Anda di halaman 1dari 19

Gejala dan Penatalaksanaan Intususepsi pada Bayi

Amarce Estevina Yoteni – 102013328


Timothy John – 102014207
Annisa Nova - 102015075
Kisi Wulandari – 102016057
Nathania Dwianti Setiawan – 102016120
Edward Anderson Nainggolan – 102016160
Ilyana Prasetya Hardyanti - 102016223
James Winston - 102016245
Nurul Iffah Syahirah - 10201626
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510, Indonesia

Abstract
Intussusception is a condition that usually occurs in children, and is very rare in adults,
intussusception is the entry segment proximal bowel (towards oral) kerongga bowel lumen
distal (towards anal), causing symptoms of strangulation intestinal obstruction persists.
Most often the entry of the terminal ileum to the colon. Invaginasi occurred because of
something in the gut which causes excessive peristalsis, usually occurs in children but can
also occur in adults. Areas that are anatomically most susceptible to invaginasi is ileo
coecal, where smaller ileum can fit easily into a loose coecum.
Keywords: segment of bowel, bowel obstruction

Abstrak
Intususepsi adalah keadaan yang umumnya terjadi pada anak-anak, dan merupakan
kejadian yang jarang terjadi pada dewasa, intususepsi adalah masuknya segmen usus
proksimal (kearah oral) kerongga lumen usus yang lebih distal (kearah anal) sehingga
menimbulkan gejala obstruksi berlanjut strangulasi usus. Paling sering masuknya ileum
terminal ke kolon. Invaginasi terjadi karena adanya sesuatu di usus yang menyebabkan
peristaltik berlebihan, biasanya terjadi pada anak-anak tetapi dapat juga terjadi pada
dewasa. Daerah yang secara anatomis paling mudah mengalami invaginasi adalah ileo

1
coecal, dimana ileum yang lebih kecil dapat masuk dengan mudah ke dalam coecum yang
longgar.
Kata Kunci : segmen usus, obstruksi usus

Pendahuluan
Intususepsi yang dikenal juga dengan nama “invaginasi” harus segera dikenali
gejalanya karena meskipun kejadiannya jarang tetapi merupakan penyebab tersering
dari obstruksi usus akut pada bayi dan anak. Intususepsi terjadi ketika satu bagian atas dari
usus invaginasi ke bagian bawah dari usus tersebut. Jika progresi dari intususepsi ini tidak di
tatalaksana segera dengan tepat dan adekuat, dapat terjadi peritonitis pada anak yang akan
berakibat fatal hingga menyebabkan kematian. Kematian yang disebabkan oleh intususepsi
jarang ditemukan di negara maju, hal ini disebabkan oleh waktu diagnosis yang cepat dan
alat-alat memadai untuk terapi operatif. Di negara berkembang, pasien yang ditemukan biasa
telah berada dalam kondisi serius dan angka kematian yang cukup tinggi karena
terbatasnya akses kesehatan.1
Penyebab utama intususepsi adalah idiopatik dan terutama diderita oleh bayi sehingga
tanda-tanda khas yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi harus diketahui oleh
para dokter sehingga penanganan yang cepat dan tepat dapat dilaksanakan dan mengurangi
mortilitas intususepsi. Keputusan pemilihan penanganan apakah melalui reposisi operatif atau
non operatif tergantung dari letak intussuseptum, kondisi umum anak, dan lamanya
invaginasi terjadi.1

Anamnesis
Ketika pasien datang, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menanyakan
identitas seperti nama, alamat, umur, dan pekerjaan. Selanjutnya baru mempersilahkan pasien
memberikan keluhan utamannya.
Pada anamnesis yang dilakukan secara allo-anamnesis dengan ibu bayi, didapatkan
seorang bayi yang berusia 5 bulan dengan keluhan utama buang air besar berwarna merah
kehitaman dengan konsistensi kental seperti jel berlendir sejak satu jam yang lalu. Menurut
ibunya sejak enam jam yang lalu anaknya sangat rewel, tidak dapat ditenangkan, perutnya
kembung dan beberapa kali muntah setiap diberi makan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan suatu tahap pemeriksaan awal yang dilakukan oleh
dokter atau petugas medis untuk mengetahui keadaan fisik pasien secara umum dan

