Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan kategori penyakit tidak menular (PTM)
yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara global, regional,
nasional maupun lokal. Salah satu jenis penyakit metabolik yang selalu
mengalami peningkatan penderita setiap tahun di negara-negara seluruh dunia.
Diabetes merupakan serangkaian gangguan metabolik menahun akibat pankreas
tidak memproduksi cukup insulin, sehingga menyebabkan kekurangan insulin
baik absolut maupun relatif, akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa
dalam darah.1
Diabetes yang tidak terkontrol, mengacu pada kadar glukosa yang melebihi
batasan target dan mengakibatkan dampak jangka pendek langsung (dehidrasi,
penurunan BB, penglihatan buram, rasa lapar) serta jangka panjang (kerusakan
pembuluh darah mikro dan makro. Menurut PERKENI (2006), terdapat banyak
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 diantaranya,
riwayat keluarga dengan diabetes, umur, riwayat lahir dengan berat badan rendah
(<2,5 kg). Serta terdapat faktor yang meningkatkan risiko penyakit Diabetes
Melitus yakni berat badan lebih, kurangnya aktivitas fisik atau gaya hidup, pola
makan, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan stress. 2
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insiden dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia.
Berdasarkan perolehan data International Diabetes Federation (IDF) tingkat
prevalensi global penderita DM pada tahun 2013 sebesar 382 kasus dan
diperkirakan pada tahun 2035 mengalami peningkatan menjadi 55% (592 kasus)
diantara usia penderita DM 40-59 tahun. Tingginya angka tersebut menjadikan
Indonesia peringkat keempat jumlah pasien DM terbanyak di dunia setelah
Amerika Serikat, India dan China. 3
2

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan membahas terkait laporan


kasus pada salah satu pasien di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu yang didiagnosa
menderita NSTEMI dengan DM Tipe 2 dan Ulkus Diabetikum grade 2 disertai
Hiperkalemi dan Anemia.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana penegakan diagnosa dan tatalaksana pasien Diabetes Melitus Tipe 2?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui penegakan diagnosa dan tatalaksana pasien Diabetes Melitus
Tipe 2

1.4 Manfaat
 Memberikan informasi tentang Diabetes Melitus Tipe 2.
 Melatih pengambilan diagnosis dan tatalaksana pada Diabetes Melitus Tipe 2
3

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. S
TTL / Umur : 16 April 1963 / 56 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Status : Menikah
Suku : Madura
Alamat : Dsn. Timur Pasar Socah, Socah
No. RM : 204231
2.2 Anamnesis
1. Keluhan utama : Nyeri Dada
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluh nyeri dada dirasa hilang timbul, nyeri dada sejak
21.00 WIB hingga sekarang 03.34 WIB. Nyeri dada dirasakan hingga
tembus ke punggung bagian belakang dan menjalar ke tangan kiri. Nyeri
dada seperti tertindih beban berat yang disertai sesak nafas, berkeringat
dingin, akral dingin, mual dan muntah. Nyeri dada sudah dirasakan selama
2 bulan terakhir, nyeri dada timbul terutama saat aktifitas fisik,
menghilang jika istirahat.
Pasien juga mengeluhkan adanya luka di kaki kanan yang tidak
kunjung sembuh sejak 6 bulan karena terkena besi panas. Pasien juga
mengeluh sering kencing dimalam hari, sering kehausan dan berat badan
menurun sejak 1 tahun belakangan ini. Pasien juga mengeluhkan sering
kesemutan bagian kaki dan badan terasa lemas dan penglihatan menjadi
kabur.
4

3. Riwayat penyakit dahulu


- Riwayat Hipertensi : (-) disangkal
- Riwayat diabetes : (+) 1 tahun.
- Riwayat alergi obat : (-)
- Riwayat alergi makanan : (-)
- Luka di kaki kanan sudah 6 bulan.
- Riwayat nyeri dada 6 bulan yang lalu.
4. Riwayat penyakit keluarga
- Riwayat keluarga dengan penyakit serupa (-)
5. Riwayat kebiasaan : merokok (+) kopi (+) jamu (+) alcohol (-) olahraga
(-)
6. Riwayat gizi : Mengonsumsi makanan kurang, khawatir dengan
penyakit DM yang diderita.
7. Riwayat pengobatan : Minum OAD Glibenklamid sudah 1 tahun.
8. Riwayat alergi : (-)
9. Riwayat Sosial Ekonomi : Sosial ekonomi menengah.

