Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

HUKUM PERIKATAN

Kelas: B

Oleh:

SARAH SITI NURHALIZA C10190060


PUTRI NILAM CAHYA F D C10190059
NADIA SALSABILA C10190064

AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI EKUITAS
BANDUNG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa

setiap harinya mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang

atau menggunakan jasa angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal

tersebut merupakan suatu perikatan. Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III

KUHPerdata(BW). Dalam hukum perdata banyak sekali hal yang dapat menjadi

cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan

hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak

yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan

hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum

dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan

antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak

lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa

hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang

bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang

diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan

berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar

hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam

perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.

Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan


perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai

dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk

tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu :

1. Apa Pengertian dari Hukum Perikatan ?

2. Apa saja Azas-azas dari Hukum Perikatan?


3. Apa saja dasar Hukum Perikatan?

4. Apa saja Macam-macam dari Perikatan?

5. Bagaimana yang dimaksud dengan prestasi dan wanprestasi?

6. Bagaimana yang dimaksud Overmacht / Forcemajeur?

7. Bagaimana cara menghapuskan perikatan ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui apa Pengertian dari Hukum Perikatan


2. Mengetahui apa saja Azas-azas dari Hukum Perikatan

3. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai jenis-jenis perikatan

4. Untuk mengetahui tenteng Prestasi dan Wanprestasi dan Overmacht /

Forcemajeur

5. Untuk mengetahui bagaimana cara untuk menghapuskan perikatan


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hukum Perikatan

- Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan

harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas

sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta

kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian

atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat

diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law

of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam

bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers

onal law).

-Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah

suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih
dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas

sesuatu.

Suatu perikatan lahir, baik karena undang-undang maupun karena kontrak

atau perjanjian. Perikatan yang tidak berdasarkan kontrak atau perjanjian namun

lahir berdasarkan undang-undang mungkin timbul dari undang-undang saja atau

akibat dari perbuatan manusia. Hal tersebut diatur dalam pasal 1352 KUH Perdata

mengatakan bahwa:

“Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang timbul dari

undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan manusia” (uit de wet ten gevolge van’s mensen toedoen).
Sedangkan pasal 1353 KUH Perdata menyatakan bahwa:

“Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat

perbuatan manusia, terbit dari perbuatan halal, atau dari perbuatan melawan

hokum (onrechmatige daad).

Perikatan yang lahir dari undang-undang saja adalah perikatan yang

dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu

hubungan hukum (perikatan) diantara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas

dari kemauan pihak-pihak tersebut, misalnya:

a.Kematian, dengan meninggalnya seseorang, maka perikatan yang pernah

mengikat orang tersebut beralih kepada ahli warisnya.

b.Kelahiran, dengan kelahiran anak maka timbul perikatan antara ayah dan

anak, dimana ayah wajib memelihara anak tersebut.

c.Lampau Waktu (veryaring), adalah periswa-peristiwa dengan lampau

waktunya seseorang mungkin terlepas hak nya atas sesuatu atau mungkin

mendapatkan haknya atas sesuatu.

Sedangkan contoh perikatan yang lahir karena undang-undang sebagai


akibat perbuatan manusia yang menurut hukum misalnya:

a.Perikatan yang menimbulkan kewajiban-kewajiban tertentu diantara

penghuni pekarangan yang saling berdampingan (burenrecht).

b.Perikatan yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak

(alimentasi).

c.Perikatan karena adanya Perbuatan Melawan Hukum (onrech-matige

daad).

d.Perikatan yang timbul karena perbuatan sukarela (zaakwarneming),

sehingga perbuatan sukarela tersebut haruslah dituntaskan.


e.Perikatan yang timbul dari pembayan tidak terutang.

f.Perikatan yang timbul dari perikatan wajar (natuurlijke verbintenissen).

2.2 Dasar hukum perikata

Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian

dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi

undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber

undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang

menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah

sebagai berikut:

1) Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)

2) Perikatan yang timbul dari undang-undang

3) Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar

hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )


Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :

1) Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu

persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk

memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

2) Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu

perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang

lain atau lebih.


3) Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena

undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai

akibat perbuatan orang.

2.3 Azas-azas hukum perikatan

1. Asas Konsensualisme

Asas konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHP dt.

Pasal 1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :

(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

(2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

(3) suatu hal tertentu

(4) suatu sebab yang halal.

Pengertian kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas

yang disetujui antara pihak-pihak Asas-Asas Hukum Perikatan.

2. Asas Pacta Sun Servanda

Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal
1338 ayat (1) KUHPdt:

 Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”

 Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena

perjanjian itu merupakan kehendak bebas para pihak Asas-Asas Hukum

Perikatan

3. Asas Kebebasan Berkontrak

Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya” Ketentuan tersebut

memberikan kebebasan parapihak untuk :


 Membuat atau tidak membuat perjanjian;

 Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

 Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

 Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

4. Asas-Asas Hukum Perikatan

Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas

hukum perikatan nasional, yaitu :

1) Asas kepercayaan;

2) Asas persamaan hukum;

3) Asas keseimbangan;

4) Asas kepastian hukum;

5) Asas moral.

6) Asas kepatutan;

7) Asas kebiasaan;

8) Asas perlindungan;

2.4 Macam – macam Perikatan

1) Perikatan Bersyarat : Perikatan yang digantungkan pada suatu peristiwa

tertentu yang belum terjadi dan belum tentu terjadi

a. Perikatan dengan syarat tangguh : perikatan lahir dng terjadinya

peristiwa yang diperjanjikan

b. Perikatan dengan syarat batal : perikatan justru berakhir dengan

terjadinya peristiwa yg diperjanjikan

2) Perikatan dengan ketetapan waktu : perikatan sudah lahir tetapi pelaksana-


annya ditunda sampai waktu yang ditentukan dalam perjanjian
3) Perikatan yg dapat dan tidak dapat dibagi-bagi

 karena sifat prestasinya


 karena ditentukan dalam perjanjian

4) Perikatan tanggung renteng (tanggung menanggung)

 Kreditur tanggung renteng : ada lebih dari satu kreditur terhadap 1

debitur

 Debitur tanggung renteng : ada lebih dari satu debitur terhadap 1

kreditur

5) Perikatan alternatif (manasuka) :perikatan dimana debitur diminta memilih

satu dari beberapa prestasi yang ditawarkan

6) Perikatan dengan ancaman hukuman : debitur diwajibkan melakukan

sesuatu jika tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan

2.5 Prestasi dan Wanprestasi

2.5.1 Prestasi

Prestasi adalah yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi

prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 KUH

Perdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun

tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan

pemenuhan utangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi

dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian

antara pihak-pihak. Menurut ketentuan pasal 1234 KUH Perdata ada tiga

kemungkinan wujud prestasi, yaitu


(a) memberikan sesuatu,

(b) berbuat sesuatu,

(c) tidak berbuat sesuatu.

Dalam pasal 1235 ayat 1 KUH Perdata pengertian memberikan sesuatu

adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada

kreditur, misalnya dalam jual beli , sewa-menyewa, hibah, perjanjian gadai,

hutang-piutang.

Dalam perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan

perbuatan tertentu yang telah ditentukan dalam perikatan, misalnya melakukan

perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, membangun gedung.

Dalam melakukan perbuatan itu debitur harus mematuhi semua ketentuan dalam

perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatnnya yang tidak sesuai dengan

ketentuan perikatan.

Dalam perikatan yang objekbnya “tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak

melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya tisdak

melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tidak membuat tembok yang


tingginya yang menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitur

berlawanan dengan periktan ini, ia bertanggung jawab karena melanggar

perjanjian.

