Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Kisah cinta tak selalu diiringi dengan canda tawa dan bahagia. Justru sebaliknya. Cinta akan
terus beriringan antara bahagia dan terluka. Mau tidak mau, suka tidak suka, itulah sebuah
cinta. Cinta bukanlah kata yang menyuguhkan jutaan kisah yang terbalut hanya dengan
keindahan. Justru cinta, akan selalu terbalut dengan perjuangan.
Raffi, dalam benaknya mungkin cinta sudah tak berarti. Rasa itu, kata itu, telah mati sejak
sembilan tahun yang lalu. Ia tak menyangkal, dulu sempat menjadi budak atas nama kata
cinta. Tapi... itu dulu. Kehidupannya yang gemilang nan kaya raya, tak menjadi jaminan ia
bahagia. Ah... justru, setiap hari ia merasa telah mati dalam kehidupannya. Namun, takdir
kembali memaksanya. Entah mengenai cinta atau derita.
Sonya, bertekad keras untuk meraih sejuta mimpi yang selalu terselip didalam benak dan
doanya. Setiap malam, ia merintih membisikan jutaan harapan nan cita-cita. Namun, justru
keadaan bertolak belakang dengannya, hingga ia harus rela pergi untuk mencari impiannya
walau penuh dengan derai dan air mata.
“Jadi bagaimana?” tanya Anjas seraya menyulut rokok yang ada ditangannya. Asap putih
mengepul membuat ruangan itu sedikit sesak. Namun, tidak bagi mereka berdua yang tengah
duduk di sofa kamar.
Sepulang kuliah, Raffi langsung menghubungi Anjas, sahabatnya. Mereka telah lama
bersahabat sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Bahkan kedua orang tua masing-
masing telah mengetahui persahabatan mereka.
“Aku bingung Jas,” Raffi sedikit menundukkan kepalanya.
Alis Anjas menaut. “Fi, aku juga bingung kalau masalahnya serumit ini. Ini salah kamu
sendiri!”
Raffi terdiam. Tak mampu bersuara, berbagai hal tengah menyerang pikirannya.
“Bagaimana dengan Alana?” tanya Anjas seraya menoleh Raffi yang tengah duduk
disampingnya.
“Dia telah memutuskanku setelah melahirkan seminggu lalu di Bali.”
Anjas sedikit terkejut seraya menggelengkan kepalanya. Ia, dia tau betul bagaimana rumit
dan ironinya kisah cinta Alana dan Raffi. Sejak SMA, Anjas memang telah mengetahui
mereka berpacaran. Namun, berita mengenaskan malah terungkap pasca mereka mulai
kuliah. Hubungan Raffi dan Alana memang sedikit tidak sehat. Hampir setiap malam minggu
mereka berkencan dan bergaul layaknya pasangan setelah menikah, yang pada akhirnya, kini
hubungan Raffi dan Alana membuahkan hasil.
Berulang kali Anjas mencoba memberi tahu bahwa hubungan yang seperti itu akan berlanjut
fatal. Tapi, apalah daya, Raffi menamakan itu adalah bukti ketulusan atas nama cinta.
Hingga, ia lupa, justru ia tengah terbuai oleh nafsu belaka.
Lebih ironi, Raffi dan Alana pergi ke Bali sebagai pelarian untuk melahirkan sang buah hati.
Sebenarnya, berulang kali Alana mencoba meminum obat penggugur kandungan. Tetapi,
hasilnya nihil, bayi itu kuat di dalam kandungannya. Tapi, tak semua keberuntungan berpihak
kepada buah hatinya. Di usia enam bulan lebih dua minggu, bayinya harus lahir karena ia
mengalami pendarahan hebat setelah mengkonsumsi obat-obatan penggugur kandungan.
Dengan panik, Raffi membawa Alana ke Bali setelah kejadian pendarahan di puncak, vila
milik kedua orang tua Raffi.
Raffi memberi kabar kepada kedua orang Alana, bahwa mereka akan berlibur sebentar di
Bali. Tanpa menanggung curiga, mereka mengizinkan. Kehamilan Alana memang tak ada
yang tahu selain Anjas dan Nasya, sahabat Alana. Karena kesibukan kerja, kedua orang tua
Alana dan Raffi jarang pulang ke rumah. Mereka bebas, tak terarah.
“Terus bayinya gimana?” Anjas kembali bertanya.
“Di rawat. Bayinya lemah banget, bahkan dia mengalami kecacatan.”
“Apa?!” Anjas melongo mendengar pernyataan Raffi yang tak masuk akal.
