Anda di halaman 1dari 10

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM ZAMAN PRA MODERN

Oleh:
Zaimul Am

A. Pendahuluan
Secara umum, pemikiran politik Islam zaman pra-modern merupakan produk
akulturasi kaum Muslim dengan warisan budaya besar dunia. Pemikiran Parsi dan
Yunani memiliki kedudukan penting di lingkungan istana karena keduanya
memperkenalkan cita-cita kemandirian aristokratis manusia yang menentukan kualitas
moral dan sosial elit kerajaan dalam arti yang selaras dengan Islam namun juga berasal
dari warisan dunia kuno non-Islam.
Cita-cita aristikratis ini menyerukan kepada para pejabat negara, pemerintah dan
para pelayan khalifah untuk beriman kepada Tuhan dan agar meyakini datangnya hari
kiamat. Di samping itu, semua literatur istana nampaknya membangkitkan konsep
kepemimpinan politik dan kerajaan pra-Islam. Perhatian terhadap aspek-aspek sekular
literatur Arab, sastra Persia, dan filsafat Yunani menandai sumbangan warisan budaya
yang mungkin saja digunakan untuk mengabsahkan kekuasaan khalifah. Semua literatur
itu, dalam kasus Arab, memberikan sebuah konsep etnik tentang kepemimpinan politik.
Dalam kasus Persia, sebuah keberlanjutan dari warisan raja-raja Timur Tengah kuno.
Dalam kasus helenistik, sebuah konsep tentang struktur alam itu sendiri yang dalam
bentuk filosofis dan ilmiah menjadi pembenaran universal terhadap kekuasaan kerajaan.
Perlindungan terhadap beberapa literatur ini akhirnya mengakibatkan bahwa khalifah,
meski berkedudukan sebagai penguasa Muslim, dilegitimasi oleh istilah-istilah budaya
non-Islam yang merujuk kembali kepada warisan Timur Tengah kuno.1
Salah satu dampak dari kondisi sosio-kultural di atas adalah terbentuknya
masyarakat kota dan elite agama Islam. Ada dua versi bagi pembentukan ini. Pertama,
versi peradaban awal Islam yang dikembangkan oleh istana kekhalifahan. Kedua, versi
yang merupakan penciptaan gugusan kota besar dan kota kecil yang didiami oleh orang-
orang Arab.
Sejak awal, para khalifah dipandang sebagai pewaris otoritas keagamaan maupun
kepemimpinan politik Nabi. Akan tetapi, politisasi regim kekhalifahan telah memicu

Ira M. Lapidus, The History of Islamic Society, (New York: Cambridge University Press, 1988), 96-
1

97
ketegangan antara kewajiban-kewajiban agama dan kebutuhan-kebutuhan politik. Kaum
Syiah, Khawarij dan orang-orang Arab Yaman yang mengantarkan Bani Abbas naik ke
tampuk kekuasaan menentang Dinasti Amawiyah atas nama prinsip-prinsip agama.
Tetapi, Bani Abbas juga membangun aparat negara yang kuat, dan memberikan kepada
pemimpin politik kemuliaan seremonial yang berbatasan dengan ketuhanan, sehingga
memicu pemberontakan kaum Syiah dan sikap saling curiga bahkan di kalangan para
pengikut mereka sendiri.
Di samping itu, meski menjadi pemimpin negara, para khalifah tidak mewarisi
kenabian atau menjadi sumber ajaran dan hukum agama. Pada inti keunggulan eksekutif
dan simbolik, ada kehampaan sebab baik jabatan itu maupun khalifah sendiri tidak
memiliki otoritas yang dapat menjadi sumber konsepsi dan perilaku keagamaan kaum
Muslim.
Secara formal, komunitas Muslim dipimpin oleh khalifah dan para gubernurnya.
Tetapi sebenarnya para ulama—yang tidak memegang jabatan resmi namun memiliki
reputasi karena ilmu dan kesalehan mereka—diterima oleh kaum Muslim awam sebagai
otoritas sejati dalam Islam. Para ulama ini membentuk lingkungan murid yang
mengabdikan diri untuk mempelajari Al-Quran, hadis, hukum teologi atau tasawuf.
Kaum Muslim lebih condong kepada mereka daripada kepada para khalifah. Karena itu,
pertumbuhan berbagai otoritas agama yang independen terhadap kekhalifahan diiringi
oleh munculnya lembaga-lembaga sektarian di dalam umat Islam. Dari sudut pandang
keagamaan dan komunal, kekhalifahan dan Islam secara keseluruhan tak lagi
terintegrasi.2
Para ulama dan pengikut-pengikutnya mencerminkan berbagai sudut pandang.
Sebagian mereka merupakan pendukung kekhalifahan. Sebagian lainnya menentang.
Sebagian mereka memusatkan perhatian kepada kitab suci, mempelajari Al-Quran,
mengumpulkan kembali hadis Nabi dan mendalami hukum. Sebagian yang lain
menaruh perhatian terhadap teologi atau mistisisme. Budaya Islam kota akhirnya
merupakan produk campuran dari semua orientasi ini.
Sungguhpun demikian, tetap dapat dipahami adanya perbedaan khas dalam budaya
Islam itu. Misalnya, institusi imâmah (kepemimpinan politik dan keagamaan)
merupakan sebuah produk teokratik yang bertentangan dengan konsepsi sekuler

