Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Dewasa ini sering kali kita mendengar istilah hukum ketenagakerjaan dan hukum kerja.
Hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja. Hukum
ketenagakerjaan semula dikenal dengan istilah perburuhan. Sedangkan hukum kerja digunakan
sebagai pengganti istilah hukum perburuhan, dengan ruang lingkup atau cakupan dan pengertian
yang sama dengan hukum perburuhan yaitu berkaitan dengan keadaan bekerjanya buruh/pekerja
pada suatu perusahaan. Menurut Mr. Molenaar Hukum Perburuhan (ketenagakerjaan) adalah
bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dan
majikan, buruh dengan buruh, dan buruh dengan penguasa.
Reformasi membawa dampak yang besar bagi bangsa Indonesia, terutama dibidang hukum,
yakni tatanan hukum mengalami perubahan, termasuk juga di bidang kenenagakerjaan dan hukum
kerja. Perubahan itu tampak dengan adanya perubahan peraturan perundang-undangan. Ada tiga
undang-undang yang sangat berpengaruh terhadap kondisi ketenagakerjaan Indonesia, yaitu
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan adanya perubahan peraturan perundang-
undangan tersebut maka hak dan kewajiban pihak-pihak yang berperan akan terlindungi sehingga
terhindar dari hal-hal yang merugikan salah satu pihak. Hukum ketenagakerjaan/perburuhan dan
hukum kerja memiliki hakikat, landasan dan asas, tujuan, sifat, kedudukan yang penting serta
adanya perlindungan hukum ketenagakerjaannya. Semua bagian atau unsur-unsur tersebut
memiliki hubungan satu sama lain yang saling berkaitan, sehingga saling melengkapi dan tidak
bisa di pisahkan. Misalkan hukum ketenagakerjaan/perburuhan memiliki tujuan yang berasaskan
Pancasila dan UUD 1945. Maka dari itu dalam makalah ini akan di bahas mengenai hukum
ketenagakerjaan dan hukum kerja.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian hukum ketenagakerjaan dan hukum kerja?
2. Apakah landasan dan asas hukum ketenagakerjaan?
3. Apakah tujuan hukum ketenagakerjaan?
4. Bagaimana hakikat dan perlindungan hukum ketenagakerjaan?
5. Bagaimana sifat dan kedudukan hukum ketenagakerjaan?
6. Bagaimana prinsip dan kedudukan hukum kerja?
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN DAN HUKUM KERJA


Hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja. Hukum
ketenagakerjaan semula dikenal dengan istilah perburuhan. Setelah kemerdekaan ketenagakerjaan
di Indonesia diatur dengan ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok
Ketentuan Tenaga Kerja. Pada tahun 1997 undang-undang ini diganti dengan Undang-Undang No.
25 tahun 1997 ternyata menimbulkan banyak protes dari masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan
masalah menara Jamsostek yang dibangun berdasarkan dugaan kolusi penyimpangan dana
Jamsostek. Keberadaan UU No. 25 Tahun 1997 mengalami penangguhan dan yang terakhir diganti
oleh Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 4279 yang selanjutnya disingkat
dengan UU No. 13 Tahun 2003).

