Anda di halaman 1dari 2

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Pra Bank Indonesia

DJB Berdasarkan DJB Wet

Anda masih ingat tentang hak oktroi yang diberikan oleh Kerajaan Belanda kepada
De Javasche Bank? Jika tidak, pada halaman sebelum ini, Anda dapat menemukan
uraiannya. Namun, jika Anda telah membacanya, maka uraian di bawah ini
merupakan kelanjutan dari artikel tersebut. Dari catatan sejarah diketahui bahwa
hak oktroi tersebut diberikan mulai tahun 1828 sampai dengan awal tahun 1922.

Untuk kelangsungan De Javasche Bank, Kerajaaan Belanda menerbitkan Undang-


undang pada tanggal 31 Maret 1922 tentang De Javasche Bank Wet. Bank Wet 1922
ini, dalam perjalanannya, diubah dan ditambah dengan Undang-undang tanggal 30
April 1927 yang berlaku hingga 31 Maret 1953. Pada periode ini, jumlah modal
disetor ditambah menjadi f 9.000.000, yang harus dipenuhi dalam jangka waktu
yang ditetapkan oleh gubernur jenderal.

Pada saat diberlakukannya De Javasche Bank (DJB)


Wet 1922, hak monopoli DJB sebagai bank sirkulasi
di Hindia Belanda mulai dibatasi oleh pemerintah.
Dalam menerbitkan kebijakan moneternya, DJB
terlebih dahulu harus mendapat pengarahan dari
pemerintah negeri Belanda. Pemerintah Hindia
Belanda menentukan anggota dari dewan pengawas
DJB yang mempunyai wewenang untuk
mencalonkan presiden DJB. Demikian pula dalam
hal pembukaan cabang-cabang baru dan
penunjukkan agen. Untuk hal tersebut, DJB harus
melalui persetujuan gubernur jenderal. Terlepas dari segala wewenang pemerintah
tersebut, DJB sebenarnya telah menjalankan fungsi-fungsi yang hanya dapat
dilakukan oleh bank sentral (sekalipun DJB tidak secara resmi bertindak sebagai
bank sentral). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa DJB adalah bank
perkreditan dengan hak menerbitkan uang kertas. Ruang lingkup, fungsi, dan tugas
DJB dalam periode ini antara lain meliputi:

1. Mengeluarkan uang kertas


2. Melayani pengiriman uang, pembukaan rekening giro, deposito berjangka,
dan semacamnya
3. Melakukan negosiasi dalam bentuk wesel luar negeri
4. Melakukan perdagangan logam mulia dan alat-alat pembayaran luar negeri
5. Memberi kredit kepada perusahaan dan perorangan
6. Bertindak sebagai kasir pemerintah
7. Menyelenggarakan kliring antar bank

Dalam bidang pembayaran kartal, Bank Wet 1922 menentukan bahwa sosialisasi
dalam penerbitan dan pengedaran uang baru bukan lagi dilakukan oleh pemerintah,
melainkan oleh bank yang menerbitkannya. Nilai dan ciri-ciri uang kertas yang akan
diedarkan harus diumumkan dan disebarluaskan secara resmi oleh direksi dalam
surat kabar. Pemerintah juga melarang DJB untuk mengedarkan uang kertas dengan
pecahan yang lebih kecil dari ƒ5 (lima gulden). Untuk pembayaran non kartal, DJB
diberi tugas untuk menyelenggarakan sistem kliring antar bank yang telah dimulai
sejak 1907.

1
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Pra Bank Indonesia

Salah satu alat pembayaran non


kartal yang digunakan pada periode
ini adalah kas order (Surat Perintah
Membayar/SPM), yaitu semacam
bilyet yang dikeluarkan oleh sub
cabang NHM di Medan dalam valuta
dolar. Kas order tersebut tidak hanya
berlaku di daerah Langkat dan Deli
(Sumatera Timur) saja, tapi berlaku
hingga ke wilayah Malaka. Namun,
kas order tersebut sebenarnya lebih
berfungsi seperti surat dagang jangka
pendek yang mudah dipalsukan nilai
nominalnya. Untuk itu, gubernur
jenderal memberikan perhatian
khusus bagi berlakunya alat
pembayaran tersebut dan mengeluarkan larangan untuk memasukan dolar ke
daratan Sumatera Timur.

Menurut pasal 20 Bank Wet 1922, susunan direksi DJB


terdiri atas seorang presiden (pimpinan bank) dan
sekurang-kurangnya dua direktur, satu diantaranya
adalah sekretaris. Selain jabatan tersebut, terdapat pula
jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II,
direktur pengganti I, dan direktur pengganti II.
Penetapan jumlah direktur ditentukan oleh rapat bersama
antara direksi dan dewan komisaris.

Berikut ini adalah pejabat presiden DJB masa berlakunya


Bank Wet 1922 :

1. E.A. Zeilinga (1922–1924)


2. Mr. L.J.A. Trip (1924–1929)
3. Mr. Dr. G.G. van Buttingha Wichers (1929–1945)
4. Mr. J.C. van Waveren (1946)
5. Dr. R.E. Smits (1946–1949)
6. Dr. A. Houwink (1949–1951)

Dewan komisaris terdiri atas lima orang yang merupakan pemegang saham dengan
hak suara (memiliki empat saham) dan harus seorang Belanda. Dewan berkewajiban
untuk melakukan pengawasan terhadap direksi, meneliti kebenaran rekening
tahunan berikut pembukuannya, sekaligus memberikan persetujuan. Adapun
pembagian tugas dalam DJB pada periode ini terdiri atas tujuh bagian, diantaranya
adalah bagian ekonomi statistik, sekretaris, bagian wesel, bagian produksi, dan
bagian efek-efek. Dalam periode ini, DJB berkembang pesat dengan 16 kantor
cabang, yaitu Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya,
Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak,
Makassar, dan Manado, serta dua kantor perwakilan di Amsterdam dan New York.

Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut perjalanan De Javasche Bank, Anda dapat
pindah halaman ke "De Javasche Bank pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)".
Selamat membaca!

Anda mungkin juga menyukai