2
menegakan diagnosis awal penyakit. Cara pemeriksaan fisik adalah dengan melakukan
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pada inspeksi umum, dilihat apakah ada perubahan
secara umum dan keadaan umum pasien. Setelah itu melakukan palpasi atau perabaan
abdomen, kemudian perkusi yaitu dengan mengetuk pada bagian abdomen dengan jari, serta
pemeriksaan auskultasi untuk mendengar bising usus.2
Dari hasil pemeriksaan fisik yang abdomen dilakukan terhadap bayi berusia lima
bulan tersebut pada inspeksi tampak adanya distensi abdomen. Pada palpasi teraba adanya
massa abdomen seperti sosis. Sedangkan pada auskultasi didapatkan bising usus yang
meningkat.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebagai suatu indikasi untuk
memastikan diagnosis intususepsi pada bayi terdiri dari beberapa hal. Antara lain:
1. Pemeriksaan darah rutin. Meskipun hasil laboratorium tidak spesifik untuk diagnosis
intususepsi, pada progresivitasnya akan didapatkan abnormalitas elektrolit yang
berhubungan dengan dehidrasi, anemia dan atau peningkatan jumlah leukosit
(leukositosis >10.000/mm3).3,4
2. Pemeriksaan radiologi: Foto polos abdomen. Foto dibuat dalam dua arah yaitu posisi
supine dan lateral dekubitus kiri. Posisi lateral dekubitus kiri adalah posisi dimana pasien
dibaringkan dengan bagian kiri di atas meja dan sinar dari arah mendatar untuk
mengetahui intususepsi juga dapat digunakan untuk menemukan perforasi. Pada
intususepsi tingkat lanjut akan didapatkan tanda obstruksi usus berupa “air fluid level”.3-5

Gambar 1. Foto BNO Posisi Supine dan Lateral Dekubitus Kiri.


Tanda Obstruksi (+): Distensi, Air Fluid Level, Herring Bone Appearance.5
3. Pemeriksaan Ultrasonografi abdomen (USG). Pada pemeriksaan ini didapatkan gambaran
yang jelas adanya invaginasi usus. Dengan menggunakan tranduser beresolusi tinggi akan
terlihat bagian invaginasi usus yang biasanya terdapat pada regio subhepatik atau sisi

3
kanan abdomen. Gambaran USG akan didapat bentukan target sign atau doughnut sign
yang terdiri dari hipoekoik outer ring dan hiperekoik center. Hypoekoik doughnut adalah
bagian yang udem, apex dari intususeptum, membentuk gambaran bulan sabit pada
doughnut sign, sedangkan hiperekoik center terdiri dari mesenterium.3-5

Gambar 2. Gambaran Radiologi Target Sign dengan Pemeriksaan USG Abdomen5


4. Barium enema. Pemeriksaan rontgen dengan pemberian barium enema akan
memperlihatkan kelainan anatomi yang terjadi pada usus. Selain sebagai diagnosis
pemberian barium enema juga dapat menjadi terapi. Pemeriksaan dengan barium enema
dilakukan apabila keadaan umum pasien memungkinkan dan tidak ditemukan tanda-tanda
perforasi dan peritonitis. Untuk diagnosis dikerjakan bila gejala-gejala klinik meragukan.
Pada barium enema akan tampak gambaran cupping, coiled spring appearance.3-5

Gambar 3. Gambaran Radiologi Coiled Spring Appearance pada Intususepsi5


Differential Diagnosis
Diagnosis banding terhadap intususepsi antara lain adalah:
1. Malrotasi dan Volvulus

4
Malrotasi merupakan anomali kongenital berupa gagalnya suatu rotasi atau
perputaran dan fiksasi normal pada organ, terutama usus selama perkembangan
embriologik. Malrotasi dapat terjadi disertai atau tanpa volvulus. Volvulus merupakan
kelainan berupa puntiran dari segmen usus terhadap usus itu sendiri, mengelilingi
mesenterium dari usus tersebut dimana mesenterium itu sebagai aksis longitudinal
sehingga menyebabkan obstruksi saluran cerna. Keadaan ini disebabkan karena adanya
rotasi gelung usus di sekeliling cabang arteri mesenterika superior.6
Normalnya gelung usus primer berotasi 270° berlawanan dengan arah jarum jam.
Akan tetapi kadang-kadang putaran hanya 90° saja. Apabila hal ini terjadi, kolon dan
sekum adalah bagian usus pertama yang kembali dari tali pusat, dan menempati sisi kiri
rongga perut. Gelung usus yang kembali belakangan makin terletak di kanan, sehingga
mengakibatkan kolon letak kiri.6

Gambar 4. a. Mesentrika Usus Normal, b.Malrotasi Usus dan Volvulus Midgut6

Volvulus dapat terjadi apabila usus tidak terfiksasi dengan benar pada dinding
usus, tetapi menggantung pada jaringan mesenterika sehingga menyebabkan usus
terpuntir dan menghentikan aliran darah ke usus. Apabila volvulus mengenai seluruh
bagian usus maka keadaan ini disebut volvulus midgut. Malrotasi dan volvulus
merupakan kasus gawat darurat dibidang bedah yang memerlukan intervensi segera.
Malrotasi dan volvulus kebanyakan terjadi pada periode neonatus dimana berhubungan
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada kasus-kasus dengan
keterlambatan diagnosis.6
Manifestasi klinis lain pada bayi dengan malrotasi adalah dehidrasi akibat muntah
yang sering dengan gejala bayi tampak gelisah, tidak tenang, BAK yang berkurang,
letargi, ubun cekung dan mukosa bibir kering. Apabila terjadi volvulus, aliran darah usus
dapat berkurang sehingga menimbulkan nekrosis usus dan bayi dapat menunjukkan gejala
peritonitis atau syok septik berupa hipotensi, gagal nafas, hematemesis atau melena.