Apabila ditelaah dari pengertian istilah, hukum ketenagakerjaan terdiri atas dua kata, yaitu hukum
dan ketenagakerjaan. Hukum dapat diartikan sebagai norma hukum, yakni norma yang dibuat oleh
pemegang kekuasaan yang berwenang. Norma hukum dapat berbentuk norma hukum yang tertulis
maupun norma hukum yang tidak tertulis. Adapun pengertian tenaga kerja meliputi pegawai
negeri, pekerja formal, pekerja informal, serta orang yang belum bekerja atau pengangguran.
Ketenagakerjaan berasal dari kata dasar “tenaga kerja” yang diartinya; “segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, sesudah masa kerja”.
Hukum ketenagakerjaan dahulu disebut hukum perburuhan yang merupakan terjemahan
dari arbeidsrechts. Terdapat beberapa pendapat atau batasan tentang pengertian hukum
perburuhan. Molenaar memberikan batasan pengertian dari arbeidsrechts adalah bagian dari
hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan,
antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa. Menurut Mr. MG
Levenbach, arbeidsrechts sebagai sesuatu yang meliputi hukum yang berkenaan dengan hubungan
kerja, di mana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang
langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu. Iman Soepomo memberikan batasan
pengertian hukum perburuhan adalah suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis
yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima
upah.
Hukum Perburuhan bukanlah orang yang bekerja atas usaha sendiri, tetapi yang bekerja atas usaha
sendiri, tetapi yang bekerja pada orang atau pihak lain. Namun karena ketentuan ini sangat luas
maka diadakan pembatasan-pembatasan tentang macam pekerjaan yang tidak tercakup dalam
hukum perburuhan, yakni :
“Hukum perburuhan adalah sebagian dari hukum yang berlaku (segala peraturan-peraturan) yang
menjadi dasar dalam mengatur hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan atau
perusahaannya, mengenai tata kehidupan dan tata kerja yang langsung bersangkut paut dengan
hubungan kerja tersebut.
Pengertin hukum perburuhan mengandung tiga unsur, yaitu :
1. adanya peraturan,
2. bekerja pada orang lain, dan
3. upah
Peraturan mencakup antara hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Hukum yang
tertulis meliputi seluruh peraturan prundang-undangan berdasarkan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan yang ditur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
2. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Hukum yang tidak tertulis misalnya hukum kebiasaan.
Bekerja pada orang lain dapat diartikan orang tersebut bekerja di luar hubungan kerja (yang
meliputi swapekerja/wiraswasta) dan mereka yang bekerja di dalam hubungan kerja. Bekerja pada
orang lain di dalam hubungan kerja meliputi mereka yang bekerja kepada negara dan mereka yang
bekerja pada orang lain. Bekerja kepada negara disebut pegawai negeri atau atau pegawai
pemerintahan. Mereka menjalankan tugas negara berdasarkan surat keputusan pengangkatan
pegawai negeri, baik sipil maupun ABRI/TNI. Adapun mereka yang bekerja kepada orang lain
adalah mereka yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja atau perjanjian pemborongan.
Selanjutnya penerimaan upah bagi buruh merupakan konsekuensi buruh yang telah
menyerahkan tenaganya untuk bekerja. Upah merupakan hak buruh setelah mereka melakukan
pekerjaannya. Kebalikan pemberian upah dalam hubungan kerja adalah adanya kewajiban majikan
atau pemberi kerja untuk memberi pekerjaan. Adanya kewajiban pemberian upah berarti dapat
ditafsirkan adanya kewajiban untuk memberikan pekerjaan.
Pengertian hukum perburuhan menurut Molenaar, Mr. MG Levenbach, dan Iman Soepomo,
kesemuanya mengartikan hukum yang mengatur hubungan antara buruh dengan majikan. Adapun
pengertian hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa tenaga kerja meliputi pegawai negeri, pekerja formal, pekerja
informal, dan orang yang belum bekerja atau pengangguran. Dengan demikian, dapatlah diartikan
bahwa hukum ketenagakerjaan berarti mencakup bidang hukum kepegawaian (hukum yang
mengatur tentang hubungan antara negara dengan pegawai/ pegawai negeri) dan bidang hukum
perburuhan (mengatur hubungan antara buruh dengan majikan).
Istilah buruh dapat disebut juga dengan pekerja atau penerima kerja. Adapun istilah majikan
dapat disebut dengan pengusaha atau pemberi kerja. Buruh tidak sama dengan pegawai. Perbedaan
itu terletak pada subjek hukum yang melakukan hubungan hukum. Hukum perburuhan mengatur
hubungan hukum yang dilakukan oleh pengusaha atau pemberi kerja dengan buruh, pekerja atau
penerima kerja. Hukum kepegawaian mengatur hubungan hukum yang dilakukan oleh negara
dengan pegawai/ pegawai negeri.
Berkaitan dengan hal itu, timbul pertanyaan apakah penamaan UU No. 13 Tahun 2003
dengan Ketenagakerjaan sudah tepat? Apakah penamaan Departemen Tenaga Kerja juga sudah
tepat? Apakah penamaan mata kuliah ini dengan nama Hukum Ketenagakerjaan adalah sudah
tepat?
Penamaan UU No. 13 Tahun 2003 dengan Ketenagakerjaan adalah kurang tepat karena isi
yang terkandung di dalam UU Ketenagakerjaan hanya mencakup ketentuan yang mengatur
hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha atau pemberi kerja dengan buruh, pekerja atau
penerima kerja (terbatas yang formal saja), serta hal-hal lainnya yang berkaitan dengan itu. Sama
sekali belum mengatur tentang hubungan kepegawaian, pekerja yang informal, dan pengangguran.
Penamaan Departemen Tenaga Kerja juga belum tepat karena belum mengatur tentang
hubungan kepegawaian dan pekerja yang informal meskipun mengtur juga tentang pengangguran.
Penamaan mata kuliah ini dengan nama Hukum Ketenagakerjaan adalah tidak tepat karena
materi yang dipelajari hanya sebatas hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kerja yang dilakukan
oleh pengusaha atau pemberi kerja dengan buruh, pekerja atau penerima kerja (terbatas yang
formal saja), serta hal-hal lainnya yang berkaitan dengan itu. sama sekali tidak mempelajari
tentang hubungan kepegawaian, pekerja yang informal, dan pengangguran.
Oleh karena itu, sebaiknya penamaan mata kuliah ini dengan nama hukum ketenagakerjaan
diubah namanya menjadi mata kuliah hukum perburuhan yang lebih mengkhususkan pada bidang
hubungan hukum antara buruh dengan majikan saja.

B. LANDASAN DAN ASAS HUKUM KETENAGAKERJAAN


Landasan hukum ketenagakerjaan adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa: “Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945”. Penjelasan Pasal 2
tersebut menyatakan :
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan
manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materil maupun
spiritual.
Asas hukum ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional
lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-undang No.13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa : “Pembangunan ketenagakerjaan
diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat
dan daerah”.
Penjelasan Pasal 3 tersebut menyatakan :
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesama dengan asas pembangunan nasional,
khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan
mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak, yitu anatara pemerintah,
pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara
terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung.

