Anda di halaman 1dari 3

Review ‘The fear of performance’ (Elizabeth Valentine)

Oleh: Ovan Bagus Jatmika, M.Sn.

Rasa cemas yang muncul pada saat melakukan pertunjukan disebut ‘demam panggung’. Demam
panggung ini dapat dikenali lewat gejalanya. Secara spesifik, gejala demam panggung dibagi
menjadi tiga, yaitu gelaja fisikal (physiological symptoms), gejala perilaku (behavioural symptoms),
dan gejala mental (mental symptoms). Gejala fisik dicirikan dengan peningkatan detak jantung,
jantung berdebar, sesak nafas, mulut kering, berkeringat, mual, diare, dan pusing yang disebabkan
oleh peningkatan kinerja sistem saraf otonom. Peningkatan kinerja sistem saraf otonom ini muncul
karena adanya ketakutan atau trauma atas pengalaman masa lalu. Gejala perilaku dicirikan dengan
gerakan yang kaku, menggigil, rasa berguncang, serta ekspresi roman muka yang tegang. Gejala
mental adalah pengalaman subjektif terkait rasa cemas (feeling) dan pikiran negatif (thought)
tentang pertunjukan. Pikiran negatif ini muncul karena kita terlalu menuntut estimasi yang tinggi
atas kualitas diri kita. Lebih jauh, gejala mental terkait dengan pikiran negatif dibagi menjadi dua,
yaitu ‘catastrophising’ dan ‘self-handicapping’. Catastrophising terkait dengan anggapan yang
berlebihan tentang sesuatu yang ditakuti. Misalnya ungkapan, ‘Saya yakin di bagian tertentu lagu ini,
saya akan membuat kesalahan yang fatal dan hal ini akan menghancurkan semuanya’. Namun jika
ketakutan yang dirasakan masih bisa diterima oleh pemain dan dia menganggapnya sebagai resiko
yang tak dapat dihindari, dan karenanya tidak terlalu mencemaskannya, maka tingkat kecemasan
yang dirasakan pemain masih berada pada level sedang. 1 Varian kedua, yaitu self-handicapping 2,
adalah gejala mental dimana pemain secara sengaja menyetel situasi (sengaja tidak berlatih,
merusak instrumen, dan sebagainya) untuk dijadikan alasan atas kinerjanya yang buruk. Strategi
semacam ini bersifat destruktif karena pemain cenderung menghindar dari situasi. Hal ini
disebabkan terutama karena berharap secara berlebihan terhadap kompetensi diri. Misal, pemain
yang dulunya hebat, karena cidera, tidak dapat lagi memainkan repertoar seperti semula. Jika dia
tidak bisa menerima kondisi tersebut, maka ada bahaya bahwa dia akan mengalami self-
handicapping.

Sekalipun rasa cemas yang muncul pada saat pertunjukan dirasa mengganggu, namun tidak semua
efeknya berdampak negatif. Survey menemukan beberapa reaksi pemain atas rasa cemas yang
dialami yaitu: merasa khawatir, merasa takut dinilai orang lain, mulai meragukan kemampuan diri
sendiri, merasa ingatannya terganggu, dan merasa perlu untuk menghadapi kecemasan dengan
melakukan latihan. Semuanya, kecuali poin terakhir, memiliki dampak negatif terhadap kualitas
pertunjukan musik.3 Dalam hal ini, kita perlu membedakan jenis kecemasan yang menguntungkan
dan merugikan atau lebih tepatnya, antara kecemasan reaktif, mal-adaptif, dan adaptif. Kecemasan
reaktif muncul karena kurangnya persiapan. Kecemasan ini cenderung realistis dan dapat diredam
dengan melakukan persiapan yang baik. Kecemasan secara umum memang ditetapkan sebagai
bentuk gangguan. Namun banyak pemain kadang menganggap kemunculan rasa cemas tertentu
(baca: tantangan) justru memberikan keuntungan bagi kualitas pertunjukan. Jika tidak ada
tantangan, pemain akan merasa bosan dan kurang antusias. Jika tantangannya terlalu tinggi, pemain
juga akan merasakan tekanan yang besar yang akan berdampak pada kualitas pertunjukan.

