Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi dengue adalah penyakit infeksi virus yang paling cepat menyebar di dunia dengan
penyebaran melalui gigitan nyamuk. Dalam waktu lima puluh tahun terakhir, insiden infeksi dengue
meningkat tiga puluh kali dengan peningkatan luas geografi ke negara-negara baru dan terjadi penyebaran
infeksi virus dengue dari daerah perkotaan ke pedesaan. 1
Pada tahun 2017 jumlah kasus DBD yang dilaporkan sebanyak 68.407 kasus dengan jumlah
kasus meninggal sebanyak 493 orang dan IR 26.12 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 2016
dengan kasus sebanyak 204.171 serta IR 78.85 per 100.000 penduduk terjadi penurunan kasus pada tahun
2017. 2 Dari WHO dikatakan bahwa infeksi dengue sering dikaitkan dengan timbulnya kejadian kejang
demam.
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi
antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue (DD), DBD sampai
DBD disertai syok (sindrom syok dengue = SSD). Sejak tahun 1976, kasus dengue dihubungkan dengan
keterlibatan beberapa organ vital yang mengarah ke manifestasi yang tidak lazim (unusual) atau yang
tidak normal (atypical), dan sering berakibat fatal. 1
Kalayanarooj dan Nimmannitya tahun 2004 mengklasifikasikan unusual manifestation infeksi
virus dengue berupa keterlibatan susunan saraf pusat (SSP), gagal fungsi hati, gagal fungsi ginjal, infeksi
ganda dan kondisi yang memperberat. Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa profil klinis DBD
berubah dan bahwa manifestasi neurologis lebih sering dilaporkan. Insiden yang tepat berbagai
komplikasi neurologis tidak pasti. Dilaporkan insiden ensefalopati yang merupakan manifestasi neurologi
paling sering infeksi virus dengue didapatkan angkanya bervariasi dari 0,5-20,9%. Laporan tahun 2003-
2006 dari Uttar Pradesh, India mendapatkan 118/563 (20,9%) dengan acute febrile ensefalopati (AFE)
dan acute undifferentiated febrile illness (AUFI) positif antibodi dengue. Selain itu terdapat laporan
pergeseran usia pasien infeksi virus dengue ke usia yang lebih tua, sedangkan ensefalopati dengue
laporannya 1
masih terbatas. Cam dkk mendapatkan semua pasien ensefalopati dengue yang hidup sembuh sempurna,
tetapi berbeda dengan studi oleh Misra dkk, Kamath dkk, Kumar dkk yang melaporkan gejala sisa dalam
studi mereka. 1

1
Perbedaan mengenai insiden, usia, dan gejala sisa pada penelitian ensefalopati dengue di RSCM,
Jakarta mendorong peneliti ingin mencoba melihat apakah ada faktor kesamaan dan danfaktor perbedaan
dari kasus – kasus yang ada. Pencatatan data rekam medik selama tahun 2006- 2010 terdapat 717 pasien
dengan infeksi virus dengue, dan 34 pasien di antaranya menderita ensefalopati dengue. Namun dari
penelusuran data di rekam medik hanya didapatkan 20 buah rekam medik. Pasien terbanyak berusia 2-5
tahun (8 pasien) diikuti usia >10 tahun (7 pasien) dengan rerata usia pasien 6,6 tahun. Perbandingan laki-
laki dan perempuan 1:1. Gizi kurang terdapat pada 15 pasien. Umumnya pasien datang dengan rujukan
(17 pasien). Terdapat faktor-faktor yang memperberat yaitu thalasemia, HIV, tuberkolosis paru dan
systemic inflammatory response syndrome (SIRS) masing-masing pada satu pasien. Diagnosis SIRS
berdasarkan klinis, leukositosis (24.600/mm3), trombositopenia, hipotermi, dan anemia. Juga terdapat
tiga pasien dengan peningkatan marker infeksi C-reactive protein atau prokalsitonin (CRP/PCT) namun
kurang ditunjang oleh keadaan klinis pasien. Dilakukan biakan darah dan urin pada lima pasien namun
tidak tercantum hasilnya di rekam medik. Derajat infeksi dengue terbanyak DBD derajat IV pada delapan
pasien diikuti DBD derajat II pada enam pasien. 1
Penulis berharap dengan pembahasan kasus mengenai kejang demam akibat dengue ini dapat
menjadi landasan penulis untuk belajar lebih dalam bagaimana cara mendiagnosis pasien dan
mentatalaksana dengan tepat, serta dapat memikirkan diagnosis lain yang mungkin terjadi sehingga dapat
memilih pemeriksaan penunjang yang paling tepat

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. DS

Umur : 7 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Sidoarjo

Agama : Islam

Pendidikan : belum sekolah

Pekerjaan : belum bekerja

Caregiver : Ibu

Rekam Medik : 0405XX

Tanggal Masuk RS : 3 Desember 2019 Jam 15:26 WIB

Tanggal Keluar RS : 7 Desember 2019

Nama Orang Tua : Tn. A

Umur : 30 tahun

Alamat : Sidoarjo RT 06

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Merantau

2.2 ALLOANAMNESIS ( dengan ibu dan ayah pasien )


Keluhan Utama : Kejang 8 jam SMRS

Keluhan Tambahan : Demam sejak 4 hari SMRS,

Riwayat Perjalanan Penyakit : .

3
Os mengeluhkan demam sejak 4hari SRMS, demam yang timbul mendadak pada siang hari,
dirasakan terus menerus sepanjang hari namun hanya diukur dengan perabaan tangan. Saat
demam muncul pasien selalu menggigil dan wajah memerah. Tidak ada periode bebas demam.
Tidak ada faktor yang memperberat demam, namun demam dapat membaik jika pasien meminum
obat warung ( paracetamol tablet 2 x sehari @125 mg dan inzana 2 x sehari @40 mg selama 4
hari. Namun beberapa waktu kemudian demam kembali muncul dengan suhu yang sama. 2 hari
SMRS ibu pasien mengeluhkan bahwa muncul bintik – bintik berwarna merah pada tubuh pasien,
tidak diawali dari sekitar kuping / wajah pasien. Dirasakan tidak gatal dan tidak nyeri.

Sejak 8 jam SMRS kejang yang dialami berupa kaku seluruh tubuh disertai dengan mata
mendelik ke atas selama kurang lebih 60 menit. Saat sebelum kejang, pasien sedang tidur di kasur.
Ini merupakan kejang pertama. Os langsung dibawa ke puskesmas dan diberikan diazepam via
rektal 1 kali Kejang kaku dan mata mendelik hilang, namun os tidak menangis dan langsung
tertidur. 6 jam SMRS os dibawa ke klinik dan diberikan infus yang tidak diketahui kandungannya,
tak lama kemudian os menangis. Setelah itu os dirujuk ke RSUD Bangka Tengah dan dirawat di
bangsal Strawberry. Os jadi jarang menyusu dan makan pendamping asi hanya 1-2 sendok setiap
makan. Sehingga selama demam muncul os terlihat lemas. Tidak ada mimisan / perdarahan pada
gusi. Bintik – bintik tidak gatal dan tidak nyeri. Os tidak ada riwayat pergi ke luar kota dalam 7
bulan terakhir. Riwayat batuk dan pilek disangkal. BAB Cair dan berdarah disangkal. Riwayat
gangguan berkemih disangkal.

Riwayat penyakit Dahulu

Riwayat kejang : disangkal

Riwayat demam : Ada setelah pemberian vaksin pada bulan 1,2, dan 3. Setelah itu
os tidak mengalami demam lagi

Riwayat alergi : Disangkal

Riwayat dirawat rumah sakit : Disangkal, ini pertama kali os masuk rumah sakit dan dirawat

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Kejang : Kakak pasien ada kejang pada umur 1 tahun karena demam akibat batuk dan
pilek. Namun kejang berhenti sendiri dan diberikan obat warung penurun
demam. Kakak pasien kejangnya tidak kambuh lagi.

Hipertensi : disangkal

4
Diabetes Melitus : disangkal

Tuberkulosis : disangkal

Asma : disangkal

Alergi : disangkal

Riwayat pengobatan :

1.tablet paracetamol 125 mg digerus setiap demam, 2 kali sehari selama 4 hari
2. Tablet inzana 40 mg digerus 2 kali sehari selama 4 hari.

Riwayat Makanan

0 – 6 bulan : ASI

6 – sekarang bulan : ASI + SUN beras merah.

Kesimpulan : Makanan sesuai diberikan sesuai umur.

Riwayat Imunisasi

1.Jadwal imunisasi pasien sudah sesuai dengan Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun
2017.
2. BCG scar (+) di lengan kanan atas.

Kesimpulan: Riwayat imunisasi lengkap sesuai dengan umur

Riwayat Perkembangan

Perkembangan sesuai dengan umur berdasarkan CDC umur 6 bulan.

Riwayat Lingkungan Sekitar

Rumah pasien dikelilingi parit, Sejak musim hujan datang kondisi rumah sering terjadi banjir dan
diakui banyak genangan air. Di daerah rumah sering kesulitan air jadi ayah pasien meletakkan tanki
kosong untuk menampung air. Tanki yang sudah terisi air tidak pernah dikuras dan tidak ditutup.
Rumah pasien dihuni oleh 4 orang : Ayah, ibu, kakak pasien, dan pasien. Kondisi di dalam rumah
diakui tidak terlalu banyak nyamuk, namun lembab karena ventilasi udara sedikit. Orangtua pasien
mengatakan bahwa beberapa tetangga pasien ada yang demam dan dirawat.

Kesimpulan : Terdapat faktor risiko untuk terkena Dengue fever

5
Riwayat Kehamilan

Kehamilan ke - :2

Lama hamil : 38 minggu

Hambatan Persalinan : Tidak ada

Antropometri : BBL 2500g, PB 48 cm

Melahirkan di fasilitas : Puskesmas oleh bidan

Vaksinasi TT : 2 kali

ANC : 8 kali di bidan desa

Minum obat selama kehamilan : Tablet Besi, Vitamin, dan Asam Folat.

Konsumsi alkohol/merokok : Disangkal

Riwayat obstetri ibu : G0P2A0

Keadaaan Anak Lahir


Abortus/ Tahun Ditolong
Mati Hidup Lain-lain
N
Partus oleh
o.

1. Partus 2015 Bidan Hidup Anak Laki-Laki Cukup


Spontan Bulan, BBL 2600 gram,
PBL 45cm.

2. Partus 2019 Dokter Hidup Anak Perempuan Cukup


Spontan Sp.OG bulan, BBL 2500gram,
PBL 48 cm.

Tabel 2.1. Riwayat Obstetri Ibu Pasien

Kesimpulan: Tidak ada gangguan pada riwayat kehamilan

6
Silsilah Keluarga

Kesimpulan : An. DS merupakan anak kedua dari 2 saudara, dimana kakaknya juga pernah
mengalami kejang demam.

Riwayat sosial ekonomi :

Ayah pasien bekerja sebagai Perantau.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 3 Desember pukul 15:26)


Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang, gelisah, rewel

Kesadaran : Somnolen E2M4V3

Nadi : 120 x/menit

Frekuensi pernafasan : 30 x/menit

Suhu : 36,9oC

Saturasi O2 : 98%

Berat badan : 6 kg

Tinggi badan : 66 cm

Lingkar Kepala : 43 cm

Status Gizi : WFA [ (-2 SD) – (+2SD) ]

HFA [ (-2 SD) – (+2SD) ]

WFH [ (-2 SD) – (+2SD) ]

Status Gizi baik menurut WHO.

7
Pemeriksaan Khusus
1. Kepala

Bentuk : normocephali ( LK 43 cm )

Rambut : rambut lurus, hitam, tidak mudah dicabut

Mata : Mata cekung : +/+

konjungtiva anemis : -/-

sklera ikterus : -/-

edema palpebra : -/-

refleks cahaya : +/+, d=3/3mm, pupil isokor

Hidung : sekret (-),pernapasan cuping hidung (-), darah (-)

Telinga : sekret (-), perdarahan (-)

Mulut : perdarahan gusi (-), koplik spot (-), forscheimer spot (-)

Bibir : sianosis (-), pucat (-), mukosa bibir basah (-)

Lidah : candidiasis (-)

Tenggorokan : faring hiperemis (-), hipertrofi / hiperemis tonsil (-)

2. Leher
KGB : tidak ada pembesaran

Tiroid : tidak ada pembesaran

Massa :-

3. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

8
4. Paru
DEXTRA SINISTRA

Inspeksi: Inspeksi:

Ptechiae (+) Ptechiae (+)

Retraksi (-) Retraksi (-)

Gerak nafas tertinggal (-) Gerak nafas tertinggal (-)

Palpasi: Palpasi:

Fremitus raba (n) Fremitus raba (n)

Deviasi trakea (-) Deviasi trakea (-)

Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Auskultasi: Auskultasi:

Vesikuler (+) Vesikuler (+)

Ronkhi (-) Ronkhi (-)

Wheezing (-) Wheezing(-)

5. Abdomen
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-)
Inspesksi : terlihat cembung
Perkusi : timpani

6. Ekstremitas
Superior : akral hangat +/+, edema -/-

Inferior : akral hangat -/-, edema pretibial -/-

Refleks fisiologis : +/+

Refleks patologis : -/-

7. Pemeriksaan neurologis
a. Tingkat kesadaran : Somnolen

9
b. Rangsang meningeal :
i. Kaku kuduk: + Brudzinski 2: -
ii. Brudzinski 1: - Kernig: -
c. Refleks fisiolologis
i. Achilles (++/++), Patella (++/++), Biceps (++/++). Triceps (++/++)
d. Refleks Patologis (-)
i. Babinski -/-, Chaddock -/-, Gordon -/-, Oppenheim -/-, Schaefer -/-, Hoffman
tromner -/-
e. Otonom
i. BAB (+), BAK (+), Keringat (+)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG (tanggal 3 Desember 2019)


Laboratorium Tanggal 3/12/19

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hemoglobin 9.3 g/dl 10.5 – 14.0 g/dl
Leukosit 7.700 uL 6 000 – 14.000 uL
Eritrosit 4.43 jt/L 4.2 – 5.4 jt/L
Trombosit 19.000 uL 150.000 – 450.000 uL
Hematokrit 27% 32 – 42 %
MCV 60 fL 72 – 88 fL
MCH 21 pg 24 – 30 pg
MCHC 35 g/dl 32 – 36 g/dl
Hitung Jenis :
Basofil 0% 0 – 0.75 %
Eosinofil 0% 1–3 %
Neutrofil 25 % 54 - 62 %
Limfosit 64 % 25 – 33 %
Monosit 11 % 3–7%
GDS 71 mg/dL 70 – 106 mg/dl

Pemeriksaan Radiologi

10
Kesimpulan : dalam batas normal.

2.5 RESUME
• Demam tipe continous sejak 4 hari SMRS

• Ptechiae pada dada yang muncul 2 hari SMRS

• Kejang tipe tonik durasi 60 menit, pre ictal sedang tidur dan post ictal mengalami penurunan
kesadaran

• Penurunan nafsu makan

• Malaise

• Pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang dan gelisah, suhu 36.9 ℃ ( setelah
pemberian paracetamol ), mata cekung. Pada inspeksi thoraks terdapat ptechiae dan daerah perut.
Pemeriksaan rangsang meningeal kaku kuduk (+)

