makro. Menurut PERKENI (2006), terdapat banyak
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 diantaranya,
riwayat keluarga dengan diabetes, umur, riwayat lahir dengan berat badan rendah
(<2,5 kg). Serta terdapat faktor yang meningkatkan risiko penyakit Diabetes
Melitus yakni berat badan lebih, kurangnya aktivitas fisik atau gaya hidup, pola
makan, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan stress. 2
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insiden dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia.
Berdasarkan perolehan data International Diabetes Federation (IDF) tingkat
prevalensi global penderita DM pada tahun 2013 sebesar 382 kasus dan
diperkirakan pada tahun 2035 mengalami peningkatan menjadi 55% (592 kasus)
diantara usia penderita DM 40-59 tahun. Tingginya angka tersebut menjadikan
Indonesia peringkat keempat jumlah pasien DM terbanyak di dunia setelah
Amerika Serikat, India dan China. 3
2
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui penegakan diagnosa dan tatalaksana pasien Diabetes Melitus
Tipe 2
1.4 Manfaat
Memberikan informasi tentang Diabetes Melitus Tipe 2.
Melatih pengambilan diagnosis dan tatalaksana pada Diabetes Melitus Tipe 2
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. S
TTL / Umur : 16 April 1963 / 56 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Status : Menikah
Suku : Madura
Alamat : Dsn. Timur Pasar Socah, Socah
No. RM : 204231
2.2 Anamnesis
1. Keluhan utama : Nyeri Dada
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluh nyeri dada dirasa hilang timbul, nyeri dada sejak
21.00 WIB hingga sekarang 03.34 WIB. Nyeri dada dirasakan hingga
tembus ke punggung bagian belakang dan menjalar ke tangan kiri. Nyeri
dada seperti tertindih beban berat yang disertai sesak nafas, berkeringat
dingin, akral dingin, mual dan muntah. Nyeri dada sudah dirasakan selama
2 bulan terakhir, nyeri dada timbul terutama saat aktifitas fisik,
menghilang jika istirahat.
Pasien juga mengeluhkan adanya luka di kaki kanan yang tidak
kunjung sembuh sejak 6 bulan karena terkena besi panas. Pasien juga
mengeluh sering kencing dimalam hari, sering kehausan dan berat badan
menurun sejak 1 tahun belakangan ini. Pasien juga mengeluhkan sering
kesemutan bagian kaki dan badan terasa lemas dan penglihatan menjadi
kabur.
4
10. Gastrointestinal : mual (+), muntah (+), diare (-), nyeri perut (-)
11. Genitourinaria : BAK lancar, jumlah sedikit
12. Neurologik : kejang (-), lumpuh (-), kesemutan(+)
13. Muskuloskeletal : kaku sendi (-), nyeri otot (-)
14. Ekstremitas :
- Atas kanan : bengkak (-), sakit (-), luka (-)
- Atas kiri : bengkak (-), sakit (-), luka (-)
- Bawah kanan : bengkak (+), sakit (+), luka ulcus diameter
±15 cm (+)
- Bawah kiri : bengkak (-), sakit (-), luka (-)
2.4 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Sedang
2. GCS : 456 (Composmentis)
3. Tanda Vital
a. Tensi : 92/55 mmhg
b. Nadi : 104 x/menit
c. RR : 26 x/menit
d. Suhu : 36,0oC
e. SpO2 : 99%
4. Antropometri
a. BB : tidak ada data
b. TB : tidak ada data
c. BMI : tidak ada data
5. Kulit
Warna kulit sawo matang, kulit kering, turgor kulit normal, ikterik (-). pucat
(-), ptechie (-), pigmentasi kulit (-)
6. Kepala
Bentuk normosephalic, wajah simetris, tidak ada luka, makula (-),
papula (-), nodul (-).
