Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Herniated Nucleus Pulposus adalah terjadinya penonjolan dari

nucleus pulposus melalui serat anulus diskus intervertebralis. Prevalensi HNP

adalah sekitar 1-3% di Finlandia dan Italia. Di AS, 1-2% dari populasi

menderita HNP. Selain itu, kejadian HNP di beberapa negara berkembang

adalah sekitar 15-20% dari total populasi. Penyakit ini terutama menyerang

orang dewasa di usia 30-50 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 40-45

tahun. Rasio HNP antara pria dan wanita adalah 2 : 1. Namun, pada populasi

umum, insiden tersebut tampaknya terdistribusi secara serupa antara pria dan

wanita. Wanita cenderung mengeluh tentang nyeri punggung bawah, dan

nyeri yang menjalar dari pinggul ke kaki lebih umum oleh pria. Gejala HNP

yang paling umum adalah linu panggul, yang terjadi pada 40% pasien HNP.

(Annisa Ikhsanawati, dkk, 2015).

Studi populasi di daerah pantai utara Jawa Indonesia didapati insiden

18,2% pada pria dan 13,6 % pada wanita. Pada beberapa Rumah Sakit di

Jakarta, Yogyakarta dan Semarang insiden berkisar antar 5,4-5,8 % dan

frekuensi terbanyak pada usia 45-65 tahun. (Ditjen Yankes, 2018).

Adapun data yang penulis dapatkan dari observasi langsung di Rumah

Sakit Pelamonia Tingkat II Kota Makassar pada bulan Januari tahun 2019

tercatat 10 pasien yang menderita Hernia Nucleus Pulposus Lumbal.

1
Diantara 10 pasien tersebut terbagi dalam berbagai bidang profesi, mulai dari

TNI, PNS dan Ibu Rumah Tangga.

Dari 10 pasien yang tercatat, penulis mengambil 2 pasien yang akan di

jadikan sampel selama penelitian. Adapun karakteristik dari sampel yang

pertama yaitu adanya nyeri menjalar dari daerah lumbal hingga ke tungkai

bawah, keterbatasan aktivitas seperti membungkuk dan merasa nyeri

pinggang apabila telah berjalan jauh. Sedangkan karakteristik dari sampel

yang kedua yaitu adanya nyeri menjalar dari daerah lumbal hingga ke tungkai

bawah, keterbatasan aktivitas seperti membungkuk, dan merasa nyeri setelah

berjalan jauh atau berdiri lama.

Dalam beberapa kasus HNP diperlukan penanganan intensif

menggunakan modalitas Fisioterapi dengan harapan dapat mengurangi

problematik yang timbul akibat HNP atau tidak memperparah problematik

yang sudah ada. Beberapa modalitas yang dapat digunakan yaitu MWD,

TENS dan exercise therapy berupa latihan Mc. Kenzie serta modalitas lain

yang dapat menurunkan problematik yang diakibatkan oleh HNP lumbal.

MWD memberikan efek hangat yang dihasilkan dari energi listrik

oleh arus bolak balik MWD yang dapat meningkatkan suhu lokal dan

menghasilkan vasodilatasi pembuluh darah. Dengan adanya vasodilatasi

pembuluh darah maka akan terjadi beberapa mekanisme dalam tubuh seperti

peningkatan konsentrasi aliran darah ke otot. Dengan adanya peningkatan

konsentrasi aliran darah ke otot maka suplai oksigen dan nutrisi akan semakin

2
banyak dan akan memperbaiki metabolisme jaringan sekitar yang diberikan

terapi menggunakan MWD. (Goats, 1990).

Modalitas TENS digunakan untuk mengaktivasi sistem saraf otonom

yang akan menimbulkan tanggap rangsang vasomotor yang dapat mengubah

kimiawi jaringan. Postulat lain menyatakan bahwa TENS dapat mengurangi

nyeri melalui pelepasan opioid endogen di SSP. (Endang, 2012).

Latihan Mc Kenzie adalah metode latihan yang diharapkan otot-otot

daerah lumbosacral dapat mengalami peregangan dan penguatan sehingga

kontraksi otot selama latihan akan meningkatkan muscle pump yang

menjadikan suplai oksigen dan nutrisi serta mengangkut sisa metabolisme

lebih lancar sehingga diharapkan otot pinggang bawah menjadi lebih

memiliki daya tahan dalam bekerja. (Totok, 2004 dalam Susanti, 2010).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa rumusan

masalah dari penelitian ini adalah : “Bagaimana Prosedur dan

Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Hernia Nucleus Pulposus Lumbal

Derajat II di Rumah Sakit Tingkat II Pelamonia Kota Makassar?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui prosedur dan penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus

Hernia Nucleus Pulposus Derajat II di Rumah Sakit Tingkat II

Pelamonia Kota Makassar.

3
2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pemeriksaan Fisioterapi pada kasus HNP.

b. Untuk mengetahui diagnosa Fisioterapi pada kasus HNP.

c. Untuk mengetahui problematik Fisioterapi pada kasus HNP.

d. Untuk mengetahui jenis intervensi Fisioterapi dan Evaluasi pada kasus

HNP.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Diharapkan dengan penelitian tentang penatalaksanaan Fisioterapi

pada kasus Hernia Nucleus Pulposus derajat II ini dapat dijadikan

sebagai referensi dan menjadi acuan dan sumber bacaan untuk penelitian-

penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan wawasan atau tambahan ilmu bagi peneliti bagaimana

prosedur dan penatalaksanaan Fisioterapi dengan kondisi Hernia

Nucleus Pulposus.

b. Menjadi bahan acuan bagi mahasiswa yang ingin meneliti perihal

kondisi Hernia Nucleus Pulposus.