• Status gizi baik menurut WHO

• Status perkembangan baik sesuai dengan CDC

• Pemeriksaan analyzer terdapat

- Anemia mikrositik hipokrom

- Trombositopenia dan Limfositosis

• Pemeriksaan radiologi dalam batas normal

2.6 DIAGNOSIS AWAL

11
 Status Epileptikus + penurunan kesadaran e/c
2.6.1 Suspek Meningoencephalitis e/c viral dd/bakteri
2.6.2 Kejang Demam Kompleks e/c DF dd/ DHF
2.6.3 Suspek Ensefalopati Dengue
 Anemia mikrositik Hipokrom e/c Anemia Defisiensi Besi
 Status Imunisasi Lengkap menurut IDAI 2017
 Riwayat perkembangan sesuai dengan CDC

2.7 PENATALAKSANAAN

2.8 IVFD RL 75cc/kgBB dalam 6 jam


2.9 IVFD D5 ¼ NS 600 cc/24 jam
2.10 Terpasang NGT
2.11 Sibital 15 mg dalam D5 20 cc/12 jam
2.12 PCT IV 6 cc K/P
2.13 PCT drop 0,6 cc K/P
2.14 Injeksi ampicillin 4 x 300 mg IV
2.15 Injeksi Gentamicin 1 x 20 mg IV
2.16 Injeksi diazepam 1,8 mg bila kejang
2.17 Pantau TTV , UO, dan kejang tiap 2 jam
2.18 Cek analyzer, IGG dan IGM

2.8 PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Dubia ad Dubia

Quo Ad Functionam : Dubia ad Bonam

Quo Ad Sanationam : Dubia ad Malam

2.9 FOLLOW UP
Tanggal Catatan

4/12/2019 S : Os sudah tidak kejang, demam (-), ASI on NGT

07.00 Observasi demam hari ke 5-6

O:

Sensorium : Somnolen (E3M5V3)

KU : Tampak lemas

12
Tanda Vital

HR: 132 x /menit

RR: 28 x/menit

Suhu : 36.9 ℃

Kepala

Mata : CA ( -/-) , SI (-/-)

Kaku kuduk (+)

Thoraks : Terlihat ptechiae (+)

Vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

BJ 1 dan 2 regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Nyeri tekan (-), BU (+), supel

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2s

A:

 Status Epileptikus + penurunan kesadaran e/c


2.9.1 Suspek Meningoencephalitis e/c viral dd/bakteri
2.9.2 Kejang Demam Kompleks e/c DF dd/ DHF
2.9.3 Suspek Ensefalopati Dengue
 Anemia mikrositik Hipokrom e/c Anemia Defisiensi Besi

P:

2.9.4 IVFD D5 ¼ NS 600 cc/24 jam


2.9.5 Terpasang NGT
2.9.6 Sibital 15 mg dalam D5 20 cc/12 jam
2.9.7 PCT IV 6 cc K/P
2.9.8 PCT drop 0,6 cc K/P
2.9.9 Injeksi ampicillin 4 x 300 mg IV(H-2)
2.9.10 Injeksi Gentamicin 1 x 20 mg IV(H-2)
2.9.11 Injeksi diazepam 1,8 mg bila kejang

13
2.9.12 Pantau tanda shok
2.9.13 Observasi KU dan TTV per 2 jam
2.9.14 Cek lab tiap 12 jam

5/06/2019 S : Os sudah tidak kejang, demam (+), ASI on NGT

07.00 Observasi demam hari ke 6-7

O:

Sensorium : CM

KU : Tampak lemas

Tanda Vital

HR: 135 x /menit

RR: 28 x/menit

Suhu : 37,5 ℃

Kepala

Mata : CA ( -/-) , SI (-/-)

Kaku kuduk (+)

Thoraks : Terlihat ptechiae (+)

Vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

BJ 1 dan 2 regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Nyeri tekan (-), BU (+), supel

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2s

A:

 Status Epileptikus + penurunan kesadaran e/c


2.9.15Suspek Meningoencephalitis e/c viral dd/bakteri

14
2.9.16Kejang Demam Kompleks e/c DF dd/ DHF
2.9.17Suspek Ensefalopati Dengue
 Anemia mikrositik Hipokrom e/c Anemia Defisiensi Besi
P:

2.9.18 IVFD D5 ¼ NS 600 cc/24 jam ( 25 tpm mikro )


2.9.19 Terpasang NGT
2.9.20 Sibital 15 mg dalam D5 20 cc/12 jam
2.9.21 PCT IV 6 cc K/P
2.9.22 PCT drop 0,6 cc K/P
2.9.23 Injeksi ampicillin 4 x 300 mg IV(H-3)
2.9.24 Injeksi Gentamicin 1 x 20 mg IV(H-3)
2.9.25 Injeksi diazepam 1,8 mg bila kejang
2.9.26 Pantau tanda shok
2.9.27 Observasi KU dan TTV
2.9.28 Cek lab tiap 12 jam
6/12/2019 S : Os sudah tidak kejang, demam (+)

07.00 Observasi demam hari ke 7-8

O:

Sensorium : CM

KU : Tampak lemas

Tanda Vital

HR: 136 x /menit

RR: 32 x/menit

Suhu : 37.9 ℃

Kepala

Mata : CA ( -/-) , SI (-/-)

Kaku kuduk (+)

Thoraks : Ruam konvalescence

15
Vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

BJ 1 dan 2 regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Nyeri tekan (-), BU (+), supel

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2s

A:

 Status Epileptikus + penurunan kesadaran e/c


2.9.29Kejang Demam Kompleks e/c DF dd/ DHF
2.9.30Suspek Ensefalopati Dengue
 Anemia mikrositik Hipokrom e/c Anemia Defisiensi Besi

P:

2.9.31 IVFD D5 ¼ NS 600 cc/24 jam


2.9.32 Sibital stop
2.9.33 Amoxan 3 x 2,5 ml
2.9.34 Apialis 1 x 2,5 mg
2.9.35 PCT drop 3 x 0.7 cc K/P
2.9.36 Sangobion drop 2 x 1 ml
2.9.37 Mupirocin 3 x 1 dioles
2.9.38 Opilax 2 x 3 ml

7/12/2019 S : Os sudah tidak kejang, demam (-), BAB(+)

07.00 Observasi demam hari ke 8-9

O:

Sensorium : CM

KU : Tampak lemas

Tanda Vital

HR: 118 x /menit

RR: 28 x/menit

16
Suhu : 37.1 ℃

Kepala

Mata : CA ( -/-) , SI (-/-)

Kaku kuduk (-)

Thoraks :

Vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

BJ 1 dan 2 regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Nyeri tekan (-), BU (+), supel

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2s, terdapat ruam konvalescence

A:

 Status Epileptikus + penurunan kesadaran e/c


2.9.39Kejang Demam Kompleks e/c DF dd/ DHF
2.9.40Suspek Ensefalopati Dengue
 Anemia mikrositik Hipokrom e/c Anemia Defisiensi Besi
P:

2.9.41 IVFD D5 ¼ NS 600 cc/24 jam


2.9.42 Injeksi ampicillin 4 x 300 mg IV(H-5)
2.9.43 Injeksi Gentamicin 1 x 20 mg IV(H-5)
Obat pulang

2.9.44 Amoxan 3 x 2,5 ml


2.9.45 Apialis 1 x 2,5 mg
2.9.46 PCT drop 3 x 0.7 cc K/P
2.9.47 Sangobion drop 2 x 1 ml
2.9.48 Mupirocin 3 x 1 dioles
2.9.49 Opilax 2 x 3 ml

Laboratorium Tanggal 4/12/19 (06.00)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

17
Hemoglobin 7.9 g/dl 10.5 – 14.0 g/dl
Leukosit 9.600 uL 6000 – 14.000 uL
Eritrosit 3.71 jt/L 4.2 – 5.4 jt/L
Trombosit 26.000 uL 150.000 – 450.000 uL
Hematokrit 23 % 32 – 42 %
MCV 62 fL 72 – 88 fL
MCH 21 pg 24 – 30 pg
MCHC 35 g/dl 32 – 36 g/dl
Hitung Jenis :
Basofil 0% 0 – 0.75 %
Eosinofil 0% 1–3%
Neutrofil 15 % 54 – 62 %
Limfosit 78 % 25 – 43 %
Monosit 7% 3–7%
Laboratorium Tanggal 4/12/19 ( 18.00 (

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hemoglobin 8 g/dl 10.5 – 14,0 g/dl
Leukosit 8.400 uL 6000 – 14.000 uL
Eritrosit 3.78 jt/L 4.2 – 5.4 jt/L
Trombosit 14.000 uL 150.000 – 450.000 uL
Hematokrit 23 % 32 – 42 %
MCV 61 fL 72 – 88 fL
MCH 21 pg 24 – 30 pg
MCHC 35 g/dl 32 – 36 g/dl
Hitung Jenis :
Basofil 0% 0 – 0.75 %
Eosinofil 0% 1–3%
Neutrofil 15 % 54 – 62 %
Limfosit 70 % 25 – 33 %
Monosit 15 % 2–7%
Dengue IGG dan IGM REAKTIF Non Reaktif

Laboratorium Tanggal 5/12/19

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hemoglobin 7.5 g/dl 10.5 – 14.0 g/dl
Leukosit 13.800 uL 6000 – 14.000 uL
Eritrosit 3.54 jt/L 4.2 – 5.4 jt/L
Trombosit 68.000 uL 150.000 – 450.000 uL
Hematokrit 20 % 32 – 42 %
MCV 57 fL 72 – 88 fL
MCH 21 pg 24 – 30 pg
MCHC 37 g/dl 32 – 36 g/dl
Hitung Jenis :
Basofil 0% 0 – 0.75 %
Eosinofil 0% 1–3%
Neutrofil 18 % 54 – 62 %
Limfosit 78 % 25 – 33 %
Monosit 4% 3–7%

Kurva Hematokrit

18
KURVA HEMATOKRIT
30

25

20
Series 1
15

10

0
3 Desember 4 Desember 4 Desember 5 Desember

Kurva Trombosit

KURVA TROMBOSIT
80000

70000

60000

50000
Column1
40000

30000

20000

10000

0
3 Desember 4 Desember 4 Desember 5 Desember

Kurva Suhu per 2 jam

19
Kurva Suhu
39

38.5

38

37.5
Series 1
37

36.5

36

35.5
2 6 10 14 18 22 2 6 10 14 18 22 2 6
jam jam jam jam jam jam
jam jam jam jam jam jam jam jam

20
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Klasifikasi Dengue

3.1.1 Kriteria Klasifikasi Dengue Berdasarkan Guideline WHO tahun 2009 4

Kriteria WHO 2009 mengklasifikasikan penyakit dengue sesuai dengan derajat keparahan sebagai
berikut; dengue tanpa tanda bahaya, dengue dengan tanda bahaya, dan dengue berat ( severe dengue )

- Kriteria untuk probable dengue tanpa tanda bahaya: tinggal di atau perjalanan ke area endemic
dengue dengan 2 kriteria antara berikut :
- Mual muntah
- Ruam
- Myalgia dan nyeri
- Uji turniket positif
- Leukopenia
- Tanda bahaya apapun
- Tanda – tanda bahaya dengue ( warning sign )
- Nyeri abdominal
- Muntah persisten
- Akumulasi cairan secara klinis

21
- Perdarahan mukosa
- Letargi, gelisah
- Pembesaran hati > 2 cm
- Laboratorium : peningkatan hematocrit bersamaan dengan penurunan jumlah trombosit
 Kriteria untuk dengue berat ( severe dengue )
- Kebocoran plasma berat hingga terjadi : syok (SSD) dan akumulasi cairan dengan
gangguan pernapasan
- Perdarahan berat
- Keterlibatan organ : Hati ( SGOT atau SGPT > 1000, sistem saraf pusat berupa
penurunan kesadaran, jantung berupa takikardi, akral dingin basah, kegagalan sirkulasi,
crt > 3 detik, nadi lemah, tekanan nadi sempit
- Keterlibatan gastrointestinal sehingga muntah persisten

3.1.2 Kriteria Klasifikasi Dengue berdasarkan Guideline WHO tahun 2011

 Demam Dengue
 Demam Berdarah Dengue
 DSS
 Expanded Dengue Sindrome

22
3.2 Viral / Demam Dengue / Demam berdarah Dengue / DSS / Expanded Dengue Syndrome

3.2.1 Karakteristik

 Virus Dengue
Virus Dengue termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Selain virus dengue,
virus lain yang termasuk dalam genus ini adalah Japanesse encephalitis virus (JEV), yellow fever
virus (YFV), West Nile virus (WNV), dan tickborne encephalitis virus (TBEV). Masing-masing
virus tersebut mempunyai kemiripan dalam struktur antigeniknya sehingga memungkinkan terjadi
reaksi silang secara serologik. Berdasarkan genom yang dimiliki, virus dengue termasuk virus
(positive sense single stranded) RNA. Genom ini dapat ditranslasikan langsung menghasilkan
satu rantai polipeptida berupa tiga protein struktural (capsid = C, pre-membrane = prM, dan
envelope =E) dan tujuh protein non-struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan
NS5). Selanjutnya, melalui aktivitas berbagai enzim, baik yang berasal dari virus maupun dari sel
pejamu polipeptida tersebut membentuk menjadi masing-masing protein. Protein prM yang
terdapat pada saat virus belum matur oleh enzim furin yang berasal dari sel pejamu diubah
menjadi protein M sebelum virus tersebut disekresikan oleh sel pejamu. Protein M bersama
dengan protein C dan E membentuk kapsul dari virus, sedangkan protein nonstruktural tidak ikut
membentuk struktur virus. Protein NS1 merupakan satu-satunya protein nonstruktural yang dapat

23
disekresikan oleh sel pejamu mamalia tapi tidak oleh nyamuk, sehingga dapat ditemukan dalam
darah pejamu sebagai antigen NS1. Masing- masing protein mempunyai peran yang berbeda
dalam patogenisitas, replikasi virus, dan aktivasi respons imun, baik humoral maupun selular.
Berdasarkan sifat antigen dikenal ada empat serotipe virus dengue, yaitu DENV-1, DENV-2,
DENV-3, dan DENV-4. Masing-masing serotipe mempunyai beberapa galur (strain) atau
genotipe yang berbeda. Serotipe yang dapat ditemukan dan yang paling banyak beredar di suatu
negara atau area geografis tertentu berbeda-beda. Di Indonesia keempat serotipe virus dengue
tersebut dapat ditemukan dan DENV-3 merupakan galur yang paling virulen. 5

 Vektor nyamuk
Pada saat ini nyamuk Stegomiya aegipty (Aedes aegipty) disebut sebagai spesies
kosmopolitan yang banyak ditemukan di berbagai belahan dunia antara 45° lintang utara dan 35°
lintang selatan. Nyamuk ini merupakan nyamuk domestik yang mempunyai afinitas tinggi untuk
menggigit manusia (antropofilik) serta dapat menggigit lebih dari satu individu (multiple-bite)
untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pola hidup seperti ini menyebabkan nyamuk tersebut
menjadi vektor yang sangat potensial untuk menularkan virus dengue dari satu individu ke
individu lain. Hanya nyamuk betina yang menggigit manusia. Stegomiya albopictus (Aedes
albopictus) selain dapat menularkan keempat jenis virus dengue, juga merupakan vektor untuk 22
spesies arbovirus lain. 5

 Pejamu
Pejamu Saat nyamuk menghisap darah manusia yang sedang mengalami viremia, virus
masuk ke dalam tubuh nyamuk, yaitu dua hari sebelum timbul demam sampai 5-7 hari fase
demam. Nyamuk kemudian menularkan virus ke manusia lain. Kerentanan untuk timbulnya
penyakit pada individu antara lain ditentukan oleh status imun dan faktor genetik pejamu. 5

