REFERAT...................................................................................................................................i
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1Latar Belakang...............................................................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................................2
2.1 Definisi..........................................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi.................................................................................................................................2
2.3 Etiologi..........................................................................................................................................2
2.4 Faktor Risiko.................................................................................................................................2
2.5 Patogenesis dan Patofisiologi......................................................................................................3
2.6 Gejala Klinis.................................................................................................................................5
2.7 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................................................5
2.8 Tatalaksana....................................................................................................................................6
2.9 Pencegahan...........................................................................................................................8
2.10 Komplikasi.........................................................................................................................9
2.11 Prognosis.....................................................................................................................................9
Daftar Pustaka..........................................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
PSA merupakan setengah dari semua perdarahan intrakranial traumatik spontan. Setengah
lainnya merupakan perdarahan yang terjadi di dalam parenkim otak. Perdarahan
subarachnoid umumnya disebabkan trauma kepala. Namun istilah PSA secara umum
mengacu pada perdarahan nontraumatik (spontan) yang biasanya terjadi pada keadaan
aneurisma serebral yang pecah atau keadaan malformasi arteri vena.3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Stroke menurut WHO adalah suatu keadaan dimana ditemukan tanda-tanda klinis yang
berkembang cepat berupa defisit neurologik fokal dan global, yang dapat memberat dan
berlangsung lama selama 24 jam atau lebih dan atau dapat menyebabkan kematian, tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular.
Stroke Hemoragik adalah suatu gangguan peredaran darah otak yang ditandai dengan
adanya perdarahan intra serebral atau perdarahan subarachnoid.4
2.2 Epidemiologi
Data World Stroke Organization menunjukkan bahwa setiap tahunnya ada 13,7 juta
kasus baru stroke, dan sekitar 5,5 juta kematian terjadi akibat penyakit stroke. Sekitar 70%
penyakit stroke dan 87% kematian dan disabilitas akibat stroke terjadi pada negara
berpendapatan rendah dan menengah. Lebih dari empat dekade terakhir, kejadian stroke pada
negara berpendapatan rendah dan menengah meningkat lebih dari dua kali lipat. Sementara
itu, kejadian stroke menurun sebanyak 42% pada negara berpendapatan tinggi. Selama 15
tahun terakhir, rata-rata stroke terjadi dan menyebabkan kematian lebih banyak pada negara
berpendapatan rendah dan menengah dibandingkan dengan negara berpendapatan tinggi.5
Data World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan sekitar 31% dari 56,5
juta orang atau 17,7 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat penyakit jantung dan
pembuluh darah. Dari seluruh kematian akibat penyakit kardiovaskuler, sebesar 7,4 juta
disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner, dan 6,7 juta disebabkan oleh stroke.
Di Indonesia penyakit stroke menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5% penderita meninggal dunia dan sisanya menderita kelumpuhan sebagian
atau total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.6
Secara nasional, prevalensi stroke di Indonesia tahun 2018 berdasarkan diagnosis dokter
pada penduduk umur ≥15 tahun sebesar 10,9%, atau diperkirakan sebanyak 2.120.362 orang.
Provinsi Kalimantan Timur (14,7%) dan DI Yogyakarta (14,6%) merupakan provinsi dengan
prevalensi tertinggi stroke di Indonesia. Sementara itu, Papua dan Maluku Utara mewakili
prevalensi stroke terendah dibandingkan provinsi lainnya, yaitu 4,1% dan 4,6%.5
2.3 Etiologi
Terdapat tiga hal yang dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid, di antaranya
adalah:
1. Aneurisma
Terdapat beberapa macam aneurisma:
— Aneurisma sakular (berry)
Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering aneurisma
sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura
sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri
oftalmika atau arteri komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat
menimbulkan defisit neurologis dengan menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum
ruptur. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans posterior dapat menekan nervus
okulomotorius, menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami dipopia).7
— Aneurisma fusiformis
Aneurisma fusiformis adalah pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk
memanjang. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen intracranial arteri karotis
interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Aneurisma fusiformis
dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang
besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam
aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan intraaneurismal terutama
pada sisi-sisinya. Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf,
karena merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang, dibandingkan
struktur patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada
suplai darah serebral.7
— Aneurisma mikotik
Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya terdiri dari
terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa disebabkan oleh infeksi.
Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan; struktur ini jarang
menyebabkan perdarahan subarachnoid.
2. Malformasi arterivenosa (MAV)
MAV adalah anomali vaskular yang terdiri dari jaringan pleksiform abnormal tempat
arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan
langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian
ini vena tidak dapat menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri,
akibatnya vena akan merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah
tambahan yang berasal dari arteri. Pembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami
ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada aneurisma.8 MAV
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat terjadi
akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.
2.8 Pencegahan
Pencegahan perdarahan berulang pada perdarahan subarachnoid sangat penting karena
diperkirakan 35-40% kasus terjadi pada 4 minggu pertama pada pasien yang masih hidup
pada hari pertama. Kejadian perdarahan ulang terjadi pada 6 jam pertama, dan kurang lebih
20% pada hari pertama.15
Beberapa jenis makan yang di anjurkan untuk pencegahan primer terhadap stroke adalah:
1. Makanan kolesterol yang membantu menurunkan kadar kolesterol
— Serat larut yang terdapat dalam biji-bijian seperti beras merah, bulgur, jagung dan
gandum.
— Oat (beta glucan) akan menurunkan kadar kolesterol total dan LDL, menurunkan tekanan
darah, dan menekan nafsu makan bila dimakan dipagi hari (memperlambat pengosongan
usus).
— Kacang kedelai beserta produk olahannya dapat menurunkan lipid serum, menurunkan
kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida tetapi tidak mempengaruhi kadar
kolesterol HDL.
— Kacang-kacangan termasuk biji kenari dan kacang mede menurunkan kolesterol LDL
dan mencegah arterrosklerosis.
2. Makanan lain yang berpengaruh terhadap prevensi stroke
— Makanan/zat yang membantu mencegah peningkatan homosistein seperti asam
folat,vitamin B6, B12, dan riboflavin.
— Susu yang mengandung protein, kalsium, seng(Zn), dan B12, mempunyai efek proteksi
terhadap stroke.
— Apel yang mengandung quercetin dan phytonutrient dapat menurunkan risiko stroke.
— Teh hitam dan teh hijau yang mengandung antioksidan.
3. Anjuran lain tentang makanan:
— Menambah asupan kalium dan mengurangi asupan natrium
— Beberapa jenis seperti ikan tuna dan ikan salmon mengandung omega-3,
eicosapperitenoic acid (EPA) dan docosahexonoic acid (DHA). Makanan jenis ini
sebaiknya dikonsumsi dua kali seminggu.
— Makanan yang kaya vitamin dan antioksidan (vitamin C,E, dan betakaroten) seperti yang
banyak terdapat pada sayur-sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian.
— Buah-buahan dan sayur-sayuran <6 gram/hari).
— Pada penderita hipertensi, asupan natrium yang dianjurkan ≤2,3 gram/hari dan asupan
kalium ≥4,7 gram/hari.
— Meminimalkan makanan tinggi lemak jenuh dan mengurangi asupan trans fatty acid
seperti kue-kue, crackers, telur, makanan yang digoreng, dan mentega.
— Jangan makan berlebihan dan perhatikan menu makanan seimbang
2.9 Penatalaksanaan
Prinsip dasar terapi perdarahan subarachnoid meliputi penegakan diagnosis, menentukan
lokasi perdarahan, dan mengatasi perdarahan dengan pemasangan klipping pada aneurisma.
Manejemen umum ditujukan untuk mencegah perburukan kondisi pasien meliputi : 14
1. Pendekatan ABC pada resusitasi kardiopulmoner
2. Pengelolaan hipertensi
Prinsipnya harus berhati-hati karena dapat memperberat derajat iskemia serebri yang
terjadi. Terapi yang dipilih menggunakan agen antihipertensi yang bekerja cepat
(calcium channel blocker intravena).
