oleh:
SITI RATNASARI
2017.02.087
BANYUWANGI
2020
i
PROPOSAL
Proposal Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Keperawatan
oleh:
SITI RATNASARI
2017.02.087
BANYUWANGI
2020
i
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh:
Pembimbing
Mengetahui
Ketua Program Study S1 Keperawatan
ii
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...............................................................................................................vi
DAFTAR BAGAN............................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
iii
2.2 Konsep Depresi..............................................................................................................10
4.2.1 Populasi..............................................................................................................23
4.2.2 Sampel................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................35
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR BAGAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
Depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan
penderitaan, dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah
yang dalam. Depresi merupakan masalah kejiwaan yang seringkali menyerang lansia
dimana lansia merasa tidak berdaya dan kehilangan harapan hidup. Dengan semakin
meningkatnya jumlah lansia di Indonesia yang diprediksi mencapai 414% pada tahun
2025, maka ada kemungkinan banyak lansia yang dapat menjadi depresi juga. Adapun
prevalensi depresi pada lansia yang menjalani perawatan di RS dan panti perawatan,
sebesar 30-45% dari jumlah lansia di Indonesia (Retno dkk, 2017).
Menurut data WHO (World Health Organization) tahun 2014 diseluruh dunia jumlah
orang lanjut usia diperkirakan sebanyak 629 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan
diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Prevalensi depresi pada lanjut
usia diseluruh dunia pada tahun 2014 berkisar 13,5% dari seluruh jumlah lanjut usia
dengan perbandingan wanita sebanyak 8,4% dan pria sebanyak 5,1%. Berdasarkan data
Depkes RI tahun 2014 di Indonesia prevalensi lanjut usia sebanyak 20.893.000 jiwa
1
dengan jumlah lanjut usia yang mengalami depresi ringan sampai berat sebanyak 32%.
Data Provinsi Jawa Timur didapatkan, penduduk lanjut usia pada tahun 2014 diperkirakan
mencapai angka 10,96% dan tahun 2015 diperkirakan mencapai angka 11,5% dan hingga
2020 akan meningkat menjadi 13,5% (Nety dan Likha 2019). Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Banyuwangi pada tahun 2018 didapatkan data sebanyak 84 orang yang
mengalami depresi. Data Puskesmas Licin tahun 2018 didapatkan data sebanyak 55 orang
lasia yang mnegalami depresi.
Depresi juga berkaitan erat dengan insomnia dan dapat meningkat seiring
bertambahnya usia. Tingginya kejaidan depresi dapat mempengaruhi istirahat tidur pada
lansia sehingga lansia mengalami insomnia. Insomnia adalah keluhan sulit untuk masuk
tidur atau sulit mempertahankan tidur (sering terbangun saat tidur) dan bangun terlalu
awal serta tetap merasa badan tidak segar meskipun sudah tidur. Faktor psikologis
memegang peranan utama terhadap kecenderungan insomnia. Biasanya insomnia
disebabkan oleh stress (Tria dkk, 2015).
Lansia dengan keluhan insomnia harus dipikirkan kemungkinan adanya depresi.
Insomnia dan mengantuk di siang hari merupakan faktor resiko depresi. Sebaliknya,
penderita depresi dapat pula mengalami gangguan kontinuitas tidur; episode tidur REM
nya lebih awal dari pada orang normal. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja
dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan
sinkronisasi. Bagian susunan saraf pusat yang mengadaan kegiatan sinkronisasi terletak
pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep
center). Pada lansia dibutuhkan waktu tidur antara 5-6 jam dalam sehari. Kualitas tidur
akan berubah pada kebanyakan lansia. Episode tidur REM cenderung memendek dan
adanya penurunan yang progresif pada tahap tidur NREM 3 dan 4. Beberapa lansia
hampir tidak memiliki tidur tahap 4 NREM. Keluhan tentang kesulitan tidur pada waktu
malam hari atau insomnia seringkali terjadi pada lanjut usia, padahal tidur sebagai salah
satu bagian dari kebutuhan fisiologis dan merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan
oleh semua manusia untuk berfungsi secara optimal (Wizanty, 2018)
Permasalahan terhadap lansia sangat memerlukan penanganan yang lebih lanjut,
terutama pada masalah depresi terhadap lansia. Karena dampak yang ditimbulkan akan
mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan
memberikan terapi terhadap lansia, antara lain terapi agama, terapi kreativitas, bercocok
tanam, ataupun kegiatan lainnya yang bermanfaat bagi lansia. Konsep kegiatan-kegiatan
2
tersebut harus membuat lansia tidak menyendiri dan tetap beraktivitas secara aktif di usia
senja.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis ingin mengangkat masalah
tentang “Hubungan Tingkat Depresi dengan Kejadian Insomnia pada Lansia Di Wilayah
Kerja Puskesmas Licin Banyuwangi Tahun 2020”.