Barang sejenak Raffi menghela nafas. “Mungkin karena obat-obatan yang Alana minum. Aku
tak tau pasti, cacat apa yang ia derita. Jujur... aku gak bisa terima atas kehadirannya.”
Ucapan Raffi berhasil membuat Anjas bangkit dari duduknya. Dia sedikit geram mendengar
pernyataan bodoh sahabatnya. Bagaimana mungkin Raffi tak bisa terima kehadirannya?
Sedangkan dia begitu menikmati prosesnya.
“Parah! Kenapa gak dilamar aja si Alana?”
“Dia gak mau, katanya masih ingin kuliah. Dan Jas... kita semua masih semester satu kuliah.
Ini bakal berat. Walau sebenarnya, aku siap aja nikahin Alana sekarang-sekarang.”
Anjas berdecak. “Terus kalian mau buang bayi itu? Iya? Hah?!” Anjas kembali bertanya
dengan sedikit meninggikan suaranya. Ia juga faham, ia bukanlah orang alim agama. Tetapi,
perlakuan sahabatnya ini sudah terlalu keterlaluan.
Raffi hanya terdiam sebagai jawaban.
Anjas kembali menghempaskan dirinya diatas sofa. Netranya menerawang menatap langit-
langit berwarna cat putih. Ia menghela nafas berat sebelum kembali berucap. “Kalian boleh
salah dalam hal membuatnya. Tapi, plis, jangan buang atau bunuh dia.”
Rafi menoleh, melihat raut wajah Anjas yang tampak lelah. Sesekali ia menghela nafas gusar
menimang jalan yang diberikan oleh Anjas.
“Bagaimana kuliahku?”
“Gampang! Kita sembunyikan dia di rumah kau yang baru. Semua akan mudah Fi. Asalkan
kau tak lari dari tanggung jawab. Ingat, kau ayahnya!”
Raffi mengangguk membenarkan ucapan Anjas. Walau dalam hatinya ia masih berat dan
bahkan... nyaris tak terima. Hadirnya dia membawa petaka keretakan hubungannya dengan
Alana. Ia memang tak perlu risau untuk masalah biaya dan rumah. Tapi... hatinyalah yang
berat untuk bersahabat.
9 Tahun kemudian...
“Mel, jadinya gimana dong? Aku pusing!” Sudah hampir lima kali Sonya lihir mudik didepan
Amel, sahabatnya. Wajahnya nampak kusut. Bahkan, ia tak sadar telah memotong kuku
lentiknya oleh gigi. Sudah hampir seminggu ini ia tertimpa beban berat. Pasalnya, minggu
depan uang UKT harus dibayar. Bulan lalu, ia memang tenang dan tak risau karena bekerja
paruh waktu di warung makan pinggir jalan dekat kampus. Namun, kejadian naas
menimpanya. Piring yang tengah ia cuci berjumlah lima biji itu harus pecah karena tangannya
yang sakit akibat jatuh saat turun dari angkut. Sehingga, sebelah tangannya tak berkerja
efektif.
“Bagaimana kalau minta dulu sama ibu kamu?” Amel mendongak menatap Sonya yang kini
berdiri dihadapannya.
“Yang ada... aku akan dimarahi atau bahkan disuruh berhenti kuliah.” Wajah Sonya
mendadak memelas, bibirnya sedikit manyun.
Sedari awal, ibunya memang tak pernah mengizinkan Sonya kuliah. Pekerjaan berdagang
gorengan, membuatnya menggeleng keras takut tidak bisa menyanggupi buaya kuliah putri
semata wayangnya. Sang ayah, telah berpulang, meninggalkan ia dan ibunya tiga tahun yang
lalu. Sonya sempat berhenti setahun untuk membantu ibunya dan menambung. Tanpa dikira,
tahun ini ia lulus SBMPTN dan masuk perguruan tinggi terbesar di Depok.
Dengan tekad yang kuat, ia terus merengek agar ibunya memberi izin untuk kuliah. Dengan
berat, akhirnya ibunya mengizinkan. Dengan satu syarat, ibunya tak bisa membantu biaya
kuliahnya. Bukan tanpa sebab, Nenek Sonya mengalami struk sehingga harus di rawat, dan
tentunya mereka memerlukan biaya.
“Benar juga. Coba kita bicara ke Pak Angga. Beliau yang mengurusi administrasi mahasiswa.
Ya... aku berharap, dia sedikit membantumu.”