5
Volvulus midgut dapat terjadi tidak sempurna atau intermitten tetapi biasanya terjadi pada
anak yang lebih besar dan memiliki gejala dan tanda nyeri perut non spesifik kronik,
muntah yang bersifat intermitten (kadang tidak berwarna hijau), rasa cepat kenyang,
penurunan berat badan, gagal tumbuh, diare dan malabsorbsi.6

2. Divertikulum Meckel
Divertikulum Meckel merupakan malformasi kongenital dari traktus
gastrointestinal yang paling sering ditemukan dengan adanya persistensi dari duktus
vitello-intestinal atau omphalomesenterik yang gagal mengalami penutupan dan absorpsi.
Duktus omphalomesenterik atau vitelline merupakan duktus yang menghubungkan
menghubungkan yolk sac dengan midgut yang sedang berkembang. Pada minggu keenam
perkembangan embrio, midgut memanjang dan herniasi menuju korda umbilikus. Di
dalam korda umbilikus, midgut kemudian berotasi 90o berlawanan arah jarum jam di
sekitar axis dari arteri mesenterik superior. Pada waktu yang bersamaan midgut juga
memanjang untuk membentuk jejunum dan ileum dan lumen dari duktus
omphalomesenterik akan menutup. Pada minggu ke-5 sampai ke-8 perkembangan
embrio, midgut kembali menuju kavum abdomen dan duktus omphalomesenterik akan
menjadi pita fibrosis, yang mana akan mengalami disintegrasi dan absorpsi. Jika duktus
omphalomesenterik mengalami kegagalan atrofi total dan disintegrasi, maka duktus ini
akan terus tumbuh dan menyebabkan berbagai kelainan pada traktus gastrointestinal.7
Dari pemeriksaan fisik akan ditemukan adanya nyeri abdomen, vomitus bilious,
tegang abdomen, distensi, suara peristaltik yang hiperaktif, masa abdomen yang
terpalpasi, jika berlanjut bisa terjadi iskemia atau infark dan terjadilan tanda peritoneal
akut dan perdarahan gastrointestinal bawah. Pendarahan lebih sering dikeluhkan pada
pasien pediatrik dibandingkan orang dewasa. Perdarahan ini disebabkan oleh adanya
ulkus peptikum. Pasien umumnya mengeluhkan adanya perdarahan rektum yang tiba-tiba
dan spontan tanpa peringatan dan tanpa nyeri, namun dapat juga disertai nyeri yang
ringan sampai berat. Perdarahannya berwarna merah cerah (brick red), pelan, dan
menggumpal, namun dapat juga banyak yang diakibatkan oleh kontraksi fisiologis yang
merupakan respon dari hipovolemia. Terdapat juga gambaran currant jelly stools yaitu
kotoran yang terlapisi banyak mukus yag menandakan adanya iskemia dan intususepsi.7
Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit gula darah, dan koagulasi tidak dapat
membantu untuk menegakkan diagnosis namun penting untuk menangani perdarahan dari
sistem pencernaan. Hemoglobin dan hematokrit akan menurun pada anemia atau

6
pendarahan dan 58% dari anak-anak dengan Divertikulum Meckel memiliki Hb di bawah
8.8 g/dL. Tanda-tanda radiologisnya dapat berupa gambaran lipatan triradiat atau plateau
triangular mucosal, kadang-kadang terdapat gambaran rugal gaster dalam Divertikulum
Meckel. Studi barium enema dapat digunakan untuk mencari adanya intususepsi jika ada
kecurigaan. Pemeriksaan imaging dengan USG digunakan lebih untuk memeriksa
keadaan anatomi daripada komplikasinya.7

