Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Post thrombotic syndrome (PTS) tetap menjadi masalah kesehatan yang penting di


Amerika Serikat. Studi berbasis populasi menunjukkan bahwa kejadian ulkus vena saat ini
mendekati 18 per 100.000 populasi per tahun. Studi yang samamengidentifikasi bahwa Post
thrombotic syndrome bertanggung jawab atas pengeluaran ekonomi yang diperkirakan
sedikitnya 200 juta dollar amerika.1
Post thrombotic syndrome (PTS) adalah kumpilan keluhan dan gejala, yang
mencakup rasa nyeri, bengkak, rasa berat, kesemutan, kemerahan, dan borok pada tungkai.
Sindrma ini terjadi pada 20% sampai 50% pasien pasca trombosis vena dalam (DVT) dan
merupakan komplikasi tersering dari DVT.7
Post thrombotic syndrome menyebabkan tidak konsistensinya efektivitas terapi yang
diberikan pada pasien dengan DVT. biaya untuk penanganan PTS juga tidaklah sedikit. Di
Amerika sendiri biayanya mencapai USD 20-569 per pasien setiap tahunnya. ditambah lagi
sindroma ini menyebabkan penurun kualitas hidup pasien. oleh sebab itu, penelitian atas PTS
menjadi penting untuk dilakukan.7

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan paper ini sebagai berikut:


1. mengetahui tentang definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,dan
penatalaksanaan post thrombotic syndrome.
2. Sebagai persyaratan dalam memenuhi kepanitraan Klinik senior di SMF Ilmu
Bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan.

1.3 Manfaat

Paper ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca khususnya
yang terlibat dalam bidang medis serta masyarakat secara umum agar dapat lebih
mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai post thrombotic syndrome.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Post thrombotic syndrome

Post thrombotic syndrome (PTS) dikenal sebagai komplikasi DVT ekstremitas bawah
yang mengakibatkan gejala kronis, melemahnya tungkai dan nyeri tungkai, bengkak, varises
dan pada kasus yang parah hiperpigmentasi kulitdan ulserasi. Sindrom ini disebabkan oleh
hipertensi vena sekunder akibat obstruksi aliran keluar vena persisten dan disfungsi katup.
Manifestasi Post thrombotic syndrome berkembang pada 20 hingga 50% pasien setelah DVT
ekstremitas bawah. Saat ini tidak ada definisi standar untuk Post thrombotic syndrome
di ekstremitas atas.1

Presentasi klinis Post thrombotic syndrome dalam keadaan klinis tidak spesifik, dan
kondisi selain DVT, seperti insufisiensi vena primer, gagal jantung kongestif kronis, dan
trauma, dapat menghasilkan gejala atau tanda yang serupa pada ekstremitas bawah. Tidak ada
tes obyektif untuk mendiagnosis Post thrombotic syndrome dan setelah DVT proksimal
pertama, hingga 40% dari Post thrombotic syndrome terdiagnosis dapat mewakili setidaknya
sebagian insufisiensi vena primer yang sudah ada sebelumnya.3

Post thrombotic syndrome terutama didiagnosis berdasarkan klinis pada pasien


dengan manifestasi Post thrombotic syndrome yang khas dan episode DVT sebelumnya.
Karena rasa sakit awal,kelemahan tungkai, dan pembengkakan yang terkait dengan DVT akut
mungkinmembutuhkan 3 hingga 6 bulan untuk menyelesaikan, Post thrombotic syndrome
tidak boleh didiagnosis secara definitif sebelum waktu ini.3

 
2.2 Epidemiologi Post thrombotic syndrome

Kejadian yang tepat dari Post thrombotic syndrome setelah trombosis vena yang
dikonfirmasi masih kontroversial, karena tingkat Post thrombotic syndrome yang dilaporkan
dalam penelitian yang dipublikasikan bervariasi antara 20% dan100%. Dalam penelitian
sebelumnya, tingkat komplikasi Post thrombotic syndrome parah yang sangat tinggi
dilaporkan (50-100% dari pasien dalam 4-10 tahun setelah episode trombotik yang memenuhi
syarat). Tingkat ini menurun tajam dalam penelitian yang dilakukan dalam 25 tahun terakhir,
yang bisa jadi disebabkan oleh peningkatan pendekatan diagnostik dan terapeutik untuk
pasiendengan DVT. Namun, karena perbedaan yang besar antara studi dalam hal
desain penelitian, definisi Post thrombotic syndrome, ukuran sampel, panjang follow-up,dan
penggunaan kompresi stoking elastis, kejadian dilaporkan baik secarakeseluruhan dan
beratPost thrombotic syndrome masih menunjukkan variabilitasyang cukup. Dengan tidak
adanya stoking elastis,Post thrombotic syndrome diharapkan dapat mengembangkan di
sekitar 50% dari pasien yang menderitaepisode DVT, dan parah dalam satu-seperlima dari
pasien. Yang menarik,Postthrombotic syndrome dapat berkembang, walaupun pada tingkat
yang lebihrendah setelah episode asimptomatik DVT pasca operasi.2

