Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh :
dr. Rizkyastari
Pendamping:
Pembimbing:
KEPULAUAN RIAU
2018
I. STATUS PASIEN
• Identitas Pasien
• Nama : An. FN
• Umur : 10 Tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Status : Belum Menikah
• Agama : Islam
• Pekerjaan : Pelajar
• Tanggal Masuk : 16 Agustus 2019 (Poli Anak)
• Autoanamnesis : 17 Agustus 2019
• Anamnesis
A. Ketoasidosis Diabetikum
1. Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewondo,
2009).
2. Epidemiologi
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa
insiden ketoasidosis diabetik sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk
semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30
tahun sebesar 13,4 per 1000 pasien DM per tahun (Soewondo, 2009). Sumber
lain menyebutkan insiden ketoasidosis diabetik sebesar 4,6-8/1000 pasien DM
per tahun (Chiasson, 2003). Ketoasidosis diabetik dilaporkan bertanggung
jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika
Serikat (Umpierrez, 2002).
Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden
ketoasidosis diabetik di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat
prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden ketoasidosis diabetik di
Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien
DM tipe 2 (Soewondo, 2009). Angka kematian pasien dengan ketoasidosis
diabetik di negara maju kurang dari 5% pada banyak senter, beberapa sumber
lain menyebutkan 5-10%, 2-10%, atau 9-10% (Soewondo, 2009).
3. Etiologi
Semua kelainan pada ketoasidosis diabetik disebabkan oleh kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif yang berkembang dalam beberapa jam atau
hari. Pada pasien DM yang telah diketahui sebelumnya disebabkan oleh
kekurangan pemberian kebutuhan insulin eksogen atau karena peningkatan
kebutuhan insulin akibat keadaan atau stres tertentu.
Stress tersebut dapat berupa :
a. Infeksi
b. Kelainan vaskuler (infark miokard akut)
c. Kelainan endokrin (hipertyroidisme, sindroma chusing)
d. Trauma
e. Kehamilan
f. Stres emosional
g. Peningkatan hormone kontrainsulin (epinefrin, kortisol, glukagon)
(Guntur, 2010).
4. Patofisiologi
Ketoasidosis diabetik merupakan suatu keadaan dimana terdapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator
(glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon); keadaan tersebut
menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan meningkatkan lipolisis
dan produksi benda keton (Soewondo, 2009).
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya ketoasidosis
diabetikar substrat nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan
glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik
(fosfoenol piruvat karboksilase/PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat
karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis
utama yang bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien
dengan ketoasidosis diabetik (Gotara & Budiyasa, 2010).
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan ketoasidosis diabetikar keton
yang tinggi menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan
hipovolemia dan penurunan glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir
akan memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan
produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin
dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi
hormon lipase yang sensitive pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini
akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty
acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk
glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang
berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid (Gotara &
Budiyasa, 2010).
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang
prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi
glukagon menurunkan ketoasidosis diabetikar malonyl coenzyme A (CoA)
dengan cara menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui
inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis
asam lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl-transferase
I (CPT I), enzim untuk transesterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl
camitine, yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton.
CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat
dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl CoA dan CPT
I pada ketoasidosis diabetik mengakibatkan peningkatan ketongenesis (Gotara
& Budiyasa, 2010).
Gambar 1. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik
5. Manifestasi Klinis
Sekitar 80% pasien ketoasidosis diabetik adalah pasien DM yang sudah
dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali
ketoasidosis diabetik sebagai komplikasi akut DM dan segera mengatasinya.
Sesuai dengan patofisiologi ketoasidosis diabetik, maka pada pasien
ketoasidosis diabetik dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul),
berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering),
ketoasidosis diabetic yang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari
hawa napas tidak terlalu mudah tercium (Soewondo, 2009).
Areateus menjelaskan gambaran klinis ketoasidosis diabetik sebagai
keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului ketoasidosis diabetik
serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi.
Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai pada ketoasidosis
diabetik anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut dan berhubungan dengan
gastroparesis-dilatasi lambung (Soewondo, 2009).
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai compos mentis,
delirium, depresi sampai koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu
dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma,
infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan factor pencetus yang paling
sering. Infeksi yang paling sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan
pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien
tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan
kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, appendicitis, diverticulitis, ayau
perforasi usus. Bila pasien tidak menunjukkan respon yang baik terhadap
pengobatan ketoasidosis diabetik, maka perlu dicari kemungkinan infeksi
tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal) (Soewondo, 2009).
6. Diagnosis
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien ketoasidosis
diabetik terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti
terutama memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan
kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan
(Gotara & Budiyasa, 2010).