2
Ira M. Lapidus, The History of Islamic Society, 99
kekuasaan. Menurut teori Syiah, imam adalah satu-satunya pemimpin yang sah atas
umat Muslim yang ditunjuk Tuhan untuk menduduki jabatan tertinggi itu. Imam adalah
keturunan Nabi Muhammad dari garis Fatimah dan Ali. Imam adalah pemimpin
spiritual dan religius selain pula sebagai pemimpin sekuler yang dibekali kekuatan
misterius dari para pendahulunya.3
Sekurang-kurangnya ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kinerja pemikiran
politik Islam. Pertama, budaya Timur Tengah kuno yang bangkit kembali sebagai akibat
kajian terhadap warisan budaya lama. Kedua, perkembangan internal Islam yang
ditandai oleh keinginan untuk meneladani kehidupan politik di zaman Nabi saw dan
Khulafa’ur Rasyidin.4 Ketiga, filsafat Yunani. Perpaduan ketiga faktor tersebut akhirnya
mengakibatkan munculnya tren tertentu dalam pemikiran politik Islam zaman pra-
modern.
B. Memahami Tren Pemikiran Politik Islam Zaman Pra-Modern.
Berbagai realitas institusi negara, komunal dan keagamaan baru tercermin dalam
sejumlah besar literatur teori politik. Teori ini mempunyai tiga cabang besar. Pertama,
teori kekhalifahan Sunni-Syiah. Kedua, genre Persia yang diilhami oleh Cermin Para
Pangeran. Ketiga, teori filosofis tentang negara ideal yang disusun oleh para pengulas
Plato dan Aristoteles.
Teori kekhalifahan Sunni-Syiah dirumuskan dalam risalah-risalah teologis dan
yuridis. Para penulis Sunni berusaha menjelaskan mengapa harus ada seorang khalifah,
apa tujuan jabatan itu, apa syaratnya dan bagaimana seorang khalifah dipilih. Asumsi
mendasar literatur Sunni adalah bahwa para pemimpin politik yang memegang jabatan
itu harus menjalankan syariah dan melindungi eksistensi masyarakat Muslim.
Sebelum paruh abad ke 10 H, perdebatan politik Muslim beralih kepada pertanyaan
tentang siapa yang berhak menyandang jabatan ini dan apa jaminan kemampuan para
khalifah untuk melaksanakan kewajiban mereka. Kaum Sunni mengusulkan beberapa
kualifikasi pribadi yang dipadukan dengan sebuah proses elektoral untuk menjamin
legitimasi seorang pemimpin politik.5
1) Tren Filosofis
3
Philip K. Hitti, History of the Arabs, 248
4
Kaum Muslim di zaman Nabi dan Khulafa’ur Rasyidin berdiri tegak sebagai satu-satunya pola
signifikan bagi kaum Muslim yang benar-benar ingin memperbaiki filsafat politik. Dengan demikian,
model komunitas era awal tetap menjadi sebuah norma tanpa cacat. Lihat, L. Carl Brown, Wajah Islam
Politik, alih basa: Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2003), 68
5
Ira M. Lapidus, The History of Islamic Society, 181
Dari warisan Yunani muncul sebuah literatur ketiga: para pengulas Plato dan
Aristoteles. Al-Farabi (w. 930), Ibn Sina (980-1037), Ibn Rusyd (1126-1198) dan
sebagainya mengkaji negara ideal dan pemimpin politik ideal. Tujuan tertinggi dari teori
politik filosofis adalah kesempurnaan kecerdasan spekulatif manusia dan tercapainya
kebahagiaan melalui perenungan hakikat ketuhanan. Untuk mewujudkan negara
sejahtera ini, kerjasama antar manusia menjadi sangatlah penting.6
Al-Farabi adalah ahli teori politik dalam tradisi filsafat. Dalam karyanya, Madînah
al-Fâdhilah (Kota Utama), al-Farabi mulai dengan sebuah resume prinsip yang
mencakup wujud Tuhan, emanasi akal langit, dan hubungan kecerdasan maupun
imajinasi manusia dengan alam spiritual. Tujuan sesungguhnya adalah memahami
wujud dan akal, dan mencapai visi spiritual tentang hakikat. Pusat perhatiannya adalah
tokoh filsuf yang harus mengetahui kebenaran dan berkewajiban untuk
mengaktualisasikan masyarakat manusia. Filsuf yang telah mencapai visi teoretik
kebenaran adalah orang yang paling memenuhi syarat untuk memimpin dan memerintah
rakyatnya serta membentuk karakter mereka agar berselaras dengan prinsip-prinsip
moral. Mengajarkan kepada mereka berbagai keterampilan praktis dan mendorong
mereka untuk melakukan perbuatan yang baik agar mereka dapat mencapai
kesempurnaan setinggi mungkin.7
Dalam Madînah al-Fâdhilah (Kota Utama), al-Farabi dengan tegas menyatakan
adanya kebutuhan manusia untuk bekerja sama dalam mencapai kesempurnaan.
Menurut al-Farabi, setiap manusia ditakdirkan membutuhkan banyak hal dalam
mencapai kesempurnaannya dan dia tidak mungkin menunaikan semua itu sendirian.
Karena itu, mustahil manusia mencapai kesempurnaan yang merupakan fitrahnya itu
kecuali melalui kerjasama di dalam masyarakat, yang masing-masing anggotanya saling
memenuhi kebutuhan satu sama lain. Maka jika kebaikan pada hakikatnya dapat dicapai
dengan kehendak dan upaya, demikian pula halnya kejahatan. Kota utama adalah kota
yang para penduduknya saling bekerja sama untuk mencapai kebahagiaan hakiki.8
Al-Farabi juga memaparkan sifat-sifat pemimpin kota utama. Menurutnya,
pemimpin kota utama merupakan pemimpin umat utama. Jabatan semacam ini hanya