2.3 Anamnesis Sistem


1. Kulit : warna kulit kekuningan (-), gatal (-), kulit kering (+).
2. Kepala : rambut hitam, nyeri kepala (- )
3. Mata : pandangan mata berkunag-kunang (-), penglihatan kabur (+),
ketajaman penglihatan (-)/dalam batas normal
4. Hidung : tersumbat (-), mimisan (-), sekret (-), purulen (-)
5. Telinga : pendengaran berkurang (-), berdengung (-), keluar cairan (-)
6. Mulut : sariawan (-), mulut kering (-)
7. Tenggorokan : sakit menelan (-), serak (-)
8. Pernafasan : sesak nafas (+), batuk (-)
9. Kadiovaskuler : nyeri dada (+), berdebar-debar (-), nyeri dada tembus
ke belakang dan menjalar ke tangan kiri (+)
5

10. Gastrointestinal : mual (+), muntah (+), diare (-), nyeri perut (-)
11. Genitourinaria : BAK lancar, jumlah sedikit
12. Neurologik : kejang (-), lumpuh (-), kesemutan(+)
13. Muskuloskeletal : kaku sendi (-), nyeri otot (-)
14. Ekstremitas :
- Atas kanan : bengkak (-), sakit (-), luka (-)
- Atas kiri : bengkak (-), sakit (-), luka (-)
- Bawah kanan : bengkak (+), sakit (+), luka ulcus diameter
±15 cm (+)
- Bawah kiri : bengkak (-), sakit (-), luka (-)
2.4 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Sedang
2. GCS : 456 (Composmentis)
3. Tanda Vital
a. Tensi : 92/55 mmhg
b. Nadi : 104 x/menit
c. RR : 26 x/menit
d. Suhu : 36,0oC
e. SpO2 : 99%
4. Antropometri
a. BB : tidak ada data
b. TB : tidak ada data
c. BMI : tidak ada data
5. Kulit
Warna kulit sawo matang, kulit kering, turgor kulit normal, ikterik (-). pucat
(-), ptechie (-), pigmentasi kulit (-)
6. Kepala
Bentuk normosephalic, wajah simetris, tidak ada luka, makula (-),
papula (-), nodul (-).
6

7. Mata
Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-), cowong (-/-), pupil isokor, radang (-/-)
8. Hidung
Nafas cuping hidung (-), secret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas (-/-)
9. Mulut
Bibir pucat (-), bibir kering (+), lidah kotor (-), tremor (-), gusi
berdarah (-), sariawan (-), lidah terasa pahit (-), mukosa kering (-)
10. Telinga
Posisi dan bentuk normal, deformitas (-), nyeri tekan mastoid (-/-),
secret (-/-), pendengaran dalam batas normal
11. Tenggorokan
Hiperemi (-), Tonsil membesar (-/-)
12. Leher
Pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)
13. Toraks
bentuk Simetris, retraksi supraklavikula (-), retraksi interkostal, retraksi
subkostal (-), pembesaran kelenjar limfe (-)
Ginekomasti (-)
1) Cor :
I : simetris, sianosis (-)
P : Ictus cordis tidak teraba
P : redup, tidak ada pembesaran
A : S1 S2 reguler, mur-mur (-)
2) Pulmo :
I : pengembangan dada normal , benjolan (-), luka (-)
P : nyeri tekan (-), krepitasi (-), suara nafas
P : Sonor
A : suara tambahan
7

Rhonki Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - -

11. Abdomen
I : distensi abdomen (-), gelombang peristaltik (-), caput medusa (-),
venegtasi (-), vena collateral (-), spider navy (-)
A : bising usus (n), bruit (-)
P : timpani, shifting dullnes (-), undulasi (-)
P : supel, nyeri tekan (-)
- - -
- - -
- - -

