Anda di halaman 1dari 37

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekspor komoditi perikanan Indonesia sangat bergantung pada dua jenis


komodoti utama, yaitu udang dan kelompok ikan lautseperti tuna, cakalang dan
tongkol. Komoditi udang dapat meningkatan ekspor sub-sektorperikanan, karena
mempunyai kontribusi 60% dari total nilai ekspor sub-sektor perikanan dengan
nilaiekspor diatas satu milyar dolar Amerika setahun.Udang Indonesia
berkontribusi 12,1% dari total ekspor udang dunia dengan nilai permintaan pasar
dunia US$ 11 milyar setahun (Adi Karya, K.P.A 2016). Data ekspor Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) tercatat bahwa volume ekspor udang periode
Januari – Juni 2016 naik 8,5% dari 96,685 ton menjadi 107,539 ton. Dari sisi
nilainya juga naik sekitar 10,6% dari US$ 851,199 menjadi US$ 882,092
(Kementrian Kelautan dan Perikanan 2016).

Limbah kulit udang memiliki potensi yang besar sebagai penghasil kitin.
Kitin adalah polimer alami berupa selulosa beramin dan berasetil (N-asetil
glukosamin) yang jumlahnya cukup berlimpah di alam, merupakan senyawa ke
dua terbesar setelah selulosa. Kitin juga dikenal sebagai polimer organik
konvensional yang berasal dari laut (Suptijah 2006). Kitin merupakan polisakarida
utama yang terdapat pada kulit udang dan cangkang kepiting, selain itu kitin juga
dapat diperoleh pada fungi dan kerangka luar serangga (Synowiecki et al. 2003).
Kitin tidak larut dalam air, asam, basa dan pelarut organik tetapi larut dalam asam
sulfat pekat panas dan asam format anhidrid (Muzarelli 1988). Kitin dapat diisolasi
dan ditansformasi menjadi kitosan melalui proses deasetilasi (Cuadrado et al.
2004).
Kitosan adalah turunan dari chitin dengan rumus D-Glukosamin,
merupakan polimer kationik yang mempunyai jumlah monomer sekitar 2000-3000
monomer, tidak toksik dengan LD50= 16 g/kg BB dan mempunyai BM sekitar
800Kda (Suptijah 2006). Kitosan memiliki sifat ramah lingkungan dan mudah
didegradasi. Kitosan dapat dimanfaatkan secara luas di berbagai bidang pangan
(flavor, pembentuk tekstur, emulsifier, penjernih minuman dan antimikroba),
farmasi (antitumor, penurun kolestrol, dan mencegah diabetes militus), kosmetik
dan lain-lain. Kemampuan kitosan yang diterapkan dalam berbagai bidang
industry modern, misalnya farmasi, biokimia, kosmetika, industri pangan, dan
industry tekstil mendorong untuk terus dikembangkannya berbagai penelitian
2

yang menggunakan kitosan. Disisi lain kesesuaian kitosan untuk diaplikasikan di


berbagai bidang tergantung dari berat molekul dan derajat deasetilasinya
(Adhiatama et al. 2012).
Kitosan larut dalam pH asam, tetapi tidak larut dalam kisaran netral.
Kitosan hanya larut dalam beberapa asam organik tertentu termasuk asam
format, asetat, propionat, laktat, sitrat dan suksinat, serta beberapa pelarut
anorganik, antara lain asam hidroklorik, fosfor, dan nitrat. Kelarutan kitosan juga
tergantung pada asam dan konsentrasinya. Larutan kitosan sangat kental bahkan
pada konsentrasi yang rendah sekalipun, disamping itu penerapan kitosan
terbatas dalam konteks komersial sering dibatasi terutama dalam segi mutunya.
Kitosan larut asam dibatasi penggunaannya misalnya sebagai pembawa terhadap
zat aktif yang tidak stabil di dalam asam (Zhang et al. 2010). Kelarutan
merupakan karakteritik penting untuk kitosan. Peningkatan kelarutan dapat
memfasilitasi penerapan kitosan dalam obat dan makanan. Kelarutan kitosan
dapat ditingkatkan pada pH netral dan basa dengan cara menurunkan berat
molekulnya. Kitosan dengan berat molekul rendah (5-20 kDa) dapat larut pada
kisaran pH yang netral. Berat molekul yang tinggi menyebabkan rendahnya
kelarutan kitosan dalam air (Li et al. 2009).
3

1.2 Tujuan
Adapun tujuan karya ilmiah praktik akhir adalah:
1) Mengetahui cara penanganan limbah bahan baku kulit udang
2) Mengetahui mutu bahan baku limbah kulit udang
3) Mengetahui alur proses pembuatan kitosan laut air berdasarkan hasil
kombinasi dan modifikasi.
4) Mengetahui rendemen dan karakteristik kitosan larut air

1.3 Batasan Masalah


Dalam karya ilmiah praktik akhir ini penulis membatasi masalah sebagai berikut :
1) Proses penanganan bahan baku limbah kulit udang dari pengumpulan hingga
siap dijadikan kitosan.
2) Melakukan uji kadar air, kadar abu, dan kadar protein, pada bahan baku
limbah kulit udang.
3) Kombinasi dan modifikasi perlakuan konsentrasi H2O2 serta waktu dan suhu
pemanasan pada tahap hidrolisis kitosan larut air.
4) Menghitung rendemen dan melakukan uji karakteristik kitosan larut air (uji
kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, derajat keasaman, viskositas dan derajat
deasetilasi)
4

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Udang Vannamei (Litopenaeous vannamei)
2.1.1 Klasifikasi Udang Vannamei
Udang vannamei termasuk genus Penaeus dan subgenus Litopenaeus dari
genus Penaeus lainnya karena bentuk telikum (organ kelamin betina) terbuka,
tapi tidak terdapat tempat untuk penyimpanan sperma (WWF, 2014).
Klasifikasi udang vannamei menurut ilmu taksonomi adalah sebagai berikut :
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Sub-Class : Malacostrata

Series : Eumalacostrata

Super Ordo : Eucarida

Ordo : Decapoda

Sub Ordo : Dendrobranchiata

Infra Ordo : Penaeidea

Family : Penaeidae

Genus : Penaeus

Sub Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

2.1.2 Morfologi Udang Vannamei

Udang penaeid mempunyai ciri khas yaitu : kaki jalan 1,2, dan 3 bercapit
dan kulit kitin. Udang penaeid termasuk crustacean yang merupakan binatang air
memiliki tubuh beruas-ruas, pada setiap ruasnya terdapat sepasang kaki. Udang
vannamei termasuk salah satu family penaide termasuk semua jenis udang laut,
udang air tawar. Secara morfologi udang dapat dibedakan menjadi 2 bagian :

1) Bagian Kepala
Pada ruas kepala terdapat mata majemuk yang bertangkai. Selain itu,
memiliki 2 antena, yaitu antenna I dan antenna II. Antena I dan antenulles
mempunyai dua buah flagellate pendek berfungsi sebagai alat peraba atau
5

penciuman. Antena II atau antennae mempunyai dua cabang, exopodite


berbentuk pipih disebut prosantenna dan endopodite berupa cambuk panjang
yang berfungsi sebagai alat perasa dan peraba. Juga pada bagian kepala
terdapat mandibular yang berfungsi untuk menghancurkan makanan yang keras
dan dua pasang maxilla yang berfungsi membawa makanan ke mandibular.
2) Bagian dada (thorax)
Bagian dada terdiri 8 ruas, masing-masing mempunyai sepasang anggota
badan disebut thoracopoda. Thoracopoda 1-3 disebut maxiliped berfungsi
pelengkap bagian mulut dalam memegang makanan. Thoracopoda 4-8 berfungsi
sebagai kaki jalan (periopoda); sedangkan pada periopoda 1-3 mempunyai capit
kecil yang merupakan ciri khas udang penaeidae.
3) Bagian perut (abdomen)
Bagian abdomen terdiri dari 6 ruas. Ruas 1-5 memiliki sepasang anggota
badan berupa kaki renang disebut pleopoda (swimmered). Pleopoda berfungsi
sebagai alat untuk berenang bentuknya pendek dan ujungya berbulu (setae).
Pada ruas ke 6, berupa uropoda dan bersama dengan telson berfungsi sebagai
kemudi.

