PENDAHULUAN
Limbah kulit udang memiliki potensi yang besar sebagai penghasil kitin.
Kitin adalah polimer alami berupa selulosa beramin dan berasetil (N-asetil
glukosamin) yang jumlahnya cukup berlimpah di alam, merupakan senyawa ke
dua terbesar setelah selulosa. Kitin juga dikenal sebagai polimer organik
konvensional yang berasal dari laut (Suptijah 2006). Kitin merupakan polisakarida
utama yang terdapat pada kulit udang dan cangkang kepiting, selain itu kitin juga
dapat diperoleh pada fungi dan kerangka luar serangga (Synowiecki et al. 2003).
Kitin tidak larut dalam air, asam, basa dan pelarut organik tetapi larut dalam asam
sulfat pekat panas dan asam format anhidrid (Muzarelli 1988). Kitin dapat diisolasi
dan ditansformasi menjadi kitosan melalui proses deasetilasi (Cuadrado et al.
2004).
Kitosan adalah turunan dari chitin dengan rumus D-Glukosamin,
merupakan polimer kationik yang mempunyai jumlah monomer sekitar 2000-3000
monomer, tidak toksik dengan LD50= 16 g/kg BB dan mempunyai BM sekitar
800Kda (Suptijah 2006). Kitosan memiliki sifat ramah lingkungan dan mudah
didegradasi. Kitosan dapat dimanfaatkan secara luas di berbagai bidang pangan
(flavor, pembentuk tekstur, emulsifier, penjernih minuman dan antimikroba),
farmasi (antitumor, penurun kolestrol, dan mencegah diabetes militus), kosmetik
dan lain-lain. Kemampuan kitosan yang diterapkan dalam berbagai bidang
industry modern, misalnya farmasi, biokimia, kosmetika, industri pangan, dan
industry tekstil mendorong untuk terus dikembangkannya berbagai penelitian
2
1.2 Tujuan
Adapun tujuan karya ilmiah praktik akhir adalah:
1) Mengetahui cara penanganan limbah bahan baku kulit udang
2) Mengetahui mutu bahan baku limbah kulit udang
3) Mengetahui alur proses pembuatan kitosan laut air berdasarkan hasil
kombinasi dan modifikasi.
4) Mengetahui rendemen dan karakteristik kitosan larut air
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Udang Vannamei (Litopenaeous vannamei)
2.1.1 Klasifikasi Udang Vannamei
Udang vannamei termasuk genus Penaeus dan subgenus Litopenaeus dari
genus Penaeus lainnya karena bentuk telikum (organ kelamin betina) terbuka,
tapi tidak terdapat tempat untuk penyimpanan sperma (WWF, 2014).
Klasifikasi udang vannamei menurut ilmu taksonomi adalah sebagai berikut :
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Sub-Class : Malacostrata
Series : Eumalacostrata
Ordo : Decapoda
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus
Udang penaeid mempunyai ciri khas yaitu : kaki jalan 1,2, dan 3 bercapit
dan kulit kitin. Udang penaeid termasuk crustacean yang merupakan binatang air
memiliki tubuh beruas-ruas, pada setiap ruasnya terdapat sepasang kaki. Udang
vannamei termasuk salah satu family penaide termasuk semua jenis udang laut,
udang air tawar. Secara morfologi udang dapat dibedakan menjadi 2 bagian :
1) Bagian Kepala
Pada ruas kepala terdapat mata majemuk yang bertangkai. Selain itu,
memiliki 2 antena, yaitu antenna I dan antenna II. Antena I dan antenulles
mempunyai dua buah flagellate pendek berfungsi sebagai alat peraba atau
5
Keterangan gambar :
1. Carapace a. Oesophagus
2. Rostrum b. Ruang cardiac
3. Mata majemuk c. Ruang pyloric
4. Antennules d. Cardiac Plate
5. Prosartema e. Gigi-gigi cardiac
6. Antena f. Cardiac ossicle
7. Maxiliped g. Hepatopancreas
8. Pereopoda h. Usus (mid gut)
9. Pleopoda i. Anus
10. Uropoda
11. Telson
6
2.2.1 Kitin
Kitin adalah polimer alami berupa selulosa beramin dan berasetil (N-asetil
glukosamin) yang jumlahnya cukup berlimpah di alam, merupakan senyawa ke
dua terbesar setelah selulosa. Kitin juga dikenal sebagai polimer organic
konvensional yang berasal dari laut (Suptijah 2006). Kitin merupakan polisakarida
utama yang terdapat pada kulit udang dan cangkang kepiting, selain itu kitin juga
dapat diperoleh pada fungi dan kerangka luar serangga (Synowiecki et al. 2003).