3
1.4.3 Manfaat Bagi Instansi Kesehatan
Manfaat yang bisa diperoleh bagi instansi kesehatan adalah data dan hasil yang
diperoleh dapat dijadikan sumber informasi dari hasil penelitian dan masukan
untuk mengetahui hubungan tingkat depresi dengan kejadian insomnia
1.4.4 Manfaat Bagi Lanjut Usia (lansia)
Manfaat yang bisa diperoleh bagi lansia adalah sebagai informasi dan
menambah pengetahuan kepada lansia sebagai pencegahan timbulnya depresi
dan insomnia serta memberikan solusi masalah terutama yang berhubungan
tingkat depresi dan insomnia.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.1.3 Teori-Teori Proses Menua
Menurut (Stanley 2006 dalam Yanuarso,2016), teori-teori proses menua
terdiri dari:
1. Teori Biologis
a. theory genetic clock
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetic untuk
spesies-spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai didalam inti selnya
suatu jam genetic yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu.
Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila
tidak diputar, jadi menurut konsep ini bila jam kita itu berhenti akan
meninggal dunia,meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau
penyakit akhir.(Darmajo, 2004)
b. Theory Wear and Tear
Teori Wear and Tear (dipakai dan rusak)mengusulkan bahwa
akumulasi sampah metabolic atau zat nutrisi dapat merusak sintesis
DNA, sehingga mendorong malfungsi organ tubuh. Radikal bebas
dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radial bebas
mengakibatkan oksidasi O2 bahan-bahan organic seperti karbohidrat
dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan
regenerasi. (Maryam, 2008)
c. Riwayat Lingkungan
Menurut teori ini, faktor-faktor didalam lingkungan (misalnya
karsinogen dari industry, cahaya matahari, trauma dan infeksi) dapat
membawa perubahan dalam proyses penuaan. Walaupun faktor-faktor
ini diketahui dapat mempercepat proses penuaan, dampak dari
lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan merupakan
faktor utama dalam penuaan
d. Teori imunitas
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam
sistemimun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang
bertambah tua,pertahanan mereka terhadap organisme asing mengalami
penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk menderita penyakit.
Seiring dengan kekurangan fungsi system imun, terjadilah peningkatan
dalam respon autoimun tubuh.
6
e. Teori Neuroendokrin
Penuaan terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi
hormon tertentu yang mempunyai suatu dampak pada reaksi yang
diatur oleh system saraf. Hal ini lebih jelas ditunjukkan dalam kelenjar
hopofisis, tiroid, adrenal, dan reproduksi. Salah satu area neurologi
yang mengalami gangguan secara universal akibat penuaan adalah
waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memproses dan
bereaksi terhadap perintah (Stanley, 2006). Seluruh reflek volunteer
menjadi lebih lambat sehingga kemampuan lanjut usia untuk berespon
terhadap stimulasi akan berkurang.
2. Teori Psikologis
Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan perilku
yang menyertai peningkatan usia. Teori psikososiologis terdiri dari:
a. Teori Kepribadian
Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan
psikologis separuh kehidupan manusia berikutnya digambarkan
dengan memiliki tujuannya sendiri, yaitu untuk mengembangkan
kesadaran diri sendiri melalui aktivitas yang dapat merefleksikan
dirinya sendiri
b. Teori Tugas Perkembangan
Hasil penelitian Erickson tugas perkembangan adalah aktifitas dan
tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap- tahap
spesifik dalam hidupnya untuk mencapai penuaan yang sukses. Tugas
utama lanjut usia adalah mampu melihat kehidupan seseorang sebagai
kehidupan yang harus dijalani dengan integritas.
c. Teori Disengagement (teori pemutus hubungan)
Menggambarkan proses penarikan diri ini dapat diprediksi,
sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat
dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lanjut usia dikatakan bahagia
apabila kontak sosial telah berkurang dan tanggung jawab telah
diambil
oleh generasi yang lebih muda.
d. Teori Aktivitas
Penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif. Gagasan
7
pemenuhan kebutuhan seseorang harus seimbang dengan pentingnya
perasaan dibutuhkan oleh orang lai. Kesempatan untuk turut berperan
dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting
bagi dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi
lanjut usia.
e. Teori Kontinuitas
Teori kontiunitas, juga dikenal sebagai suatu teori perkembanga,
merupakan suatu kelanjutan dari kedua teori sebelumnya dan mencoba
untuk menjelaskan dampak kepribadian pada kebutuhan untuk tetap
aktif atau memisahkan diri agar mencapai kebahagiaan dan
terpenuhinya kebutuhan diusia tua. Teori ini menekan pada
kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian sebagai
dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat
menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat menua. Ciri kepribadian
dasar dikatakan tetap tidak berubah walaupun usianya telah lanjut
8
keringat menurun (Nugroho, 2008).