Sifat prestasi

Prestasi adalah objek perikatan. Supaya objek itu dapat dicapai, dalam arti

dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya, yaitu:

1. Harus sudah ditentukan atau dapat ditentukan. Hal ini memungkinkan

debitur memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak

dapat ditentukan mengakibatkan perikatan batal (niegtig);


2. Harus mingkin, artinya artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur

secara wajar dengan segala usahanya, jika tidak demikian perikatan

batal (nietig);

3. Harus diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang oleh undang-undang,

tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan dengan

ketertiban umum, Jika prestasi itu tidak halal, perikatan batal (niegtig).

4. Harus ada manpfaat bagi kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan,

menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan

dapat dibatalkan (verniegtigbaar).

5. Terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi itu

berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali dapat

mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar).

2.5.2 Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa belanda “wanprestatie” yang berarti

prestasi buruk atau cedera janji. Dalam bahasa inggris, wanprestasi disebut breach

of contract, yang berarti tidak dilaksanakannya kewajiban sebagaimana mestinya

yang dibebankan oleh kontrak. Secara etimologi wanprestasi adalah suatu hak
kebendaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahan salah satu pihak tidak dapat

memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam kontrak. Adapun bentuk-

bentuk dari wanprestasi adalah sebagai berikut:

a Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

b Memenuhi prestasi tetapi tidak dapat pada waktunya.

c Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi perlu

diperhatikan apakah dalam kontrak itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan


pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan

pemenuhan prestasi tidak ditentukan perlu memperingatkan debitur supaya ia

memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukantenggang waktunya, menurut

ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya

tenggang waktu yang telah ditetapkan. Akibat hukum dari wanprestasi adalah:

a Debitur diharuskan membayar ganti rugi , (pasal 1243 KUH Perdata)

b Kreditur dapat meminta pembatalan kontrak melalui pengadilan , (pasal

1266 KUH Perdata.

c Kreditur dapat meminta pemenuhan kontrak atau pemenuhan kontrak

disertai ganti rugi dan pembatalan kontrak dengan ganti rugi , (pasal 1267

KUH Perdata) Apabila seorang debitur yang dituduh cidera janji dan

dituntut hukuman kepadanya, ia dapat melakukan pembelaan terhadap

dirinya dari hukuman yang akan diberikan dengan mengajukan beberapa

alasan. Pembelaan tersebut ada tiga macam yaitu:

 Karena adanya keadaan memaksa (overmacht atau forcemajeur).


 Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (exceptio non

adimpleti contractus).

 Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk

menuntut ganti rugi (rechtvenverking).

2.6 Keadaan Memaksa (Overmacht / Forcemajeur)

Keadaan memaksa atau overmacht yaitu ketika dalam suatu kontrak bisnis,

ketika debitur dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat memenuhi

prestasinya karena suatu keadaan yang tak terdugadan tidak dapat dipertanggung

jawabkan kepadanya, maka debitur tidak dapat dipersalahkan. Dengan perkataan


lain, debitur tidak dapat memenuh kewajiban karena overmacht . Dengan

demikian kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaiamana hak yang

dimiliki oleh kreditur dalam wanprestasi. Adapun yang termasuk unsur-unsur


Overmacht adalah sebagai berikut:

a Ada halangan bagi debitur untuk memenuhi kewajiban.

b Halangan itu bukan karena kesalahan debitur.

c Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko bagi debitur.

Akibat dari peristiwa dinyatakan overmacht/force majeure adalah sebagai


berikut:
 Kreditur tidak dapat melakukan gugatan
 Kreditur tidak dapat melakukan somatie
 Debitur tidak wajib membayar kerugian
 Resiko tidak beralih pada debitur
 Kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi

2.7 Hapusnya Perikatan

Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud

berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya

hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya

perikatan. Cara-cara tersebut adalah:

 Pembayaran.

 Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

(konsignasi).

 Pembaharuan utang (novasi).

 Perjumpaan utang atau kompensasi

 Percampuran utang (konfusio)

 Pembebasan utang
 Musnahnya barang terutang

 Batal/ pembatalan.

 Berlakunya suatu syarat batal.

 Lewatnya waktu (daluarsa).