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam
beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk ketoasidosis diabetik
biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya
penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut dan
pasien dapat tampak menjadi ketoasidosis diabetik tanpa gejala atau tanda
ketoasidosis diabetik sebelumnya (Soewondo, 2009).
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan
polifagia, penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah,
clouding of sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor
kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan
status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien ketoasidosis diabetik
menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi. Perhatian lebih harus
diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena menunjukkan prognosis
yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan abdominal pain, karena gejala
ini dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya, khususnya
pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak
membaik dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolic (Gotara &
Budiyasa, 2010).
Tabel 1. Kriteria Ketoasidosis
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ketoasidosis diabetik bersifat multifaktorial sehingga
memerlukan pendekatan terstruktur oleh dokter dan paramedis yang bertugas.
Prinsip-prinsip pengelolaan ketoasidosis diabetik ialah :
1. Penggantian cairan dan garam yang hilang
2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati dengan
pemberian insulin
3. Mengatasi stres sebagai pncetus ketoasidosis diabetik
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
Terapi ketoasidosis diabetik yaitu:
1. Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan ketoasidosis diabetik adalah
terapi cairan (Alberti, 2004). Terapi insulin hanya efektif jika cairan
diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja akan
membuat ketoasidosis diabetikar gula darah menjadi lebih rendah. Studi
menunjukkan bahwa selama empat jam pertama, lebih dari 80%
penurunan ketoasidosis diabetik gula darah disebabkan oleh rehidrasi
(Trachtenbarg, 2005). Oleh karena itu, hal penting pertama yang harus
dipahami adalah penentuan difisit cairan yang terjadi.
Ada dua keuntungan rehidrasi pada ketoasidosis diabetik:
memperbaiki perfisi jaringan dan menurunkan hormone kontraregulator
insulin. Bila konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu
diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%).
2. Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis
ketoasidosis diabetik dan rehidrasi yang memadai (Soewondo, 2009).
Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis
ketoasidosis diabetik ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai.
Pemakaian insulin akan menurunkan ketoasidosis diabetikar hormon
glukagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam
lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot
dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan (Soewondo, 2009).
Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus
intravena, intramuskular, ataupun subkutan. Sejak pertengahan tahun
1970-an protokol pengelolaan ketoasidosis diabetik dengan drip insulin
intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini
dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan
ketoasidosis diabetikar glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat
menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi
hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit (Gotara & Budiyasa, 2010).
Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi
pilihan pada ketoasidosis diabetik yang disebutkan oleh beberapa literatur,
sedangkan ADA menganjurkan insulin intravena tidak diberikan pada
KAD derajat ringan. Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3mEq/l), dapat
diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB, diikuti dengan infus kontinu 0,1
u/kgBB/jam (5-7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus
dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan
dapat mengakibatkan aritmia jantung (Umpierrez, 2002).
Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan
kecepatan 50-75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih
tinggi. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal
pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi
mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai
tercapai penurunan gula darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika
kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi
0,05-0,1 u/kgBB/jam (3-6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5-10%
(ADA, 2004).
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose
harus disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis
membaik. Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat
diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4-0,6 iu)/kgBB
yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi
secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara
intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/jam, selanjutnya protokol
penatalaksanaannya sama seperti pemberian drip intravena (Soewondo,
2009).
3. Natrium
Penderita dengan ketoasidosis diabetik kadang-kadang mempunyai
kadar natrium serum yang rendah, oleh karena level gula darah yang
tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl
maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar
yang diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih
rendah. Kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan
dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium
lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena
air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular sehingga akan
meningkatkan kadar natrium. Serum natrium yang lebih tinggi daripada
150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45% (Gotara & Budiyasa,
2010).
4. Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah
kadar kalium serum kurang dari 5, sumber lain menyebutkan nilai 5,5
mEq/l. Umumnya, 20-30 mEq kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap
liter cairan infus cukup untuk memelihara kadar kalium serum dalam
range normal 4-5mEq. Kadang-kadang pasien KAD mengalami
hipokalemia yang signfikan. Pada kasus tersebut, penggantian kalium
harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi insulin harus
ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau
gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan (Umpierrez, 2002).
5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Mengetahui
bahwa asidosis berat menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak
diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa pada pasien
dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat ditambahkan ke
dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9-7,0, 50mmol natrium bikarbonat
dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan
200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0.
Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium
serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus diberikan secara
intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena
diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi
setiap 2 jam jika perlu (ADA, 2004).