Kitin tidak larut dalam air, asam, basa dan pelarut organik tetapi larut dalam asam
sulfat pekat panas dan asam format anhidrid (Muzarelli 1988). Kitin dapat diisolasi
dan ditansformasi menjadi kitosan melalui proses deasetilasi (Cuadrado et al.
2004).
2.2.2 Kitosan
Kitosan juga merupakan polisakarida alami yang memiliki 3 gugus reaktif yaitu
gugus –OH pada atom C3 dan C6 serta gugus –NH2 pada atom C2 (Gambar 1).
Kitosan disusun oleh dua jenis gula amino yaitu glukosamin (2-amino-2-deoksi
Dglukosa,70-80 %) dan N-asetilglukosamin (2-asetamino-2- deoksi-D-glukosa,20-
30%). Kitosan memiliki muatan positif yang kuat yang dapat mengikat muatan
negatif dari senyawa lain, serta mudah mengalami degrasasi secara biologis dan
tidak beracun. (Goosen, 1997). Kitosan dihasilkan dari proses deasetilasi
(penghilangan gugus-COCH3) kitin. Kitin tersusun dari unit-unit N-asetil
8
4) Bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat. Berdasarkan kedua sifat
tersebut maka kitosan mempunyai sifat fisik khas yaitu mudah dibentuk
menjadi spons, larutan, pasta, membran, dan serat. yang sangat bermanfaat.
(Rismana, 2006)
2.2.4 Rendemen
Karakteristik kitosan udang meliputi warna, bentuk, kadar air, kadar abu,
kadar nitrogen, pH, dan derajat deasetilasi (Suptijah et al. 2014). Untuk
menentukan kualitan kitosan, menggunakan standar mutu kitosan berdasarkan
SNI 7949:2013. Kemurnian kitosan dapat dilihat dari derajat deasetilasinya.
10
Semakain tinggi derajat deasetilasi, maka gugus amina (NH2), pada rantai
molekul kitosan akan tinggi dan kitosan semakin murni, Karakteristik kitosan
berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat di lihat pada tabel 1.
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kadar abu diketahui dari berat kitosan yang tidak terabukan setelah ditanur.
Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat pada suatu bahan
(Darmawan 2017). Semakin rendah kadar abu yang dihasilkan maka mutu dan
tingkat kemurnian kitosan akan semakin tinggi. Tinggi rendahnya kadar abu
dipengaruhi oleh konsentrasi H2O2 karena H2O2 melarutkan mineral, juga
dipengaruhi oleh proses pencucian atau presipitasi, semakin banyak mineral yang
terbuang maka nilai kadar abu semakin rendah. Proses pencucian yang baik,
berpengaruh terhadap kadar abu dan mineral yang telah terlepas dari bahan akan
11
berikatan dengan pelarut dapat terbuang bersama air. Kadar abu yang besar
pada kitosan dapat mempengaruhim kelarutan, konsekuensinya dapat
menurunkan viskositas atau dapat mempengaruhi karakteristik lainnya
(Tanheitafino et al. 2016). Kadar abu dari kitosan hasil penelitian dipengaruhi oleh
konsentrasi asam klorida dan suhu pemanasan. Asam klorida berperan
melarutkan garam kalsium dengan terbentuknya gas CO2 dan H2O2 dipermukaan
larutan (Cahyono 2015)
Kelarutan adalah kuantitas maksimal suatu zat kimia terlarut (solute) untuk
dapat larut pada pelarut tertentu membentuk larutan yang homogen. Kelarutan
suatu zat dasarnya sangat tergantung pada sifat fisika dan kimia solut dan pelarut
tertentu merupakan suatu pengukuran konsentrasi kejenuhan dengan cara
