Anda di halaman 1dari 30

SYMPTOM AND SIGN DALAM PSIKIATRI

Oleh :
Adam Malik Gansi Dewantara, S. Ked
NPM: 19360166

Perseptor :
PROF.Dr.h. M. JOESOEF SIMBOLON, SP.KJ (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PSIKIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT JIWA PROF.MUHAMMAD ILDREM
MEDAN
2020
DAFTAR ISI

COVER......................................................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG…………………………………………….....…… 1


1.2 TUJUAN PENULISAN…………………………………………………...1
1.3 BATASAN MASALAH…………………………………………………..1
1.4 METODE PENULISAN…………………………………………………..1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………..2

2.1 DEFINISI TANDA DAN GEJALA……………………………………….2


2.2 TANDA DAN GEJALA PSIKIATRI……………………………………...2
2.2.1 KESADARAN/SENSORIUM……………………………………..2
2.2.2 EMOSI 5
2.2.3 PERILAKU MOTORIK……………………………………………9
2.2.4 BERPIKIR 12
2.2.5 PEMBICARAAN…………………………………………………..18
2.2.6 PERSEPSI………………………………………………………….19
2.2.7 MEMORI…………………………………………………………...22
2.2.8 INTELIGENSI……………………………………………………...23
2.2.9 TILIKAN 24
2.2.10 DAYA NILAI………………………………………………………….25
2.2.11 DERAJAT TILIKAN…………………………………………………..25
BAB III KESIMPULAN........................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

i
i
BAB I

  I.1 Latar Belakang

Dalam  praktik   klinik   seorang   dokter   akan   berhadapan   dengan   pasien   yang
membutuhkan pertolongannya.  Pasien adalah sosok manusia yang sedang sakit, membawa
keunikan pribadi, dan menampilkan perilaku sakit yang berbedabeda. Dokter  yang  baik 
seyogyanya mampu dan terampil mengenali tidak hanya fenomena kelainan fisik belaka
melainkan juga fenomena kejiwaan karena dengan demikian dokter mendapatkan
pemahaman holistik dari pasiennya.

Tanda (sign) adalah temuan objektif yang diobservasi oleh dokter sedangkan gejala
(symptom) adalah pengalaman subjektif yang digambarkan oleh pasien. Suatu sindrom
adalah kelompok tanda dan/atau gejala yang terjadi bersama-sama sebagai suatu kondisi yang
dapat dikenali yang mungkin kurang spesifik dibandingkan gangguan atau penyakit yang
jelas. Dalam kenyataannya, sebagian besar kondisi psikiatrik adalah sindrom.

Kemampuan mengenali tanda dan gejala spesifik memungkinkan dokter dapat


mengerti dalam berkomunikasi dengan dokter lain, membuat diagnosis secara akurat,
menangani pengobatan dengan berhasil, memperkirakan prognosis dengan dapat dipercaya,
dan menggali masalah psikopatologi, penyebab dan psikodinamika secara menyeluruh.
Mengenali secara tepat tanda dan gejala psikiatri memunggkinkan seorang dokter
memprediksi potensi bahaya dari gejala psikiatri itu tersendiri.
1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan


tentang Tanda dan Gejala dalam Psikiatri.

1.3 Batasan Masalah

Pada makalah ini akan dibahas tentang Tanda dan Gejala Psikiatri.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan Makalah ini menggunakan berbagai sumber kepustakaan.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tanda Dan Gejala

Bahasa psikiatri sangat terperinci sehingga memungkinkan para dokter mengutarakan


pengamatan yang dapat dipercaya. Hal ini memungkinkan diagnosis akurat yang akan
menghasilkan terapi yang efektif. Akurasi bahasa memungkinkan psikiater dan dokter lain
berkomunikasi secara fasih, tidak hanya antara se.jarvat, namun -iuga dengan pasien. Tanda
adalah pengamatan dan temuan objektif yang diperoleh dokter, misalnya afek menyempit
atau retardasi psikomotor pada pasien.

Gejala adalah pengalaman subjektif yang dideskripsikan oleh pasien, seringkali


diungkapkan sebagai keluhan utama, contohnya mood depresif atau kurang energi.

Sindrom adalah kumpulan tanda dan gejala yang bersama-sama membentuk suatu
keadaan yang dapat dikenali, yang tidak terlalu jelas dibandingkan suatu gangguan atau
pcnyakit spesifik. Sebagian besar tanda dan gejala yang tercantum di bawah dapat dipahami
sebagai berbagai titik dalam spektrum perilaku yang berkisar dari normal sampai abnormal.
Sangat jarang terdapat tanda atau gejala yang patognomonik dalarn psikiatri. Sebaliknya,
pada ilmu penyakit dalam, dokter akan cenderung menemukan tanda yang mengindikasikan
suatu kelainan spesifik, contohnya cincin Kayser-Fleischer pada penyakit Wilson.

2.2 Tanda dan Gejala Psikiatri

2.2.1 Kesadaran/Sensorium

Kesadaran: keaadaan siaga.

Kesadaran disyaratkan fungsi normal dari kedua hemisfer otak sebaik ascending
reticular activating system (ARAS), yang diperluas mulai dari midpons ke daerah
hipotalamus anterior. Proyeksi neuron diteruskan dari ARAS melalui hipotalamus ke nukleus
reticular talamus dan diproyeksikan ke daerah korteks. Fungsi anatomi dari ARAS dibagi atas
daerah medial dan lateral. Daerah medial mengatur siklus tidur dan penggunaan serotonin
sebagai neurotransmiter utama. Jaras decending mengatur fungsi autonomik motor yang

2
mengatur ritmik irama pernapasan. Daerah lateral ARAS mempertahankan kesadaran dengan
keseimbangan cholinergic dan noradrenergic.

Sadar penuh (fully allert) normal adalah keadaan bangun (wakefulness) dan tanggap
(awareness) terhadap diri sendiri dan lingkungan. Fungsi korteks, saraf otonom dan stimulus
dari batang otak bertanggung jawab terhadap keadaan bangun dan tanggap.

2.2.1.1 Gangguan Kesadaran

Kesadaran atau suatu kondisi kesigapan mental individu dalam menanggapi


rangsangan dari luar maupun dalam. Gangguan kesadaran seringkali merupakan pertanda
kerusakan organic pada otak. 
Terdapat berbagai tingkatan kesadaran, yaitu:

1. Komposmentis:

Adalah suatu derajat optimal dari kesigapan mental individu dalam menanggapi
rangsang dari luar maupun dari dalam dirinya. Individu mampu memahami apa yang
terjadi pada diri dan lingkungannya serta bereaksi secara memadai.

2. Apatis:

Adalah suatu derajat penurunan kesadaran, yakni individu berespons lambat terhadap
stimulus dari luar. Orang dengan kesadaran apatis tampak tak acuh terhadap situasi
disekitarnya.

3. Somnolensi:  

Adalah suatu keadaan kesadaran menurun yang cenderung tidur. orang dengan
kesadaran somnolen tampak selalu mengantuk dan bereaksi lambat terhadap stimulus dari
luar.

4. Sopor:

Adalah  derajat  penurunan  kesadaran  berat.  Orang  dengan  kesadaran  sopor


nyaris  tidak berespons terhadap stimulus dari luar, atau hanya  memberikan respons
minimal  terhadap perangsangan kuat.

5. Koma :

3
Adalah derajat kesadaran paling berat. Individu dalam keadaan koma tidak dapat
bereaksi terhadap rangsangan dari luar, meskupun sekuat apapun perangsangan diberikan
padanya. 