Hepar : tidak teraba


lien : tidak teraba
12. Ektremitas:
Atas : deformitas (-/-), akral dingin (-/-), edema (-/-), ulkus (-/-), iketrik pada
telapak tangan (-), eritema palmaris (-)
Bawah : deformitas (-/-), akral dingin (-/-), pitting edema min(-/-), ulkus
dengan diameter ± 15 cm dengan jaringan nekrosis disekitarnya
(-/+), ikterik pada telapak kaki (-)
13.Sistem genetalia : hernia scrotalis sinistra
14. Pemeriksaan Neurologik : dalam batas normal
15. Pemeriksaan Psikiatrik : dalam batas normal
16. Sistem Collumna Vertebralis :
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
2.5 Diferensial Diagnosis
8

1. Angina Pektoris.
2. Sindrome Koroner Akut (STEMI, NSTEMI dan UAP)
3. Penyakit jantung Katup
4. Diseksi aorta
5. DM Tipe 2
6. Anemia
7. Ulcus Diabetikum

2.6 Pemeriksaan Penunjang :


Tabel 2.1 Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal : 15/12/2019

ITEM PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN


Hematologi Lengkap
Hb 6,6 13.5-18 gr/dl
Eritrosit 3,00 4.5-6.5 juta/ul
Leukosit 9,9 4-11 ribu/ul
Trombosit 154 150-350 ribu/mm3
MPV - 7,2-11,1 fl
Hematokrit 17,3 40-54 %

Index Eritrosit
MCV 58 86-110 fl
MCH 22 26-34 pg
MCHC 38 31-36 %
RDW-CV - 11,5-14,5 %

Hitung Jenis Leukosit


Limfosit 17 20-40 %
Granulosit 78 50-70 %
Mid Cell 5 3-14 %
Faal Ginjal
BUN 19 5-17 mg/dl
Creatinin 1.4 0.7-1.4 mg/dl
Glukosa Darah
Glukosa Sewaktu 420 80-140 mg/dl

Tabel 2.2 Pemeriksaan Serum Elektrolit Tanggal : 15/12/2019 04.44


9

ITEM PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN


Kimia Klinik
Elektrolit pg/ml
Natrium (Na) 128 137-150 mmol/L
Kalium (K) 5.53 3.5-5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 94 95-105 mmol/L

Fungsi Jantung
Troponin l 3.77 0-0.03 ng/mL

Tabel 2.3 Pemeriksaan Darah Lengkap Tanggal : 16/12/2019 16.59

ITEM PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN


Hematologi Lengkap
Hb 9,2 13.2-17.3 gr/dl
Eritrosit 4,12 4.4-5.9 juta/ul
Leukosit 12,9 3,8-10,6 ribu/ul
Trombosit 115 150-440 ribu/mm3
MPV 9,14 7,2-11,1 fl
Hematokrit 28,7 40-52 %

Index Eritrosit
MCV 69,8 70-96 fl
MCH 22,3 26-34 pg
MCHC 31,9 30-36 %
RDW-CV 17,4 11,5-14,5 %

Hitung Jenis Leukosit


Basofil 0,86 0-1 %
Neutrofil 67,00 40-70 %
Limfosit 15,50 22-40 %
Eosinofil 4,07 2-4 %
Monosit 12,60 4-8 %
10

Pemeriksaan EKG

Interpretasi EKG
Irama :
Sinus
Regularitas :
Reguler
Gelombang P :
normal 2 mm/ 0.08 detik (N 2-2,5mm)
Laju QRS :
R 24 mm pada V6 dan S 17mm pada V1
PR interval :
normal 4 mm / 1.16 detik (N :3-5mm)
Segmen ST :
ST depresi di lead I, II, V4, V5, V6 dan lead II panjang.
Gelombang T :
T inverted di aVL
T tall V1 dan V2
Aksis :
Normal

Kesimpulan:
Irama sinus, HR 120 x/menit, normal Aksis, Iskemia Hight Lateral dan Left
Ventricular Hypertropy serta Hiperkalemia
11

2.7 Diagnosa Kerja


NSTEMI dengan DM tipe 2 dan Ulcus Diabetikum Grade 2 disertai
Hiperkalemia dan Anemia.