 Faktor Abiotik
Suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan, telah diketahui berperan dalam
penyebaran penyakit dengue. Perubahan iklim secara global dilaporkan membuat nyamuk
mengalami dehidrasi sehingga untuk mempertahankan diri nyamuk akan lebih sering menggigit
manusia. Peningkatan curah hujan, terutama saat peralihan dari musim kemarau ke musim
penghujan dilaporkan berpengaruh terhadap peningkatan kasus penyakit dengue. 5

3.2.2 Patogenesis Infeksi Dengue

24
Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan: yang pertama faktor virus, yaitu
serotipe, jumlah, virulensi. Yang kedua faktor pejamu, genetik, usia, status gizi, penyakit
komorbid dan interaksi antara virus dengan pejamu. Dan yang terakhir faktor lingkungan, musim,
curah hujan, suhu udara, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, dan kesehatan lingkungan. 5

Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut; 5

 Infeksi pertama kali (primer) menimbulkan kekebalan seumur hidup untuk serotipe penyebab.
 Infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda (secondary heterologous infection) pada
umumnya memberikan manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan dengan infeksi primer
 Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki antibodi dapat menunjuk- kan manifestasi klinis berat
walaupun pada infeksi primer
 Perembesan plasma sebagai tanda karakteristik untuk DBD terjadi pada saat jumlah virus dalam
darah menurun
 Perembesan plasma terjadi dalam waktu singkat (24-48 jam) dan pada pemeriksaan patologi tidak
ditemukan kerusakan dari sel endotel pembuluh darah

3.2.3 Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit Infeksi Virus Dengue

Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat luas dapat bersifat asimtomatik/ tak
bergejala, demam yang tidak kha/sulit dibedakan dengan infeksi virus lain ( sindrom virus/viral
syndrome, undifferentiated fever), demam dengue (DD), demam berdarah dengue(DBD) dan
Expanded dengue syndrome /organopati ( manifestasi klinis yang tidak lazim ) seperti tertera
pada gambar dibawah 5

25
A. Sindrom Virus
Bayi, anak – anak, dan dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama untuk
pertama kalinya ( infeksi primer ), dapat menunjukkan manifestasi klinis berupa demam
sederhana yang tidak khas, yang sulit dibedakan dengan demam akibat infeksi virus lain.
Manifestasi klinis tersebut pada umumnya ditemukan pada saat dilakukan penelitian mengenai
penyebab demam pada kelompok masyarakat tertentu (survei demam/fever survey). Ruam
makulopapular dapat menyertai demam atau pada saat penyembuhan. Gejala gangguan saluran
napas dan pencernaan sering ditemukan. 5

Sindrom virus akan sembuh sendiri (self limited), namun dihawatirkan apabila di kemudian
hari terkena infeksi yang kedua, manifestasi klinis yang diderita akan lebih berat berupa demam
dengue, demam berdarah dengue atau expanded dengue syndrome. 5

B. Demam dengue
Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja, dan dewasa. Setelah melalui
masa inkubasi dengan rata-rata 4 6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala berupa demam, mialgia,
sakit punggung, dan gejala konstitusional lain yang tidak spesifik seperti rasa lemah (malaise),
anoreksia, dan gangguan rasa kecap. Demam pada umumnya timbul mendadak, tinggi (39°C-
40°C), terus-menerus (pola demam kurva kontinua), bifasik, biasanya berlangsung antara 2-7
hari. Pada hari ketiga sakit pada umumnya suhu tubuh turun,namun normal, kemudian suhu naik
tinggi kembali, pola ini disebut sebagai pola demam bifasik. Demam disertai dengan mialgia,
sakit punggung (karena gejala ini, demam dengue pada masa lalu disebut sebagai breakbone

26
fever), artralgia, muntah, fotofobia (mata seperti silau walau masih di atas terkena cahaya dengan
intensitas rendah) dan nyeri retroorbital pada saat mata digerakkan atau ditekan. Gejala lain dapat
ditemukan berupa gangguan pencernaan (diare atau konstipasi), nyeri perut, sakit tenggorok, dan
depresi. 5

Pada hari sakit ke-3 atau 4 ditemukan ruam makulopapular atau rubeliformis, ruam ini
segera berkurang sehingga sering luput dari perhatian orang tua. Pada masa penyembuhan timbul
ruam di kaki dan tangan berupa ruam makulopapular dan petekie diselingi bercak bercak putih
(white islands in the sea of red), dapat disertai rasa gatal yang disebut sebagai ruam konvalesens.
Manifestasi perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji tourniquet yang positif (210
petekie dalam area 2,8 × 2,8 cm) atau beberapa petekie spontan. Pada beberapa kasus demam
dengue dapat terjadi perdarahan masif. 5

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit yang normal, namun pada


beberapa kasus ditemukan leukositosis pada awal demam, namun kemudian terjadi leukopenia
dengan jumlah PMN yang turun, dan ini berlangsung selama fase demam. Jumlah trombosit dapat
normal atau menurun (100.000-150.000/mm'), jarang ditemukan jumlah trombosit kurang dari
50.000/mm'. Peningkatan nilai hematokrit sampai 10% mungkin ditemukan akibat dehidrasi
karena demam tinggi, muntah, atau karena asupan cairan yang kurang. Pemeriksaan serum
biokimia pada umumnya normal, SGOT, dan SGPT dapat meningkat. 5

 Diagnosis Banding Demam Dengue


Berbagai penyakit baik yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, maupun parasit pada
fase awal penyakit menyerupai DD seperti tertera pada tabel.

Tabel . Diagnosis Banding demam dengue 5

Infeksi virus Virus chikungunya, dan penyakit infeksi virus


lain seperti campak, campak jerman , dan virus
lain yang menimbulkan ruam; virus eipstein-
barr, enterovirus, influenza, hepatitis A dan
hantavirus
Infeksi bakteri Meningokokus, leptospirosis, demamtifoid,
meiloidosis, penyakit riketsia, demam skarlet
Infeksi parasit Malaria

27
 Perjalanan penyakit Demam Dengue
Lama sakit dan beratnya penyakit bervariasi di antara individu. Masa Konvalesens
berlangsung singkat dan sembuh segera, namun rasa lemah dan mialgia kadang berlangsung
lama Pada pasien remaja masa penvembuhan dapat terjadi dalam waktu beberapa minggu yang
sering dengan rasa letih dan depresi. Bradikardia dapat ditemukan pada masa konvalesens.
Manifestasi perdarahan berat seperti perdarahan saluran cerma, epistaksis masif, hipermenore
jarang sekali ditemukan, namun apabila ditemukan dapat merupakan penyebab kematian teruta-
ma pada anak besar. Demam dengue dengan manifestasi perdarahan berat harus dibedakan dari
demam berdarah dengue. 5

C. Demam berdarah dengue


Manifestasi klinis DBD dimulai dengan demam yang tinggi, mendadak, kontinua, kadang
bifasik, berlangsung antara 2-7 hari. Demam disertai dengan gejala lain yang sering ditemukan
pada demam dengue seperti muka kemerahan (facial flushing), anoreksia, mialgia dan artralgia.
Gejala lain dapat berupa nyeri epigastrik, mual, muntah, nyeri di daerah subkostal kanan atau
nyeri abdomen difus, kadang disertai sakit tenggorok. Faring dan konjungtiva yang kemerahan
(pharyngeal injection dan ciliary injection) dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik. Demam
dapat mencapai suhu 40°C, dan dapat disertai kejang demam. Manifestasi perdarahan dapat
berupa uji tourniquet yang positif, petekie spontan yang dapat ditemukan di daerah ekstremitas,
aksila, muka dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi dapat ditemukan, kadang disertai
dengan perdarahan ringan saluran cerna, hematuria lebih jarang ditemukan. Perdarahan berat
dapat ditemukan (lihat manifestasi klinis expanded dengue syndrome). 5

Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase awal sakit, namun
berlangsung singkat sehingga sering luput dari pengamatan orang tua. Ruam konvalesens seperti
pada demam dengue, dapat ditemukan pada masa penyembuhan. Hepatomegali ditemukan sejak
fase demam, dengan pembesaran yang bervariasi antara 2-4 cm bawah arkus kosta. Perlu
diperhatikan bahwa hepatomegali sangat tergantung dari ketelitian pemeriksa. Hepatomegali
tidak disertai dengan ikterus dan tidak berhubungan dengan derajat penyakit, namun
hepatomegali lebih sering ditemukan pada DBD dengan syok (sindrom syok dengue/SSD). 5

28
Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi pleura, apabila
kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites. Pemeriksaan rontgen foto dada posisi
lateral dekubitus kanan, efusi pleura terutama di hemithoraks kanan merupakan temuan yang
sering dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya penyakit. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat dipakai untuk menemukan asites dan efusi pleura. Penebalan dinding
kandung empedu (gall blader wall thickening) mendahului manifestasi klinis kebocoran plasma
lain. Peningkatan nilai hematokrit (220% dari data dasar) dan penurunan kadar protein plasma
terutama albumin serum (>0,5 g/dL dari data dasar) merupakan tanda indirek kebocoran plasma.
Kebocoran plasma berat menimbulkan berkurangnya volume intravaskular menyebabkan syok
hipovolemi yang dikenal sebagai sindrom syok dengue (SSD) yang memperburuk prognosis. 5

 Perjalanan Penyakit Demam Berdarah Dengue


Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam, kritis, serta konvalesens
(Gambar 4). Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap fase mempunyai risiko
yang dapat memperberat keadaan sakit. 5

- Fase Demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan menghilangnya
demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya suhu tubuh menurun segera, tidak secara
bertahap. Menghilangnya demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan
tekanan darah, hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran plasma
yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna
sehingga akan menimbul- kan hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan mortalitas
yong tinggi. 5

Contoh gambar ptechiae 6

29
- Fase kritis (fase syok)
Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever defervescence), pada saat ini terjadi
puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan dalam
mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok yaitu dengan mengenal tanda dan gejala
mendahului syok (warning signs). Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase demam,
yaitu antara hari sakit ke 3-7. Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk
awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk ke keadaan syok. Pasien
tampak semakin lesu, tetapi pada umumnya tetap sadar. Gejala tersebut dapat menetap walaupun
sudah terjadi syok. Kelemahan, pusing atau hipotensi postural dapat terjadi selama syok.
Perdarahan mukosa spontan atau perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan
manifestasi perdarahan penting. Hepatomegali dan nyeri perut sering ditemukan. Penurunan
jumlah trombosit yang cepat dan progresif menjadi di bawah 100.000 sel/mm serta kenaikan
hematokrit di atas data dasar merupakan tanda awal perembesan plasma, dan pada yang
umumnya didahului oleh leukopenia (<5.000 sel/mm'). 5

Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah satu tanda paling awal yang
sensitif dalam mendeteksi perembesan plasma yang pada umumnya berlangsung selama 24-48
jam. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta volume nadi, oleh
karena itu, pengukuran hematokrit berkala sangat penting, apabila makin meningkat berarti
kebutuhan cairan intravena untuk mempertahankan volume intravaskular bertambah, sehingga
penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi. 5

Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok terkompensasi), namun
apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang

30
dapat berupa syok bipotensif dan profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik,
gangguan organ progresif. dan koagulasi intravaskular diseminata, Perdarahan hebat yang terjadi
menyebabkan penurunan hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula leukopenia dapat
meningkat sebagai respons stres pada pasien dengan perdarahan hebat. Beberapa pasien masuk
ke fase kritis perembesan plasma dan kemudian mengalami syok sebelum demam turun, pada
pasien tersebut peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain itu,
pada pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan organ misalnya
hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan/atau perdarahan hebat, yang dikenal sebagai
expanded dengue syndrome. 5

- Fase penyembuhan (fase konvalesens)


Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48 jam, terjadi
reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang intravaskular yang berlangsung
secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya. Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala
gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis menyusul kemudian. Pada
beberapa pasien dapat ditemukan ruam beberapa kasus lain dapat disertai pruritus umum. ´White
island in a sea of red” adalah sebutan ruam yang terjadi akibat ptechiae yang berkonfluens dan
dikelilingi pulau – pulau kecil yang terdiri dari kulit normal. 5,7

Contoh gambar ruam Convalescent 7

Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi pada umumnya terjadi pada tahap ini. Hematokrit
kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang dircabsorbsi. Jumlah
leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan jumlah
trombosit umumnya lebih lambat. Gangguan pernapasan akibat efusi pleura masif dan ascites,
edema paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau fase pemulihan
jika cairan intravena diberikan berlebihan.

31
Penyulit dapat terjadi pada fase demam, konvalesens, fase kritis, dan fase konvalesens tertera di
tabel. 5

Tabel. Penyulit pada fase demam, kritis, dan konvalesens 3

Fase Gejala Klinis


Demam Dehidrasi
Demam tinggi dapat menyebabkan gangguan neurologi
kejang demam
Kritis Syok akibat perembesan plasma
Perdarahn masif
Gangguan organ
Konvalesens Hipervolemia ( jika terapi cairan intravena diberikan secara berlebihan
dan/atau dilanjutkan sampai fase konvalesens )
Edema paru akut

Diagnosis banding pada fase demam dan fase kritis DBD dapat dilihat pada tabel

Tabel. Kondisi yang menyerupai fase demam 5

Flu-like syndromes Influenza, campak, chikungkunya, mononukleosis infeksiosa


Penyakit dengan ruam Rubela, campak, demam skarlatina, infeksi meningokokus,
chikungunya, reaksi obat (drug fever )
Penyakit diare Rotavirus dan infeksi mikroorganisme enterik lain
Penyakit dengan Meningoensefalitis, kejang demam
manifestasi neurologis

Tabel. Kondisi yang menyerupai fase kritis 5

Penyakit infeksi Gastroenteritis akut, malaria, leptospirosis,


tifoid, virus hepatitis, sepsis bakterialis, dan
syok septik
Keganasan Leukimia akut dan keganasan lain
Gambaran klinis lain Akut abdomen, apendisitis akut, kolesistitis
akut, asidosis laktat, diabetes ketoasidosis,
sindrom kawasaki, trombositopenia dan

32
perdarahan, kelainan trombosit, gagal ginjal,
distress pernapasan.

D. Sindrom Syok dengue


Sindrom syok dengue Sindrom syok dengue (SSD) merupakan syok hipovolemik yang
terjadi pada DBD, yang diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai perembesan
plasma. Syok dengue pada umumnya terjadi di sekitar penurunan suhu tubuh (fase kritis), yaitu
pada hari sakit ke 4-5 (rentang hari ke 3-7), dan sering kali didahului oleh tanda bahaya (warning
signs). Pasien yang tidak mendapat terapi cairan intravena yang adekuat akan segera mengalami
syok. 5

 Syok terkompensasi
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis, adanya hipovolemi
menyebabkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi melalui jalur neurohumoral agar tidak
terjadi hipoperfusi pada organ vital. Sistem kardiovaskular mempertahankan sirkulasi melalui
peningkatan isi sekuncup (stroke volume), laju jantung (heart rate), dan vasokonstriksi perifer.
Pada fase ini tekanan darah biasanya belum turun, namun telah terjadi peningkatan laju jantung.
Oleh karena itu takikardia yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai turun, walaupun tekanan
darah belum banyak menurun, harus diwaspadai kemungkinan anak jatuh ke dalam syok. Pada
5
beberapa pasien, khususnya remaja dan dewasa takikardia tidak terjadi.

Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus berlangsung atau pengobatan tidak
adekuat, kompensasi dilakukan dengan mempertahankan sirkulasi ke arah organ vital dengan
mengurangi sirkulasi ke daerah perifer (vasokonstriksi perifer), secara klinis ditemukan
ekstremitas teraba dingin dan lembab, sianosis, kulit tubuh menjadi berbercak- bercak (mottled),
pengisian waktu kapiler (capillary refill time) memanjang lebih dari dua detik. Dengan adanya
vasokonstriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga tekanan diastolik
meningkat sedang tekanan sistolik tetap sehingga tekanan nadi (perbedaan tekanan antara sistolik
dan diastolik) akan menyempit kurang dari 20 mmHg. 5

Pada tahap ini sistem pernapasan melakukan kompensasi berupa quite tachypnea
(takipnea tanpa peningkatan kerja otot pernapasan). Kompensasi sistem keseimbangan asam basa
berupa asidosis metabolik namun nilai pH masih normal dengan tekanan karbon dioksida rendah
dan kadar bikarbonat rendah. Keadaan anak pada fase ini pada umumnya tetap sadar, sehingga

33
dokter yang kurang berpengalaman mungkin tidak mengetahui bahwa pasien sudah berada dalam
keadaan kritis. 5

Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan memberikan prognosis yang baik.
Bila keadaan kritis luput dari pengamatan sehingga pengobatan tidak diberikan dengan cepat dan
tepat, maka pasien akan jatuh kedalam syok dekompensasi. 5

 Syok dekompensasi
Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk mempertahan- kan sistem
kardiovaskular telah gagal, pada keadaan ini tekanan sistolik dan diastolik telah menurun,
disebut syok hipotensif. Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat atau pemberian pengobatan
tidak adekuat akan terjadi profound shock yang ditandai dengan nadi tidak teraba dan tekanan
darah tidak terukur, sianosis makin jelas terlihat. Tabel dibawah ini memperlihatkan rangkaian
5
hemodinamik pada anak dengan sirkulasi stabil, syok terkompensasi, dan syok dekompensasi.

Tabel Hemodinamika pada anak dengan sirkulasi stabil, syok terkompensasi, dan syok
dekompensasi 5

Dari Tabel diatas tertera bahwa untuk pasien dalam perawatan, temuan adanya hipotensi
merupakan hal yang terlambat karena tanda hipotensi sudah masuk ke dalam syok
dekompensasi, kolaps kardiorespirasi akan segera terjadi. Deteksi dini syok terkompensasi dan
terapi yang cepat dan tepat memberikan prognosis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan
syok dekompensasi. 5

34
Salah satu tanda perburukan klinis utama adalah perubahan kondisi mental karena
penurunan perfusi otak. Pasien menjadi gelisah, bingung, atau letargi. Kejang dan agitasi
mungkin terjadi bergantian dengan letargi. Pada beberapa kasus anak-anak dan dewasa muda
pasien tetap memiliki status mental yang baik walaupun sudah mengalami syok. Ketidak
mampuan bayi dan anak-anak untuk mengenali atau melakukan kontak mata dengan orang tua,
atau tidak memberi respons terhadap rangsang nyeri seperti pada saat pengambilan darah, dapat
merupakan pertanda buruk yaitu awal terjadinya hipoperfusi korteks serebri. Orang tua mungkin
menjadi orang pertama yang mengenali tanda-tanda ini akan tetapi mereka mungkin tidak dapat
menggambarkannya, selain mengatakan ada sesuatu yang salah. Oleh karena itu keterangan
orang tua harus didengar dan diperhatikan. 5

Syok hipotensif berkepanjangan dan hipoksia menyebabkan asidosis metabolik berat,


kegagalan organ multipel serta perjalanan klinis yang sangat sulit diatasi. Perjalanan dari
ditemukannya warning signs sampai terjadi syok terkompensasi, dan dari syok terkompensasi
menjadi syok hipotensi dapat memakan waktu beberapa jam. Akan tetapi dari syok hipotensif
sampai terjadinya kolaps kardiorespirasi dan henti jantung hanya dalam hitungan menit. 5

Pasien DBD berat memiliki derajat kelainan koagulasi yang bervariasi, tetapi hal ini pada
umumnya tidak sampai menyebabkan perdarahan masif. Terjadinya perdarahan masif hampir
selalu berhubungan dengan profound shock yang bersama-sama dengan trombositopenia,
hipoksia serta asidosis dapat menyebabkan kegagalan organ multipel dan koagulasi intravaskular
diseminata. Perdarahan masif tanpa profound shock dapat terjadi oleh karena penggunaan asam
asetil salisilat (aspirin), ibuprofen, atau kortikosteroid. Oleh karena itu hindarilah penggunaan
5
obat-obat tersebut. Perdarahan juga mungkin terjadi pada pasien dengan ulkus duodenum.

Gagal hati akut dan gagal ginjal akut serta ensefalopati mungkin terjadi pada syok berat.
Kardiomiopati dan ensefalitis juga telah dilaporkan dalam sejumlah laporan seri kasus dengue.
Namun, sebagian besar kematian akibat dengue terjadi akibat profound shock yang dipersulit
oleh perdarahan dan/atau pemberian cairan berlebih. Pasien dengan perembesan plasma hebat
mungkin saja tidak jatuh ke keadaan syok jika telah dilakukan penggantian, cairan sesegera
5
namun mungkin timbul gangguan pernapasan akibat terapi cairan intravena yang berlebih.

E. Expanded dengue syndrome


Semakin banyak kasus infeksi dengue dengan manifestasi yang tidak lazim/jarang yang
dilaporkan dari berbagai negara termasuk Indonesia, kasus ini disebut sebagai expanded dengue
syndrome (EDS). Manifestasi klinis tersebut berupa keterlibatan organ seperti hati, ginjal, otak,

35
maupun jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan atau tidak ditemukannya
tanda kebocoran plasma. Manifestasi yang jarang ini terutama disebabkan kondisi syok yang
berkepanjangan dan berlanjut menjadi gagal organ Maka dapat disimpulkan bahwa EDS dapat
berupa penyulit infeksi dengue dan manifestasi klinis yang tidak lazim (unusual manifestations).
Penyulit infeksi dengue dapat berupa kelebihan cairan (fluid overload) dan gangguan elektrolit,
sedangkan yang termasuk manifestasi klinis yang tidak lazim ialah ensefalopati dengue atau
ensefalitis, perdarahan hebat (massive bleeding), infeksi ganda (dual infections), kelainan. ginjal,
dan miokarditis. 5

3.2.4 Penyulit Infeksi Dengue


A. Kelebihan cairan (fluid overload)
Kelebihan cairan dapat ditemukan saat fase kritis dan fase konvalesens. Penyulit ini merupakan
hal yang serius olch karena dapat menyebabkan edema paru atau gagal jantung yang akan
menyebabkan gagal napas dan kematian. Untuk mencegah penyulit tersebut, harus dilakukan
monitor ketat dengan memantau pemberian cairan intravena dari minimal sampai rumatan.
Edema paru adalah penyulit yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang
diberikan, pada umumnya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma
masih terjadi. Pada fase penyembuhan edema paru dapat terjadi karena pada fase ini terjadi
reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, sedangkan volume pemberian intra vena tidak
disesuaikan. Maka pasien akan mengalami distres pernapasan, disertai sembab pada kelopak
mata, dan dijumpai gambaran edema paru pada foto dada. Kelebihan cairan pada umumnya
terjadi karena hanya melihat nilai kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari
sakit. Gambaran edema paru harus dibedakan dengan perdarahan paru. 5

- Penyebab kelebihan cairan 5


 pemberian cairan intravena terlalu awal dengan volume yang besar
 menggunakan cairan hipotonik dengan volume yang besar
 Tidak, menurunkan jumlah volume yang besar cairan infus ataupun menghentikannya
walaupun sudah masuk ke fase konvalesens
 Tidak menggunakan cairan jenis koloid walau sudah ada indikasi
 Tidak segera memberikan transfusi darah walaupun sudah jelas ada indikasi perdarahan
terutama tersembunyi, tetapi tetap menggunakan cairan jenis kristaloid

36
 pasien dengan status nutrisi overweight/obesitas diberikan cairan infus yang tidak
sesuai dengan berat badan ideal.

- Tanda dan gejala dari kelebihan cairan 5


 tampak sakit berat
 distres pernapasan, dispnea dan takipnea
 hepatomegali yang makin membesar abdomen cembung dengan asites masif •
 nadi meningkat dengan isi dan tekanan masih kuat
 krepitasi dan atau ronki dan atau wheezing di semua lapangan paru perfusi yang buruk
didapatkan pada pasien dengan gagal napas (respiratory failure) oleh karena efusi pleura
yang masif dan atau asites.
B. Gangguan elektrolit 5
Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis yaitu hiponatremia dan
hipokalsemia, sedangkan hipokalemia lebih sering pada fase konvalesens.

 Hiponatremia terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan infus larutan hipotonis
yang tidak adekuat.
 Hipokalsemia sebagai akibat perembesan kalsium mengikuti albumin masuk ke
rongga pleura atau peritoneal.
 Hipokalemia disebabkan adanya kondisi stresdan pemberian. diuretik

C. Manifestasi tidak lazim (unusual manifestations)

 Ensefalopati - Ensefalitis dengue


Beberapa pasien infeksi dengue dapat mengalami manifestasi yang tidak lazim berupa
keterlibatan susunan syaraf pusat, yaitu kejang dan penurunan kesadaran. Kondisi ini dapat
terjadi pada keadaan syok berat/syok yang berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga
terjadi pada DBD yang tidak disertai syok yang disebabkan oleh peradangan otak (ensefalitis)
atau ensefalopati. Kedua keadaan ini harus dipertimbangkan 2-7 hari disertai adanya penurunan
kesadaran dan atau kejang, terutama apabila pasien berasal dari dacrah endemis dengue. apabila
pasien mengalami demam 2-7 hari disertai adanya penurunan kesadaran atau kejang, terutama
apabila pasien berasal dari daerah endemis dengue. 5

37
Dari beberapa literatur didapatkan adanya hubungan antara serotipe virus dengue dengan
angka kejadian komplikasi neurologis. DENV-3 diakui berhubungan dan berpengaruh dengan
komplikasi persarafan dan dihubungkan pada penyebab dari gejala klinis yang berat pada infeksi
dengue.8

Ensefalitis telah dilaporkan dalam sejumlah seri kasus dengue, diduga virus dengue dapat
menembus sawar darah otak. Hal ini dibuktikan dengan banyak peneliti yang berhasil
mengisolasi virus dengue dari cairan serebrospinal atau dari jaringan otak dalam beberapa tahun
terahir ini. Ensefalopati terutama berupa hepatoseluler-ensefalopati, namun dapat pula
disebabkan oleh gangguan keseimbangan elektrolit dan metabolik, seperti hipoglikemia,
hiponatremia, hipo-kalsemia, dan kadang-kadang hiperglikemia. Meskipun jarang, perdarahan
intrakranial dapat pula menjadi penyebab perubahan status mental pasien. Kejang terjadi akibat
hipoksia pada penurunan perfusi di korteks serebri, atau edema otak akibat kebocoran vaskular di
jaringan otak. Ensefalopati dengue bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan
5
oleh trombosis pembuluh darah otak temporer akibat dari koagulasi intravaskular diseminata.

Untuk memastikan terjadinya ensefalopati SSD, maka syok harus diatasi terlebih dulu.
Apabila syok teratasi, maka evaluasi kembali kesadaran pasien. Pungsi lumbal dikerjakan
apabila syok telah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-hati apabila trombosit <50.000/uL).
Pada ensefalopati dengue dapat dijumpai peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT
dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis, dan hiponatremia (apabila mungkin
periksa kadar amoniak darah) 5

 Perdarahan masif (massive bleeding)


Perdarahan pada infeksi dengue dapat ringan sampai berat yang kadang
memerlukan perawatan kedaruratan. Perdarahan hebat umumnya akibat KID dan gagal
multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal, hipoksia yang berhubungan dengan syok yang
berat dan berkepanjangan, asidosis metabolik yang disertai dengan trombositopenia. Adanya
aktivasi koagulasi yang luas menyebabkan pembentukan fibrin intravaskular dan oklusi
pembuluh darah kecil yang mengakibatkan timbulnya trombosis. Peningkatan penggunaan
trombosit pada KID menyebabkan makin menurunnya jumlah trombosit dan faktor
pembekuan sehingga memicu pcrdarahan hebat. 5

Perdarahan berat pada infeksi dengue umumnya terjadi pada saluran cerna berupa
hematemesis, hematokesia, dan melena. Hematemesis adalah muntah darah yang secara

38
klinis tampak sebagai muntah darah segar kemerahan atau coklat-kehitaman. Melena adalah
tinja yang berwarna hitam,sedangkan hematokesia adalah keluarnya darah segar dari anus
bercampur tinja. Perdarahan samar pada saluran cerna yang terjadi didiagnosis. Adanya
perdarahan internal atau tersamar pada saluran cerna harus dicurigai apabila setelah evaluasi
klinis dan pemberian yang adekuat, namun terjadi kondisi sebagai berikut; 5

- Pasien dengan syok refrakter (syok yang tidak berhasil diatasi dengan pedoman syok
pada umumnya), dan memiliki hemoglobin dan hematokrit rendah atau penurunan
hemoglobin dan hematokrit
- Pasien dengan tekanan sistolik dan diastolik yang meningkat atau normal namun denyut
nadi masih cepat bersama dengan hemokonsentrasi umumnya sulit untuk cairan
- Pasien dengan penurunan hematokrit lebih dari 10% selama pemberian cairan
 Infeksi ganda (dual infections)
Di daerah endemik terdapat laporan infeksi dengue terjadi bersamaan dengan infeksi lain
seperti diare akut, pneumonia, campak, cacar air, demam tifoid, infeksi saluran kemih,
leprospirosis, dan malaria. Jika pasien infeksi dengue masih mengalami demam setelah fase
kritis dan syok terlewati, maka sumber infeksi lainnya harus segera dicari atau penyebab lain
misalnya; 5

- Infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit, yaitu infeksi saluran cerna, infeksi
saluran pernapasan, misalnya pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi kulit, dan
infeksi lainnya.
- Healthcare associated infection, yaitu tromboflebitis, pneumonia. infeksi saluran kemih
(akibat pemasangan kateter urin), dan sepsis
 Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal syok. sebagai
akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik
walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diatasi dengan mengisi volume
intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah
teratasi. Diuresis diusahakan >1 mL/KGBB/jam. Oleh karena jika syok belum teratasi dengan
baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi acute kidney injury (AKI), ditandai
penurunan jumlah urin, dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin. 5

 Miokarditis

39
Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien infeksi-- dengue yang
mengalami syok berkepanjangan. Penyebabnya terutama adalah asidosis metabolik,
hipokalsemia, dan kardiomiopati. Sehingga tata laksana pada keadaan ini selain memberikan
obat-obatan untuk miokarditis, juga segera koreksi asidosis dan hipokalsemia. Miokarditis jarang
didapatkan dan pada umumnya bukan sebagai penyebab kematian pasien infeksi dengue.
Beberapa pasien dengan edema paru atau kelebihan cairan dapat mengalami miokarditis,
5
sehingga jika didapat kecurigaan terhadap miokarditis, pemberian cairan harus berhati-hati.