C. TUJUAN HUKUM KETENAGAKERJAAN


Menurut Imam Soepomo, tujuan pokok hukum perburuhan adalah pelaksanaan keadilan
sosial dalam bidang perburuhan dan pelaksanaanya diselenggarakan dengan jalan melindungi
buruh terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak majikan. Sedangkan menurut Undang-
undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 4 Menyatakan Bahwa pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan :
1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
3. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Jadi pada pokoknya hukum perburuhan bertujuan memberikan perlindungan terhadap
buruh/pekerja dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, dan perlindungan mana dapat tercipta
dengan adanya peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, meskipun para pihak (buruh/pekerja
dan pengusaha) dapat membuat perjanjian dengan bebas tetapi tidak cukup memberikan
perlindungan mengingat kedudukan para pihak tidak sama terutama buruh/pekerja secara sosial
ekonois lemah.
D. HAKIKAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
Kedudukan pekerja pada hakikatnya dapat ditinjau dari dau segi, yaitu dari segi yuridis dan
dari segi sosial ekonomis. Dari segi sosial ekonomis, pekerja membutuhkan perlindungan hukum
dari negara atas kemungkinan adanya tindakan sewenag-wenang dari pengusaha.
1. Hakikat Hukum Ketenagakerjaan
Berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUD 1945, yaitu setiap warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan. Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 5 dan Pasal 6
UU No. 13 Tahun 2003. Pasal 5, yaitu setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Pasal 6, yaitu setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Kedudukan buruh dan majikan atau
antara pengusaha dengan pekerja berbeda dengan kedudukan antara penjual dengan pembeli.
Antara penjual dengan pembil sama kedudukannya. Antara keduanya mempunyai kebebasan yang
sama untuk menentukan ada atau tidak adanya perjanjian. Kedudukan antara pengusaha dengan
pekerja adalah tidak sama. Secara yuridis kedudukan buruh adalah bebas, tetapi secara soisal
ekonomis kedudukan buruh adalah tidak bebas.
Pada hakikatnya, kedudukan buruh secara yuridis berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUD 1945
adalah sama dengan majikan. Kenyataannya, secara sosial ekonomis kedudukan antara buruh
dengan majikan adalah tidak sama (terutama yang unskillabour).

Kedudukan yang tidak sederajat ini mengingat buruh hanya mengandalkan tenaga yang melekat
pada dirinya untuk melaksanakan pekerjaan. Selain itu, majikan sering menganggap buruh sebagai
objek dalam hubungan kerja. Pekerja sebagai faktor ekstern dalam proses produksi dan bahkan
ada yang beranggapan majikan sebagai herr im haus (ibaratnya ini adalah rumahku terserah akan
aku gunakan untuk apa). Maksudnya majikan adalah pemilik dari perusahaan itu, sehingga setiap
kegiatan apa pun tergantung dari kehendak majikan.
Keadaan ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang-wenang
kepada pekerja/buruhnya.
Buruh dipandang sebagai objek. Buruh dianggap sebagai faktor ekstern yang berkedudukan sama
dengan pelanggan pemasok atau pelanggan pembeli yang berfungsi menunjang kelangsunga
perusahaan dan bukan faktor intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur
konstitutif yang menjadikan perusahaan.
Majikan dapat dengan leluasa untuk menekan pekerja/buruhnya untuk bekerja secaramaksimal,
terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat menetapkan upah hanya
maksimal sebanyak upah minimum provinsi yang ada, tanpa melihat masa kerja dari pekerja itu.
Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama upahnya hanya selisih sedikit lebih besar dari
upah pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Majikan enggan untk meningkatkan atau
menaikkan upah pekerja meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih bahwa takut
diprotes oleh perusahaan-perusahaan lain yang sejenis.
Secara sosial ekonomis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagi orang yang tidak mempunyai
bekal hidup lain dari itu, ia terpaksa bekerja dengan orang lain. Majikan inilah yang pada dasarnya
menentukan syarat-syarat kerja. Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada
majikan maka perlu adanya campur angan pemerintah untuk memberikan perlindungan
hukumnya.
Perlindungan hukum bagi buruh sangat di perlukan mengingat kedudukannya yang lemah.
Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu
“Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan
dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam
perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum
tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis.”
Bruggink membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu :
a. Keberlakuan faktual, yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/efektif kaidah
diterapkan dan ditegakkan oleh pejbat hukum;
b. keberlakuan normatif, yaitu kaidah cocok dalam siste hukum hierarkis;
c. keberlakuan evaluatif, yaitu secara empiris kaidah tampak diterima, secara filosofis kaidah
memenuhi sifat mewajibkan karena isinya.
2. Perlindungan Hukum ketenagakerjaan
Berdasarkan uraian mengenai hakikat hukum ketenagakerjaan di atas maka menjadi dasar dalam
pemberian perlindungan hukum bagi pekerja. Pemberian perlindungan hukum bagi pekerja
menurut Iman Soepomo meliputi lima bidang hukum perburuhan, yaitu:
a. Bidang Pengerahan/Penempatan Tenaga Kerja
Bidang pengerahan/pemenpatan tenaga kerja, adalah perlindungan hukum yang dibutuhkan
oleh pekerja sebelum ia menjalani hubungan kerja. Masa ini sering disebut dengan masa pra
penempatan atau pengerahan.
b. Bidang Hubungan Kerja
Bidang hubungan kerja, yaitu masa yang dibutuhkan oleh pekerja sejak ia menagadakn
hubungan kerja dengan pengusaha. Hubungan kerja itu didahului oleh perjanjian kerja. Perjanjian
kerja dapat dilakukan dalam batas waktu tertentu atau tanpa batas waktu yang disebut dengan
pekerja tetap.
c. Bidang Kesehatan Kerja
Bidang kesehatan kerja, adalah selama menjalani hubungan kerja yang merupakan hubungan
hukum, pekerja harus mendapat jaminan atas kesehatannya. Apakah lingkungan kerjanya dapat
menjamin kesehatan tubuhnya dalam jangka waktu yang relatif lama.
d. Bidang Keamanan Kerja
Bidang keamanan kerja, adalah adanya perlindungan hukum bagi pekerja atas alat-alat kerja
yang dipergunakan oleh pekerja. Dalam waktu relatif singkat atau lama akan aman dan ada
jaminan keselamatan bagi pekerja. Dalam hal ini negara mewajibkan kepada pengusaha untuk
menyediakan alat keamanan kerja bagi pekerja.
e. Bidang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
Pada 1 Januari 2014 PT Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan PT Jamsostek
(Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995
tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sejak 1 Januari 2014 hingga selambat-lambatnya 30 Juni 2015, BPJS Ketenagakerjaan
melanjutkan penyelenggaraan tiga program yang selama ini diselenggarakan oleh PT Jamsostek
(Persero), yaitu program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian,
termasuk menerima peserta baru. Penyelenggaraan ketiga program tersebut oleh BPJS
Ketenagakerjaan masih berpedoman pada ketentuan Pasal 8 sampai dengan Pasal 15 UU No.
3 Tahun 1992 tentang Jamsostek.
Selambat-lambatnya pada 1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan beroperasi sesuai dengan ketentuan
UU SJSN. Seluruh pasal UU Jamsostek dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. BPJS
Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan UU SJSN untuk seluruh pekerja kecuali
Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI dan POLRI.