6. Kesadaran berkabut :

Suatu perubahan kualitas kesadaran yakni individu tidak mampu berpikir jernih dan
berespons secara memadai terhadap situasi disekitarnya. Seringkali individu tampak bingung,
sulit memusatkan perhatian dan mengalami disorientasi.

7. Delirium :

Suatu perubahan kualitas kesadaran yang disertai gangguan fungsi kognitif yang luas.
Perilaku orang yang dalam keadaan delirium dapat sangat berfluktuasi, yaitu suatu saat
terlihat gaduh gelisah lain waktu nampak apatis. Keadaan delirium sering disertai gangguan
persepsi berupa halusinasi atau ilusi. Biasanya orang dengan delirium akan sulit untuk
memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian (3P terganggu).

8. Kesadaran seperti mimpi ( Dream like state):

Adalah gangguan kualitas kesadaran yang terjadi pada serangan epilepsy psikomotor.
Individu dalam keadaan ini tidak menyadari apa yang dilakukannya meskipun tampak seperti
melakukan aktivitas normal. Perlu di bedakan dengan tidur berjalan (sleep walking) yang
akan tersadar bila diberikan perangsangan (dibangunkan), sementara pada dream like state
penderita tidak bereaksi terhadap perangsangan.

9. Twilight state :

Keadaan perubahan kualitas kesadaran yang disertai halusinasi. Seringkali terjadi


pada gangguan kesadaran oleh sebab gangguan otak organik. Penderita seperti berada dalam
keadaan separuh sadar, respons terhadap lingkungan terbatas, perilakunya impulsi, emosinya
labil dan tak terduga.

2.2.1.2 Gangguan perhatian

4
Gangguan perhatian adalah jumlah usaha yang dikeluarkan untuk memfokuskan diri
pada bagian tertentu dari pengalaman; kemampuan untuk mempertahankan fokus pada suatu
aktivitas; kemampuan berkonsentrasi.

l. Perhatian mudah teralih: ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian, keadaan ketika


perhatian teralihkan ke stimulus eksterna yang tidak penting atau tidak relevan.

2. Gangguan perhatian selektif: hanya mengabaikan hal yang menimbulkan ansietas.

3. Hipervigilans: perhatian dan fokus yang berlebihan terhadap semua rangsang interna
maupun eksterna. biasanya sekunder akibat keadaan waham atau paranoid; mirip hiperpragia:
berpikir dan melakukan aktivitas mental yang berlebihan.

4. Trans: perhatian yang terpusat dan gangguan kesadaran, biasanya ditemukan pada
hipnosis, gangguan disosiatif, dan pengalaman keagamaan yang menimbulkan kenikmatan.

5. Disinhibisi: penghilangan elek inhibisi sehingga nrernungkinkan seseorang menladi lepas


kendali terhadap impuls seperti yang terjadi pada intoksikasi alcohol.

2.2.1.3 Gangguan sugestibilitas

Adalah respons sesuai pertanyaan dan tidak kritis terhadap suatu ide atau pengaruh.

1.L Folie d deur (ataufolie d trois): keadaan emosional yang saling berhubungan antara dua
(atau tiga) orang.

2.Hipnosis: modifikasi kesadalan yang ditimbulkan secara buatan. ditandai dengan


peningkatan sugesti.

2.2.2 EMOSI 

Emosi adalah suasana perasaan yang dihayati secara sadar bersifat kompleks,
melibatkan pikiran, persepsi dan perilaku individu. Secara deskriptif fenomenologis emosi
dibedakan antara mood dan afek.

2.2.2.1 Mood

Adalah suasana perasaan yang bersifat pervasive dan bertahan lama, yang mewarnai
persepsi seseorang terhadap kehidupannnya.

1. Mood eutimia: adalah suasana perasaan dalam rentang normal, yakni individu
mempunyai penghayatan perasaan yang luas dan serasi dengan irama hidupnya.

2. Mood hipotimia: adalah suasana perasaan yang secara pervasif diwarnai dengan
kesedihan dankemurungan. Individu secara subyektif mengeluhkan tentang kesedihan
5
dan kehilangan semangat. Secara obyektif tampak dari sikap murung dan perilakunya
yang lamban.

3. Mood disforia: menggambarkan suasana perasaan yang tidak menyenangkan seringkali


diungkapkan sebagai perasaan jenuh, jengkel, bosan.

4. Mood hipertimia: suasana perasaan yang secara perfasif memperlihatkan semangat dan
kegairahan yang berlebihan terhadap berbagai aktivitas kehidupan. Perilakunya menjadi
hiperaktif dan tampak enerjik secara berlebihan.

5. Mood eforia: suasana perasaan gembira dan sejahtera secara berlebihan. 

6. Mood ekstasia: suasana perasaan yang diwarnai dengan kegairahan yang meluap-luap.
Sering terjadi pada orang yang menggunakan zat psikostimulansia

7. Aleksitimia adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk menghayati suasana


perasaannya. Seringkali diungkapkan sebagai kedangkalan kehidupan emosi. Seseorang
dengan aleksitimia sangat sulit untuk mengungkapkan perasaannya.

8. Anhedonia: adalah suatu suasana perasaan yang diwarnai dengan  kehilangan minat dan
kesenangan terhadap berbagai aktivitas kehidupan. 

9. Mood kosong adalah kehidupan emosi yang sangat dangkal, tidak atau sangat sedikit
memiliki penghayatan suasana perasaan. Individu dengan mood kosong nyaris
kehilangan keterlibatan emosinya dengan kehidupan disekitarnya. Keadaan ini dapat
dijumpai pada pasien skizofrenia kronis. 

10. Mood labil adalah suasana perasaan yang berubah-ubah dari waktu ke waktu.
Pergantian perasaan dari sedih, cemas, marah, eforia, muncul bergantian dan tak
terduga. Dapat ditemukan pada gangguan psikosis akut.

11. Mood iritabel:suasana perasaan yang sensitif, mudah tersinggung, mudah marah dan


seringkali bereaksi berlebihan terhadap situasi yang tidak disenanginya.

2.2.2.2 Afek

Afek adalah respons emosional saat sekarang, yang dapat dinilai lewat ekspresi
wajah, pembicaraan, sikap dan gerak gerik tubuhnya (bahasa tubuh). 

Afek mencerminkan situasi emosi sesaat.

1. Afek   luas: adalah afek pada rentang normal, yaitu ekspresi emosi yang luas dengan
sejumlah variasi yang beragam dalam ekspresi wajah, irama suara maupun gerakan
tubuh serasi dengan suasana yang dihayati.

6
2. Afek menyempit: menggambarkan nuansa ekspresi emosi yang terbatas. Intensitas
dan keluasan dari ekspresi emosinya berkurang, yang dapat dilihat dari ekspresi wajah
dan bahasa tubuh yang kurang bervariasi.

3. Afek menumpul merupakan penurunan serius dari kemampuan ekspresi emosi yang
tampak dari tatapan mata kosong, irama suara monoton dan bahasa tubuh yang sangat
kurang.

4. Afek mendatar: adalah suatu hendaya  afektif  berat  lebih  parah  dari  afek 


menumpul.Pada  keadaan  ini  dapat  dikatakan  individu  kehilangan  kemampuan 
ekspresi  emosi. Ekspresi  wajah  datar,  pandangan  mata kosong, sikap tubuh yang
kaku, gerakan-gerakan sangat minimal, dan irama suara datar seperti ’robot’.