Gambar 1. Morfologi Udang Vannamei (PUSLUH KP, 2011)

Keterangan gambar :

1. Carapace a. Oesophagus
2. Rostrum b. Ruang cardiac
3. Mata majemuk c. Ruang pyloric
4. Antennules d. Cardiac Plate
5. Prosartema e. Gigi-gigi cardiac
6. Antena f. Cardiac ossicle
7. Maxiliped g. Hepatopancreas
8. Pereopoda h. Usus (mid gut)
9. Pleopoda i. Anus
10. Uropoda
11. Telson
6

Tanda-tanda anatomi Litopenaeus vannamei yang penting, antara lain


(PUSLUH KP, 2011) :
1) Pada rostrum ada 2 gigi disisi ventral, dan 9 gigi disisi atas (dorsal)
2) Pada badang tidak ada rambut-rambut halus (setae)
3) Pada jantan petasma tumbuh dari ruas coxae kaki renang No : 1. yaitu
protopodit yang menjulur kearah depan. Panjang petasma kira-kira 12
mm. Lubang pengeluaran sperma dan dua kiri dan kanan terletak pada
dasar coxae dari pereopoda (kaki jalan) no.5
4) Pada betina thelycum terbuka berupa cekungan yang ditepinya banyak
ditumbuhi oleh bulu-bulu halus, terletak dibagian ventral dada/thorax,
antara ruas coxae kaki jalan no 3 dan 4 yang juga disebut “Fertilization
chamber”. Lubang pengeluaran telur terletak pada coxae kaki jalan no.3.
Coxae ialah ruas no.1 dari kaki jalan dan kaki renang.

2.1.3 Karakteristik dan Komposisi Kimia Kulit Udang

Limbah kulit udang yang dihasilkan dari proses pembekuan udang,


pengalengan udang dan pengolahan kerupuk udang sangat besar sehingga
jumlah bagian yang terbuang dan menjadi limbah dari usaha pengolahan udang
tersebut sangat tinggi. Limbah udang mengandung konstituen utama yang terdiri
atas protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen dan abu. Kulit udang yang
mengandung kitin dan khitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan
tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum dimanfaatkan secara
optimal (Mursida, 2018).
Kulit udang mengandung protein (25- 40%), kalsium karbonat (45-50%),
dan kitin (15-20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut juga
tergantung dari jenis udang yang ada. Kandungan kitin dalam kulit udang lebih
sedikit dari kandungan kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah didapat dan
tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah (Focher et al., 1992).

Tabel 1. Komposisi Kimia Kulit Udang

Bahan kimia Komposisi


Proein 25%
Kalsium Karbonat (CaCo3) 50%
Kitin 25%
Sumber: Suhartini dkk. (2009)

2.2. Kitin dan Kitosan


7

2.2.1 Kitin
Kitin adalah polimer alami berupa selulosa beramin dan berasetil (N-asetil
glukosamin) yang jumlahnya cukup berlimpah di alam, merupakan senyawa ke
dua terbesar setelah selulosa. Kitin juga dikenal sebagai polimer organic
konvensional yang berasal dari laut (Suptijah 2006). Kitin merupakan polisakarida
utama yang terdapat pada kulit udang dan cangkang kepiting, selain itu kitin juga
dapat diperoleh pada fungi dan kerangka luar serangga (Synowiecki et al. 2003).
Kitin tidak larut dalam air, asam, basa dan pelarut organik tetapi larut dalam asam
sulfat pekat panas dan asam format anhidrid (Muzarelli 1988). Kitin dapat diisolasi
dan ditansformasi menjadi kitosan melalui proses deasetilasi (Cuadrado et al.
2004).

2.2.2 Kitosan

Kitosan adalah turunan dari chitin dengan rumus D-Glukosamin,


merupakan polimer kationik yang mempunyai jumlah monomer sekitar 2000-3000
monomer, tidak toksik dengan LD50= 16 g/kg BB dan mempunyai BM sekitar
800Kda (Suptijah 2006). Kitosan memiliki sifat ramah lingkungan dan mudah
didegradasi. Kitosan dapat dimanfaatkan secara luas di berbagai bidang pangan
(flavor, pembentuk tekstur, emulsifier, penjernih minuman dan antimikroba),
farmasi (antitumor, penurun kolestrol, dan mencegah diabetes militus), kosmetik
dan lain-lain. Kemampuan kitosan yang diterapkan dalam berbagai bidang
industry modern, misalnya farmasi, biokimia, kosmetika, industri pangan, dan
industry tekstil mendorong untuk terus dikembangkannya berbagai penelitian
yang menggunakan kitosan. Disisi lain kesesuaian kitosan untuk diaplikasikan di
berbagai bidang tergantung dari berat molekul dan derajat deasetilasinya
(Adhiatama et al. 2012).

Kitosan juga merupakan polisakarida alami yang memiliki 3 gugus reaktif yaitu
gugus –OH pada atom C3 dan C6 serta gugus –NH2 pada atom C2 (Gambar 1).
Kitosan disusun oleh dua jenis gula amino yaitu glukosamin (2-amino-2-deoksi
Dglukosa,70-80 %) dan N-asetilglukosamin (2-asetamino-2- deoksi-D-glukosa,20-
30%). Kitosan memiliki muatan positif yang kuat yang dapat mengikat muatan
negatif dari senyawa lain, serta mudah mengalami degrasasi secara biologis dan
tidak beracun. (Goosen, 1997). Kitosan dihasilkan dari proses deasetilasi
(penghilangan gugus-COCH3) kitin. Kitin tersusun dari unit-unit N-asetil
8

Dglukosamin (2-acetamido-2- deoxy-D-glucopyranose) yang dihubungkan secara


linier melalui ikatan β-(1→ 4). Kitin berwarna putih, keras, tidak elastis,
merupakan polisakarida yang mengandung banyak nitrogen, sumber polusi
utama di daerah pantai. Kitosan dapat diperoleh dari limbah kulit hewan golongan
crustacean seperti udang.
Bahan baku kitosan berupa kulit udang cukup melimpah. Menurut Suparno dan
Nurcahaya (1984), limbah kulit udang mencapai 30-40% dari produksi udang
beku. Limbah tersebut terdiri atas 36-49% bagian kepala dan 17-23% kulit ekor.
Berdasarkan persentase tersebut dapat diketahui bahwa potensi limbah kulit
udang di Indonesia cukup tinggi yakni berkisar 186.900 ton - 249.200 ton. Kulit
udang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat
(45%- 50%) (Mudjiman, 1982).

Gambar 2. Struktur kimia kitin (a) dan kitosan (b)

2.2.3 Sifat – Sifat Kimia dan Biologi Kitosan

Sebagian besar polisakarida yang terdapat secara alami seperti sellulosa,


dekstran, pektin, asam alginat, agar, karangenan bersifat netral atau asam di
alam, sedangkan kitosan merupakan polisakarida yang bersifat basa (Nei et al
2000). Menurut Rismana (2006) sifat alami kitosan dapat dibagi menjadi dua sifat
besar yaitu, sifat kimia dan biologi. Sifat kimia kitosan antara lain :
1) Merupakan polimer poliamin berbentuk linear.
2) Mempunyai gugus amino aktif.
9

3) Mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam.


Sifat biologi kitosan antara lain:
1) Bersifat biokompatibel artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak
mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah
diuraikan oleh mikroba (biodegradable).

2) Dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif.

3) Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol.

4) Bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat. Berdasarkan kedua sifat
tersebut maka kitosan mempunyai sifat fisik khas yaitu mudah dibentuk
menjadi spons, larutan, pasta, membran, dan serat. yang sangat bermanfaat.
(Rismana, 2006)

2.2.4 Rendemen

Semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan menghasilkan


rendemen yang semakin kecil (Melati 2014). Mojarrad et al. (2007) menyatakan
bahwa perbandingan antara waktu hidrolisis dan konsentrasi asam merupakan
faktor yang menentukan nilai rendemen sampel. Nilai rendemen kitosan larut air
yang dihasilkan menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi asam dan
waktu reaksi. Penurunan rendemen diduga terjadi karena adanya reaksi samping
sehingga terbentuk zat pengotor dan menurunkan nilai rendemen kitosan larut air
yang dihasilkan. Pemberian tekanan pada proses dapat menyebabkan terjadinya
puffing (Pamungkas et al. 2008). Puffing dapat diartikan sebagai suatu proses
pemasukkan gas ke dalam bahan yang kemudian terjadi ekspansi untuk
kemudian dilepaskan dan mengakibatkan pengembangan/pemutusan terhadap
struktur luar dari struktur seluler sebuah produk. Pengembangan struktur ini
terjadi sebagai akibat dari pemasukan udara (gas) secara paksa serta pelepasan
tekanan secara tiba-tiba yang menghasilkan struktur permukaan yang lebih
porous (Pamungkas et al. 2008).

2.3 Karekteristik Kitosan

Karakteristik kitosan udang meliputi warna, bentuk, kadar air, kadar abu,
kadar nitrogen, pH, dan derajat deasetilasi (Suptijah et al. 2014). Untuk
menentukan kualitan kitosan, menggunakan standar mutu kitosan berdasarkan
SNI 7949:2013. Kemurnian kitosan dapat dilihat dari derajat deasetilasinya.
10

Semakain tinggi derajat deasetilasi, maka gugus amina (NH2), pada rantai
molekul kitosan akan tinggi dan kitosan semakin murni, Karakteristik kitosan
berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat di lihat pada tabel 1.