2.8 Planning dan Monitoring


- Melakukan observasi berkala mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, sampai terapi.
- Rencana pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan Darah Lengkap : Hb, test Feritin dan TIBC.
 Radiologi Foto thoraks PA
 Pemeriksaan Serum Elektrolit
 Pemeriksaan GDP 2 jam PP atau GDP
 Swab Ulkus pada Ulkus Diabetikum (kultur)
- Rencana terapi
 Pemasangan infus
 Oksigenasi, Nasal Kanul 3-4 lpm
1. Medikamentosa
 Intra Vennes Fluid Drip NaCl 0,9 % 14 tpm
 Aspirin dosis awal 150-300 mg (dikunyah)
 Clopidogrel dosis awal 300 mg
 Vitamin K
 Isosorbit dinitrat sublingual 2,5-15 mg
 Injeksi Omeprazole 1 x 40 mg
 Injeksi Ca Glukonas 1 ampul (IV)
 Transfusi PRC 2 kolf/hari
 RCI Aspart 3 x 4 unit/jam
 Ciprofloxacine 500 mg peroral/12 jam
2. Non-Medikamentosa
a. Pengaturan aktivitas fisik
o Tirah baring
12

b. Pengaturan diet
o Sementara dipuasakan dari konsumsi makanan karbohidrat tinggi,
lemak tinggi, garam tinggi.
o Edukasi sepuluh petunjuk pola hidup sehat (GULOH-SISAR) :
Gula : Pembatasan mengkonsumsi makanan tinggi
glukosa.
Asam Urat : Pembatasan mengkonsumsi makanan resiko
tinggi asam urat.
Lemak : Pembatasan mengkonsumsi makanan tinggi
lemak.
Obesitas
Hipertensi
Sigaret :Stop Merokok
Inaktivitas : Hindari.
Stress :Usahakan tidur 6-7 jam sehari untuk
meredakan stress.
Alkohol : Hindari.
Regular check up
c. Edukasi konsumsi obat secara teratur dan control
d. Rawat luka ulkus diabetikum dengan kendali luka menggunakan
konsep TIME:
 Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)
Melakukan pembersihan luka
 Inflmation and infection control (kontrol inflamasi dan infeksi)
Pemberian antibiotik gol. Quinolon.
 Moisturen balance (menjaga kelembapan)
Menggunakan pembalut luka yang bersifat absorbend.
 Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)
13

e. Edukasi kurangi tekanan yang berulang pada kaki yang dapat


menimbulkan ulkus baru.
f. Konsultasi dokter Spesialis Jantung dan dokter Spesialis Penyakit
Dalam
- Rencana tindak lanjut
a. Observasi keadaan umum
b. Observasi EKG
c. Observasi gula darah
d. Observasi Hb
e. Observasi Elektrolit
14

Hari, Subjektif Objektif Assesmen Planning


Tanggal
Selasa,  lukadi kaki kanan PEMERIKSAAN FISIK: STEMI dengan DM tipe Tatalaksana
17/12/2019  kaki terasa kesemutan -KU : Lemah 2 dan Ulkus Diabetikum. Non Medikamentosa :
 sering kencing di malam -GCS : 456 derajat 2 disertai -Bed rest
hari disertai minum ang -TD : 110/70 mmhg Hiperkalemi dan -GHS (Gaya Hidup Sehat)
banyak. -N : 88x/mnt Anemia. -Diet : rendah Karbohidrat dan
 Merasa lebih kurus (BB -RR : 16 x/mnt lemak.
menurun) -T : 36,50C - Rawat luka untuk ulkus
 Tidak ada nyeri dada. diabetikum
 Tidak sesak.  thorax : Medikamentosa :
simetris, tulang iga terlihat jelas, -Determir 3 x 8 unit (pagi hari)
retraksi ics (-), nafas cuping -Aspirin 100 mg /hari
hidung (-), S1 S2 tunggal -Clopidogrel 75 mg/hari
regular, murmur (-) sistolik, -Isosorbit dinitrat 15 mg/hari
 abdmen: dibagi menjadi 2-3 dosis.
supel, BU (+), -Ciprofloxacine 500 mg/12jam
 eks: - Vit. K
Atrofi otot (-), ulcus pada kaki
kanan.
 akral :
hangat, sianosis (-), CRT < 2 dtk
Monitoring :
-Gejala Klinis
-EKG
-GDP atau GD2jamPP
- Elektrolit
15