3.2.5 Kriteria Diagnosis Dengue

Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis dan kriteria
diagnosis laboratoris. Kriteria diagnosis klinis penting dalam penapisan kasus, tata laksana
kasus, memperkirakan prognosis kasus, dan surveilans. Kriteria diagnosis laboratoris yaitu
kriteria diagnosis dengan konfirmasi laboratorium yang penting dalam pelaporan, surveilans, dan
langkah-langkah tindakan preventif dan promotif. 5

A. Kriteria Diagnosis Klinis


Manifestasi klinis infeksi dengue sangat bervariasi dan sulit dibedakan dari penyakit infeksi
lain terutama pada fase awal perjalanan penyakit- nya. Dengan meningkatnya kewaspadaan
masyarakat terhadap infeksi dengue, tidak jarang pasien demam dibawa berobat pada fase awal
penyakit, bahkan pada hari pertama demam. Sisi baik dari kewaspadaan ini adalah pasien demam
berdarah dengue dapat diketahui dan memper- oleh pengobatan pada fase dini, namun di sisi lain
pada fase ini sangat sulit bagi tenaga kesehatan untuk menegakkan diagnosis demam berdarah
dengue. Oleh karena itu diperlukan petunjuk kapan suatu infeksi dengue harus dicurigai,
petunjuk ini dapat berupa tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan laboratorium rutin. Tanpa
diberikan petunjuk akan menyebabkan keterlambatan bahkan kesalahan dalam menegakkan
diagnosis dengan segala akibatnya. Di sisi lain menyebabkan pemeriksaan laboratorium berlebih
dan bahkan perawatan yang tidak diperlukan sehingga akan merugikan baik bagi pasien maupun
dalam peningkatan beban kerja rumah sakit. 5

Berdasar petunjuk klinis tersebut dibuat kriteria diagnosis klinis, yang terdiri atas kriteria
diagnosis klinis demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), demam berdarah dengue
dengan syok (sindrom syok dengue/SSD), dan expanded dengue syndrome (umusual
manifestation). 5

Diagnosis Klinis demam dengue

40
 Demam 2 – 7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik
 Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimsis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa uji tourniquet positif
 Nyeri kepala, mialgia, artalgia, nyeri retroorbital
 Dijumpai kasus DBD baik di lungkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah
 Leukopenia < 4000/mm3
 Trombositopenia <100.000/mm3
Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda dan gejala lain,
diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan.

Perlu mendapat perhatian bahwa yang disebut mendadak adalah tidak didahului oleh demam
ringan, seperti misalnya anak pulang sekolah belum demam, kemudian tidur, bangun tidur anak
menderita demam tinggi di atas 38.8℃. Demam bersifat terus-menerus berarti perbedaan suhu
terendah dengan suhu tertinggi kurang dari 1℃. Masalah yang timbul dalam menilai pola
demam ini adalah tidak selalu orang tua mengukur tingginya demam dan pengaruh pemberian
obat penurun panas oleh orang tua. Tingginya demam dapat diperkirakan melalui pertanyaan
mengenai akibat demam terhadap pasien, seperti anak rewel/gelisah, kulit kemerahan terutama
pada wajah (flushing) dan fotofobi. Efek obat penurun panas, pada umumnya hanya sebentar,
paling lama sesuai dengan masa kerja obat, setelah itu demam kembali meningkat tinggi.
Aadanya epistaksis pada anak yang biasa mengalami epistaksis, harus dicari petunjuk lain,
5
misalnya pemeriksaan uji tourniquest atau tanda dan gejala manifestasi perdarahan lain.

B. Diagnosis klinis demam berdarah dengue


Tanda dan gejala demam berdarah dengue pada fase awal sangat menyerupai demam
dengue, tanda dan gejala karakteristik berupa tanda kebocoran plasma baru timbul beberapa hari
kemudian. Oleh karena itu pada pasien dengan diagnosis klinis demam dengue yang ditegakkan
pada saat masuk, baik yang kemudian diperlakukan sebagai pasien rawat jalan maupun rawat
inap, masih perlu dievaluasi lebih lanjut apakah hanya demam dengue atau merupakan demam
berdarah dengue fase awal. Pasien demam berdarah dengue memiliki risiko untuk mengalami
syok, sehingga harus menjalani rawat inap dengan tatalaksana yang berbeda dari demam dengue.
5

Diagnosis Klinis demam Berdarah dengue

 Demam 2 – 7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus (kontinue)

41
 Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimsis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa uji tourniquet positif
 Nyeri kepala, mialgia, artalgia, nyeri retroorbital
 Dijumpai kasus DBD baik di lungkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah
 Hepatomegali
 Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu tanda/gejala:
- Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari data popilasi
menurut umur
- Ditemukan adanya efusi pleura, asites
- Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
 Trombositopenia <100.000/mm3
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti perembesan plasma dan
trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis DBD.

Tanda bahaya ( warning signs ) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok pada
penderita DBD tertera pada boks dibawah ini. 5

Klinis Demam turun tetapi keadaan anak memburuk


Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
Muntah yang menetap
Letargi, gelisah
Perdarahan mukosa
Pembesaran hati
Akumulasi cairan
Oliguria
Laboratorium Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan penurunan cepat jumlah
trombosit
Hematokrit awal tinggi

C. Syok terkompensasi 5
Takikardia
Takipnea
Tekanan nadi ( perbedaan antara sistolik dan diastolik) < 20mmHg
Waktu pengisian kapiler >2detik

42
Kulit dingin
Produksi urin menurun <0.5 ml/kgBB/jam
Anak gelisah

D. Syok dekompensasi 5
Takikardia
Hipotensi ( sistolik dan diastolik turun )
Nadi cepat dan kecil
Pernapasan Kusmaull atau hiperpne
Sianosis
Kulit lembab dan dingin
Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur

E. Expanded dengue Syndrome


Memenuhi kriteria DD/DBD baik disertai syok maupun tidak, dengan manifestasi klinis
komplikasi infeksi virus dengue atau dengan manifestasi klinis yang tidak biasa, seperti tanda
dan gejala: 3

- Kelebihan cairan
- Gangguan elektrolit
- Ensefalopati
- Ensefalitis
- Perdarahan hebat
- Gagal ginjal akut
- Haemolytic uremic syndrome (HUS)
- Gangguan jantung : gangguan konduksi, miokarditis, perikarditis
- Infeksi ganda

3.2.6 `Kriteria Diagnosis Laboratoris

Kriteria Diagnosis laboratoris diperlukan untuk survailans epidemiologi, terdiri atas :

Probable dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil pemeriksaan serologi anti
dengue 5

Confirmed dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat dengan deteksi genome virus
Dengue dengan pemeriksaan RT-PCR, antigen dengue pada pemeriksaan NS1, atau apabila

43
didapatkan serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM ( dari negatif menjadi positif ) pada
pemeriksaan serologi berpasangan 5

Isolasi virus dengue memberi nilai yang sangat kuat dalam konfirmasi diagnosis klinis,
namun karena memerlukan teknologi yang canggih dari prosedur yang rumit pemeriksaan
ini bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan. 5

A. Diagnosis Laboratorium
Penegakan diagnosis melalui pemeriksaan laboratorium yang cepat dan akurat sangat
penting dalam tata laksana klinis, surveilans, penelitian, dan uji klinis vaksin. 5

Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi virus dengue adalah: 5

 Isolasi virus
 Deteksi asam nukleat virus
 Deteksi antigen virus
 Deteksi serum respons imun /uji serologi serum imun
 Analisis parameter hematologi

 Isolasi Virus
Isolasi virus Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk,
kultur sel nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21). Pemeriksaan
ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya tersedia di beberapa laboratorium
besar yang terutama dilakukan untuk tujuan penelitian, sehingga tidak tersedia di
laboratorium komersial. Isolasi virus hanya dapat dilakukan pada enam hari pertama
demam. 5

 Deteksi asam nukleat virus


Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic acid/RNA)
dapat dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-
PCR). Metode pemeriksaan bisa berupa nested-PCR, one-step multiplex RT-PCR, real-time
RT-PCR, dan isothermal amplification method. Pemeriksaan ini hanya tersedia di
laboratorium yang memiliki peralatan biologi molekuler dan petugas laboratorium yang
handal. Memberi hasil positif bila sediaan diambil pada enam hari pertama demam. Biaya
pemeriksaan tergolong mahal 5

 Deteksi antigen virus dengue

44
Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilaksanakan pada saat ini adalah
pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue (NS-1 dengue antigen ), yaitu suatu glikoprotein
yang diproduksi oleh semua flavivirus yang penting bagi kehidupan dan replikasi virus.
Protein ini dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu sejak hari pertama demam dan
menghilang setelah 5 hari, sensivitas tinggi pada 1-2 hari demam dan kemudian makin
menurun setelahnya 5

 Deteksi respons imun serum


Pemeriksaan respons imun serum berupa Haemaglutination inhibiton test ( uji
HI), complement fixation test (CFT), neutralization test ( uji neutralisasi ), pemeriksaan
serologi IgM dan IgG anti dengue. 5

 Haemaglutination inhibition test (Uji HI)


Pada saat ini tidak banyak laboratorium yang menyediakan pemeriksaan ini. Uji
H.I. walau sensitif namun kurang spesifik dan memerlukan dua sediaan serum akut dan
konvalesens, sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dini. 5

 complement fixation test (uji CFT)


Tidak banyak dipakai secara luas untuk tujuan menegakkan diagnosis, sulit untuk
dilakukan dan memerlukan petugas yang sangat terlatih. 5

 Uji Neutralisasi
Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode yang paling
sering dipakai adalah plaque reduction neutralization test (PRNT). Pemeriksaan ini mahal,

45
perlu waktu, secara teknik cukup rumit, oleh karena itu jarang dilakukan di laboratorium
klinik. Sangat berguna untuk penelitian pembuatan dan efikasi vaksin. 5

 Pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue


Imunoglobulin M anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada umumnya dapat
terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi setelah sembilan puluh hari. Pada
infeksi dengue primer, IgG anti dengue muncul lebih lambat dibandingkan dengan IgM anti
dengue, namun pada infeksi sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti dengue bertahan
lama dalam serum. Kinetik NS-1 antigen virus dengue dan IgG serta IgM antidengue,
merupakan petunjuk dalam menentukan jenis pemeriksaan dan untuk membedakan antara
infeksi primer dengan infeksi sekunder. Gambar 6 menunjukkan waktu perjalanan penyakit
infeksi virus dengue primer dan sekunder, serta metode diagnostik yang dapat digunakan
untuk mendeteksi infeksi virus dengue. 5

 Parameter hematologi
Parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit,nilai hematokrit, dan
jumlah trombosit sangat penting dan merupakan bagian dari diagnosis klinis demam
berdarah dengue. 5

 Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan peningkatan
neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit dan neutrofil, yang
mencapai titik terendah pada akhir fase demam. Perubahan jumlah leukosit (<5.000

46
sel/mm') dan rasio antara neutrofil dan limfosit (neutrofil <limfosit) berguna dalam
memprediksi masa kritis perembesan plasma. Sering kali ditemukan limfositosis
relatif dengan peningkatan limfosit atipik pada akhir fase demam dan saat masuk
fase konvalesens. Perubahan ini juga dapat terlihat pada DD.
 Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti oleh penurunan.
Trombositopenia di bawah 100.000/uL dapat ditemukan pada DD, namun selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan trombosit yang mendadak di bawah 100.000/uL
terjadi pada akhir fase demam memasuki fase kritis atau saat penurunan suhu.
Trombositopeni pada umumnya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai delapan,
dan sering. mendahului peningkatan hematokrit. Jumlah trombosit berhubungan
dengan derajat penyakit DBD. Disamping itu terjadi gangguan fungsi trombosit
(trombositopati). Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali normal selama
fase penyembuhan.
 Pada awal demam nilai hematrokit masih normal. Peningkatan ringan pada
umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksia dan muntah. Peningkatan
hematokrit lebih dari 20% merupakan tanda dari adanya kebocoran plasma.
Trombositopeni di bawah 100.000/uL dan peningkatan hematokrit lebih dari 20%
merupa- kan bagian dari diagnosis klinis DBD. Harus diperhatikan bahwa nilai
hematrokit dapat diakibatkan oleh penggantian cairan dan adanya perdarahan
3.2.7 Tatalaksana

A. Triase WHO 2011 12

47
3.2.7.1 Tatalaksana Dengue Anak pada Kasus Pediatrik Berdasarkan Guideline WHO 2009 4
Manifestasi klinis dan keadaan tertentu menentukan keputusan tatalaksana, pasien dapat
dipulangkan (Grup A); dirujuk untuk tatalaksana rawat inap di RS (Grup B); atau membutuhkan
tatalaksana dan rujukan darurat (Grup C).

a. Grup A
Pasien yang termasuk grup ini adalah pasien yang diperbolehkan untuk pulang . Pasien
grup ini mampu mentolerir volum adekuat dari cairan oral, berkemih setidaknya sekali setiap
enam jam, dan tidak memiliki tanda bahaya (terutama ketika demam reda).
Kunci kesuksesan dari pasien rawat jalan yaitu memberikan saran yang jelas dan
definitif, seperti: istirahat total dan cairan oral yang frekuen. Pasien dengan >3 hari sakit
seharusnya diulas perjalanan penyakitnya setiap hari (penurunan sel darah putih dan platelet serta
peningkatan hematokrit, defervesensi dan tanda bahaya) sampai pasien melewati fase kritis.
Pasien dengan hematokrit stabil dapat dipulangkan tetapi disarankan untuk kembali ke RS
terdekat secepatnya apabila muncul tanda bahaya dan menjalankan:
- Asupan cairan oral yang adekuat dapat mengurangi angka hospitalisasi. Asupan oral
dianjurkan untuk menggantikan kehilangan cairan dari demam dan muntah. Sejumlah
kecil cairan oral seharusnya diberikan secara frekuen untuk pasien dengan mual dan
anoreksia. Pemilihan cairan seharusnya mengikuti budaya lokal: air kelapa pada

48
beberapa negara, air beras, atau air barley. Cairan rehidrasi oral (CRO/oral
rehydration solution/ORS) atau sup atau jus buah dapat diberikan untuk mencegah
ketidakseimbangan elektrolit. Minuman berkarbonasi yang melebihi level isotonik
(gula 5%) seharusnya dihindari karena dapat memperburuk hiperglikemia yang
timbul akibat stres fisiologis dari dengue. Cairan oral yang cukup seharusnya
menghasilkan frekuensi berkemih setidaknya 4-6 kali per hari. Catatan cairan oral
dan output urin seharusnya dibuat dan diulas setiap hari.
- Berikan parasetamol untuk demam tinggi apabila pasien merasa tidak nyaman. Dosis
rekomendasi adalah 10 mg/kg/dosis, tidak lebih dari 3-4 kali dalam 24 jam untuk
anak-anak. Berikan kompres dengan air hangat apabila masih demam tinggi. Jangan
berikan asam asetilsalisilat (aspirin), ibuprofen, atau agen anti inflamasi non steroid
(AINS) atau injeksi intramuscular, karena dapat memicu gastritis atau perdarahan.
- Instruksikan caregiver agar pasien dibawa ke RS secepatnya apabila hal-hal berikut
terjadi: tidak ada perbaikan klinis, perburukan sekitar waktu defervesensi, nyeri perut
berat, muntah persisten, ekstremitas dingin dan basah, letargi atau iritabilitas,
perdarahan (misalkan feses hitam atau muntah yang coffee-ground), nafas pendek,
tidak berkemih selama lebih dari 4-6 jam.
Admisi saat fase febris seharusnya diperuntukkan untuk pasien yang tidak bisa menerima
hidrasi oral adekuat di rumah, bayi, dan yang memiliki kondisi komorbid lainnya.