3. Manfaat Masyarakat

Diharapkan dengan penelitian tentang Penatalaksanaan Fisioterapi

pada kasus Hernia Nucleus Pulposus derajat II ini dapat memberikan

edukasi kepada masyarakat mengenai kondisi Hernia Nucleus Pulposus.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Hernia Nucleus Pulposus

1. Definisi Hernia Nukleus Pulposus

Hernia Nucleus Pulpousus adalah penonjolan nukleus pulposus

melalui anulus fibrosus, yang menyebabkan nyeri atau paralisis akibat

tekanan pada saraf. (Lyndon Saputra, 2009).

Hernia Nucleus Pulposus adalah prostusi bagian pusat gelatinosa

diskus intervertebralis (nucleus pulposus) melalui robekan pada rima

posterior anulus fibrosus. Sekitar 90% HNP terdapat di regio lumbal dan

region lumbosakral pada L4, L5, atau S1. (Lippincott Williams & Wilkins

2010).

Hernia Nucleus Pulposus adalah jebolnya nukleus pulposus ke

dalam kanalis vertebralis akibat degeneratif annulus fibrosus korpus

vertebra, yang mengakibatkan HNP pada tingkat lumbosakral yaitu gaya

yang menekan pada discus ketika mengangkat benda dalam posisi

membungkuk. (Mardjono & Sidharta, 2012).

2. Anatomi Fisiologi Discus Intervertebralis

Diantara korpus vertebra, mulai dari vertebra servikalis kedua

sampai vertebra sakralis terdapat diskus intervertebralis. Diskus ini

membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus vertebra (Reijo

A, 2006).

5
Diskus Intervertebralis terdiri dari dua bagian pokok, yaitu nukleus

pulposus di tengah dan anulus fibrosus di sekelilingnya. Diskus

dipisahkan dari tulang yang di atas dan di bawahnya oleh dua lempengan

tulang rawan yang tipis (Sylvia A, 1995).

Nukleus pulposus adalah bagian tengah diskus yang bersifat semi

gelatin. Nukleus ini mengandung berkas-berkas serat kolagen, sel-sel

jaringan penyambung dan sel-sel tulang rawan. Zat ini berfungsi sebagai

peredam benturan antara korpus vertebra yang berdekatan. Selain itu, juga

memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara diskus dan

pembuluh darah kapiler (Reijo A, 2006).

Anulus fibrosus terdiri atas cincin-cincin fibrosa konsentris yang

mengelilingi nukleus pulposus. Anulus fibrosus berfungsi untuk

memungkinkan gerakan antara korpus vertebra (disebabkan oleh struktur

spiral dari serabut-serabut), untuk menopang nukleus pulposus dan

meredam benturan. Jadi anulus berfungsi mirip dengan simpail di

sekeliling tong air atau seperti gulungan pegas, yang menarik korpus

vertebra bersatu melawan resistensi elastis nukleus pulposus, sedangkan

nukleus pulposus bertindak sebagai bola penunjang antara korpus

vertebra. Diskus intervertebralis berukuran kira-kira seperempat panjang

kolumna vertebralis. Diskus paling tipis terdapat pada daerah torakal

sedangkan yang paling tebal tedapat di daerah lumbal. Bersamaan dengan

bertambahnya usia, kandungan air diskus berkurang dan menjadi lebih

tipis. (Reijo A, 2006).

6
3. Etiologi

a. Degenerasi ligamentum longitudinalis posterior dan anulus fibrosus

timbul tanpa gejala dengan bertambahnya usia.

b. Cedera pencetus (bersin, mengangkat beban berat) menyebabkan

diskus mengalami prolaps sebagian atau seluruhnya.

c. Pembentukan jaringan parut kemudian dapat mengenai sarung saraf,

yang menyebabkan nyeri yang menetap. (Lyndon, 2009).

4. Patofisiologi

Pada awalnya, nukleus pulposus mengalami herniasi melalui cincin

konsentrik anulus fibrosus yang robek dan menyebabkan cincin lain di

bagian luar yang masih intak menonjol setempat (fokal). Keadaan ini

dinamakan protrusio diskus. Bilamana proses tersebut berlanjut, sebagian

materi nukleus akan menyusup keluar dari diskus (ekstrusio diskus) ke

anterior ligamentum longitudinalis posterior atau terus masuk ke dalam

kanalis spinalis. Biasanya protrusio atau ekstrusio diskus posterolateral

akan menjepit akar saraf ipsilateral pada tempat keluarnya saraf dan

kantong dura (misalnya herniasi diskus L4-L5 kiri dan menjepit akar saraf

L5 kiri). Jepitan saraf ini akan menampilkan gejala dan tanda radikuler

sesuai dengan distribusi persarafannya. (Satyanegara, 2010).