2. Perubahan sosial
Perubahan fisik yang dialami lansia seperti berkurangnya fungsi
indera pendengaran, pengelihatan, gerak fisik dan sebagainya
menyebabkan gangguan fungsional, misalnya badannya membungkuk,
pendengaran sangat berkurang, pengelihatan kabur sehingga sering
menimbulkan keterasingan. Keterasingan ini akan menyebabkan lansia
semakin depresi, lansia akan menolak untuk berkomunikasi dengan orang
lain (Darmajo, 2009).
3. Perubahan psikologis
Pada lansia pada umumnya juga akan mengalami penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan
reaksi dan perilaku lansia semakin lambat. Sementara fungsi kognitif
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti
gerakan, tindakan, koordinasi menurun, yang berakibat lansia menjadi
kurang cekatan (Nugroho, 2008).
9
1. Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan,
bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan
dan menjadi panutan
2. Tipe mandiri, yaitu menganti kegiatan yang hilang dengan yang baru,
selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi
undangan.
3. Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan
sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit
dilayani, pengkritik dan banyak menuntut.
4. Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti
kegiatan agama dan melakukan pekerjaan apa saja.
5. Tipe bingung, yaitu mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif dan acuh
tak acuh.
10
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan Mood yang
ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya
penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresap
dari seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu
(Kaplan, 2010).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa depresi adalah
keadaan emosional individu dengan perasaan sedih, putus asa, selalu merasa
bersalah, dan tidak ada harapan lagi secara berlebihan tanpa ada bukti-bukti
yang rasional.
11
atasan, atau bawahan. Masalah ini tidak hanya berbentuk konflik,
namun masalah lainnya juga seperti perasaan minder, malu, cemas, jika
berada diantara kelompok dan merasa tidak nyaman untuk
berkomunikasi secara normal. Mereka merasa tidak mampu untuk
bersikap terbuka dan secara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan
sekalipun ada kesempatan.
Seseorang dengan mood yang terdepresi (yaitu depresi) merasakan
hilangnya energi-energi dan minat, perasaan bersalah, kesulitan
berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, dan pikiran tentang kematian
atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain dari gangguan mood adalah
perubahan tingkat aktivitas, kemampuan kognotif, pembicaraan dan
fungsi vegetatif (seperti tidur, nafsu makan, aktivitas seksual, dan irama
biologis lainnya). Perubahan tersebut hampir selalu menyebabkan
fungsi interpersonal, sosial, dan pekerjaan.
Gejala depresi juga dapat ditinjau dari segi afektif dan sikap
individu. Aspek afektif ini meliputi kemarahan, ansietas, apatis,
penyangkalan perasaan, rasa bersalah, ketidakberdayaan,
keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan, dan rasa tidak
berharga (Azizah, 2011). Gejala-gejala depresi pada lansia diukur
menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang termanifestasi. Jika
dicurigai terjadi depresi, pengkajian dengan alat yang terstandarisasi
dan dapat dipercaya harus dilakukan (Azizah, 2011).
Salah satu alat ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
depresi adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini
diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama
pada lanjut usia. Keunggulan alat ukur ini yaitu tidak memerlukan
keterampilan khusus dari pengguna dan mudah digunakan. Instrumen
GDS memiliki sensitivitas 84% dan specificity 95%. Tes reliabilitas
alat ini yaitu 0,85 (Burs, 1999, dalam Azizah, 11).
Alat ukur Geriatric Depression Scale (GDS) terdiri dari 15 poin
pertanyaan yang dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia.
GDS menggunakan format laporan sederhana yang diisi sendiri dengan
menjawab “YA atau “TIDAK” pada setiap pertanyaan. Pengisian GDS
membutuhkan waktu sekitar 5-10 menit. Skor 0-4 menunjukkan tidak
12
depresi, nilai 5-9 menunjukkan depresi, skor 10-13 menunjukkan
depresi sedang, skor 14-15 menunjukkan depresi berat (Azizah, 2011).