Terkait dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-undang dan

perikatan yang lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya perikatan juga

demikian. Ada perikatan yang berakhir karena perjanjian seperti pembayaran,

novasi, kompensasi, percampuran utang, pembebasan utang, pembatalan dan

berlakunya suatu syarat batal. Sedangkan berakhirnya perikatan karena undang–

undang diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan daluarsa.

Agar berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka perlu

dikemukakan beberapa item yang penting, perihal defenisi dan ketentuan-

ketentuan yang mengaturnya sehinga suatu perikatan/ kontrak dikatakan berakhir:

Pembayaran

Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam

Pasal 1382 BW sampai dengan Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat
ditinjau secara sempit dan secara yuridis tekhnis.

Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada

kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang.

Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk

uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang

cukur atau guru privat.

Suatu maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah

subrogasi. Subrogasi adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur) oleh

seorang ketiga yang membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang dibayar,
muncul seorang kreditur yang baru menggantikan kreditur yang lama. Jadi utang

tersebut hapus karena pembayaran tadi, tetapi pada detik itu juga hidup lagi

dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur yang lama.

Konsignasi

Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang

dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai

atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang

atau barangnya di pengadilan.

Novasi

Novasi diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah sebuah

persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan

lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam

jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:

Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang

yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan


karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif. Apabila seorang berutang baru

ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh siberpiutang

dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif).

Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru

ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan

dari perikatannya (novasi subjektif aktif).

Kompensasi

Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d Pasal

1435 BW. Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan masing-


masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat

ditagih antara kreditur dan debitur (vide: Pasal 1425 BW). Contoh: A

menyewakan rumah kepada si B seharga RP 300.000 pertahun. B baru membayar

setengah tahun terhadap rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan tetapi pada

bulan kedua A meminjam uang kepada si B sebab ia butuh uang untuk membayar

SPP untuk anaknya sebanyak Rp 150.000. maka yang demikianlah antara si A dan

si b terjadi perjumpaan utang.

Konfusio

Konfusio atau percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW s/d Pasal

1437 BW. Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang

dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (vide: Pasal 1436). Misalnya si

debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya,

atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.
BAB III
TINJAUAN KASUS

Kasus Antara PT GPU dengan PT KSE

PT.GPU salah satu perusahaan peralatan yang menyediakan peralatan

kebutuhan perkebunan tersandung masalah dengan PT.KSE. Kasus ini muncul

saat keduanya menjalin kerjasama pada bulan maret 2012. Kala

itu, PT.KSE memesan peralatan mesin traktor dan peralatan kebun lainnya

dari PT.GPU, kemudian pada bulan mei tahun 2012 peralatan mesin perkebunan

itu datang secara bertahap dan pada bulan juni 2012 pemesan peralatan mesin

perkebunan itu usai atau telah tuntas.

Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23 september 2012 peralatan

mesin perkebunan itu telah rusak setelah dipakai beberapa

bulan. PT.KSE menuding perusahaan PT.GPU ini mengingkari kontrak perbaikan

mesin perkebunan mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan

hingga 1 tahun. Saat itu PT.KSE meminta mesin tersebut diservis kembali

lantaran baru dipakai selama 3 bulan, akan tetapi PT.GPU menolak. Alasannya,

kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika

kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang membuat pihak PT.KSE naik

pitam. Pada bulan desember 2012 PT.KSE pun menggugat ke PT.GPU dengan

ganti rugi sebesar US$ 5 juta atau sekitar Rp 76 miliar ke Pengadilan Negeri

Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi menemui jalan buntu.

Dengan dasar itu, pada maret 2013 PT.KSE mengalihkan gugatannya ke

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu

ditolak oleh pengadilan. Padahal di sisi lain, PT.GPU memiliki hutang perawatan
mesin perkebunan milik PT.KSE sejak Agustus 2011, dan tiba-tiba di tengah

transaksi perjanjian tersebut PT.GPU memutuskan secara sepihak beberapa

kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian peralatan perkebunan, padahal

peralatatan perkebunan itu sudah siap untuk diserahkan sehingga kerugian di

pihak PT.KSE mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas

perjanjian secara sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya,

dan sudah jatuh tempo sejak awal 2012. Tapi tak kunjung dilunasi

oleh PT.GPU hingga pertengahan tahun 2012.