5. Afek serasi:  menggambarkan   keadaan   normal   dari   ekspresi   emosi   yang  


terlihat   dari keserasian antara ekspresi emosi dan suasana yang dihayatinya.

6. Afek tidak serasi : kondisi sebaliknya yakni ekspresi emosi yang tidak cocok dengan
suasana yang dihayati. Misalnya seseorang yang menceritakan suasana duka cita tapi
dengan wajah riang dan tertawa tawa.

7. Afek labil: Menggambarkan perubahan irama perasaan yang cepat dan tiba -tiba, yang


tidak berhubungan dengan stimulus eksternal.

Depresi

Depresi adalah gangguan perasaan (afek) yang ditandai dengan afek disforik
(kehilangan kegembiraan atau gairah) disertai dengan gejala lain, seperti gangguan
tidur dan menurunnya selera makan. Depresi biasanya terjadi saat stress yang dialami
oleh seorang tidak kunjung reda, dan depresi yang dialami berkolerasi dengan
kejadian dramatis yang baru saja terjadi atau menimpa seseorang. (Lubis, 2009 :13)

2.2.2.3 Emosi lain.

1. Ansietas: rasa takut yang timbul akibat antisipasi terhadap bahaya, yang dapat bersilat
internal maupun eksternal.

2. Ansietas rnengambang bebas: ketakutan pervasif yang tidak terfokus dan tidak
tertambat pada suatu ide.

3. Ketakutan: ansietas yang disebabkan oleh bahaya yang nyata dan dikenali secara
sadar.

4. Agitasi: ansietas berat yang disertai kcgelisahan motorik; serupa dengan iritabilitas
yang ditandai dengan eksitabilitas berlebih disertai kemarahan atau rasa terganggu
yang mudah terpicu.

7
5. Ketegangan: aktivitas motorik dan psikologis yang meningkat dan tidak
menyenangkan.

6. Panik: serangan ansietas yang intens, episodik, dan akut yang ditandai dengan rasa
ngeri yang berlebihan dan pelepasan otonom.

7. Apati :nada emosional yang menumpul disertai rasa terlepas atau tak acuh.

8. Ambivalensi: koeksistensi dua impuls vang bertolak belakang terhadap satu hal pada
orang yang sama dan saat yang sama.

9. Abreaksi: pembebasan atau pelepasan emosional setelah mengingat pengalaman


menyakitkan.

10. Rasa malu: kegagalan untuk mencapai hal yang diharapkan oleh diri sendiri.

11. Rasa bersalah: emosi yang timbul akibat melakukan sesuatu yang dianggap salah.

12. Pengendalian impuls: kemarnpuan untuk menahan Impuls, dorongan. atau godaan
untuk rnelakukan suatu tindakan.

13. lnefabilitas: keadaan ekstasi yang tidak dapat di jelaskan. tidak clapat diungkapkan,
dan mustahil disampaikan ke orang lain.

14. Akateksis: kurangnya perasaan terhadap suatu subjek yang biasanya mcnimbulkan
emosi; pada kateksis, perasaannya terhubung.

15. Dekateksis: terlepasnya emosi dari pikiran, ide, atau orang.

2.2.2.4 Gangguan fisiologis yang menyertai gangguan mood

Adalah tanda disfungsi somatik (biasanya otonom), paling sering diakibatkan oleh
depresi (juga disebut sebagai tanda vegetatif).

1. Anoreksia: hilang atau menurunnya selera makan.

2. Hiperfagia: peningkatan asupan makanan.

3. Insomnia: kehilangan atau berkurangnya kemampuan untuk tidur.

a. Awal: kesulitan untuk jatuh tertidur.

b. Tengah: kesulitan tidur di malan hari tanpa terbangun dan kesulitan untuk kembali
tidur.

c. Akhir: terbangun pada dini hari.

4, Hipersomnia: tidur berlebihan.

8
5. Variasi diurnal: mood biasanya paling buruk pada pagi hari, segera setelah bangun,
dan membaik seiring dengan berjalannya hari.

6. Penurunan libido: berkurangnya minat, dorongan dan performa seks (peningkatan


libido sering dikaitkan dengan keadaan manik).

7. Konstipasi: ketidakmampuan defekasi atau kesulitiln defekasi.

8. Kelelahan: rasa letih, mengantuk, atau iritabilitas yang timbul setelah suatu periode
aktivitas tubuh atau mental.

9. Pika: mengidam dan memakan bahan yang bukan makanan. contohnya cat atau
tanah liat.

10. Pseudosiesis: kondisi yang jarang, yaitu pasien menunjukkan tanda dan gejala
kehamilan. seperti distensi abdomen, pembesaran payudara, pigmentasi, terhentinya
menstruasi, dan morning sickness.

11. Bulimia: lapar yang tak terpuaskan dan makan berlebih; dapat dilihat pada bulimia
nervosa dan depresi atipikal.

12. Adinamia: kelemahan dan kelelahan.

2.2.3 Perilaku motorik (konasi)

Aspek psikis yang mencakup impuls, rnotivasi. keinginan, dorongan, insting, dan
hasrat yang ditunjukkan melalui aktivitas motorik atau perilaku seseorang.

l. Ekopraksia: peniruan gerakan seseorang oleh orang lain secara patologis.

2. Katatonia dan abnormalitas postur: ditemukan pada skizofrenia katatonik dan beberapa
kasus penyakit otak, seperti ensefalitis.

a. Katalepsi: istilah umum untuk posisi tidak bergerak yang dipertahankan


secara konstan.

b. Eksitasi katatonik: aktivitas motorik yang tak bertujuan dan teragitasi, tidak
dipengaruhi oleh stimulus eksterna.

c. Stupor katatonik: aktivitas motorik yang melambat secara nyata, seringkali


hingga mencapai suatu titik imobilitas dan tampak tak sadar akan sekitar.

d. Rigiditas katatonik: mempertahankan suatu postur rigid secara volunter,


meski telah dilakukan semua usaha untuk menggerakkannya.

9
e. Postur katatonik: mempertahankan suatu postur aneh dan tidak pada
tempatnya secara volunter. biasanya dipertahankan dalam jangka waktu lama.

f. Fleksibilitas serea (fleksibilitas lilin): keadaan seseorang yang dapat


dibentuk rnenjadi posisi tertentu kemudian dipertahankan; ketika pemeriksa
menggerakkan anggota gerak orang tersebut. anggota gerak itu terasa seperti terbuat
dari lilin.

g. Akinesia: tidak adanya gerakan fisik. seperti yang terdapat pada imobilitas
ekstrim pada penderita skizofrena katatonik :juga dapat terjadi akibat efek samping
ekstrapiramidal dari pengobatan antipsikotik.

3. Negativisme: tahanan tanpa motif terhadap semua usaha untuk rnenggerakkan atau
terhadap semua instruksi.

4. Katapleksi: hilangnya tonus otot dan kelemahan sementara yang dipicu oleh
berbagai keadaan emosional.

5. Stereotip: pola tindakan fisik atau berbicara yang tetap dan berulang.

6. Manerisme: gerakan involunter ynng menjadi kebiasaan dan mendarah daging.

7. Otomatisme : tindakan dilakukan secara otomatis yang biasanya melambangkan


aktivitas simbolik bawah sadar.

8. Otornatisme perintah: secara otomatis mengikuti saran (juga disebut kepatuhan


otomatis).

