Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Hemiparese Post stroke

1. Pengertian

Stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala – gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian

tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Cooper., 2014).

Stroke atau yang dikenal juga dengan istilah Gangguan Peredaran

Darah Otak (GPDO), merupakan suatu sindrom yang diakibatkan oleh

adanya gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak yang

menimbulkan gangguan fungsional otak berupa deficit neurologic atau

kelumpuhan saraf (Dinata, dkk., 2013).

Hemiparese adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,

progresif cepat, berupa defisit neurologis fokal yang berlangsung selama

24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata –

mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non-traumatic

(Halim, 2016).

2. Etiologi

Hemiparese dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada

seluruh korteks piramidalis sesisi yang menimbulkan kelumpuhan Upper

Motor Neuron (UMN) pada belahan tubuh sisi kontralateral. Penyebab

8
9

kerusakan cortex cerebri satu sisi disebabkan oleh ischemic stroke dan

haemorrhagic stroke:

a. Stroke Ischemic, yaitu kurangnya aliran darah ke otak yang terjadi

akibat penyempitan atau penyumbatan lumen sehingga aliran darah

dan suplainya kesebagian otak tidak adekurat, serta selanjutnya akan

mengakibatkan perubahan-perubahan iskhemia otak

(Satyanegara,2014).

Ischemia adalah suatu kondsi hipoksia atau penurunan

oksigenasi ke jaringan otak dan akibat dari suplai darah yang jelek.

Stroke ischemia dapat dibagi menjadi dua kategori utama : ischemia

yang diakibatkan oleh trombosis dan ischemia yang diakibatkan oleh

embolus (Martin and Kessler, 2007).

Trombotis stroke adalah kondisi yang paling sering terjadi

sebagai akibat dari aterosklerosis. Pada aterosklerosis, lumen

(pembukaan) dari arteri menurun ukurannya sebagai akibat dari

adanya plak yang tertimbun di dalam dinding pembuluh darah.

Akibatnya, aliran darah melalui pembuluh darah berkurang, sehingga

membatasi jumlah oksigen yang mampu mencapai jaringan otak. Jika

deposit aterosklerosis, sepenuhnya menyumbat dinding pembuluh

darah, maka jaringan yang disuplai oleh arteri akan mengalami

kematian atau infark serebral. Infark serebral didefinisakan sebagai

kematian sebenarnya pada sebagian dari jumlah otak (Martin and

Kessler, 2007).
10

Embolic stroke sering berhubungan dengan penyakit jantung,

khususnya atrial fibrilasi, infark miokardial, atau penyakit valvular

(katup). Dalam stroke emboli, bekuan darah pecah menjadi intima,

atau lapisan bagian dalam arteri dan dibawa ke otak. Embolus dapat

tertimbun di pembuluh darah otak, menutup jalan, dan akibatnya

menyebabkan kematian atau infark jaringan otak. Kematian sel terjadi

dalam beberapa menit jika aliran darah berkurang hingga 20% atau

kutang karena sel tidak dapat mengasilkan energi. Sekali kematian

neuronal terjadi, maka sel-sel yang membentuk jaringan tidak

memiliki kesempatan untuk regenarisasi atau mengganti selnya sendiri

(Martin and Kessler, 2007).

b. Stroke Haemorrhage, yaitu pendarahan intraserebral yang

mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak sehingga terjadi

pendarahan ke jaringan (Satyanegara, 2014). Haemorrhge stroke

disebabkan oleh perdarahan intraserebral dan subarahnoid serta

malformasi arteriovenosa, sebagai akibat dari perdarahan abnormal

yang berasal dari pecahnya pembuluh darah otak. Insiden

haemorrhage intraserebral adalah rendah antara orang-orang yang

berumur kurang dari 45 tahun dan insidennya meningkat setelah usia

65 tahun. Penyebab yang sering terjadi pada haemorrhage

intraserebral spontan adalah malformasin pembuluh darah dan

perubahan integritas dari dinding pembuluh darah cerebral sebagai

akibat dari hipertensi dan penuaan (Martin and Kessler, 2007).


11

Haemorrhage subarachnoid adalah konsekuensi dari perdarahan

ke dalam ruan subrachnoid. Ruang subrachnoid terletak di bawah

membran arahnoid dan di atas pia meter. Aneurisma, merupakan

sebuah balin dari dinding pembuluh darah, dan malformasi pembuluh

darah merupakan penyebab utama dari haemorrhage subarachnoid.

Kondisi ini cenderung melemahkan pembuluh darah dan dapat

menyebabkan ruptur pembuluh darah. Sekitar 90% haemorrhage

subarachnoid disebabkan oleh berry aneunisma. Berry aneunisma

merupakan cacat bawaan dari arteri cerebral dimana secara abnormal

dinding pembuluh darah mengalami dilatasi pada befurkasi pembuluh

darah (Martin and Kessler, 2007).

Malformasi arteriovenosa merupakan anomali kongenital yang

mempengaruhi sirkulasi di otak. Pada malformasi arteriovenosa,

arteri dan vena berkomunikasi secara langsung tanpa kapiler darah

yang berhubungan. Dinding pembuluh darah menjadi dilatasi dan

membentuk massa di dalam otak. Kerusakan ini melemahkan dinding

pembuluh darah, dimana dapat meyebabkan ruptur dan stroke

(Martin and Kessler, 2007).

3. Manifestasi Klinis

Sebagian besar pasien dengan stroke (80%-90%) memiliki

beberapa tanda-tanda dan gejala motoric. Berupa deficit yang berat, yang

mungkin disebabkan oleh neglect motorik, apraksia, atau ataksia

visuomotor dan bukan karena kelemahan. Hemiparesis dengan kelemahan


12

sesisi pada tangan, kaki, bahu, dan pinggul adalah profil defisit motorik

yang paling sering terjadi (setidaknya dua pertiga kasus) (Cooper, 2014).

Untuk memahami manifestasi klinis yang terlihat pada seseorang

yang mengalami stroke, perlu untuk mengetahui struktur dan fungsi dari

berbagai bagian otak, serta sirkulasi dari otak. Karena distribusi sirkulasi

otak terbagi ke berbagai bagian korteks dan batang otak, penyumbatan

atau pendarahan di salah satu pembuluh darah menghasilkan temuan

klinis yang cukup dapat diprediksi. (Martin and Kessler, 2007).

