KARSINOMA NASOFARING
Disusun Oleh :
Nurdalila
Putri Embun
Pagi Nadila
Ravita Mutya
Restu Ayu
Preseptor :
1.1. ANATOMI
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang terletak di
belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat, sehingga dahulu disebut “rongga
buntu atau rongga tersembunyi”. Batas-batas rongga nasofaring, di sebelah depan adalah
koana (nares posterior). Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah
belakang adalah jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah adalah ismus
faring dan palatum mole, dan batas lainnya adalah dua sisi lateral.(4,7)
Gambar 2.3. Kelompok Kelenjar Limfe Leher dan Kemungkinan Letak Lesi Primernya 4
Sistem limfatik daerah nasofaring terdiri dari pembuluh getah bening yang saling
menyilang dibagian tengah dan menuju ke kelenjar Rouviere yang terletak pada bagian lateral
ruang retrofaring, selanjutnya menuju ke kelenjar limfa disepanjang vena jugularis dan
kelenjar limfa yang terletak dipermukaan superfisial 4
1.2. DEFINISI
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring
dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring(4,7)
1.3. EPIDEMIOLOGI
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala – leher yang terbanyak
yang ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan
karsinoma nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%),
laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut , tonsil, hipofaring dalam presentase rendah.3
Secara global, pada tahun 2000 terdapat lebih kurang 65.000 kasus baru dan 38.000
kematian yang disebabkan penyakit ini. Di beberapa negara insidens kanker ini hanya 0,6 %
dari semua keganasan. Di Amerika insiden KNF 1-2 kasus per 100.000 laki-laki dan 0,4
kasus per 100.000 perempuan. . Namun di negara lain dan kelompok etnik tertentu, seperti di
Cina, Asia Tenggara, Afrika Utara, tumor ganas ini banyak ditemukan. Insiden KNF tertinggi
di dunia dijumpai pada penduduk daratan Cina bagian selatan, suku Kanton di propinsi
Guang Dong dan daerah Guangxi dengan angka mencapai lebih dari 50 per 100.000
penduduk pertahun .8
Indonesia termasuk salah satu negara dengan prevalensi penderita KNF yang
termasuk tinggi di luar Cina. Data registrasi kanker di Indonesia berdasarkan histopatologi
tahun 2003 menunjukan bahwa KNF menempati urutan pertama dari semua tumor ganas
primer pada laki – laki dan urutan ke 8 pada perempuan. Karsinoma nasofaring lebih sering
pada laki-laki dibanding perempuan dan dapat mengenai semua umur, dengan insidens
meningkat setelah usia 30 tahun dan mencapai puncak pada umur 40-60 tahun. Juga pernah
dilaporkan kasus KNF pada anak-anak dibawah 15 tahun. Tumor ganas ini tidak mempunyai
gejala yang spesifik, seringkali tanpa gejala, sehingga hal ini menyebabkan keterlambatan
dalam diagnosis dan terapi. Bahkan pada > 70 % kasus gejala pertama berupa
lymphadenopathy cervical, yang merupakan metastasis KNF.3
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di tiap daerah, Di RSUPN DR.Cipto
Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin
Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun
di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula angka-angka yang
didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya, dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas
ini terdapat merata di Indonesia3
1.4. ETIOLOGI
Sudah hampir dapat dipastikan bahawa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus
Eptein Barr karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer antivirus EB yang cukup
tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat , pasien tumor ganas kepala leher lainnnya,
tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring sekalipun. Namun virus ini
bukan satu- satunya penyebab terjadinya karsinoma nasifaring. Banyak factor lain yang
sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis
kelamin, genetic, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, social ekonomi, infeksi kuman
atau parasite.3
1.6. PATOGENESIS
EBV berperan dalam patogenesis dari karsinoma nasofaring, dimana pada awalnya
infeksi dari virus ini menyebabkan perubahan sel dysplasia grade rendah pada nasofaring .
sel displasia grade rendah ini sudah terjadi akibat factor predisposisi seperti diet, sueptibilitas
genetic dan lain- lain. Dengan infeksi dari EBV serta pengaruh gangguan kromosom
berkembang menjadi kanker invasif.Metastastasis dari tumor ini dipengaruhi oleh adanya
mutasi p53 dan ekspresi berlebihan dari kaderin.5
Gambar 2.4 karsinogenesis karsinoma faring)
1.7. MANIFESTASI KLINIS
Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di leher, gejala mata
dan gejala saraf.