6
7. Mata
Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-), cowong (-/-), pupil isokor, radang (-/-)
8. Hidung
Nafas cuping hidung (-), secret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas (-/-)
9. Mulut
Bibir pucat (-), bibir kering (+), lidah kotor (-), tremor (-), gusi
berdarah (-), sariawan (-), lidah terasa pahit (-), mukosa kering (-)
10. Telinga
Posisi dan bentuk normal, deformitas (-), nyeri tekan mastoid (-/-),
secret (-/-), pendengaran dalam batas normal
11. Tenggorokan
Hiperemi (-), Tonsil membesar (-/-)
12. Leher
Pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)
13. Toraks
bentuk Simetris, retraksi supraklavikula (-), retraksi interkostal, retraksi
subkostal (-), pembesaran kelenjar limfe (-)
Ginekomasti (-)
1) Cor :
I : simetris, sianosis (-)
P : Ictus cordis tidak teraba
P : redup, tidak ada pembesaran
A : S1 S2 reguler, mur-mur (-)
2) Pulmo :
I : pengembangan dada normal , benjolan (-), luka (-)
P : nyeri tekan (-), krepitasi (-), suara nafas
P : Sonor
A : suara tambahan
7
Rhonki Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - -
11. Abdomen
I : distensi abdomen (-), gelombang peristaltik (-), caput medusa (-),
venegtasi (-), vena collateral (-), spider navy (-)
A : bising usus (n), bruit (-)
P : timpani, shifting dullnes (-), undulasi (-)
P : supel, nyeri tekan (-)
- - -
- - -
- - -
1. Angina Pektoris.
2. Sindrome Koroner Akut (STEMI, NSTEMI dan UAP)
3. Penyakit jantung Katup
4. Diseksi aorta
5. DM Tipe 2
6. Anemia
7. Ulcus Diabetikum
Index Eritrosit
MCV 58 86-110 fl
MCH 22 26-34 pg
MCHC 38 31-36 %
RDW-CV - 11,5-14,5 %
Fungsi Jantung
Troponin l 3.77 0-0.03 ng/mL
Index Eritrosit
MCV 69,8 70-96 fl
MCH 22,3 26-34 pg
MCHC 31,9 30-36 %
RDW-CV 17,4 11,5-14,5 %
Pemeriksaan EKG
Interpretasi EKG
Irama :
Sinus
Regularitas :
Reguler
Gelombang P :
normal 2 mm/ 0.08 detik (N 2-2,5mm)
Laju QRS :
R 24 mm pada V6 dan S 17mm pada V1
PR interval :
normal 4 mm / 1.16 detik (N :3-5mm)
Segmen ST :
ST depresi di lead I, II, V4, V5, V6 dan lead II panjang.
Gelombang T :
T inverted di aVL
T tall V1 dan V2
Aksis :
Normal
Kesimpulan:
Irama sinus, HR 120 x/menit, normal Aksis, Iskemia Hight Lateral dan Left
Ventricular Hypertropy serta Hiperkalemia
11
b. Pengaturan diet
o Sementara dipuasakan dari konsumsi makanan karbohidrat tinggi,
lemak tinggi, garam tinggi.
o Edukasi sepuluh petunjuk pola hidup sehat (GULOH-SISAR) :
Gula : Pembatasan mengkonsumsi makanan tinggi
glukosa.
Asam Urat : Pembatasan mengkonsumsi makanan resiko
tinggi asam urat.
Lemak : Pembatasan mengkonsumsi makanan tinggi
lemak.
Obesitas
Hipertensi
Sigaret :Stop Merokok
Inaktivitas : Hindari.
Stress :Usahakan tidur 6-7 jam sehari untuk
meredakan stress.
Alkohol : Hindari.
Regular check up
c. Edukasi konsumsi obat secara teratur dan control
d. Rawat luka ulkus diabetikum dengan kendali luka menggunakan
konsep TIME:
Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)
Melakukan pembersihan luka
Inflmation and infection control (kontrol inflamasi dan infeksi)
Pemberian antibiotik gol. Quinolon.
Moisturen balance (menjaga kelembapan)
Menggunakan pembalut luka yang bersifat absorbend.
Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus
gestasional
3.1.4 Patofisiologi
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi
insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan
toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi
glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang:
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi
18
terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet
(gambar-1). 1
Gambar 3.1 The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2. 1
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut : 1
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-
1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
b. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
19
c. Otot:
d. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid)
dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat
yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
e. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.
Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
20
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal.
Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon
meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.
g. Ginjal:
h. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik
yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai
keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. 1
2.2.6 Penatalaksanaan
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya).
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat
badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal). 1
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73
m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30
mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan
tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC
III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal
25
hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:
Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73
m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan
dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan
sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis
baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan
cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan
ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan
Mei 2015.
26
3.2.2 Patofisiologi
Ulserasi kaki terjadi akibat trauma dengan adanya neuropati dan kelainan
pembuluh darah perifer. Somatik neuropati lanjut menyebabkan ketidakpekaan,
memudahkan terjadinya trauma, gangguan propiosepsi dan atrofi otot yang
menyebabkan gangguan dalam berdiri dan berjalan. Kombinasi dari penurunan
sensitivitas dan peningkatan tekanan pada kaki pasien merupakan resiko dari ulserasi
neuropati. Hiperglikemi menghasilkan stress oksidatif pada sel saraf dan
menyebabkan neuropati. Disfungsi saraf akibat glikosilasi protein sel saraf
menyebabkan iskemia. Perubahan dari sel tersebut menimbulkan gangguan saraf
motorik, otonom, dan sensori pada ulkus neuropati. Kerusakan saraf motorik pada
otot kaki menyebabkan ketidak seimbangan fleksor ekstensor, deformitas anatomi,
dan ulkus kulit. Kerusakan saraf otonom mengganggu fungsi kelenjar keringat dan
penurunan kelembapan kulit yang menyebabkan kekeringan dan kerusakan kulit.
Pasien sering tidak mengeluh adanya luka pada kulit dikarenakan penurunan sensasi
perifer. Suplai darah yang baik dapat mempertahankan keutuhan kulit sehingga tidak
terjadinya ulkus kronik. 6
BAB IV
PEMBAHASAN
Menurut PERKI 2015 pada pedoman tatalaksana sindroma koroner akut, infark
miokard non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal
yang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan
marka jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI, jika
tidak meningkat, diagnosis mengarah UAP. Pada pasien ini sangat mendukung pada
diagnosis NSTEMI dari anamnesis pemeriksaan penunjang EKG yang ditemukan ST
depresi di lead I, II, V4, V5, V6, dan lead II panjang; T inverted di lead I, aVR dan
aVL; yang menunjukkan adanya iskemia pada bagian hight lateral dimana mengenai
A. Koroner left circumflex dan didapatkan hipertropi pada ventrikel kanan dengan
adanya R 24 mm pada V1 dan S 17 mm pada V6 dan ditemukannya ST depresi pada
V5 dan V6 yang menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Pada pemeriksaan
marker jantung ditemukan Troponin I yang meningkat. 8
Menurut PERKENI 2015 pada konsensus Pengolaan dan pencegahan diabetes
melitus tipe 2 di Indonesia, diabetes melitus ditegakkan jika pemeriksaan glukosa
plasma puasa ≥126 mg/dl. (Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8
jam) atau Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram atau Pemeriksaan glukosa
plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik atau pemeriksaan HbA1c ≥6,5%
dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standarization Program (NGSP). Pada pasien ini ditegakkan menderita DM
didapatkan gejala klasik DM dan glukosa darah sewaktu yang mencapai 420 mg/dl.
Pasien ini juga menderita ulkus diabetikum grade 2 dimana luka yang diderita tidak
lagi superfisial. 1
Hiperkalemia didukung dengan hasil pemeriksaan elektrolit yang menunjukkan
kadar kalium yang meningkat dengan hasil 5,53 mmol/L dan hasil EKG ditemukan T
tall pada V1 dan V2. Anemia Hipokrom Mikrositik ditegakkan dengan kadar Hb yang
rendah yaitu 6,6 gr/dl dengan MCH dan MCV yang rendah. 9
36
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan observasi lebih lanjut untuk ketepatan penanganan pada pasien
dengan NSTEMI dengan DM Tipe 2 dan Ulkus Diabetikum grade 2 disertai
Hiperkalemi dan Anemia.
2. Perlu disampaikan KIE pada pasien dan keluarga untuk patuh minum obat,
menjaga pola hidup, dan melakukan aktifitas sesuai yang disarankan dokter.
38
TINJAUAN PUSTAKA