Tabel 2 Karakteristik Kitosan

No Jenis Uji Satuan Persyaratan


1 Bentuk Partikel - Serpihan sampai serbuk
2 Warna - Coklat muda sampai putih
3 Fisika
- Benda asing - Negative
4 Kimia
-Derajat deasetilasi % Min. 75
-pH - 7-8
-Kadar abu % Maks. 5
-Kadar air % Maks. 12
Sumber : SNI 7949:2013

2.3.1 Kadar Air

Kadar air yang dihasilkan merupakan perbedaan antara berat bahan


sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan. Kadar air dalam kitosan diketahui
dari banyaknya air yang menguap setelah pemanasan. Kadar air dipengaruhi
oleh proses pengeringan, tempat pengeringan dan waktu pengeringan, semakin
lama waktu pengeringan serta meminimalisir kandungan kadar air yang ada di
kitosan. Zhiruddin et al. (2008) menyatakan bahwa persentase kadar air kitosan
dipengaruhi oleh proses pengeringan dan lama pengeringan, jumlah kitosan yang
dikeringkan serta luas permukaan tempat kitosan dikeringkan.

2.3.2 Kadar Abu

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kadar abu diketahui dari berat kitosan yang tidak terabukan setelah ditanur.
Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat pada suatu bahan
(Darmawan 2017). Semakin rendah kadar abu yang dihasilkan maka mutu dan
tingkat kemurnian kitosan akan semakin tinggi. Tinggi rendahnya kadar abu
dipengaruhi oleh konsentrasi H2O2 karena H2O2 melarutkan mineral, juga
dipengaruhi oleh proses pencucian atau presipitasi, semakin banyak mineral yang
terbuang maka nilai kadar abu semakin rendah. Proses pencucian yang baik,
berpengaruh terhadap kadar abu dan mineral yang telah terlepas dari bahan akan
11

berikatan dengan pelarut dapat terbuang bersama air. Kadar abu yang besar
pada kitosan dapat mempengaruhim kelarutan, konsekuensinya dapat
menurunkan viskositas atau dapat mempengaruhi karakteristik lainnya
(Tanheitafino et al. 2016). Kadar abu dari kitosan hasil penelitian dipengaruhi oleh
konsentrasi asam klorida dan suhu pemanasan. Asam klorida berperan
melarutkan garam kalsium dengan terbentuknya gas CO2 dan H2O2 dipermukaan
larutan (Cahyono 2015)

2.3.3 Kelarutan Kitosan

Kelarutan adalah kuantitas maksimal suatu zat kimia terlarut (solute) untuk
dapat larut pada pelarut tertentu membentuk larutan yang homogen. Kelarutan
suatu zat dasarnya sangat tergantung pada sifat fisika dan kimia solut dan pelarut
tertentu merupakan suatu pengukuran konsentrasi kejenuhan dengan cara
menambahkan sedikit demi sedikit solut (bahan) pada pelarut sampai solute
tersebut mengendap (tidak dapat larut lagi). Kelarutan adalah kuantitas maksimal
suatu zat kimia terlarut (solute) untuk dapat larut pada pelarut tertentu
membentuk larutan yang homogen. Kelarutan suatu zat dasarnya sangat
tergantung pada sifat fisika dan kimia solut dan pelarut tertentu merupakan suatu
pengukuran konsentrasi kejenuhan dengan cara menambahkan sedikit demi
sedikit solut (bahan) pada pelarut sampai solut tersebut mengendap (tidak dapat
larut lagi). faktor konsentrasi asam yang digunakan. Konsentrasi HCl yang
digunakan diduga terlalu rendah sehingga belum mampu menghidrolisis kitosan
secara sempurna. Kadar asam yang rendah menyebabkan terjadinya hidrolisis
yang kurang sempurna Kralovec dan Barrow (2008). Kitosan telah kehilangan
gugus asetilnya karena adanya mekanisme pemotongan oleh asam kuat dan
basa kuat (Hu et al. 2010). Tekanan yang terjadi di dalam autoklaf tidak memutus
gugus asetil pada kitosan, melainkan hanya memotong polimer menjadi unit lebih
kecil, sehingga ion Cl- dari HCl lebih mudah beikatan dengan gugus amin kitosan
membentuk NH3Cl. Adanya gugus hidroksil O-H dan gugus NH3Cl ini
menyebabkan kitosan bersifat larut dalam air (Ernawati 2012).

2.3.4 Derajat Deasetilasi


12

Semakin besar derajat deasetilasi, maka kitosan akan semakin aktif


karena banyaknya gugus amina yang menggantikan gugus asetil. Gugus amina
lebih reaktif dibandingkan gugus asetil karena adanya pasangan elektron bebas
pada atom nitrogen dalam struktur kitosan (Muzarelli dan Peter 1997).

Perhitungan derajat deasetilasi (DD) yaitu dengan membandingkan nilai


absorbansi pada bilangan gelombang 1655 cm-1 (pita serapan amida) dengan
bilangan gelombang 2450 cm-1 (serapan pita hidroksil). Perbandingan
absorbansi pada 1655 cm-1 dengan absorbansi 3450cm-1 digandakan satu per
satu standar Ndeasetil kitosan (1,33) (Czechowska et al. 2012). Pengukuran nilai
derajat deasetilasi dapat dihitung menggunakan rumus:

A 1655 1
N−deasetil ( % ) =[1− x ]
A 3450 1,33

Keterangan:
A1655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1655 cm-1
A3450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3450 cm-1
1,33 = Konstan untuk derajat deasetilasi yang sempurna

2.4 Pembuatan Kitosan

Proses produksi dengan melakukan isolasi senyawa kitin dan kitosan


dengan menggunakan metode Hong (Salami 1998) dengan cara sebagai berikut :
limbah kulit udang dicuci dengan air hingga bersih, kemudian dikeringkan di
bawah sinar matahari. Limbah kulit udang yang telah bersih dihaluskan (dicacah)
untuk mendapatkan ukuran sebesar 50 mesh.

2.4.1 Deproteinasi

Ekstraktor diisi dengan 7 kg limbah kulit udang ditambahkan larutan NaOH


3,5% dengan perbandingan 10:1 (v/b), kemudian dimasak dalam ekstraktor
selama 2 jam pada temperatur 65oC. Setelah dingin, disaring dan dinetralkan
dengan akuades. Padatan yang diperoleh dikeringkan dalam ekstraktor tanpa
pelarut pada suhu 60oC hingga kering.

2.4.2 Demineralisasi
13

Limbah kulit udang hasil deproteinasi 4,2 kg ditambah larutan HCl 1 N


dengan perbandingan 15:1 (v/b) dimasukkan dalam ekstraktor pada suhu 60oC
selama 30 menit, kemudian didinginkan. Setelah dingin, disaring dan padatan
dinetralkan dengan akuades, kemudian dikeringkan dalam ekstraktor tanpa
pelarut pada suhu 60oC.

2.4.3 Dekolorisasi

Larutan NaOCl 0,315% ditambahkan kedalam hasil demineralisasi dengan


perbandingan 10:1 (v/b) dalam ekstraktor selama selama 1 jam pada suhu 40 oC,
kemudian padatan disaring dan dinetralkan dengan akuades. Padatan hasil
penetralan dikeringkan pada ekstraktor pada suhu 80oC sampai berat tetap.

2.4.4 Deasetilasi

Pembuatan kitosan dilakukan melalui proses deasetilasi 2,70 kg kitin


dengan mengikuti metode Knorr (Salami 1998) yaitu dengan menambahkan
NaOH 60% dengan perbandingan 20:1 (v/b) dan dimasukkan kedalam ekstraktor
pada suhu 80 - 100oC selama 1 jam. Setelah dingin disaring dan padatan yang
diperoleh dinetralkan dengan akuades.Padatan kemudian dikeringkan dalam
ekstraktor tanpa larutan pada suhu 80oC selama 24 jam dan kitosan siap
dianalisis.

Deproteinasi

Analisis :
Demineralisasi 1. Rendemen
2. Kadar Air
3. Kadar Abu
4. Kadar Nitrogen
Dekolorisasi
5. Derajat
Keasaman
6. Derajat
Deasetilasi Deasetilasi

Gambar 3. Bagan Alur Proses Pembuatan Kitosan

2.5 Pembuatan Kitosan Larut Air


14

Proses pembuatan kitosan larut air dilakukan melalui metode hidrolisis


bertekanan menggunakan hot plate dengan perlakuan variasi konsentrasi asam
klorida. Proses diawali dengan penimbangan kitosan kemudian dimasukkan ke
dalam larutan H2O2. Waktu pemanasan yang diberikan adalah 30 menit pada
suhu 400C Sampel yang telah dipanaskan dengan hot plate dicuci dengan larutan
isopropil alkohol, kemudian diendapkan. Sampel yang telah mengendap disaring,
kemudian dicuci dengan NaOH dan diendapkan kembali dengan isopropil alkohol
hingga pH netral.

