Anda di halaman 1dari 6

Selamat malam Dr.

Saidah, bersama ini sy kirimkan hasil koreksi dari seminar hasil


yang dilaksanakan pada tanggal 20 February 2020. Terima kasih dokter atas
koreksinya dan mohon suportnya untuk saya maju pada seminar tutup nanti. Wassl
Dany H. Ludong
1. Judul Penelitian:
ANALISIS EKSPRESI mRNA DAN KADAR PROTEIN PADA GEN NQO2 YANG
MEMPENGARUHI TERJADINYA GANGGUAN PSIKOTIK PADA PENYALAHGUNA
METAMFETAMIN
Berubah menjadi:
PENGARUH EKSPRESI mRNA DAN KADAR PROTEIN GEN NQO2 PADA
KEJADIAN GANGGUAN PSIKOTIK PADA PENYALAHGUNA METAMFETAMIN

2. Bagaimana mengetahui bahwa klien sebelumnya tidak ada gangguan jiwa?


a. Melalui alloanamnesa dari orang tua, saudaranya atau orang yang mengantar
klien waktu intake pertama di Balai dan pada waktu acara “family dialog”. Alat
pemeriksaan yang digunakan ialah instrument ASI (Addiction Severity Index)
sebagai instrument standard pemeriksaan di Balai Rehabilitasi BNN.
b. Melalui autoanamnesa dari klien sendiri dengan dokter pada waktu dilakukan
“Assesment awal” (dengan menggunakan instrument BPRS dan DSM V)yang
dilanjutkan dengan “static konseling” dengan konselor, sehingga diagnosis pada
diri klien sudah dapat ditegakkan.
Patofisiologi Psikotik pada klien MAP
Metamfetamin masuk ketubuh bisa secara oral atau injeksi, lalu menstimulasi
dopamin secara berlebihan. Dopamin yang meningkat secara berlebihan ini mengalami
autooksidasi sehingga berubah menjadi kuinon dan berubah lagi menjadi semi kuinon
yang sangat reaktif, selanjutnya masuk dalam siklus ROS. ROS yang berlebihan akibat
stimulasi dopamine akan menimbulkan Stres Oksidatif. Stres Oksidatif yang tidak bisa
dinetralisir menimbulkan Neurotoksisitas (kerusakan sel saraf), dan salah satu dampak
yang ditimbulkannya adalah Gangguan Psikotik dan bahkan bisa menjadi Skizofrenia.
Salah satu fungsi gen NQO2 adalah melakukan Detoksifikasi untuk melindungi
terjadinya kerusakan sel saraf dari akibat ROS yang berlebihan dan stres oksidatif.
Gen NQO2 ini diketahui bersifat helper, sehingga gen ini dapat berfungsi normal
(fungsi detoksifikasi normal) jikalau ekspresi mRNA dan kadar proteinnya tinggi. Bila
sebaliknya jika ekspresi mRNA dan kadar proteinnya rendah (Insufisiensi Up Regulasi)
maka terjadi disfungsi detoksifikasi.
Adapun tanda-tanda dan manifestasi dari stres oksidatif, neurotoksisitas, dan
gangguan psikotik tergambar dalam skema diatas.
3. Halaman 111

Nilai Mean (rata-rata) Ekspresi RT-PCR pada kelompok kasus (7,46), lebih kecil dari
kontrol (12,87), ini artinya bahwa ada perbedaan, rata-rata nilai kelompok kasus lebih
kecil dari kelompok kontrol. Selanjutnya untuk menentukan bahwa nilai perbedaan
tersebut bermakna secara statistic atau tidak, maka dilakukan uji T (atau uji
perbedaan), sehingga hasilnya bisa diterima secara statistic (umum).
4. Halaman 112: Jumlah subjek kelompok kasus dan kontrol masing-masing adalah 30
dan 60 subjek.
Berubah menjadi “Jumlah sampel pada kelompok kasus dan kontrol masing-masing
30 sampel”.
5. Halaman 112: Jelaskan arti nilai ROC pada Ekspresi mRNA dan bagaimana
pengaruhnya?
Pembahasan:
No. Positive if Greater Than or Sensitivity 1 - Specificity
Equal Toa