3. Keseimbangan cairan dan elektrolit
4. Penanganan nyeri kepala
Nyeri kepala yang sangat hebat terjadi pada pasien dengan perdarahan subarachnoid.
Penanganan nyeri kepala dapat bertahap dari ringan (paracetamol sampai kodein) hingga
berat (injeksi morfin)
Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H) adalah
sebagai berikut:
— Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin
— Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30o dan nyaman, bila perlu diberikan
O2 2-3LPM
— Hati-hati dalam pemakaian sedatif karena kesulitan menilai tingkat kesadaran
— Pasang infus, usahakan euvolemia dan monitor ketat sistem kardiopulmoner dan kelainan
neurologi yang timbul
Tatalaksana pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H, perawatan harus lebih
intensif:
— Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien di IGD
— Perawatan sebaiknya dilakukan di ruang intensif atau semiintensif
— Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat perlu dipertimbangkan
ETT dengan hati-hati terutama apabila didapatkan tanda-tanda TTIK
— Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan menyulitkan
penilaian status neurologi
Tindakan untuk mencegah perdarahan berulang setelah PSA:
— Kontrol dan monitor TD untuk mencegah risiko rebleeding. Hipertensi berkaitan dengan
terjadinya perdarahan ulang. Sangat disarankan TD sistolik 140-160 mmHg
— Istirahat total di tempat tidur
— Terapi antifibrinolitik (epsilon-aminocaproid acid: loading 1g IV kemudian lanjutkan 1g
setiap 6 jam sampai aneurisma tertutup atau biasanya disarankan 72 jam). Kontraindikasi
terapi antifibrinolitik pada pasien koagulopati, riwayat infark miokard akut, stroke
iskemik, emboli paru atau trombosis vena dalam. Lebih dianjurkan pada pasien dengan
risiko rendah vasospasme atau pasien dengan penundaan operasi.
Dalam menangani perdarahan subarachnoid akibat aneurisma, pasien akan menjalani
prosedur pembedahan. Di antaranya adalah:3
— Endovascular coiling. Dalam prosedur ini, kantung aneurisma akan diisi dengan
gulungan logam platina, sehingga darah tidak melewati kantong tersebut yang berisiko
pecah. Prosedur ini lebih sering digunakan karena memiliki risiko komplikasi jangka
pendek yang lebih rendah. Pasien biasanya diperbolehkan meninggalkan rumah sakit
lebih cepat, dan durasi pemulihan pun cenderung lebih cepat.
— Neurosurgical clipping. Prosedur ini dilakukan dengan menjepit pembuluh darah yang
bermasalah dengan klip logam Prosedur clipping dilakukan melalui metode kraniotomi
atau bedah kepala, dalam keadaan pasien tidak sadar akibat diberikan obat bius total.
Pembuluh darah yang sudah dijepit akan mengalami perbaikan, dan aneurisma yang
terjadi akan tersumbat secara permanen.3
Bila terjadi peningkatan tekanan dalam kepala, dokter akan memasang selang khusus,
melalui metode bedah kepala, untuk menurunkan tekanan tersebut. Selain tindakan bedah,
penderita perdarahan subarachnoid juga dapat diberikan obat-obatan untuk meredakan gejala
dan membantu penyembuhan, seperti:3
— Pengendali tekanan darah. Contohnya obat penghambat beta.
— Pereda nyeri dan cemas
— Antikonvulsan, untuk mencegah atau menghentikan
— Pencahar, agar tidak mengedan saat buang air besar
— Pelebar pembuluh darah, misalnya antagonis kalsium
2.10 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang bisa didapatkan dari PSA adalah:1
— Hydrocephalus
— Perdarahan berulang
— Delayed cerebral ischemia
— Perdarahan Intraserebral (PIS)
— Perdarahan Intraventrikular
— Disfungsi ventrikel kiri
— Subdural hematoma
— Kejang
— TTIK meningkat
2.11 Prognosis
Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa
sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila
tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada intervensi bedah
maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama,
dan 60% dalam 2 bulan pertama.14
DAFTAR PUSTAKA