9. Mutisme: menjadi bisu tanpa abnormalitas struktural.

10. Overaktivitas.

a. Agitasi psikomotor: overaktivitas mototorik dan kognitif yang berlebihan, biasanya


bersilaf nonproduktif dan merupakan respon terhadap ketegangan dari dalam.

b. Fliperaktivitas (hiperkinesis): aktivitas yang merusak agresif, dan gelisah, sering


disebabkan olelt sejumlah patologi otak yang mendasari.

c. Tik: gerakan motorik spasmodik yang involunter.

d. Berjalan dalam tidur (somnabulisme): aktivitas motorik saat tidur.

e. Akatisia: perasaan subjektif berupa rasa tegang pada otot sekunder akibat
antipsikotika atau obat lain" yang dapat mengakibatkan kegelisahan, berjalan mondar
mandir, duduk-berdiri berulang kali; dapat disalahartikan scbagai agitasi psikotik.

f. Kumpulsi: impuls tak terkendali untuk melakukan suatu tindakan secara repetitif.

 Dipsomania: kompulsi uutuk minum alkohol.

10
 Kleptomania: kompulsi untuk mencuri.

 Nimformania: keinginan kompulsif dan berlebih untuk melakukan


koitus pada wanita.

 Satiriasis: keinginan kompulsif dan berlebih untuk melakukan koitus


pada pria

 Trikotilomania: kompulsi untuk menarik rambut.

 Ritual: Aktivitas otomatis, bcrsifat kompulsif bertujuan untuk


mengurangi ansietas.

g. Ataksia: kegagalan koordinasi otot; iregularitas kerja otot.

h. Polifagia: makan berlebihan yang patologis.

i. Tremor: perubahan gerakan secara ritmis, biasanya lebih cepat dari satu ketukan per
detik; biasanya, tremor berkurang selama periode relaksasi dan tidur serta meningkat
pada periode kemarahan dan peningkatan ketegangan.

j. Floksilasi: gerakan mencabuti yang tidak bertujuan, biasanya pakaian atau seprai,
sering terlihat pada delirium.

11. Hipoaktivitas (hipokinesis): penurunan aktivitas motorik dan kognitif, seperti pada
retardasi psikomotor; perlambatan secara nyata pada proses pikir, bicara, dan gerakan.

12. Mimikri: aktivitas motorik imitatif sederhana pada masa kanak-kanak.

13. Agresi: tindakan penuh tenaga dan bertujuan yang dapat bersifat verbal maupun fisik;
lawan motorik dari afek gusar, marah atau benci.

14. Berlagak: ekspresi keinginan bawah sadar atau impuls tindakan secara langsung;
mewujudkan fantasi bawah sadar secara impulsif dalam perilaku.

15. Abulia: penurunan rangsang untuk bertindak dan berpikir, akibat sikap tidak peduli akan
konsekuensi dari tindakannya; akibat defisit neurologis.

16. Anergia: tidak berenergi (anergi).

17. Astasia abasia: ketidakmampua untuk berdiri atau berialan secara normal, meski gerakan
tungkai norrnal dapat dilakukan pada posisi duduk atau berbaring. Cara berjalannya aneh dan
tidak rnengarah ke suatu lesi organik spesifik; terdapat pada gangguan konversi.

18. Koprofagia: memakan kotoran atau feses.

19. Diskinesia: kesulitan melakukan gerakan volunter, seperti pada gangguan


ekstrapiramidal.

20. Rigiditas otot: keadaan ketika otot tetap tak dapat digerakkan; ditemui pada skizofrenia.
11
21. Berputar: tanda yang terdapat pada anak autistik yang terus-menerus berputar ke arah
kepalanya yang dimiringkan.

22. Bradikinesia: kelambanan aktivitas motorik disertai penurunan gerakan spontan normal.

23. Khorea: gerakan acak, menyentak, cepat, involunter dan tak bertujuan.

24. Konvulsi: kontraksi atau spasme otot yang hebat dan involunter.

a. Konvulsi klonik: konvulsi berupa otot yang berkontraksi dan berelaksasi secara
bergantian.

b. Konvulsi tonik: konvulsi berupa kontraksi otot yang tertahan.

25. Kejang: serangan atau awitan gejala tertentu yang mendadak, contohnya konvulsi, hilang
kesadaran. serta gangguan psikis atau sensorik; ditemui pada epilepsi dan dapat diinduksi
oleh zat.

a. Kejang tonik-klonik menyeluruh: awitan gerakan tonik-klonik pada ekstremitas


yang menyeluruh, menggigit lidah, dan inkontinensia dan diikuti oleh pemulihan
kesadaran clan kognisi secara lambat dan berlahap, disebut juga kejang grand mal dan
kejang psikomotor.

b. Kejang parsial sederhana: awitan kejang iktal tokal tanpa gangguan kesadaran.

c. Kejang parsial kompleks: awitan kejang iktal lokal dengan gangguan kesadaran.

26. Distonia: kontraksi badan atau ekstremitas yang lambat dan tertahan; dapat ditemui pada
distonia akibat obat.

27. Aminia: ketidakmampuan untuk membuat gerakan isyarat atau memahami gerakan
isyarat yang dilakukan oleh orang lain.

2.2.4 Berpikir

Berfikir adalah aliran ide, simbol, dan asosiasi yang bertujuan, diawali sebuah
masalah atau tugas dan berakhir pada kesimpulan yang berorientasi pada kenyataan: bila
terdapat urutan yang logis, cara berpikir dianggap normal; parapraksis (meleset dari logika
secara tidak sadar, disebut juga freudian slip) dianggap sebagai bagian cara berpikir normal.

Cara berpikir abstrak adalah kemampuan untuk menangkap esensi suatu keseluruhan,
memecahkan keseluruhan menjadi bagian, dan mencerna isyarat umum.

2.2.4.1 Gangguan menyeluruh dalam bentuk atau proses pikir.

12
l. Gangguan mental: sindrom perilaku atau psikologis yang nyata secara klinis dan disertai
distres atau disabilitas, bukan sekedar respons yang diharapkan terhadap peristiwa tertentu
atau terbatas dalam hubungan antara seseorang dcngan masyarakat.

2. Psikosis: ketidakmampuan untuk membedakan kenyataan dari khayalan; uji realitas


terganggu, disertai pembentukan realitas baru (berlawanan dengan neurosis: gangguan mental
dengan uji realitas yang tetap baik: perilaku dapat tidak bertentangan dengan norma sosial
umum, tapi berlangsung lama atau berulang tanpa terapi).

3. Uji realitas: evaluasi dan penilaian objektif terhadap dunia di luar dirinya.

4. Gangguan bentuk pikir: kelainan dalam bentuk pikir dan bukannya isi pikir; cara berpikir
ditandai dengan asosiasi longgar, neologisme, dan konstruksi yang tidak logis; proses pikir
terganggu, dan orangnya disebut psikotik.

5. Pikiran tak logis: pikiran yang mengandung kesimpulan yang salah atau kontradiksi
internal hanya dianggap psikopatologis bila sangat nyata dan tidak disebabkan oleh nilai
budaya atau defisit intelektual.

6. Dereisme: aktivitas mental yang tidak sejalan dengan logika atau pengalaman.

7. Pemikiran autistik: preokupasi dengan dunia pribadi di dalam dirinya sendiri; istilah yang
biasa digunakan cukup bersinonim dengan dereisme.

