Anda di halaman 1dari 8

Perubahan Asumsi Lifting Minyak Dalam

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


Perubahan Tahun 2014

A. Pendahuluan

Asumsi dasar ekonomi makro merupakan indikator utama dalam


menyusun postur APBN dengan mempertimbangkan perkembangan
ekonomi domestik maupun global. Salah satu indikator utama dalam
asumsi dasar ekonomi makro ialah lifting minyak. Lifting minyak bumi
itu sendiri adalah tingkat produksi minyak mentah yang siap untuk
dijual atau dibagi di titik penyerahan. Dalam postur APBN, asumsi
lifting minyak digunakan sebagai dasar perhitungan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) dimana Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagai institusi yang
terlibat dalam penetapan asumsi dasar lifting minyak1.
Target lifting minyak pada APBN 2014 telah ditetapkan oleh
Pemerintah sebesar 870.000 barel per hari (BPH). Namun setelah
dilaksanakan pembahasan Work Program and Budgeting 2014
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan SKK Migas terjadi
penurunan lifting minyak menjadi 804.000 BPH2. Perubahan angka
lifting minyak tersebut akan mempengaruhi postur APBN 2014
terutama dari sisi penerimaan. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan lifting minyak akan dibahas dalam bagian
selanjutnya penulisan ini.

B. Faktor Perubahan Asumsi Lifting Minyak


Sejak tahun 1990an realisasi lifting minyak bumi Indonesia terus
mengalami penurunan dan berada dibawah target yang ditetapkan
Pemerintah. Kondisi ini diakibatkan sebagian besar total produksi
minyak Indonesia dihasilkan dari sumur mature yang usianya lebih
dari 30 tahun sementara kegiatan eksplorasi sumur baru dan investasi
di sektor ini masih sangat rendah3. Untuk dapat memenuhi kebutuhan

1
Kementerian Keuangan (2013). Dasar-Dasar Praktek Penyusunan APBN di Indonesia.
2
Hendra, Lukas (2014), “SKK Migas Koreksi Lifting Migas Jadi 813.000 BOPD”,
http://industri.bisnis.com/read/20140507/44/225762/skk-migas-koreksi-lifting-migas-jadi-813.000-
bopd [akses 8 Mei 2014]
3
BP Migas dalam Biro Riset LPEM UI. “Analisis Industri Minyak dan Gas di Indonesia: Masukan bagi
Pengelola BUMN”. http://www.lmfeui.com/data/Analisis%20Industri%20Minyak.pdf. [akses 12 Mei
2014]
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN-SETJEN DPR RI | 1
minyak bumi yang semakin tinggi maka upaya yang dapat dilakukan
saat ini ialah menekan laju penurunan produksi minyak. Adapun
upaya Pemerintah dalam meningkatkan produksi minyak tertuang
dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2010 tentang Peningkatan
Produksi Minyak Bumi Nasional yang salah satunya menugaskan SKK
Migas untuk mendorong KKKS meningkatkan upaya optimasi lapangan
produksi dengan menggunakan Enhanced Oil Recovery (EOR)4,
percepatan pengembangan lapangan baru, marginal, dan idle serta
optimalisasi sumur-sumur tua.
Pada kenyataannya produksi minyak Indonesia terus mengalami
penurunan sejak 5 tahun terakhir dan pencapaian lifting minyak selalu
berada dibawah target APBN. Target asumsi lifting minyak yang telah
ditetapkan pemerintah pada tahun 2009 sebesar 960 ribu bph namun
realisasinya lebih rendah 16 ribu bph. Penurunan itu terus terjadi
hingga di tahun 2014, target awal yang ditetapkan Pemerintah sebesar
870 ribu bph namun angka tersebut sulit tercapai sehingga SKK Migas
mengusulkan perlu dilakukan revisi target lifting minyak.

Gambar 1
Penurunan Realisasi Lifting Minyak Bumi 5 Tahun Terakhir

Penurunan asumsi lifting minyak akan mempengaruhi


penerimaan negara. Diperkirakan setiap penurunan lifting minyak
sebesar 10 ribu barel akan berdampak pada penurunan penerimaan