Manifestasi klinis pasien stroke berdasarkan sirkulasi otak

(Martin and Kessler, 2007) :

a. Anterior Cerebral Artery Occlusion

Penyumbatan pada anterior cerebral artery paling jarang terjadi dan

paling sering disebabkan oleh embolus. Anterior cerebral artery

menyuplai batas superior lobus frontal dan parietal otak. Seorang

pasien dengan oklusi anterior cerebral artery akan menunjukkan tanda

dan gejala berupa:

1) Kelemahan kontralateral,

2) Hilangnya sensoris terutama pada ekstremitas bawah

3) Afasia

4) Inkontinensia

5) Gangguan ingatan dan perilaku


13

b. Middle Cerebral Artery Occlusion

Infark middle cerebral artery, merupakan jenis stroke paling

umum, yang dapat menyebabkan hilangnya sensoris kontralateral,

kelemahan pada wajah dan ekstremitas atas. Infark pada daerah

dominan hemisfer dapat menyebabkan afasia global dan homonymous

hemianopia, yang merupakan suatu kondisi di mana seseorang hanya

melihat satu sisi - kanan atau kiri - dari visual setiap mata. Pasien

mungkin juga mengalami kehilangan pandangan mata konjugat, yang

merupakan pengatur gerakan bola mata secara bersamaan.

c. Vertebrobasilar Artery Occlusion

Oklusi lengkap dari arteri vertebrobrasial seringkali berakibat

fatal karena melibatkan saraf kranial dengan tanda dan gejala berupa:

1) Diplopia (penglihatan ganda),

2) Disfagia (kesulitan menelan),

3) Dhysarthria (kesulitan menginformasikan kata sekunder karena

kelemahan pada lidah dan otot-otot wajah),

4) Deafness (ketulian), dan

5) Vertigo

Selain itu, infark ke daerah yang disuplai oleh distribusi

vaskular ini dapat menyebabkan ataksia, yang ditandai dengan

gerakan yang tidak terkoordinasi, defisit equilibrum, dan sakit kepala.

Penyumbatan arteri basilar dapat menyebabkan pasien

mengalami sindrom terkunci. pasien dengan tipe stroke ini memiliki


14

gangguan yang signifikan. Para pasien waspada dan berorientasi tetapi

tidak dapat bergerak atau berbicara karena kelemahan pada semua

grup otot. Gerakan mata adalah satu-satunya jenis gerakan aktif yang

memungkinkan dan dengan demikian menjadi sarana komunikasi

utama pasien.

d. Posterior Artery Occlusion

Arteri serebral posterior menyuplai lobus oksipital dan temporal.

Oklusi di arteri ini dapat menyebabkan:

1) Hilangnya sensoris kontralateral,

2) Rasa sakit,

3) Defisit memori,

4) Homonymous hemianopia,

5) Visual Agnosia (ketidakmampuan mengenali benda atau individu

yang familiar), dan

6) Cortical Blindness (ketidakmampuan untuk memproses informasi

visual yang masuk meskipun saraf optik tetap utuh)

4. Patofisiologi Gangguan Keseimbangan Post stroke

Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan cedera

pada otak melalui mekanisme penebalan dinding arteri serebral yang

menimbulkan penyempitan atau penyumbatan lumen sehingga aliran

darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adequat, serta selanjutnya

akan mengakibatkan perubahan-perubahan iskhemia pada otak. Hal ini

dapat menimbulkan nekrosis (disebut sebagai infark) pada sel-sel saraf.


15

Selain itu, pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya

darah ke jaringan (Satyanegara,2014).

Hal tersebut menyebabkan otak tidak mendapatkan suplai darah

secara normal dan glukosa serta oksigen dalam jumlah cukup sehingga

salah satu komponen dari susunan neuromuscular tidak menjalankan

tugas sebagaimana mestinya. Hal ini akan menimbulkan gangguan

gerakan volunter. Gangguan volunter itu dapat berupa kelumpuhan yaitu

hilangnya tenaga otot sehingga gerakan volunter sulit atau sama sekali

tidak bisa dilakukan akibat adanya lesi di susunan piramidalis dan

ekstrapiramisalis (Mardjono dan Sidharta, 2014).

Problematik penderita post stroke sangat kompleks dan individual,

namun ada problem dasar yang sama meskipun dalam derajat yang

berbeda. Problematik tersebut timbul akibat hilangnya atau terganggunya

kontrol (inhibisi) terhadap mekanisme refleks postural normal serta

beberapa refleks primitif lainnya. Mekanisme refleks yang normal terdiri

dari reaksi – reaksi tegak dan reaksi keseimbangan (Arnold, et al., 2015).

Reaksi tegak memungkinkan terjadinya pengaturan posisi kepala

terhadap tubuh dan ruang, posisi normal ekstremitas terhadap tubuh dan

memungkinkan terjadinya gerakan rotasi tubuh pada sumbunya dalam

aktivitas sehari – hari. Reaksi keseimbangan berfungsi untuk

mempertahankan atau mendapatkan kembali keseimbangan tubuh. Reaksi

ini sangat kompleks dan dapat berupad kontraksi otot (tanpa adanya

gerakan) atau berupa gerakan – gerakan reflektoris (Arnold, et al., 2015).


16

Gangguan fungsi keseimbangan terutama saat berdiri tegak,

merupakan akibat stroke yang paling berpengaruh pada faktor aktivitas

sejak kemampuan keseimbangan tubuh dibidang tumpu mengalami

gangguan dalam beradaptasi terhadap gerakan dan kondisi lingkungan.

Gangguan sensoris dan motorik post stroke mengakibatkan gangguan

keseimbangan termasuk kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan

lunak, serta gangguan kontrol motorik pada pasien post stroke

mengakibatkan hilangnya koordinasi, hilangnya kemampuan untuk

merasakan keseimbangan tubuh dan kemampuan untuk mempertahankan

postur (Susanti dan Irfan, 2010).

Perubahan adaptasi otot tubuh berupa penurunan kemampuan

panjang otot dan kekakuan mempengaruhi kontraksi otot dan

keseimbangan. Penurunan elastisitas jaringan lunak dan pemendekan otot

membatasi mobilitas sendi dipergelangan kaki mempengarui pasien post

stroke. Disfungsi sistem sensoris dan persepsi kognitif berpengaruh

negatif pada kemampuan keseimbangan duduk serta berdiri, saat fase akut

post stroke juga diikuti gangguan somatosensoris, labyrinthine, fungsi

visual, difesiensi propriosepsi dan kognitif. Salah satu penyebab

gangguan menapak juga karena hilangnya sensasi kulit pada area plantar

telapak kaki (Susanti dan Irfan, 2010).


17

B. Tinjauan Tentang Keseimbangan Berdiri

Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan

kesetimbangan tubuh ketika di tempatkan di berbagai posisi. Definisi menurut

O’Sullivan, keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan pusat

gravitasi pada bidang tumpu terutama ketika saat posisi tegak. Selain itu

menurut Ann Thomson, keseimbangan adalah kemampuan untuk

mempertahankan tubuh dalam posisi kesetimbangan maupun dalam keadaan

static atau dinamik, serta menggunakan aktivitas otot yang minimal

(Susanti dan Irfan, 2010).

Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh

dengan di dukung oleh sistem muskuloskleletal dan bidang tumpu.

Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan

membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efisien

(Susanti dan Irfan, 2010).

Keseimbangan terbagi atas dua kelompok, yaitu keseimbangan statis:

kemampuan tubuh untuk menjaga kesetimbangan pada posisi tetap (sewaktu

berdiri dengan satu kaki, berdiri diatas papan keseimbangan); keseimbangan

dinamis adalah kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan ketika

bergerak. Kualitas dari keseimbangan tubuh itu tergantung dari integritas

susunan saraf pusat, susunan saraf tepi, serta sistem musculoskeletal

(Susanti dan Irfan, 2010).


18

Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan

kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor

lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan

keseimbangan. Tujuan dari tubuh mempertahankan keseimbangan adalah:

menyanggah tubuh melawan gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk

mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang

tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak

(Susanti dan Irfan, 2010).

Komponen - komponen pengontrol keseimbangan pada tubuh manusia

adalah (Susanti dan Irfan, 2010) :

1. Sistem informasi sensoris

Sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan

somatosensoris. Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris.

Penglihatan juga merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan

dan tempat kita berada, penglihatan memegang peran penting untuk

mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita

berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal

dari obyek sesuai jarak pandang.

Dengan informasi visual, maka tubuh dapat menyesuaikan atau

bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga

memberikan kerja otot yang sinergy untuk mempertahankan

keseimbangan tubuh.
19

Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi

penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata.

Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada

sistem vestibular meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus.

Reseptor dari sistem sensoris ini disebut dengan sistem labyrinthine.

Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan posisi kepala dan percepatan

perubahan sudut. Melalui reflex vestibulooccular, mereka mengontrol

gerak mata, terutama ketika melihat obyek yang bergerak. Mereka

meneruskan pesan melalui ke delapan saraf kranialis ke nukleus

vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju

nukleus vestibular tetapi ke serebelum, retikular formasi, talamus dan

korteks serebri.

Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor

labyrinth, reticular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari

nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medula spinalis,

terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal,

kumparan otot pada leher dan otot-otot punggung (otot - otot postural).

Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu

mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot

postural.
20

Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta

persepsikognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui

kolumna dorsalis medulla spinalis. Sebagian besar masukan (input)

proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks

serebri melalui lemniskus medialis dan talamus.

Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian

bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar

sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi

lambat di sinovia dan legamentum. Impuls dari alat indra ini dari reseptor

raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses di korteks menjadi

kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang.

2. Respon otot-otot postural yang sinergis (Postural muscles response

synergies)

Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan

jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk

mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok

otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi

mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan

tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan pada tubuh dalam

berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot

postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik

tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh.


21

3. Kekuatan otot (Muscle Strength)

Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot

menahan beban baik berupa beban eksternal (eksternal force) maupun

beban internal (internal force). Kekuatan otot sangat berhubungan

dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem

saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi. Sehingga semakin

banyak serabut otot yang teraktifasi, maka semakin besar pula kekuatan

yang dihasilkan otot tersebut.

Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk

mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar.

Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot

untuk melawan gaya garvitasi serta beban eksternal lainnya yang secara

terus menerus mempengaruhi posisi tubuh.

4. Adaptive systems

Kemampuan adaptasi akan memodifikasi input sensoris dan keluaran

motoric (output) ketika terjadi perubahan tempat sesuai dengan

karakteristik lingkungan.

5. Lingkup gerak sendi (Joint range of motion)

Kemampuan sendi untuk membantu gerak tubuh dan mengarahkan

gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang

tinggi.
22

Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan berdiri pada manusia

yakni (Susanti dan Irfan, 2010) :

1. Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG).

Pusat gravitasi terdapat pada semua obyek, pada benda, pusat gravitasi

terletak tepat di tengah benda tersebut. Pada manusia, pusat gravitasi

berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi

manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang diantara depan

dan belakang vertebra sakrum kedua.

2. Garis Gravitasi (Line of Gravity-LOG).

Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertikal

melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis

gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu adalah untuk menentukan

derajat stabilitas tubuh.

3. Bidang Tumpu (Base of Support-BOS).

Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan

dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang

tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Semakin besar bidang tumpu,

semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih

stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu

dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi. Contoh orang

posisi berdiri tegak akan lebih mudah goyah di banding dengan posisi

berjongkok.
23

C. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi

1. Motor Relearning Program (MRP)

a. Pengertian Motor Relearning Program

Motor Relearning Program (MRP) pertama kali dikembangkan

oleh Janet H. Carr dan Roberta Shepherd, yang merupakan dua orang

fisioterapis Australia pada tahun 1980-an. MRP menjadi suatu teknik

pendekatan stroke yang terpopuler di Australia pada saat ini

disamping pendekatan Bobath. MRP juga memberikan pendekatan

atau terapi pada penderita stroke (Susanti dan Irfan, 2010).

Asumsi utama tentang kontrol motorik berdasarkan model ini

adalah: peningkatan kemampuan motorik seperti berjalan, meraih dan

berdiri memerlukan proses belajar yang sama dengan orang normal

(pasien memerlukan pelatihan, umpan balik, tujuan); kontrol motorik

yang saling berhubungan dengan antisipasi, persiapan dan gerakan

yang dibentuk; kontrol dari gerakan motorik yang spesifik dapat

semakin meningkat dengan di dukung oleh lingkungan yang

bervariasi dan input sensoris yang mempengaruhi gerakan

(Susanti dan Irfan, 2010).

Re-learning yang ada pada program ini merupakan latihan

keterampilan yang sudah dimiliki pasien stroke yang akan dibantu

oleh fisioterapis. Para terapis akan mengarahkan dan menjelaskan

latihan-latihan yang akan dilakukan pasien stroke. Oleh karena itu

MRP membutuhkan partisipasi aktif dari pasien karena MRP


24

melibatkan pembelajaran kembali (re-learning) aktivitas fungsional

yang sangat bermanfaat bagi pasien (Susanti dan Irfan, 2010).

b. Konsep Motor Relearning Program

Efektivitas dari MRP bergantung dari kemampuan fisioterapi

untuk (Bhalerao, 2010) :

1) Mengetahui perkembangan ilmu gerak;

2) Menganalisa kemampuan motorik pasien;

3) Kemampuan untuk menjelaskan kepada pasien dengan jelas dan

mudah untuk dimengerti;

4) Mengawasi kemampuan pasien serta memberikan gambaran data

yang akurat;

5) Melakukan re-evaluasi pada setiap sesi kemampuan pasien dan

efektivitas terapi yang telah dilakukannya;

6) Mengetahui tingkat kemampuan pasien;

7) Menyediakan lingkungan yang positif bagi pasien.