Pada mulanya pihak PT.KSE tidak ingin memperkeruh permasalahan ini

mengingat hubungan antara PT.KSE dan PT.GPU sangat baik, namun setelah

dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak PT.KSE dengan cara mendatangi

pihak PT.GPU di kantor PT.KSE, tetap saja tidak ada respon timbal-balik

dari PT.GPU. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan

oleh PT.KSE dengan membawa perkara peralatan mesin perkebunan itu ke

pengadilan bisa berbanding terbalik dengan perlakuan PT.GPU yang ingin

menyelesaikan perkara hutang PT.KSE dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa


ke pengadilan. Setelah pihak PT.KSE bertenggang rasa selama tiga bulan,

akhirnya permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono

S.H.

Menurut Sugeng “PT.GPU sebagai salah satu perusahaan yang

menyediakan peralatan perkebunan, telah melakukan transaksi hutang yang

semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi

dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah

dilayangkan oleh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun masih tidak ada

konfirmasi balik kepada pihak PT.KSE”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku
kuasa hukum PT.KSE akan

menggugat PT.GPU kepengadilan,begitulah, PT.GPU benar-benar dalam keadaan

siaga satu
BAB IV

PEMBAHASAN

Perseteruan yang terjadi antara PT.GPU milik perusahaan ternama di

bidang peralatan perkebunan dengan PT.KSE tidak kunjung usai, hal ini

disebabkan karena:

1) Kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan

dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buru

2) Pihak PT.GPU tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal

ini PT.GPU sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestassi).

3) Pihak PT.GPU telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan

peralatan mesin perkebunan, padahal peralatan perkebunan sudah selesai

dikerjakan dan siap untuk diserahkan, hal ini menyebabkan kerugian

ratusan juta (tak terhingga) oleh PT.KSE.

Pada poin pertama di atas disebutkan bahwa, Kerjasama yang dilakukan


oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan dengan transaksi bisnis

berlandaskan i’tikad buruk. Pada dasarnya, sebelum mengadakan perjanjian

diwajibkan atas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian untuk mengetahui

dengan seksama akan pentingnya asas-asas perjanjian, yang mana hal ini dapat

mencegah adanya permasalahan yang akan terjadi diantara kedua belah pihak.

Asas-asas tersebut antara lain:

1) Asas Kebebasan Berkontrak

2) Asas Pacta Sunt Servand

3) Asas Konsesualisme
Asas ketiga diatas merupakan sektor utama yang harus ditonjolkan. Karena

asas ini merupakan syarat mutlak bagi hukum perikatan yang modern dan bagi

terciptanya kepastian hukum. Sebagaimana pernyataan kuasa hukum PT.KSE,

Sugeng Riyono S.H, “PT.GPU sebagai salah satu perusahaan peralatan

perkebunan telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan

didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien

yang diajak bekerjasama, bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh

pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada

pihak PT.KSE.” I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran, maka

i’tikad baik ketika dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatuhan, yaitu

suatu penilaian baik terhadap tindakan suatu pihak dalam hal melaksanakan apa

yang telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai dengan Pasal 1338 B.W yang

berbunyi, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan I’tikad baik. Maka, sesuai

dengan isi pasal diatas, diperintahkan supaya pejanjian dilaksanakan dengan

i’tikad baik, bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-

wenang dalam hal pelaksanaan tersebut.”


Pada poin kedua, PT.GPU tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan,

dalam hal ini PT.GPU sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestasi).