Pasien rawat jalan seharusnya dimonitor setiap hari untuk pola temperature, volum
asupan dan kehilangan cairan, output urin (volum dan frekuensi), tanda bahaya, tanda-tanda
kebocoran plasma dan perdarahan dan pemeriksaan darah lengkap.

b. Grup B
Pasien yang termasuk grup ini adalah pasien yang harus dirawat di RS untuk observasi
karena mendekati fase kritis. Pasien yang dimaksud adalah pasien dengan tanda bahaya, kondisi
komorbid yang dapat membuat dengue atau tatalaksananya sulit (seperti kehamilan, bayi, lansia,
obesitas, DM, hipertensi, gagal jantung, gagal ginjal, penyakit hemolitik krfconis seperti penyakit
sel sabit, dan penyakit autoimun), dan yang memiliki kondisi sosial tertentu (misalkan tinggal
sendiri atau jauh dari fasilitas kesehatan tanpa akses transportasi yang baik). Penggantian cairan
secara cepat pada pasien dengan tanda bahaya adalah kunci untuk mencegah progresi penyakit
menjadi syok.

49
Pasien dengue dengan tanda bahaya atau dehidrasi yang diberikan penggantian volum
dengan tepat secara intravena (IV) dari tahap awal ini dapat mempengaruhi perjalanan dan
keparahan penyakit. Berikut adalah rencana tatalaksana untuk bayi dan anak-anak:
- Nilai hematokrit harus diperoleh sebelum terapi cairan IV dimulai. Hanya berikan
cairan seperti salin 0,9%, ringer laktat (RL) atau solusi Hartmann. Mulai dengan 5-7
ml/kg/jam selama 1-2 jam, turunkan menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan
turunkan lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai respon klinis
- Nilai kembali status klinis dan ulangi uji hematokrit, apabila hematokrit menetap atau
meningkat secara minimal, ulangi dengan kecepatan yang sama (2-3 ml/kg/jam)
selama 2-4 jam. Apabila tanda-tanda vital memburuk dan hematokrit meningkat
secara cepat, tingkatkan menjadi 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai kembali status
klinis, ulangi hematokrit dan ulas kembali kecepatan infus cairan.
- Berikan volum cairan IV secara minimal untuk mempertahankan perfusi yang baik
dan output urin kurang lebih 0,5 ml/kg/jam. Cairan IV biasanya hanya dibutuhkan
selama 24-48 jam. Kurangi cairan IV secara bertahap ketika kebocoran plasma
membaik seiring menuju akhir dari fase kritis. Hal ini ditandai dengan output urin
dan/atau asupan cairan oral yang membaik, atau hematokrit yang menurun di bawah
baseline pasien stabil.
- Pasien dengan tanda bahaya harus dimonitor oleh penyedia layanan kesehatan sampai
periode berisiko berakhir. Fluid balance yang detil harus senantiasa dipantau.
Parameter yang harus dimonitor termasuk tanda-tanda vital dan perfusi perifer (setiap
1-4 jam sampai pasien melewati fase kritis, lalu kemudian setiap 6-12 jam), glukosa
darah dan fungsi organ lainnya (seperti ginjal, hati, pembekuan darah sesuai
indikasi).
Apabila pasien dengue dengan kondisi komorbid tapi tanpa tanda bahaya, rencana
tatalaksana adalah sebagai berikut:

- Anjurkan asupan cairan oral. Apabila tidak memungkinkan, mulai terapi cairan IV
dengan salin 0,9% atau RL dengan/atau tanpa glukosa dengan maintenance rate
Gunakan perhitungan dengan berat badan ideal untuk kalkulasi ini pada pasien
obesitas dan overweight). Pasien mungkin dapat menerima asupan cairan oral setelah
terapi cairan IV selama beberapa jam. Dengan demikian, sangatlah penting untuk
meninjau kembali secara frekuen infus cairan. Berikan volum minimal yang

50
dibutuhkan untuk mempertahankan perfusi jaringan dan output urin. Cairan IV
biasanya hanya dibutuhkan untuk 24-48 jam.
Pasien harus dimonitor oleh penyedia layanan kesehatan untuk pola temperature, volum
asupan dan kehilangan cairan, output urin (volum dan frekuensi), tanda bahawa, hematokrit,
hitung sel darah putih dan platelet. Uji laboratorium lainnya (seperti fungsi ginjal dan hati)
dilakukan sesuai indikasi.

c. Grup C
Pasien yang masuk ke grup ini adalah pasien dengan dengue berat yang memerlukan
tatalaksana dan rujukan darurat karena sedang fase kritis dan memiliki:
 Kebocoran plasma berat yang menyebabkan syok dengue dan/atau akumulasi cairan dengan
distres pernapasan;
 Perdarahan berat;
 Kerusakan organ berat (hati, ginjal, kardiomiopati, ensefalopati, dan ensefalitis)
Semua pasien dengan dengue berat harus dimasukkan ke RS dengan akses ke fasilitas
transfusi darah. Resusitasi cairan IV merupakan intervensi yang esensial dan biasanya satu-
satunya yang diperlukan. Cairan kristaloid harus isotonik dan volum yang cukup untuk
mempertankan sirkulasi efektif selama periode kebocoran plasma. Kehilangan plasma ini harus
digantikan dengan cepat menggunakan cairan kristaloid: pada syok hipotensif, solusi koloid lebih
dipilih. Apabila memungkinkan, nilai hematokrit diambil sebelum dan sesudah resusitasi cairan.

Penggantian kebocoran plasma dilanjutkan untuk mempertahankan sirkulasi efektif


selama 24-48 jam. Gunakan berat badan ideal pada pasien overweight dan obesitas. Semua pasien
syok harus memiliki golongan darah dan lakukan cross-match. Transfusi darah harus diberikan
hanya pada kasus dengan perdarahan berat, atau curiga perdarahan berat dengan hipotensi yang
tidak dapat dijelaskan.

Resusitasi cairan harus dibedakan dengan administrasi cairan biasa. Ini merupakan
strategi dengan volum cairan yang lebih banyak (misalkan bolus 10-20 ml/kg) diberikan untuk
periode waktu tertentu di bawah pengawasan ketat, untuk mengevaluasi respon pasien dan
menghindari terjadinya edema paru. Cairan-cairan ini seharusnya tidak mengandung glukosa.
Beratnya defisit volum intravaskuler pada syok dengue bervariasi. Input biasanya lebih besar
daripada output, dan rasio input/output tidak membantu pengambilan keputusan melakukan
resusitasi cairan pada periode ini.

51
Tujuan dari resusitasi cairan adalah: (1) meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer
(misalkan: takikardi yang berkurang, tekanan darah dan volum nadi yang meningkat, ekstremitas
hangat dan merah muda, capillary refill time (CRT) <2 detik (2) meningkatkan perfusi organ
(misalkan: mencapai tingkat kesadaran yang stabil – lebih alerti), dan urine output >0,5
ml/kg/jam atau asidosis metabolik yang berkurang.

 Tatalaksana Syok Terkompensasi


 Dapatkan nilai hematokrit sebelum memulai terapi cairan IV. Mulai dengan solusi
kristaloid isotonik 10-20 ml/kg/jam selama satu jam pada bayi dan anak-anak. Nilai
kembali kondisi pasien (tanda-tanda vital, CRT, hematokrit, urine output).
 Apabila keadaan membaik pada bayi dan anak-anak, cairan IV dikurangi menjadi 10
ml/kg/jam selama 1-2 jam; lalu 7 ml/kg/jam selama 2 jam; 5 ml/kg/jam selama 4 jam
lalu 3 ml/kg/jam, yang bisa diberikan selama 24-48 jam. Pertimbangkan mengurangi
cairan IV lebih dulu apabila asupan cairan oral membaik. Durasi total terapi cairan
tidak boleh melebihi 48 jam.
 Apabila tanda-tanda vital masih tidak stabil (misalkan syok menetap), cek hematokrit
setelah bolus pertama. Apabila hematokrit meningkat atau masih tinggi, ganti
menjadi solusi koloid dengan kecepatan infus 10-20 ml/kg/jam. Setelah dosis
pertama, kurangi menjadi 10 ml/kg/jam selama 1 jam, lalu kurangi lagi menjadi 7
ml/kg/jam. Ketika kondisi pasien membaik, ganti kembali menjadi cairan kristaloid.
 Apabila hematokrit mengalami penurunan, dan pasien masih memiliki tanda-tanda
vital yang tidak stabil, mungkin mengarah ke arah perdarahan. Cari tanda-tanda
perdarahan. Cross-match darah utuh atau fresh packed red cells dan transfusi apabila
ada perdarahan. Apabila tidak ada perdarahan, berikan bolus 10-20 ml/kg koloid
selama 1 jam, kemudian ulangi penilaian klinis dan tentukan tingkat hematokrit.
 Pemberian bolus solusi kristaloid atau koloid mungkin dibutuhkan untuk 24-48 jam
berikutnya.
 Tatalaksana Syok Berat
 Semua pasien dengan syok hipotensif harus ditatalaksana dengan lebih cepat. Semua
pasien diawali dengan resusitasi cairan IV dengan solusi kristaloid atau koloid
sebanyak 20 ml/kg sebagai bolus selama 15-30 menit untuk memperbaiki kondisi
syok pasien secepatnya. Koloid dapat menjadi cairan pilihan apabila tekanan darah
harus dikembalikan secepatnya (misalkan pada pasien dengan tekanan nadi <10
mmHg). Koloid dikatakan memiliki kemampuan mengembalikan indeks kardiak dan

52
mengurangi level hematokrit lebih cepat daripada kristaloid pada pasien dengan syok
berat. Rute intra-osseus dilakukan ketika akses vena perifer tidak bisa didapatkan.
o Apabila kondisi pasien bayi dan anak membaik, berikan infus koloid 10
ml/kg/jam selama 1 jam. Lanjutkan dengan 7,5 ml/kg/jam selama 2 jam, lalu
5 ml/kg/jam selama 4 jam, kemudian 3 ml/kg/jam hingga mencapai 24-48
jam. Pertimbangkan mengurangi cairan IV lebih cepat apabila asupan cairan
oral dan urine output membaik. Durasi total terapi cairan IV tidak boleh
melebihi 48 jam.
o Apabila tanda-tanda vital pasien masih tidak stabil, ulas kembali hematokrit
sebelum bolus berikutnya.
 Apabila hematokrit normal atau rendah (<30-35% pada bayi dan
<35-40% pada anak-anak) dapat menandakan perdarahan. Cari
sumber perdarahan berat. Cross-match untuk darah utuh atau fresh
packed red cells dan transfusi apabila ada perdarahan. Apabila tidak
ada perdarahan, berikan bolus koloid 10-20 ml/kg selama 30 menit –
1 jam, ulangi penilaian klinis dan level hematokrit dan juga
konsultasi ke staff senior untuk mempertimbangkan transfuse darah.
 Apabila hematokrit tinggi dibandingkan baseline (apabila tidak ada,
gunakan baseline populasi), ganti cairan IV menjadi koloid 10-20
ml/kg selama 30 menit – 1 jam. Nilai lagi kondisi pasien, apabila
membaik, kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu ganti
kembali menjadi cairan kristaloid dan kurangi kecepatan infus.
o Apabila pasien masih tidak stabil, ulangi uji hematokrit lagi.
 Apabila hematokrit berkurang dari nilai sebelumnya (<35% pada
bayi dan <40% pada anak-anak), ini menandakan perdarahan dan
perlunya cross-match dan transfusi secepatnya.
 Apabila hematokrit meningkat dibandingkan nilai sebelumnya atau
tetap tinggi (>50%), lanjutkan solusi koloid 10-20 ml/kg selama 1
jam, lalu menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu ganti kembali
menjadi kristaloid dan kurangi kecepatan infus. Apabila pasien
masih tidak stabil, ulangi uji hematokrit.
o Bolus cairan mungkin diperlukan selama 24 jam berikutnya. Kecepatan dan
volum bolus infus harus dititrasi sesuai respon klinis. Pasien dengan dengue
berat harus dirawat di area rawat intensif dengan staff senior.

53
 Klinisi yang merawat bayi dengan syok dengue harus ingat bahwa
bayi dengan baseline hematokrit rendah 30% dengan klinis syok
dengue dan hematokrit 40% secara relatif lebih hemokonsentrasi
dibandingkan anak lain yang memiliki baseline 42% dan hematokrit
50% selama syok.
Pasien dengan syok dengue harus sering dimonitor sampai periode bahaya lewat. Fluid balance
dari semua input dan output harus dicatat. Beberapa parameter yang perlu dimonitor: kesadaran, tanda
vital, perfusi perifer (setiap 15-30 menit sampai pasien tidak syok lalu 1-2 jam). Pada umumnya,
semakin tinggi kecepatan infus, semakin sering pasien harus dimonitor dan ditinjau untuk
menghindari kelebihan cairan sementara menjamin penggantian volum secara adekuat. Apabila
sebelumnya tidak terdeteksi, efusi pleura dan asites harusnya terdeteksi setelah bolus cairan. Monitor
juga pernapasan.

Apabila dapat mengecek analisis gas darah (AGD) dan/atau laktat, lakukanlah setiap langkah
penggantian cairan untuk memonitor perubahan pada sirkulasi. Arteri memberikan beberapa
keuntungan tetapi berbahaya karena risiko perdarahan ketika gagal. Keuntungannya adalah ketika
kondisi syok, pengukuran tekanan darah dengan cuff seringkali tidak akurat. Penggunaan kateter
arteri memberikan akses pengukuran tekanan darah secara kontinu dan pengambilan sampel darah
sebagai dasar untuk pengambilan keputusan terapi. Monitor EKG dan oksimetri pulsasi harus
diberikan di ICU. Output harus dicek secara berkala (setiap jam sampai pasien sudah tidak syok, lalu
setiap 1-2 jam). Kateter kandung kemih dapat memberikan akses monitor secara kontinu. Volum urin
yang pertama keluar ketika dipasang kateter tidak dihitung karena tidak jelas durasinya. Urine output
yang bisa diterima adalah 0,5 ml/kg/jam. Hematokrit harus terus dimonitor (sebelum dan sesudah
bolus cairan sampai stabil, lalu setiap 4-6 jam). Selain itu ada: glukosa darah dan fungsi organ
(sebelum resusitasi cairan dan kemudian sesuai indikasi); serta AGD setiap 30 menit-1 jam hingga
stabil, lalu sesuai indikasi.