E. SIFAT DAN KEDUDUKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN


Sifat Hukum Ketenagakerjaan pada dasarnya adalah masuk lingkup hukum privat.
Mengingat bidang-bidang kajian hukum itu merupakan satu kesatuan dan tida mungkin untuk
dilakukan pemisahan maka menjadikan hukum ketenagakerjaan termasuk ke dalam hukum
fungsional, yaitu mengandung bidang hukum yang lainnya.
1. Sifat Hukum Ketenagakerjaan
Ditinjau dari sifatnya, hukum perburuhan dapat bersifat privat/perdata dan dapat pula
bersifat publik. Bersifat privat karena mengatur hubungan antara orang-perorangan (pembuatan
perjanjian kerja). Bersifat publik karena pemerintah ikut campur tangan dalam masalah-masalah
perburuhan serta adanya sanksi pidana dalam peraturan hukum perburuhan.
Buruh perlu dilindungi oleh negara melalui campur tangan pemerintah. Bentuk perlindungan
yang diberikan pemerintah adalah membuat peraturan-peraturan yang mengikat buruh dan
majikan; membina dan mengawasi proses hubungan industrial. Dalam gambar 1.3 dapat dilihat
sifat hukum ketenagakerjaan. Saat ini hukum ketenagakerjaan mendasarkan pada ketentuan UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menggantikan UU No. 25 tahun 1997 yang
keberadaannya menimbulkan perdebatan, sehingga ditunda masa berlakunya oleh UU No. 11
tahun 1998 jo. Perpu No.3 Tahun 2000 jo. UU No. 28 Tahun 2000 sampai tanggal 1 Oktober 2002.
Kenyataannya pengganti UU No. 25 Tahun 1997 yang meliputi RUU pembinaan dan
perlindungan ketenagakerjaan (PKK) dan RUU penyelesaian perselisihan hubungan industrial
(PPHI) itu disetujui oleh DPR tanggal 25 Februari 2003. Diundangkannya UU No. 13Tahun 2003
dalam lembaran Negara No. 39 Tahun 2003 dan TLN No.4279 hanya mencakup materi RUU
pembinaan dan perlindungan ketenagakerjaan (PKK), sedangkan RUU PPHI disahkan menjadi
UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
2. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan
Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam tata hukum Indonesia terletak di bidang hukum
administrasi/tata negara, hukum perdata, dan hukum pidana. Kedudukan tersebut membawa
konsekuensi yuridis bahwa ketentuan peraturan-peraturan hukum ketenagakerjaan haruslah
mendasarkan pada teori hukum yang menelaah bidang tersebut. Sayangnya hal ini masih jauh
terlaksanana apabila kita melakukan pengkajian.
a. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Perdata
Kedudukan hukum ketenagakerjaan di bidang hukum perdata pada hakikatnya yang
memegang peranan penting di dalam hubungan industrial adalah pihak-pihaknya, yaitu buruh dan
majikannya saja.
Hubunga antara pengusaha dan pekerja didasarkan pada hubungan hukum privat. Hubungan
ini didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi bagian dari hukum perdata. Pemerintah hanya
berlaku sebagai pengawas atau lebih tepatnya dapat menjalankan fungsi fasilitator apabila ternyata
dalam pelaksanaannya muncul suatu perselisihan yang tidak dapat mereka selesainya.
b. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Administrasi
Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam hukum administrasi yang diperhatikan ada dua
hal, yaitu subjek hukum dalam penyelenggaraan negara dan bagaimana peranannya. Subjek hukum
dalam penyelenggaraan negara menyangkut tiga hal, yaitu pejabat, lembaga, dan warga negara.
Pejabat dalam hal ini adalah pejabat negara yang tunduk pada ketentuan hukum administrasi.
Peranannya beraitan dengan menjalankan fungsi negara di dalam pembuatan peraturan atau
pemberian izin (bestuur), bagaimana negara melakukan pencegahan terhadap sesuatu hal yang
dapat terjadi (politie) dan bagaimana upaya hukumnya (rechtspraak). Pemerintahan sebagai
penyelenggara negara di bidang ketenagakerjaan harus dapat melaksanakan ketiga fungsi itu
dengan baik.
c. Keduduan Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Pidana
Kedudukan hukum perburuhan dalam hukum pidana adalah pentingnya penerapan sanksi
hukum bagi pelanggar peraturan perundang-undangan. Terdapat asas legalitas dalam hukum
pidana, yaitu suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum apabila perbuatan
tersebut sudah dituangkan dalam suatu undang-undang. Penerapan sanksi harus
mendasarkan pada ada tidaknya kesalahan yang dibuktikan dengan adanya hubungan kausal
antara perbuatan dengan akibat yang terjadi. Sanksi, hakihatnya merupakan perampasan hak
seseorang, oleh kerena itu harus dibuat secara demokratis. Bentuk peraturan yang mencerminkan
situasi demokratis adalah undang-undang atau peraturan daerah karena dalam pembuatannya
melibatakan suara atau wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR atau di DPRD
Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam tata hukum Indonesia secara teoretis dapat
dipisahkan menjadi tiga bidang yaitu perdata, administrasi, dan pidana. Dalam praktiknya harus
dijalankan secara berhubungan satu sama lain. Hubungan hukum yang dilakukan oleh pengusaha
dan pekerja didasarkan pada perjanjian kerja, pengaturannya masuk lingkup hukum perikatan yang
menjadi bagian hukum perdata. Selama proses pembuatan, pelaksanaan dan berakhirnya hubungan
kerja harus diawasi oleh pemerintah sebagai konsekuensi menjalankan fungsi best tuur politie dan
rechtspraak. Apabila selama proses pembuatan, pelaksanaan dan berakhirnya hubungan kerja
terdapat pelanggaran hukum maka dapat diterapkan sanksi pidana yang menjadi kajian dalam
bidang hukum pidana
Permasalahan hukum perburuhan yang lainnya adalah dalam kaitannya dengan globalisasi.
Tenaga kerja yang tersedia di Indonesia sebagian besar adalah unskilllabour, sementara tuntutan
secara universal dalam kaitannya dengan era pasar bebas menuntut adanya kesempatan dan
perlakuan yang sama bagi tenaga kerja (servis/jasa) dan barang yang masuk atau yang keluar. Hal
ini berarti setiap orang dapat bekerja di dalam negerinya sendiri atau di negara lain tanpa adanya
pembatasan-pembatasan atau perlakuan yang tidak adil. Demikian juga dengan barang yang masuk
atau keluar tidak boleh diadakan pembedaan bea pada saat ini pun sebenarnya sudah dapat
dirasakan oleh pengusaha aluminium Indonesia dimana baru-baru ini sudah masuk aluminium dari
australia dengan harga yang lebih murah dengan mutu yang lebih baik. Selain itu juga ditemukan
fakta bahwa harga kursi Betawi di Malaysia jauh lebih murah daripada di Indonesia.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa hal itu dapat terjadi? Australia kita ketahui
bukan sumber aluminium, jauh lebih banyak kandungan aluminuim Indonesia dan upah tenaga
kerja di sana jauh lebih mahal daripada di Indonesia. Sementara itu, kursi Betawi jelas-jelas
produksi Indonesia.mungkin penyebabnya adalah di Indonesia telah terjadi inevisiensi biaya
produksi, sehingga output yang dihasilkan kurang memenuhi sasaran persaingan. Atau mungkin
inefisiensi terletak pada biaya siluman, Indonesia terkenal sebagai negara korup.