Kitosan Kulit Udang


15

Hidrolisis H2O2 (13%, 16%,19%)


preparasi

Pemanasan 30 menit suhu 400C Netralisasi

Pengeringan 30-400C
Presipitasi dengan Alkohol
24 jam

Kitosan
Filtrasi/Dekantasi

Analisis :
Netralisasi
7. Rendemen
8. Kadar Air
9. Kadar Abu
Pengeringan (suhu ruang) 10. Kadar Nitrogen
11. Derajat
Keasaman
12. Derajat
Kitosan Larut Air
Deasetilasi

Analisis :

1. Rendemen 6. Kadar Abu


2. Derajat keasaman 7. Kadar Nitrogen
3. Kelarutan 8. Gugus Fungsi
4. Viskositas 9.Derajat Deasitilasi
5. Kadar Air

Gambar 4 Diagram alir pembuatan kitosan larut air dengan metode hidrolisis
bertekanan (Suptijah 2011)

3. METODE PRAKTIK
16

3.1 Waktu dan Tempat


Praktek akhir dilaksanakan mulai tanggal 17 Februari sampai dengan 15
mei 2020. Ekstraksi kitosan Larut Air dari Limbah Kulit Udang Vannamei
(Lipopenaeous vannamei) di laboratorium Balai Besar Riset Pengolahan Produk
dan Bioteknologi (BBP2BKP) Jakarta.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan yaitu hot plate, gelas kimia, labu Erlenmeyer 250 mL,
gelas piala 100 Ml, timbangan digital, pipet volumetrik, sudip, alumunium foil,
stopwatch, pH meter, mortar, alu, kertas saring dan seperangkat alat Fourier
Transform Infrared Spectroscopy (FTIR).

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit udang,
H2O2 , akuades, NaOH, dan kertas saring.

3.3 Metode Pengumpulan Data


3.3.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui


pengamatan ke lapangan dan ikut berpartisipasi langsung untuk melakukan
tahapan proses yang dilaksanakan, diantaranya data yang diperoleh melalui
pengamatan di lokasi. Serta melakukan wawancara terhadap pihak-pihak
laboratorium yang berkompeten.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung


diantaranya yaitu pengumpulan data dan informasi tentang penelitian meliputi uji
kimia serta studi literatur dari berbagai tulisan yang berkaitan dengan
permasalahan praktik.

3.4 Metode Penelitian


Penelitian ini meliputi penenganan bahan baku, menguji mutu bahan
baku, membuat kitosa larut air. Serta menghitung rendemen dan kaakteristik
kitosan larut air. Alur perosesnya dapat dilihat dari gambar 3.

Penanganan Perhitungan Rendemen


Bahan Baku dan Kareakteristik
Kitosan Larut Air
17

Pengujian
Mutu Bahan
Kitosan Larut
Baku
Air

Deproteinasi
NaOH 3,5% 65oC. 2 jam Hidrolisis H2O2 50%
disaring, dioven 60oC. (13%, 16%, 19%) suhu
(Salami 1998) 40-50oC.

Demineralisasi Rendemen dan


Kareakteristik
HCl 1 N 15:1 60oC 30 menit,
disaring, dioven 60oC, 24

Deasetilasi
Kitin
NaOH 60% 80-
Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Kitosan Larut Air

3.4.1 Penanganan Bahan Baku


Penanganan bahan baku ini meliputi tahap pencucian bahan bakukuit
udang ang bertujuan untuk mendapatkan bahan baku yang bersih dari kotoran
dan sisa daging sebelum diproses lebih lanjut. Pencuciian ini dapat dilakukan
dengan mencuci kulit udang dengan air mengalir (air mineral). Kemudian di
keringkan dan dihaluskan. Proses pengeringan ini dilakukan dengan oven 900C

3.4.2 Pengujian Mutu Bahan Baku


Pengujuian mutu bahan baku dilakukan untuk mengetahui kandungan
kada air, kadar abu, dan kadar potein pada bahan baku sebelum dijadikan kitosan
larut air. Pengujian kadar air dilakukan berdasarkan SNI 2354:2015 dan kadar
abu berdasarkan SNI 2354:2010

3.4.3 Pembuatan Kitosan Larut Air


Pembuatan kitosan larut air terdiri dari isolasi kitin, pembuatan kitosan
dan pembuatan kitosan larut air.

3.4.3.1 Isolasi Kitin


18

Proses pembuatan kitin terdiri dari tahap deproteinasi dan demineralisasi.


Pada tahap deproteinasi di lakukan dengan cara menggunakan larutan NaOH
3,5% dengan perbandingan 10:1 dipanaskan selama 2 jam dengan suhu 65 0C,
setelah dingin dinetralkan dengan akuades.lalu dikeringkan pada suhu 600C.
(Salami 1998). Setelah tahapan deproteinasi dilanjutkan tahap demineralisasi
dengan menambahkan HCl 1 N dengan perbandingan 15:1 dipanaskan pada
suhu 600C selama 30 menit, lalu di netralkan dengan akuades, lalu di keringkan
pada suhu 600C. Bagan alur proses pembuatan kitin dapat dilihat pada gambar 4.

Kulit Udang

Penanganan Bahan Baku

Deproteinasi
NaOH 3,5% 65oC (Salami
1998)

Netralisasi

Demineralisasi
HCl 1 N (15:1) 60oC 30
menit, disaring, dioven
60oC, 24 jam. (Salami
1998)

Netralisasi

kitin Rendemen

Gambar 6. Bagan Alur Pembuatan Kitin

Sumber: Edward et al (2016)

3.4.3.2 Pembuatan Kitosan


19

Setelah tahap demineralisasi dilanjuatkan tahap deasetilasi menggunakan


NaOH 60% dengan perbandingan 20:1 pada suhu 80-1000C selamam 1 jam.
Bagan alur proses pemuatan kitosan dapat dilihat pada Gambar 5.

Kitin

Netralisasi

Deasetilasi
NaOH 60% 80-100oC,
24 jam.

Kitosan

Analisis :
1. Kadar Air 4. Derajat Keasaman
2. Kadar Abu 5. Derajat Deasetilasi
3. Kadar Nitrogen 6. Rendemen

Gambar 7. Bagan Aur Proses Pembuata Kitosan

Sumber: Edward et al (2016)

3.4.3.3 Pembuatan Kitosan Larut Air (Belangi, 2018)

Proses pembuatan kitosan larut air dilakukan melalui metode hidrolisi


asam dengan perlakuan pariasi konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2), suhu dan
waktu hidrolisis. Proses diawali dengan penimbangan kitosan kemudian
dimasukkan kedalam larutan H2O2 dengan rasio sampel H2O2 =1:9.perlakuan
komsentrasi H2O2 yang dilakukan oleh Chamidah et al (2019) adalah 3%, 7%,
10%dan 13%. Dengan suhu pemanasan 40, 47,5 dan 55 0C. sehingga penelitian
ini akan digunakan konsentrasi 13%, 16%,dan 19% dengan tidak menggunakan
autokaf bertekanan namun memodifikasi suhu 400C dan 500C selama 1 jam.
Sampel yang telah dihidrolisis dicuci dengan larutan isopropil alkohol, kemudian
diendapkan, lalu disaring kemudian di cuci dengan NaOH dan diendapkan
20

kembali denga isopropil alkohol hingga pH netral. Bagan Alur Proses pembuatan
Kitosan larut air dapat dilihat pada gambar 6.

Kitosan

Hidrolisis H2O2

A1 13% A2 16% A3 16%

B1 B2 B1 B2 B1 B2

Pencucian dengan alkohol


Analisis :
1. Rendemen
2.Kadar Air
Netralisasi dan filtrasi 3.Kadar Abu
4.Kadar Nitrogen
5. kelarutan
Pengeringan suhu kamar (27oC) 6. Gugus Fungsi
7. Viskositas
8. Derajat Keasaman
9. Derajat Deasetilasi
Kitosan Larut Air

Gambar 8. Bagan Alur Proses Kitosan Larut Air

3.4.4 Perhitungan Rendemen dan Karakteristik Kitosan

1) Rendemen

Rendemen adalah daging yang dapat dimanfaatkan setelah dilakukan


pengolahan. Rendemen hasil olahan ditentukan oleh mutu bahan baku, jika
bahan baku mutunya rendah maka akan menghasilkan rendemen yang rendah
pula (Moeljanto, 1978). Rendemen merupakan berat hasil yang diinginkan dibagi
berat total ada kaitannya dengan 100%.
Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam mengetahui
berat akhir suatu bahan setelah proses produksi. Persentase (BSN 1992) berat
kitosan larut air dari kitosan dihitung dengan rumus:
21

Berat hasil kitosan larut air


Rendemen( %)= x 100 %
berat sampel kitosan

2) Derajat Keasaman

Menurut (SNI 06-6989.11:2004) salah satu parameter yang ditetapkan


dalam penentuan standar mutu kitosan adalah pH atau derajat keasamannya.
Pengukuran pH adalah pengukuran banyaknya ion H pada suatu larutan. Cara
determinasi pH kitosan menggunakan pH meter dengan cara menimbang
sebanyak 1 g sempel selanjutnya dituangkan ke gelas piala 40 mL yang telah
berisi air dan mengukur tingkat keasamannya pada suhu 25°C menggunakan pH
meter.