28 9,28250 1,000 ,100


29 9,52050 1,000 ,067
30 9,73000 1,000 ,033

Titik potong (cut-off) yang ideal direkomendasikan secara statistik yaitu nilai antara
9,28 sampai 9,73, karena nilai Sensitivity bila dikurangi nilai 1-Spesivity hasilnya ≥
90% (nilai standard) untuk sampel pada kelompok kasus maupun kontrol.
Kesimpulan: Kalau nilai ekspresi RT PCR > 9,73000 maka besar potensinya untuk
menderita psikotik (<90%) dan angka ini umumnya adalah sampel dari klien yang
menderita psikotik. Sebaliknya kalau < 9,28 maka kecil potensinya untuk menderita
psikotik (>90%), angka ini umumnya berada pada sampel orang normal dan klien
yang konsumsi MA tetapi tidak psikotik.
6. Halaman 124, Kesimpulannya sbb:
Untuk nomor 1 s/d 3 adalah nilai Ekspresi mRNA pada pemeriksaan RT PCR.
1. Makna nilai mean kasus lebih rendah dari kontrol artinya sebagaimana diketahui
gen NQO2 bersifat helper, jadi Ekspresi mRNA harus tinggi baru proses
detoksifikasinya berfungsi normal. Karena pada kelompok kasus gen NQO2 nya
rendah sehingga mempengaruhi terjadinya gangguan Psikotik, sedangkan pada
kelompok kontrol gen NQO2nya tinggi maka tidak didapati gangguan Psikotik.
2. Makna nilai perbedaan antara sampel kelompok kasus dan kontrol yaitu bahwa
dari hasil uji statistik mula-mula dilihat nilai rata-ratanya antara sampel kasus dan
kontrol, ternyata nilai rata-rata kasus lebih kecil dari kontrol, sehingga diambil
kesimpulan bahwa nilai kasus berbeda dari kontrol. Kemudian untuk
mengetahui apakah nilai yang berbeda itu bermakna secara statistik atau
tidak, maka dilakukan uji T (Uji perbedaan), ternyata nilai kasus berbeda dengan
nilai kontrol secara statistic. Ini membuktikan bahwa nilai ekspresi mRNA
pada sampel kasus rendah maka berdampak pada fungsi detoksifikasi yang
terganggu, sehingga ini berarti akan mempengaruhi terjadInya gangguan
psikotik, berbeda dengan sampel kontrol yang tinggi, ini berarti bahwa
fungsi detoksifikasi normal, sehingga tidak mempengaruhi terjadinya
gangguan Psikotik.
3. Titik potong (cut off) dari hasil pemeriksaan ekspresi mRNA dengan RT PCR
pada penggabungan kelompok sampel kasus dan kontrol (60 sampel) didapatkan
nilai titik potong ideal secara statistik berada diantara 9,28 sampai 9,73 oleh
karena nilai “Sensitvity – 1- Spesifity” berada antara 90% - 100%, maka
penelitian ini memberikan gambaran bahwa sampel yang nilainya antara 9,28
sampai 9,73 sangat tidak berpotensi untuk mengalami gangguan psikotik. Kalau
kurang dari 9,28 (< 9,28) adalah sampel yang termasuk tidak berpotensi
menderita gangguan psikotik dan ini umumnya yang berada pada sampel
kelompok kontrol. Sedangkan sampel yang nilainya lebih besar dari 9,73 adalah
sampel yang berpotensi mengalami gangguan psikotik dan ini umumnya berada
pada sampel kelompok kasus.
4. Untuk nomor 4,5 dan 6:
5. Hasil pemeriksaan nomor 4,5 dan 6: Hasilnya sama dengan nomor 1,2 dan 3
hanya perbedaannya ialah kalau nomor 1,2 dan 3 adalah hasil pemeriksaan
“ekspresi mRNA gen NQO2 pada RT PCR”, sedangkan nomor 4,5 dan 6 adalah
hasil pemeriksaan “Kadar Protein gen NQO2 dengan Sandwich Elisa”
6. Dari hasil penelitian ini dapat kami jelaskan bahwa gen NQO2 berpengaruh
terhadap kejadian Gangguan Psikotik pada klien pengguna metamfetamin,
dimana klien yang ekspresi mRNA dan kadar protein gen NQO2 nya mengalami
Insufisiensi Up Regulasi / rendah, maka sangat berpotensi mengalami gangguan
psikotik sedangkan yang gen NQO2 nya tinggi, maka kecil potensinya untuk
mengalami gangguan psikotik.
7. Halaman 125, Sarannya sbb:
1. Kemaknaan terhadap masalah kesehatan yaitu bila ekspresi mRNA dan kadar
protein gen NQO2 klien didapati dalam keadaan insufisiensi up regulasi / rendah,
maka harus diwaspadai akan timbulnya komplikasi gangguan psikotik. Disamping
itu klien akan mengalami stigma yang berat yaitu baik sebagai pecandu juga
serbagai penderita gangguan psikotik.
Dari aspek hukumnya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penegak hukum
untuk menentukan apakah klien tersebut dapat dirujuk ke Rumah Sakit untuk
mengikuti Perawatan / Rehabilitasi oleh karena gangguan psikotik yang timbul
sebagai akibat komplikasi dari kecanduannya, atau yang bersangkutan harus
direhabilitasi dirumah tahanan / Balai Rehabilitasi karena klien tidak berpotensi
mengalami gangguan psikotik.
2. Hal mengenai evaluasi terhadap normalitas gen NQO2 setelah diterapi, ini
mendasari dari beberapa kajian yang menguji normalitas gen sebelum dan
sesudah Terapi dan Rehabilitasi, artinya diusulkan untuk melihat perubahan dari
rendahnya ekspresi mRNA dan kadar protein sebelum di Terapi dan Rehabilitasi,
apakah ada perubahan menjadi tinggi setelah di Terapi dan Rehabilitasi.
3. Klien yang mengalami gangguan psikotik dapat dipertimbangkan untuk diberikan
terapi tambahan berupa suplemen yang mengandung antioksidatif karena kita
ketahui gangguan Metamfetamin Psikotik (MAP), salah satu penyebabnya ialah
stres oksidatif. Hal ini terjadi karena gen NQO2 mengalami disfungsi sehingga
tidak dapat melakukan fungsi detoksifikasi secara normal, sehingga dapat
dipertimbangkan untuk pemberian anti oksidan untuk meminimalisir efek ROS
tersebut. (sumber: Eni Widayati “Oxidasi Biologi, Radikal Bebas dan Antioxidan” Bagian
Kimia-Biokimia FK Unisula Semarang).