8. Pemikiran magis: bentuk pikiran dereistik; cara berpikir yang menyerupai fase
preoperasional pada anak (Jean Piaget), ketika pikiran, kata-kata, atau tindakan dianggap
merniliki kekuatan (contohnya, menyebabkan atau mencegah suatu peristiwa).

9. Proses pikir primer: istilah umum untuk cara berpikir dereistik, tidak logis, magis; normal
terdapat dalam mimpi, terdapat secara abnormal pada psikosis.

10. Tilikan emosional: tingkat pemahaman atau kesadaran yang mendalam yang cenderung
mengarah ke perubahan kepribadian dan perilaku yang positif.

2.2.4.2 Gangguan spesifik dalam bentuk pikir.

l. Neologisme: kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengan menggabungkan
suku kata dari kata kata lain, untuk alasan psikotogis yang idiosinkatik.

2. Word salad: pencampuran kata atau frase yang inkoheren.

3. Sirkumstansialitas: gaya bicara tak langsung yang terlambat mencapai poin tertentu namun
akhirnya dapat berangkat dari poin asal ke tujuan yang dikehendaki; ditandai oleh detail dan
kata-kata sisipan yang berlebihan.

4. Tangensialitas: ketidakmampuan untuk mencapai asosiasi pikiran yang mengarah ke


tujuan; pembicara tidak pernah beranjak dari poin awal ke tujuan yang di inginkan.

13
5. Inkoherensi: pikiran yang secara umum tidak dapat dipahami; pikiran atau kata-kata yang
keluar tanpa hubungan logis maupun tidak sesuai tata bahasa, mengakibatkan disorganisasi.

6. Perseverasi: respons yang menetap terhadap stimulus sebelumnya meski telah diberikan
stimulus baru; sering disebabkan oleh gangguan kognitif

7. Verbigerasi: pengulangan kata atau kalimat tertentu tanpa makna.

8. Ekolalia: pengulangan kata atau kalimat yang diucapkan seseorang yang bersifat
psikopatologis; cenderung berulang dan persisten; dapat diucapkan dengan intonasi mengejek
atau terputus-putus.

9. Kondensasi: penggabungan berbagai konsep meniadi satu.

10. Jawaban tidak relevan: .lawaban yang tidak selaras dengan pertanyaan yang diajukan
(orang tersebut tampak mengabaikan atau tidak memperhatikan pertanyaan).

1l. Asosiasi longgar: aliran pikiran berupa perpindahan ide dari satu subjek ke subjek lain
dalam cara yang sama sekali tidak berhubungan; bila parah, pembicaraan dapat menjadi
inkoheren.

12. Derailment: deviasi alur berpikir yang terjadi secara berangsur atau mendadak tanpa
bloking; kadang digunakan sebagai sinonim asosiasi longgar.

13. Flight ofideas: permainan kata-kata atau verbalisasi kontinu dan cepat yang menghasilkan
perpindahan konstan dari satu ide ke ide lain; ide cenderung berhubungan dan pada keadaan
yang tidak begitu parah, pendengar masih dapat mengikutinya.

14. Clang association : keterkaitan kata-kata dengan bunyi yang mirip namun berbeda arti;
kata-kata tersebut tidak memiliki hubungan logis; dapat mencakup pembentukan rima dan
sajak.

15. Bloking: interupsi alur pikiran secara mendadak sebelum suatu pikiran atau ide tuntas;
setelah jeda sejenak. seseorang tampak tidak ingat hal yang sedang atau akan dikatakan
(disebut juga sebagai deprivasi pikiran').

16. Glosolalia: pengungkapan wahyu melalui kata-kata yang tidak dapat dimengerti artinya
juga disebut sebagai bicara dalam lidah); tidak dianggap sebagai gangguan berpikir bila
dikaitkan dengan praktik agama Pantekosta tertentu; disebut juga sebagai kriptolalia, bahasa
tutur pribadi.

2.2.4.3 Gangguan isi pikir spesifik.

l. Miskin isi: pikiran yang hanya memberi sedikit informasi karena hampa, pengulangan
kosong, alau kalimat yang samar.

2. lde berlebihan: kepercayaan salah yang menetap dan tidak masuk akal dipertahankan tidak
seteguh waham.

14
3. Waham: kepercayaan yang salah, didasarkan pada kesimpulan yang salah tentang realitas
eksterna, tidak konsisten dengan latar belakang inteligensi dan budaya pasien; tidak dapat
dikoreksi dengan penalaran.

a. Waham bizar: kepercayaan yang salah dan aneh, sangat tidak masuk akal.
(contohnya, penyusup dari angkasa luar telah menanamkan elektroda ke dalam
otaknya).

b. Waham sistematik: kepercayaan yang salah atau kepercayaan yang disatukan oleh
satu peristiwa atau tema tunggal (contohnya, soseorang merasa dikejar-kejar oleh
CIA, FBI, atau mafia).

c. Waham yang kongruen-mood waham yang isinya sesuai dengan mood (contohnya,
pasien depresi yang percaya bahwa dirinya bertanggung jawab akan kehancuran
dunia).

d. Waham yang tidak kongruen-mood: waham dengan isi yang tidak sesuai dengan
mood atau netral terhadap mood (misalnya, seorang pasien depresi yang memiliki
waham kendali pikir atau siar isi pikir).

e. Waham nihilistik: perasaan yang salah bahwa dirinya, orang lain, dan dunia ini
tidak ada atau akan mengalami kiamat.

f. Waham kemiskinan: kepercayaan yang salah pada seseorang bahwa ia bangkrut


atau akan kehilangan semua harta bendanya.

g. Waham somatik: kepercayaan salah yang melibatkan fungsi tubuh (contohnya,


kepercayaan bahwa otaknya membusuk atau meleleh).

h. Waham paranoid: termasuk di antaranya adalah waham kejar dan waham rujukan,
kendali, dan kebesaran (dibedakan dari ide paranoid, yaitu kecurigaan dengan kadar
lebih rendah dari proporsi waham).

 Waham kejar: kepercayaan yang salah pada seseorang yang merasa dirinya
dilecehkan, dicurangi, atau dikejar; sering ditemukan pada pasien dengan
kasus hukum yang memiliki kecenderungan patologis untuk mengambil
tindakan hukum karena adanya suatu perlakuan salah yang imaliner.

 Waham kebesaran: konsep seseorang akan arti penting diri, kekuatan atau
identitasnya yang terlalu dilebih-lebihkan.

 Waham rujukan: kepercayaan yang salah dalam diri seseorang bahwa perilaku
orang lain ditujukan kepada dirinya: bahwa peristiwa, objek, atau orang lain
memiliki kepentingan tertentu dan luar biasa, biasanya dalam konotasi negatif;
berasal dari ide rujukan, yaitu ketika seseorang secara salah merasa bahwa
orang lain membicarakan dirinya (contohnya, kepercayaan bahwa orang di tv
dan radio berbicara kepada atau mengenai dirinya).

15
i. Waham menyalahkan diri: perasaan mcnyesal dan rasa bersalah yang tidak pada
tempatnya.

j. Waham kendali: perasaan yang salah bahwa keinginan, pikiran, atau perasaan
seseorang dikendalikan oleh kekuatan dari luar.

 Penarikan pikiran: waham bahwa pikiran seseorang dihilangkan dari dirinya


oleh orang atau kekuatan lain.

 Insersi pikiran: waham bahwa suatu pemikiran ditanamkan ke otak seseorang


oleh orang atau kekuatan lain.