3) Kadar Air

Penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan cawan porselin


dalam oven pada suhu 105 ºC selama 8 jam. Cawan porselin dimasukkan ke
dalam desikator selama ±15 menit dan ditimbang sampai diperoleh berat konstan
(A: berat cawan). Sebanyak 1 g hsampel dimasukkan ke dalam cawan porselin
(B: berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan). Sampel dimasukkan ke dalam
oven pada suhu 105 ºC selama 8 jam. Sampel hasil pengeringan dimasukkan ke
dalam desikator sampai dingin ditimbang kembali sampel (C: berat cawan dan
sampel setelah dikeringkan). (AOAC 2005) Kadar air dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:

B−C
Kadar air(% )= x 100 %
A

Keterangan:
A : Berat cawan (gram)
B : Berat sampel dan cawan sebelum dikeringkan (gram)
C : Berat sampel dan cawan setelah dikeringkan (gram)

4) Kadar Abu

Analisis kadar abu dimulai dengan mengeringkan cawan pengabuan di


dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 ºC. Cawan pengabuan dimasukkan ke
22

dalam desikator selama 1 menit (A: berat cawan). Kitosan sebanyak 1 gram
dimasukkan ke dalam cawan pengabuan selanjutnya dipijarkan di atas nyala api
sampai tidak berasap lagi (B: berat cawan dan samperl sebelum dikeringkan).
Sampel hasil pembakaran dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu
600 ºC selama 4 jam. Sampel hasil pengabuan dimasukkan ke dalam desikator
selama 15 menit dan ditimbang kembali (C: berat cawan dan sampel setelah
dikeringkan). (AOAC 2005) Kadar abu dapat dihitung dengan rumus berikut:

Bobot abu(g)
Kadar abu(%)= x 100 %
Bobot sampel ( g)

5) Total Nitrogen

Analisis kadar protein terdiri dari tiga tahap yaitu tahap destruksi, destilasi,
dan titrasi. Analisis kadar protein dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak
0,25 gram dan masukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL dan ditambah selenium
0,25 gram serta3 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 1 jam hingga
cairan bening. Campuran tersebut dibiarkan hingga dingin, kemudian dipindahkan
ke alat destilasi. Labu Kjeldahl yang telah digunakan dicuci dengan akuades 50
mL. Air cucian tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambah 20 mL
NaOH 40% hingga berwarna coklat kehitaman, selanjutnya didestilasi. Hasil
destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL H3BO3 2% diberikan 2
tetes indikator Brom Cresol Green-Methyl Red berwarna merah muda,
selanjutnya dititrasi dengan larutan H2O2 . sampai berubah menjadi warna merah
muda. (AOAC 2005) Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein
dihitung dengan persamaan di bawah ini:

(mL HCl−mLblanko) x N H 2 O2 x 14
Nitrogen( %)= x 100 %
mg sampel

6) Kelarutan

Padatan kitosan sebanyak 0,5 gram dilarutkan ke dalam 50 mL aquadest,


divortex selama 10 detik lalu disentrifugasi pada12000 rpm 15 menit. Setelah itu
23

endapan dioven 1300C 20 menit. Padatan ditimbang sampai diperoleh berat


konstan. Selisih antara ketidaklarutan dengan bobot awal adalah kelarutan (Shon
et al. 2011). Kelarutan dapat dihitung dengan rumus berikut:

bobot akhir
Ketidaklarutan(%)= x 100 %
bobot awal

Kelarutan ( % ) =100 %−ketidaklarutan

7) Viskositas Kitosan

Analisis viskositas kitosan diukur menggunakan DV-E VISCOMETER


BROOKFIELD. Posisi water pass diatur pada posisi yang seimbang dengan
mengatur “kaki” panahan. Viscometer yang telah hidup ditentukan nomor spindel
dan speed yang akan digunakan sesuai acuan dan jenis sampel. Spindel yang
digunakan yaitu urutan nomor 2. Setelah nomor spindle dan rpm ditentukan,
spindle dipasangkan ke badan mesin dengan membuka terlebih dahulu penutup
scrup. Saat spindle sudah terpasang, arah tombol speed untuk menyesuaikan
nilai speed, dan diarahkan kembali ke tombol spindle dan disuaikan dengan
memutar tombol select. Test rentang nilai Cp dengan menekan auto range, nilai
yang keluar adalah nilai maksimal pada spindle yang terpasang. Posisi mesin
dinaikan dengan memutar ulir di bagian belakang. Sampel dimasukkan dalam
wadah/beakerglass, suhu optimal pengujian. Ulir diturunkan hingga spindle
terendam pada batasnya. Kemudian hidupkan spindle dengan menekan “Motor
ON”. Catat nilai Cp sampai nilai yang terbaca stabil. Kemudian dikalikan dengan
faktor konversi yang ada. Nilai viscometer yang dihasilkan dengan ssatuan
Centipoise (cP). Spindle dimatikan dengan mengembalikan posisi “motor ON”
cabut spindle, bersihkan, dan alat dimatikan dengan menekan tombol OFF
dibelakang alat. (Nadia et al. 2014).

8) Gugus Fungsi menggunakan FTIR

Analisis FTIR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi suatu


bahan/sampel. Sampel sebanyak 0,02 g dan 200 mg KBr dihaluskan dalam
24

mortar hinggahomogen, sampel kemudian dimasukkan ke dalam mesin cetakan


pellet untuk dipadatkan serta divakum. Pelet dimasukkan ke dalam ruang
penempatan sel, kemudian ditembakkan dengan sinar IR dari spektofotometer
(Bruker Tensor 37) yang telah dinyalakan pada kondisi stabil. Tahap selanjutnya
dilakukan pendeteksian menggunakan tombol detektor dan dihasilkan rekaman
histogram FTIR pada monitor. Historam tersebut menunjukkan informasi puncak
dari gugus fungsi suatu sampel. Histogram yang diperoleh, kemudian dianalisis
untuk memperoleh data kualitatif maupun kuantitatif. Pengukuran derajat
deasetilasi kitosan dan glukosamin dilakukan berdasarkan kurva yang tergambar
oleh spektrofotometer. Puncak tertinggi (P0) dan puncak terendah (P) dicatat lalu
diukur dengan garis dasar yang dipilih (Muyonga et al. 2004). Nisbah absorbansi
dihitung dengan rumus:

PO
A=log x 100 %
P

Keterangan:
P0 = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung yaitu dua puncak tertinggi
pada Panjang gelombang 1655 cm-1 atau 3450 cm-1
P = Jarak antara garis dasar dengan lembah terendah pada panjang gelombang
1655 cm-1 atau 3450 cm-1.

9) Penentuan Derajat Deasetilasi

Perhitungan derajat deasetilasi (DD) yaitu dengan membandingkan nilai


absorbansi pada bilangan gelombang 1655 cm-1 (pita serapan amida) dengan
bilangan gelombang 2450 cm-1 (serapan pita hidroksil). Perbandingan
absorbansi pada 1655 cm-1 dengan absorbansi 3450cm-1 digandakan satu per
satu standar Ndeasetil kitosan (1,33) (Czechowska et al. 2012). Pengukuran nilai
derajat deasetilasi dapat dihitung menggunakan rumus:

A 1655 1
N−deasetil ( % ) =[1− x ]
A 3450 1,33

Keterangan:
A1655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1655 cm-1
25

A3450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3450 cm-1


1,33 = Konstan untuk derajat deasetilasi yang sempurna

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Bahan Baku


Bahan baku kulit udang diperoleh dari PT. Wirontono Baru Balaraja di
Tanggerang. PT. Wirontono Baru Balaraja adalah salah satu perusahaan yang
terletak dibidang pengolahan ikan. Bahan baku yang digunakan untuk proses
pembuatan kitosan sebanyak 30 kg dimana bahan baku yang diambil ini
merupakan limah kulit udang . bahan baku yang ada dimasukan kedalam coolbox
yang berisi es untuk menjaga kesegaran dalam peralanan menuju laboratorium
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi (BBP2BKP) Jakarta
sehingga bahan baku tidak mudah busuk saat dibawa didalam mobil bak.

