Seorang ayah terkejut bukan main saat mendapati anaknya yang berusia lima tahun sudah
mampu melontarkan kata-kata milik anak remaja. Dalam beberapa kesempatan, si anak kerap
menyanyikan lagu-lagu cinta yang kini tengah menjamur. Kondisi ini tentu tak pernah terbayang
di benak orangtua. Tapi, menilik kenyataan yang terjadi, semua yang tak terbayang itu sudah
terbentang di depan mata. Tak sedikit anak-anak belia yang kini menjadi akil balig lebih cepat.
Kenyataan yang merisaukan para orangtua ini tentu ada “asbabun-nuzûl”nya. Yang pasti,
tayangan televisi yang mengepung rumah-rumah kita sepanjang hari menjadi pemicu yang tak
boleh dianggap remeh. Anak-anak belia yang menjadi “ABG” sebelum waktunya merupakan
korban tayangan televisi. Selain menimbulkan dampak psikologis, televisi juga menimbulkan
dampak lain terhadap mental anak-anak dan kesehatan mereka.
Hasil penelitian Hancox RJ. Association bertema Television Viewing During Childhood with
Poor Educational Achievement menyebutkan, bahwa anak berusia tiga tahun yang rajin nonton,
akan mengalami penurunan minat baca, berkurangnya kemampuan membaca secara
komprehensif, dan menurunnya kemampuan memori. Sedangkan dampak jangka panjang berupa
kegagalan akademis pada usia 26 tahun.
Menurut Dr. Hardiono D. Pusponegoro, mengutip hasil penelitian tadi, dari aktivitas menonton
televisi saja, otak akan kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dalam hubungan sosial
dengan orang lain. Selain itu, otak juga akan kehilangan kesempatan bermain kreatif dan
memecahkan masalah. Televisi yang bersifat satu arah, membuat anak-anak kehilangan
kesempatan mengekplorasi dunia tiga dimensi, dan peluang tahapan perkembangan yang baik.
Dampak tayangan televisi semakin jelas terlihat jika kita kaji setiap jenis tayangan. Tapi, dari
sekian ragam jenis tayangan, yang paling mendapat perhatian adalah tayangan kekerasan dan
infotainment. Dua jenis tayangan ini bukan saja mengilhami penonton dewasa untuk meniru
setiap adegan tayangan, tapi juga berdampak pada perilaku keseharian mereka. Apalagi dalam
berbagai penelitian, dua jenis tayangan ini menarik banyak penonton dan meraih rating tinggi.
Tayangan berita seputar gosip para pesohor (artis), misalnya yang sangat menjamur sejak Cek &
Ricek mengudara pertama kali pada awal 1990-an, sampai sekarang produk ini tetap bertahan
dan terus berkembang. Belakangan, bahkan semakin banyak muncul acara sejenis. Jam
tayangnya pun sudah mulai sejak pagi buta hingga menjelang tengah malam, di hampir semua
saluran televisi.
Berita-berita yang disajikan dalam tayangan infotainment, biasanya mengandung rumus yang
sederhana. Pertama, kemunculan seorang artis baru dan segala pernik-pernik kehidupan pribadi
serta prestasi yang diraih kalau ada. Kedua, setelah dikenal siapa pacar atau orang yang sedang
mendekatinya, artis itu akan dicecar reaksi seputar kedekatan hubungannya. Ketiga, setelah
menjalin hubungan asmara, infotainment akan menggiring isu pada urusan kapan si artis akan
menikah.
Setelah si artis menikah, pertanyaan yang selalu dimunculkan adalah kapan punya anak dan
berapa anak yang diinginkan. Jika pertanyaan ini tak kunjung mendapat jawaban pasti, materi
yang ditayangkan biasanya beralih kepada isu lain, seperti keretakan rumah tangga hingga
perceraian. Kisah kawin cerai artis tak jarang jadi tayangan bersambung selama berminggu-
minggu, seperti terjadi dalam kasus perceraian Tamara Bleszinsky-Teuku Rafli dan Ahmad
Dhani-Maia Estianti.
Tayangan yang terlalu jauh memasuki ruang privat seseorang inilah yang banyak dipersoalkan.