 Siar pikiran: waham bahwa pikiran seseorang dapat didengar oleh orang lain.
seolah-olah pikiran tersebut disiarkan di udara.

 Kendali pikiran: waham bahwa pikiran seseorang dikendalikan oleh orang


atau kekuatan lain.

k. Waham ketidaksetiaan (waham cemburu): kepercayaan salah yang berasal dari


kecemburuan patologis seseorang bahwa kekasihnya tidak setia.

l. Erotomania: kepercayaan delusional, lebih sering ditemukan pada wanita daripada pria,
bahwa seseorang sedang jatuh cinta pada dirinya (juga dikenal sebagai kompleks
Cldrambault-Kandinsky).

m. Pseudologia fantastika: bentuk kebohongan ketika seseorang tampaknya memercayai


bahwa khayalannya menjadi nyata dan terjadi pada dirinya; dikaitkan dengan sindrom
Munchausen, berulang kali memalsukan penyakit.

4. Kecenderungan atau preokupasi pikiran: pemusatan isi pikir pada ide tertentu, dikaitkan
dengan nada afektif yang kuat, seperti kecenderungan paranoid atau preokupasi bunuh
diri atau membunuh.

5. Egomania: preokupasi patologis nrengenai diri sendiri.

6. Monomania: preokupasi terhadap suatu objek tunggal.

7. Hipokondria: kekhawatiran yang berlebihan akan kesehatan yang tidak didasarkan atas
patologi organik yang nyata, melainkan interpretasi yang tidak realistis atas tanda atau
sensasi fisik yang dianggap abnormal.

8. Obsesi: menetapnya secara patologis suatu pikiran atau perasaan kuat yang tidak dapat
dihilangkan dari kesadaran dengan usaha yang logis; dikaitkan dengan ansietas.

9. Kompulsi: kebutuhan patologis untuk bertindak berdasarkan sebuah impuls yang, bila
ditahan. akan menimbulkan ansietasi perilaku repetitif sebagai respons terhadap suatu
obsesi atau dilakukan berdasarkan aliran tertentu, tanpa maksud tujuan tertentu untuk
mengakhirinya selain untuk mencegah sesuatu terjadi di masa yang akan datang.

16
10. Koprolalia: secara kompulsif mengeluarkan kata kata kotor.

ll. Fobia: kengerian patologis yang tidak bervariasi, berlebihan, tidak rasionaln dan
menetap akan suatu stimulus atau situasi spesifik; sehingga timbul hasrat yang kuat
untuk menghindari stimulus yang ditakutkan tersebut.

a. Fobia spcsifik: rasa takut yang terbatas pada suatu objek atau situasi yang jelas
(contohnya, takut akan laba-laba atau ular).

b. Fobia sosial: takut dipermalukan oleh orang banyak, contohnya takut berbicara di
depan umum, takut tampil, atau makan di tempat umum.

c. Akrolobia: takut akan ketinggian.

d. Agorafobia: takut akan tempat terbuka.

e. Algolobil: takut akan rasa nyeri.

f. Ailurofobia: takut akan kucing.

g. Eritrofobia: takut akan warna merah (merujuk kepada takut mukanya akan bersemu
merah).

h. Panfobia: takut akan segala hal.

i. Klaustrofobia: takut akan tempat tertutup.

j. Xenofobia: takut akan orang asing.

k. Zoofobia: takut akan hewan.

l. Fobia jarurn: ketakutan patologis yang intens dan menetap akan disuntik; juga
disebut fobia injeksi darah.

12. Noesis: wahyu berupa pencerahan yang terjadi menimbulkan perasaan bahwa seseorang
terpilih untuk memimpin atau memerintah.

13. Unio mystica: perasaan berlebih mengenai kesatuan mistis dan suatu kekuatan tak
terbatas tidak dianggap sebagai gangguan isi pikir bila sejalan dengan lingkungan agama atau
budaya pasien.

2.2.5 Pembicaraan

Pembicaraan adalah ide, pikiran, perasaan yang diekspresikan melalui bahasa;


komunikasi dengan rnenggunakan kata kata dan bahasa.

2.2.5.1 Gangguan cara berbicara.


17
l. Tekanan berbicara: gaya bicara cepat yang meningkat dalam jumlah dan sulit diinterupsi.

2. Suka mengoceh (logorea): gaya bicara logis, koheren. dan banyak.

3. Miskin bicara: restriksi jumlah pembicaraan yang digunakan; jawaban dapat hanya terdiri
dari satu suku kata.

4. Gaya bicara tidak spontan: jawaban verbal hanya diberikan bila ditanya atau diajak bicara
langsung; tidak ada inisiatif untuk memulai pembicaraan.

5. Miskin isi pernbicaraan: gaya bicara dalam jumlah yang adekuat namun hanya
menyampaikan sedikit informasi akibat banyaknya kehampaan, kekosongan, dan kalimat
stereotip.

6. Disprosodi: hilangnya irama berbicara normal (disebul prosodi).

7. Disartria: kesulitan dalam artikulasi, bukan dalam menemukan kata atau tata bahasa.

8. Gaya bicara yang sangat keras atau sangat pelan: hilangnya modulasi volume bicara
normal, mungkin mencerminkan berbagai keadaan patologis mulai dari psikosis sampai
depresi atau ketulian.

9. Gagap: pengulangan yang sering atau pemanjangan suatu bunyi atau suku kata, mengarah
ke gangguan kelancaran bicara yang cukup nyata.

10. Latah: gaya bicara serampangan dan tidak berirama, terdiri atas seruan spontan dan cepat.

11. Akulalia: gaya bicara tak masuk akal terkait dengan gangguan pemahaman yang cukup
bermakna.

12. Bradilalia: gaya bicara lambat yang abnormal.

13. Disfonia: kesulitan atau nyeri saat berbicara.

2.2.5.2 Gangguan afasik: gangguan hasil akhir bahasa.

l. Afasia motorik: kesulitan berbicara yang disebabkan oleh gangguan kognitif berupa
pemahaman yang tetap namun kemampuan berbicara sangat terganggu; gaya bicara terputus-
putus, susah payah, dan tidak akurat (disebut juga afasia Broca, nonfluent, dan ekspresif.

2. Afasia sensorik: hilangnya kemampuan untuk memahami arti kata dengan penyebab
organik; gaya bicara lancar dan spontan tapi tidak koheren dan tidak masuk akal (dikenal juga
sebagai afasia wernicke, fuent, dan reseptif.

3. Afasia nominal: kesulitan menemukan nama suatu objek dengan benar (disebut juga afasia
anomia dan amnesik).

4. Afasia sintaktis: ketidakmampuan menyusun kata kata dalam urutan yang benar.
18
5. Afasia jargon: kata-kata yang dikeluarkan seluruhnya neologistik; kata-kata tak bermakna
diulang dengan berbagai intonasi dan perubahan nada suara.

6. Afasia global: kombinasi afasia nonfluent berat dengan afasia fluent parah.

7. Alogia: ketidakmampuan berbicara akibat suatu delisiensi mental atau episode demensia.

8. Koprofasia: penggunaan bahasa yang vulgar atau kasar secara involunter; terdapat pada
gangguan Torette dan beberapa kasus skizofrenia.

2.2.6 Persepsi:

Persepsi adalah proses transfer stimulus fisik menjadi informasi psikologis; proses
mental yang membawa stimulus sensorik ke alam sadar.