G. PRINSIP DAN KEDUDUKAN HUKUM KERJA


1. Prinsip Hukum Kerja
Prinsip hukum kerja adalah “Serangkaian peraturan yang mengatur segala kejadian yang
berkaitan dengan bekerjanya seseorang pada orang lain dengan menerima upah”.
a. Serangkaian Peraturan
Serangkaian peraturan yang dimaksud adalah sumber hukum di mana kita menemukan
peraturan yang berkaitan dengan masalah hukum kerja. Peraturan-peraturan tersebut bukannya
terkodifikasi dalam satu buku, seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi tersebut dalam
berbagai perundang-undangan.
Era tahun 2000-an ada tiga peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum kerja :
1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat pekerja atau Serikat Buruh.
2) Undang-undang Nomor13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
4) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelegaraan Jaminan Sosial.
Sumber hukum tertulis yang merupakan ciri khas hukum kerja :
1) Peraturan Perusahaan; peraturan yang dibuat pengusaha tentang syarat kerja dan tata tertib
perusahaan.
2) Perjanjian Kerja; perjanjian antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban para pihak.
3) Perjanjian Kerja Bersama; perjanjian hasil perundingan satu atau beberapa serikat pekerja
yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha
atau beberapa pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
b. Peraturan tersebut mengatur segala kejadian
Segala kejadian yang dimaksud adalah kejadian yang berkaitan yang berkaitan dengan masa
penempatan (bekerjanya) seseorang pada pihak lain. Selama seseorang bekerja pada orang lain,
banyak hal yang bisa saja terjadi, misalnya :
1) Yang bersangkutran sakit,
2) Hamil/bersalin,
3) Kecelakaan,
4) Menjaga keselamatan dan kesehatan kerja,
5) Cuti,
6) Diputuskan hubungan kerjanya, dan lain-lain kejadian yang perlu pengaturannya dalam suatu
peraturan perundang-undangan.
Kesemuanya itu haruslah tercakup dalam peraturan ketenagakerjaan, khususnya dalam
hukum kerja, yaitu hukum yang mengatur tenaga kerja dalam masa bekerja (during imployment).
c. Adanya orang yang bekerja pada Pihak Lain
Maksudnya seseorang bekerja dengan bergantung pada orang lain yang memberi perintah
dan menguasainya sehingga orang tersebut harus tunduk pada orang lain yang mempekerjaannya.
Yang tidak tercakup dalam hukum kerja :
1) Seseorang yang bekerja untuk kepentingan sendiri, dengan resiko dan tanggung jawab sendiri.
2) Orang yang bekerja atas resikon sendiri, misal praktek dokter.
3) Bekerjanya secara sukarela untuk kepentingan orang lain atau masyarakat.
4) Bekerja karena melaksanakan suatu sanksi, misal narapidana.
5) Bekerja untuk melaksanakan kewajiban Negara, misal wajib militer.
d. Adanya Upah
Upah merupakan unsur terpenting dalam bekerjanya seseorang kepada orang lain. Oleh
karena itu, jika seseorang bekerja pada orang lain tanpa mendapatkan upah, tidaklah tergolong
hukum kerja.
2. Kedudukan Hukum Kerja
Kedudukan berarti status atau keadaan yang sebenarnya. Dalam kaitannya dengan
pengertian ini, maka dalam bagian ini akan diuraikan keadaan hukum kerja sepanjang sejarah
sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan.
a. Sebelum Kemerdekaan
Keadaan hukum kerja sangat memprihatinkan. Pada masa itu jenis hubungan kerja terdiri
atas :
1) Perbudakan
Perbudakan adalah suatu jenis hubungan kerja dimana budak tidak memiliki hak apapun.
Para budak hanya mempunyai kewajiban untuk melakukan segala peerjaan dan perintah majikan
tanpa boleh menentang. Majikan adalah pihak yang berkuasa penuh terhadap perekonomian, hidup
dan mati para budak. Sebab-sebab terjadinya perbudakan di Indonesia :
a) Kerajaan-kerajaan yang melakukan peperangan dan kalah diwajibkan secara teratur
mengirimkan budak-budak serta upeti.
b) Kepada suka dan orang-orang yang dianggap kuat selalu menggunakan kharismanya, sehingga
banayk penduduk yang lemah mengabdi kepada mereka, dan akhirnya tunduk pada perintahnya.