4
EOR adalah suatu teknologi pengurasan lanjut dengan cara meningkatkan mobilitas minyak bumi
dengan menggunakan injeksi uap, bahan kimia, gas, maupun mikroba agar meningkatkan perolehan
minyak bumi dari lapangan yang umumnya sudah mature (SKK Migas, 2013)
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN-SETJEN DPR RI | 2
negara sebesar Rp2-3 triliun, dengan asumsi kurs dan harga minyak
Indonesia (Indonesia Crude Price) tidak berubah.5. Berikut beberapa
faktor yang menyebabkan penurunan produksi minyak;
1. Sebagian besar lapangan minyak yang digunakan
merupakan lapangan mature
Lapangan minyak yang digunakan saat ini sudah berusia
puluhan tahun sehingga sudah tidak mampu meningkatkan
produksi minyak. Berdasarkan hasil evaluasi Bappenas (2014)
terhadap lifting minyak Indonesia menyebutkan bahwa :
“Capaian produksi minyak bumi dari tahun ke tahun
semakin menurun disebabkan karena sumur minyak
bumi yang saat ini berproduksi sebagian besar (62%)
berasal dari lapangan minyak tua (mature), dimana
tingkat produksinya terus mengalami penurunan
(natural depletion) sekitar 10-12%6.”

2. Lemahnya Investasi pada Kegiatan Hulu Minyak Bumi

Salah satu penyebab semakin lemahnya investasi di sektor


ini ialah eksplorasi minyak dan gas untuk penambahan
cadangan migas semakin sulit dan potensi yang ada saat ini
berada di laut dalam (off shore). Indonesia Petroleum Association
(IPA) juga menyebutkan bahwa masa eksplorasi migas di lokasi
mudah (easy oil) telah habis sehingga diperlukan investasi
sebesar US$ 28 miliar per tahun untuk bisa memproduksi
minyak 800 ribu- 1 juta barel per hari 7. Tingginya resiko
kegiatan eksplorasi tersebut mengakibatkan sebanyak 12 KKKS
Minyak dan Gas Bumi asing mengalami kerugian sebesar US$
1,9 miliar atau Rp 19 triliun selama kurun waktu 2009-2013.
Kerugian tersebut disebabkan kegagalan mendapatkan cadangan
minyak dan gas di 16 Blok Eksplorasi di laut dalam (lihat tabel
1).

5
Kementerian Keuangan (2014). “Kementerian Keuangan Terus Pantau Perkembangan APBN
2014”.http://www.kemenkeu.go.id/Berita/kementerian-keuangan-terus-pantau-perkembangan-apbn-
2014 [akses 12 Mei 2014]
6
Bappenas (2014). Evaluasi Paruh Waktu-RPJMN 2010-2014
7
Ayuningtyas, Retno. (2014), “Indonesia Butuh Investasi Migas US$ 28 Miliar per Tahun”, Investor Daily,
6 Mei, hlm 6.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN-SETJEN DPR RI | 3
Tabel 1
Kerugian Sebesar Rp 19 Triliun oleh KKKS Akibat Kegagalan dalam
Eksplorasi Migas Sepanjang Tahun 2009-2013
KKKS Wilayah Kerja Jumlah Realisasi Biaya Status
Sumur (Juta US$)
ExxonMobil Surumana 1 123 Sumur Kering

ExxonMobil Mandar 3 179 Sumur Kering dan


Biogenic Gas
Uneconomic
Statoil Karama 2 141 Sumur Kering

Conoco Kuma, Amborip 3 311 Sumur Kering dan


Phillips VI, Arafura Sea Waxy oil

Talisman Sageri 1 84 Sumur Kering

Marathon Pasang Kayu 4 209 SumurKering dan


Technical Problem

Tately Budong-Buding 2 51 Technical Problem


dan Uneconomic Well

Japex Buton 1 31 Sumur Kering

CNOOC SE Palung Aru 1 50 Sumur Kering

Hess Semai IV 2 223 Sumur Kering

Niko Kofiau,W Papua 3 214 Sub Commercial Gas


Resources IV,Makssar Discovery,
Strait Temporarily
Suspended, Drilling

Murphy Oil Semai II 1 215 Sumur Kering

Total 1.900

Sumber : Kementerian ESDM, 20138

Sementara itu Indonesia menggunakan mekanisme cost


recovery9 dimana pemerintah tidak akan mengganti biaya yang
dikeluarkan investor jika cadangan tidak ditemukan setelah
melakukan kegiatan eksplorasi10. Seiring penurunan produksi
minyak maka cost recovery untuk kegiatan eksplorasi dan

8
Kementerian ESDM (2013). “12 KKKS Asing Rugi Rp 19 Triliun Cari Cadangan Migas di Laut Dalam
Indonesia”. http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/6319-12-kkks-asing-rugi-rp19-triliun-cari-
cadangan-migas-di-laut-dalam-indonesia.html [akses 12 Mei 2014]
9
Cost recovery atau recovery operating system adalah biaya yang dibayarkan/dikembalikanoleh Negara
kepada kontraktor Migas selama melakukan eksplorasi dan eksploitasi produksi minyak dan gas.
Kebijakan ini mulai diperkenalkan dan diterapkan pada sistem kontrak bagi hasil
10
Saragih, Juli (2010).”Sejarah Perminyakan di Indonesia”.Penerbit Pusat Pengkajian dan Pengolahan
Data dan Informasi Setjen DPR, Jakarta. Hlm.138
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN-SETJEN DPR RI | 4
produksi terus mengalami peningkatan. Di tahun 2012 biaya
operasi mencapai US$ 15.715 juta atau 25% dari total
pendapatan kotor.