Gambar 2. Bagan Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik
8. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh
karena penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang
disebabkan oleh pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan
hiperglikemia sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah
perbaikan tanpa diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah
membaik mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan
saline yang berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion
gap metabolic acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti
hilangnya ketoanion seperti garam natrium dan kalium selama diuresis
osmotik. Kelainan biokemikal ini terjadi sementara dan tidak ada efek klinik
signifikan kecuali pada kasus gagal ginjal akut atau oliguria ekstrem (Gotara
& Budiyasa, 2010).
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa.
Tidak didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema
serebri pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran,
letargi, penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi
cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan
kegagalan respirasi. Meskipun mekanisme edema serebri belum diketahui,
tampaknya hal ini merupakan akibat dari masuknya cairan ke susunan saraf
pusat lewat mekanisme osmosis, ketika osmolaritas plasma menurun secara
cepat saat terapi KAD. Oleh karena terbatasnya informasi tentang edema
serebri pada orang dewasa, beberapa rekomendasi diberikan pada
penanganannya, antara lain penilaian klinis yang tepat dibandingkan dengan
bukti klinis. Pencegahan yang tepat dapat menurunkan risiko edema serebri
pada pasien risiko tinggi, diantaranya penggantian cairan dan natrium secara
bertahap pada pasien yang hiperosmolar dan penambahan dextrose untuk
hidrasi ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl (ADA, 2004).
Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak
dapat sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan
tekanan koloid osmotik yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada
paru dan penurunan compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai
gradient oksigen alveolo-arteriolar yang lebar yang diukur pada awal
pemeriksaan analisa gas darah atau dengan ronki pada paru pada pemeriksaan
fisik tampaknya mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru (ADA,
2004).
2. Epidemiologi
Angka kejadian diabetes mellitus di USA adalah sekitar 1 dari
setiap 1500 anak (pada anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari 350 anak
(pada anak usia 18 tahun). Puncak kejadian diabetes adalah pada usia 5-
7 tahun serta pada masa awal pubertas seorang anak. Kejadian pada
laki-laki dan perempuan sama (Weinzimer SA, Maggae S. 2005).
Insiden tertinggi diabetes mellitus tipe 1 terjadi di Finlandia,
Denmark serta Swedia yaitu sekitar 30 kasus baru setiap tahun dari
setiap 100.000 penduduk. Insiden di Amerika Serikat adalah 12-15/100
ribu penduduk/tahun, di Afrika 5/100.000 penduduk/tahun, di Asia
Timur kurang dari 2/100.000 penduduk/tahun (Weinzimer SA, Maggae
S.2005).
Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari
data registry nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK
Endokrinologi PP IDAI, terjadi peningkatan jumlah dari 200-anak
dengan DM pada tahun 2008 menjadi 580-an pasien pada tahun 2011.
Sangat dimungkinkan angkanya lebih tinggi apabila kita merujuk pada
kemungkinan anak dengan DM yang meninggal tanpa terdiagnosis
sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM tipe
1 yang dilaporkan (Moelyo, AG. 2011).
3. Klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolecene Diabetes dan
WHO merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi (Tabel
1).
4. Patofisiologi
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan
dengan kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi
insulin. Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap akhir dari
kerusakan sel beta yang mengarah ke tipe 1 DM. Berbagai lokus gen
telah dipelajari untuk menentukan hubungan mereka dengan DM tipe 1.
Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam
glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel islet.
Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen sitoplasma sel islet pada
bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan
protein 64kDa dari ekstrak sel islet. Sedangkan antibodi 64kDa yang
ditampilkan untuk menjadi sel beta tertentu di dalam islet, beberapa
sera ICA positif telah dijelaskan untuk bereaksi dengan semua sel islet.
Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai GAD enzim.
Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang
terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua
monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD target
autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama
pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda
sensitif untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD ada
dalam individu yang rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin
untuk mengembangkan disease.
5. Kriteria Diagnosis
Diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala.
Bila dengan gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan
gula darah abnormal satu kali sudah dapat menegakkan diagnosis DM.
sedangkan bila tanpa gejala, maka diperlukan paling tidak 2 kali
pemeriksaan gula darah abnormal pada waktu yang berbeda (Rustama
DS, dkk. 2010; SIPAD Clinical Practice Consencus Guidelines 2009).
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah :
1. Kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL atau
2. Kadar gula darah puasa > 126 mg/dL atau
3. Kadar gula darah postpandrial > 200 mg/dL
Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada
periode ini sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas.
Predisposisi genetik tertentu memungkinkan terjadinya proses destruksi
ini. Sekresi insulin mulai berkurang ditandai dengan mulai
berkurangnya sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-petide mulai
menurun. Pada periode ini autoantibody mulai ditemukan apabila
dilakukan pemeriksaan laboratorium.