c) Adanya saudagar-saudagar silam yang memang memelihara dan menjamin kelangsungan
hidup orang-orang yang keadaan ekonominya minim.
d) Adanya orang-orang yang sangat menderita sehingga kurang mampu dan menyerahkan
nasibnya pada orang-orang tertentu yang tingkat kesejahteraan hidupnya lebih baik.
Tahun 1836 dikeluarkan RR 1836 dilanjutkan dengan RR 1854 dalam pasal 115-117secara
tegas menghendaki agar perbudakan dihapus paling lambat 1 januari 1860.
2) Rodi (Kerja Paksa)
Rodi adalah suatu kehendak atau perbuatan penguasa untuk mengerahkan penduduk
mengerjakan pekerjaan tanpa pemberian imbalan atau upah, dan tanpa perikemanusiaan.
Imam Soepomo membagi rodi dalam tiga jenis ;
a) Rodi gubernemen; untuk para gubernur dan pegawainya.
b) Rodi perorangan; untuk kepentingan kepala dan pembesar-pembesar Indonesia.
c) Rodi desa; untuk kepentingan desa.
3) Poenali Sanksi
Tahun 1819 di Hindia Belanda sudah ada hubungan kerja, tanpa ada paksaan siapapun.
Namun karena perusahaan-perusahaan perkebunan waktu itu sulit untuk mendapatkan buruh
karena adanya rodi, maka pemerintah Belanda mengelurkan stb 1838 No. 50, dimana penguasa
diberikan kewenangan untuk mengadakan perjanjian kerja dengan kepala desa. Dalam perjanjian
kerja tersebut ditentukan antara lain :
a) Jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
b) Besarnya upah yang diberikan.
c) Perumahan dan pangan serta macam pekerjaan yang akan dikerjakan
Tetapi terdapat ketimpangan dimana tenaga kerja yang dikirim tidak mendapatkan upah dan
mereka mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan, hak dan kewajiban tenaga
kerja mereka tidak tahu sama sekali, akhirnya banyak yang melarikan diri dari tempat kerja
sehingga perusahaan kekurangan tenaga kerja lagi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
pemerintah mengeluarkan stb. 1876 No. 111 dengan nama Algemen Politic Stafleglemen, yang
antara lain menentukan : “Seseorang yang tiada alasan yang dapat diterima meninggalakan atau
menolak melaksanakan pekerjaan dapat dipidana dengan denda anatar 16-20 guilden atau dengan
rodi selama 7 sampai 12 hari”. Dengan anacaman pidana inilah, hubungan kerja ini disebut Poenali
Sanksi. Poenali Sanksi sangat menekan tenaga kerja karena :
a) Boleh meninggalakan tempat kerja dengan izin tertulis; tanpa izin tertulis didenda 50 guilden
atau kerja 1 tahun tanpa upah.
b) Tenaga kerja yang tidak melakukan kewajiban dikenakan sanksi.
c) Apabila mendapat izin untuk meninggalkan tempat kerja harus membawa kartu pengenal ;
sanksi denda 25 guilden atau kerja tanpa upah selama 12 hari.
d) Apabila terkena hukum pidana, setelah mendapat kebebasan, polisi wajib mengembalikannya
ketempat kerja.
e) Tidak dibenarkan dengan alasan apapun untuk melakukan PHK sepihak.
f) Masyarakat tidak diperkenankan memberikan pondokan kepada tenaga kerja yang
meninggalkan tempat kerja tanpa izin dan tidak membawa tanda pengenal.
Ketentuan-ketentuan diatas sangat merugikan tenaga kerja karena bertentangan dengan hak
asasi manusia. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengeluarkan stb.1941 No.514 yang
menghapus poenali sanksi sejak tanggal 1 januari 1942.
b. Sesudah Kemerdekaan
Masalah ketenagakerjaan diatur dalam UUD 1945 diatur dalam pasal 27 (2) : “Tiap-tiap
warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Setelah Indonesia mempertahankan kedaulatannya pada tahun 1948, pemerintah mulai
memperhatikan masalah ketenagakerjaan dan mengeluarkan berbagai peraturan seperti:
1) UU No. 33 tahun 1947 jo. UU No. 2 tahun 1952 tentang kecelakaan.
2) UU No. 12 tahun 1948 jo. UU No. 1 Tahun 1951 tentang kerja.
3) UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja.
4) UU No. 3 Tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja
Kemudian dalam era 2000-an undang-undang tersebut sebagian besar dicabut dan diganti.
BAB III
TUNJAUAN KASUS