1. Gejala Hidung/Nasofaring 7
Harus dicurigai adanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:
Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita usia lebih
dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.
Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih jika
terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus paranasal.
Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung
(epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan pemeriksaan hidung
tidak ada kelainan.
2. Gejala Telinga 7,3
Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga terasa penuh
seperti terisi air, berdengung atau gemrebeg (tinitus) dan nyeri (otalgia). Gangguan
pendengaran yang terjadi biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi bila ada perluasan
tumor atau karsinoma nasofaring ke sekitar tuba, sehingga terjadi sumbatan.
3. Gejala Tumor Leher 7,3
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari
karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Spesifitas
tumor leher sebagai metastase karsinoma nasofaring adalah letak tumor di ujung
prosesus mastoid, di belakang angulus mandibula, di dalam muskulus
sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah bergerak. Kecurigaan bertambah besar
bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak
ditemukan kelainan.
4. Gejala Mata 7,3
Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan secara teliti,
penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau dobel. Jelas
yang dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI yang
letaknya di atas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan
lain yang dapat memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III dan N.IV,
sehingga menyebabkan kelumpuhan mata yang disebut dengan oftalmoplegia. Bila
perluasan tumor mengenai kiasma optikus dan N.II maka penderita dapat mengalami
kebutaan.
5. Gejala Saraf 7.3
Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa gejala
subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti nyeri kepala atau
kepala terasa berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan kadang mengeluh
sulit menelan (disfagia). Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli
saraf saat belum ada keluhan yang berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan
mengenai N. IX, X, XI, dan XII jika perjalanan melalui foramen jugulare. Gangguan ini
disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf kranial disebut
dengan sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan
bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk.
1.8 KLASIFIKASI
Klasifikasi Histopatologi 7
Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan menjadi 3
tipe menurut WHO. Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan dengan mikroskop elektron di
mana karsinoma nasofaring adalah salah satu variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian
ini mendapat dukungan lebih dari 70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.
a. Tipe WHO 1
Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1 mempunyai
tipe pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring, sel-sel kanker
berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan cukup banyak keratin baik di dalam
dan di luar sel.
b. Tipe WHO 2
Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2 ini paling
banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan sebagian sel berdiferensiasi
baik, sehingga gambaran yang didapatkan menyerupai karsinoma sel transisional.
c. Tipe WHO 3
Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel kanker
paling heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu disebut dengan
limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma, dan variasi spindel.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu
bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitive.
1.9. DIAGNOSIS 4
Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan hasil biopsi. Pemeriksaan CT-scan
daerah kepala dan leher dapat mengetahui tumor primer dan arah perluasannya. Pemeriksaan
serologi lg A anti EA dan lg A anti VCA (Viral Capsid Agent) untuk infeksi EBV telah
menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Diagnosa pasti ditegakkan
dengan melakukan biopsy nasofaring. Pasien yang kooperatif dengan massa yang jelas dapat
dilakukan biopsi dengan anestesi lokal, nasoendoskop kaku, dan biopsi forsep panjang.
Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui
hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan
melalui rongga hidung menyulusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan
ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter
nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung keteter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama-sama ujung keteter yang di hidung. Demikian juga dengan keteter
yang dihidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca
laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat
lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi topikal dengan
xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkose.
STAGING 2
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan UICC pada tahun 2002
adalah sebagai berikut :
1. T = Tumor primer
T0 = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas di nasofaring
T2 = Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a = Perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring
T2b = Disertai perluasan ke parafaring
T3 = Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 = Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf
kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.
2. N = Pembesaran KGB regional
Nx = Pembesaran KGB tidak dapat dinilai
No = Tidak ada pembesaran
N1 = Metastasis KGB unilateral dengan ukuran ≤ 6 cm di atas fossa supraklavikula
N2 = Metastasis KGB bilateral dengan ukuran ≤ 6 cm di atas fossa supraklavikula
N3 = Metastasis KGB bilateral dengan ukuran ≥ 6 cm atau terletak didalam fossa
supraklavikula.