2.2.6.1 Gangguan persepsi.

l. Halusinasi: persepsi sensorik palsu yang tidak dikaitkan dengan stimulus eksternal yang
nyata; mungkin terdapat interpretasi berupa waham atas pengalaman halusinasi tersebut
namun mungkin pula tidak.

a. Halusinasi hipnagogik: persepsi palsu yang terjadi saat akan jatuh tertidur;
umumnya dianggap sebagai fenomena yang tidak patologis.

b. Halusinasi hipnopompik: persepsi palsu yang terjadi saat bangun dari tidur;
biasanya dianggap tidak patologis.

c. Halusinasi auditorik: persepsi palsu akan bunyi, biasanya berupa suara-suara namun
dapat pula berupa bunyi-bunyian lain, contohnya musik, merupakan halusinasi yang
paling sering ditemukan pada gangguan psikiatri.

d. Halusinasi visual: persepsi palsu yang melibatkan penglihatan baik suatu citra yang
berbentuk (misalnya, orang) dan citra tak berbentuk (misalnya. kilatan cahaya); paling
sering ditemukan pada gangguan berupa gangguan medis.

e. Halusinasi olfaktorik: persepsi palsu akan bau; paling sering terdapat pada
gangguan medis.

f. Halusinasi gustatorik : persepsi palsu akan rasa, misalnya rasa yang tidak enak,
disebabkan oleh kejang unsinatus; paling sering terjadi pada gangguan medis.

g. Halusinasi taktil (haptik): persepsi palsu akan sentuhan atau sensasi permukaan,
contohnya pada ekstremitas yang diamputasi (phantom limb); sensasi merayap pada
atau di bawah kulit (formikasi).

19
h. Halusinasi somatik: sensasi palsu akan adanya sesuatu yang terjadi pada atau
ditujukan ke tubuhnya, paling sering berasal dari visera (disebut juga halusinasi
senestesik).

i. Halusinasi liliput: persepsi palsu bahwa ukuran obyek terlihat mengecil (disebut
juga nikropsia)

j. Halusinasi yang kongruen-mood. halusinasi yang isinya konsisten dengan mood


depresif atau manik (contohnya, pasien depresi mendengar suara yang mengatakan
bahwa dirinya adalah orang jahat; seorang pasien manik mendengar suara yang
mengatakan dirinya amat berharga, berkuasa, dan berpengetahuan tinggi).

k. Halusinasi yang tidak kongruen-mood: halusinasi yang isinya tidak konsisten


dengan mood depresif maupun manik (misalnya, pada depresi, halusinasi tidak
melibatkan tema seperti rasa bersalah. berhak dihukum, atau perasaan rendah diri;
pada mania, halusinasi tidak melibatkan tema seperti harga diri dan kekuasaan yang
tinggi).

l. Halusinosis: halusinasi, paling sering auditorik akibat penyalahgunaan alkohol


kronik dan yang terjadi pada kesadaran yang jernih, berlawanan dengan delirium
tremens, yaitu halusinasi yang terjadi pada kesadaran berkabut.

m. Sinestesia: sensasi atau halusinasi yang ditimbulkan oleh sensasi lain (contohnya,
sensasi auditorik yang disertai atau memicu sensasi visual, suara yang dianggap
terlihat atau kejadian visual yang dianggap sebagai sesuatu yang terdengar).

n. Fenomena trailing: abnormalitas persepsi terkait obat halusinogenik berupa obyek


bergerak terlihat sebagai serangkaian citra yang terpisah dan terputus.

o. Halusinasi perintah: persepsi palsu akan perintah yang membuat seseorang merasa
wajib mematuhi atau tak kuasa menolak.

2. Ilusi: persepsi atau interpretasi yang salah akan stimulus sensorik eksterna yang nyata.

2.2.6.2 Gangguan yang berkaitan dengan gangguan kognitif dan penyakit medis.

1. Agnosia: ketidakmampuan untuk mengenali dan menginterpretasi impresi sensorik.

2. Anosognosia (pengabaian penyakit): ketidakmampuan seseorang untuk mengenali suatu


defisit neurologis yang terjadi pada dirinya.

3. Somatopagnosia (pengabaian tubuh): ketidakmampuan seseorang untuk mengenali bagian


tubuh sebagai miliknya sendiri (juga disebut ototopagnosia).

4. Agnosia visual: ketidakmampuan untuk mengenali obyek atau orang.

5. Astereognosis: ketidakmampuan untuk mengenali obyek melalui sentuhan.


20
6. Prosopagnosia: ketidakmampuan untuk mengenali wajah.

7. Apraksia: ketidakmampuan untuk melakukan tugas spesifik.

8. Simultagnosia: ketidakmampuan untuk memahami , lebih dari satu elemen pemandangan


visual pada suatu waktu atau untuk mengintegrasi bagian tersebut sebagai suatu kesatuan.

9. Adiadokhokinesia: ketidakmampuan untuk melakukan gerakan cepat bergantian.

10. Aura: sensasi peringatan berupa otomatisme, rasa penuh pada perut, pipi memerah,
perubahan napas, sensasi kognitif, dan keadaan afektif yang biasanya dialami sebelum
serangan ke.iang; suatu prodromal sensorik yang mendahului nyeri kepala migren klasik.

3 Gangguan yang berkaitan dengan konversi dan fenomena disosiatif

Yaitu somatisasi materi yang direpresi atau timbulnya gejala fisik dan distorsi yang
melibatkan otot volunter atau organ indera tertentu; bukan di bawah kendali volunter dan
tidak dapat diielaskan oleh gangguan fisik lain.

1. Anestesia histeris: hilangnya modalitas sensorik akibat konflik emosional.

2. Makropsia: keadaan ketika obyek tampak lebih besar daripada sebenarnya.

3. Mikropsia: keadaan ketika obyek tampak lebih kecil daripada sebenarnya (baik
makropsia maupun mikropsia juga dapat disebabkan oleh penyakit organik yang jelas,
contohnya keiang parsial kompleks).

4. Depersonalisasi: sensasi subjektif pada seseorang bahwa dirinya terasa tidak nyata,
asing, atau tidak lamiliar.

5. Derealisasi: sensasi subiektif bahwa lingkungan tampak aneh atau tak nyata; perasaan
bahwa kenyataan telah berubah.

6. Fugue: mengambil identitas baru disertai arnnesia akan identitas yang lama; seringkali
melibatkan perjalanan atau berkelana ke lingkungan baru.

7. Kepribadian ganda: seseorang yang pada saat yang berbeda tampak memiliki dua atau
lebih kepribadian dan karakter yang sarna sekali berbeda (disebut sebagai gangguan
identitas disosiatif dalam DSM-lVTR).

8. Disosiasi: mekanisme pertahanan bawah sadar yang meliputi pemisahan seluruh


kelompok proses mental atau perilaku dari aktivitas psikis lain pada orang tersebut; dapat
nrencakup pemisahan suatu ide dari nada emosional yang menyeftainya, seperti yang
tampak pada gangguan konversi dan disosiasi.

2.2.7 Memori
21
Fungsi penyimpanan informasi di dalam otak yang kemudian diingat kembali ke alam
sadar. Orientasi adalah keadaan normal seseorang terhadap sekitarnya dalam hal waktu,
tempat, dan orang.

2.2.7.1 Gangguan memori.

1. Amnesia: ketidakmampuan parsial atau total untuk mengingat kejadian masa lalu;
dapat bersifat organik atau emosional.

 Anterograd: amnesia mengenai keiadian yang ter.jadi sesudah waktu tertentu.