8. Penatalaksanaan DM Tipe 1
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi
pengobatan berupa pemberian insulin. Ada hal-hal lain yang perlu
diperhatikan dalam tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas
hidup yang optimal dalam jangka pendek maupun jangka panjang
(Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice Concencus
Guidelines. 2009).
Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu :
1. Insulin
2. Diet
3. Aktivitis / exercise
4. Edukasi
5. Monitoring kontrol glikemik
1. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada
penderita DM tipe 1. Dalam pemberian insulin harus diperhatikan
jenis insulin, dosis insulin, regimen yang digunakan, cara
menyuntik serta penyesuaian dosis yang diperlukan.
a. Jenis insulin : Kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin
kerja cepat, kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun
insulin campuran (campuran kerja cepat/pendek dengan kerja
menengah). Penggunaan jenis insulin ini tergantung regimen yang
digunakan.
b. Dosis Insulin : Dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1
Unit/KgBB pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya
akan diatur disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada, baik pada
penyakitnya maupun pada penderitanya.
c. Regimen : Kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen
konvensional, serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix
split regimen dapat berupa pemberian dua kali suntik/hari atau tiga
kali suntik/hari. Sedangkan regimen intensif berupa pemberian
regimen basal bolus. Pada regimen basal bolus dibedakan antara
insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal maupun dosis
bolus.
d. Cara menyuntik : Terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik
dalam hal absorpsinya yaitu di daerah abdomen, lengan atas, lateral
paha. Daerah bokong tidak dianjurkan karena paling buruk
absorpsinya.
e. Penyesuain Dosis : Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari
beberapa hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga,
maupun usia pubertas (terkadang kebutuhan meningkat hingga 2
unit/KgBB/hari), kondisi stress maupun saat sakit.
Tabel 2. Jenis-jenis insulin
2. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada
upaya untuk mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu
pemberian diet terdiri dari 50¬55% karbohidrat, 15-20% protein
dan 30% lemak. Pada anak DM tipe 1 asupan kalori perhari harus
dipantau ketat karena terkait dengan dosis insulin yang diberikan
selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori perhari
sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Pemberian diet ini
juga memperhatikan regimen yang digunakan. Pada regimen basal
bolus, pasien harus mengetahui rasio insulin:karbohidrat untuk
menentukan dosis pemberian insulin.
Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai
dengan usia pubertas dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai
berikut :
9. Komplikasi
C. Bronkopneumonia
1. Definisi
2. Etiologi
3. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang
memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan
etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian
pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan
terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
4. Patogenesis
Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru.
Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk
dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi
Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit,
komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas
yang diperantarai sel (Bradley et.al., 2011):
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu,
atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke
saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora
komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui
hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya
infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme
pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak
dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus. Secara
patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak
terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI,
2012; Bradley et.al., 2011) :
Penatalaksaan Umum
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas
hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
Penatalaksanaan Khusus
1. Penderita terbanyak diabetes mellitus tipe 1 adalah usia anak dan remaja.
Perlu kewaspadaan pada tenaga medis mengenai penyakit ini maupun
komplikasi yang mungkin terjadi yang seringkali salah diagnosis.
Keterlambatan dalam diagnosis akan berakibat fatal bagi keselamatan jiwa
penderita DM tipe 1.
2. Ketoasidosis adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan
oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.
3. Ketoasidosis diabetik paling sering terjadi pada pasien penderita diabetes tipe
1 tetapi tidak jarang pada pasien diabetes tipe 2.
4. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh kekurangan pemberian kebutuhan
insulin eksogen atau karena peningkatan kebutuhan insulin akibat keadaan
atau stres tertentu.
5. Penatalaksanaan KAD yang utama adalah terapi cairan yang adekuat.
6. Faktor yang sangat penting pula perlu diperhatikan adalah komplikasi akibat
terapi sehingga tidak memperburuk kondisi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children and
adolescents, basic training manual for healthcare professionals in developing
countries, 1st ed. Argentina: ISPAD, h 20-21.
Irland NB. The story of type 1 diabetes. Nursing for women’s health, volume 14,
2010; 327-338
ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric Diabetes 2009: 10.
Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with newly
diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA status, and
autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic control 12 months
after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218–226.
Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada
Anak dan Remaja. Diajukan pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF
Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. February 13,
2002.
Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010).
Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman B.
Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta: Sagung Seto 2010, h
124-161.
Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill
University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 51–71
Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children. Dalam:
Moshang T Jr. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby Inc, h 3-18.