Selain tidak mendidik, jam tayang infotainment seakan tak mengenal waktu. Sehingga jam-jam
tayang untuk tontonan anak-anak pun terampas. Jika dihitung-hitung, jam tayang infotainment
bisa mencapai 18 jam sehari, atau lebih dari 220 episode dalam seminggu.
Dengan jam tayang yang begitu masif, tak heran jika acara ini sudah muncul sejak sebelum
matahari terbit hingga menjelang tengah malam, di berbagai saluran televisi. Bayangkan, setelah
mengikuti pengajian ba’da Subuh di televisi, rumah-rumah kita sudah dibombardir dengan
tayangan infotainment. Dengan masa tayang yang begitu banyak, tanpa disadari tayangan ini
seringkali membuat orang ketagihan.
Dengan jam tayang yang tinggi, mau tak mau anak-anak di rumah akan punya kesempatan luas
menjadi penontonnya. Apalagi jika para ibu dan kaum perempuan, yang menjadi pangsa pasar
terbesar penonton tayangan ini, ikut-ikutan menjadi penonton setia. Akibatnya, anak ikut terbawa
arus menjadi penonton juga. Pada masa perkembangan ini, tentunya anak-anak dengan mudah
menyerap kosakata, kalimat, atau kata-kata yang disampaikan presenter.
Menurut psikolog Dadang Hawari, tayangan televisi menjadi modeling bagi perkembangan
anak-anak, jika mereka terus-menerus menjadi penonton. Apalagi jika orangtua secara bersama-
sama menjadi penonton acara sejenis. Anak-anak akan menemukan pembenaran bahwa acara
yang ditonton itu adalah acara yang baik, sehingga muncul naluri meniru segala yang
ditayangkan.
Sebagai orangtua kita, sudah waktunya kita tekan dampak tayangan yang mengandung ghibah
(bergunjing) itu seminimal mungkin. Sikap ini menjadi penting, sebelum perilaku anak-anak kita
disetir oleh televisi. Selagi ada peluang dan kesempatan memperbaiki diri, alangkah baiknya jika
kita mulai dari sekarang untuk melihat kembali hobi kita menonton gosip, isu, dan acara
menggunjing orang lain.
Antara benci dan rindu, merupakan ungkapan yang pas untuk menggambarkan hubungan kita
dengan televisi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mulai sulit melepaskan diri dari televisi,
karena tak sedikit acara yang bernilai positif.
Pengajian Subuh, merupakan salah satu tayangan yang layak disimak. Begitu pula acara ilmu
pengetahuan seperti Discovery Channel. Dalam kesempatan lain kita juga perlu mengetahui
perkembangan dunia luar agar wawasan kita terus bertambah.
Dengan manfaat yang tidak sedikit ini, disertai mudharat yang dihadirkan, yang diperlukan
sekarang adalah sikap kita terhadap tontotan. Kita perlu bijak, kapan semua anggota keluarga
bisa menonton bersama, dan kapan televisi harus dimatikan. Orangtua perlu menekan ego untuk
tidak menonton televisi pada jam-jam anak belajar. Karena, bagaimana mungkin meminta anak
belajar, jika di dalam rumah yang sama orangtua asyik menonton sinetron?
Selain itu, orangtua harus selektif memilihkan tayangan yang boleh ditonton anak-anaknya.
Apalagi, saat ini banyak tayangan dengan label “tontotan anak”, tapi isinya justru jauh dari nilai-
nilai dan kehidupan dunia anak. Acara “Idola Cilik” misalnya, seakan ditujukan untuk anak-
anak. Tapi jika kita simak lebih jauh, terutama lagu yang dinyanyikan, rasanya kita perlu berpikir
kembali kelayakan acara tersebut ditonton anak. Bagaimana mungkin anak-anak berusia 10-12
tahun menyanyikan lagu “Kekasih Gelap” milik Sheila On 7, misalnya.
Kunci penting menghindarkan anak-anak dari dampak buruk televisi adalah kepedulian orangtua
dan kemauan orangtua untuk mengalah. Jika orangtua tetap gemar menonton televisi tanpa tahu
waktu, jangan berharap anak-anak patuh dan menuruti kemauan orangtua. Jangan sampai kita
baru sadar ketika anak-anak lebih mudah menirukan adegan di televisi daripada menjadikan
orangtua sebagai panutan. Wallâhua’alam.