MRP terdiri dari tujuh sesi yang mewakili fungsi penting (tugas

motoric) dari kehidupan sehari – hari yang dikelompokkan menjadi

(Bhalerao, 2010) :

1) Fungsi eskterimas atas;

2) Fungsi orofasial;

3) Duduk di tepi tempat tidur;

4) Keseimbangan duduk;

5) Posisi duduk ke berdiri;


25

6) Keseimbangan berdiri; dan

7) Berjalan.

Setiap sesi terdiri dari berbagai macam pola gerak yang

mengacu kepada empat tahap (tabel) di MRP dan didasari oleh

aktivitas normal termasuk komponen gerakkan yang paling utama.

Terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam menggunakan

metode MRP ini, yaitu (Susanti dan Irfan, 2010) :

1) Kemampuan motorik dilatih secara komponen atau secara

keseluruhan.

Pada umumnya, pasien – pasien pada tahap awal tidak dapat

latihan langsung secara keseluruhan, sehingga perlu dilakukan

latihan gerakan yang terpisah (latihan perkomponen terlebih

dahulu).

2) Teknik

Penjelasan, demonstrasi dan arahan manual akan membantu

pasien untuk mengerti tujuan latihan yang akan dijalaninya.

3) Metode Untuk Peningkatan

Ketika pasien sudah menguasai gerak – gerakan, pasien

dilatih keterampilan yang sama, tetapi dengan kondisi lingkungan

yang berbeda sehingga pasien terbiasa dan beradaptasi dengan

semua kondisi.
26

Tabel 2.1
Empat Tahapan di MRP
Step 1 Analisa gerakan
Pengamatan
Perbandingan
Analisa
Step 2 Latihan untuk komponen yang hilang
Penjelasan identifikasi dari tujuan
Instruksi
Pelatihan + umpan balik verbal dan visual + petunjuk manual
Step 3 Pelatihan gerakan
Penjelasan identifikasi dari tujuan
Instruksi
Pelatihan + umpan balik verbal dan visual + petunjuk manual
Re-evaluasi
Melatih fleksibilitas
Step 4 Perpindahan dari latihan
Kesempatan untuk berlatih sesuai aktivitas
Konsistensi dari latihan
Mengorgnisasikan untuk memonitor latihannya sendiri
Keterlibatan keluarga dan orang terdekat
Sumber : Susanti dan Irfan, 2010

c. Prosedur Pelaksaan Motor Relearning Program

1) Bentuk Analisa

Analisa berdiri meliputi pengamatan keseimbangan pasien

pada posisi berdiri diam, mengamati kemampuan pasien untuk

menyesuaikan diri saat eksremitas, kepala dan tubuh bergerak

melakukan aktivitas (Susanti dan Irfan, 2010).


27

Gerakan kompensasi yang sering ditemukan pada pasien

adalah (Susanti dan Irfan, 2010) :

a) Dasar tumpuan yang terlalu lebar

b) Gerakan yang disadari terbatas

c) Pasien menyeret kakinya agar tubuh dapat seimbang

d) Pasien mengambil langkah atau bergerak terlalu awal

dibanding normal

e) Panggul pasien fleksi (seharusnya pergelangan kaki

dorsofleksi) agar bisa bergerak ke depan dan menggerakkan

tubuh agar bisa bergerak ke samping

f) Menggunakan lengan untuk mendukung posisi berdiri dan

meminimalisir efek gravitasi.

2) Langkah 2 dan 3 latihan keseimbangan Berdiri

Berdiri pada permukaan yang datar, tangan berada di sisi

tubuh, fisioterapis mengoreksi pelvis, kaki terbuka sedikit,

mencegah lutut fleksi dan pandangan lurus kedepan

(Susanti dan Irfan, 2010).

a) Gerakan kepala dan trunk :

(1) Berdiri dengan kaki terbuka, melihat keatas langit-langit

dan kembali lagi melihat ke depan.

(2) Berdiri dengan kaki terbuka, menolehkan kepala dan juga

tubuh kebelakang, kembali ke mid posisi, ulangi dengan

melihat pada sisi yang lain


28

b) Gerakan meraih : meraih ke depan , ke samping (samping

kanan dan kiri), kebelakang, kembali ke mid posisi. Terapis

membantu pasien memfleksikan sholder ke depan pada area

yang lemah, satu tangan di bagian elbow dan satu lagi di

bagian wrist.

c) Latihan keseimbangan dengan kedua kaki dirapatkan.

Memberikan instruksi yang jelas kepada pasien untuk berdiri

dengan benar, pastikan pasien dalam keadaan stabil, lalu

minta pasien untuk melebarkan dan merapatkan kedua

kakinya dengan keadaan membuka mata, dan selanjutnya

dengan posisi menutup mata .

d) Berdiri dengan mengangkat 1 kaki secara bergantian.

3) Langkah 4 mengaplikasikan latihan-latihan yang telah

dilakukan dalam akivitas sehari-hari (Susanti dan Irfan, 2010).

d. Efek Terapeutik Motor Relearning Program

Dalam sebuah studi penelitian yang dilakukan oleh Gajanan V

Bhalerao, et al, pada tahun 2010 berjudul “Comparison of Two

Physiotherapy Approaches In Acute Stroke Rehabilitation: Motor

Relearning Program vs Bobath Approach” menunjukkan bahwa

kelompok yang mendapatkan intervensi MRP menunjukkan hasil

terapi yang lebih baik. Kelompok yang memperoleh intervensi MRP

menunjukkan kemampuan untuk beraktivitas sehari – hari dan

melakukan kegiatan fungsional lebih baik. Konsep dari penerapan


29

MRP yang berfokus latihan yang terkait pada aktivitas harian pasien

menunjukkan hasil peningkatan kemampuan keseimbangan dan

ambulasi dari pasien post stroke (Bhalerao, 2010).

2. Core Stability Exercise

a. Pengertian

Core stability exercise adalah latihan yang efektif dari otot-otot

yang menstabilkan Lumbo-Pelvic–Hip complex, dan juga

menstabilkan shoulder girdle. Core stabilization memungkinkan

untuk mempertahankan bagian tengah yang kaku tanpa kekuatan lain

seperti gravitasi yang mempengaruhi gerakan yang diinginkan

(Lawrence, 2011).

Core stability exercise fokus pada pengetahuan untuk dapat dan

mengontrol kontraksi submaximal pada local stabilizers, diikuti

dengan perubahan secara progressive pada static control dan pelvic

sementara peningkatan beban (berubah posisi dari terlentang ke posisi

duduk/berdiri) dan specific task yang terkait dengan latihan gerakan

duduk ke berdiri (Arnold, et al., 2015).

b. Konsep Core Stability Exercise

1) Manuver Drawing In

Manuver drawing in berfungsi untuk meningkatkan tekanan

intra abdominal dengan menggerakkan dinding ke arah dalam.