PT Besmindo PHK Sepihak, Karyawan Nilai ada Intimidasi


Jumat, 11 November 2011 – 16:19:10 WIB. Pekanbaru (detakriau.com)- PT Besmindo yang
bergerak sebagai kontraktor di PT CPI, Minas melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
terhadap karyawannya dengan tanpa alasan yang jelas. Sehingga karyawan di PHK melapor ke
Polisi.
“Tadi saya ada menerima PHK yang dikeluarkan pihak PT Besmindo. Ada sebanyak enam orang
di PHK pihak manajemen ditandatangani Freddy F Sembiring selaku HRD Supertendent dan
Slamet Agus selaku Operation Manger,” katanya.
Ini disampaikan juru bicara karyawan, Dasril kepada wartawan, Jumat (11/11) di Pekanbaru. Ia
mengatakan, dalam surat yang tidak ada pembicaraan itu pihak manajemen menyatakan PHK ini
dilaksanakan tanggal 15 November 2011.
Sebutnya karena tidak ada rasa melakukan kesalahan tetapi di PHK sepihak oleh manajemen
perusahaan. Maka, tadi bersama rekan lainnya yang diantaranya ada Sudirman, Tinur Gutaman,
Fristo Dilla telah melapor ke Polsek Minas.
“Tentu keputusan ini tidak bisa diterima. Apakah kami ini dikarena bergabung dengan Serikat
Buruh Cahaya Indonesia (SBCI), lalu di PHK. Maka, pada polisi diminta untuk mengusut atas
kebenaran,” katanya didampingi Ketua SBCI.
Ditempat sama, Adermi selaku Ketua DPP SBCI Riau mengatakan, sikap manajemen PT
Besmindo melakukan PHK secara sepihak ini melanggar UU Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Dan tindakan ini terkesan mengada-ngada.
“Seharusnya dalam aturan UU Ketenagakerjaan yang berlaku itu PHK dilakukan setelah adanya
pembahasan secara bipartit. Tapi kenapa pihak perusahaan itu secara tiba-tiba mengeluarkan
putusan PHK secara sepihak,” katanya.
Dikatakannya, jika hanya dikarenakan buruh itu masuk dalam serikat mengakibat di PHK. Hal ini
jelas namanya ada intimidasi dilakukan pihak manajemen kepada karyawan. Dan ini melanggar
UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. “Di dalam UU Ketenagakerjaan yang tepatnya dipasal 28
itu ditegaskan tidak ada larangan bagi buruh atau karyawan untuk berserikat. Jika itu yang menjadi
alasan PHK. Perusahaan bisa dikena denda dan sanksi pidana,” katanya.
Sementara itu pihak manajemen PT Besmindo dikonfirmasi Freddy F Sembiring selaku HRD via
ponsel yakni 0812750XXXX dan 08526581XXXX tidak mendapatkan jawaban kendati aktif.
Bahkan dikirimi SMS juga tidak dibalas. (adi)
BAB IV
PEMBAHASAN