Gambar 2
Distribusi Pendapatan dari Sektor Hulu Migas

Sumber : SKK Migas, 2013

Sistem cost recovery ini telah diatur dalam Peraturan


Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi
yang Dapat Dikembalikan dan Pemberlakuan Pajak Penghasilan
di Bidang Usaha Hulu Migas dengan mengacu pada Undang-
Undang 41 Tahun 2008 Tentang Perpajakan. Biaya yang dapat
dimasukkan sebagai cost recovery (mestinya) adalah biaya yang
dikeluarkan oleh kontraktor yang terkait langsung dengan
operasi eksplorasi dan produksi migas di Indonesia. Adapun
beberapa kelemahan dalam penerapan PP Nomor 79 Tahun 2010;
a. PP ini mengamanatkan KKKS untuk menanggung terlebih
dahulu keseluruhan biaya eksplorasi dan produksi yang
kemudian akan diganti pemerintah jika menghasilkan.
Selain itu, PP ini juga membebankan kepada KKKS untuk
membayar Pajar Bumi dan Bangunan (PBB) baik untuk
seluruh wilayah kerja (WK) eksplorasi baik di darat (on
shore) maupun lepas pantai (off shore) walaupun WK
tersebut belum dimanfaatkan seluruhnya. Pada akhir Juni
2013 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan
tagihan PBB untuk tahun 2012 dan 2013 mencapai total
sebesar Rp 2,6 triliun kepada 15 perusahaan hulu migas

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN-SETJEN DPR RI | 5


yang mengoperasikan 20 Blok eksplorasi lepas pantai.
Besaran PBB berkisar antara Rp 40 miliar hingga Rp 190
miliar per Blok. Jumlah ini melebihi anggaran untuk
kegiatan ekplorasi di Blok itu sendiri sehingga akan sulit
bagi pengusaha migas harus membayar PBB tersebut
sementara eksplorasi belum tentu berhasil. Walaupun
berhasil, area yang dimanfaatkan juga akan sebagian kecil
dari wilayah tersebut.11
b. Penerapan sistem cost recovery yang diatur dalam PP
Nomor 79 Tahun 2010 selain akan mempengaruhi minat
pengusaha Migas untuk berinvestasi di kegiatan eksplorasi
juga menimbulkan praktek kecurangan yang merugikan
negara. Berdasarkan hasil temuan audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan BPKP mengindikasikan terdapat
banyak pengeluaran diluar operasi eksplorasi
dan produksi yang dimasukkan ke dalam cost recovery.
Pengeluaran tersebut diantaranya biaya pengembangan
komunitas, biaya administrasi kantor kontraktor pusat di
negara asal ,dan biaya depresiasi barang modal yang
ternyata sudah tak dapat lagi digunakan12. Kecurangan ini
disebabkan lemahnya pengawasan khususnya terkait
masalah teknis, serta Ketentuan cost recovery yang diatur
dalam kontrak kerja sama antara pemerintah dan
kontraktor praktis tidak dapat diakses oleh masyarakat
luas. Kondisi tersebut mengakibatkan rentannya
praktik korupsi dan kolusi di pembayaran cost recovery.13