Oleh sebab itu, maneuver drawing in direkomendasikan untuk

latihan stabilisasi (Kisner and Colby, 2013).


30

2) Abdominal Bracing

Abdominal Bracing terjadi dengan menggunakan abdominal

dan secara aktif mengembangkan kearah lateral disekitar

pinggang. Tidak ada gerakan kepala atau flexi trunk, tidak ada

elevasi lower costa, tidak ada protruksi abdomen, dan tidak ada

tekanan pada kaki. Pasien harus mampu mempertahankan posisi

brace sambil bernafas secara rilex. Teknik ini dianggap sebagai

metode stabilisasi spine selama beberapa tahun tetapi hanya

mengaktivasi otot oblique abdominal secara konsisten (Kisner and

Colby, 2013).

3) Supine Bridging

Latihan ini membutuhkan stabilisasi pada otot fleksor dan

otot ekstensor trunk bersama – sama dengan penguatan otot

gluteus maximus dan quadriceps dalam persiapan untuk aktivitas

mengangkat (Kisnes and Colby, 2013)

4) Abdominal Curl (Slow Eccentric Curl)

Saat melatih otot abdominal, latihan harus dilakukan

dengan lambat dan terkendali guna mengaktifkan fungsi stabilisasi

otot abdominal. Ketika latihan, tulang belakang tidak boleh

semakin lordosis. Hal ini mengindikasikan kelemahan otot

abdominal dan berakibat pada terangkatnya trunk karena hanya

otot flexor pinggul saja yang bekerja (Kisner dan Colby, 2013).
31

c. Prosedur Pelaksanaan Core Stability Exercise

1) Manuver Drawing In

a) Posisi pasien hook lying, lutut ditekuk 70o hingga 90o, dan kaki

diletakkan pada matras latihan

b) Fisioterapis mempalpasi otot transversus abdominis tepat pada

bagian distal spina iliaca anterior superior (SIAS) dan lateral

dari rektus abdominalis. Saat otot oblique internal

berkontraksi, penonjolan otot terasa. Ketika otot transversus

abdominis berkontraksi, tegangan yang datar terasa.

c) Minta pasien untuk memposisikan tulang belakang secara

netral dan mempertahankannya sambil melakukan drawing in

dengan lembut dan mengkontraksikan otot abdominal.

d) Instruksikan pada pasien untuk menarik dan menghembuskan

nafas, kemudian secara perlahan umbilicus ke arah tulang

belakang untuk menarik bagian abdominal

(Kisner and Colby, 2013).

2) Abdominal Bracing

a) Posisi pasien sama dengan posisi maneuver drawing in

b) Instruksikan kepada pasien untuk mengkontraksikan otot

abdominal secara aktif dan mengembangkan abdomen ke arah

lateral dan disekitar pinggang. Perhatikan agar tidak terjadi


32

fleksi kepala dan trunk, tidak terjadi elevasi costa bawah, dan

tidak ada tekanan pada kaki.

c) Minta pasien untuk mempertahankan posisi sambil menarik

nafas dengan rilex (Kisner and Colby, 2013).

3) Supine Bridging

a) Posisi pasien berbaring terlentang, wajah menghadap ke atas

dengan kedua lengan berada di samping tubuh.

b) Tekuk lutut dan kaki dilantai

c) Instruksikan pada pasien untuk mengkontraksikan otot

abdomen dan secara perlahan – lahan dorong pinggul dan

bokong ke atas

d) Usahakan agar pinggul sejajar dengan paha dan dada pasien.

Minta agar pasien tetap mempertahankan kontraksi perut

secara konstan (Kisner and Colby, 2013).

4) Abdominal Curl (Slow Eccentric Curl)

a) Posisikan pasien look lying

b) Instruksikan pada pasien untuk menggerakkan tubuh ke depan.

c) Rentangkan tangan pasien ke depan sehingga telapak tangan

berada diatas lutut

d) Minta pasien untuk mengkontraksikan otot abdomen dan

mempertahankan posisi ini (Kisner and Colby, 2013).

d. Efek Terapeutik Core Stability Exercise


33

Meningkatkan core stability dapat memiliki efek knock-on yang

besar. Ini dapat meningkatkan kekuatan, kelincahan, dan

keseimbangan dalam peningkatan kekuatan dan daya tahan pada otot

core yang dimana dapat membantu memperbaiki postur tubuh.

Beberapa manfaat yang terkait dengan latihan core stability meliputi

(Lawrence, 2011) :

a) Postur tubuh yang lebih baik

b) Kelincahan dan kemampuan yang lebih baik untuk mengubah

arah

c) Peningkatan keseimbangan dan koordinasi

d) Peningkatan daya dan kecepatan.

3. Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)

a. Pengertian

Dr. Herman Kabat, memiliki latar belakang dibidang

neurophysiology membuat sebuah konsep PNF therapeutic approach

sekitar tahun 1940an. Dia bersama dengan dua orang fisioterapis,

Margaret Knott pada 1947 dan Dorothy Voss pada 1953. Mereka

mengembangkan teknik intervensi dan prosedur untuk meningkatkan

motor fuction (Martin and Kessler, 2007).

Diawal pengembangan, PNF fokus pada konsep kunci yakni

menggunakan tahanan, stretch reflexes, approximasi, traksi, dan

manual contact untuk memfasilitasi gerakan. Tujuan adalah agar

supaya pasien lebih effisien dalam motor function dan mandiri dalam
34

aktivitas sehari – hari. PNF didasari oleh pemahaman tentang system

saraf pusat, seiring berjalannya waktu berkembang dan menjadi

metode viable treatment. Kabat, Knott, dan Voss terus melakukan

intervensi pada pasien, mempelajari literature dan menyaring

pendekatan yang cocok selama beberapa tahun. Saat ini, klinisi dan

peneliti terus melanjutkan penelitian terkait PNF dan terus

mengembangkan dan meningkatkannya (Martin and Kessler, 2007).

b. Konsep

Motor learning ditingkatkan melalui pengaplikasikan

keterampilan pada sepuluh komponen esensial dari PNF. Konsep

tersebut yaitu (Martin and Kessler, 2007) :

1) Manual Contact

Peletakan tangan pada kulit menstimulasi pressure reseptor and

memberikan informasi pada pasien tentang arah gerakan yang

diinginkan. Sebagai contoh untuk memfasilitasi gerakan fleksi

shoulder, salah satu atau kedua tangan terapis diletakkan di bagian

anterior dan superior dari ektremitas atas; untuk memfasilitasi

fleksi trunk, tangan terapis berada di bagian anterior dari trunk.