5. Dalam penelitian yang berjudul: “Oxidative stress in schizophrenia: a case-control


study of the effects on social cognition and neurocognition” yang dilakukan oleh: Cristina
Gonzalez-Liencres at all, dikatakan: We found that the schizophrenia group exhibited
significantly higher levels of oxidative stress than the control group, as increased by the number
of pro-oxidants NO and MDA, and decreased antioxidant levels of GSH, SOD and NT4 / 5.
Interestingly, NT4 / 5 levels, which has been shown to have an antioxidant effect, correlated with
executive function, which was determined by two different tests (WCST and TMT). However,
social cognitive and severity were not found to be associated with oxidative stress
Conclusion: Peneliti mendukung peran protektif NT4 / 5 terhadap stres oksidatif,
yang tampaknya memiliki dampak yang menguntungkan pada neurokognisi pada
skizofrenia.
6. Dalam penelitian ini sebelum dilakukan uji T (perbedaan) antara kelompok kasus
dan kontrol, maka terlebih dulu dilakukan uji perbedaan pada kelompok kontrol
untuk pemeriksaan ekspresi mRNA dengan RT PCR, maupun pemeriksaan
kadar protein dengan Sandwich Elisa antara klien pengguna metamfetamin yang
tidak psikotik dangan klien yang bukan pengguna / orang normal. Hasil yang
didapatkan pada kedua jenis pemeriksaan tersebut bahwa tidak ada perbedaan
antara kelompok pengguna MA dengan tidak psikotik maupun kelompok sampel
yang bukan pengguna / normal (terlampir).

Anda mungkin juga menyukai