 Retrograd: amnesia mengenai kejadian yang terjadi sebelum waktu tertentu.

2. Paramnesia: pemalsuan memori akibat distorsi dalam mengingat kembali.

 Fausse reconnaissance: pengenalan yang salah

 Falsifikasi retrospektif': memori menjadi terdistorsi di luar keinginan (tanpa


sadar), dipengaruhi oleh kondisi pengalaman, kognisi, dan emosi seseorang saat
itu.

 Konfabulasi: pengisian kekosongan memori secara tidak sadar dengan


pengalaman yang dibayangkan atau bukan yang sebenarnya yang dipercayai oleh
seseorang namun hal tersebut tidak sesuai kenyataan; paling sering disebabkan
oleh patologi organik.

 Dejavu: ilusi pengenalan visual yaitu suatu situasi yang baru dikenali secara salah
sebagai pengulangan memori yang telah dialami sebelumnya.

 Deja entendu : ilusi pengenalan auditorik.

 Deja pense: ilusi bahwa suatu pikiran yang baru dikenali sebagai pikiran yang
sebelumnya telah dialami atau diungkapkan.

 Jamais vu: perasaan yang salah yaitu seseorang tidak merasa familiar dengan
situasi yang sebelumnya telah ia alami.

 Memori palsu: Pengingatan kembali dan keyakinan oleh seseorang mengenai


suatu kejadian yang sebenarnya tidak terjadi.

3. Hipermnesia: derajat retensi dan pengingatan kembali memori yang berlebihan.

4. Citra eidetik: memori visual yang sangat jelas, hampir seperti halusinasi.

5. Memori layar: memori yang ditoleransi secara sadar untuk menutupi suatu memori yang
menyakitkan.

6. Represi: mekanisme defensi yang ditandai dengan melupakan secara sadar ide atau impuls
yang tak dapat diterima.
22
7. Lethologika: ketidakmampuan sementara untuk mengingat nama atau kata benda yang
benar.

8. Blackottt'. amnesia yang dialami oleh alkoholik tentang perilaku selama ia minum-minum;
biasanya mengindikasikan terjadinya kerusakan otak reversibel.

2.2.7.2. Tingkatan memori.

l. Segera: reproduksi atau pengingatan materi yang baru diterima dalam.jangka waktu detik
atau menit.

2. Jangka pendek: mengingat peristiwa yang terjadi selama beberapa hari sebelumnya.

3. Jangka menengah: mengingat peristiwa yang terjadi dalam beberapa bulan sebelumnya.

4. Jangka panjang: mengingat peristiwa yang terjadi jauh di masa lampau.

2.2.8 Inteligensi

Kemampuan untuk memahami, mengingat kembali, memobilisasi, dan mengintegrasikan


secara.konstruktif pelajaran di masa lalu dalam menghadapi situasi baru.

2.2.8.1 Retardasi mental

Kurangnya inteligensi hingga mencapai suatu derajat terdapatnya gangguan kinerja


sosial dan pekerjaan: ringan (IQ 50 atau 55 sampai 70), sedang (lQ 35 atau 40 sampai 50
atau 55), berat (lQ 20 atau 25 sampai 35 atau 40), atau sangat berat (lQ di bawah 20 atau
25); istilah kunonya idiot (usia mental di bawah 3 tahun), intbisil (usia mental antara 3
sampai 7 tahun), dan moron (usia mehtal sekitar 8 tahun).

2.2.8.2 Demensia

Penurunan fungsi intelektual yang bersifat global dan organik tanpa kesadaran
berkabut.

1. Diskalkulia (akalkulia): hilangnya kemampuan untuk melakukan kalkulasi: bukan


disebabkan oleh ansietas atau gangguan konsentrasi.

2. Disgrafia (agrafia): hilangnya kemampuan untuk menulis miring, hilangnya struktur


kata.

23
3. Aleksia: hilangnya kemampuan membaca yang semula dirniliki: bukan disebabkan
oleh kecacatan pada keta.iaman visual.

2.2.8.3 Pseudodemensia

Gambaran klinis yang rnenyerupai demensia namun bukan disebabkan oleh kondisi
organik; paling sering disebabkan oleh depresi (sindrom demensia pada depresi).

2.2.8.4 Pemikiran konkret

Cara berpikir secara harfiah; penggunaan metafbra yang terbatas tanpa memahami
nuansa maknanya; pemikiran satu dimensi.

2.2.8.5 Pemikiran abstrak

Kemampuan untuk mernahami nuansa makna; pemikiran multidimensi dengan


kemampuan untuk menggunakan metafora dan hipotesis secara tepat.

2.2.9 Tilikan

Kemampuan seseorang untuk memahami penyebab sejati dan makna suatu situasi
(contohnya sekumpulan gejala).

2.2.9.1 Tilikan intelektual

Pemahaman kenyataan objektif suatu kelompok keadaan tanpa disertai kemampuan


untuk menerapkan pemahaman tersebut dalam cara yang berguna untuk rnengalasi
situasi.

2.2.9.2 Tilikan sejati

Pemahaman akan kenyataan objektif suatu situasi disertai motivasi dan dorongan
emosional untuk menguasai situasi.

2.2.9.3 Tilikan terganggu

Berkurangnya kemampuan untuk memahami kenyataan ob.jektif dari suatu situasi.

2.2.10 Daya nilai

Kemampuan untuk rnengkaji suatu situasi dengan benar dan bertindak sesuai situasi
tersebul.
24
2.2.10.1 Daya nilai kritis

Kemampuan untuk mengkaji, mencerna, dan memilih di antara berbagai opsi dalam suatu
situasi.

2.2.10.2 Daya nilai otomatis

Kinerja refleks suatu tindakan.

2.2.10.1Daya nilai terganggu

Berkurangnya kemampuan untuk memahami suatu situasi dengan benar dan


mengambil tindakan yang sesuai.

2.2.11 Derajat Tilikan

Tilikan  terganggu artinya  kehilangan  kemampuan untuk  memahami   kenyataan obyektif


akan kondisi dan situasi dirinya. Jenisjenis tilikan:

1. Tilikan derajat 1

Penyangkalan total terhadap penyakitnya

2. Tilikan derajat 2

Ambivalensi terhadap penyakitnya

3. Tilikan derajat 3

Menyalahkan faktor lain sebagai penyebab penyakitnya

4.Tilikan derajat 4

Menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan namun tidak memahami penyebab sakitnya

5.Tilikan derajat  5

Menyadari penyakitnya dan factor-faktor yang berhubungan dengan penyakitnya namun


tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya.

6.Tilikan derajat 6 (sehat)

Menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai motivasi untuk mencapai perbaikan.

25
BAB III

KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN
Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu
patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak, Penyakit cerebrosvaskular,
intoksifikasi obat). Sedadangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak dimana tidak
ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya Skizofrenia, Defresi).

26
Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya terlihat
bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi, dan
perilaku adalah gejala psikiatri yang umum. Tremor , asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan
inkontinensia urine merupakan gejala neuroogis yang umum.

NAPZA ( Narkotika, Psikotropika, dan Zat Zdiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang
bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf
pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena
terjadi kebiasaan, ketangihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.

DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, Sadock, Synopsis of Psychiatry

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, WHO, Departemen
Kesehatan R.I.

Maslim, Rusdi.2003.PPDGJ III. Jakarta

27

Anda mungkin juga menyukai