Lumbrical grip ditujukan untuk mengontrol gerakan dan

mengoptimalkan tahanan, khususnya pada gerakan rotasi


35

mencegah tekanan yang berlebih atau menciptakan

ketidaknyamanan.

Gambar 2.1
Lumbrical Grip
Sumber : Martin and Kessler, 2007

2) Body Position dan Body Mechanics

Gerakan yang diberikan oleh terapis yang diikuti oleh pasien

memberikan efek yang esensial untuk menstimulasi. Pelvis,

shoulder, lengan dan tangan dari praktisi harus berada pada posisi

yang sejajar dengan gerakan. Ketika posisi ini tidak

memungkinkan, lengan dan tangan dari praktisi harus seirama

dengan gerakan. Tahanan diberikan menggunakan berat badan

praktisi sementara tangan dan lengan secara perlahan rileks.

3) Stretch

Kabat mengatakan bahwa stretch reflex dapat dimanfaatkan untuk

memfasilitasi aktivitas otot. Stretch facilitation pada otot akan

membuat otot memanjang, otot menjadi sigernis pada sendi yang

sama, dan otot – otot lain yang terkait. Sementara dilakukan,

stretch akan meningkatkan motor respond, prolonged stretch yang

dimana dapat berpotensi untuk mengurangi aktivitas otot namun

dengan pengawasan dari terapis.

4) Manual Resistance

Tahanan di definiskan oleh Sullivan dan Markos (1995) sebagai

tekanan dari dalam atau luar tubuh yang menyebabkan sulit untuk
36

bergerak. Terkait dengan kekakuan pada jaringan yang terlibat,

kepanjangan, dan pengaruh neurologi menentukan tahanan dari

dalam pada pasien saling terkait selama gerakan. Dalam konteks

PNF, tahanan dimaksudkan sebagai facilitation, yang dimana

untuk mengurangi internal resistance atau untuk melatih target

otot tertentu dengan meningkatkan tahanan dari luar.

5) Irradiation

Irradiation merupakan peristiwa neurophysiologic didefinisikan

sebagai penyebaran aktivitas otot sebagai respon atas tahanan

yang diberikan. PNF dimanfaatkan dalam proses irradiation untuk

meningkatkan aktivitas muscular dari otot agonis atau untuk

menghambat perlawanan dari group otot antagonis.

6) Joint Facilitation

Traksi dan reseptor stimulasi approximasi terkait sendi dan

struktur particular. Traksi menyebabkan pemanjangan pada

segment tubuh yang dimana berfungsi untuk mengurangi nyeri

dan meningkatkan gerakan.

7) Timing of Movement

Secara normal, aktivitas otot akan menyebabkan gerakan yang

seirama. Sebagian besar waktu yang digunakan untuk gerakan

fungsional dipengaruhi oleh gerakan pada bagian distal tubuh

seperti mengambil pulpen yang dimana gerakan diawali dengan

menggenggam kemudian diikuti dengan pergerakan elbow


37

kemudian shoulder. Kekuatan otot dan luas gerak sendi juga

mempengaruhi gerakan fungsional secara spesifik.

8) Pattern of Movement

PNF dikategorikan sebaga pola gerak diagonal yang unik. Kabat

dan Knottt mengkombinasikan gerakan yang saling terkait untuk

membentuk pola PNF. Selanjutnya, karena bentuk otot adalah

spiral dan diagonal pada struktur dan fungsi, maka kebanyakan

gerakan tidak cocok dengan cardinas planes.

9) Visual Cues

Visual cues dapat membantu kontrol pasien dan koreksi postur

serta gerakan. Gerak mata dapat mempengaruhi gerak kepala dan

posisi tubuh.

10) Verbal Input

Komunikasi verbal dimanfaatkan untuk menyakinkan pasien

terkait informasi yang diberikan. Instruksi yang diberikan harus

jelas terkait arah gerakan. PNF menggunakan pengetahuan efek

dari volume suara dan intonasi untuk mendapatkan respond.

Terapis meletakkan tangan pada tubuh pasien sesuai dengan

arah gerak diagonal dengan menggunakan lumbrical grip. Posisi

terapis harus nyaman dan tidak mengganggu pola diagonal dari

gerakan. Posisi pasien harus disesuaikan dengan segmen tubuh yang


38

ingin diterapi sehingga tidak mengganggu pola diagonal dari arah

gerakan (Martin and Kessler, 2007).

Ada dua pola diagonal yang diberikan kepada pasien yakni

diagonal 1 (D1) dan diagonal 2 (D2). Pola extremitas diberi nama

sesuai dengan arah gerakan yang terjadi pada proximal joint dan dan

mewakili hasil gerakan dari pola yang dilakukan (Martin and Kessler,

2007).

1) Upper-Extremity Pattern

Pola flexi UE D1 pada shoulder terdiri dari

flexi/adduksi/external rotasi. Posisi awal dimulai dengan lengan

dalam posisi ekstensi disisi luar kurang lebih seukuran satu kepala

tangan dari hip. Shoulder dalam posisi extensi/abduksi/internal

rotasi dengan lengan bawah posisi pronasi dan wrist posisi ulnar

deviasi. Terapis memberi instuksi kepada pasien “genggam tangan

saya dan angkat keatas”. Instruksi ini membantu terapis untuk

memberi sugesti kepada pasien untuk berfikir tentang meraih

keatas dan membawanya ke arah yang berlawanan dari bahu.

Tabel 2.2
Upper-Extremity D1 Flexi
Flexi/Abduksi/Eksternal Rotasi
Sendi Posisi Awal Posisi Akhir
Scapula Depresi Posterior Elevasi Anterior
Extensi/Abduksi/Internal Fleksi/Abduksi/Eksternal
Shoulder
Rotasi Rotasi
Elbow Extensi Extensi
Forearm Pronasi Supinasi
39

Wrist Extensi/Ulnar Deviasi Fleksi/Radial Deviasi


Figers Extensi Fleksi
Sumber : Martin and Kessler, 2007

Pola ekstensi UE D1 merupakan kebalikan dari pola fleksi

yang dimana terdiri dari ekstensi/abduksi/internal rotasi. Posisi

awal pasien yakni fleksi lengan dengan elbow menyilang. Forearm

dalam posisi pronasi dengan wrist dan finger dalam posisi fleksi

dan wrist ulnar deviasi. Terapis memberi instruksi berupa “bukan

tangan dan dorong kebawah”.