Tanda radikuler dari jepitan saraf menyebabkan nyeri yang

dirasakan sepanjang tungkai karena nyerinya menjalar sepanjang

perjalanan nervus iskhiadikus dan lanjutannya ke perifer. (Mardjono &

Sidharta, 2012). Adanya nyeri pada daerah lumbal menyebabkan

7
keterbatasan gerak pada trunk dan dapat juga di sebabkan oleh spasme

otot pada m. Latisimus dorsi. (Nugroho, 2015).

Apabila nyeri punggung berlangsung lebih dari dua minggu, dapat

menyebabkan kelemahan otot karena terjadi kecenderungan untuk

menghindari otot-otot yang sakit. Proses ini menyebabkan penyusutan

dan kelemahan otot yang pada kesempatan berikutnya dapat

menyebabkan nyeri punggung yang lebih berat karena otot-otot punggung

kurang mampu untuk membantu menahan tulang belakang. (Listiarini,

2016).

Derajat HNP menurut Magee (1987) diantara lain :

a. Protrusion : penonjolan ke satu arah tanpa disertai ruptur dari annulus

fibrosus.

b. Prolapse : nucleus pulposus berpindah tempat tapi belum keluar dari

lingkungan annulus fibrosus.

c. Extrusion : sebagian dari nucleus pulposus keluar dari serat-serat

annulus fibrosus.

d. Sequestration : nucleus pulposus telah keluar menembus ligamentum

longitudinale posterior.

5. Manifestasi Klinik

Gejala khas yang muncul pada herniasi diskus posterolateral area

lumbal adalah nyeri pinggang bawah yang intermiten (dalam periode

beberapa minggu sampai beberapa tahun) dan juga nyeri menjalar sesuai

dengan distribusi saraf skhiatik (saraf iskhiadikus). Sifat nyeri biasanya

8
menghebat karena faktor-faktor pencetus seperti gerakan pinggang,

batuk, mengedan, berdiri, atau duduk dalam jangka waktu yang lama.

Pasien juga sering mengeluh kesemutan (parestesia), baal, atau bahkan

kekuatan otot menurun sesuai dengan distribusi persarafan yang terlibat.

Pada pemeriksaan fisik pasien biasanya menampilkan tanda-tanda

seperti spasme otot paravertebra lumbal dan terbatasnya pergerakan

pinggang. Selain itu, Tes Lasegue (mengangkat tungkai lurus ke atas) dan

tes kompresi poplitea umumnya akan positif. Hal ini terjadi akibat saraf

iskhiadikus yang tertekan meengalami peregangan. (Satyanegara, 2010).

B. Tinjauan Umum Modalitas Fisioterapi

1. MWD (Microwave Diathermy)

a. Pengertian MWD

MWD memiliki dua frekuensi yaitu 2456 dan 915 MHz.

Microwave Diathermy memiliki frekuensi yang jauh lebih tinggi dan

panjang gelombang yang lebih pendek daripada gelombang SWD.

MWD menghasilkan medan listrik yang kuat dan medan magnet yang

relatif sedikit. (William, 2002).

b. Generator MWD

MWD terdiri dari suatu daya yang memberi energi pada

magnetron dan pengaturan waktu. Kontrol magnetron mengatur daya

keluaran dengan memvariasikan tegangan operasi magnetron. Osilator

magnetron menggunakan medan magnet untuk menghasilkan arus

frekuensi tinggi.

9
Output daya dapat disesuaikan dengan toleransi pasien. Meter

output menunjukkan output relatif dalam watt atau jumlah energi yang

ditransmisikan dan tidak diserap. Ada dua lampu indikator: lampu

kuning menunjukkan bahwa mesin masih melakukan pemanasan, dan

lampu merah menunjukkan bahwa mesin siap untuk mengeluarkan

energi. (William, 2002).

c. Aplikator MWD

Eletroda untuk MWD disebut aplikator. Energi microwace

hanya dapat dipancarkan ke satu permukaan pada satu waktu. Kontur

permukaan itu harus dalam posisi rata, jika tidak, akan ada pantulan

energi yang cukup besar.

MWD yang beroperasi pada frekuensi 2456 MHz akan memiliki

ruang udara tertentu yang dibutuhkan antara aplikator dan kulit. Jarak

dan output daya harus diikuti dengan cermat. Antena terarah dipasang

ke aplikator tegak lurus ke muka aplikator untuk memastikan bahwa

jarak benar dan bahwa energi yang dihasilkan dari unit microwave

menabrak area perawatan target pada sudut corret (hukum cosinus).

Unit yang beroperasi pada frekuensi yang lebih tinggi dapat memiliki

satu atau lebih aplikator dengan berbagai bentuk dan konfigurasi.

10
Ada dua jenis aplikator yang dapat digunakan dengan MWD :

berbentuk lingkaran dan persegi panjang.

1) Aplikator berbentuk lingkaran berdiameter 4 atau 6 inci. Dengan

elektroda berbentuk bundar, suhu maksimum dihasilkan di

pinggiran setiap bidang radiasi.

2) Aplikator berbentuk persegi panjang dapat berukuran 4 ½ x 5 inci

atau 5 x 21 inci dan menghasilkan suhu maksimum di pusat

bidang radiasi.

Dalam unit yang memiliki frekuensi 915 MHz, aplikator

ditempatkan pada jarak 1 cm dari kulit, dan ruang udara antara antena

dan kulit dibangun ke dalam aplikator, sehingga meminimalkan

pantulan energi. (William, 2002).

d. Tujuan MWD

1) Memanaskan jaringan otot sehingga akan memberikan efek

relaksasi pada otot dan meningkatkan aliran darah intramuskuler.