Gambar 5. Gambaran Radiologi Divertikulum Meckel dengan Pemeriksaan USG 7

Working Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa intususepsi didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Manifestasi intususepsi berupa gejala klinis
biasanya muncul 3-24 jam setalah terjadinya invaginasi. Gejala klinis yang menonjol dari
intususepsi adalah suatu trias gejala yang terdiri dari:1,4
1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba.
Anak atau bayi semula sehat dan berada dalam keadaan gizi yang baik tiba-tiba
menangis keras kesakitan, kedua kaki terangkat ke atas, kejang, dan wajah pucat menahan
sakit. Nyeri bersifat serangan mendadak selama 1-2 menit dan kemudian menghilang
selama 15-30 menit, kemudian timbul lagi serangan baru (intermintten). Interval serangan
akan meningkat apabila tidak segera dilakukan penanganan. Rasa nyeri ini biasanya
disusul oleh muntah berisi makanan dan cairan yang ada di lambung dimana muntah
umumnya terjadi tiga jam setelah nyeri perut. 80% gejala muntah terjadi pada anak usia
dibawah 2 tahun dan 50% pada anak diatas 2 tahun.1,4
2. Defekasi bercampur darah dan lendir.
Setelah serangan kolik yang pertama biasa defekasi masih normal karena awalnya
belum terjadi gangguan pasase isi usus secara total. Pembuluh darah mesenterium dari

7
bagian yang terjepit mengakibatkan gangguan venous return sehingga terjadi kongesti,
oedem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa usus, ini memperlihatkan gejala
defekasi darah dan lendir, tanda ini baru dijumpai sesudah 6-8 jam serangan sakit yang
pertama kali, kadang-kadang sesudah 12 jam. Berak darah lendir ini bervariasi jumlahnya
dari kasus ke kasus, ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok dubur.
Defekasi berdarah bercampur lendir yang disebut red current jelly stool karena adanya
iskemia mukosa usus di daerah invaginasi. Red current jelly stool terdiri atas
pengelupasan mukosa, darah, dan mukus dari jaringan usus. Pendarahan pada 12 jam
pertama awal penyakit terdiri dari darah segar dan lendir, kemudian berangsur-angsur
bercampur dengan jaringan nekrosis yang disebut terry stool karena terjadi kerusakan
jaringan dan pembuluh darah.1,4

Gambar 6. Red Current Jelly Stool 1

3. Teraba sausage shaped mass dan Dance’s sign


Massa dengan lekukan seperti sosis (sausage shaped mass) bentuk bujur di bagian
atas abdomen dapat teraba dengan palpasi pada awal serangan karena sumbatan belum
total, perut belum kembung dan tidak tegang, dengan demikian mudah teraba gumpalan
usus yang terlibat invaginasi. Massa tumor lebih mudah teraba pada waktu terdapat
peristaltik, sedangkan pada perut bagian kanan bawah teraba kosong yang disebut
“dance’s sign” ini akibat caecum dan kolon naik ke atas, ikut proses invaginasi. Disebut
dance’s sign karena ditemukan oleh Jean-Baptise Hippolyte Dance, seorang ahli bedah
anak dari Perancis.1,4
Selain ketiga gejala spesifik tersebut, dapat juga ditemukan kesan suatu rongga
kosong apabila dilakukan perkusi pada tempat yang mengalami intususepsi. Bising usus juga
meningkat ketika terjadi serangan kolik dan dapat menjadi normal kembali diluar serangan.

8
Pada pemeriksaan colok dubur didapati darah dan lendir serta mungkin teraba suatu pseudo-
portio apabila invaginasi usus mencapai regio sigmoid.1,4
Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya tersumbat partial
berubah menjadi sumbatan total, diikuti proses oedem yang semakin bertambah, sehingga
pasien dijumpai dengan tanda-tanda obstruksi, seperti perut kembung dengan gambaran
peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau dan dehidrasi. Oleh karena perut kembung
maka massa tumor tidak dapat diraba lagi dan defekasi hanya berupa darah dan lendir.1,4
Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk meraba adanya massa
tumor, oleh karena itu untuk kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala trias
intususepsi. Mengingat intususepsi sering terjadi pada anak berumur di bawah satu tahun,
apabila ada pasien datang berumur di bawah satu tahun, sakit perut yang bersifat kolik
sehingga anak menjadi rewel sepanjang hari atau malam, ada muntah, buang air besar campur
darah dan lendir maka pikirkanlah kemungkinan intususepsi atau invaginasi.1,4
The Brighton Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan sebuah
diagnosis klinis menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor. Strasifikasi ini
membantu untuk membuat keputusan berdasarkan tiga level dari pembuktian untuk
membuktikan apakah kasus tersebut adalah intususepsi:4
1. Kriteria Mayor
1. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau, diikuti dengan
distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau tidak ada sama sekali.
2. Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya tercakup hal-hal berikut ini:
massa abdomen, massa rectum atau prolaps rectum, terlihat pada gambaran foto
abdomen, USG maupun CT Scan.
3. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi perdarahan rectum atau
gambaran feses “red currant jelly” pada pemeriksaan “Rectal Toucher“.
2. Kriteria Minor
1. Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun
2. Nyeri abdomen
3. Muntah
4. Lethargy
5. Pucat
6. Syok hipovolemi
7. Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak spesifik.
Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu:4

