KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“ST- Elevation Myocardial Infarction Anteroseptal”.
Sepanjang penyusunan laporan kasus ini, banyak pihak-pihak yang
memberikan kontribusi baik sumbangan waktu, ide, tenaga, dan dukungan
sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Untuk itu, tidak ada
yang dapat kami sampaikan kecuali rasa terima kasih mendalam kepada semua
pihak yang telah membantu, khususnya kepada pembimbing kami, dr, Hilfan
Ade Putra Lubis, Sp.JP.
Kami menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan
laporan kasus selanjutnya. Terima kasih.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................1
Daftar Isi..........................................................................................2
BAB 1 Pendahuluan.........................................................................3
BAB 2 Laporan Kasus.....................................................................4
BAB 3 Diskusi Kasus....................................................................20
Kesimpulan....................................................................................29
Daftar Pustaka ..................................................................30
3
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
STATUS PASIEN
Rekam Medik
No: 00.61.75.86 Tanggal: 24 September 2014
Nama pasien: Porkas Manguntur Pane Umur: 60 Tahun
Seks: Laki - laki Agama: Islam
Alamat: Jl. Deli Gg. PU No. 132A
STATUS PRESENS:
KU : Sedang Kesadaran : Compos Mentis
TD : 160/90 mmHg HR : 80x/i regular
RR : 22 x/i Suhu : 36,80C
Berat Badan : 63,1 Kg
Ortopnoe : (-) Dispnoe : (-) Ikterus : (-) Edema : (-) Pucat : (-) Sianosis : (-)
Pemeriksaan Fisik :
Kepala : mata : anemia (-/-), ikterik (-/-)
Leher : TVJ : R + 2 cmH2O
Dinding toraks : I : Simertis fusiformis
P : SF ki =ka
P : Sonor pada kedua lapangan paru
A : SP : vesikuler pada lap. paru kanan & kiri
ST : ronki basah basal (-/-), wheezing (-)
Batas Jantung :
- Atas : ICS III sinistra
- Kiri : LMCS
- Kanan : Linea sternalis dexta
ELEKTROKARDIOGRAFI :
7
FOTO TORAKS :
8
Hasil Laboratorium :
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
DARAH RUTIN
Hemoglobin 13,60 g% 13,2 – 17,3 g%
Eritrosit 4,56 x 106/mm3 4,20 – 4,87 x 106/mm3
Leukosit 16,17 x 103/mm3 4,5 – 11,0 x 103/mm3
Hematokrit 41,60 % 43 – 49 %
Trombosit 245 x 103/mm3 150 – 450 x 103/mm3
ENZIM JANTUNG
Troponin T 1,1 µg/L 0 – 0,1 µg/L
CK-MB 58 U/L 7 – 25 U/L
METABOLISME
KARBOHIDRAT 92,50 mg/dL < 200 mg/Dl
Glukosa Darah Sewaktu
FUNGSI GINJAL
Ureum 27,50 mg/dL <50 mg/dL
Kreatinin 0,98 mg/dl 0,70 – 1,20 mg/dL
HST
Waktu Protrombin 12,2 detik
INR 0,87
APTT 30,0 detik
Waktu thrombin 12,2 detik
ELEKTROLIT
Natrium 138 mEq / L 135 - 155 mEq / L
Kalium 3,8 mEq / L 3,5 - 5,5 mEq / L
Klorida 105 mEq / L 96 - 106 mEq / L
Diagnosa kerja : STEMI anteroseptal onset 3 hari Killip I TIMI risk 4/14 +
Hipertensi stage II
1. Fungsional : STEMI anteroseptal
2. Anatomi : Arteri koroner
3. Etiologi : Aterosklerosis
9
Diferensial diagnosa :
Miokarditis
Perikarditis
Pengobatan :
Bed rest
O2 2-4L/i
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
Clopidogrel 1 x 75mg
Aspilet 1 x 80mg
ISDN 3 x 5 mg
Captopril 3 x 6,25 mg
Simvastatin 1 x 40mg
Bisoprolol 5 mg 1 x ½ tab
Inj. Arixtra 2,5mg/24jam
Prognosis :
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Klasifikasi Killip
Kelas Definisi Proporsi Mortalitas
10
pasien (%)
I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 40-50% 6
II + S3 dan/atau ronki basah di basal paru 30-40% 17
III Edema paru akut 10-15% 30-40
IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80
PBJ
Kesimpulan:
- RA normal
- LA normal
- RV normal
- LV : Fungsi sistolik LV menurun, EF 48%
Fungsi diastolik terganggu
Wall motion : Hypokinetik Anteroseptal
- Katup-katup jantung normal
17
Post PCI/Angioplasti
19
BAB 3
DISKUSI KASUS
EKG
Selama fase awal, oklusi total arteri koroner menunjukkan gambaran EKG
elevasi segmen ST. Dalam beberapa jam kemudian diikuti gelombang T terbalik
dan dalam beberapa hari kemudian muncul gelombang Q patologis (Rhee et al.,
2011).