Tabel 2.3
Upper-Extremity D1 Ekstensi
Ekstensi/Abduksi/Internal Rotasi

Sendi Posisi Awal Posisi Akhir


Scapula Elevasi Anterior Depresi Posterior
Fleksi/Abduksi/Eksternal Extensi/Abduksi/Internal
Shoulder
Rotasi Rotasi
Elbow Extensi Extensi
Forearm Supinasi Pronasi
Wrist Fleksi/Radial Deviasi Extensi/Ulnar Deviasi
Figers Fleksi Extensi
Sumber : Martin and Kessler, 2007

Pola kedua dari UE (D2) terdiri dari fleksi/abduksi/external

rotasi. Lengan dimulai dengan posisi ekstensi elbow dengan posisi

menyilang dari tubuh, forearm pronasi, wrist dan finger fleksi, dan
40

wrist ulnar deviasi. Terapis memberikan instruksi kepada pasien

“genggam tangan saya, dan bawa kearah menyilang”.

Tabel 2.4
Upper-Extremity D2 Fleksi
Ekstensi/Abduksi/Eksternal Rotasi
Sendi Posisi Awal Posisi Akhir
Scapula Anterior Depression Elevasi Posterior
Extensi/Abduksi/Internal Fleksi/Abduksi/Eksternal
Shoulder
Rotasi Rotasi
Elbow Extensi Extensi
Forearm Supinasi Pronasi
Wrist Fleksi/Ulnar Deviasi Fleksi/Radial Deviasi
Figers Fleksi Ekstensi
Sumber : Martin and Kessler, 2007

Untuk pola D2 Ekstensi, cukup dengan mengingat pola dari

D2 Fleksi yang dimana pola D2 Ekstensi merupakan kebalikan dari

D2 Fleksi.

Tabel 2.5
Upper-Extremiry D2 Fleksi
Ekstensi/Abduksi/Eksternal Rotasi

Sendi Posisi Awal Posisi Akhir


Scapula Anterior Depression Elevasi Posterior
Extensi/Abduksi/Internal Fleksi/Abduksi/Eksternal
Shoulder
Rotasi Rotasi
Elbow Extensi Extensi
Forearm Supinasi Pronasi
Wrist Fleksi/Ulnar Deviasi Fleksi/Radial Deviasi
Figers Fleksi Ekstensi
41

Sumber : Martin and Kessler, 2007

Gambar 2.2
Pola Upper-Extremity
Sumber : Martin and Kessler, 2007

2) Lower-Extremity Pattern

Pola pada Lower-extremity (LE) akan di gambarkan dalam

posisi supine lying namun saling terkait untuk gerakan fungsional

duduk dan berdiri. Pola diagonal (D1) dari LE dimulai dengan

gerakan dari hip yakni fleksi/abduksi/ekternal rotasi. Gerakan

dimulai dengan posisi tungkai ekstensi sedikit keluar selebar bahu.


42

Kemudian kaki abduksi dan internal rotasi, kaki plantar fleksi dan

eversi. Terapis memberi instruksi “tarik kaki keatas dan bawa

secara menyilang”

Tabel 2.6
Lower-Extremiry D1 Fleksi
Flexi/Abduksi/Eksternal Rotasi
Sendi Posisi Awal Posisi Akhir
Pelvic Posterior Depression Anterior Elevation
Extensi/Abduksi/Internal Fleksi/Abduksi/Eksternal
Hip
Rotasi Rotasi
Knee Flexi Extensi
Ankle Plantarflexi/Eversi Dorsofleksi/Inversi
Sumber : Martin and Kessler, 2007

Pola selanjutnya yaitu D1 ekstensi dimulai dengan posisi hip

ekstensi/abduksi/internal rotasi. Gerakan dimulai dengan hip dan

knee dalam posisi fleksi dengan eksternal rotasi pada hip. Kaki

dorsofleksi dan inversi. Terapis memberi intruksi “dorong kaki

kebawah dan kearah luar”.

Tabel 2.7
Lower-Extremiry D1 Extensi
Ekstensi/Abduksi/Internal Rotasi
Sendi Posisi Awal Posisi Akhir
Pelvic Anterior Elevation Posterior Depression
Fleksi/Adduksi/Eksternal Extensi/Abduksi/Internal
Hip
Rotasi Rotasi
Knee Flexi Extensi
Ankle Dorsofleksi/Inversi Plantarflexi/Eversi
Sumber : Martin and Kessler, 2007
43

Untuk pola dari gerakan D2 Fleksi dimulai dengan hip

fleksi/abduksi/internal rotasi. Posisi awal hip dan knee dalam

posisi ekstensi dengan eksternal rotasi dari hip. Kaki posisi plantar

fleksi dan inversi. Terapis memberi instruksi “Tarik kaki anda ke

atas dan bawa kearah luar”.

Tabel 2.8
Lower-Extremiry D2 Flexi
Flexi/Abduksi/Internal Rotasi
Sendi Posisi Awal Posisi Akhir
Pelvic Posterior Elevation Anterior Depression
Extensi/Abduksi/Internal Fleksi/Adduksi/Eksternal
Hip
Rotasi Rotasi
Knee Extensi Flexi
Ankle Plantarflexi/Inversi Dorsofleksi/Eversi
Sumber : Martin and Kessler, 2007

Pola dari LE D2 Ekstensi dengan posisi

ekstensi/abduksi/eksternal rotasi. Gerakan dimulai dengan hip dan

knee fleksi dan hip abduksi. Hip kearah internal rotasi tetapi

dengan menghindari stress pada lutut. Terapis memberi instruksi

“dorong kaki ke bawah dan kearah dalam”.

Tabel 2.9
Lower-Extremiry D2 Ekstensi
Ekstensi/Adduksi/Eksternal Rotasi
Sendi Posisi Awal Posisi Akhir
Pelvic Posterior Elevation Anterior Depression
Fleksi/Abduksi/Internal Ekstensi/Adduksi/Eksternal
Hip
Rotasi Rotasi
Knee Fleksi Extensi
Ankle Dorsofleksi/Eversi Plantarflexi/Inversi
Sumber : Martin and Kessler, 2007

c. Prosedur (Martin and Kessler, 2007)


44

1) Upper-Extremity D1 Flexion

a) Terapis berdiri pada posisi diagonal dan sejajar dengan kaki

pasien. Tangan kanan terapis menggenggam telapak tangan

kiri pasien. Tangan kiri terapis ditempatkan di approximal

elbow. Terapis memberikan instruksi “angkat tangan dan

bawah ke arah yang menyilang”

b) Selama pasien menarik upper extremity ke arah menyilang

dari tubuh, terapis mengingatkan pola diagonal memutar.

c) Pasien menyelesaikan gerakan sesuai arahan terapis.

2) Upper-Extremity D1 Extension

a) Terapis berdiri di sisi diagonal dan menghadap ke pasien.

