Nilai Mean (rata-rata) Ekspresi RT-PCR pada kelompok kasus (7,46), lebih kecil dari
kontrol (12,87), ini artinya bahwa ada perbedaan, rata-rata nilai kelompok kasus lebih
kecil dari kelompok kontrol. Selanjutnya untuk menentukan bahwa nilai perbedaan
tersebut bermakna secara statistic atau tidak, maka dilakukan uji T (atau uji
perbedaan), sehingga hasilnya bisa diterima secara statistic (umum).
4. Halaman 112: Jumlah subjek kelompok kasus dan kontrol masing-masing adalah 30
dan 60 subjek.
Berubah menjadi “Jumlah sampel pada kelompok kasus dan kontrol masing-masing
30 sampel”.
5. Halaman 112: Jelaskan arti nilai ROC pada Ekspresi mRNA dan bagaimana
pengaruhnya?
Pembahasan:
No. Positive if Greater Than or Sensitivity 1 - Specificity
Equal Toa
Titik potong (cut-off) yang ideal direkomendasikan secara statistik yaitu nilai antara
9,28 sampai 9,73, karena nilai Sensitivity bila dikurangi nilai 1-Spesivity hasilnya ≥
90% (nilai standard) untuk sampel pada kelompok kasus maupun kontrol.
Kesimpulan: Kalau nilai ekspresi RT PCR > 9,73000 maka besar potensinya untuk
menderita psikotik (<90%) dan angka ini umumnya adalah sampel dari klien yang
menderita psikotik. Sebaliknya kalau < 9,28 maka kecil potensinya untuk menderita
psikotik (>90%), angka ini umumnya berada pada sampel orang normal dan klien
yang konsumsi MA tetapi tidak psikotik.
6. Halaman 124, Kesimpulannya sbb:
Untuk nomor 1 s/d 3 adalah nilai Ekspresi mRNA pada pemeriksaan RT PCR.
1. Makna nilai mean kasus lebih rendah dari kontrol artinya sebagaimana diketahui
gen NQO2 bersifat helper, jadi Ekspresi mRNA harus tinggi baru proses
detoksifikasinya berfungsi normal. Karena pada kelompok kasus gen NQO2 nya
rendah sehingga mempengaruhi terjadinya gangguan Psikotik, sedangkan pada
kelompok kontrol gen NQO2nya tinggi maka tidak didapati gangguan Psikotik.
2. Makna nilai perbedaan antara sampel kelompok kasus dan kontrol yaitu bahwa
dari hasil uji statistik mula-mula dilihat nilai rata-ratanya antara sampel kasus dan
kontrol, ternyata nilai rata-rata kasus lebih kecil dari kontrol, sehingga diambil
kesimpulan bahwa nilai kasus berbeda dari kontrol. Kemudian untuk
mengetahui apakah nilai yang berbeda itu bermakna secara statistik atau
tidak, maka dilakukan uji T (Uji perbedaan), ternyata nilai kasus berbeda dengan
nilai kontrol secara statistic. Ini membuktikan bahwa nilai ekspresi mRNA
pada sampel kasus rendah maka berdampak pada fungsi detoksifikasi yang
terganggu, sehingga ini berarti akan mempengaruhi terjadInya gangguan
psikotik, berbeda dengan sampel kontrol yang tinggi, ini berarti bahwa
fungsi detoksifikasi normal, sehingga tidak mempengaruhi terjadinya
gangguan Psikotik.
3. Titik potong (cut off) dari hasil pemeriksaan ekspresi mRNA dengan RT PCR
pada penggabungan kelompok sampel kasus dan kontrol (60 sampel) didapatkan
nilai titik potong ideal secara statistik berada diantara 9,28 sampai 9,73 oleh
karena nilai “Sensitvity – 1- Spesifity” berada antara 90% - 100%, maka
penelitian ini memberikan gambaran bahwa sampel yang nilainya antara 9,28
sampai 9,73 sangat tidak berpotensi untuk mengalami gangguan psikotik. Kalau
kurang dari 9,28 (< 9,28) adalah sampel yang termasuk tidak berpotensi
menderita gangguan psikotik dan ini umumnya yang berada pada sampel
kelompok kontrol. Sedangkan sampel yang nilainya lebih besar dari 9,73 adalah
sampel yang berpotensi mengalami gangguan psikotik dan ini umumnya berada
pada sampel kelompok kasus.
4. Untuk nomor 4,5 dan 6:
5. Hasil pemeriksaan nomor 4,5 dan 6: Hasilnya sama dengan nomor 1,2 dan 3
hanya perbedaannya ialah kalau nomor 1,2 dan 3 adalah hasil pemeriksaan
“ekspresi mRNA gen NQO2 pada RT PCR”, sedangkan nomor 4,5 dan 6 adalah
hasil pemeriksaan “Kadar Protein gen NQO2 dengan Sandwich Elisa”
6. Dari hasil penelitian ini dapat kami jelaskan bahwa gen NQO2 berpengaruh
terhadap kejadian Gangguan Psikotik pada klien pengguna metamfetamin,
dimana klien yang ekspresi mRNA dan kadar protein gen NQO2 nya mengalami
Insufisiensi Up Regulasi / rendah, maka sangat berpotensi mengalami gangguan
psikotik sedangkan yang gen NQO2 nya tinggi, maka kecil potensinya untuk
mengalami gangguan psikotik.
7. Halaman 125, Sarannya sbb:
1. Kemaknaan terhadap masalah kesehatan yaitu bila ekspresi mRNA dan kadar
protein gen NQO2 klien didapati dalam keadaan insufisiensi up regulasi / rendah,
maka harus diwaspadai akan timbulnya komplikasi gangguan psikotik. Disamping
itu klien akan mengalami stigma yang berat yaitu baik sebagai pecandu juga
serbagai penderita gangguan psikotik.
Dari aspek hukumnya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penegak hukum
untuk menentukan apakah klien tersebut dapat dirujuk ke Rumah Sakit untuk
mengikuti Perawatan / Rehabilitasi oleh karena gangguan psikotik yang timbul
sebagai akibat komplikasi dari kecanduannya, atau yang bersangkutan harus
direhabilitasi dirumah tahanan / Balai Rehabilitasi karena klien tidak berpotensi
mengalami gangguan psikotik.
2. Hal mengenai evaluasi terhadap normalitas gen NQO2 setelah diterapi, ini
mendasari dari beberapa kajian yang menguji normalitas gen sebelum dan
sesudah Terapi dan Rehabilitasi, artinya diusulkan untuk melihat perubahan dari
rendahnya ekspresi mRNA dan kadar protein sebelum di Terapi dan Rehabilitasi,
apakah ada perubahan menjadi tinggi setelah di Terapi dan Rehabilitasi.
3. Klien yang mengalami gangguan psikotik dapat dipertimbangkan untuk diberikan
terapi tambahan berupa suplemen yang mengandung antioksidatif karena kita
ketahui gangguan Metamfetamin Psikotik (MAP), salah satu penyebabnya ialah
stres oksidatif. Hal ini terjadi karena gen NQO2 mengalami disfungsi sehingga
tidak dapat melakukan fungsi detoksifikasi secara normal, sehingga dapat
dipertimbangkan untuk pemberian anti oksidan untuk meminimalisir efek ROS
tersebut. (sumber: Eni Widayati “Oxidasi Biologi, Radikal Bebas dan Antioxidan” Bagian
Kimia-Biokimia FK Unisula Semarang).