menambahkan sedikit demi sedikit solut (bahan) pada pelarut sampai solute
tersebut mengendap (tidak dapat larut lagi). Kelarutan adalah kuantitas maksimal
suatu zat kimia terlarut (solute) untuk dapat larut pada pelarut tertentu
membentuk larutan yang homogen. Kelarutan suatu zat dasarnya sangat
tergantung pada sifat fisika dan kimia solut dan pelarut tertentu merupakan suatu
pengukuran konsentrasi kejenuhan dengan cara menambahkan sedikit demi
sedikit solut (bahan) pada pelarut sampai solut tersebut mengendap (tidak dapat
larut lagi). faktor konsentrasi asam yang digunakan. Konsentrasi HCl yang
digunakan diduga terlalu rendah sehingga belum mampu menghidrolisis kitosan
secara sempurna. Kadar asam yang rendah menyebabkan terjadinya hidrolisis
yang kurang sempurna Kralovec dan Barrow (2008). Kitosan telah kehilangan
gugus asetilnya karena adanya mekanisme pemotongan oleh asam kuat dan
basa kuat (Hu et al. 2010). Tekanan yang terjadi di dalam autoklaf tidak memutus
gugus asetil pada kitosan, melainkan hanya memotong polimer menjadi unit lebih
kecil, sehingga ion Cl- dari HCl lebih mudah beikatan dengan gugus amin kitosan
membentuk NH3Cl. Adanya gugus hidroksil O-H dan gugus NH3Cl ini
menyebabkan kitosan bersifat larut dalam air (Ernawati 2012).
A 1655 1
N−deasetil ( % ) =[1− x ]
A 3450 1,33
Keterangan:
A1655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1655 cm-1
A3450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3450 cm-1
1,33 = Konstan untuk derajat deasetilasi yang sempurna
2.4.1 Deproteinasi
2.4.2 Demineralisasi
13
2.4.3 Dekolorisasi
2.4.4 Deasetilasi
Deproteinasi
Analisis :
Demineralisasi 1. Rendemen
2. Kadar Air
3. Kadar Abu
4. Kadar Nitrogen
Dekolorisasi
5. Derajat
Keasaman
6. Derajat
Deasetilasi Deasetilasi
Pengeringan 30-400C
Presipitasi dengan Alkohol
24 jam
Kitosan
Filtrasi/Dekantasi
Analisis :
Netralisasi
7. Rendemen
8. Kadar Air
9. Kadar Abu
Pengeringan (suhu ruang) 10. Kadar Nitrogen
11. Derajat
Keasaman
12. Derajat
Kitosan Larut Air
Deasetilasi
Analisis :
Gambar 4 Diagram alir pembuatan kitosan larut air dengan metode hidrolisis
bertekanan (Suptijah 2011)
3. METODE PRAKTIK
16
Alat yang digunakan yaitu hot plate, gelas kimia, labu Erlenmeyer 250 mL,
gelas piala 100 Ml, timbangan digital, pipet volumetrik, sudip, alumunium foil,
stopwatch, pH meter, mortar, alu, kertas saring dan seperangkat alat Fourier
Transform Infrared Spectroscopy (FTIR).
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit udang,
H2O2 , akuades, NaOH, dan kertas saring.
Pengujian
Mutu Bahan
Kitosan Larut
Baku
Air
Deproteinasi
NaOH 3,5% 65oC. 2 jam Hidrolisis H2O2 50%
disaring, dioven 60oC. (13%, 16%, 19%) suhu
(Salami 1998) 40-50oC.
Deasetilasi
Kitin
NaOH 60% 80-
Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Kitosan Larut Air
Kulit Udang
Deproteinasi
NaOH 3,5% 65oC (Salami
1998)
Netralisasi
Demineralisasi
HCl 1 N (15:1) 60oC 30
menit, disaring, dioven
60oC, 24 jam. (Salami
1998)
Netralisasi
kitin Rendemen
Kitin
Netralisasi
Deasetilasi
NaOH 60% 80-100oC,
24 jam.