9
1. Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria di bawah ini)
 Kriteria Pembedahan – Invaginasi usus yang ditemukan saat pembedahan
 Kriteria Radiologi – Air enema atau liquid contrast enema menunjukkan invaginasi
dengan manifestasi spesifik yang bisa dibuktikan dapat direduksi
oleh enema tersebut.
 Kriteria Autopsi – Invagination dari usus
2. Level 2 – Probable (salah satu kriteria di bawah)
 Dua kriteria mayor
 Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor
3. Level 3 – Possible = Empat atau lebih kriteria minor

Etiologi
Penyebab intususepsi terbagi menjadi dua hal, yaitu idiopatik dan kausal. 90 – 95 %
invaginasi pada anak dibawah umur satu tahun tidak dijumpai penyebab yang spesifik
sehingga digolongkan sebagai “infatile idiophatic intussusceptions”. Pada waktu operasi
hanya ditemukan penebalan dari dinding ileum terminal berupa hyperplasia jaringan follikel
submukosa yang diduga sebagai akibat infeksi virus. Penebalan ini merupakan titik awal
(lead point) terjadinya invaginasi. Sedangkan pada penderita invaginasi yang lebih besar (usia
lebih dua tahun) adanya kelainan usus (kausal) menjadi penyebab invaginasi seperti : inverted
Meckel’s diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep
nevi, lymphoma, duplikasi usus. Umumnya titik awal invaginasi berupa divertikulum
Meckel, polip,duplikasi usus dan lymphoma pada 42 kasus dari 702 kasus invaginasi anak.
Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab invaginasi pada anak yang berusia diatas
enam tahun. Invaginasi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul setelah
dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus, disebabkan
manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal.1,4,8
Beberapa faktor predesposisi pada intususepsi antara lain adalah: (1) Penyakit
respiratorius bagian atas, umumnya karena virus menyebabkan pembesaran signifikan
kelenjar limfatik dinding intestinal sehingga dinding usus semakin menebal dan menaikkan
resiko terjadinya invaginasi. (2) Diare yang memungkinkan kekuatan peristaltik usus yang
tidak sama kuat menyebabkan invaginasi. (3) Usia 3 – 12 bulan, di mana pada saat itu terjadi
perubahan diet makanan dari cair ke padat, perubahan pemberian makanan ini dicurigai

10
sebagai penyebab terjadi invaginasi akibat peningkatan peristaltik usus. (4) Pemberian
makanan padat yang terlalu dini untuk anak sehingga peristaltik usus terganggu.1,4,8

Epidemiologi
Insidens penyakit ini tidak diketahui secara pasti. Kelainan ini umumnya ditemukan
pada anak-anak di bawah 1 tahun (biasa pada usia 3-12 bulan dengan rata-rata kejadian pada
usia 7-8 bulan) dan frekuensinya menurun dengan bertambahnya usia anak. Umumnya
invaginasi ditemukan lebih sering pada anak laki-laki, dengan perbandingan antara laki-laki
dan perempuan tiga banding dua. Insidens pada bulan Maret-Juni meninggi dan pada bulan
September-Oktober juga meninggi. Hal tersebut mungkin berhubungan dengan musim
kemarau dan musim penghujan dimana pada musim-musim tersebut insidens infeksi saluran
nafas dan gastroenteritis meninggi. Sehingga banyak ahli yang menganggap bahwa
hypermotilitas usus merupakan salah satu faktor penyebab.1,8
Di Netherland dan Jerman, ditemukan angka kejadian intusepsi di bagian bedah anak
1.2–1.4% dari keseluruhan pasien (usia populasinya tidak di spesifikasi). Di Australia, New
Zealand, dan Amerika Serikat, insiden intususepsi tidak berbeda jauh dari yang ditemukan di
Eropa yaitu 0.50-2.30 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan Amerika memiliki angka
insidens terendah yaitu 0.24 kasus per 1000 anak usia diatas 1 tahun. Di negara-negara
berkembang angka insidens ini jauh lebih tinggi dengan estimasi insiden 1-4 per 1000
kelahiran hidup.1,8

Patogenesis
Pada intususepsi dapat berakibat obstruksi strangulasi. Obstruksi yang terjadi secara
mendadak ini, akan menyebabkan bagian apex invaginasi menjadi oedem dan kaku, jika hal
ini telah terjadi maka tidak mungkin untuk kembali normal secara spontan. Pada sebagian
besar kasus invaginasi keadaan ini terjadi pada daerah ileo-caecal. Apabila terjadi obstruksi
system llimfatik dan vena mesenterial, akibat penyakit berjalan progresif dimana ileum dan
mesenterium masuk kedalam caecum dan colon, akan dijumpai mukosa intussusseptum
menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai
keadaan strangulasi dan perforasi usus.3
Selain itu patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari
ketidakseimbangan pada dorongan longitudinal sepanjang dinding intestinal.
Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya massa yang bertindak sebagai “lead
point” atau oleh pola yang tidak teratur dari peristalsis (contohnya, ileus pasca operasi).