13
prekursor untuk pembentukan Ach ditemukan abnormal pada pasien-pasien
yang menderita gangguan depresi (Kaplan, et al, 2010).
4. Faktor Neuroendokrin
14
sendiri.
2) Gangguan tidur (Insomnia dan Hipersomnia), siapa saja pernah
mengalami susah tidur dari waktu ke waktu, tetapi penderita depresi
umumnya juga mengalami kondisi susah tidur. Gangguan tidur dan
depresi cenderung muncul bersamaan. Kesulitan tidur dianggap sebagai
gejala gangguan mood, setidaknya 80% dari penderita depresi
mengalami gangguan insomnia, atau kesulitan tidur. Hipersomnia adalah
perasaan tanda untuk gangguan bipolar atau manik depresi.
3) Gangguan dalam hubungan, sebagai akibat dari depresi, seseorang
cenderung mudah tersinggung, sedih sehingga lebih banyak menjauhkan
diri dari orang lain, hal ini menyebabkan hubungan dengan orang lain
menjadi kurang baik.
4) Gangguan dalam pekerjaan, pengaruh depresi sangat terasa dalam
kehidupan pekerjaan seseorang. Depresi meningkatkan kemungkinan
untuk kehilangan pekerjaan dan pendapatan lebih rendah, hal ini
dikarenakan akibat performa dan masalah hubungan di tempat kerja.
5) Gangguan pola makan, pada orang yang menderita depresi terdapat dua
kecenderungan umum mengenai pola makan yang secara nyata
mempengaruhi berat tubuh yaitu tidak selera makan dan keinginan
makan-makanan yang manis bertambah. Beberapa gangguan pola makan
yang diakibatkan oleh depresi adalah bulimia nervosa, anoreksia
nervosa, dan obesitas.
6) Perilaku-perilaku yang merusak yang disebabkan oleh depresi adalah :
a. Agresivitas dan kekerasan pada individu yang terkena depresi
perilaku yang ditimbulkan bukan hanya berbentuk kesedihan, namun
bisa juga dalam bentuk mudah tersinggung dan agresif. Perilaku
agresif lebih cenderung ditunjukkan oleh individu pria yang
mengalami depresi. Hal ini karena pengaruh hormon. Jika pada
wanita hormon yang berpengaruh adalah hormon eksterogen dan
progesteron yang dapat mempengaruhi perilaku, sedangkan
tostesteron mempengaruhi perilaku pria
b. Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, diketahui bahwa
penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang pada remaja selain
karena pengaruh teman, kelompok, motivasi dari diri individu untuk
15
menggunakan alkohol dan obat-obatan terlarang dapat
disebabkan oleh keadaan depresi sebagai cara untuk mencari
pelepasan sementara keadaan yang tidak menyenangkan diri
c. Perilaku merokok, penelitian merupakan bahwa ada hubungan antara
emosi negatif yang ditimbulkan oleh depresi dengan frekuensi
merokok. Seseorang yang mengalami depresi merokok lebih banyak
dari biasanya. Telah diketahui bahwa beberapa zat kimia dari rokok
dapat meredakan strees untuk sementara waktu, sehingga merokok
bagi beberapa orang dianggap dapt menanggulangi stres.
16
3. Tindakan Bunuh Diri
Lansia yang sudah lama mengalami depresi maka bunuh diri
merupakan sebuah solusi. Pencegahan untuk kejadian tersebut dapat
dilakukan dengan mempelajari faktor resiko dan gejala yang timbul.
Berawal dari pikiran putus asa dan merasa tidak berguna akibat dari
depresi dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Selanjutnya
akan timbul tingkah laku bunuh diri secara tidak langsung seperti mogok
makan dan tidak minum obat. Setelah itu muncul tingkah laku melukai
diri seperti gantung diri atau meminum racun.
17
Insomnia primer merupakan gangguan sulit tidur yang menyebabkan
belum diketahui secara pasti, sehingga dengan demikian pengobatannya
masih (long term insomnia). Insomnia primer ini sering menyebabkan
semakin parahnya gangguan sulit tidur tersebut. Sebagian penderita
golongan ini mempunyai dasar gangguan psikiatris khususnya depresi
ringan sampai menengah dan berat.
2. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder merupakan gangguan sulit tidur yang menyebabkan
dapat diketahui secara pasti, gangguan tersebut dapat berupa gangguan
sakit fisik maupun gangguan kejiwaan (psikis). Pengobatan insomnia
sekunder relatif lebih mudah dilakukan terutama dengan menghilangkan
penyebab utamanya terlebih dahulu, insomnia sekunder dapat dibedakan
sebagai berikut.
a. Insomnia Sementara (Trasier Insomnia)
Insomnia sementara terjadi pada seseorang yang termasuk dalam
gangguan dapat tidur normal, namun karena adanya stress atau
ketegangan sementara (misalnya karena adanya kebisingan atau
pindah tempat tidur) menjadi sulit tidur. Insomnia sementara obat
hiprotik dapat digunakan ataupun tidak (tergantung pada kemampuan
adaptasi penderita terhadap lingkungan penyebab stress atau
ketergantungan tersebut)
b. Insomnia Jangka Pendek (short term insomnia)
Insomnia jangka pendek merupakan gangguan sulit tidur yang terjadi
pada para penderita fisik (misalnya batuk reumatik) atau terdapat
stress situasional, misalnya kehilangan/kematian orang terdekat,
pindah rumah dan lain sebagainya (Endang, 2001).
18
et al, 2004). Kecenderungan tidur siang meningkat secara progesi dengan
bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang hari yang dipakai untuk tidur
dapat terjadi karena seringnya terbangun pada malam hari yang dipakai untuk
tidur dapat terjadi karena seringnya terbangun pada malam hari.
Dibandingkan dengan jumlah waktu yang dihabiskan ditempat tidur menurun
sejam atau lebih (Perry&Potter, 2008).
Jumlah jam tidur total yang normal berkisar 5-9 jam pada 90% orang
dewasa. Pada usia lanjut efisiensi tidur berkurang, dengan waktu yang lebih
lama di tempat tidur. Menurut Darmajo (2009), seiring bertambahnya usia,
terdapat penurunan periode tidur. Seorang usia lanjut membutuhkan waktu
lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama di tempat tidur sebelum tidur)
dan mempunyai lebih sedikit waktu tidur nyenyaknya
19
antisipasi yang mengarah ke efek yang positif, dan abnormalitasnya bisa menghasilkan
satu ketidaksanggupan untuk mendorong antisipasi yang mana akan
mempredisposisikan keadan depresi (Syamsir, 2007).
Depresi terjadi gangguan setiap stadium siklus tidur, pola tidur pasien depresi
berbeda dengan pola tidur pasien tidak depresi. Efesien tidurnya buruk, tidur gelombak
pendek menurun, latensi REM menurun, serta peningkatan aktivitas REM (Amir,
2007).
Insomnia merupakan suatu keadaan seseorang dengan kuantitas dan kualitastidur yang
kurang. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan insomnia adalah pensiunan dan
perubahan pola sosial, kematian pasangan dan teman dekat, penggunaan obat yang
meningkat, kondisi fisik, stress atau kecemasan, efek samping pengobatan, pola makan
yang buruk kurang berolah raga dan insomnia (Williams Adrian, 2005:5).
Pasien geriatri merupakan pasien usia lanjut berusia lebih dari 60 tahun yang
mempunyai ciri khas multipatologi, tampilan dan gejalanya tidak khas, daya cadangan
faali gangguan menurun, dan biasanya disertai gangguan fungsional. Depresi
merupakan salah satu gangguan mental yang sering ditemukan pada pasien geriatri.
Secara umum depresi ditandai oleh suasana perasaan yang murung, hilang minat
terhadap kegiatan, hilang semangat, lemah, lesu, dan rasa tidak berdaya. Pada pasien
usia lanjut tampilan yang paling umum adalah keluhan somatis, hilang selera makan
dan gangguan pola tidur (Heriawan, 2007).
Hasil penelitian mengenai kejadian depresi pada Lansia di Panti Werdha Tresno
Mukti Turen Malang didapatkan data bahwa 32% Lansia mengalami depresi. Pada
umumnya Lansia menderita depresi karena stressor psikososial, sudah tidak memiliki
hubungan interpersonal yang erat dengan orang lain, dalam kondisi sendiri atau terpisah
dengan pasangannya. Hasil penelitian mengenai kejadian insomnia pada Lansia di Panti
Werdha Tresno Mukti Turen Malang didapatkan data bahwa dari 34 responden yang
diteliti, sebanyak 10 responden (29%) mengalami insomnia dengan gejala paling
banyak muncul berupa kesulitan memulai tidur, sering terbangun pada malam hari,
sering terbangun lebih awal dari biasanya, dan mengeluh tetap tidak segar meskipun
sudah tertidur. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa dari 11 responden yang
menderita depresi, 9 diantaranya mengalami insomnia pula (Retno dkk, 2017)
20
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
1. Faktor biologis
2. Biogenic amines Depresi
a. Norephinefrin
b. Serotonin
3. Gangguan
neurotransmitter lainnya
4. Faktor neuroendokrin
5. Abnormalitas otak
Keterangan:
: Tidak diteliti
21
: Diteliti
: Berhubungan
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Tingkat Depresi dengan Kejadian Insomnia
pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Licin Banyuwangi Tahun 2020.