Kitosan
Analisis :
1. Kadar Air 4. Derajat Keasaman
2. Kadar Abu 5. Derajat Deasetilasi
3. Kadar Nitrogen 6. Rendemen
kembali denga isopropil alkohol hingga pH netral. Bagan Alur Proses pembuatan
Kitosan larut air dapat dilihat pada gambar 6.
Kitosan
Hidrolisis H2O2
B1 B2 B1 B2 B1 B2
1) Rendemen
2) Derajat Keasaman
3) Kadar Air
B−C
Kadar air(% )= x 100 %
A
Keterangan:
A : Berat cawan (gram)
B : Berat sampel dan cawan sebelum dikeringkan (gram)
C : Berat sampel dan cawan setelah dikeringkan (gram)
4) Kadar Abu
dalam desikator selama 1 menit (A: berat cawan). Kitosan sebanyak 1 gram
dimasukkan ke dalam cawan pengabuan selanjutnya dipijarkan di atas nyala api
sampai tidak berasap lagi (B: berat cawan dan samperl sebelum dikeringkan).
Sampel hasil pembakaran dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu
600 ºC selama 4 jam. Sampel hasil pengabuan dimasukkan ke dalam desikator
selama 15 menit dan ditimbang kembali (C: berat cawan dan sampel setelah
dikeringkan). (AOAC 2005) Kadar abu dapat dihitung dengan rumus berikut:
Bobot abu(g)
Kadar abu(%)= x 100 %
Bobot sampel ( g)
5) Total Nitrogen
Analisis kadar protein terdiri dari tiga tahap yaitu tahap destruksi, destilasi,
dan titrasi. Analisis kadar protein dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak
0,25 gram dan masukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL dan ditambah selenium
0,25 gram serta3 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 1 jam hingga
cairan bening. Campuran tersebut dibiarkan hingga dingin, kemudian dipindahkan
ke alat destilasi. Labu Kjeldahl yang telah digunakan dicuci dengan akuades 50
mL. Air cucian tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambah 20 mL
NaOH 40% hingga berwarna coklat kehitaman, selanjutnya didestilasi. Hasil
destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL H3BO3 2% diberikan 2
tetes indikator Brom Cresol Green-Methyl Red berwarna merah muda,
selanjutnya dititrasi dengan larutan H2O2 . sampai berubah menjadi warna merah
muda. (AOAC 2005) Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein
dihitung dengan persamaan di bawah ini:
(mL HCl−mLblanko) x N H 2 O2 x 14
Nitrogen( %)= x 100 %
mg sampel
6) Kelarutan
bobot akhir
Ketidaklarutan(%)= x 100 %
bobot awal
7) Viskositas Kitosan
PO
A=log x 100 %
P
Keterangan:
P0 = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung yaitu dua puncak tertinggi
pada Panjang gelombang 1655 cm-1 atau 3450 cm-1
P = Jarak antara garis dasar dengan lembah terendah pada panjang gelombang
1655 cm-1 atau 3450 cm-1.
A 1655 1
N−deasetil ( % ) =[1− x ]
A 3450 1,33
Keterangan:
A1655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1655 cm-1
25
Setelah sampai Limbah kulit udang langsung dicuci dengan air hingga
bersih, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Limbah kulit udang yang
telah bersih dihaluskan (dicacah) untuk mendapatkan ukuran sebesar 50 mesh.
4.2 Deproteinasi
Setelah kulit udang kering lalu ditimbang sebanyak 7 kg dan ditambahkan
larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan 10:1 (v/b), kemudian dimasak dalam
ekstraktor selama 2 jam pada temperatur 65oC. Setelah dingin, disaring dan
dinetralkan dengan akuades. Padatan yang diperoleh dikeringkan dalam
ekstraktor tanapa pelarut pada suhu 60oC hingga kering. (Salami 1998).
4.3 Demineralisasi
26
4.4 Deasetilasi
Setelah tahap demineralisasi dilanutkan tahap deasetilasi menggunakan
2,70 kg kitin dengan mengikuti metode Knorr (Salami 1998) yaitu dengan
menambahkan NaOH 60% dengan perbandingan 20:1 (v/b) dan dimasukkan
kedalam ekstraktor pada suhu 80 - 100oC selama 1 jam. Setelah dingin disaring
dan padatan yang diperoleh dinetralkan dengan akuades.Padatan kemudian
dikeringkan dalam ekstraktor tanpa larutan pada suhu 80 oC selama 24 jam dan
kitosan siap dianalisis. Pada tahap ini kitosan terlah terbentuk danselanjutnya
dilakukan analisis berupa penguian kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, derajat
keasaman, derajat deasetilasi dan perhitungan rendemen.