Tabel 2.4 Follow Up Pasien


16

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Diabetes Melitus Tipe 2

3.1.1 Definisi Diabetes Melitus Tipe 2

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. 1

3.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan


angka insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM
yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Pada buku pedoman ini,
hiperglikemia yang dibahas adalah yang terkait dengan DM tipe-2. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.
Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan
jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta
pada tahun 2035. 2
3.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus Tipe 2

Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin


absolut
 Autoimun
 diopatik

Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai


defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi
insulin
Tipe lain  Defek genetik fungsi sel beta
 Defek genetik kerja insulin
17

 Penyakit eksokrin pankreas


 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes melitus
gestasional

3.1.4 Patofisiologi

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi
insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan
toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi
glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang:

a. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan


hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
b. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
c. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi
18

terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet
(gambar-1). 1

Gambar 3.1 The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2. 1

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut : 1

a. Kegagalan sel beta pancreas:

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-
1 agonis dan DPP-4 inhibitor.

b. Liver:

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
19

c. Otot:

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di


intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

d. Sel lemak:

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid)
dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat
yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.

e. Usus:

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.
Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
20

f. Sel Alpha Pancreas:

Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal.
Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon
meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.

g. Ginjal:

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.


Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose
co- Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya
akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan
ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan
lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin
adalah alah satu contoh obatnya.

h. Otak:

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik
yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

3.1.5 Diagnosa dan Gejala Klinik Diabetes Melitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
21

enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai
keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. 1

Tabel 3.1. Kriteria Diagnosis DM 1


Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). (B)

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140
mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
22

• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan


HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%. 1
Tabel 3.2. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes.

2.2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi


medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat anti
hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat
diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan
dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan
Kesehatan Sekunder atau Tersier. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda
dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah mendapat
pelatihan khusus. 1
Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian
dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan
DM secara holistik.
Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara
komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
23

anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya).

Gambar 3.2 Sepuluh Petunjuk Pola Hidup Sehat Penderita DM. 4


Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila
tidak disertai adanya nefropati.
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea
24

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat
badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal). 1
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73
m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30
mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan
tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC
III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal
25

hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:
Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73
m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan
dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan
sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis
baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan
cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan
ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan
Mei 2015.
26

Gambar 3.3 Algoritme pengelolaan DM tipe 2

Gambar 3.4 Konsensus Perkeni 2015: Algoritme Pengelolahan DM Tipe 2. 1


27

Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
1) Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
2) Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
3) Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
4) Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
5) Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
Efek samping terapi insulin
1) Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
2) Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut DM
3) Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin. 1
28

Dasar pemikiran terapi insulin:


1) Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
diupayakan mampu menyerupai pola sekresi insulin yang fisiologis.
2) Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
3) Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi.
4) Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal
(puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin.
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin
basal (insulin kerja sedang atau panjang).
5) Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
6) Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan HbA1c belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (mealrelated).
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah
insulin kerja cepat (rapid acting) yang disuntikan 5-10 menit sebelum makan atau
insulin kerja pendek (short acting) yang disuntikkan 30 menit sebelum makan.
7) Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat antihiperglikemia oral untuk
menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin
kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen
usus (acarbose), atau metformin (golongan biguanid)
8) Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian. 1
29

Gambar 3.5 Regulasi cepat intravena (RCI) 5

Gambar 3.6 Regulasi cepat subkutan (RCS) 5


30

3.2 Ulkus Diabetikum


3.2.1 Definisi

Ulkus diabetikum merupakan salah satu bentuk dari komplikasi kronik


diabetes melitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya
kematian jaringan setempat. merupakan salah satu bentuk dari komplikasi kronik
diabetes melitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya
kematian jaringan setempat. 7