Gambar 3.1 diatas dapat dijelaskan bahwa depresi merupakan satu masa
terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala
penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi depresi antara lain faktor biologis, Biogenic amines:
(Norephinefrin, Serotonin), gangguan neurotransmitter lainnya, faktor neuroendokrin,
abnormalitas otak (Kaplan, et al, 2010). Faktor- faktor yang mempengaruhi insomnia
antara lain: Faktor fisiologis, Faktor psikologis, Faktor lingkungan (Potter & Petry, 2009).
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara tingkat depresi dengan kejadian insomnia pada
lansia di wilayah kerja Puskesmas Licin Banyuwangi tahun 2020
22
BAB IV
METODE PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
korelasional yaitu untuk mengungkapkan hubungan korelatif antara variabel independen
dengan dependen. Peneliti dapat mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan,
menguji berdasarkan teori yang ada (Nurslam, 2008). Penelitian ini menggunakan Cross
Sectional dimana dalam desain ini variabel independen dan dependen pengukurannya
dilakukan hanya satu kali atau satu saat (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini variabel
yang akan diteliti yaitu hubungan tingkat depresi dengan kejadian insomnia pada lansia
Perum. Sutri di wilayah kerja Puskesmas Sobo Banyuwangi tahun 2020.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah
sebagian lansia yang ada di wilayah kerja Puskesmas Licin sejumlah 35
responden.
23
tidak diteliti tetapi memiliki pengaruh terhadap variabel independen. Kriteria
inklusi merupakan karakteristik yang dimiliki oleh subjek penelitian yang
memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria eksklusi merupakan karakteristik
dari subjek penelitian yang tidak memenuhi syarat sebagai sampel (Hidayat,
2009). Dengan kriteria sampel sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakter umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2008).
Dalam penelitian ini kriteria inklusinya adalah:
a. Bersedia menjadi responden
b. Kooperatif
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menhilangkan atau mengeluarkan subjek
yang tidak memenuhi kriteria inklusi karena adanya penyakit yang
mengganggu, hambatan etis dan subjek menolak berpartisipasi
(Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini kriteria eksklusinya adalah:
a. Responden yang mengkonsumsi obat penenang sebelumnya
b. Lanjut usia yang tidak bersedia menjadi responden dalam
penelitian ini.
Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah lansia yang
mengalami depresi dan insomnia, sampel yang digunakan sebanyak 35
responden dengan teknik pengambilan sampel adalah purposive
sampling.
Untuk menentukan jumlah sampel yang digunakan rumus Slovin
(Sevilla, Consuelo G. et. al, 2007) sebagai berikut :
N
n=
1+ Ne 2
Keterangan:
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
e = batas toleransi kesalahan (error tolerance)
24
toleransi kesalahan. Batas toleransi kesalahan ini dinyatakan dengan
persentase. Semakin kecil toleransi kesalahan, semakin akurat sampel
menggambarkan populasi. Misalnya, penelitian dengan batas kesalahan
10% memiliki tingkat akurasi 80%. Dengan jumlah populasi yang sama,
semakin kecil toleransi kesalahan, semakin besar jumlah sampel yang
dibutuhkan.
N
n=
1+ Ne 2
55
n=
1+55( 0,1)2
55
n=
1+55( 0,01)
55
n=
1+0,55
55
n=
1,55
n=35,48
n=35
25
4.3 Kerangka Kerja
Kerangka kerja merupakan bagan kerja terhadap rancangan kegiatan penelitian yang
akan di lakukan, meliputi siapa yang akan di teliti (subyek penelitian), variabel yang
akan di teliti, dan variabel yang mempengaruhi dalam penelitian (Hidayat, 2009).
Populasi
Seluruh lansia yang ada di wilayah kerja Puskesmas Licin Banyuwangi tahun 2020 rata-
rata sejumlah 55 responden
Sampling
purposive sampling
Sampel
Sebagian lansia yang ada di wilayah kerja Puskesmas Licin Banyuwangi tahun 2020 yang
memenuhi kriteria inklusi sejumlah 35 responden
Desain Penelitian
Cross sectional
Informed consent
Pengumpulan data
Kuesioner
Pengolahan data
Editing, Coding, Scoring dan Tabulating
Analisis data
Uji Statistik Spearman rank dengan α = 0,05 26
Laporan
Gambar 4.3 Kerangka kerja penelitian hubungan tingkat depresi dengan kejadian insomnia pada
Hasil dan
lansia di wilayah kerja Puskesmas LicinKesimpulan
Banyuwangi tahun 2020
Definisi Operasional adalah menjelaskan semua variabel dan semua istilah yang
akan di gunakan dalam penelitian secara optimal, sehingga mempermudah pembacaan
penguji dalam mengartikan makna penelitian (Nursalam, 2008).