 Menurut hasil penelitian terbaru, sebagian besar pasien yang mengembangkan Post
thrombotic syndrome menjadi gejala dalam 2 tahun dari episode akut DVT. Temuan ini
menantang pandangan umum bahwa Post thrombotic syndrome membutuhkan bertahun-
tahun untuk menjadi nyata.2

2.3 Etiologi Post thrombotic syndrome


Sindroma post thrombotic syndrome merupakan komplikasi jangka panjang dari
Trombosis vena dalam (DVT). Terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya trombosis
pada vena dalam yaitu cedera pada pembuluh darah vena, timbulnya cedera dapat dipicu oleh
tindakan bedah, suntikan bahan yang menimbulkan iritasi, atau abnormalitas pada pembuluh
vena. Kemudian peningkatan resiko terjadinya trombus, misalnya pada pasien kanker,
penggunaan kontrasepsi oral, persalinan, tindakan operasi, geriatri, dehidrasi, dan perokok.
Aliran darah yang lebih lambat pada pembuluh vena. Kondisi ini dapat terjadi pada penderita
yang menjalani perawatan lama (imobilisasi) di rumah sakit atau penerbangan jarak jauh.
Pada kondisi tersebut, otot-otot pada daerah tungkai bawah tidak berkontaksi sehingga aliran
darah kaki menuju ke jantung menjadi lambat dan berkurang, memudahkan terjadinya
trombus.10
Karakteristik sindroma ini mencakup nyeri persisten, edema dan gejala-gejala kronis
lain pada tungkai yang sakit. PTS adalah sindroma yang sering terjadi, sulit ditangani dan
menghabiskan banyak biaya dalam penanganannya. Prevalensi PTS terus meningkat, sekitar
20-50% dari pasien dengan riwayat DVT akut menderita PTS 1 hingga 2 tahun kemudian.9

2.4 Manifestasi klinis Post thrombotic syndrome


Gejala klinis Post thrombotic syndrome diidentifikasi dari tanda dan gejala yang
terdapat pada pasien yaitu:

Tanda Gejala
Nyeril Pitting edema
Pembengkakan Sianosis saat kaki berada dalam posisi
tergantung
Kaki memberat dan melemah Hiperpigmentasi
Gatal Kemerahan
Kram Penebalan kulit
Paraestasia Lipodermatosklerosis (fibrosis dari jaringan
subkutan)
Karakteristik gejala: memburuk ketika Ulserasi
beraktivitas, berdiri, berjalan, membaik
ketika beristirahat, berbaring.
(Tabel 1.1)
Tanda dan gejala PTS

(Gambar 1.1

2.5 Patofisiologi Post thrombosis syndrome


Patofisiologi yang mendasari munculnya keluhan dan gejala klinis
berat pada tungkai pasien pasca DVT adalah hipertensi vena berkepanjangan. Hal
ini terjadi akibat inkompetensi katup, obstruksi aliran keluar, disfungsi otot betis,
atau kombinasi dari ketiganya. Inkompetensi katup terjadi sebagai akibat dari
kerusakan katup vena pada saat terjadi sebagai akibat dari kerusakan katup vena
pada saat terjadinya DVT akut, atau pada waktu proses rekanalisasi vena setelah
DVT. Jika rekanalisasi terjadi secara inkomplet,obstruksi aliran keluar dapat
terjadi dan menyebabkan terbentukya sirkulasi kolateral melalui vena-vena
superfisial dan perforator yang secara gradual menjadi tidak kompeten dan
varikosis karena dilatasi karena progresif. Hipertensi vena sebagai hasil akhir dari
proses ini mengarah pada terjadinya telengiektasia dan ektasia vena serta
menyebabkan kebocoran kapiler dari protein plasma, eritrosit, dan leukosit dengan
edema resultan, hipoksia, dan kerusakan jaringan. Hal ini diakibatkan oleh
peningkatan tekanan onkotik intravaskular pada sistem vena sehingga terdapat
kebocoran endotel. Suatu keadaan dimana terdapat kebocoran endotel seperti ini
akan memicu suatu keadaan edema interstisial. Edema interstisial akan membuat
jarak kapiler dengan sel-sel jaringan semakin besar dan hal ini akan memicu
hipoksia jaringan setempat dan menimbulkan nekrosis yang berujung pada
ulserasi.7
Trombosis Vena
Rekanalisasi