Menurut Azhar dkk menyatakan bahwa semakin kuat suatu basa semakin
besar konsentrasi OH- dalam larutannya yang dapat meningkatkan kekuatan
basa mempengaruhi proses deasetilasi gugus asetil dari gugus asetamida kitin
( Azhar dkk. 2010). Pembuatan kitosan dalam penelitian ini dilakukan dengan
mengikuti metode Knorr (Salami 1998) yaitu dengan menambahkan NaOH 60%
dengan perbandingan 20:1 (v/b) dan dimasukkan kedalam ekstraktor pada suhu
80 - 100oC selama 1 jam. Rendemen yang diperoleh pada tahapan ini adalah
sebesar 63%.
Menghasilkan semakin tinggi suhu pemanasan pada konsentrasi H2O2 yang sama
terjadi penurunan nilai DD. Hal ini karena suhu yang terlalu tinggi dapat
menurunkan tingkat kelarutan termasuk kualitas kitosan larut air (Tanasale et al.,
2006). Sebaliknya dengan konsentrasi H2O2 yang semakin tinggi nilai DD
semakin tinggi, hal ini disebabkan karena H2O2 dapat mempercepat proses
degradasi rantai utama chitosan (Du et al., 2002), sehingga gugus asetil yang
terdapat pada chitosan larut air menurun dan semakin banyak jumlah gugus
amina. Semakin tinggi DD, maka gugus asetil dari chitosan semakin rendah
sehingga interaksi antar ion dan ikatan hidrogennya akan semakin kuat.
Pelepasan gugus asetil dari chitosan menyebabkan chitosan bermuatan positif
sehingga mampu mengikat senyawa bermuatan negatif (Rochima, 2007). Nilai
DD tertinggi pada perlakuan dengan konsentrasi H2O2 13% dan suhu 40oc
sebesar 94,21% Nilai DD chitosan larut air lebih besar dibandingkan chitosan
alami yaitu 75%. (Islam et al., 2011) dan 74,26% (Basmal et al., 2007).
4.6.1 Rendemen
Rendemen merupakan presentase rasio antara hasil produk akhir
terhadap bahan baku awal yang digunakan (Yudihapsari,2009), yaitu rendemen
transformasi chitosan menjadi chitosan larut air berdasarkan presentase berat
chitosan larut air terhadap berat chitosan yang diperoleh (Zahiruddin et al. 2008).
Dalam penelitian ini rendemen kitosan yang diperoleh mengalami
penurunan. Hal ini karena semakin tinggi konsentrasi H2O2 menyebabkan BM
chitosan semakin rendah. Hong et al. (1989) menyatakan H2O2 yang tinggi dapat
menyebabkan depolimerisasi rantai molekul chitosan yang akhirnya akan
menyebabkan penurunan BM. Demikian juga suhu yang terlalu tinggi dapat
mengakibatkan partikel-partikel chitosan yang larut air menjadi lebih halus
sehingga saat pemisahan filtrat dan residu banyak yang terikut pada fitratnya
(Apriani et al. 2012).
pada perlakuan 0,5% sebesar 18,96±0,34% sedangkan kadar air terendah yaitu
pada perlakuan 1,25% sebesar 15,55±0,04%. Sehingga BSN (2013)
menyebutkan kadar air kitosan ≤12%. Kadar air kitosan larut air masih diatas 10%
diduga karena kurang maksimalnya pengeringan kitosan larut air yang dilakukan
tanpa menggunakan oven. Kadar air yang tinggi dari hasil penelitian ini diduga
diakibatkan terjadinya pernyerapan uap air ketika kitosan dalam keadaan terbuka.