6
Ira M. Lapidus, The History of Islamic Society, 187
7
Ira M. Lapidus, The History of Islamic Society, 188
8
Al- Farabi, Ârâ’ Ahl al-Madînah al-Fâdhilah, (Kairo: Mathba’ah al-Sa‘âdah, 2006), 77-78
dapat dipegang oleh orang yang memenuhi duabelas macam kriteria. Keduabelas
kriteria ini membentuk semacam kualifikasi mutlak bagi pemimpin kota utama:
1. Tidak menderita cacat fisik.
2. Memiliki daya tangkap yang baik.
3. Memiliki daya ingat yang kuat.
4. Cerdas.
5. Mampu mengkomunikasikan gagasan dan pemikiran dengan baik.
6. Gemar belajar dan mencintai ilmu.
7. Tidak rakus dalam hal makanan dan minuman serta tidak menderita hiperseks.
8. Berjiwa besar dan mencintai kemuliaan.
9. Memiliki kemampuan ekonomi yang kuat.
10. Mencintai keadilan dan orang-orang yang menegakkan serta membenci kezaliman.
11. Bersikap adil dan responsif terhadap seruan untuk menegakkan keadilan
12. Memiliki tekad yang kuat dalam dalam melaksanakan kebaikan.9
Al-Farabi mengakui bahwa sangatlah jarang orang yang memiliki semua kriteria di
atas. Enam atau bahkan lima dari kriteria di atas telah memadai untuk mengantarkan
seseorang menjadi pemimpin. Al-Farabi juga menyatakan bahwa jika tidak ada
pemimpin seperti itu pada suatu waktu, hendaknya pemimpin tersebut menetapkan
enam syarat bagi penggantinya, yaitu:
1. Bijaksana
2. Berilmu, menjaga hukum agama, dan melaksanakan kebijakan para pemimpin
terdahulu.
3. Memiliki kemampuan berijtihad dengan baik terhadap hal-hal yang belum ditetapkan
oleh para pemimpin terdahulu.
4. Memiliki daya tanggap yang baik terhadap berbagai peristiwa dan masalah baru.
5. Memiliki kemampuan retorika yang baik untuk menjelaskan berbagai kebijakan
pemimpin terdahulu.
6. Memiliki kondisi fisik yang baik sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas di
medan perang.10
Dalam politik, al-Farabi dinilai semakin jauh dari kehidupan nyata. Dalam cara
pandang ketimurannya terhadap segala sesuatu, Republik ideal Plato pun hilang ditelan
9
Al- Farabi, Ârâ’ Ahl al-Madînah al-Fâdhilah, 87-88
Al- Farabi, Ârâ’ Ahl al-Madînah al-Fâdhilah, 89-90
10
filsuf yang menjadi pemimpin politik.11 Dengan istilah lain, pemikiran al-Farabi
mengenai pemimpin politik ini dinilai utopis.
Al-Farabi menjelaskan bahwa ada dua tingkatan negara ideal. Pertama, negara yang
dipimpin oleh raja-nabi-filsuf, yang keberadaan bimbingan pribadinya menjadi inspirasi
bagi seluruh masyarakat yang baik. Kedua, negara yang dipimpin sesuai dengan hukum
yang ditetapkan oleh nabi-filsuf. Dalam negara ini, pemimpin politik harus memiliki
pengetahuan tentang hukum-hukuk kuno dan kemampuan untuk melaksanakannya.
Agaknya bentuk negara yang kedua ini berhubungan dengan masyarakat Islam yang
ditata oleh hukum yang diwahyukan di bawah pemerintahan seorang pemimpin politik
yang menjalankan hukum itu. Ia berhubungan erat dengan kekhalifahan ideal dalam
teori hukum Sunni.
Ibn Rusyd menawarkan sebuah visi komprehensif tentang alam spiritual dan
kedudukan masyarakat manusia di dalamnya. Kesempurnaan akal spekulatif merupakan
tujuan tertinggi eksistensi manusia. Masyarakat manusia ada demi kesempurnaan itu.
Masyarakat ideal membutuhkan seorang raja-filsuf yang akan menciptakan sebuah
tatanan yang di dalamnya setiap orang menunaikan kewajiban yang sesuai dengan