Respont Inflamsi Obstruksi aliran


Kerusakan Katup keluar

Refluks Vena Hipertensi Vena Sirkulasi Kolateral

Kebocoran Kapiler

Telangiektasia vena
Edema
Hyperpigmentasi
ulserasi

(Gaabar 2.2)Patofisiologi Post thrombotic syndrome

2.6 Diagnosis Post thrombosis syndrome


Anamnesis yang mengarah pada faktor resiko dan gejala klinis, serta pemeriksaan
fisik untuk menemukan adanya tanda dan gejala post thrombotic syndrome. Pemeriksaan
laboratorium: kadar D-Dimer meningkat (thrombosis yang aktif) dapat dipengaruhi oleh
adanya keganasan atau kerusakan jaringan. Dan pemeriksaan penunjang lain USG
Doppler, untuk memberikan gambaran aliran darah arteri dan vena pada bagian tungkai.
USG Doppler klasik memiliki nilai sensitivitas 88% dan sensitifitas 88%, sementara USG
Doppler bewarna memiliki nilai sensitifitas 97% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi
adanya thrombus.10

Tidak ada pemeriksaan laboratorium standart, pencitraan atau tes fungsional yang
menetapkan diagnosis PTS.PTS didiagnosis berdasarkan klinis, berdasarkan adanya gejala
dan tanda khas pada pasien dengan DVT akut, sehingga diagnosis PTS harus ditunda sampai
setelah fase akut (3-6bulan).3

Sejumlah skala klinis telah digunakan untuk mendiagnosis dan mendefenisikan PTS,
dari jumlah tersebut, tiga dikembangkan khusus untuk PTS: skala Vilalta, skala Ginsberg,
dan skala Brandjes. Yang lain, dikembangkan untuk penyakit vena kronis, termasuk clinical,
etiologi anatomi dan patofisiologi (CEAP), skor Serveritas Klinis Vena, dan skala Widmer.
Dari jumlah tersebut, skala Villata adalah yang paling banyak diterapkan, dan
direkomendasikan oleh ISTH pada tahun 2009. skalaVillata adalah ukuran klinis yang
menghubungkan penilaian lima gejala vena subyektif dan enam tanda vena subyektif, serta
ada atau tidak adanya ulkus pada kaki yng terkena DVT. Skala Villata telah terbukti valid,
dapat diproduksi, dan responsif terhadap perubahan klinis, dan menunjukkan korelasi yang
baik dengan skor QOL generik spesifik penyakit 8-10, dan dengan penanda anatomi dan
fisiologis PTS.6

2.7 Penatalaksanaan Post thrombosis syndrome


Prinsip terapi PTS mencakup pencegahan agresif dari tromboemboli vena
rekurens dengan pemberian tromboprofilaksis dan mengontrol keluhan dan bengkak
dengan stoking kompresi elastis bertahap. Pada pasien dengan keluhan dan gejala PTS
yang berat, penggunaan jangka panjang dari pompa kompresi ekstremitas intermiten
sehari dua kali memberikan hasil yang baik pada kebanyakan pasien dan hingga saat ini
belum ada laporan mengenai efek sampingnya.7

Diagnosis Post thrombosis syndrome terdiri dari penatalaksanaan konservativ dan


penatalaksanaan bedah, penatalaksanaan konservativ terdiri dari latihan fisioterapi, terapi
kompresi, farmakologi.7