Hal ini dikarenakan kitosan mengandung gugus amina yang memiliki kemampuan
untuk mengikat molekul air. Kadar air dipengaruhi oleh proses pengeringan,
tempat pengeringan dan waktu pengeringan, semakin lama waktu pengeringan
serta meminimalisir kandungan kadar air yang ada di kitosan. Zhiruddin et al.
(2008) menyatakan bahwa persentase kadar air kitosan dipengaruhi oleh proses
pengeringan dan lama pengeringan, jumlah kitosan yang dikeringkan serta luas
permukaan tempat kitosan dikeringkan.
dihasilkan Kadar nitrogen terbesar terdapat pada perlakuan HCl 0,5% sebesar
5,23±0,01% sedangkan kadar nitrogen terendah terdapat pada perlakuan HCl
1,25% 3,47±0,16%. Kadar nitrogen kitosan uji telah memenuhi standar mutu
kitosan yaitu sebesar ≥5% (BSN 7949:2013). Kadar protein yang tinggi dari
kitosan dipengaruhi konsentrasi asam. Semakin tinggi konsentrasi larutan
diharapkan mampu mendenaturasi protein, lemak, pigmen, dan beberapa bahan
organik serta melepaskan mineral pada bahan. Tingginya kadar nitrogen diduga
disebabkan proses pengadukan kurang merata sehingga protein yang ada dalam
bahan tidak banyak terlepas, pernyataan ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan Zahiruddin et al. (2008) menyatakan bahwa proses pengadukan yang
konstan juga merupakan salah satu faktor yang mempermudah penghilangan
protein dari kulit udang.
4.6.5 Kelarutan
Kelarutan adalah kuantitas maksimal suatu zat kimia terlarut (solute) untuk
dapat larut pada pelarut tertentu membentuk larutan yang homogen. Kelarutan
suatu zat dasarnya sangat tergantung pada sifat fisika dan kimia solut dan pelarut
tertentu merupakan suatu pengukuran konsentrasi kejenuhan dengan cara
menambahkan sedikit demi sedikit solut (bahan) pada pelarut sampai solut
tersebut mengendap (tidak dapat larut lagi).kelarutan kitosan didapatkan dari
perbandingan konsentrasi HCl yang berbeda menunjukkan perbedaan kelarutan
kitosan yang dihasilkan. Kitosan terbaik dalam parameter ini adalah kitosan
perlakuan konsentrasi HCl 1,25% yang larut sebesar 68,10±0,7 sedangkan
kitosan yang kelarutannya rendah terdapat pada perlakuan HCl 0,5% sebesar
31,05±0,05. Hasil pengujian tingkat kelarutan kitosan larut air dilakukan
menggunakan air bersuhu 27oC menghasilkan tingkat kelarutan berkisar antara
31,05-68,10%. Adanya kitosan yang tidak larut, menunjukkan bahwa kitosan
belum terhidrolisis secara optimal. Hal tersebut dapat disebabkan beberapa
faktor, salah satunya faktor konsentrasi asam yang digunakan. Konsentrasi HCl
yang digunakan diduga terlalu rendah sehingga belum mampu menghidrolisis
kitosan secara sempurna.
Kadar asam yang rendah menyebabkan terjadinya hidrolisis yang kurang
sempurna Kralovec dan Barrow (2008). Kitosan telah kehilangan gugus asetilnya
karena adanya mekanisme pemotongan oleh asam kuat dan basa kuat (Azhar et
al. 2010). Tekanan yang terjadi di dalam autoklaf tidak memutus gugus asetil
30
pada kitosan, melainkan hanya memotong polimer menjadi unit lebih kecil,
sehingga ion Cl- dari HCl lebih mudah beikatan dengan gugus amin kitosan
membentuk NH3Cl. Adanya gugus hidroksil O-H dan gugus NH3Cl ini
menyebabkan kitosan bersifat larut dalam air (Ernawati 2012).
4.6.7 Viskositas
Viskositas merupakan kekentalan suatu bahan yang diukur dengan
menggunakan alat viscometer. Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui
tingkat kekentalan kitosan sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu.