“Apakah aku tidak akan dimakan olehnya?” tanya Sonya dengan mata yang terbelalak dan
mulut yang melongo, seperti tak percaya akan usul sahabatnya.
“Kita baru akan mencoba. Kita tidak tahu!” Amel mengangkat bahunya.
“Ekhm... baiklah. Semoga beliau tak memakanku.”
Amel terkekeh seraya menggelengkan kepalanya, mendapati mimik wajah sahabatnya.
“Tapi aku begitu kurang yakin! Kau tau? Ya... Pak Angga, melihat wajahnya saja bulu
kudukku berdiri. Oh tidak!” Sonya menggeleng keras seraya menutup kedua matanya dengan
kedua telapak tangannya.
“Walaupun dia begitu. Tapi setidaknya dia tidak memakanmu!”
“Hahaha... benar! Mana ada yang sanggup memakan wajahku yang cantik nan imut ini!”
ucap Sonya seraya merapihkan tata kerudung marun fasminanya.
“Kalau begitu, ayolah kita ke ruang administrasi, sekarang!!” Amel mulai beranjak dari
duduknya dan berjalan menuju ruang administrasi. Barang sejenak, Sonya nampak terdiam
menyiapkan hati dan lidahnya agar tidak kelu saat memohon kelonggaran biaya UKT. Sonya
perlahan menarik nafas dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia berbalik, seraya berjalan
menyusul Amel yang telah lebih dulu di depannya.
Mereka berjalan beriringan menuju ruang administrasi. Raut wajah Sonya nampak gelisah,
jari tangannya saling bertautan sehingga berkeringat, pelipisnya mulai basah. Tepat saat
Amel melangkah masuk diambang pintu, Sonya mencekal sebelah tangannya seraya menatap
matanya. “Yakin gak apa-apa?”
“Aduh, kemana Sonya yang pemberani? Gak apa-apa. Daripada nanti dadakan, mending
bilang dari sekarang. Dia manusia Son.”
Sonya mencebik kesal. “Aku tau dia manusia. Tapi sikapnya kayak gorila.”
“Son?” Raut wajah Amel nampak gugup.
“Ia, dia itu udah terkenal seantero kampus. Udah galak, item, tinggi, kumisan, pokoknya
ngeri,” cercah Sonya seraya melipat kedua tangannya di dada.
“Siapa yang item, galak, tinggi? Saya?!”
Seketika Sonya berbalik, menatap Pak Angga yang tengah berdiri seraya melotot di
belakangnya. Sonya menyengir, menampilkan deretan giginya yang putih dan rapih.
“Hahaha... mana mungkin? Saya tidak menyembut bapak. Itu cerita temen saya di kampung,”
jawab Sonya seraya terkekeh. Sementara, Amel hanya diam menunduk. Dalam hati, Sonya
merutuki dirinya. Ia lupa, tengah berada di depan ruangan administrasi.
Pak Angga menyipitkan matanya. “Ada apa kalian kemari?”
Amel mendongak, melirik Sonya yang tengah berada di sampingnya. Sonya menelan salvina
karena gugup. Ia melirik Amel, sehingga netra mereka sejenak beradu.
“Kami ada perlu sama bapak,” sahut Amel dengan suara yang lembut.
“Benarkah? Ada apa?”
“Bisakah bicaranya di dalam pak?” Amel kembali membuka suara. Tak lama, Pak Angga
mengangguk sebagak jawaban. Pak Angga terlebih dahulu berjalan masuk, sementara Amel
dan Sonya mengekor dari belakang.
“Apa?!” tangan Pak Angga mengepal diatas meja, membuat nyali Amel dan Sonya seketika
menciut. Setelah menjelaskan kondisi keuangan Sonya yang buruk, Pak Angga nampak
terkejut. Sesekali, netranya berpaling untuk menetralkan pikirannya. Pasalnya, biaya UKT
sepenuhnya bukanlah tanggung jawab Pak Angga. Semua urusan administrasi sudah menjadi
keputusan pihak kampus.
“Saya mohon pak,” Sonya sedikit menampilkan wajahnya yang memelas. Berharap Pak
Angga akan bersedia membantunya untuk memberi tambahan waktu selagi ia akan mencari
pekerjaan.
Pak Angga sejenak menghela nafas berat. “Usahakan terlebih dahulu saja untuk minggu
depan. Jika memang tidak ada, saya akan berusaha membantu.”
Sonya menoleh Amel yang tepat berada disebelahnya.
“Iya Pak, gak apa-apa. Pasti diusahakan oleh Sonya,” Amel ikut menimpali.