27
tidak ada hal buruk
harapan lagi 7. Perasaan bahagia
seacara sepanjang waktu
berlebihan. 8. Perasaan
kesepian
9. Menarik diri
10.Memori/ingatan
11.Keadaan hidup
12.Perasaan tidak
berharga
13.Masalah tenaga
14.Harapan hidup
15.Rendah diri
28
4.6.3 Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu pendekatan kepada subjek dan proses
pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian
(Nursalam, 2008).
1. Mengajukan persetujuan judul kepada KaProdi S1 Keperawatan yang
telah disetujui oleh Pembimbing 1 dan Pembimbing 2
2. Mengurus perijinan persetujuan judul penelitian sebagai pengantar surat
permohonan ijin melaksanakan penelitian kepada ketua STIKES
Banyuwangi untuk melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas
Licin Banyuwangi tahun 2020
3. Mengurus surat permohonan ijin melaksanakan penelitian kepada Kepala
Desa Licin Kabupaten Banyuwangi untuk melakukan penelitian wilayah
kerja Puskesmas Licin Banyuwangi tahun 2020
4. Mengurus surat permohonan ijin melaksanakan penelitian kepada Kepala
Desa Licin Kabupaten Banyuwangi
5. Setelah mendapatkan izin, peneliti melakukan pengumpulan data yaitu
dengan mendatangi di wilayah kerja Puskesmas Licin Banyuwangi tahun
2020
6. Peneliti memberikan penjelasan kepada calon responden tentang maksud
dan tujuan dari penelitian
7. Apabila calon responden bersedia menjadi responden, maka dipersilakan
untuk menandatangani informed concent, dan apabila calon responden
tidak bersedia menjadi responden maka peneliti tetap menghormati
keputusan itu
8. Peneliti membagikan kuesioner kepada responden yang telah
menandatangani informed concent kemudian responden mengisi
kuesioner
9. Setelah kuesioner diisi oleh responden maka kuesioner tersebut
dikumpulkan kembali kepada peneliti pada saat itu juga
10. Setelah kuesioner terkumpul, peneliti memeriksa kelengkapan data dan
jawaban dari kuesioner yang diisi oleh responden
29
Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan
penelitian setelah kegiatan pengumpulan data. Menurut Azwar (2010), ada
tahapan dalam pengolahan data yang harus dilalui, yaitu :
1. Editing
Yaitu memeriksa kelengkapan data, kesinambungan data, dan
keseragaman data, apakah sudah sesuai seperti yang diharapkan atau tidak.
Hal ini dimaksudkan untuk menilai kelengkapan, kesinambungan,
keserasian, dan kejelasan data yang diperoleh dari responden agar seluruh
data yang diterima dapat diolah dan dianalisa dengan baik dan mudah.
Peneliti memeriksa kembali semua data yang telah dikumpulkan
melalui kuesioner, hal ini untuk mengecek kembali apakah kuesioner
sudah diisi dan bila ada ketidakcocokkan meminta kembali mengisi yang
masih kosong.
2. Coding
Setelah data diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan peng “kodean”
atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi
data angka atau bilangan (Nugroho, 2012).
1) Coding pada variabel depresi:
a. Tidak depresi/normal = 0,4
b. Depresi ringan = 5-9
c. Depresi sedang = 10-13
d. Depresi berat = 14-15
30
memberikan bobot pada masing-masing jawaban, sehingga
mempermudah perhitungan (Nazir, 2011).
1. Skor kuesioner depresi:
Pernyataan positif:
Ya 1
Tidak 0
Pernyataan negatif:
Ya 0
Tidak 1
a. Tidak depresi/normal = 0,4
b. Depresi ringan = 5-9
c. Depresi sedang = 10-13
d. Depresi berat = 14-15
2. Skor kuesioner insomnia
a. Tidak ada insomnia/normal = 0-5
b. Insomnia ringan = 6-15
c. Insmonia sedang = 15-30
d. Insomnia berat = >30
4) Tabulating
Tabulating adalah kegiatan memasukkan data ke dalam tabel-tabel, dan
mengatur angka-angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam
berbagai kategori (Nazir, 2011).