Melihat kasus di atas, dapat dijelaskan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pihak
perusahaan Bismindo dan aturan aturan yang dilanggarnya. Jika melihat ke aturan yang ada yang
mana dalam undang undang yang berlaku di Negara kita tindakan PHK jika tidak dapat lagi
dihindari maka sebelum membuat putusan PHK pihak perusahaan harus melakukan musyawarah
dengan serikat pekerjas ataupun pekerja itu sendiri. Hal ini diatur dalam pasal 151 ayat (2) yaitu
“Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari,
maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh”.
Dari pasal ini kita dapat menilai bahwa apa yang telah dilakukan oleh perusahaan Bismindo
telah bertentangan dengan undang undang yang ada di Negara kita. Dan tindakan ini menunjukkan
bahwa yang dilakukan oleh pihak perusahaan sangat tidak menghargai yang nama nya serikat
pekerja dan juga undang undang yang telah dibuat oleh pemerintah kita. Dan tindakan perusahaan
yang terkesan melakukan tindakan intimidasi terhadap karyawan dikarenakan karyawan aktif
ataupun masuk ke dalam organisasi serikat pekerja juga telah melanggar ketentuan yang ada dalam
undang undang kita. Yaitu para pekerja diberi hak untuk membentuk ataupun aktif dalam
organisasi serikat pekerja. Hal ini diatur dalam pasal 104 ayat (1) yang menyatakan “ Setiap
pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Jadi harus
nya perusahaan Bismindo tidak boleh melakukan intimidasi terhadap karyawan – karyawan yang
aktif dalam organisasi serikat pekerja. Karena dalam perundang undangan kita sudah diatur dengan
jelas mengenai hal tersebut. Jadi menurut pendapat saya antara pihak pekerja dengan pihak
pengusaha harus ada komunikasi yang baik agar tidak terjadi lagi masalah masalah yang muncul
seperti diatas.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Landasan hukum ketenagakerjaan adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara


Republik Indonesia tahun 1945. Asas hukum ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan dengan
melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Hukum perburuhan bertujuan memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja dalam
rangka mewujudkan keadilan sosial, dan perlindungan mana dapat tercipta dengan adanya
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, meskipun para pihak (buruh/pekerja dan pengusaha)
dapat membuat perjanjian dengan bebas tetapi tidak cukup memberikan perlindungan mengingat
kedudukan para pihak tidak sama terutama buruh/pekerja secara sosial ekonois lemah.
Pada hakikatnya, kedudukan buruh secara yuridis berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUD
1945 adalah sama dengan majikan. Hukum perburuhan dapat bersifat privat/perdata dan dapat pula
bersifat publik. Bersifat privat karena mengatur hubungan antara orang-perorangan (pembuatan
perjanjian kerja). Bersifat publik karena pemerintah ikut campur tangan dalam masalah-masalah
perburuhan serta adanya sanksi pidana dalam peraturan hukum perburuhan. Kedudukan hukum
ketenagakerjaan di dalam tata hukum Indonesia terletak di bidang hukum administrasi/tata negara,
hukum perdata, dan hukum pidana
Hukum ketenagakerjaan bersumber pada :
1. Undang-Undang;
2. Peraturan Lain : Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan atau Keputusan;
3. Kebiasaan;
4. Putusan;
5. Perjanjian;
6. Traktat;
Prinsip hukum kerja adalah “Serangkaian peraturan yang mengatur segala kejadian yang
berkaitan dengan bekerjanya seseorang pada orang lain dengan menerima upah”.
Pada hakikatnya hukum kerja dengan semua peraturan perundang-undangan bertujuan
melaksanakan keadilan sosial dengan memberikan perlindungan kepada buruh terhadap kekuasaan
pengusaha, dengan sifat peraturan yang memaksa dan memberikan sanksi tegas kepada pengusaha
yang melanggar. Dengan sifatnya yang memaksa ikut campur pemerintah, membuat hukum kerja
menjadi hukum publik dan privat sekaligus
DAFTAR PUSTAKA

http://lizycantik.blogspot.co.id/p/analisis-kasus-ketenagakerjaan.html
https://atikanafridayanti.wordpress.com/2013/11/21/pemutusan-hubungan-kerja-phk/
Reformasi, Sinar Grafika,Jakarta, 2009. Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca

Anda mungkin juga menyukai