“Kalau begitu kalian boleh keluar.”
“Bapak ngusir kita?” Sonya nampak sedikit terkejut.
“Lantas kamu mau ngapain lagi disini?”
Sonya terdiam sejenak. Urusannya memang telah selesai. Tetapi, entah mengapa perkataan
Pak Angga lebih mengisyaratkan untuk keluar, atau lebih tepatnya diusir.
“Kami permisi pak, Assalamu’alaikum,” Amel menarik sebelah tangan Sonya untuk bangkit
dari kursi dan beranjak keluar. Mereka tidak sadar, sedari tadi ada dosen idaman para wanita
yang tengah duduk memperhatikan keduanya. Raffi, mendengar jelas permasalahan
mengenai kedua mahasiswanya. Ia menghela nafas gusar. Awalnya, Raffi datang ke ruang
administrasi untuk bertemu Bu Haflah. Ada beberapa keperluan yang mengharuskannya
untuk datang ke kampus.
Sekarang, Raffi bukanlah mahasiswa yang digencari para wanita. Propesinya telah beralih.
Dia telah lulus fakultas kedokteran ahli bedah. Selain itu, Raffi kini harus memegang alih
perusahan milik sang ayah. Kebetulan, dia adalah anak tunggal dari keluarganya. Hal
tersebut, membuatnya sibuk dan jarang mengajar di kampus. Sementara di perusahaan,
kebanyakan ia lebih menyerahkan tugasnya kepada pekerjanya. Tentu, Raffi lebih sering
melakukan perjalanan bisnis keluar kota daripada berdiam di kantor. Menurutnya, itu terlalu
membosankan.
“Pak Raffi hari ini ke kantor?” tanya Bu Haflah membangunkan lamunan Raffi. Ia sedikit
tergagap untuk menjawab pertanyaan Bu Haflah.
“Oh... em, tidak bu. Hari ini saya ada kelas.”
Bu Haflah mengangguk pelan seraya menatap wajah tampan Raffi. Memang, tak bisa
dipungkiri. Alis hitam nan sedikit berantakan, rambu legam hitam, hidung mancung, tinggi
badan rata-rata pria, berkulit putih, bibir pink yang sensual, serta kotakan perut dan otot di
tangannya membuat kesan yang gagah dan wibawa. Tak hanya mahasiswi, beberapa dosen
perempuan turut terjun memperhatikan Raffi.
“Saya keluar dulu Bu. Oh ya, terima kasih waktunya,” Raffi perlahan berjalan keluar dari
ruangan administrasi. Netranya menoleh ke kanan dan kiri, seperti mencari sesuatu.
Suara teriakan memanggil namanya, terdengar nyaring dari kelas yang ia masuki. Sedikit
ricuh, memang. Tapi bagi Raffi, itu hal yang sudah biasa. Raffi mengajar di fakultas
kedokteran ahli bedah. Tapi hanya sekitar tiga kali dalam seminggu. Sisanya, ia fokus
mengurusi bisnisnya di bidang properti, milik sang Ayah.
Berbeda dengan Sonya dan Amel yang tengah duduk di kantin, mencari sesuatu agar bisa
mengganjal perutnya. Amel sedari tadi fokus menikmati hidangan mie ayam didepannya
dengan lahap. Sementara Sonya, masih terdiam dalam berbagai hal yang tengah berkecambuk
di kepalanya. Ia tidak bisa berfikir jernih, bagaimana mungkin mencari uang dalam seminggu
sekitar tiga juta? Hello... dia bukan mesin mencetak uang.
“Ayolah Son, makan dulu!”
Sejenak Sonya menoleh Amel yang duduk disampingnya. Sonya menggeleng pelan, ia
kembali menerawang lurus ke depan.
“Kita akan cari kerjaan sama-sama.”
Sonya mendongak. “Oh no! Plis Mel, kamu udah banyak bantu aku. Udah gak apa-apa aku
bisa sendiri. Lagian, kamu gak boleh pulang ke sorean.”
“Gak apa-apa, sekali.”
“Ralat Mel, hampir lima kali. Dan itu... udah buat ibu kamu cemas. Gak apa-apa, aku bisa
sendiri.”
“Tadi kamu liat gak ada dosen ganteng di ruang administrasi?” tanya Amel dengan antusias.
Bibirnya sedikit mengukir senyuman.
Sonya menggeleng. “Gak tau.”
“Ganteng banget serius Son. Apalagi dia belum nikah, jadi... mungkin pasti ada
kesempatankan?”