2) Membantu meningkkatkan sirkulasi limpatik dan sirkulasi darah

lokal, membantu relaksasi otot dan meningkatkan elastisitas

jaringan ikat yang letak kedalamannya kurang lebih 3 cm.

3) Membantu meningkatkan proses perbaikan jaringan secara

fisiologis dan membantu mengurangi rasa nyeri pada otot dan

sendi.

11
e. Indikasi MWD

1) Selektif pemanasan otot (jaringan kolagen).

2) Spasme otot (efektif untuk sendi interphalangeal, metacarpal

phalangeal dan pergelangan tangan, rheumatoid arthritis dan

osteoarthrosis).

3) Kelainan saraf perifer atau neuralgia neuritis. (Ayu Putri, 2018).

f. Kontra indikasi MWD

1) Logam

2) Gangguan pembuluh darah

3) Jaringan yang banyak cairan

4) Gangguan sensibilitas

5) Neuropathi (timbul transqualizer (alat pada pasien dengan

gangguan kesadaran)

6) Sesudah rontgen (konsentrasi EM berlebihan)

7) Kehamilan dan saat menstruasi (Ayu Putri, 2018).

g. Prosedur Pelaksanaan

1) Persiapan Alat

Cek kabel dan kondensor, tekan tombol on untuk

memanaskan alat selama 5-10 menit. Lakukan pemanasan alat

dengan meletakkan tangan terapis pada elektroda dan naikkan

intensitas sampai terasa hangat kemudian intensitas dinolkan lagi.

12
2) Persiapan Pasien

Posisi pasien senyaman dan serileks mungkin. Periksa area

yang akan di terapi. Lepaskan semua metal diarea terapi. Sebelum

memulai intervensi, terapist memberi penjelasan mengenai cara

kerja dan efek yang dapat ditimbulkan dari MWD.

3) Teknik Pelaksanaan

Atur posisi pasien senyaman mungkin, arahkan aplikator ke

daerah yang akan diterapi dengan jarak 5-10 cm dari permukaan

kulit, durasi 10-20 menit, frekuensi terapi 2x/minggu, intensitas

50-100 watt (toleransi pasien), dosis intensitas ditentukan oleh

aktualitas patologi (aktualitas rendah : thermal, aktualitas sedang :

subthermal, aktualitas tinggi : athermal).

2. TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)

Upaya yang dilakukan untuk menstimulasi saraf sensorik untuk

mengubah persepsi pasien tentang stimulus menyakitkan yang datang dari

area yang cedera. Untuk memahami bagaimana cara secara maksimal

mempengaruhi persepsi nyeri melalui stimulasi listrik, perlu dipahami

persepsi nyeri. Gate Control Theory, Central Biasing Theory dan Opiate

Pain Control Theory adalah dasar teoretis untuk fenomena pengurangan

nyeri. (William, 2002).

13
a. Gate Control Theory

Merangsang serat sensorik yang besar ketika ada rasa sakit di

area tertentu akan memaksa sistem saraf pusat untuk membuat area

pengenalan otak sadar akan rangsangan listrik. Selama rangsangan

diterapkan, persepsi nyeri berkurang. TENS akan membangkitkan

mekanisme gate control dan mengurangi kesadaran rangsangan yang

menyakitkan. Selama stimulasi menyebabkan penembakan saraf

sensorik, gate menuju rasa sakit harus ditutup. Jika akomodasi ke

TENS terjadi atau jika stimulus berhenti, gate kemudian terbuka, dan

rasa sakit kembali ke persepsi.

Dominasi fisik, model pelepasan enkephalin digunakan dalam

mengobati rasa sakit dari cedera akut, masalah dengan sistem

muskuloskeletal, atau nyeri pasca operasi. Kriteria berikut dapat

digunakan sebagai pedoman dalam mengembangkan protokol

pengobatan yang efektif. (William, 2002).

1) Intensitas saat ini harus disesuaikan dengan toleransi tetapi tidak

boleh menyebabkan kontraksi otot, semakin tinggi semakin baik.

2) Durasi pulsa (lebar pulsa) harus 75 hingga 150 detik atau

maksimum pada mesin.

3) Pulsa per detik harus 80 hingga 125, atau setinggi mungkin pada

mesin dengan waktu harus mode kontinu.

4) Sebuah gelombang stimulator listrik transkutan harus digunakan.

14
5) Waktu harus mode kontinu.

6) Total waktu perawatan harus berfluktuasi dalam rasa sakit : unit

harus dibiarkan sampai rasa sakit tidak lagi dirasakan, dimatikan,

kemudian dimulai kembali ketika rasa sakit mulai lagi.

7) Jika perawatan ini berhasil, Anda akan merasa sakit dalam 30

menit pertama perawatan.

8) Jika tidak berhasil, tetapi Anda merasa ini adalah pendekatan

teoretis atau yang paling berlaku secara klinis terbaik, ubah

penempatan elektroda dan coba lagi. Jika ini tidak berhasil,

daripada menggunakan pendekatan teoretis yang berbeda dapat

menawarkan lebih banyak bantuan.