kemampuannya. Ketika kebaikan jiwa-akal, temperamen dan nalar terbentuk, ada
keadilan di dalam masyarakat atau di dalam diri setiap orang. Si pemimpin politik
memantapkan tatanan yang sempurna ini dengan mengajarkan filsafat kepada kaum
elite dan teologi serta sastra kepada yang lain. Dia mendidik rakyat dengan
memberlakukan hukum-hukum yang membimbing mereka menuju perilaku yang
sepantasnya.12
2) Tren Yuristik
Sejak abad ke 10 dan 11 H, khalifah tak lagi menjalankan peran politik dan
keagamaannya. Para sultan telah mencabut kekuasaan aktual khalifah. Sedangkan
perselisihan sektarian telah menghilangkan otoritas keagamaannya. Al-Mawardi (w.
1058) menulis al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (Prinsip-prinsip Pemerintahan) untuk
menunjukkan bahwa tugas utama khalifah adalah mempertahankan agama sesuai
dengan pola terdahulu, melaksanakan ketetapan hukum, dan melindungi umat Islam.
Tetapi, pandangan tradisional dan legalistiknya tentang khalifah bukanlah hanya
sekadar isyarat tentang kenangan historis. Selama kekhalifahan terus bertarung untuk
11
TJ. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publications, 1867), 123
12
Ira M. Lapidus, The History of Islamic Society, 188
mendapatkan kekuasaan aktualnya, penegasan otoritasnya memiliki makna praktis.
Karena itu, al-Farabi melengkapi pernyataan teoretiknya dengan pembahasan tentang
pembagian kekuasaan, syarat-syarat pengangkatan pejabat negara, dan sifat pribadi
maupun moral yang diperlukan bagi setiap pemegang jabatan. Dia menjelaskan tatanan
pemerintahan hukum, pungutan pajak, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan
produk pertanian, dan penegakan hukum terhadap para pelaku kejahatan. Akibatnya, dia
menyusun sebuah rancangan komprehensif untuk menjalankan sebuah pemerintahan
Islam.13
Dalam al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, al-Mawardi membagi pelimpahan kekuasaan ke
dalam dua bagian. Pertama, wizârah tafwîdh dan wizârah tanfîdz. Wizârah tafwîdh
adalah pembagian kekuasaan kepada orang yang mampu berijtihad dan menangani
masalah-masalah yang bersifat umum. Al-Mawardi mendasari pendapatnya pada QS
Thaha[20]: 29, yang di dalamnya disebutkan tentang permohonan nabi Musa as kepada
Allah agar Harun dapat dijadikan wakilnya dalam menangani masalah yang tengah
dihadapinya.14
Sedangkan wizârah tanfîdz memiliki kaidah hukum yang lebih ringan dan lebih
sedikit syarat-syaratnya. Sebab perhatian terbatas hanya kepada pendapat pemimpin
politik dan upaya melaksanakan pendapat itu. Perwakilan ini menjadi perantara antara
pemimpin politik dan rakyatnya.15
Al-Mawardi juga menyatakan agar lembaga yang berwenang memilih pemimpin
politik memperhatikan siapa di antara calon pemimpin politik itu yang memenuhi syarat
paling lengkap dan yang didukung oleh mayoritas rakyat.16
3) Tren Etik
Benang merah tren etik dalam pemikiran politik Islam adalah keharusan mentaati
pemimpin politik. Keharusan ini didasarkan ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang
menekankan kewajiban taat kepada negara. Teolog berhaluan Mazhab Hanbali, Ibn
Batutah (w. 997 H) mengecam pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan yang
sah. Demikian pula, al-Ghazali berpendapat bahwa pemimpin politik harus dipatuhi
tanpa penentangan. Sebab penentangan terhadap pemimpin politik, bahkan terhadap