Terapis memberi instruksi “bawa tangan kebawah, dorong,

dan bawa kea rah keluar”. Pasien dalam kondisi ekstensi wrist

dan finger serta posisi pronasi.

b) Terapis menggunakan berat badan dan posisi untuk mengatur

arah gerakan. Posisi tangan terapis berada di dorsal

henad/finger dan bagian distal humerus pasien

c) Terapis berdiri di sisi pasien, dan memastikan gerakan tetap

sesuai dengan pola. Terapis memberi tahanan pada saat

ekstensi wrist

3) Upper-Extremity D2 Flexion

a) Terapis berdiri disamping pasien dengan posisi diagonal dan

menghadap ke pasien. Tangan kanan terapis memegang bagian


45

dorsal tangan pasien dan stabilisasi pada elbow. Terapis

memberi instruksi “buka tangan anda, angkat keatas dan

kearah luar”

b) Sementara pasien melakukan gerakan, terapis mengikuti

gerakan yang dilakukan oleh pasien dan memberi tahanan

pada abduksi thumb

c) Terapis berada di samping pasien untuk memastikan gerakan

pasien berjalan dengan benar

4) Upper-Extremity D2 Ekstensi

a) Terapis berdiri disamping pasien dengan posisi diagonal dan

menghadap ke pasien. Tangan terapis menggenggam telapak

tangan pasien dan tangan yang lainnya memberikan stabilisasi

pada elbow. Terapis memberi instruksi “genggam tangan saya

dan tarik kebawah dan bawa kearah menyilang”. Kemudian

pasien melakukan fleksi finger untuk menggenggam tangan

terapis, flexi wrist, dan pronasi.

b) Selama pasien ekstensi dan adduksi, megikuti gerakan.

Mengarahkan kebawah dan membuka telapak tangan.

c) Pasien menyelesaikan gerakan secara utuh

5) Lower-Extremity D1 Fleksi

a) Terapis berdiri disamping pasien sesuai dengan pola diagonal

dan menghadap ke pasien. Tangan kiri terapis berada di bagian

dorsomedial foot dan tangan kanan berada di anteromedial


46

paha. Terapis memberi instruksi “Tarik kaki keatas, dan

arahkan menyilang”. Terapis memberi bantuan ankle

dorsofleksi dan inversi, kemudian hip fleksi dengan adduksi

dan medial rotasi.

b) Selama gerakan, terapis mengontrol arah gerakan agar tetap

sesuai dengan pola.

c) Pasien menyelesaikan pola gerakan. Terapis menggunakan

berat badan untuk memberikan tahanan.

6) Lower-Extremity D1 Ekstensi

a) Tangan kiri terapis berada pada telapak kaki pasien dan

tangan kanan berada di posterolateral paha. Ketika pasien

diminta untuk lakukan “dorong ke bawah dan arahkan keluar”

kaki pasien plantar flexi.

b) Tangan kiri pasien memberi fiksasi atau tahanan pada telapak

kaki pasien melakukan plantarfleksi dan eversi

c) Pasien menyelesaikan pola gerakan, terapis menggunakan

berat badan untuk memberikan tahanan. Gerakan akhir yang

dihasilkan yaitu ektensi hip.

7) Lower-Extremity D2 Fleksi

a) Tangan kiri pasien memegang telapak kaki pasien dengan

posisi dorsolateral dan paha bagian anterolateral dengan

tangan kanan. Terapis memberi instruksi “angkat kakinya,


47

bawa kakinya kearah luar” pastikan pasien memberikan

tahanan yang cukup.

b) Terapis berada disisi pasien dan menggunakan berat badannya

sebagai tahanan. Posisi tangan pasien juga diperlukan untuk

memastikan pola gerakan.

c) Pasien menyelesaikan pola gerakan

8) Lower-Extremity D2 Ekstensi

a) Tangan kiri pasien berada pada bagian medial dan plantar,

sedang tangan kiri berada dibagian posterior dari paha. Terapis

memberi instruksi “dorong tangan saya”

b) Perlu untuk diperhatikan pola dari gerakan pergelangan dan

rotasi hip. Terapis menggunakan berat badannya untuk

mengendalikan arah gerakan.

c) Pasien menyelesaikan pola gerakan.

d. Efek Teraputik Proprioceptive Neuromuscular Facilitation

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vishal Sharma dan

Jaskirat Kaur (2017) berjudul effect of core strengthening with pelvic

proprioceptive neuromuscular facilitation on trunk, balance, gait, and

function in chronic stroke menunjukkan bahwa pnf dengan konsep

fasilitasi neuromuscular dengan pengaplikasian pola gerak dan


48

tahanan maximal memberikan adanya pengaruh untuk meningkatkan

kontrol trunk, gait, dan keseimbangan (Sharma, 2017).

Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Shinde dan Ganvir

(2014) juga melakukan evaluasi dari penerapan PNF pada pasien post

stroke. Hasil yang ditemukan terjadinya perubahan yang signifikan

terhadap perbaikan keseimbangan dan performa dari trunk pada

pasien post stroke (Sharma, 2017).

D. Tinjauan Tentang Berg Balance Scale

1. Pengertian

Berg Balance Scale (BBS) dikembangkan untuk mengukur

keseimbangan dan kemampuan dan (atau ketidakmampuan) dengan

gangguan fungsi keseimbangan secara objektif melalui penilaian kinerja

dari aktivitas fungsional (seperti duduk, berdiri, berpindah tempat) untuk

keseimbangan yang lebih aman selama melakukan serangkaian tugas –

tugas keseharian (Ahmad, Hasnia dkk, 2016).

2. Prosedur Test (Ahmad, Hasnia dkk, 2016)

a. Instruksi Umum

Tes ini mencakup 14 item dengan setiap item terdiri dari lima poin

skala ordinal dari 0 – 4, dengan 0 mengindikasikan level fungsi yang

lebih rendah dan 4 level fungsi yang lebih tinggi. Skor total 56 poin.

b. Persiapan Alat/Instrumen
49

Pastikan peralatan telah lengkap seperti :

1) Temper foam (dengan ketebalan 4 inci)

2) Penggaris

3) Dua kursi standar (satu kursi dengan menggunakan penyanggah

tangan, satu kursi tanpa penyanggah tangan).

4) Footstool

5) Stopwatch

6) Instrument Berg Balance Scale.

c. Persiapan Pasien

Jelaskan prosedur test kepada pasien untuk mengurangi kecemasan

pasien serta untuk memastikan pasien kooperatif dan fokus.

d. Prosedur Berg Balance Scale Test

Pilih score point untuk pernyataan yang paling mendekati tingkat

kemampuan terkini pasien/klien untuk setiap item dengan memberi

tanda checklist [ √ ] pada instrument berg balance scale (Lampiran 1).

e. Berg Balance Scale Parameter

1) Skor 0 – 20 : resiko jatuh tinggi

2) Skor 21 – 40 : resiko jatuh sedang

3) Skor 41 – 56 : resiko jatuh rendah (minim)

Anda mungkin juga menyukai