Sonya terkekeh geli mendengar ocehan Amel. “Lajang? Hahaha... itu tidak mungkin Mel.
Kamu tau? Pria tampan itu selalu mempunyai beberapa simpanan.”
“Simpanan?”
Sonya mengangguk membenarkan. “Mereka tidak mungkin menyianyiakan ketampanannya
Mel. Jadi, lebih tepatnya mereka berhubungan tanpa status.”
“Tapi, siapa tau dia beneran sendiri dan tibalah takdir mempertemukan. Hahaha,” Sebelah
tangan Sonya menepuk pundak Amel seraya berbisik pelan.
“Halu.”
Amel terkekeh mendengar bisikan Sonya, hingga akhirnya mereka tertawa bersama merutuki
kebodohannya.
Suara derap langkah Raffi, membangunkan sang pemilik empu yang tengah duduk di kursi
roda. Sedari tadi, ia telah menunggu kepulangannya. Senyuman manis terbit dari bibir
merahnya yang mungil, disertai air liur yang terus berlomba menetes keluar membasahi kaos
hitam yang tengah dipakainya. Mendapati sosok yang tengah memperhatikannya, Raffi
mendongak menatap tajam. Ia benci, tak suka, dan teramat marah jika setiap ia pulang harus
disambut pemandangan tak enak didepan matanya.
Langkah kaki Rafi bergerak, mendekat kepada seseorang yang tengah terduduk lemah diatas
kursi roda. Berbeda dengan Raffi, seseorang itu nampak antusias dan menampakan binaran
kebahagian dari sorot matanya yang berwarna biru.
“Sudah beberapa kali saya bilang! Kamu gak boleh keluar kamar! Kamu tau, saya benci liat
kamu berkeliaran disini!” Bentakan Rafi membuat senyuman yang awalnya terbit itu kini
memudar.
“Bi Inah! Bi Inah!” teriaknya lagi memanggil seseorang. Tak lama, sosok perempuan
berkerudung cokelat, bertubuh gemuk, datang dengan sedikit tergesa-gesa. Kepalanya
menunduk, tak berani menatap sang majikan. Di usia empat puluh, Bi Inah telah tau betul
bagaimana ironi kehidupan di rumah ini.
“Sudah berapa kali saya bilang, hah?! Saya tidak ingin melihat Razel berkeliaran! Bawa dia
ke kamar.”
Razel, putra semata wayangnya bersama Alana. Raffi muak, melihat sang anaknya. Razel
begitu mewarisi kemiripan dari Alana. Berambut pirang, bermanik mata biru, berkulit putih,
dan bibir merahnya. Ya, Alana memanglah wanita keturunan Inggris.
“Maaf tuan,” Bi Inah bersuara dengan lirih.
“Bawa dia ke kamar.”
Teriakan kecil nyaring terdengar dalam kesunyian malam di rumah ini. Razel berteriak seraya
tersedu dalam tangis, tangan mungilnya meronta saat mendapati kursi yang tengah ia duduki
bergerak karena dorongan Bi Inah. Sementara, Raffi kembali melangkah menuju lantai dua
kamarnya.
Bi Inah sedikit merasakan ulu hatinya nyeri saat mendorong Razel ke kamar. Sudah hampir
sembilan tahun ia mengurusi Razel namun tak pernah sekali saja ia melihat Raffi bersedia
menggendong atau menyapa Razel. Bentakan, cacian, hinaan, dan diam menjadi tameng
andalan Raffi.
Berulang kali tangan Bi Inah terulur mengusap lembut pucuk kepala Razel. Sementara Razel
masih sesegukkan menangis. Seandainya, bibir manisnya dapat bersuara. Mungkin, Razel
akan menyuarakan kesakitannya. Namun apalah daya, bibirnya membisu dan kakinya tak
bisa bergerak. Jika Razel dapat bersuara ingin rasanya ia mengeluh, memberontak atas
hadirnya yang di tolak di semesta. Hampir setiap hari, netranya selalu berderai air mata
tatkala mengutarakan sesuatu yang tak dapat difahami oleh orang lain. Di rumah Raffi yang
megah, terdapat tiga belas pelayan dan dua orang satpam. Tetapi, tak ada yang bisa
mengertikan Razel kecuali Bi Inah.
Dunianya terkurung. Setiap hari ia hanya bisa duduk di kursi roda di dalam kamarnya. Tak
bisa bergerak bebas, tak bisa keluar kamar karena sang pemilik rumah enggan melihatnya.