13
Ira M. Lapidus, The History of Islamic Society, 182
14
Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, (Beirut: Dar al-Hadits al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), 25
15
Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, 29
16
Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, 7-8
pemimpin politik yang zalim sekalipun, merupakan alternatif yang buruk. Demi
mencegah perang saudara, setiap pemerintahan wajib diterima.17
Pada awal abad ke 9 H, kaum Hanbali menekankan pentingnya ketentuan Al-Quran
untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amr bi al-ma‘rûf dan
nahy ‘an al-munkar) agar menjadi dasar kewajiban setiap ulama dan setiap Muslim
demi menegakkan hukum Tuhan dalam urusan-urusan masyarakat. Dengan naiknya
para budak dan para kepala suku nomadik ke tampuk kekuasaan, kaum Hanbali dan
para teolog lainnya juga menekankan pentingnya nashîhah atau nasihat kepada elite
penguasa untuk mendorong mereka agar mengamalkan ajaran agama Islam.
Dalam teori dan praktik, Ibn Taymiyyah (1263-1328) menghadirkan pola
kecenderungan untuk menjadikan ulama sebagai fokus perhatian religio-komunal
Muslim. Dia menentang kaum Asy’ari dan teologi spekulatif dalam semua bentuknya.
Dia juga menentang tasawuf metafisik. Sesuai dengan peran politiknya sendiri, Ibn
Taymiyyah berpendapat bahwa ulama berkewajiban menegakkan hukum dengan cara
memberikan nasihat keagamaan kepada para pemimpin politik, mengajarkan prinsip-
prinsip yang benar kepada umat Islam serta memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Ibn Taymiyyah mengesampingkan persoalan tradisional tentang
kekhalifahan. Menurutnya, khalifah sejati tidak pernah memerintah sejak awal Islam.
Ibn Taymiyyah kemudian mendefinisikan pemerintahan Muslim menurut otoritas
kekuasaan yang aktual dan pentingnya nasihat para ulama.18
Karya paling penting dalam tren etik antara lain adalah Kitâb al-Imâmah yang
ditulis oleh Nizham al-Mulk (w. 1092). Karya ini menekankan agar sultan menegakkan
keadilan dan memberinya nasihat tentang teknik-teknik menjalankan pemerintahan.
Karya ini secara khusus membahas peran penting tentara, polisi, agen rahasia, dan para
pejabat keuangan. Ia menceritakan berbagai anekdot tentang para penguasa kuno untuk
menjelaskan subjek pembahasannya.
Karya penting yang lain adalah Qabus-name Kai Ka’us (w. 1082) yang merupakan
sebuah kompedium tentang surat seorang raja tua yang bijaksana kepada anaknya, yang
berisi nasihat mengenai sikap yang baik dari sebuah rumah tangga, pertanian, profesi
dan pemerintahan. Qabus-name berupaya mengajarkan kepada seorang tentang pemuda