Gambar 9. Bahan Baku

Setelah sampai Limbah kulit udang langsung dicuci dengan air hingga
bersih, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Limbah kulit udang yang
telah bersih dihaluskan (dicacah) untuk mendapatkan ukuran sebesar 50 mesh.

4.2 Deproteinasi
Setelah kulit udang kering lalu ditimbang sebanyak 7 kg dan ditambahkan
larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan 10:1 (v/b), kemudian dimasak dalam
ekstraktor selama 2 jam pada temperatur 65oC. Setelah dingin, disaring dan
dinetralkan dengan akuades. Padatan yang diperoleh dikeringkan dalam
ekstraktor tanapa pelarut pada suhu 60oC hingga kering. (Salami 1998).

4.3 Demineralisasi
26

Limbah kulit udang hasil deproteinasi 4,2 kg ditambah larutan HCl 1 N


dengan perbandingan 15:1 (v/b) dimasukkan dalam ekstraktor pada suhu 60oC
selama 30 menit, kemudian didinginkan. Setelah dingin, disaring dan padatan
dinetralkan dengan akuades, kemudian dikeringkan dalam ekstraktor tanpa
pelarut pada suhu 60oC. (Salami 1998). Setelah tahap deproteinasi ini kitin telah
terbentuk.
Menurut Marganov bahwa proses demineralisasi bertujuan untuk
menghilangkan garam-garam anorganik atau kandungan mineral yang ada pada
kulit udang. Kandungan mineral utamanya adalah CaCO3 dan Ca3(PO4)2 dalam
jumlah kecil, mineral yang terkandung dalam kulit udang ini lebih mudah
dipisahkan dibandingkan dengan protein karena hanya terikat secara fisik
(Marganov 2003; Agustina et al. 2015).

4.4 Deasetilasi
Setelah tahap demineralisasi dilanutkan tahap deasetilasi menggunakan
2,70 kg kitin dengan mengikuti metode Knorr (Salami 1998) yaitu dengan
menambahkan NaOH 60% dengan perbandingan 20:1 (v/b) dan dimasukkan
kedalam ekstraktor pada suhu 80 - 100oC selama 1 jam. Setelah dingin disaring
dan padatan yang diperoleh dinetralkan dengan akuades.Padatan kemudian
dikeringkan dalam ekstraktor tanpa larutan pada suhu 80 oC selama 24 jam dan
kitosan siap dianalisis. Pada tahap ini kitosan terlah terbentuk danselanjutnya
dilakukan analisis berupa penguian kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, derajat
keasaman, derajat deasetilasi dan perhitungan rendemen.

Menurut Azhar dkk menyatakan bahwa semakin kuat suatu basa semakin
besar konsentrasi OH- dalam larutannya yang dapat meningkatkan kekuatan
basa mempengaruhi proses deasetilasi gugus asetil dari gugus asetamida kitin
( Azhar dkk. 2010). Pembuatan kitosan dalam penelitian ini dilakukan dengan
mengikuti metode Knorr (Salami 1998) yaitu dengan menambahkan NaOH 60%
dengan perbandingan 20:1 (v/b) dan dimasukkan kedalam ekstraktor pada suhu
80 - 100oC selama 1 jam. Rendemen yang diperoleh pada tahapan ini adalah
sebesar 63%.

4.5 Pembuatan kitosan larut air


Menurut penelitian oleh (Chamidah et al) pembuatan kitosan larut air
menggunakan H2O2 dengan kombinasi perlakuan konsentrasi H2O2 (3,7,10 dan
13%) dan suhu pemanasan (40, 47,5 dan 55 ͒C) yang diulang sebanyak 3 kali.
27

Menghasilkan semakin tinggi suhu pemanasan pada konsentrasi H2O2 yang sama
terjadi penurunan nilai DD. Hal ini karena suhu yang terlalu tinggi dapat
menurunkan tingkat kelarutan termasuk kualitas kitosan larut air (Tanasale et al.,
2006). Sebaliknya dengan konsentrasi H2O2 yang semakin tinggi nilai DD
semakin tinggi, hal ini disebabkan karena H2O2 dapat mempercepat proses
degradasi rantai utama chitosan (Du et al., 2002), sehingga gugus asetil yang
terdapat pada chitosan larut air menurun dan semakin banyak jumlah gugus
amina. Semakin tinggi DD, maka gugus asetil dari chitosan semakin rendah
sehingga interaksi antar ion dan ikatan hidrogennya akan semakin kuat.
Pelepasan gugus asetil dari chitosan menyebabkan chitosan bermuatan positif
sehingga mampu mengikat senyawa bermuatan negatif (Rochima, 2007). Nilai
DD tertinggi pada perlakuan dengan konsentrasi H2O2 13% dan suhu 40oc
sebesar 94,21% Nilai DD chitosan larut air lebih besar dibandingkan chitosan
alami yaitu 75%. (Islam et al., 2011) dan 74,26% (Basmal et al., 2007).

4.6 Perhitungan Rendemen dan Krakteristik Kitosan

4.6.1 Rendemen
Rendemen merupakan presentase rasio antara hasil produk akhir
terhadap bahan baku awal yang digunakan (Yudihapsari,2009), yaitu rendemen
transformasi chitosan menjadi chitosan larut air berdasarkan presentase berat
chitosan larut air terhadap berat chitosan yang diperoleh (Zahiruddin et al. 2008).
Dalam penelitian ini rendemen kitosan yang diperoleh mengalami
penurunan. Hal ini karena semakin tinggi konsentrasi H2O2 menyebabkan BM
chitosan semakin rendah. Hong et al. (1989) menyatakan H2O2 yang tinggi dapat
menyebabkan depolimerisasi rantai molekul chitosan yang akhirnya akan
menyebabkan penurunan BM. Demikian juga suhu yang terlalu tinggi dapat
mengakibatkan partikel-partikel chitosan yang larut air menjadi lebih halus
sehingga saat pemisahan filtrat dan residu banyak yang terikut pada fitratnya
(Apriani et al. 2012).

4.6.2 Kadar Air


Kadar air yang dihasilkan merupakan perbedaan antara berat bahan
sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan. Kadar air dalam kitosan diketahui
dari banyaknya air yang menguap setelah pemanasan, dari hasil penelitian
(Belangi 2018) menyebutkan bahwa kadar air kitosan larut air yang tertinggi yaitu
28

pada perlakuan 0,5% sebesar 18,96±0,34% sedangkan kadar air terendah yaitu
pada perlakuan 1,25% sebesar 15,55±0,04%. Sehingga BSN (2013)
menyebutkan kadar air kitosan ≤12%. Kadar air kitosan larut air masih diatas 10%
diduga karena kurang maksimalnya pengeringan kitosan larut air yang dilakukan
tanpa menggunakan oven. Kadar air yang tinggi dari hasil penelitian ini diduga
diakibatkan terjadinya pernyerapan uap air ketika kitosan dalam keadaan terbuka.
Hal ini dikarenakan kitosan mengandung gugus amina yang memiliki kemampuan
untuk mengikat molekul air. Kadar air dipengaruhi oleh proses pengeringan,
tempat pengeringan dan waktu pengeringan, semakin lama waktu pengeringan
serta meminimalisir kandungan kadar air yang ada di kitosan. Zhiruddin et al.
(2008) menyatakan bahwa persentase kadar air kitosan dipengaruhi oleh proses
pengeringan dan lama pengeringan, jumlah kitosan yang dikeringkan serta luas
permukaan tempat kitosan dikeringkan.

4.6.3 Kadar Abu


Berdasarkan hasil penelitian (Belangi 2018) kadar abu kitosan larut air
pada perlakuan HCl 0,5% sebesar 1,36±0% dan terendah pada perlakuan HCl
1,25% yaitu sebesar 1.10±0.02%. Kadar abu hasil penelitian tidak sesuai dengan
SNI 7949:2013 yang menyatakan bahwa standar untuk kadar abu kitosan ≤1%.
Tinggi rendahnya kadar abu dipengaruhi oleh konsentrasi HCl karena HCl
melarutkan mineral, juga dipengaruhi oleh proses pencucian atau presipitasi,
semakin banyak mineral yang terbuang maka nilai kadar abu semakin rendah.
Proses pencucian yang baik, berpengaruh terhadap kadar abu dan mineral yang
telah terlepas dari bahan akan berikatan dengan pelarut dapat terbuang bersama
air. Kadar abu yang besar pada kitosan dapat mempengaruhi kelarutan,
konsekuensinya dapat menurunkan viskositas atau dapat mempengaruhi
karakteristik lainnya (Tanheitafino et al. 2016). Kadar abu dari kitosan hasil
penelitian dipengaruhi oleh konsentrasi asam klorida dan suhu pemanasan. Asam
klorida berperan melarutkan garam kalsium dengan terbentuknya gas CO 2 dan
H2O dipermukaan larutan (Cahyono 2015).