11
Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus terinvaginasi ke dalam lumen.
Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area proximal dari intestinal, dan mengakibatkan
intususeptum berproses sepanjang lumen dari intususipiens. Apabila terjadi obstruksi sistem
limfatik dan vena mesenterial, ileum dan mesenterium akan masuk ke dalam caecum dan
colon, sehingga mukosa intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan obstruksi
yang akhirnya akan dijumpai keadaan strangulasi dan perforasi usus. Pembuluh darah
mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan gangguan venous return sehingga
terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa usus. Hal inilah yang
mendasari terjadinya salah satu manifestasi klinis intususepsi yaitu BAB darah lendir yang
disebut juga red currant jelly stool.1,3

Gambar 7. Ilustrasi Patogenisitas Intususepsi3


Jenis intususepsi atau invaginasi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus
mana yang terlibat, ada tiga tipe invaginasi tunggal. Yang pertama adalah jenis ileo ileal,
dimana usus halus masuk ke bagian usus halus sendiri, kejadiannya sebanyak 15%. Yang
kedua adalah ileo colica dimana usus halus masuk ke kolon dan merupakan yang paling
sering terjadi dengan insidens mencapai 75%. Yang ketiga adalah colo colica, dimana usus
besar masuk ke bagian usus besar sendiri, kejadian tipe ini jarang dengan insidens 10% saja.
Invaginasi ganda juga dapat terjadi, contohnya jenis ileo-ileo colica atau colo colica.1,3

Penatalaksanaan

12
Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi, penatalaksanaan
lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut. Selang
lambung (Nasogastric tube) harus dipasang sebagai tindakan kompresi pada pasien dengan
distensi abdomen sehingga bisa dievaluasi produksi cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan
yang adekuat dilakukan untuk menghindari kondisi dehidrasi dan pemasangan selang catheter
untuk memantau ouput dari cairan. Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit darah dapat
dilakukan.8,9
“Pneumatic” atau kontras barium enema masih menjadi pilihan utama untuk diagnosa
maupun terapi reduksi lini pertama pada intususepsi di banyak pusat kesehatan. Namun untuk
meminimalisir komplikasi, tindakan ini harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa
panduan. Salah satunya adalah menyingkirkan kemungkinan adanya peritonitis, perforasi
ataupun gangrene pada usus. Semakin lama riwayat perjalanan penyakitnya, semakin besar
kemungkinan kegagalan dari terapi reduksi tersebut.9 Berikut adalah tindakan yang dapat
diambil untuk penatalaksanaan intususepsi:
1. Tindakan Non Operatif - Hydrostatic Reduction
Metode reduksi hidrostatik tidak mengalami perubahan signifikan sejak
dideskripsikan pertama kali pada tahun 1876. Meskipun reduksi hidrostatik dengan
menggunakan barium di bawah panduan fluoroskopi telah menjadi metode yang dikenal
sejak pertengahan 1980-an, kebanyakan pusat pediatrik menggunakan kontras cairan
saline (isootonik) karena barium memiliki potensi peritonitis yang berbahaya pada
perforasi intestinal. Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya:1,8,9
a. Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan difiksasi kuat diantara
pertengahan bokong.
b. Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para radiologis sehubungan
dengan risiko perforasi dan obstruksi loop tertutup.
c. Pelaksanaannya memperhatikan “Rule of three” yang terdiri atas: (1) reduksi
hidrostatik dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien; (2) tidak boleh lebih dari 3 kali
percobaan; (3) tiap percobaan masing-masing tidak boleh lebih dari 3 menit.
d. Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan hidrostatik konstan
dipertahankan sepanjang reduksi berlangsung.
e. Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir bebas melalui katup
ileocaecal ke ileum terminal. Reduksi berhasil pada rentang 45-95% dengan kasus
tanpa komplikasi.