N3a = ukuran > 6 cm
N3b = di dalam fossa supraklavikula
3. M = Metastasis jauh
Mx = Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 = Tidak ada
M1 = Terdapat metastasis jauh
Stadium. 0 T1N0
Stadium. I T1 N0 M0
Stadium. IIa T2a N0 M0
Stadium. IIb
T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0,N1 M0
Stadium. III
T1 N2 M0
T2a,T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium. IVa T4 N0,N1,N2 M0
Stadium. IVb semua T N3 M0
Stadium. IVc semua T semua N M1
1.10. PEMERIKSAAN PENUNJANG 4
1. Pemeriksaan radiologi konvensional. Pada foto tengkorak potongan anteroposterior dan
lateral, serta posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto dasar
tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fossa serebri media
2. Pemeriksaan tomografi, CT Scan nasofaring. Merupakan pemeriksaan yang paling
dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. Pada stadium dini terlihat
asimetri dari resessus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring.
3. Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh.
4. Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr
( EBV ) yaitu lg A anti VCA (Viral Capsid Antigen) dan lg A anti EA.(Early Antigen)
5. Pemeriksaan aspirasi jarum halus (FNAB), bila tumor primer di nasofaring belum jelas
dengan pembesaran kelenjar leher yang diduga akibat metastasis karsinoma nasofaring.
6. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya metastasis.
1.11. TATALAKSANA 4
Stadium I : Radioterapi
Stadium II-III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N <6cm: Kemoradiasi
Stadium V dengan N >6cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
Pemilihan terapi kanker banyak faktor yang perlu diperhatikan, antara lain jenis kanker,
kemosensitifitas dan radiosensitifitas kanker, imunitas tubuh dan kemampuan pasien untuk
menerima terapi yang diberikan, efek samping terapi yang diberikan. Untuk keperluan
pemberian kemoterapi, kanker dibagi dalam 2 jenis antara lain:
Kanker hemopoetik dan limfopoetik
Kanker padat (solid)
Pada kanker hemopoetik dan limfopoetik yang berhubungan dengan kanker darah
(leukemia),limfoma maligna dan sumsum tulang (myeloma), sedangkan kanker padat (solid)
yang dapat menyebar ke regional atau organorgan lain, dalam hal ini tidak termasuk kanker
darah.
1. Radioterapi 4
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
KNF. Modalitas utama untuk KNF adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-
ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan
sehat disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring
bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting. Jumlah radiasi
untuk keberhasilan melakukan radioterapi adalah 5.000 sampai 7.000 cGy. Dosis radiasi pada
limfonodi leher tergantung pada ukuran sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang
tidak teraba diberikan radiasi sebesar 5000 cGy, <2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm
diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41
fraksi 5,5 minggu.
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat
tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya.
Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi.
Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh
yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita KNF dipengaruhi beberapa
faktor diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.
Terdapat 3 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :
- Radiasi Eksterna / Teleterapi
- Radiasi Interna / Brakhiterapi
- Intravena
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi
berdasarkan kriteria WHO
- Complete Response: menghilangnya seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
Komplikasi Radioterapi dapat berupa : 2
1. Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis - Anoreksi
- Dermatitis
- Hiperpigmentasi
- Eritema
2. Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Telangiectasis pada kulit
- Fibrosis pada paru dan saluran cerna
- Anemia aplastik pada sistem hemopoetik
- Myelitis
- Kontraktur
- Gangguan pertumbuhan
- dll
2. Kemoterapi 4
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan
kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kanker dapat digunakan sebagian
terapi tunggal (active single agents), tetapi pada umumnya berupa kombinasi karena dapat
lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel – sel yang resisten
terhadap salah satu obat mungkin sensitive terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat
dikurangi sehingga efek samping menurun.
Pemberian kemoterapi terbagi dalam 3 kategori :
1. Kemoterapi adjuvan.
2. Kemoterapi neoadjuvant
3. Kemoterapi concurrent
1. Kemoterapi adjuvan
Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan radioterapi. Tujuannya
untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh dan meningkatkan kontrol lokal. Terapi
adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat
terapi utamanya yang maksimal ternyata:
- Kanker masih ada, dimana biopsi masih positif.
- Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.
- Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi. (oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan
metastasis jauh
2. Kemoterapi neoadjuvan
Pemberian kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah pemberian sitostatika lebih
awal yang dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan tujuan pemberian kemoterapi
neoadjuvan untuk mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah tumor mengecil akan
lebih mudah ditangani dengan radiasi. Kemoterapi neoadjuvan telah banyak dipakai dalam
penatalaksanaan kanker kepala dan leher. Alasan utama penggunaan kemoterapi neoadjuvan
pada awal perjalanan penyakit adalah untuk menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat
terdapat sel tumor yang resisten.Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke daerah tumor
lebih baik. Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan memberi hasil yang lebih baik jika
diberikan pada tumor berukuran lebih kecil. Teori ini dapat disingkirkan karena akan terjadi
peningkatan efek samping, durasinya, dan beban biaya perawatan yang meningkat. Dan yang
lebih penting, sel yang bertahan setelah kemoterapi akan menjadi lebih tidak respon setelah
dilakukan radioterapi sesudahnya. Alasan praktis penggunaan kemoterapi adjuvan adalah
usaha untuk meningkatkan kemungkinan preservasi organ dan kesembuhan. Regimen
kemoterapi yang diberikan cisplatin 100 mg/m2 dengan kecepatan infus 15- 20 menit perhari
yang diberikan dalam 1 hari dan 5-FU 1000 mg/m2/hari secara intra vena, diulangsetiap 21
hari. Sebelum pemberian Cisplatin diawali dengan hidrasi berupa 1.000 mL saline 0,9%
natrium. Manitol 40 g diberikan bersamaan dengan cisplatin infus. Setelah pemberian
cisplatin, dilakukan pemberian 2.000 mL 0,9% natrium garam mengandung 40 mEq kalium
klorida. Pasien diberikan antimuntah sebagai profilaksis yang terdiri dari 5-
hydroxytryptamine-3 reseptor antagonis ditambah 20 mg deksametason. Berdasarkan
penelitian pemberian neoadjuvan kemoterapi dalam 2-3 siklus yang diberikan setiap 3
minggu dengan syarat bila adanya respon terhadap kemoterapi.
3. Kemoterapi concurrent
Kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi. Umumnya dosis kemoterapi yang
diberikan lebih rendah. Biasanya sebagai radiosensitizer. Kemoterapi sebagai terapi
tambahan pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi terutama pada stadium lanjut
atau pada keadaan relaps. Hasil penelitian menggunakan kombinasi cisplatin radioterapi
pada kanker kepala dan leher termasuk KNF, menunjukkan hasil yang memuaskan. Cisplatin
dapat bertindak sebagai agen sitotoksik dan radiation sensitizer. Jadwal optimal cisplatin
masih belum dapat dipastikan, namun pemakaian seharihari dengan dosis rendah, pemakaian
1 kali seminggu dengan dosis menengah, atau 1 kali 3 minggu dengan dosis tinggi telah
banyak digunakan. Agen kemoterapi telah digunakan pada pasien dengan rekarens lokal dan
metastatik jauh. Agen yang telah dipakai yaitu metothrexat, bleomycin, 5 FU, cisplatin dan
carboplatin merupakan agen yang paling efektif dengan respon berkisar 15-31%. Agen aktif
yang lebih baru meliputi paklitaxel dan gemcitibine.
BAB 2
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Umur : 55 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
II. Anamnesis
Seorang pasien laki-laki berusia 55 tahun dating ke poliklinik THT-KL RS Dr. Achmad
Muchtar pada tanggal 23 September 2013 dengan keluhan :
Keluhan Utama
Tenggorokan : Arkus faring simetris, Uvula di tengah, Dinding faring tenang, Tonsil T1/T1
Thorak :
Anggota gerak: akral hangat, perkusi baik, gerak motorik dalam batas normal
IV. Pemeriksaan laboratorium
Belum dilakukan
Telinga
Hidung
Rhinoskopi Anterior
Gambar
Gamba
r
Laringiskopi Indirek : Tidak dapat dinilai
VI. Resume
(Dasar Diagnosis)
I. Anamnesis
Nasal Endoskopi
Biopsi
IX. Terapi
Ciprofloxacin 1 x 500 mg
Kalnex
X. Prognosis
XI. Nasehat
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki, usia 58 tahun dengan diagnosis suspect
Karsinoma Nasofaring. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari anamnesis didapatkan :
dapat ditemukan massa yang menyumbat namun itu tidak berarti telah menyingkirkan
adanya massa pada nasofaring. Selain itu juga telah dilakukan Rhinoskopi posterior
dan laringoskopi indirect yang lebih bermakna untuk melihat adanya massa di
dan nasoendoskopi.
KEPUSTAKAAN