3.2.2 Patofisiologi

Ulserasi kaki terjadi akibat trauma dengan adanya neuropati dan kelainan
pembuluh darah perifer. Somatik neuropati lanjut menyebabkan ketidakpekaan,
memudahkan terjadinya trauma, gangguan propiosepsi dan atrofi otot yang
menyebabkan gangguan dalam berdiri dan berjalan. Kombinasi dari penurunan
sensitivitas dan peningkatan tekanan pada kaki pasien merupakan resiko dari ulserasi
neuropati. Hiperglikemi menghasilkan stress oksidatif pada sel saraf dan
menyebabkan neuropati. Disfungsi saraf akibat glikosilasi protein sel saraf
menyebabkan iskemia. Perubahan dari sel tersebut menimbulkan gangguan saraf
motorik, otonom, dan sensori pada ulkus neuropati. Kerusakan saraf motorik pada
otot kaki menyebabkan ketidak seimbangan fleksor ekstensor, deformitas anatomi,
dan ulkus kulit. Kerusakan saraf otonom mengganggu fungsi kelenjar keringat dan
penurunan kelembapan kulit yang menyebabkan kekeringan dan kerusakan kulit.
Pasien sering tidak mengeluh adanya luka pada kulit dikarenakan penurunan sensasi
perifer. Suplai darah yang baik dapat mempertahankan keutuhan kulit sehingga tidak
terjadinya ulkus kronik. 6

Perubahan pembuluh darah berhubungan dengan terjadinya ulkus diabetikum


akibat hiperglikemi yang menyebabkan perubahan pada pembuluh darah perifer
dimulai dari level seluler. Disfungsi endotel menyebabkan penurunan vasodilatasi
dan kenaikan tromboksan A2 plasma. Vasokontriksi dan hiperkoagulasi plasma pada
arteri perifer menyebabkan iskemia dan meningkatkan resiko terjadinya ulkus. 6
31

Perubahan imunitas mereduksi respon penyembuhan pada ulkus diabetikum.


Peningkatan apoptosis T limfosit yang menghambat penyembuhan telah diobservasi
pada pasien ulkus diabetikum. 6

3.2.3 Klasifikasi dan Tatalaksana

Klasifikasi ulkus diabetikum didasarkan pada kedalaman ulkus dan adanya


osteomielitis atau gangren. Standar tatalaksan dan klasifikasi ulkus diabetikum pada
Wagner
Grade Kondisi kaki Tatalaksana
Grade I Terkolalisir dan ulkus Antibiotik dan kontrol gula
superfisial darah
Grade II Kedalaman ulkus hingga Debrimen, antibiotik dan
tulang, ligamen, atau sendi kontrol glikemi
Grade III Abses dalam dan Debrimen dan dilakukan
osteomielitis amputasi pada beberapa
bagian
Grade IV Gangren ujung kaki dan Debrimen luas dan
kaki depan amputasi
Grasde V Gangren pada seuruh kaki Amputasi kaki
Tabel 3.3 Standar tatalaksan dan klasifikasi ulkus diabetikum pada Wagner
32

Gambar 3.6 Klasifikasi ulkus diabetikum


Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera mungkin.
Komponen penting dalam manajemen kaki diabetik dengan ulkus adalah :

 Kendali metabolik (metabolic control): pengendalian keadaan metabolik


sebaik mungkin seperti pengendalian kadar glukosa darah, lipid, albumin,
hemoglobin dan sebagainya.
 Kendali vaskular (vascular control): perbaikan asupan vaskular (dengan
operasi atau angioplasti), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.
 Kendali infeksi (infection control): jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi
harus diberikan pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi
pertumbuhan organisme pada hasil usap namun tidak terdapat tanda klinis,
bukan merupakan infeksi).
 Kendali luka (wound control): pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis
secara teratur. Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol infeksi, dengan
konsep TIME:
 Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)
33

 Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)


 Moisture Balance (menjaga kelembaban)
 Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)
 Kendali tekanan (pressure control): mengurangi tekanan pada kaki, karena
tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga harus dihindari.
Mengurangi tekanan merupakan hal sangat penting dilakukan pada ulkus
neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai sepatu dengan ukuran yang
sesuai diperlukan untuk mengurangi tekanan.
 Penyuluhan (education control): penyuluhan yang baik. Seluruh pasien
dengan diabetes perlu diberikan edukasi mengenai perawatan kaki secara
mandiri.