9) Stimulator apa pun yang dapat memberikan arus ini dapat

diterima. Unit portabel lebih baik untuk kontrol nyeri 24 jam.

b. Control Biasing Theory

Stimulasi listrik yang intens dari serat yang lebih kecil (serat C

atau serat nyeri) di lokasi perifer (pemicu dan titik akupuntur) untuk

periode waktu singkat menyebabkan stimulasi neuron yang turun,

yang kemudian mempengaruhi transmisi nyeri informasi dengan

menutup gate di tingkat sumsum tulang belakang.

Pengaturan central biasing digunakan pada nyeri kronis tajam

atau nyeri patologis parah. Mengubah sistem saraf pusat dan

meningkatkan pengaruh menurun pada transmisi rasa sakit paling baik

dilakukan dengan protokol berikut.

15
1) Intensitas saat ini harus sangat tinggi, mendekati level berbahaya,

kontraksi otot tidak diinginkan.

2) Durasi pulsa harus 10 msec.

3) Pulsa per detik harus 80

4) Tepat waktu 30 detik hingga 1 menit.

5) Stimulasi harus diterapkan di atas titik akupunktur.

6) Seleksi dan jumlah titik yang digunakan bervariasi sesuai dengan

bagian yang dirawat.

7) Frekuensi rendah, intensitas tinggi generator adalah stimulator

pilihan atau central biasing.

8) Jika perawatan ini berhasil, rasa sakit akan hilang segera setelah

perawatan.

c. Opiate Pain Control Theory

TENS dapat merangsang pelepasan enkephalin dari situs lokal

di seluruh sistem saraf pusat dan pelepasan B-endorphin dari kelenjar

hipofisis ke dalam cairan tulang belakang otak. Mekanisme yang

menyebabkan pelepasan dan kemudian pengikatan enkephalin dan B-

endorphin ke beberapa sel saraf masih belum jelas, dapat dipastikan

bahwa pengurangan atau penghapusan persepsi nyeri disebabkan oleh

penggunaan arus listrik ke area yang dekat dengan sisi nyeri atau ke

titik akupunktur atau pemicu baik lokal maupun jauh ke daerah nyeri.

Untuk menggunakan influance analgesia hiperstimulasi dan

pelepasan B-endorphin, pengaturan stimulasi titik harus digunakan.

16
Pad dispersif besar pad kecil atau elektroda titik probe genggam

dimodelkan dalam pendekatan ini. Titik elektroda diterapkan pada

tempat yang dipilih, dan intensitasnya ditingkatkan sampai dirasakan

oleh pasien. Probe kemudian dipindahkan di sekitar area, dan pasien

diminta untuk melaporkan perubahan relatif dalam persepsi intensitas.

Ketika lokasi persepsi intensitas maksimum ditemukan, intensitas saat

ini meningkat ke tingkat maksimum yang dapat ditoleransi. Ini hampir

sama dengan menemukan titik motor, seperti yang dijelaskan

sebelumnya. (William, 2002).

Stimulasi beta-endorphin dapat menawarkan bantuan yang lebih

baik untuk sakit yang dalam atau nyeri kronis yang serupa untuk

terlalu sering menggunakan nyeri pada cedera. Produksi beta-

endorphin dapat distimulasi menggunakan protokol berikut.

1) Intensitas saat ini harus tinggi, mendekati level naxious :

kontraksi otot dapat diterima.

2) Durasi pulsa harus 200 detik hingga 10 msec.

3) Denyut nadi per detik harus antara 1 dan 5.

4) Arus berdenyut tegangan tinggi harus digunakan.

5) Tepat waktu harus 30 hingga 45 detik.

6) Stimulasi harus diterapkan pada titik pemicu atau akupunktur.

7) Seleksi dan jumlah titik yang digunakan bervariasi sesuai dengan

bagian dan kondisi yang sedang dirawat.

17
8) tegangan tinggi saat ini atau frekuensi rendah, mesin intensitas

tinggi adalah yang terbaik untuk efek ini.

9) Jika stimulasi berhasil, Anda harus tahu pada akhir perawatan

efek analgesik akan bertahan selama beberapa.

10) Jika tidak berhasil, cobalah memperluas jumlah situs stimulasi.

Tambahkan titik rangsangan yang sama pada sisi yang

berlawanan dari payudara, tambahkan titik akupunktur auricular

(telinga), tambahkan lebih banyak titik pada tungkai yang sama.

Kombinasi stimulasi titik intens dan TENS dapat digunakan.

Aplikasi TENS harus digunakan sebanyak yang diperlukan untuk

membuat pasien nyaman, stimulasi titik intens harus digunakan secara

berkala. Penggunaan stimulasi titik intens secara periodik memberikan

pereda nyeri maksimal untuk periode waktu tertentu dan

memungkinkan beberapa keuntungan dalam supresi nyeri secara

keseluruhan. Stimulasi titik intens harian akhirnya dapat membiaskan

sistem saraf pusat dan mengurangi efektivitas stimulasi. (William,

2002).

d. Indikasi

1) Nyeri akibat trauma

2) Nyeri pada masalah musculoskeletal

3) Sindroma kompresi neuvaskuler

4) Neuralgia

5) Causalgia (Ayu Putri, 2018)

18
e. Kontraindikasi

1) Pada penderita dengan alat pacu jantung

2) Alat-alat listrik yang terdapat pada tubuh pasien (Ayu Putri,

2018).

f. Prosedur Pelaksanaan

1) Persiapan Alat

Tentukan prosedur yang akan digunakan, semua tombol

dalam posisi nol. Pad dibasahi terlebih dahulu, untuk pad yang

menggunakan gel diletakan pada permukaan pad yang akan di

kontakan dengan kulit pasien. Pemeriksaan alat yang akan di

gunakan. Pesiapkan semua materi yang akan digunakan.