31
Analisa deskriptif adalah suatu prosedur pengolahan data dengan
menggambarkan dan meringkas data dengan cara ilmiah dalam bentuk
tabel atau grafik (Nursalam, 2008).
1. Data Umum
Untuk prosentase data umum meliputi usia, jenis kelamin,
pekerjaan kemudian dikelompokkan sesuai jawaban yang diisi pada
kuesioner menggunakan rumus :
a. Perhitungan terdensi sentral
Perhitungan tendensi sentral adalah ukuran pemusatan sebuah
distribusi data. Untuk data usia responden di analisa dengan
tendensi sentral.
b. Distribusi frekuensi
Karakteristik responden berdasarkan pendidikan, pekerjaan,
jenis kelamin dan status pernikahan dalam bentuk distribusi
frekuensi
2. Data Khusus
a. Variabel Independen
Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data perlu
dilakukan pengolahan data, tetapi sebelumnya setiap item
pertanyaan diberi skor sebagai berikut:
Tidak depresi/normal = 0-4
Depresi ringan = 5-9
Depresi sedang = 10-13
Depresi berat = 14-15
b. Variabel dependen
Kategori tingkat insomnia:
Tidak ada insomnia/normal = 0-5
Insomnia ringan = 6-15
Insmonia sedang = 15-30
Insomnia berat = >30
32
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang di duga atau
berkorelasi (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini analisis bivariat
dilakukan untuk mengetahui hubungan depresi dengan gangguan tidur
di posyandu desa kledokan kec. Bendo kab. Madiun .Pengolahan
analisa data bivariat ini dengan menggunakan bantuan komputerisasi
SPSS 16.0 For Windows. Uji statistik yang akan di gunakan adalah
Spearman Rank dengan α = 0.05. Dasar di gunakanya uji statistik
Spearman Rank, jika data yang akan di olah mengandung unsur skala
ordinal maka dapat dilakukan uji Spearman Rank. Adapun pedoman
signifikansi memakai panduan sebagai berikut : Bila p value < α (0,05),
maka signifikansi atau ada hubungan. Korelasi Spearman Rank
menurut Sugiyono (2012) sebagai berikut:
6 di 2
i=1
R s=1−
n (n 2−1)
Dimana :
Rs = koefisien korelasi Rank Spearman yang menunjukkan keeratan
hubungan antara unsur-unsur variabel x dan variabel y
33
(Sugiyono, 2009).
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Kerahasiaan informasi yang di berikan oleh responden di jamin oleh peneliti.
Penyajian atau pelaporan hasil riset hanya terbatas pada kelompok data tertentu yang
terkait dengan masalah penelitian
4. Non-Maleficence
Non-Maleficence tidak menyebabkan kerugian atau cedera fisik dan psikologis
bagi para peserta. Prinsip non-kejahatan berarti bahwa para peneliti dalam
memberikan intervensi harus selalu bertujuan untuk membantu peserta mengatasi
masalah kesehatan mereka(Wasis, 2017).
5. Keadilan
34
Justice berarti keadilan, prinsip justice berarti bahwa setiap orang berhak atas
perlakuan yang sama dalam upaya pelayanan kesehatan tanpa mempertimbangkan
suku, agama, ras, golongan, dan kedudukan social ekonomi (Purnama, 2016).
DAFTAR PUSTAKA
Cahyanti, a. a. (2017). hubungan depresi dengan gangguan tidur pada lansia di posyandu
mawar desa kledokan kec. bendo kab. magetan. madiun.
Raharja, e. a. (2013). hubungan antara tingkat depresi dengan kejadian insomnia pada lanjut
usia di karang werdha semeru jaya kecamatan sumbersari kabupaten jember. jember.
35
Wahyuningrum, T. (2015). Hubungan Tingkat Depresi Dengan Gangguan Tidur (Insominia)
Pada Lansia Di Upt Panti Werdha “Mojopahit” Kabupaten Mojokerto. Jurnal Ilmu
Kesehatan Vol. 4 No. 1 Nopember 2015, 50-52.
Wizanty. (2018). hubungan tingkat depresi dengan kejadian insomnia pada lanjut usia. 4-6.
36
LEMBAR KONSULTASI
37
dengan judul
3. Pada kerangka kerja diganti untuk
populasi dan sampel “seluruh lansia yang
datang ke wilayah kerja puskesmas
sobo”
9 Juli 2020 1. Membetulkan tempat penelitian dan data
penelitian yang ada di puskesmas
2. Populasi dan sampel masi tidak sinkron
38