1. Penatalaksanaan Konservativ
a. Latihan Fisioterapi
Latihan bertujuan meningkatkan kebugaran, kekuatan kaki, dan kelenturan
tungkai, mengurangi keparahan gejala dan tanda serta meningkatkan kualitas
hidup. Secara fisiologis dimana latihan dapat meningkatkan peningkatan daya
tahan tubuh terhadap Post thrombtic syndrome, berkurangnya upaya otot karena
peningkatan kekuatan kaki, mengurangi pembengkakan dan ketidaknyamanan
karena berfungsinya pompa otot betis dengan lebih baik, dan meningkatkan fungsi
muskoloskkeletal karena peningkatan fleksibelitas pergelangan.1
b. Terapi Kompresi
Terapi kompresi biasanya ECS adalah landasan untuk mengelola Post thrombotic
syndrome yang sudah mapan. Penggunaannya untuk mengurangi gejala
danmeningkatkan fungsi sehari-hari. Adapun kontraindikasi ECS adalah penyakit
arterial perifer simtomatik, karena klaudikasio dapat memburuk ketika stocking
dipakai.1
c. Farmakologi
Obat-obatan yang di evaluasi adalah rutoside (mengurangi filtrasi kapiler dan
permeabilitas mikrovaskular), defibrotide (menurunkan regulasi aktivator
inhibitor plasminogen-1 dan meregulasi prostasiklin, prostaglandin E2, dan
trombomodulin), dan hidrosmin (mekanisme aksi tidak diketahui).7

2. Penatalaksanaan Bedah
Prosedur bedah atau endovaskular seperti perbaikan katup vena, bypass vena,
dan stent vena untuk mengobati pasien PTS yang dipilih secara tepat memiliki potensi
untuk mengurangi manifestasi PTS yang disebabkan oleh obstruksi vena dalam atau
refluks katup.5

2.8 Pencegahan Post thrombosis syndrome


Pencegahan terbaik untuk PTS adalah untuk mencegah terjadinya DVT
berulang. Karena kekambuhan DVT ipsilateral adalah faktor resiko penting untuk
PTS, mencegah DVT berulang dengan memberikan antikoagulasi optimal intensitas
dan durasi yang sesuai untuk DVT awal. Pengamatan bahwa resiko PTS dikaitkan
dengan kontrol dini yang buruk terhadap antikoagulan memperkuat rekomendasi ini.
Stocking kompresi elastis(ECS), dengan mengurangi edema dan hipertensi vena,
dapat berperan dalam mencegah PTS.5

BAB III
KESIMPULAN

PTS adalah komplikasi umum dari DVT yang memiliki dampak


signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran pasien dalam kesehatan nasional. PTS
merupakan komplikasi sering dari DVT yang memiliki potensi untuk mengurangi kualitas
hidup, menyebabkan cacat fungsional kronis, dan menimbulkan tantangan manajemen yang
sulit. Gejala seringkali tidak spesifik dan sulit dibedakan dariDVT, membuat diagnosis
menjadi sulit. Standarisasi dan skor diagnostik yang divalidasi akan memungkinkan
identifikasi diagnosis, memfasilitasi pemeriksaan diagnosis. Terapi kompresi tetap menjadi
andalan pengobatan. Intervensi bedah atau radiologis memiliki potensi untuk memperbaiki
gejala, tetapi identifikasi lebih lanjut diperlukan pada pasien yang paling mungkin mendapat
manfaat dari prosedur invasif ini. Pencegahan PTS sangat penting, dan penggunaan ECS dan
antikoagulasi dalam DVT harus diperhatikan dengan ketat.3

DAFTAR PUSTAKA
1. Almeida J. Atlas of Endovascular Venous Surgery . Philadelphia: Elsevier;2012.
 
2. Gallanaud,JP. Susan R K . Consultative Hemostasis and thrombosis fourthedition.
Philadelphia: Elsevier; 2013.3.
 
3. Rabinovich A, Susan R K.The postthrombotic syndrome: current evidenceand future
challenges. Philadelphia ; 2016.
 
4. Eskandari M, dkk. Vascular surgery therapeutic strategies. USA. Peoplemedical
publishing house; 2009.
 
5. Susan R K. The post-thrombotic syndrome. Hematology Am Soc HematolEduc
Program. 2016 Dec 2; 2016 (1): 413.

6. Baldwin MJ, Post-thrombotic syndrome: a clinical review


jhttps://doi.org/10.1111/jth.12180;2013.

7. Ginsberg JS, Magier D, MacKinnon B, Gent M, Hirsch J. Intermittent compression


units for severe post-phlebitic syndrome: A randomized crossover study. CMJA
1999;160:1303-306.

8. Goldman MP. Sclerotherapy treatment of varicose and telangiectatic legveins.


British. British Library; 2011.

9. Bond RT, Surgical treatment of moderate-to-severe post thrombotic syndrome. Ann


Vasc Surg2013;27:242-58.

10. Chris Tanto,Frans Iwang, Eka Adip Pradipta. Kapita Selekta Kedokteran. 2014.

Anda mungkin juga menyukai