Pemanasan alat yakinkan tombol intensitaas “off”.

2) Persiapan Pasien

Posisi pasien senyaman dan serileks mungkin. Periksa area

yang akan di terapi, dalam hal ini kulit harus bersih dan bebas dari

lemak, lotion. Periksa sensasi kulit. Lepaskan semua metal diarea

terapi. Sebelum memulai intervensi, terapist memberi penjelasan

mengenai cara kerja dan efek yang dapat ditimbulkan dari TENS.

3) Teknik Pelaksanaan

Atur dosis terapi dengan frekuensi 2 x seminggu. Intensitas

yang di berikan 1-5 Hz, teknik yang digunakan adalah dua ped

dengan arus intermiten dan waktu pengobatan 15 menit. Setelah

19
waktu terapi selesai, turunkan intensitas ke posisi nol dan matikan

alat. Elektroda dan kabel dikembalikan ke tempat semula.

3. Mc. Kenzie

a. Introduksi

Nyeri mekanikal terjadi ketika sendi telah bergeser dari posisi

sehingga terjadi overstrech pada jaringan lunak disekitarnya (Anshar,

2014).

b. Program latihan

Dalam metode ini, pasien memainkan peran utama dalam

pengobatan sendiri. Tujuan latihan adalah :

1) Untuk menurunkan nyeri

2) Untuk mengembalikan fungsi normal sehingga memperoleh

kembali mobilitas penuh pada regio punggung bawah.

Koreksi postural dan memelihara postur yang benar harus selalu

mengikuti latihan ini. Kebiasaan postur yanng benar adalah esensial

untuk mencegah rekuren problem LBP.

Latihan ini di desain untuk menurunkan nyeri karena ada efek

relaksasi. Selain itu, latihan ini menghasilkan efek mobilisasi sehingga

dapat mengembalikan fungsi normal dalam lumbal (Anshar, 2014).

c. Indikasi

1) Menurunkan spasme otot dan nyeri melalui efek rileksasi

2) Perbaikan/koreksi postur yang salah (alignmen normal)

3) Membebaskan stiff pada intervetebral joints

20
4) LBP

5) Gangguan Flexi Extensi akut pada Cervical

6) Gangguan  middle dan lower posterolateral  derangement pada

cervical

7) Ketegangan otot pada cervical

d. Kontraindikasi

1) Malignant (primer/sekunder)

2) Infeksi

3) Paget disease

4) Hipermobile

5) Fraktur

6) Dislokasi

7) Ruptur ligament

8) Spondylosisthesis

9) Ankylosing spondylitis

10) Osteoporosis

e. Macam-macam latihan Mc.Kenzie

1) Latihan 1

Tidur tengkurap dalam keadaan rileks, lakukan deep breathing

kemudian relaks secara sempurna selama 4-5 menit. Latihan ini

terutama digunakan dalam pengobatan akut back pain, dilakukan

pada awaal dari setiap sesi latihan.

2) Latihan 2

21
Tetap dalam posisi tidur tengkurap, kemudian posisikan kedua

elbow di bawah shoulder sehingga bersandar pada kedua lengan

bawah. Selama latihan ini, lakukan deep breathing kemudian

relaksasikan otot-otot pinggang secara sempurna. Lakukan latihan

ini selama 5 menit. Latihan 2 terutama digunakan dalam LBP

yang berat.

3) Latihan 3 

Luruskan kedua ebow dengan mendorong badan ke atas sejauh

mungkin sehingga nyeri berkurang. Posisi ini penting untuk

merelaksasikan pelvic, hip dan tungkai secara sempurna.

Pertahankan posisi tersebut selama 2 detik sehingga regio

pinggang terasa lenturdan lakukan 10 kali repetisi. Latihan ini

sangat berguna dan efektif dalam pengobatan akut LBP dan

stiffness.

4) Latihan 4

Berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit terbuka. Letakkan kedua

tangan pada pinggang dengan jari-jari menghadap ke belakang.

Kemudian ekstensikan trunk sejauh mungkin dengan kedua tangan

sebagai fulcrum (knee harus tetap lurus). Pertahankan posisi

selama 2 detik dan ulangi sebanyak 5 - 6 kali. Latihan ini dapat

diberikan setelah mengalami recovery LBP, jangan diberikan pada

akut LBP.

5) Latihan 5

22
Posis tidur terlentang, kemudian bengkokkan kedua knee dan

kedua kaki datar pada lantai/bed. Kemudian bawa kedua knee ke

arah dada dengan bantuan kedua tangannya secara perlahan

sampai kedua knee dekat dengan dada.

Pertahankan posisi selama 2 detik dan kembali ke posisi semula

dan ulangi sebanyak 5 – 6 kali. Latihan ini digunakan pada

pngobatan stiffness LBP.

6) Latihan 6

Posisi duduk di kursi atau stool dengan kedua knee dan kaki

terbuka dan kedua tangan bersandar diatas kedua tungkai.