Warsito (2012) menyatakan bahwa viskositas dapat dihitung menggunakan
metode putar yaitu dengan memasukkan penghambat ke dalam fluida dan
kemudian diputar. Semakin lambat putaran penghambat tersebut maka semakin
rendah nilai viskositasnya. Dalam penelitian ini viskositas larut air memiliki nilai
tertinggi pada perlakuan HCl 1,25% yaitu 121,8±0,28 cP dan terendah pada
perlakuan HCl 0,5% yaitu 83,2±0,00cP. Kitosan larut air yang dihasilkan memiliki
31
proses penghilangan senyawa pengotor yang masih terdapat dalam bahan (Alam
2017).
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya telah diketahui bahwa semakin
tinggi konsentrasi kitosan larut air menghasilkan zona hambat yang semakin
besar pula. Oleh karena itu, disaran untuk dilakukan penelitian lebih mendalam
mengenai uji aktivitas baik menggunakan metode lain seperti kimia, fisika dan
biologi. Serta uji karakteristik kitosan lainnya sebagaimana memenuhi SNI
7949:2013.
34
DAFTAR PUSTAKA
pisang mas kirana (Musa sp. AA Group). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Determination of degree of deacetylastion of chitosan-comparision of methods.
Progress on Chemistry and Application of Chitin. 17:5-20.
Focher, B., Naggi, A., Torri, G., Cosani, A., & Terbojevich, M. (1992). Structural
differences between chitin polymorphs and their precipitates from solutions
—evidence from CP-MAS 13C-NMR, FT-IR and FT-Raman
spectroscopy. Carbohydrate Polymers, 17(2), 97-102.
Hu, J., Zhang, Z., Shen, W. J., & Azhar, S. (2010). Cellular cholesterol delivery,
intracellular processing and utilization for biosynthesis of steroid
hormones. Nutrition & metabolism, 7(1), 47.
Li, L., Du, Y., Li, N., Wu, X., & Wu, Y. (2009). Top–down modulation of prepulse
inhibition of the startle reflex in humans and rats. Neuroscience &
Biobehavioral Reviews, 33(8), 1157-1167.
Marganof, 2003. Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pribadi Pengantar ke
Falsafah Sains (PP702) Program Pasca Sarjana Institut Teknologi
Bandung.
Melati E. 2014. Pembuatan glukosamin hidroklorida (Glcn HCl) dari kitin karapas
udang dengan metode autoklaf. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Mojarrad JS, Mahboob N, Valizadeh H, Ansarin M, dan Bourbour S. 2007.
Preparation of glucosamine from exoskeleton of shrimp and predicting
production by response surface metoghology. Journal of Agricultural and
Chemistry. 55: 2246-2250.
Mursida, M., Tasir, T., & Sahriawati, S. (2018). Efektifitas Larutan Alkali pada
Proses Deasetilasi dari Berbagai Bahan Baku Kitosan. Jurnal Pengolahan
Hasil Perikanan Indonesia, 21(2), 356-366.
36
Muyonga JH, Cole CGB, Duodo KG. 2004. Characterisation of acid soluble
collagen from skins of young and Nileperch (Lates niloticus). Food
Chemistry. 85(1): 81-89.
Muzarelli RAA dan Peter MG. 1997. Chitosan Handbook. New European Chitin
Nadia LM, Suptijah P, Ibrahim B. 2014. Produksi dan karakterisasi nano kitosan
dari cangkang udang windu dengan metode gelasi ionik. Jurnal Masyarakat
Pengolahan Hasil Perikanan. 17(2):119-126.
Nei, M., & Kumar, S. (2000). Molecular evolution and phylogenetics. Oxford
university press.
Rismana, E., Endud, S., & Nur, H. (2006). Synthesis of different-sized cadmium
sulfide nanoparticles inside polymer and mesoporous AlMCM-41 matrices
by direct polymerization miniemulsion and ion exchange techniques.
In Book of abstract of Annual Fundamental Science Seminar (Vol. 6, No. 7).
Shon J, Eo J-H, Hwang SJ, Eun J-B. 2011. Effect of processing condition on
functional properties of collagen powder from skate (Raja kenojei) skin.
Food Sci. Biotechnol. 20(1): 99-106.
Suptijah P, Ibrahim B, Ernswati. 2014. Pemanfaatan limbah krustasea dalam
pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) dengan metode autoklaf.
Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 5(2): 171-179.
37