21
Laboratorium
Pemeriksaan enzim jantung CK-MB atau Troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CKMB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).
Troponin I/T juga dapat meningkat karena kelainan kardiak non koroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal nafas, penyakit neurologik akut,
22
Angiografi Koroner
Angiografi koroner merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung
dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak
sumbatan pada arteri koroner. Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang
dinamakan angioplasti dapat dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri
tersebut. Kadang-kadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori) dalam
arteri (Rhee et al., 2011).
Pada pasien ini dilakukan angiografi koroner dan dijumpai adanya stenosis
total pada arteri koroner LAD sesudah cabang diagonal 1 (D1), maka dianjurkan
untuk dilakukan tindakan angioplasti pada pasien ini.
Penatalaksanaan
Tatalaksana Awal
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik
(pump failure).
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi pada jam
23
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang
dicurigai STEMI antara lain:
Penanganan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
Trasnportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/
ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
Melakukan terapi reperfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya
bukan selama transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset
nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa
ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat (Fuster et al, 2011).
Tatalaksana Umum
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama (Fuster et al, 2011).
Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, nitrogliserin juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan
menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara
dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri
dada terus berlangsung dapat diberikan nitrogliserin intravena. Nitrogliserin
intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru (Fuster
et al, 2011).
Morfin
24
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg
dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit dengan dosis total 20 mg.
Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada sangat penting karena nyeri dikaitkan
dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan
beban jantung (Fuster et al, 2011).
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi
aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg diruang emergensi. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162 mg (Fuster et al, 2011).
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV,
selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5
mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60
menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama
48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam (Fuster et al, 2011).
ACE Inhibitor
ACE Inhibitor harus segera diberikan jika tekanan darah stabil dan tetap di atas
100 mmHg. Keuntungan ACE Inhibitor terutama terlihat pada pasien dengan
gagal jantung, infark miokard, disfungsi ventrikel kiri. ACE Inhibitor seperti
captopril 6,25 mg diberikan 3 dosis, target 25-50 mg (Fuster et al, 2011).
Antagonis Kalsium
Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan antagonis kalsium secara rutin.
Namun golongan obat ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita
25
dengan nyeri dada iskemik yang berlanjut walaupun telah mendapatkan nitrat dan
penyekat beta (Fuster et al, 2011).
Antitrombotik
Menurut John (2008) heparin dapat diberikan dalam bentuk unfractionated
heparin atau low molecular weight heparin. Unfractionated heparin diberika 5000
unit bolus dilanjutkan dengan 1000 unit/jam. Dosis heparin kemudian diteruskan
sesuai pemeriksaan aPTT (target aPTT 1,5-2 x nilai normal) (Fuster et al, 2011).
Terapi Reperfusi
26
Kontraindikasi fibrinolitik
Keberhasilan resusitasi tidak dikontraindikasikan dengan terapi fibrinolitik. Akan
tetapi, pada keadaan yang tidak efektif dimana dapat terjadi peningkatan
perdarahan yang merugikan, pemberian fibrinolitik tidak diindikasikan.
28
Kegagalan fibrinolitik
Ditandai dengan berlanjutnya nyeri dada dan menetapnya ST elevasi. Komplikasi
berupa gagal jantung, aritmia lebih banyak terjadi, untuk itu rescue PTCA harus
dipertimbangkan. Jika tidak memungkinkan, sebaiknya fibrinolitik diulangi
dengan dosis yang sama (Fuster et al, 2011).
Primary PTCA
Primary PTCA terbukti memiliki keberhasilan membuka dan mempertahankan
patensi arteri koroner yang tersumbat lebih baik dibandingkan fibrinolitik. Namun
tindakan ini masih terbatas pada beberapa rumah sakit. Primary PTCA
dipertimbangkan sebagai alternatif tindakan reperfusi, tindakan ini tidak
dianjurkan jika pemberian fibrinolitik melebihi 60-90 menit.
pasien yang memiliki kontraindikasi absolut untuk tindakan fibrinolitik,
pasien dengan syok kardiogenik.
29
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Fuster, et all., 2011.The Heart Disease. Edisi ketiga belas. Mc Graw Hill
Publisher.
Guyton, A.C. dan Hall, J. E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
kesembilan. EGC. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2014. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi ketiga. Centra Communications.
Kumar, A. dan Cannon, C.P., 2009. Acute Coronary Syndrome: Diagnosis
and Management. Mayo Clinic 84(10): 917-938.
Rhee J.W., Sabatine S.M., Lily S.L., 2011. Acute Coronary Syndromes.
Dalam: Pathophysiology of Heart Diseases. Edisi kelima. Lippincott Williams &
Wilkins, Wolters Kluwer. Philadelphia: 161-189.
Steg, G., et all., 2012. ESC Guidelines for The Management of Acute
Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-Segmen Elevation.
European Heart Journal 33:2569-2619.
Thygesen, K., et all., 2007. Universal Definition of Myocardial infarction.
Circulation 116:2634-2653.