Kemudian bengkokkan trunk kedepan sehingga kedua tangan

menyentuh lantai. Kembali ke posisi awal dan ulangi sebanyak 5 –

6 kali (Anshar, 2014).

C. Tinjauan Umum Alat Ukur

Alat ukur merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur

benda atau suatu kejadian. Selain itu, alat ukur juga diartikan sebagai suatu

benda atau alat (buatan atau alami) yang digunakan untuk mengambil data

kuantitatif seperti suhu, panjang, berat, dan sebagainya. Dalam dunia

kesehatan, khususnya Fisioterapi alat-alat ukur yang digunakan sebagai

instrumen dalam melakukan proses penelitian pada Kasus Hernia Nucleus

Pulposus adalah:

1. Pengukuran Derajat Nyeri

23
VAS adalah sebuah pengukuran intensitas nyeri unidemensial,

yang secara luas digunakan dalam penelitian klinis. VAS digunakan untuk

mengukur kuantitas dan kualitas nyeri yang pasien rasakan, dengan

menampilkan suatu kategori nyeri mulai dari “tidak nyeri, ringan, sedang,

atau berat. (Djohan Aras, dkk 2016).

Secara operasional VAS umumnya berupa sebuah garis horizontal

atau vertikal sepanjang 10 sentimeter (100 mm). Pasien menandai garis

dengan memberikan sebuah titik yang mewakili keadaan nyeri yang

dirasakan pasien saat ini, dalam 24 jam terakhir. (Djohan Aras, dkk 2016).

Dengan menggunakan sebuah garis atau mistar, skor VAS

ditentukan dengan mengukur jarak (mililiter) diatas garis 10 cm dari titik

(tidak nyeri) ke titik yang ditandai oleh pasien, dengan range skor dari 0 –

100 mm. Skor yang lebih tinggi mengindikasikan intensitas yang lebih

besar. Sebagai alat ukur, VAS jelas bersifat subjektif, menghasilkan data

interval dengan nilai-nilai rasio yang subjektif pula. (Djohan Aras, dkk

2016).

a. Tujuan

Untuk mengukur intensitas nyeri pasien.

b. Prosedur test :

1) Persiapan alat/instrument

a) Penggaris

b) Pulpen

c) Skala VAS

24
2) Persiapan pasien

Jelaskan prosedur tes kepada pasien untuk mengurangi

kecemasan pasien serta untuk memastikan pasien kooperatif.

(Djohan Aras, dkk 2016).

c. Teknik operasional Visual Analog Scale

1) Intruksikan kepada pasien untuk memberi tanda titik pada garis

skala VAS ini, yang dapat menggambarkan rasa nyeri yang

dikeluhkan, antara dari 0 (tidak nyeri) sampai 100 (nyeri hebat).

2) Catat hasil pengukuran VAS pada medical record pasien. (Djohan

Aras, dkk 2016)

d. Visual Analog Scale (VAS) Paramenter

1) Skala 0 – 4 mm : tidak nyeri (tidak ada rasa sakit, merasa normal)

2) Skala 5 – 44 mm : nyeri ringan (masih bisa ditahan, aktifitas tak

terganggu)

3) Skala 45 – 74 mm : nyeri sedang (mengganggu aktifitas fisik)

4) Skala 75 – 100 mm : nyeri berat (tidak dapat melakukan aktifitas

secara mandiri) (Djohan Aras, dkk 2016).

2. Lingkup Gerak Sendi (LGS)

Lingkup Gerak Sendi (LGS) merupakan luas gerak sendi yang

dapat dilakukan oleh suatu sendi. Tujuan pemeriksaan LGS adalah untuk

mengetahui besarnya LGS suatu sendi dan membandingkannya dengan

LGS sendi yang normal, membantu mendiagnosis, dan menentukan fungsi

sendi. Hasil pengukuran LGS dapat digunakan untuk mementukan tujuan

25
dan rencana terapi dalam mengatasi gangguan LGS. Selain itu, dalam

pemeriksaan LGS, fisioterapis harus mempertimbangkan penyebab dari

keterbatasan gerak seperti nyeri, spasme, perlengketan jaringan, dan

kualitas gerak (normal, hipertonus, rigid, atau gerak kejut). Adapun

pengukuran LGS ini dapat digunakan menggunakan alat ukur yang disebut

dengan Goniometer.

Berikut adalah langkah-langkah pemeriksaan LGS menggunakan

Goniometer :

a. Posisi awal adalah posisi netral/anatomis, yaitu tubuh tegak, lengan

lurus di samping tubuh, lengan bawah dan tangan menghadap ke

depan.

b. Sendi yang akan diukur harus terbuka, atau terbebas dari pakaian.

c. Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan.

d. Berikan gerakan pasif dua atau tiga kali untuk menghilangkan gerakan

substitusi dan ketegangan karena kurang bergerak.

e. Berikan stabilisasi pada segmen bagian proksimal.

f. Tentukan aksis gerakan baik secara aktif atau pasif, dengan jalan

melakukan palpasi bagian tulang di sebelah lateral sendi.

g. Letakkan tangkai goniometer yang statik paralel dengan aksis

longitudinal ada garis tengah segmen/tubuh yang statik.

h. Letakkan tangkai goniometer yang bergerak paralel terhadap aksis

longitudinal segmen/tubuh yang bergerak.

i. Pastikan aksis goniometer tepat pada aksis gerakan sendi.