13
Selain penggunaan fluoroskopi sebagai pemandu, saat ini juga dikenal reduksi
menggunakan air (dilusi antara air dan kontras soluble dengan perbandingan 9:1) dengan
panduan USG. Keberhasilannya mencapai 90%, namun sangat tergantung pada
kemampuan expertise USG dari pelakunya. Teknik non pembedahan ini memiliki beberapa
keuntungan dibandingkan dengan reduksi secara operatif. Diantaranya yaitu : penurunan
angka morbiditas, biaya, dan waktu perawatan di rumah sakit.8,9

2. Tindakan Non Operatif - Pneumatic Reduction


Reduksi udara pada intususepsi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1897 dan
cara tersebut telah diadopsi secara luas hingga akhir tahun 1980. Prosedur ini dimonitor
secara fluroskopi sejak udara dimasukkan ke dalam rectum. Tekanan udara maksimum
yang aman adalah 80 mmHg untuk bayi dan 110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari
model reduksi ini meyakini bahwa metode ini lebih cepat, lebih aman dan menurunkan
waktu paparan dari radiasi. Pengukuran tekanan yang akurat dapat dilakukan, dan tingkat
reduksi lebih tinggi daripada reduksi hidrostatik. Berikut ini adalah langkah-langkah
pemeriksaannya: 1,8,9
a. Tempatkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan direkatkan dengan kuat.
b. Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan kateter, lalu udara
dinaikkan perlahan hingga mencapai tekanan 70-80 mmHg (maksimum 120 mmHg)
dan diikuti dengan fluoroskopi. Kolum udara akan berhenti pada bagian intususepsi,
dan dilakukan sebuah foto polos.
c. Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan teramati melewati
usus kecil dengan cepat. Foto lain selanjutnya dibuat pada sesi ini, dan udara akan
dikeluarkan duluan sebelum kateter dilepas.
d. Untuk melengkapi prosedur ini, foto post reduksi (supine dan decubitus atau upright
views) harus dilakukan untuk mengkonfirmasi ketiadaan udara bebas.
e. Reduksi yang sulit membutuhkan beberapa usaha lebih. Penggunaan glucagon (0.5
mg/kg) untuk memfasilitasi relaksasi dari usus memiliki hasil yang beragam dan tidak
rutin dikerjakan.

14
3. Tindakan Operatif
Apabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray, mengalami
kegagalan dengan terapi reduksi hidrostatik maupun pneumatik, ataupun ada bukti nyata
akan peritonitis difusa, maka penanganan operatif harus segera dilakukan. Prosedur
operatif adalah sebagai berikut:9,10
a. Insisi
 Antibiotik intravena preoperatif profilaksis harus diberikan 30 menit sebelumnya.
 Pasien diposisikan terlentang dan sayatan kulit sisi kanan perut melintang dibuat
sedikit lebih rendah daripada umbilikus (Gambar 8). Sayatan bisa dibuat sejajar, di
bawah atau di atas umbilikus, tergantung pada derajat intususepsi.

Gambar 8. Sayatan di Inferior Umbilikus10


 
b. Diseksi
 Teknik pemisahan otot dari eksternal, obliqus internus, dan fascia transversalis.
 Usus yang mengalami intususepsi secara hati-hati dijangkau dari luka operasi dan
reduksi dilakukan dengan lembut, meremas usus distal ke apex (milking)
bersamaan dengan tarikan lembut dari usus proksimal untuk membantu reduksi
(Gambar 9). Traksi kuat atau menarik usus intususeptum dari intususipien harus
dihindari, karena dapat mengakibatkan cedera lanjutan pada usus besar.

15
Gambar 9. Teknik Reduksi Manual Milking10
 Setelah reduksi, kondisi umum ileum terminal yang mengalami intususepsi harus
dinilai dengan hati-hati (Gambar 10).

Gambar 10. Evaluasi Ileum Terminal untuk Menilai Valiabilitas Usus10


 Kadang-kadang, reseksi usus segmental diperlukan jika reduksi tidak dapat
dicapai atau usus nekrotik diidentifikasi setelah reduksi. Umumnya, ileum
terminal yang direduksi muncul kehitaman dan menebal pada palpasi. Penempatan
spons yang hangat dan lembab selama beberapa menit dapat meningkatkan perfusi
jaringan lokal, sehingga, berpotensi menghindari reseksi bedah yang tidak perlu.
 Appendektomi standar dilakukan jika dinding cecal berdekatan adalah normal.