4.6.4 Kadar Nitrogen


Kadar nitrogen merupakan salah satu parameter yang juga diukur untuk
menentukan mutu kitosan. Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang
berinteraksi dengan gugus-gugus amina (NH2). Dari penelitian yang dilakukan
oleh (Belangi 2018) menyebutkan bahwa perbedaan kadar nitrogen kitosan yang
29

dihasilkan Kadar nitrogen terbesar terdapat pada perlakuan HCl 0,5% sebesar
5,23±0,01% sedangkan kadar nitrogen terendah terdapat pada perlakuan HCl
1,25% 3,47±0,16%. Kadar nitrogen kitosan uji telah memenuhi standar mutu
kitosan yaitu sebesar ≥5% (BSN 7949:2013). Kadar protein yang tinggi dari
kitosan dipengaruhi konsentrasi asam. Semakin tinggi konsentrasi larutan
diharapkan mampu mendenaturasi protein, lemak, pigmen, dan beberapa bahan
organik serta melepaskan mineral pada bahan. Tingginya kadar nitrogen diduga
disebabkan proses pengadukan kurang merata sehingga protein yang ada dalam
bahan tidak banyak terlepas, pernyataan ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan Zahiruddin et al. (2008) menyatakan bahwa proses pengadukan yang
konstan juga merupakan salah satu faktor yang mempermudah penghilangan
protein dari kulit udang.

4.6.5 Kelarutan
Kelarutan adalah kuantitas maksimal suatu zat kimia terlarut (solute) untuk
dapat larut pada pelarut tertentu membentuk larutan yang homogen. Kelarutan
suatu zat dasarnya sangat tergantung pada sifat fisika dan kimia solut dan pelarut
tertentu merupakan suatu pengukuran konsentrasi kejenuhan dengan cara
menambahkan sedikit demi sedikit solut (bahan) pada pelarut sampai solut
tersebut mengendap (tidak dapat larut lagi).kelarutan kitosan didapatkan dari
perbandingan konsentrasi HCl yang berbeda menunjukkan perbedaan kelarutan
kitosan yang dihasilkan. Kitosan terbaik dalam parameter ini adalah kitosan
perlakuan konsentrasi HCl 1,25% yang larut sebesar 68,10±0,7 sedangkan
kitosan yang kelarutannya rendah terdapat pada perlakuan HCl 0,5% sebesar
31,05±0,05. Hasil pengujian tingkat kelarutan kitosan larut air dilakukan
menggunakan air bersuhu 27oC menghasilkan tingkat kelarutan berkisar antara
31,05-68,10%. Adanya kitosan yang tidak larut, menunjukkan bahwa kitosan
belum terhidrolisis secara optimal. Hal tersebut dapat disebabkan beberapa
faktor, salah satunya faktor konsentrasi asam yang digunakan. Konsentrasi HCl
yang digunakan diduga terlalu rendah sehingga belum mampu menghidrolisis
kitosan secara sempurna.
Kadar asam yang rendah menyebabkan terjadinya hidrolisis yang kurang
sempurna Kralovec dan Barrow (2008). Kitosan telah kehilangan gugus asetilnya
karena adanya mekanisme pemotongan oleh asam kuat dan basa kuat (Azhar et
al. 2010). Tekanan yang terjadi di dalam autoklaf tidak memutus gugus asetil
30

pada kitosan, melainkan hanya memotong polimer menjadi unit lebih kecil,
sehingga ion Cl- dari HCl lebih mudah beikatan dengan gugus amin kitosan
membentuk NH3Cl. Adanya gugus hidroksil O-H dan gugus NH3Cl ini
menyebabkan kitosan bersifat larut dalam air (Ernawati 2012).

4.6.6 Gugus Fungsi


Pembacaan spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FTIR)
digunakan untuk menganalisis gugus fungsi dengan cara menentukan hasil
spektrum bahan dengan serapan energi molekul organik melalui sinar infrared.
Sinar infrared digunakan untuk menentukan setiap gugus dalam molekul bahan.
Setiap molekul memiliki serapan infrared yang berbeda-beda umumnya disajikan
dalam bentuk Panjang gelombang antara 450-4000 cm-1. Prinsip dasar dari
spektrofotometri IR adalah perubahan amplitude radiasi IR dari gugus dalam
molekul pada energy yang sesuai Ernawati (2012). Dalam penelitian ini Uji FTIR
dilakukan terhadap sampel kitosan yang memiliki nilai kelarutan terbesar yaitu
kitosan pada perlakuan HCl 1,25%. Hasil spektrofotometer FTIR kitosan larut air
menghasilkan puncak-puncak spesifik yang menunjukkan gugus fungsi pada
kitosan larut air yaitu pada 3421 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur -OH. Pita serapan
panjang gelombangpada 2933 cm-1 menunjukkan adanya gugus metil C-H.
gugus amin NH menunjukkan Panjang gelombang 1641 cm-1. Pita serapan
Panjang gelombang pada penelitian ini telah memenuhi standar Pavia et al.
(2009) yang menyatakan bahwa gugus O-H pada pita serapan antara 3100-3650
cm-1, C-H pada pita serapan 2700-3000 cm -1, dan N-H pada pita serapan 1640-
1670 cm-1.

4.6.7 Viskositas
Viskositas merupakan kekentalan suatu bahan yang diukur dengan
menggunakan alat viscometer. Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui
tingkat kekentalan kitosan sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu.
Warsito (2012) menyatakan bahwa viskositas dapat dihitung menggunakan
metode putar yaitu dengan memasukkan penghambat ke dalam fluida dan
kemudian diputar. Semakin lambat putaran penghambat tersebut maka semakin
rendah nilai viskositasnya. Dalam penelitian ini viskositas larut air memiliki nilai
tertinggi pada perlakuan HCl 1,25% yaitu 121,8±0,28 cP dan terendah pada
perlakuan HCl 0,5% yaitu 83,2±0,00cP. Kitosan larut air yang dihasilkan memiliki
31

viskositas sebesar 83,2±0,00 – 121,8±0,28 cP. Viskositas yang dihasilkan


tergolong rendah <200 cP. (Belangi 2018).
Viskositas merupakan salah satu sifat karakteristik dari polimer. Nilai
viskositas yang rendah dari penelitian ini dipengaruhi oleh distribusi molekul
kitosan dalam larutan serta berat molekul dari kitosan, sedangkan berat molekul
kitosan dalam larutan berhungan langsung dengan Panjang rantai polimernya.
Jika ukuran rantai polimernya menjadi kecil maka laju gerak translasinya menjadi
cepat sehingga viskositas menjadi rendah dan sebaliknya. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakuakan Avena et al. (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi
berat molekul dari kitosan maka distribusi molekul kitosan dalam larutan semakin
lambat sehingga menghasilkan viskositas yang tinggi, sebaliknya semakin kecil
berat molekul kitosan maka distribusi molekul kitosan dalam larutan semakin
cepat sehingga menghasilkan kitosan dengan viskositas yang rendah. Viskositas
yang terlalu tinggi akan mempengaruhi kekentalan larutan, yang tidak diinginkan
untuk penanganan industri. Informasi mengenai viskositas kitosan berhubungan
dengan aplikasinya. Dalam bidang farmasi diperlukan kitosan dengan viskositas
rendah, sedangkan untuk keperluan pengental atau pengeras bahan makanan
diperlukan kitosan dengan viskositas tinggi (Dewi dan Fawzya 2006).

4.6.8 Derajat Keasaman


Nilai pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. Dalam
penelitian ini Perlakuan terbaik pada konsentrasi HCl 1,25% yaitu 6,09±0,14.
Interaksi antara konsentrasi HCl dan pemanasan dengan tekanan memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pH. Hasil analisis nilai pH kitosan larut air dengan
metode hidrolisis bertekanan menghasilkan nilai pH berkisar antara 5,33-6,09
(Belangi 2018). Hal ini diakibatkan adanya ekstraksi ion H+ yang berlebihan
dalam proses hidrolisis kimia menggunakan asam klorida (Nurjannah et al. 2016).
Proses hidrolisis kitosan larut air secara kimia menggunakan konsentrasi asam
klorida menghasil kitosan larut air dengan proses penetralan yang dilakukan
berulang dan memerlukan waktu yang cukup lama. Proses penetralan dilakukan
dengan larutan isopropil alkohol dengan derajat keasaman mencapai 5-6.
Penetralan dengan dengan IPA ini bertujuan untuk mendapatkan kitosan larut air
dengan nilai pH tidak terlalu rendah atau mendekati netral, serta membantu
32

proses penghilangan senyawa pengotor yang masih terdapat dalam bahan (Alam
2017).