3.2.7.2 Tata Laksana Rawat Jalan Demam Dengue WHO 2011 dan IDAI 3,12

Pasien DD yang tidak memiliki komorbiditas dan indikasi sosial, diperlakukan sebagai
pasien rawat jalan. Pasien diberi pengobatan simtomatik berupa antipiretik seperti parasetamol
dengan dosis 10-15 mg/kgBB/dosis yang dapat diulang setiap 4-6 jam bila demam. Hindarkan
pemberian antipiretik berupa asetil salisilat, antiinflamasi nonsteroid (non-steroid anti-
inflammatory drugs/NSAID) seperti ibuprofen. Upaya menurunkan demam dengan metode fisik
seperti kompres diperbolehkan, yang dianjurkan adalah dengan cara "kompres hangat" (diseka

54
dengan air hangat suam kuku/tepid sponge). Anak dianjurkan cukup minum, boleh air putih atau
teh, namun lebih baik jika diberikan cairan yang mengandung elektrolit seperti jus buah, oralit
atau air tajin. Tanda kecukupan cairan adalah diuresis setiap 4-6 jam. Pasien diharuskan untuk
kembali berobat (kontrol) setiap hari hal ini mengingat tanda dan gejala DBD pada fase awal
sangat menyerupai DD, tanda dan gejala yang karakteristik baru timbul setelah beberapa hari
kemudian. Oleh karena itu pada pasien dengan diagnosis klinis DD yang ditegakkan pada saat
masuk, baik yang kemudian diperlakukan sebagai pasien rawat jalan maupun rawat inap, masih
memerlukan evaluasi lebih lanjut apakah hanya DD atau merupakan DBD fase awal. Pasien DD,
walaupun kecil mempunyai kemungkinan untuk mengalami penyulit seperti dehidrasi akibat
asupan yang kurang misal karena timbul muntah, perdarahan berat atau bahkan expanded dengue
syndrome. Dengan kontrol setiap hari dapat diketahui pasien hanya menderita DD, DD dengan
penyulit atau DBD. Tata laksana pasien di rumah harus disampaikan kepada orang tua dengan
jelas,. Untuk mengantisipasi kemungkinan pasien menderita DD dengan penyulit atau DBD yang
mungkin timbul selama rawat jalan, orang tua diminta untuk memantau kondisi anak, bila
ditemukan tanda bahaya harus segera kembali ke rumah sakit tanpa harus menunggu keesokan
harinya.
Tatalaksana Paisen rawat inap demam berdarah dengue
Tata laksana yang tepat dan segera mengurangi morbiditas dan mortalitas DBD, terapi yang
berlebihan seperti kelebihan cairan (fluid overload) akan memperberat keadaan sakit. Pengobatan
DBD bersifat simtomatis dan suportif, terapi suportif berupa penggantian cairan yang merupakan
pokok utama dalam tata laksana DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terjadi kebocoran plasma yang apabila cukup banyak maka
akan menimbulkan syok hipovolemi (demam berdarah dengan syok/sindrom syok dengue)
dengan mortalitas yang tinggi. Dengan demikian penggantian cairan ditujukan untuk mencegah
47 timbulnya syok. Masalahnya adalah kapan terjadi perembesan plasma, dan pemeriksaan
sederhana apa yang dapat dipakai sebagai indikator terjadinya perembesan plasma. Perembesan
plasma terutama terjadi saat suhu tubuh turun (time of fever defervescence). Pemeriksaan nilai
hematokrit merupakan indikator yang sensitif untuk mendeteksi derajat perembesan plasma,
sehingga jumlah cairan yang diberikan harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan hematokrit.
Perlu diperhatikan bahwa kebocoran plasma pada demam berdarah dengue bersifat sementara,
sehingga pemberian cairan jumlah banyak dan jangka waktu lama dapat menimbulkan kelebihan
cairan dengan segala akibatnya.
Terapi simtomatis diberikan terutama untuk kenyamanan pasien, seperti pemberian
antipiretik dan istirahat.

55
Penggantian cairan
 Jenis Cairan
Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD. Tidak dianjurkan
pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45%, kecuali bagi pasien usia <6 bulan. Dalam
keadaan normal setelah satu jam pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan
dalam ruang intravaskular sedangkan cairan isotonis volume yang bertahan, sisanya terdistribusi
ke ruang intraselular dan ekstraselular. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat volume
cairan yang bertahan akan semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada
pemberian cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkotik (osmolaritas >300 mOsm/L) seperti
dextran 40 atau HES walaupun lebih lama bertahan dalam ruang intravaskular namun memiliki
efek samping seperti alergi, mengganggu fungsi koagulasi, dan berpotensi mengganggu fungsi
ginjal. Jenis cairan ini hanya diberikan pada 1) perembesan plasma masif yang ditunjukkan
dengan nilai hematokrit yang makin meningkat atau tetap tinggi sekalipun telah diberi cairan
kristaloid yang adekuat, atau 2) pada 48 keadaan syok yang tidak berhasil dengan pemberian
bolus cairan kristaloid yang kedua. Cairan koloid isoonkotik kurang efektif. Pada bayi <6 bulan
diberikan cairan NaCl 0,45% atas dasar pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda dengan anak
yang lebih besar

 Jumlah cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi klinis dan temuan
laboratorium. Pasien dengan obesitas, pemberian jumlah cairan harus hati-hati karena mudah
terjadi kelebihan cairan, penghitungan cairan sebaiknya berdasarkan berat badan ideal. Pada DBD
terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh karena itu jumlah cairan yang
diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan (maintenance) ditambah dengan perkiraan
defisit cairan 5%. Untuk memudahkan, tabel 8 memperlihatkan kebutuhan volume cairan yang
harus diberikan dosis rumatan dan apabila disertai defisit cairan 5%. Tabel 9 memperlihatkan
kecepatan dari volume cairan yang akan diberikan. Contoh untuk anak dengan berat badan ideal
20 kg, maka kebutuhan cairan adalah 2.500 mL/24 jam dengan kecepatan 5 mL/kgBB/jam.
Apabila hematokrit meningkat jumlah cairan harus dinaikkan dan bila menurun jumlah cairan
dikurangi. Banyak ditemukan di klinis adalah pasien yang belum menunjukkan peningkatan
hematokrit yang berarti (pada keadaan ini diagnosis yang ditegakkan masih DD), namun
dihawatirkan merupakan fase awal sakit DBD, maka volume cairan yang diberikan cukup
rumatan atau sesuai kebutuhan. Volume cairan ditingkatkan apabila nilai hematokrit naik dan
kemudian diturunkan bertahap seiring dengan penurunan nilai hematokrit. Gambar 8 merupakan

56
ilustrasi bagaimana volume cairan ditambah dan dikurangi seiring dengan perubahan nilai
hematokrit. Pemberian cairan dihentikan bila keadaan umum stabil dan telah melewati fase kritis,
pada umumnya pemberian cairan dihentikan setelah 24 – 48 jam keadaan umum anak stabil. Pada
WHO 2011, prinsip pemberian cairan sama namun untuk durasi berbeda. Dikatakan bahwa pada
pasien DHF yang sudah mau terjadi syok hipovolemik harus segera diberikan tidak boleh kurang
durasinya dari 24-48 jam. Namun jika klinis membaik dapat diberikan tidak lebih dari durasi 60 –
72 jam.

57
Pemantauan
• Selama perawatan pantau keadaan umum pasien, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda
peringatan
• Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala syok (mudah dilakukan).
• Tanda-tanda vital, seperti suhu, frekuensi nadi, frekuensi napas, dan tekanan darah harus
dilakukan setiap 2-4 jam sekali.
• Pemeriksaan hematokrit awal dilakukan sebelum resusitasi atau pemberian cairan intravena
(sebagai data dasar), diupayakan dilakukan setiap 4-6 jam sekali.
• Volume urin perlu ditampung minimal 8-12 jam.
• Diupayakan jumlah urin 1.0 mL/kgBB/jam (berat badan diukur dari berat badan ideal). • Pada
pasien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, ibu hamil, komorbid (diabetes mellitus,
hipertensi, thalassemia, sindrom nefrotik, dan lain-lain) diperlukan pemeriksaan laboratorium atas
indikasi
• Pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan sistem koagulasi sesuai
indikasi.

58
• Apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi adanya efusi pleura, pemeriksaan
yang diminta adalah foto radiologi dada dengan posisi lateral kanan dekubitus (right lateral
decubitus)
• Periksa golongan darah
• Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ultrasonografi abdomen, EKG, dan lainnya.

Untuk DHF grade 3

Diberikan cairan sebanyak 10ml/kg dalam 1 jam atau bolus jika diperlukan. Sebelum mengubah
kecepatan pemberian IVFD dipantau kondisi klinis, tanda vital, urin output, dan hematocrit. Ketika tidak
ada perbaikan dalam pemberian IVFD fluid langsung diperiksa A B C S ( Acidosis, bleeding, calcium,
blood sugar )

Untuk DHF grade 4

Cairan harus diberikan 10 ml/kg bolus diberikan secepat mungkin, idealnya 10-15 menit. Ketika
tekanan darah membaik, treatment fluid mengikuti grade 3 DHF. Jika syok tidak membaik setelah
pemberian 10ml/kg pertama, ulangi lagi dan hasil analyzer darah harus segera di periksa ( ABCS ).
Pemberian transfuse darah harus dipertimbangkan setelah melihat hasil hematocrit, diikuti dengan
monitoring ketat berupa pasang kateter, central venous catheterization atau arteri.

Jika IV access tidak bisa didapatkan, dapat dicoba memberikan cairan elektrolit via oral jika
pasien sadar atau intraosseous jika tidak sadar. Intraosseous akses dapat menjadi pilihan terbaik jika vena
access dan pemberian cairan via oral gagal didapat dalam 2-5 menit atau 2 kali gagal.

59
Tatalaksana Ensefalopati
Tata laksana Ensefalopati dengue, paling sering berhubungan dengan gangguan fungsi
hati, namun dapat pula disebabkan oleh gangguan serebral sekunder akibat syok, gangguan
elektrolit, atau perdarahan intrakranial. Penyebab ensefalopati harus dicari dan diberi pengobatan
sesuai penyebab. Pada pasien ensefalopati harus diperiksa kadar amoniak, enzim transaminase,
PT, APTT dan albumin untuk memantau fungsi hati. Kadar elektrolit harus diperiksa dan segera
dilakukan koreksi bila ditemukan kelainan. Pemeriksaan radiologi kepala (CT-scan/MRI)
direkomendasikan untuk menyingkirkan perdarahan intrakranial.

5
Tata laksana

- Mempertahankan oksigenasi dengan pemberian oksigen.


- Mencegah/mengurangi tekanan intrakranial dengan cara sebagai berikut. o Berikan cairan
intravena dengan volume (restriksi), tidak lebih dari 80°% kebutuhan rumatan yang dibatasi
o Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila nilai hematokrit masih tetap tinggi o Pemberian
diuretik segera pada kasus kelebihan cairan
o Posisi pasien dalam keadaan lebih tegak, posisi kepala 30 derajat lebih tinggi dari tubuh
o Intubasi dini bila diperlukan untuk mencegah hiperkarbia dan mempertahankan jalan
napas
o Steroid 0,15 mg/kgBB/dosis intravena diberikan setiap 6-8 jam, untuk mengurangi
tekanan intrakranial (apabila tidak ada perdarahan
o Mengurangi produksi amoniak dengan memberikan laktulosa 5 10 mL setiap 6 jam.
o Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit (hipo/hipernatrenmia,
hipo/hiperkalemia, hipokalsemia). dan asidois. Vitamin K1 intravena 3 mg untuk umur 1
tahun. 5 mg 63
- Mengurangi produksi amoniak dengan memberikan laktulosa 5- 10 mL setiap 6 jam.
- Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit (hipo/hipernatremia,
hipo/hiperkalemia, hipokalsemia), dan asidosis. Vitamin K1 intravena 3 mg untuk umur <1
tahun, 5 mg untuk umur <5 tahun, dan 10 mg untuk umur >5 tahun atau dewasa.
- Antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang: fenobarbital, dilantin, atau diazepam
intravena.
- Apabila transfusi darah diperlukan, sebaiknya fresh red packedd cell. Komponen darah yang
lain seperti suspensi trombosit dan. FFP tidak dianjurkan karena menyebabkan kelebihan
cairan dan meningkatkan tekanan intrakranial.
- Terapi antibiotik empiris dianjurkan apabila dicurigai terjali infeksi bakteri sekunder.

60
- Hindari pemberian obat-obatan yang tidak diperlukan oleh karena pada umumnya obat
dimetabolisme di dalam hati.
- Plasmapheresis, hemodialisis atau renal replacement therpr diberikan pada pasien dengan
gangguan ginjal. Tata laksana perdarahan masif.

Kriteria pulang rawat jalan

 Tidak demam minimal 24 jam tanpa antipiretik


 Nafsu makan baik
 Perbaikan klinis yang jelas
 Jumlah urin cukup
 2-3 hari setelah syok teratasi
 Tidak tampak distress pernapasan
 Trombosit >50.000

3.3 Klasifikasi dehidrasi dan tatalaksana 9

61
3.4 Kejang Demam 10

 Definisi
Bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu
tubuh ( suhu diatas 38℃, dengan metode pengukuran suhu apapun ) yang tidak disebebkan oleh proses
intrakranial.

Keterangan :

1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit / metabolik lainnya
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam.
3. Anak berumur 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. Untuk itu
jika terjadi kejang demam dibawah 6 bulan, curigai SSP terlebih dahulu.
4. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan termasuk
dalam kejang neonatus.
 Klasifikasi
Kejang Demam Sederhana

Kejang demam yang berlangsung singkat ( kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum ( tonik dan atau
klonik ), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.

Keterangan:

1. KDS merupakan 80% diantara seluruh kejang demam


2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri
Kejang Demam Kompleks

62
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:

1. Kejang lama (>15 menit)


2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam. 11

63
BAB IV
ANALISIS KASUS

ANAMNESIS
Kasus Teori
- Os berusia 7 bulan - Faktor pejamu dilaporkan dapat menjadi
- Riwayat imunisasi lengkap faktor risiko untuk terkena infeksi dengue
- Riwayat perkembangan sesuai dengan yang berat, antara lain usia, status gizi,
umur 6 bulan CDC faktor genetik, dan penyakit tertentu
khususnya penyakit yang berhubungan
dengan sistem imun. Anak-anak umumnya
mempunyai perjalanan penyakit yang lebih
berat dibandingkan dengan dewasa.
- Bayi usia 6-12 bulan mempunyai risiko lebih
berat, meskipun pada infeksi primer.
Sehingga memungkinkan pasien terkena
ensefalopaty dengue.
\
- Os mengalami kejang 8 jam SMRS Gejala yang mengarahkan ke arah
berupa kejang tonik dengan mata Dengue fever sesuai di kasus ;
mendelik durasi 60 menit. Pre ictal - Demam timbul mendadak, tipe continous
pasien sedang tidur di kasur. Ini tidak ada periode bebas demam ( demam
merupakan kejang pertama. Kejang hari ke 3- 4 ). Jika ditelusuri sampai fase
berhenti setelah diberikan diazepam recovery, akan terlihat di kurva bentuk
vai rektal, post ictal pasien tidak bifasik. Demam tidak menurun pada pagi
menangis. hari dan meninggi pada pagi hari dimana
- os mengalami febris mendadak tipe khas pada demam tifoid, tidak ada tanda
continous selama 4 hari, dimana batuk/pilek dan mata berair dari pasien
tidak terjadi penurunan suhu. Tidak yang menandakan trias campak. Pasien
ada periode bebas demam. Demam juga sudah di imunisasi secara baik. Tidak
disertai munculnya bintik ruam ada periode bebas demam bukan ciri khas
kemerahan di daerah badan dan dari malaria.
ekstremitas. Tidak ada tanda - Ada gejala gelisah, dan rewel
perdarahan spontan seperti - Ada ruam makulopapular (ptechiae ) yang
mimisan / perdarahan gusi.mimisan / merupakan tanda perdarahan klinis gejala