26
j. Baca dan catat hasil pemeriksaan LGS (Sri Surini Pudjiastuti dan Budi

Utomo, 2013).

3. MMT (Manual Muscle Testing)

Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan

pengujian otot secara manual (Manual Muscle Testing, MMT).

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan

mengontraksikan kelompok otot secara volunter.

Pemeriksaan kekuatan otot menggunakan MMT akan membantu

penegakan diagnosis klinis, penentuan jenis terapi, jenis alat bantu yang

diperlukan dan prognosis. Penegakan diagnosis dimungkinkan oleh

beberapa penyakit tertentu yang hanya menyerang otot tertentu pula

(Pudjiastuti dan Budi Utomo 2013).

a. Prosedur pelaksanaan MMT

1) Pasien diposisikan sedemikian rupa sehingga otot mudah

berkontraksi sesuai dengan kekuatannya. Posisi yang dipilih harus

memungkinkan kontraksi otot dan gerakan mudah diobservasi.

2) Bagian tubuh yang di tes harus terbebas dari pakaian yang

menghambat.

3) Berikan penjelasan dan berikan contoh gerakan yanng harus

dilakukan.

4) Pasien mengkontraksikan ototnya dan stabilisasi diberikan pada

segmen proksimal.

27
5) Selama terjadi kontraksi, gerakan yang terjadi di observasi, baik

palpasi pada tendon maupun pada otot.

6) Memberikan tahanan pada otot yang dapat bergerak dengan luas

gerak sendi penuh dan dengan melawan gravitasi.

7) Melakukan pencatatan hasil MMT.

b. Kriteria hasil pemeriksaan MMT (Lovet, Daniel, dan Worthingham di

kutip oleh Pudjiastuti dan Budi Utomo 2013)

1) Normal (5) : mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh,

melawan gravitasi, dan melawan tahanan maksimal.

2) Good (4) : mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh,

melawan gravitasi, dan melawan tahanan sedang (moderat).

3) Fair (3) : mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh,

melawan gravitasi tanpa tahanan.

4) Poor (2) : mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh tanpa

melawan gravitasi.

5) Trace (1) : tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat di

palpasi.

6) Zero (0) : kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi.

28
D. Kerangka Konsep

Faktor Penyebab :
Usia
Pekerjaan Hernia Nucleus Pulposus

Postur tubuh yang tidak baik


Trauma

Alat Ukur :
VAS
Goniometer
MMT

Problematik FT :
Intervensi FT :
Nyeri
MWD
ROM terbatas
TENS
Kelemahan Otot
Mc. Kenzie

Evaluasi :
Nyeri berkurang
Nilai ROM bertambah 29
Nilai kekuatan otot bertambah
-
Gambar 2.1 Kerangka Konsep

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus, yaitu penelitian yang

mendalam pada satu jenis kasus dengan 2 sampel dan memberikan perlakuan

kepada sampel tersebut selama penelitian, yang kemudian dianalisis secara

mendalam sesuai hasil yang telah dicapai.

B. Lokasi Dan Waktu

1. Lokasi Penelitian : Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit Tingkat

II Pelamonia Makassar.

2. Waktu Penelitian : Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2019

sampai pada bulan Juni 2019.

C. Prosedur Pengambilan Data

Prosedur pengambilan data dilakukan melalui dua cara, Yakni data

primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pemeriksaan dan

pengukuran langsung pada pasien yang dijadikan sampel/kasus. Kemudian

30
dari hasil pemeriksaan diberikan perlakuan berupa intervensi fisioterapi lalu

melihat perubahan dengan cara membandingkan sebelum dan sesudah terapi.

Sedangkan data sekunder diperoleh dengan melihat status medical record

untuk menunjang data primer yang ada dan hasil pemeriksaan lainnya yang

mendukung.

D. Instrumen Penelitian

1. VAS, digunakan untuk mengukur nilai nyeri.

2. Goniometer, digunakan untuk mengukur lingkup gerak sendi.

3. MMT, digunakan untuk mengukur nilai kekuatan otot.

E. Alur Penelitian

Usul penentuan dan


Observasi penelitian Seminar proposal
pemilihan judul

Penatalaksanaan / Dilakukan pemeriksaan dan Pengurusan surat izin


Intervensi pengukuran fisioterapi penelitian
Fisioterapi sebelum perlakuan

Dilakukan pemeriksaan dan


Evaluasi hasil
pengukuran fisioterapi setelah
Laporan Hasil Akhir
terapi
perlakuan

Gambar 3.1 Alur Penelitian

31
F. Rencana Kegiatan Penellitian

Adapun rencana kegiatan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah

sebagai berikut :

Tabel 3.1. Rencana Kegiatan Penelitian

No Jenis Kegiatan Bulan


Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul

2019 2019 2019 2019 2019 2019 2019

1 Observasi
2 Pengajuan

judul
3 Pencarian

Referensi
4 Penyusunan

Proposal
5 Konsultasi

Proposal
6 Revisi Proposal
7 Ujian Proposal
8 Perbaikan

Proposal
9 Pengurusan

Surat Izin

32
Penelitian
10 Pengambilan

Data
11 Penelitian
12 Konsultasi
13 Penyusunan

KTI
14 Konsultasi KTI
15 Seminar KTI

33

Anda mungkin juga menyukai