Wanprestasi yang dilakukan PT.GPU merupakan sesuatu yang disebabkan dengan

apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat, sebagaimana menurut Subekti,

Wanprestasi berarti kelalaian seorang debitur, dalam hal:

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan

2) Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang

dijanjikan

3) Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat


4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Kelalaian PT.GPU terhadap PT.KSE menjadikan terhambatnya kinerja

produksi lain yang akan dibuat oleh PT.KSE. Oleh sebab itu, tindakan wanprestasi

membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak yang dirugikan untuk menuntut

pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi dan bunga,

sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan

karena wanprestasi tersebut.

Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang-undang

menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai.

Jadi maksudnya adalah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat

selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi. Bahwasanya peryataan lalai

diperlukan dalam hal orang meminta ganti rugi atau meminta pemutusan perikatan

dengan membuktikan adanya ingkar janji. Hal ini digunakan untuk mengantisipasi

kemungkinan agar debitur tidak merugikan kreditur.

Disebutkan dalam poin ketiga adalah pihak PT.GPU telah mengadakan

pembatalan sepihak hutang perawatan dan pembelian peralatan perkebunan sehari


setelah peralatan tersebut selesai dibuat, hal ini menyebabkan produksi yang akan

dibuat oleh PT.KSE menjadi terbengkalai. Disebutkan dalam Pasal 1338 (2) B.W

bahwa, “Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakat

kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang

dinyatakan cukup untuk itu.” sehingga dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak

tersebut maka pihak PT GPU dan PT KSE mempunyai keterikatan untuk

memberikan atau berbuat sesuatu sesuai dengan isi perjanjian. Dalam hal

ketentuan di atas maka PT.GPU dikenakan beberapa pasal, antara lain:


1) Pasal 1243 B.W

2) Pasal 1246 B.W

3) Pasal 1247 B.W

4) Pasal 1249 B.W

5) Pasal 1250 B.W

Dari penjelasan diatas, maka pihak PT KSE bisa menuntut kepada PT

GPU yang tidak memenuhi suatu perikatan dan dia dapat dikenai denda atau ganti

rugi karena ingkar janji (wanprestasi)


BAB V

KESIMPULAN dan SARAN

5.1 KESIMPULAN

Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu

dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan, Dari rumusan

ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta

kekayaan (law of property), dalam bidang hukunm keluarga (family law), dalam

bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal

law). Dalam kita undang-undang hukum perdata pasal 1331 ayat 1 dinyatakan

bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undag-undnag

bagi mereka yang membuatnya, artinya apabila objek hukum yang dilakukan

tidak berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian tersebut

dibatalkan demi hukum.

Sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di


hadapan hakim. Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak memeuni unsur

subjektif, misalnya salah satu pihak berada dalam pebgawasab dan tekanan pihak

tertentu, maka perjanjian ini dapat dibatalkan didepan hakim. Sehingga, perjanjian

tersebut tidak akan mengikat kedua belah pihak. Hukum perjanjian ini akan

berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi perjanjian.

Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap

perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban

memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal

1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang
bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada,

menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor.

Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati

dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua

kemungkinan alasan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak

dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat

diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam

keadaan memaksa ebitor tidak dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar

kemauan dan kemampuan debitor.

5.2 SARAN

Demikian makalah kami dapat kami selesaikan. Kami berharap agar

makalah yang kami susun ini menjadi bermanfaat bagi penulis maupun pembaca

dan menambah wawasan mengenai hukum perdata, hukum perikatan ini. Namun,

dalam penyusunan ini, kami sadar terdapat banyak kekurangan, Karena kami pun

masih dalam tahap belajar, dan menyusun. Maka dari itu kami membutuhkan

kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca dan pembimbing
DAFTAR PUSTAKA

https://diahpramasti.wordpress.com/2018/04/13/contoh-kasus-dan-analisis-

hukum-perdata-dan-hukum-perikatan/

https://www.sarno.id/2017/01/hukum-perikatan/

Santoso AZ, Lukman. Hukum Perikatan. Malang: Setara Press. 2016.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermassa. 2002.

Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta

Anda mungkin juga menyukai