64
;perdarahan pada gusi. Nafsu makan khas DF
anak menjadi berkurang jika demam - Ruam konvalesens ( white islands in the
muncul Os mulai lemas sejak sea of red ) saat di hari pasien sudah mau
demam muncul. Sebelum os pulang pulang.adalah ruam khas yang muncul
dari rumah sakit terdapat ruam pada penderita dengue haemoragic fever
konvalesens. Batuk pilek disangkal. yang terjadi pada fase recovery ketika
panas sudah turun.
- Terdapat proses kejang umum dengan
durasi lebih dari 15 menit dan post ictal
tidak sadar, sehingga diagnosis
mengekslusikan kejang demam simpleks.
Dari IDAI jika os mengalami kejang
dengan post ictal tidak sadar dan
ditemukan tanda – tanda infeksi dengue,
kemungkinan ensefalopati dengue harus
dipertimbangkan.
- Rumah pasien dikelilingi parit, Sejak - Suhu lingkungan, kelembaban, dan curah
musim hujan datang kondisi rumah hujan, telah diketahui berperan dalam
sering terjadi banjir dan diakui penyebaran penyakit dengue.
banyak genangan air. - Perubahan iklim secara global dilaporkan
- Di daerah rumah sering kesulitan air membuat nyamuk mengalami dehidrasi
jadi ayah pasien meletakkan tanki sehingga untuk mempertahankan diri
kosong untuk menampung air. Tanki nyamuk akan lebih sering menggigit
yang sudah terisi air tidak pernah manusia.
dikuras dan tidak ditutup. - Peningkatan curah hujan, terutama saat
peralihan dari musim kemarau ke musim
- Kondisi di dalam rumah diakui tidak
penghujan dilaporkan berpengaruh
terlalu banyak nyamuk, namun
terhadap peningkatan kasus penyakit
lembab karena ventilasi udara
dengue.
sedikit.
- Orangtua pasien mengatakan bahwa
Dari anamnesis didapatkan DD/
beberapa tetangga pasien ada yang
 Status epileptikus + penurunan kesadaran e/c
demam juga
Kejang demam kompleks e/c dengue fever
- Bulan November – Desember
dengan dehidrasi ringan sedang
merupakan peralihan musim dari

65
kemarau ke musim hujan - Suspek Meningitis e/c viral dd/bakteri
- Kejang demam kompleks e/c acute viral
infection
- Suspek Dengue Encephalopaty
PEMERIKSAAN FISIK

Kasus Teori
KU : Tampak sakit sedang - Dari pemeriksaan fisik, didapatkan tanda
Kesadaran : Apatis E3M5V3 perdarahan seperti ptechiae yang muncul
o
Suhu :36.9 C ( setelah pemberian pct ) di dada, sesuai dengan patofisiologi
Pemeriksaan kepala penyakit dengue.
Tidak terdapat mata cekung, conjungitivitis (-) Namun terdapat penurunan kesadaran post
Tidak terdapat mimisan / perdarahan gusi ictal seteleh kejang dan didapatkan tanda
Pemeriksaan thoraks rangsang meningeal positif dimana tidak
Inspeksi : ptechiae lazim diapatkan pada pasien dengan kejang
CRT<2s demam kompleks. Pada kejang demam
Rangsang meningeal (+) simpleks dan kompleks neurologis pasien
Refleks patologis (-) akan baik 11 . Namun didapatkan
pengecualian pada anak berumur dibawah 1
tahun dimana rangsang meningeal dapat
diangkap tidak positif walau hasilnya
positif.
- Untuk tanda – tanda dehidrasi terdapat
ringan – sedang.
Untuk itu dari anamnesis pemeriksaan fisik dapat
lebih diarahkan diangosis ke expanded dengue
syndrome, diagnosis kejang demam hilang dari
differential diagnosis setelah melakukan
pemeriksaan fisik, DD/
 Status epileptikus + penurunan kesadaran e/c
Kejang demam kompleks e/c dengue fever
dengan dehidrasi ringan sedang
- Suspek Meningitis e/c viral dd/bakteri
- Kejang demam kompleks e/c acute viral
infection

66
- Suspek Dengue Encephalopaty
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kasus Teori
- Pemeriksaan rontgen dalam batas - Terdapat anemia mikrositik hipokrom. Hal ini
normal menjelaskan mengapa hematocrit pasien rendah dan
- Tidak terdapat leukopenia tidak terlihat jelas apakah sudah mengalami
- Terdapat hb 9.3 g/dl hemokonsentrasi atau belum.
- MCV 60, MCH 21 - Pasien mengalami limfositosis dimana cenderung
- Terdapat trombositopenia menandakan adanya infeksi virus dan memperkuat
19.000 uL pada tanggal 3 kearah infeksi dengue.
26.000 uL pada tanggal 4 pagi Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan untuk
14.000 uL pada tanggal 4 sore melihat apakah terjadi efusi pleura, pemeriksaan
68.000 uL pada tanggal 5 sore yang diminta adalah right lateral dekubitus. Hal ini
- Pemeriksaan hematokrit untuk memastikan apakah ada tanda plasma leakage
27 % tanggal 3 atau tidak.
23% tanggal 4 - Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya USG
23% tanggal 4 abdomen, EKG tidak dilakukan karena tidak ada
20% tanggal 5 indikasi.
- Limfositosis ( limfosit 64% ) - Pada demam hari ke 4 – 5 pasien demam dapat
- Pemeriksaan cairan CSF tidak terjadi trombositopenia yang dapat diakibatkan
dapat dilakukan kerusakan endotel vaskular virus yang membuat
- MRI brain tidak dapat dilakukan trombosit terus bekerja melakukan proses perbaikan
endotel.
- Pemeriksaan CSF dalam penegakkan
enchepalopaty dengue harus dilakukan untuk
melihat apakah ada antigen virus dan denv RNA,
lalu pleositosis. Bisa juga untuk mengeklusikan dd
lain seperti herpes encephalopaty dan chikungkunya.
- MRI dan CT brain memiliki spesifitas yang rendah
terhadap penegakkan diagnosis dengue
encephalopaty karena banyak dari kasus lain
pemeriksaan MRI dalam batas normal.Namun dapat
digunakan untuk rule out perdarahan intracranial
( encephalitis ) WHO
DD/ setelah pemeriksaan penunjang

67
 Status epileptikus + penurunan kesadaran e/c
Kejang demam kompleks e/c dengue fever
dengan dehidrasi ringan sedang
- Suspek Meningitis e/c viral dd/bakteri
- Kejang demam kompleks e/c acute viral
infection
- Suspek Dengue Encephalopaty
 Anemia mikrositik hipokrom dengan
defisiensi besi dd/ infeksi kronis
Treatment
Kasus Teori
Saat di IGD  Pasien sedang mengalami dehidrasi ringan –
2.10IVFD RL 75cc/kgBB dalam 6 jam sedang dan sedang mengalami penurunan
2.11IVFD D5 ¼ NS 600 cc/24 jam kesadaran maka diberikan cairan IV 6 x 75
2.12Terpasang NGT cc = 50 tpm makro dalam 3 jam.
2.13Sibital 15 mg dalam D5 20  Untuk perhitungan maintance cairan, Karena
cc/12 jam pasien belum terbukti mengalami plasma
2.14PCT IV 6 cc K/P leakage berupa hemokonsentrasi, maka
2.15PCT drop 0,6 cc K/P diberikan cairan per hari seperti biasa
2.16Injeksi ampicillin 4 x 300 mg IV dengan rumus holiday segar 6 x 100 cc =
2.17Injeksi Gentamicin 1 x 20 mg IV 600 cc / hari dengan 8 tpm makro.
2.18Injeksi diazepam 1,8 mg bila  Antipiretik : Paracetamol 10-15mg/kgbb
kejang diberikan apabila suhu >38℃. Diberikan
2.19Pantau TTV , UO, dan kejang tiap 0.6 cc/4 jam. PCT flash dapat diberikan
2 jam sebanyak 6 cc/ 4 jam.
2.20Cek analyzer per 12 jam , IGG dan  Nutrisi : Jika pasien sudah sadar dan bisa
IGM dengue makan via oral, dianjurkan minum cairan
yang mengandung elektrolit seperti air
Sewaktu sudah ditegakkan kelapa, air tajin, jangan air putih agar
Ensefalopati dengue elektrolit keseimbangannya terjaga.
2.20.1 IVFD D5 ¼ NS 600 cc/24  Antibiotik :
jam ( 25 tpm mikro ) Karena masih mensuspek meningitis e/c
2.20.2 Terpasang NGT viral dd bakteri, dan gejala meninigitis viral
2.20.3 Sibital 15 mg dalam D5 20 dengan bakteri itu tumpang tindih maka
cc/12 jam tetap diberikan AB dengan dosis ampicillin

68
2.20.4 PCT IV 6 cc K/P 4 x 400 mg IV dan gentamicin 45 mg IV.
2.20.5 PCT drop 0,6 cc K/P  Pemantauan
2.20.6 Injeksi ampicillin 4 x 300 2.21 Tanda warning sign
mg IV(H-3) 2.22 CRT > 2 s
2.20.7 Injeksi Gentamicin 1 x 20 2.23 Pantau ttv setiap 2- 4 jam sekali
mg IV(H-3) 2.24 Pemeriksaan hematokrit awal
2.20.8 Injeksi diazepam 1,8 mg dilakukan sebelum resusitasi atau
bila kejang pemberian cairan intravena, diupayakan
2.20.9 Pantau tanda shok 4-6 jam sekali.
2.20.10 Observasi KU dan TTV 2.25 Volume urin diperiksa setiap 6 jam
- Cek lab tiap 12 jam sekali dengan UO minimal > 0.5
ml/kgbb/jam
2.26 Pantau tanda – tanda efusi, edema
paru, tanda perdarahan, tanda syok.
2.27 Dapat diberikan vitamin penambah
darah karena hemoglobin rendah berupa
2.28 Pemeriksaan lab lain atas indikasi

Tatalaksana Kejang (IDAI 2016)


Jika kejang kambuh dapat diberikan via supp 5 mg
berat <12 kg dan 10 mg berat >12 kg. Jika melalui
IV bisa diberikan 0.2 – 0.5 mg/kgbb; 1,2
– 3 mg via IV pada anak ini.

Dari beberapa kasus yang serupa, terapi untuk


encephalpaty dengue (IDAI) hanya simptompatik,
karena prognosis nya baik. Diwajibkan observasi
tanda – tanda perdarahan dan kejang karena yang
ditakutkan adalah perdarahan pada otak.
Tatalaksana Mandiri :
2.29 IVFD RL 450 cc dalam 3 jam  50
tpm makro
2.30 Cairan maintance 600cc/24 jam = 8
tpm makro

69
2.31 Terpasang NGT
2.32 Posisi kepala tegak 30 derajat
2.33 Pct IV 6cc/6jam bila T>38.5
2.34 PCT drops 0.6 cc/6 jam bila T>37.5
2.35 Injeksi Ampicilin sulbac 300
mg/6jam ( 200 mg/kg/24 jam )
2.36 Injeksi Gentamicin 45 mg /24 jam
( 7/5mg/kgbb/24jam)
2.37 Injeksi Dexamethasone 0.9 mg/8
jam (0.15mg/kgbb/ 6-8 jam ) untuk
mengurangi tekanan intracranial ( IDAI
2014 )
2.38 Injeksi diazepam 1.8 mg via IV bila
kejang
2.39 Pantau TTV setiap 2 jam sekali dan
observasi kejang
2.40 Pantau urin output, tanda
perdarahan, tanda syok
2.41 Cek analyzer setiap 12 jam sekali
2.42 Cek IgM and IgG dengue
2.43 Cek SGPT/SGOT karena dapat
terjadi peningkatan yang diakibatkan
virus DENV menyerang sel kuppfer dan
hepatosit. Membuat hepatosis apoptosis
dan peningkatan marker.
2.44 Pemeriksaan CSF setelah perbaikan
KU

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan

Pada demam dengue, penting untuk tau klasifikasi derajat keparahan demam agar dapat
memberikan tatalaksana yang tepat sehingga mengurangi angka mortalitas akibat dengue fever/dengue

70
haemorrhagic fever/dengue expanded syndrome. Demam dengue pada anak dapat menimbulkan kejang
demam sehingga diperlukan edukasi pada keluarga untuk penatalaksanaan kejang jika kejang sudah
terjadi. Selain langkah kuratif, diperlukan langkah preventif dengan cara mengedukasi keluarga untuk
faktor – faktor risiko yang dapat memicu terkena demam dengue. Seperti faktor lingkungan prinsip 5 M
yaitu menguras, menutup, mengganti, mengubur, dan menaburkan.

Ketika sedang merawat pasien anak dengan dengue, penting untuk memantau cairan yang
diberikan agar tidak overload cairan. Sehingga pemberian cairan melalui IVFD dengan kecepatan tertentu
hanya diberikan maksimal 48 jam ( saat fase kritis ). Setelah melewati fase kritis, keadaan anak mulai
membaik dengan ditandai adanya peningkatan nafsu makan, tidak gelisah, urin baik , maka mulai masuk
nutrisi via oral. Selama perawatan perlu dipantau tanda – tanda warning sign, tanda perdarahan, tanda
syok, dan urin.

Dengue expanded syndrome masih perlu dipertimbangkan pada anak yang terkena DHF namun
mengalami gejala kejang / gangguan kesadaran. Pemeriksaan penunjang harus dipersiapkan seperti LCS,
ct scan, SGPT/SGOT agar dapat mengekslusikan ensefalitis dan ensefalopati dengue. Prognosis dari
dengue ensefalopati baik, pemberian terapi hanya berdasarkan simptomatis saja. Untuk prognosis kejang
demam baik, perlu edukasi kepada keluarga bahwa jika terjadi kejang demam kompleks, kemungkinan
untuk terjadi kejang demam berulang cukup tinggi sehingga diperlukan penanganan yang tepat saat
kejang sedang terjadi.

5.2 Saran

Semoga pemeriksaan CT scan dan MRI bisa dipersiapkan dikemudian hari di RSUD Bangka Tengah, dan
pemeriksaan LCS dapat dilakukan pada setiap pasien yang dicurigai ada infeksi intracranial.

71
DAFTAR PUSTAKA

1. Novie Homenta Rampengan,* Mulya Rahma Karyanti,** Sri Rezeki Hadine. Sari Pediatri
“Ensefalopati Dengue pada Anak.” 2011 Apr;12.

2. KEMENTERIAN KESEHATAN. InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI


KEMENTERIAN KESEHATAN RI “ SITUASI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI
INDONESIA TAHUN 2017 .” 2018 Apr 22;1.

3. Robert M. Kliegman, MD. Nelson Textbook of Pediatrics 20E. 20th ed. ELSEVIER; 2016.

4. WHO. DENGUE GUIDELINES FOR DIAGNOSIS, TREATMENT, PREVENTION


AND CONTROLTREATMENT, PREVENTION AND CONTROLTREATMENT,
PREVENTION AND CONTRO. 2009

5. Sri Rezeki Hadinegoro, Ismoedijanto Moedjito, Alex Chairulfatah. Pedoman Diagnosis dan
Tata Laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak. IDAI 2014;

6. Klaus Wolff, Richard A. Johnson, Arturo P. Saavedra. Fitzpatrick’s Color Atlas And
Synopsis Of Clinical Dermatology. seventh. Mc Graw Hill;

7. AMVijayalakshmi, AJayavardhana. Febrile Rash and Convalescent Rash of Dengue Fever.


2013 Jul 15;50. Available from: https://www.indianpediatrics.net/july2013/717-718.pdf

8. Marianna Peres Tassara. Neurological manifestations of dengue in Central Brazil. 2017 Jun;

9. LINTAS DIARE “ LIMA LANGKAH TUNTASKAN DIARE .” 2011th ed. Departemen


Kesehatan RI; 2011.

10. Sofyan Ismael, Hardiono D. Pusponegoro. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam.


Badan Penerbit Ikat Dr Anak Indones. 2016;1.

11. Robert J Baumann. Pediatric Febrile Seizures Clinical Presentation. 2018 Nov 9; Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/1176205-clinical#b4

12. WHO. Comprehensive Guidelines for prevention and control of Dengue and Dengue
Haemoragic Fever. 2011

72

Anda mungkin juga menyukai