bagaimana menjadi seorang negarawan dan seorang Muslim.
17
Ira M. Lapidus, The History of Islamic Society, 182
18
Ira M. Lapidus, The History of Islamic Society, 184
Kitâb Nashîhah al-Mulk karya al-Ghazali merupakan sebuah bentuk cermin yang
berbeda. Sementara Nizham al-Mulk berupaya memusatkan perhatian terhadap
persoalan-persoalan politik pragmatis, dan Kai Ka’us membahas ihwal pendidikan
seorang aristokrat, Nashîhah al-Mulk karya al-Ghazali mempolakan keyakinan-
keyakinan Islam, sifat-sifat dan perilaku bermoral yang dapat diharapkan dari seorang
pemimpin politik dan kewajibannya untuk mempertahankan agama yang sejati.19
Kitâb Nashîhah al-Mulk karya al-Ghazali juga menekankan pentingnya keadilan.
Pemimpin politik harus berupaya memahami bahwa Tuhan mencintai sultan yang adil
dan bahwa Tuhan akan mengadilinya di hari kiamat. Kewajibannya yang paling penting
adalah mencegah kekafiran dan perbuatan yang mungkar, memelihara tradisi Nabi,
memberikan imbalan kepada orang yang baik dan menjatuhkan hukuman kepada orang
yang jahat. Bagi al-Ghazali maupun para penulis sekular, kewajiban utama
pemerintahan adalah melindungi hukum dalam masyarakat dan ajaran-ajaran tentang
keyakinan yang benar.
Dalam karyanya, Kitâb Adâb al-Dunyâ wa al-Dîn, al-Mawardi menyatakan bahwa
ada 6 (enam) kaidah
C. Penutup
Arus utama pemikiran politik Islam zaman Pra-Modern terletak pada tekanannya
yang kuat terhadap tekad untuk mengamalkan kaidah-kaidah hukum agama Islam di
dalam masyarakat dan negara. Sebab disadari betul bahwa manusia, baik sebagai entitas
yang beradal dari pancara cahaya Ilahi maupun sebagai hamba yang diciptakan untuk
mengabdi kepada Tuhan, memiliki tujuan hakiki yakni mencapai kebahagiaan di dunia
dan di akhirat kelak. Karena itu, keinginan untuk mempertahankan dan bahkan
menerapkan pola pemerintah pada zaman Nabi saw dan Khulafa’ur Rasyidin bukanlah
hanya sekadar keinginan untuk bernostalgia namun haruslah dilihat dari kesempurnaan
dan kedekatan pola itu dalam mencapai kebahagiaan yang hakiki.

19
Ira M. Lapidus, The History of Islamic Society, 186
DAFTAR PUSTAKA

Boer, TJ. De, The History of Philosophy in Islam, New York: Dover Publications,
1967

Brown, L. Carl, Wajah Islam Politik, alih basa: Abdullah Ali, Jakarta: Serambi,
2003

Al- Farabi, Ârâ’ Ahl al-Madînah al-Fâdhilah, Kairo: Mathba’ah al-Sa‘âdah, 2006

Hitti, Philip K., History of the Arabs,

Lapidus, Ira M., The History of Islamic Society, New York: Cambridge University
Press, 1988

Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, (Beirut: Dar al-Hadits al-Kutub


al-‘Ilmiyyah, t.t.

Anda mungkin juga menyukai