Walau beberapa kali ia selalu berusaha keluar, hasilnya selalu sama. Bentakan dan
kemarahan yang ia terima. Dunianya gelap tak berwarna. Membuat tubuhnya kurus dan sorot
netranya sayu.
“Yu kita tidur,” ucap Bi Inah seraya tersenyum manis.
Razel tak bergeming, ia tetap terdiam tak menanggapi ucapan Bi Inah. Dengan pelan, Bi Inah
membopong Razel dan membaringkannya di ranjang. Tangan Bi Inah terulur, mengusap
lembut kepala Razel.
“Jangan sedih ya, Razel kan kuat, ingat kita selalu minta kepada Tuhan.”
Sebenarnya, Bi Inah pun tak kuasa lagi menahan perih setiap kali melihat perlakuan Raffi
kepada Razel. Namun, apalah daya. Ia tak bisa membujuk ataupun memohon kepada Raffi.
Selain itu, ada satu hal yang terus mengganggu pikiran Bi Inah akhir-akhir ini. Setelah, Razel
tertidur, Bi Inah beranjak melenggang menuju kamar Raffi di lantai dua.
Jari tangan Bi Inah bertaut, debaran di dalam dadanya memompa lebih cepat. Bibirnya terasa
kelu. Sesampainya di pintu kamar Raffi, Bi Inah perlahan mengetuk pintu itu. Barang sejenak
tak ada sahutan dari dalam. Bi Inah kembali mengetuk kedua kalinya. Dari dalam, Raffi
tengah sibuk membaca proposal perusahannya. Dahinya berkerut, sebelah tangannya
menggenggam sebuah pulpen. Nyaring terdengar di gendang telinganya, suara ketukan pintu.
“Masuk,” ucapnya.
Tak lama, pintu terbuka, terdapat Bi Inah yang datang ke kamarnya. Kepala Bi Inah seperti
biasa menunduk di hadapan Raffi seraya berjalan mendekat. Degup jantung Bi Inah semakin
kuat saat kini berhadapan dengan Raffi yang hanya terhalang oleh meja jati berwarna cokelat
tua.
Teriakan para mahasiswi menyambut kedatang dosen muda yang kini tengah memakirkan
mobil mewahnya. Sebelah pintu terbuka, menampakan sosok yang tengah di panggil
namanya itu. Raffi, dengan santai keluar dari mobil dan berjalan ke ruangan dosen.
Sepanjang menyusuri koridor kampus, beberapa para mahasiswi berbisik tentang dirinya.
Bahkan ada juga yang terang-terangan memuji ketampanan dirinya. Sayang, Raffi hanya
membalasnya dengan senyuman.
“Kau sudah datang?” Dosen Raihan menyambut Raffi diambang pintu ruang dosen.
“Seperti yang kau lihat.”
Raihan tersenyum. “Kalau begitu, bersiaplah mengajar. Jangan sampai kau menyianyiakan
para gadis yang tengah mengejarmu, Raf.”
Rafi terkekeh geli. “Maaf Han, untukmu saja. Aku tak berselera,” ucap Rafi santai.
“Bukankah kau menjomblo?” lanjutnya.
“Hey! Tak hanya diriku, tapi dirimu juga,” pungkas Raihan.
Rafi mengangguk membenarkan ucapan Raihan. “Tapi aku belum ingin. Hari ini jadwal
mengajarku sedikit sibuk Han, maaf aku permisi,” Senyuman manisnya terukir. Raffi mulai
berjalan masuk tanpa memperdulikan Raihan.
Sekitar dua tahun, Raffi sempat bergelut di rumah sakit sebagai dokter bedah. Tapi,
propesinya itu harus terhenti karena permintaan ayahnya untuk mengurusi bisnis perusahaan.
Sedangkan sang ayah mengurus bisnis di luar negeri, tepatnya di Singapura. Sejak kuliah,
Raffi telah tinggal berpisah dengan kedua orang tuanya. Ibunya tinggal di Jogjakarta,
sementaranya dirinya di Depok.
Tapi kali ini, Raffi harus sering ke Jakarta untuk mengurus perusahaan ayahnya. Walau
dalam hati ia enggan, tetapi ia tidak bisa menolak. Bagaimanapun tak ada yang lain untuk
mengurusi perusahaannya. Setelah membawa berbagai buku dan keperluannya, Raffi mulai
keluar dari ruang dosen menuju kelas. Tak ada yang bisa berbohong, dia memang tampan,
sungguh.