Terapi ulcus diabetikum TRIPLE BLIND THERAPY (mengobati ulkus diabetik


sebelum hasil kultur)
1. Untuk bakteri gram negatif : Golongan Quinolon, Ciprofloxain.
2. Untuk bakteri gram positif : Golongan Chephalosporin.
3. Untuk bakteri Anaerob : Metronidazole. 7
34

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Dasar Penegakan Diagnosa

Berdasarkan Anamnesis pasien mengalami nyeri dada dirasa hilang timbul,


Nyeri dada dirasakan hingga tembus ke punggung bagian belakang dan menjalar ke
tangan kiri. Nyeri dada seperti tertindih beban berat yang disertai sesak nafas,
berkeringat dingin, akral dingin, mual dan muntah. Nyeri dada sudah dirasakan
selama 2 bulan terakhir, nyeri dada timbul terutama saat aktifitas fisik, menghilang
jika istirahat. Pasien juga mengeluhkan adanya luka di kaki kanan yang tidak kunjung
sembuh sejak 6 bulan karena terkena besi panas. Pasien juga mengeluh sering
kencing dimalam hari, sering kehausan dan berat badan menurun sejak 1 tahun
belakangan ini. Pasien juga mengeluhkan sering kesemutan bagian kaki dan badan
terasa lemas dan penglihatan menjadi kabur. Pasien memiliki riwayat penyakit
diabetes melitus sudah 1 tahun, memiliki luka di kaki kanan sudah 6 bulan disertai
bengkak. Riwayat nyeri dada yang sama dengan saat ini pernah dialami 6 bulan yang
lalu. Pasien juga memiliki kebiasaan merokok, mengopi dan minum jamu. Pasien
mengaku mengurangi makan karena khawatir dengan penyakit diabetes yang diderita.
Pasien meminum OAD berupa Glibenklamid sudah 1 tahun. Pasien juga mengeluh
penglihatannya mulai kabur 6 bulan terakhir ini. Berdasarkan pemeriksaan Fisik
didapatkan RR 26 x/menit, konjungtiva anemis, bibir kering. Pemeriksaan Inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi jantungdan paru dalam batas normal. Pemeriksaan
ekstremitas bawah didapatkan ulkus dekstra kemerahan disertai bengkak.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 6.6 gr/dl, GDS 420
mg/dl, Na 128 mmol/L, Cl 94 mmol/L, K 5,53 mmol/L, Troponin I 3,77 ng/mL.
Pemeriksaan EKG didapatkan Irama sinus, HR 120 x/menit, normal Aksis, Iskemia
Hight Lateral tanpa adanya ST elevasi dan Left Ventricular Hypertropy serta
Hiperkalemia. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditegakkan diagnosis
NSTEMI dengan DM tipe 2 dan Ulcus diabetikum Grade 2 disertai Hiperkalemia dan
Anemia.
35