4.6.9 Derajat Deasetilasi


Dari penelitia ang dilakukan oleh (Belangi 2018) Hasil analisis derajat
deasetilasi pada penelitian perlakuan HCl 1,25% ini yaitu 92,5%. Derajat
deasetilasi kitosan uji telah memenuhi standar mutu kitosan yaitu sebesar ≥75%
(SNI 7949:2013). Semakin besar derajat deasetilasi, maka kitosan akan semakin
aktif karena banyaknya gugus amina yang menggantikan gugus asetil. Gugus
amina lebih reaktif dibandingkan gugus asetil karena adanya pasangan electron
bebas pada atom nitrogen dalam struktur kitosan (Muzarelli dan Peter 1997).
33

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kitosan larut air terbaik dihasilkan apabila rendemen kitosan yang


diperoleh mengalami penurunan. Berdasarkan parameter karakteristik kitosan
larut air yang dihasilkan, Derajat keasaman (pH) 6,09±0,14%, kelarutan
68,10±0,7% kadar air 15,55±0,04%, kadar abu 1,10±0,02, kadar nitrogen
3,47±0,16%, viskositas 121,8±0,28cP dengan derajat deasetilasi 92,5%. Kadar
air kitosan larut air yang dihasilkan masih belum memenuhi SNI 7949:2013.
Semakin tinggi konsentrasi HCl dan H 2O2 yang digunakan maka semakin tinggi
pula kelarutan kitosan larut air yang dihasilkan.

5.2 Saran
Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya telah diketahui bahwa semakin
tinggi konsentrasi kitosan larut air menghasilkan zona hambat yang semakin
besar pula. Oleh karena itu, disaran untuk dilakukan penelitian lebih mendalam
mengenai uji aktivitas baik menggunakan metode lain seperti kimia, fisika dan
biologi. Serta uji karakteristik kitosan lainnya sebagaimana memenuhi SNI
7949:2013.
34

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of


Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Gaithersburg,
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2013. SNI 7949: 2013 tentang Kitosan
Syarat mutu dan pengolahan. Jakarta (ID): BSN
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Air dan air limbah bagian 11: Cara uji
derajat keasaman pH dengan menggunakan alat pH meter. Jakarta (ID):
Badan Standarisasi Nasional.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2010. Cara uji kimia bagian 2: Penentuan
kadar abu pada produk perikanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi
Nasional.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2015. Cara uji kimia bagian 2: Penentuan
kadar air pada produk perikanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi
Nasional.
Adhiatama I, Zainudin M, Rokhati N. 2012. Hidrolisis kitosan menggunakan
katalisasam klorida (HCL). Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 1(1): 245-
251.
BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI: 01 2891:1992. Cara Uji
Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
Cahyono E. 2015. Produksi glukosamin dengan metode hidrolisis bertekanan
sebagai bahan penunjang kesehatan sendi. [Tesis]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Cuadrado, M., Frasquet, M., & Cervera, A. (2004). Benchmarking the port
services: a customer oriented proposal. Benchmarking: An International
Journal.

Czechowska-Biskup D, Jarosinska D, Rokita B, Ulanski P, Rosiak JM. 2012.

Darmawan D. 2017. Karakterisasi dan aplikasi kitosan udang vaname


(Liptopenaeus vannamei B.) dari seram utara, maluku sebagai coating pada
35

pisang mas kirana (Musa sp. AA Group). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Determination of degree of deacetylastion of chitosan-comparision of methods.
Progress on Chemistry and Application of Chitin. 17:5-20.
Focher, B., Naggi, A., Torri, G., Cosani, A., & Terbojevich, M. (1992). Structural
differences between chitin polymorphs and their precipitates from solutions
—evidence from CP-MAS 13C-NMR, FT-IR and FT-Raman
spectroscopy. Carbohydrate Polymers, 17(2), 97-102.

Hu, J., Zhang, Z., Shen, W. J., & Azhar, S. (2010). Cellular cholesterol delivery,
intracellular processing and utilization for biosynthesis of steroid
hormones. Nutrition & metabolism, 7(1), 47.

Kelautan, K. (2016). Perikanan. 2016. Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan


Perikanan Tahun 2015.

Li, L., Du, Y., Li, N., Wu, X., & Wu, Y. (2009). Top–down modulation of prepulse
inhibition of the startle reflex in humans and rats. Neuroscience &
Biobehavioral Reviews, 33(8), 1157-1167.

Marganof, 2003. Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pribadi Pengantar ke
Falsafah Sains (PP702) Program Pasca Sarjana Institut Teknologi
Bandung.

Melati E. 2014. Pembuatan glukosamin hidroklorida (Glcn HCl) dari kitin karapas
udang dengan metode autoklaf. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Mojarrad JS, Mahboob N, Valizadeh H, Ansarin M, dan Bourbour S. 2007.
Preparation of glucosamine from exoskeleton of shrimp and predicting
production by response surface metoghology. Journal of Agricultural and
Chemistry. 55: 2246-2250.
Mursida, M., Tasir, T., & Sahriawati, S. (2018). Efektifitas Larutan Alkali pada
Proses Deasetilasi dari Berbagai Bahan Baku Kitosan. Jurnal Pengolahan
Hasil Perikanan Indonesia, 21(2), 356-366.
36

Muyonga JH, Cole CGB, Duodo KG. 2004. Characterisation of acid soluble
collagen from skins of young and Nileperch (Lates niloticus). Food
Chemistry. 85(1): 81-89.
Muzarelli RAA dan Peter MG. 1997. Chitosan Handbook. New European Chitin

Muzarelli RAA. 1977. Chitin. Perfamon Press. Oxford. UK.

Muzzarelli, R. A. (1988). Carboxymethylated chitins and chitosans. Carbohydrate


polymers, 8(1), 1-21.

Nadia LM, Suptijah P, Ibrahim B. 2014. Produksi dan karakterisasi nano kitosan
dari cangkang udang windu dengan metode gelasi ionik. Jurnal Masyarakat
Pengolahan Hasil Perikanan. 17(2):119-126.
Nei, M., & Kumar, S. (2000). Molecular evolution and phylogenetics. Oxford
university press.

Pamungkas WH, Bintoro N, Rahayu S, dan Rahardjo B. 2008. Perubahan laju


pengeringan pasta dengan perlakuan awal puffing udara. Prosiding seminar
Nasional Teknik Pertanian 2008. Yogyakarta 18-19 November 2008.

Purwaningsih, Sri. 1995. Teknologi Pembekuan Udang. Penebar Swadaya:


Jakarta.

Pusluh KP.2011.Budidaya Udang Vanname (Littopenaeus vannamei).Pusat


Penyuluhan Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Rismana, E., Endud, S., & Nur, H. (2006). Synthesis of different-sized cadmium
sulfide nanoparticles inside polymer and mesoporous AlMCM-41 matrices
by direct polymerization miniemulsion and ion exchange techniques.
In Book of abstract of Annual Fundamental Science Seminar (Vol. 6, No. 7).

Shon J, Eo J-H, Hwang SJ, Eun J-B. 2011. Effect of processing condition on
functional properties of collagen powder from skate (Raja kenojei) skin.
Food Sci. Biotechnol. 20(1): 99-106.
Suptijah P, Ibrahim B, Ernswati. 2014. Pemanfaatan limbah krustasea dalam
pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) dengan metode autoklaf.
Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 5(2): 171-179.
37

Suptijah P, Jacoeb AM, Rachmania D. 2011. Karakteristik nano kitosan cangkang


udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Metode Gelas Ionik.
Jurnal Perikanan Indonesia. XIV(2):78-84.
Suptijah P. 2006. Deskripsi karakteristik fungsional dan aplikasi kitin kitosan.
Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan 2006. Bogor: Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Synowiecki, J., & Al-Khateeb, NA (2003). Production, properties, and some new
applications of chitin and its derivatives.

Tanheitafino S, Zaharah TA, Destiarti. 2016. Modifikasi kitosan kaolin dan


aplikasinya sebagai adsorben timbal. JKK. 5(2): 33-42.
Zahiruddin W, Ariesta A, Salamah E. 2008. Karakteristik mutu dan kelarutan
kitosan dari ampas silase kepala udang windu (Penaeus monodon). Buletin
Teknologi Hasil Perikanan. 11(2): 140-151.
Zhang HL, Wu SH, Tao Y, Zang LQ, Su ZQ. 2010. Preparation and
characterization of water-soluble chitosan nanoparticles protein delivery
system. Journal of Nanomaterials. 1-5.

Anda mungkin juga menyukai