Hari demi hari terus berlalu, detik demi detik berjalan tanpa henti. Sonya menggigit bawah
bibirnya, jari tangannya saling bertautan satu sama lain. Di depan ruang administrasi Sonya
semakin gugup. Amel melihatnya iba. Satu minggu kemarin, Amel sibuk mendampingi
Sonya mencari pekerjaan. Namun hasilnya nihil.
Uang di saku Sonya hanyalah lima ratus ribu, jauh dari kata cukup untuk membayar UKT.
Sonya menghembuskan nafas gusar, ia semakin panik mendapati beberapa mahasiswa
berlenggang keluar dari ruangan administrasi.
“Gimana nih?” tanyanya Panik.
“Bismillah dulu Son. Selalu ada keajaiban yang percaya akan Tuhan.”
Setengah jam mereka berdiri di depan ruangan administrasi. Namun, Sonya masih belum
berani menemui Pak Angga. Tepat saat sedang mengintip dibalik pintu, sosok dosen tampan
melewatinya masuk. Seperti biasa, Raffi selalu menemui Bu Haflah. Secara kebetulan Bu
Haflah adalah dosen yang sama mengajar di fakultas kedokteran.
“Ayolah Son, ini udah siang, kita ada kelas,” rengek Amel dibelakangnya.
“Baiklah.”
Perlahan, Sonya dan Amel masuk ke ruangan administrasi. Amel terlebih dahulu melakukan
pembayaran. Setelah selesai, Amel melirik Sonya disampingnya.
“Duduklah Son,” perintah Pak Angga.
Sonya baru menyadari, jika sedari tadi ia tengah berdiri didepan Pak Angga.
“Bagaimana? Sudah ada?” tanya Pak Angga.
Sonya menggeleng lemah. Ia tak bisa berkata banyak. Pikirannya sudah teramat berat.
“Satu minggu lagi bagaimana?”
Sonya sedikit terkejut, pasalnya kalau begitu Pak Angga setuju memberi waktu untuk Sonya.
Dalam hati, ia berucap syukur. Senyuman manis di bibirnya refleks terulas.
“Iya Pak.”
“Yaudah, kalian boleh keluar.”
Sonya dan Amel berjalan keluar dengan hati yang sedikit tenang. Walau hanya seminggu,
setidaknya ada harapan untuk Sonya untuk terus mencari pekerjaan.
“Tuhkan dia baik,” puji Amel.
Sonya mengangguk membenarkan. “Ya, untuk saat ini aku percaya.”
Tepat saat keduanya melangkah menuju kelas, seseorang mencekal sebelah tangan Sonya.
Refleks, Sonya menoleh. Seketika Sonya terkejut. Amel yang berada disampingnya lebih
terkejut.
“Ada waktu?” tanya Raffi seraya menatap netra Sonya yang hitam legam.
Telunjuk tangan Sonya menunjuk dirinya. “Saya?”
Raffi mengangguk sebagai jawaban. “Tapi tidak disini, bisa ikut saya sebentar.”
Sonya menoleh Amel disampingnya untuk meminta persetujuan tanpa suara. Amel langsung
mengangguk setuju.
“Baiklah.”
Raffi melepaskan cekalan tangannya dan mulai berjalan beriringan dengan Sonya
disampingnya. Sementara Amel lebih dulu ke kelas.
Di taman kampus, Raffi dan Sonya duduk di bangku kayu berwarna cokelat.
“Maaf Pak ada apa?” tanya Sonya membuka suara.
Raffi berdehem. “Saya mau menawarkan pekerjaan,” ucapnya to the point.
Sorot mata Sonya berbinar, refleks bibirnya ikut tersenyum. “Benarkah Pak? Ah, tentu saya
terima. Saya siap Pak.”
“Yakin?”
Sonya mengangguk penuh keyakinan.
“Tapi ada beberapa syarat?”
Sonya terdiam menunggu Raffi membuka suara.
“Kamu tidak boleh menceritakan, menjelaskan, atau berbicara mengenai pekerjaan yang
kamu lakukan di rumah saya. Selanjutnya, kamu tidak boleh memfoto atau membagikan
mengenai keluarga saya.”
Netra Sonya menyipit menatap Raffi. “Saya tidak diculik kan Pak?”
“Bersedia atau tidak?”
Walau berat, Sonya tak bisa berpikir banyak mengenai tawaran pekerjaan Raffi. Bayaran
UKT lebih penting daripada memikirkan jenis pekerjaannya, yang terpenting pekerjaannya
halal.
“Tapi saya memerlukan gajihnya terlebih dahulu. Boleh Pak?”
Raffi mengangguk setuju.