1
Hubungan antara kecemasan dan kualitas pertunjukan direpresentasikan oleh grafik Yerkes-Dodson
law (gambar 1).4

Steptoe5 mengonfirmasi pola Yarkes Dodson pada penyanyi amatir (siswa) dan profesional dengan
meminta mereka menilai tegangan emosi dan kualitas pertunjukan yang mereka rasakan dalam
situasi yang berbeda. Pada kedua kelompok, kualitas pertunjukan dinilai berada pada puncak
tertinggi pada saat tegangan emosional berada pada level tangah (intermediate). Fazey dan Hardy 6
bergerak lebih jauh dengan membagi tengangan emosional menjadi dua, yaitu tubuh (respon
fisiologis terhadap stres) dan mental/kognitif (takut akan kegagalan dan konsekuensinya). Keduanya
merepresentasikan hubungan ketiganya (kualitas pertunjukan, tegangan mental, dan tegangan
fisikal) dalam model tiga dimensi (gambar 2). Mereka menyimpulkan bahwa ketika tegangan
kognitif/mental rendah, hubungan antara tegangan emosional dan kualitas pertunjukan mengikuti
grafik Yerkes-Dodson. Manakala tegangan mentalnya tinggi, maka alurnya akan mengikuti model
catastrophe. Model ini muncul karena lamunan dan kekhawatiran yang distimuli oleh tegangan
mental dan fisik menimbulkan gelombang pikiran negative sehingga menyebabkan intensi
permainan naik secara cepat lalu kolaps (kehilangan kontrol).

Lalu apa penyebab munculnya rasa cemas ini? Ada tiga factor yang menjadi penyebab munculnya
rasa cemas yaitu individu (person), tugas (task), dan keadaan (situation). Individu memiliki
perbedaan yang substansial dalam merespon sistem saraf otonom yang muncul sebagai akibat dari
adanya rangsangan internal atau penilaian kritis orang lain. Riset mengatakan bahwa musisi
cenderung memiliki rasa cemas yang lebih tinggi dari kebanyakan populasi, dan musisi orchestra
cenderung lebih rentan mengalami kecemasan disbanding artis pertunjukan lainnya (misal penyanyi,
penari, atau actor).7 Secara khusus, kecemasan dalam pertunjukan terkait dengan jenis tertentu,
khususnya neuroticism dan social phobia. 8 Semakin sulit tugas, semakin cemas pemian dibuatnya.
Dengan meningkatnya level ketrampilan dan penguasaan tugas, akan dibutuhkan tugas yang lebih
berat untuk memunculkan tingkat kecemasan yang setara. Lalu bagaimana pengaruh situasi
(keadaan) terhadap tingkat kecemasan? Le Blanc et al. 9 mencatat adanya peningkatan rasa cemas
bagi siswa SMA ketika bermain band di hadapan banyak orang. Abel dan Larkin 10 melaporkan
peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan laporan kecemasan diri ketika siswa music bermain
di depan juri. Menariknya, siswa pria menunjukkan peningkatan tekanan darah, dan siswa wanita
menunjukkan peningkatan rasa cemas.

Hubungan ketiganya (individu, tugas, dan situasi) berinteraksi secara timbal balik: efek dari satu
factor tergantung factor lainnya. Cox dan Kenardy 11 mendemonstrasikan hubungan antara karakter
individu dan situasi. Pemain dengan fobia sosial memiliki rasa cemas yang lebih tinggi dibanding
mereka yang tidak memiliki fobia sosial dalam konteks permainan tunggal (solo). Namun perbedaan
tingkat kecemasan dari keduanya tidak terlalu tinggi dalam konteks permainan ensemble
(kelompok). Hubungan antara tugas dan situasi dapat dilihat pada kajian yang dilakukan oleh

10

11

2
Hamann dan Sobaje.12 Peningkatan kualitas pertunjukan pada kondisi menegangkan (ketika juri
melakukan penilaian, misalnya) atas kondisi normal (ketika pemain bermain tanpa dinilai) naik
secara signifikan pada pemain pemain professional (pemain dengan pengalaman bertahun-tahun
dan level ketrampilan yang tinggi). Dengan demikian, rasa cemas akan mempengaruhi peningkatan
kualitas pertunjukan hanya pada pemain professional yang memiliki kemampuan ‘penguasaan tugas’
secara baik.

Bagaimana rasa cemas dapat diminimalisir? Elizabeth Valentine memberikan tiga model metode
penyembuhan, yaitu melalui teknik fisikal (relaksasi, biofeedback, alkohol, beta-blocker), gabungan
teknik fisikal dan mental (alexander technique), serta teknik psikologis (systematic desensitisation,
cognitive behaviour, timing of anxiety).

12

Anda mungkin juga menyukai