16
Gambar 11. Appendektomi Insidental pada Irisan Infra Umbilikal10

c. Menutup
 Setelah reduksi dicapai atau reseksi dilakukan (jika diperlukan) dan hemostasis
dipastikan, penutupan fasia perut dilakukan di lapisan menggunakan benang
absorbable.
 Kulit reapproximated dengan jahitan subcuticular 5-0 yang diserap.
Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain yang
dapat terjadi adalah dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia dan nekrosis
usus dapat menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang signifikan pada usus dapat
menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan “short bowel syndrome”.
Meskipun diterapi dengan reduksi operatif maupun radiografik, striktur dapat muncul
dalam 4-8 minggu pada usus yang terlibat.8-10

4. Perawatan pasca Operasi


Pada kasus tanpa reseksi, Nasogastric tube berguna sebagai dekompresi pada
saluran cerna selama 1-2 hari dan penderita tetap dengan infus. Setelah oedem dari
intestine menghilang, pasase dan peristaltik akan segera terdengar. Kembalinya fungsi
intestine ditandai dengan menghilangnya cairan kehijauan dari nasogastric tube.
Abdomen menjadi lunak, tidak distensi. Dapat juga didapati peningkatan suhu tubuh
pasca operasi yang akan turun secara perlahan. Antibiotika dapat diberikan satu kali
pemberian pada kasus dengan reduksi. Pada kasus dengan reseksi perawatan menjadi
lebih lama.3,10

17
Prognosis
Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-anak
sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan intususepsi tetap tinggi
di beberapa negara berkembang. Pasien di negara berkembang cenderung untuk datang ke
pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih dari 24 jam setelah timbulnya gejala, dan memiliki
tingkat intervensi bedah, reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi.1,4,8
Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat dalam
kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah timbulnya gejala daripada bayi
yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah onset pertama. Jika pasien intususepsi tertangani
segera dalam 24 jam, mortilitas hanya 1-3% dan prognosisnya baik, tetapi jika terjadi
invaginasi berulang maka mortilitas naik menjadi 3-11%. Angka rekurensi dari intususepsi
untuk reduksi nonoperatif dan operatif masing-masing rata-rata 5% dan 1-4%.4,8

Penutup
Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk ke
dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan dapat menjadi
strangulasi (vasa dari suatu saluran terjepit sehingga terjadi hipoksia-iskemia jaringan) dan
merupakan salah satu kegawatdaruratan yang harus dikenali dengan cepat dan tepat serta
penanganan segera (kurang dari 24 jam sejak onset dimulai), karena keterlambatan diagnosis
akan meningkatkan angka mortalitas. Faktor resiko intususepsi pada bayi adalah berusia
dibawah 1 tahun, dominan pada laki-laki, dan 90-95% penyebabnya idiopatik.
Gejala klinis khas yang muncul 3-24 jam setelah invaginasi dimulai adalah trias gejala
yaitu: (1) nyeri mendadak bersifat interminten disusul muntah isi lambung muncul pada anak
yang semula sehat dengan gizi baik sehingga anak menjadi rewel, (2) teraba sausage shaped
mass, (3) defekasi berlendir dan berdarah. Hal ini sesuai dengan skenario dimana bayi laki-
laki 5 bulan tersebut mengalami ketiga trias gejala disertai dengan distensi abdomen dan
bising usus yang meningkat pada hasil pemeriksaan fisik. Diagnosis pasti bisa ditegakkan
dengan pemeriksaan radiologis seperti foto polos abdomen dan USG abdomen. Bayi tersebut
mengalami sumbatan dan gangguan pasase usus parsial pada tahap awal karena massa tumor
masih teraba dan defekasi lendir berdarah baru dimulai satu jam yang lalu sehingga
prognosisnya akan baik apabila dilakukan penanganan segera secara tepat dan adekuat karena
onset dimulai sejak 6 jam yang lalu.

18
Daftar Pustaka
1. Chandrawati PF. Buletin kesehatan UMM: invaginasi. Malang: Universitas Mu
2. hammadiyah; 2005. h. 181-92.
3. Bickley LS, Szilagyi PG. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. edisi 8.
Jakarta: EGC; 2009. h. 516-30.
4. Santoso MIJ, Yosodiharjo A dan Erfan F. Hubungan antara lama timbulnya gejala klinis
awal hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita invaginasi yang
dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.
5. Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM, eds.
Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia, PA: Elsevier; 2010. p.508.
6. Hooker RL, Schulman MH, Yu Chang & Kan JH. Radiographic evaluation of
intussusception: utility of left side down decubitus view. RSNA; 2008. p. 248-53.
7. Sayoeti Y, Ruselly A. Jurnal kesehatan andalas: malrotasi dan volvulus pada anak.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas; 2013. h. 105-10.
8. Kusuma IM. Diagnosis dan tatalaksana divertikulum meckel. Bali: Himpunan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana; 2011.
9. Willye R. Nelson textbook of pediatrics: intussusception. 17th edition. Philadelphia: PA
Saunders; 2004. p. 1242-3.
10. Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM, eds.
Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia: PA Elsevier; 2010. p. 508.
11. Chung DH. Intussusception. In: Atlas of General Surgical Techniques. Philadelphia: PA
Elsevier; 2010.

19

Anda mungkin juga menyukai