3. Terbatasnya Penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery


(EOR)
Penggunaan teknologi EOR masih sangat terbatas
digunakan oleh KKKS besar, seperti PT Chevron Pacific.
Penerapan EOR dengan teknologi injeksi uap yang dioperasikan
sejak tahun 1990 berhasil meningkatkan produksi minyak secara
drastis yang sebelumnya hanya mampu mencapai produksi
puncak 65 ribu bph dan terus mengalami penurunan sebesar
13%. Setelah 20 tahun penerapan EOR, lapangan duri mampu
mempertahankan produksi minyak di angka 180 ribu bph.
11
Prakoso, Rangga (2013), “IPA Meminta Pemerintah Mengkaji Ulang PBB Eksplorasi Migas”.
http://www.beritasatu.com/ekonomi/140653-ipa-minta-pemerintah-kaji-ulang-pbb-ekplorasi-
migas.html. [Akses 19 Mei 2014]
12
Supriatna, Rimba (2013), “Cost Recovery sebagai Upah Investor Migas”. Academia.edu share research.
http://www.academia.edu/4587738/Cost_Recovery_Sebagai_Upah_Investor_Migas [akses 19 Mei
2014]
13
idem
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN-SETJEN DPR RI | 6
Namun kelemahan teknologi ialah implementasi EOR
membutuhkan waktu yang lama karena membutuhan nilai
investasi yang cukup besar yaitu minimal US$ 50 juta14.
Berdasarkan hasil evaluasi dari Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM), SKK Migas dan KKKS terdapat beberapa alasan
penurunan target produksi minyak 2014 dari 870 ribu bph menjadi
804 ribu bph;
1. Blok Cepu masuk perencanaan lifting minyak dalam APBN
2014 dan diprediksikan akan mencapai produksi puncak
sebesar 165 ribu bph tahun 2014 namun mengalami
penundaan hingga tahun 2015.
2. Cuaca ekstrem yang terjadi beberapa akhir ini berdampak
timbulnya gelombang tinggi di sejumlah wilayah perairan di
Indonesia sementara kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
minyak saat ini sudah mengarah pada off shore (laut).
Disamping itu, akibat intensitas hujan yang tinggi sepanjang
awal tahun 2014 mempengaruhi kontur material bawah
tanah sehingga kilang-kilang minyak tidak dapat bekerja
optimal.15

C. Penutup

Produksi minyak yang terus menurun disebabkan tidak


ditemukannya lagi sumur-sumur baru. Sebagian besar sumur-sumur
minyak yang digunakan satu dekade belakangan ini ialah sumur tua
yang berusia lebih dari 30 tahun. Kondisi tersebut menyebabkan
peningkatan produksi minyak sulit tercapai dan cadangan minyak
terbukti terus menurun sehingga upaya yang dapat dilakukan saat ini
ialah mengurangi laju penurunan produksi minyak.
Di lain pihak, tingginya resiko dalam kegiatan eksplorasi
membuat para KKKS berhati-hati dalam melakukan kegiatan ini. Di
tambah lagi, kegiatan eksplorasi saat ini mulai mengarah pada
eksplorasi laut dalam (off shore) mengingat masa eksplorasi migas di
lokasi mudah (easy oil) telah habis. Harapan akan terjadinya
peningkatan produksi minyak muncul setelah ditemukan sumber
minyak mentah baru di lapangan Banyu Urip dengan kandungan 1.478
miliar barel. Diprediksikan lapangan ini mulai beroperasi secara penuh

14
Utama, Aditya (2013), “EOR Sebagai Sandaran Jangka Menengah”, Buletin SKK migas, Februari 2013.
Hlm. 10
15
Ariyanti, Fikri (2014), “Produksi Minyak Susut 10 Ribu Barel, RI Rugi Rp 3 Triliun”.
http://m.liputan6.com/bisnis/read/820755/produksi-minyak-susut-10-ribu-barel-ri-rugi-rp-3-triliun
[akses 2 Mei 2014]
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN-SETJEN DPR RI | 7
tahun 2014 dan mencapai produksi sebesar 165.000 bph. Perhitungan
produksi lapangan Banyu Urip masuk sebagai asumsi lifting minyak
dalam APBN 2014. Namun akibat kendala perijinan dan cuaca terjadi
penundaan waktu produksi minyak yang memaksa Pemerintah untuk
melakukan perubahan APBN terkait asumsi lifting minyak.
Berdasarkan pertemuan antara SKK Migas dan KKKS dalam
pembahasan Work Program and Budgeting (WP&B)16 Tahun 2014
menyimpulkan target lifting minyak tahun 2014 mencapai 804.000 bph
atau lebih rendah dari target awal yaitu 870.000 bph. Angka tersebut
senada juga dengan hasil prediksi oleh Direktur Eksekurif Lembaga
Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi Refiorminer Bapak Pri
Agung Rakhmanto yaitu 800.000 barel per hari17. Maka dengan kondisi
yang ada saat ini maka sulit untuk meningkatkan produksi minyak
kecuali dilakukan penambahan proyek-proyek penemuan sumur baru.
Terkait hal tersebut Pemerintah perlu meningkatkan investasi yang
kondusif di sektor hulu migas dengan memberikan kemudahan
ataupun insentif fiskal kepada para KKKS dalam hal ini dapat berupa
keringan pembayaran PBB migas. (DRP)

16
WP&B merupakan rencana kerja dan anggaran KKKS yang menjadi dasar SKK Migas untuk mengawasi
pelaksanaan komitmen KKKS dalam mengembangkan blok migasnya.
17
Disampaikan dalam Diskusi Pakar “Asumsi Dasar Ekonomi Makro” oleh Biro Analisis Anggaran dan
Pelaksana APBN Setjen DPR, tanggal 6 Mei 2014.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN-SETJEN DPR RI | 8

Anda mungkin juga menyukai