“Saya siap Pak. Kapan saya mulai berkerja?” Sonya bertanya dengan antusias.
“Dimana kamu tinggal?”
“Saya ngekos deket kampus Pak.”
“Sore ini, ku tunggu di parkiran. Bawa semua keperluanmu dan tinggalah di rumahku.”
“Saya jadi pembantu Pak?”
Raffi mengangguk membenarkan pertanyaan Sonya. Seketika Sonya menepuk keningnya
mengetahui jenis pekerjaanya.
Tak menunggu respon Sonya, Raffi beranjak berdiri dan meninggalkan Sonya seorang diri.
Sesekali Raffi melihat di kaca spion mobilnya. Sejak tadi, Sonya memang telah sampai di
parkiran. Tapi, kesepakatan diantara keduanya telah terjadi. Raffi telah membayar gaji Sonya
terlebih dahulu. Bergegas Sonya lari ke ruang administrasi dan membayar UKT.
Tak lama terdengar suara seseorang mengetuk kaca mobilnya. Raffi mendongak mendapati
sosok Sonya yang memakai kerudung fasmina tosca. Raffi membuka pintu mobil dan Sonya
masuk ke dalam.
“Ayo Pak, saya sudah selesai,” Sonya membuka suara di antara keheningan mereka berdua.
“Hanya itu yang kau bawa?” Raffi menoleh ke jok belakang.
Sonya mengangguk sebagai jawaban. Raffi segera menyalakan mesin mobilnya dan perlahan
melaju. Mereka berdua sama-sama terdiam dalam kesendirian. Tak ada senandung musik
ataupun topik pembicaraan.
Sekitar setengah jam berada di perjalanan, mobil sport hitam milik Raffi kini mulai
memasuki sebuah rumah bergaya eropa berchat putih. Sonya berdecak kagum, netranya
terbelalak melihat desain rumah Raffi yang indah nan megah.
Barang sejenak Sonya turun dari mobil, seorang satpam menghampiri Raffi dan membawa
mobil Raffi ke parkiran mobil di belakang rumah.
Langkah kaki Sonya melambat tatkala memasuki rumah megah Raffi yang sepi dan sunyi.
Keningny berkerut, seraya memikirkan tentang siapa saja yang ditinggal di rumah Raffi.
“Duduklah!” Raffi memerintah Sonya duduk di ruang tamu. Sementara dirinya berlenggang
entah kemana.
“Keren!” puji Sonya tatkala pantatnya terhempas di sofa putih yang empuk.
Barang sejenak, derap langkah kaki Raffi kembali terdengar. Di iringi, seorang perempuan
yang berkisar tiga puluh tahun mengekor di belakang.
“Perkenalkan, ini Bi Yuli. Chef di rumah ini. Dia akan menjelaskan semua pekerjaanmu,”
suara bariton Raffi membuat Sonya sedikit menciut. Raffi berbalik meninggalkan Sonya dan
Bi Yuli. Seperti biasa, Raffi akan pergi menuju kamarnya untuk melanjutkan pekerjaannya
yang tertunda. Ruang kerja dan kamarnya tersambung, sehingga ia tak perlu keluar kamar
untuk mengurusi pekerjaanya.
Bi Yuli tersenyum menatap Sonya yang nampak gugup. Bergegas ia duduk disamping Sonya.
“Siapa namamu?”
“Sonya. Wah, rumah Bapak bagus yah Bi,” Sonya masih berdecak kagum memandangi setiap
desain dan properti rumah Raffi.
Bi Yuli tertawa. “Kamu lucu sekali! Baru pertama kali bertemu sepertinya kamu sudah tidak
sungkan sama saya. Baiklah, memang seharunya kamu tidak boleh sungkan.”
“Kerja saya ngapain Bi?”
Bi Yuli menyipitkan matanya. “Kamu tidak tau?”
Sonya menggeleng.
“Mengurusi anak Pak Raffi.”
Seketika Sonya membekap mulutnya tak percaya. Pasalnya, berita kelajangan Raffi terkenal
seantero kampus. Dan sekarang, ia mendapati fakta bahwasannya Raffi telah memiliki anak.
“Kamu pasti tidak percaya? Namanya Razel, usianya sembilan tahun. Dia sakit...”
“Sakit apa?” sela Sonya tak sabar.
“Tunadaksa. Sebulan sekali akan ada dokter yang memeriksa keadaanya. Saya mohon...,” BI
Yuli menjeda sejenak ucapannya. “Jangan kaget melihat keadaan di rumah ini.”