Menurut PERKI 2015 pada pedoman tatalaksana sindroma koroner akut, infark
miokard non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal
yang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan
marka jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI, jika
tidak meningkat, diagnosis mengarah UAP. Pada pasien ini sangat mendukung pada
diagnosis NSTEMI dari anamnesis pemeriksaan penunjang EKG yang ditemukan ST
depresi di lead I, II, V4, V5, V6, dan lead II panjang; T inverted di lead I, aVR dan
aVL; yang menunjukkan adanya iskemia pada bagian hight lateral dimana mengenai
A. Koroner left circumflex dan didapatkan hipertropi pada ventrikel kanan dengan
adanya R 24 mm pada V1 dan S 17 mm pada V6 dan ditemukannya ST depresi pada
V5 dan V6 yang menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Pada pemeriksaan
marker jantung ditemukan Troponin I yang meningkat. 8
Menurut PERKENI 2015 pada konsensus Pengolaan dan pencegahan diabetes
melitus tipe 2 di Indonesia, diabetes melitus ditegakkan jika pemeriksaan glukosa
plasma puasa ≥126 mg/dl. (Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8
jam) atau Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram atau Pemeriksaan glukosa
plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik atau pemeriksaan HbA1c ≥6,5%
dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standarization Program (NGSP). Pada pasien ini ditegakkan menderita DM
didapatkan gejala klasik DM dan glukosa darah sewaktu yang mencapai 420 mg/dl.
Pasien ini juga menderita ulkus diabetikum grade 2 dimana luka yang diderita tidak
lagi superfisial. 1
Hiperkalemia didukung dengan hasil pemeriksaan elektrolit yang menunjukkan
kadar kalium yang meningkat dengan hasil 5,53 mmol/L dan hasil EKG ditemukan T
tall pada V1 dan V2. Anemia Hipokrom Mikrositik ditegakkan dengan kadar Hb yang
rendah yaitu 6,6 gr/dl dengan MCH dan MCV yang rendah. 9
36

4.2 Dasar Recana Tatalaksana


Pemberian rencana tatalaksana untuk NSTEMI berdasarkan PERKI 2015 pada
pedoman tatalaksana sindroma koroner akut dan AHA tahun 2010 diberikan
oksigenasi, nitrat, antiplatelet diberikan anti iskemia dengan KI tertentu seperti
golongan beta bloker, dapat diberikan Vit. K. dengan indikasi pemberian antiplatelet.
Pada pasien ini diberikan :
 Oksigenasi, nasal kanul 3-4 lpm.
 Aspirin dosis awal 150-300 mg (dikunyah)
 Clopidogrel dosis awal 300 mg
 Vitamin K
 Isosorbit dinitrat sublingual 2,5-15 mg 8
Pemberian rencana tatalaksana untuk DM tipe 2 departement of interbal medicine
Surabaya Diabetes dan Nutrition Centre oleh Prof Askandar tahun 2012. Pada pasien
ini diberikan: RCI Aspart 3 x 4 unit/jam pemberian tersebut berdasarkan gula darah
plasma yang didapatkan 420 mg/dl pada pasien. 5
Pemberian rencana tatalaksana untuk Hiperkalemia berdasarkan Sabatine’s
Pocket Medicine 6th tahun 2016 diberikan Ca glukonas (IV) 1-2 ampul.
37

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien


didiagnosis NSTEMI dengan DM Tipe 2 dan Ulkus Diabetikum grade 2 disertai
Hiperkalemi dan Anemia.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan observasi lebih lanjut untuk ketepatan penanganan pada pasien
dengan NSTEMI dengan DM Tipe 2 dan Ulkus Diabetikum grade 2 disertai
Hiperkalemi dan Anemia.

2. Perlu disampaikan KIE pada pasien dan keluarga untuk patuh minum obat,
menjaga pola hidup, dan melakukan aktifitas sesuai yang disarankan dokter.
38

TINJAUAN PUSTAKA

1. PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe


2 di Indonesia.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Hari Diabetes Sedunia 2010.
3. Suyono S. 2009. Diabetes Mellitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing.
4. Askandar Tjokroprawiro. 2002. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes. 1 sl
ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Halaman 1 - 22.
5. Askandar Tjokroprawiro. 2001. Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi Diabetes
Mellitus. 3rd ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Halaman 17 - 22,26-
27,29 - 32, 45 - 51,53 - 55,64 - 68, 73 -74.
6. Anderson H, Dollahite, Wade D, Aumiller, 2015. Pathogenesis and Management
of Diabetic Foot Ulcer. Journal of the American Academy. Volume 28 (5) p. 28-
34.
7. Boulton AJM, 2014. The Diabetic Foot. Elsevier. P.33-37
8. PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, Jakarta: Centra
Communications.
9. Sabatine’s Pocket Medicine 6 th edition. 2016; (4-11)
.

Anda mungkin juga menyukai