Anda di halaman 1dari 10

Abstrak : Studi kasus ini memberikan pengetahuan terhadap tuberkulosis pada

pasien dengan pendekatan kedokteran keluarga secara komprehensif dan holistik.


Intervensi dilakukan pada berbagai pihak ( mis. anggota keluarga, komunitas sekitar
dan tenaga medis ) dan berbagai aspek ( seperti gaya hidup, medikasi dan kontrol
penyakit yang dijalani ). Seorang pasien laki-laki berumur 44 tahun diketahui
memiliki penyakit menular Tuberkulosis paru (Tbc) kasus kambuh. Pada Oktober
2017, sudah dinyatakan tuntas pengobatan selama 6 bulan namun, penyakit Tb nya
kambuh pada Maret 2020. Dengan perbaikan persepsi dari penyakit dan full-support
dari keluarga serta komunitas sekitar, pasien dapat meningkatkan upaya menjalani
hidup sehat agar dapat mencapai target pengelolaan yang ideal. Dorongan kepada
pasien untuk sentiasa minum obat teratur dan mengamalkan gaya hidup sehat
sangat penting kerana dapat mencegah terjadinya resisten terhadap obat .

Kata kunci : tuberkulosis, kedokteran keluarga, dewasa

Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah


kesehatan utama di Indonesia kerana berpengaruh besar terhadap penurunan
produktivitas kerja. Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, malaise berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. (Kementerian Kesehatan, 2018).

Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun


2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC
tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan
(Kementerian Kesehatan, 2018). Di Indonesia peningkatan Case Detection Rate
menjadi bagian penting dalam menurunkan kasus TB. Pencapaian CDR Indonesia
pada tahun 2009 mencapai 90%. Tetapi walaupun capaian CDR meningkat, terjadi
perbedaan pencapaian antara provinsi di Indonesia, yaitu hanya 8 provinsi mencapai
70% dan sisa 25 provinsi belum tercapai (Ditjen P2PL, 2017). Di Sulawesi Selatan
sendiri angka penderita tuberkulosis terbanyak ada di tiga kabupaten yaitu
Makassar, Gowa dan Bone berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan tahun 2017.

Pengobatan TB paru pada fase intensif, klien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi setiap hari untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan
pada fase ini dilakukan secara tepat maka klien TB paru menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu, dan sebagian bersar klien TB paru BTA ( Bakteri
Tahan Asam) positif menjadi BTA negatif daam waktu 2 bulan, sehingga klien tidak
mengalami drop out dan pengobatan ulang (Kementerian Kesehatan, 2015).

Beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya drop out adalah pengetahuan,


motivasi, peran PMO, akses, dukungan keluarga, jarak, motivasi penderita dan efek
samping obat (Nuraidah et al.,2016). Meningkat pentingnya wawasan akan penyakit
tuberkulosis, penulisan laporan kasus ini bertujuan membahas penerapan pelayanan
dokter keluarga dengan asas patient-centered and family approach berdasarkan
evidence-based medicine. Faktor resiko, masalah klinis serta penatalaksaan
penyakit pada pasien dievaluasi menggunakan Mandala of Health.

Deskripsi Kasus

Bapak dengan inisial Tn.Y, umur 44 tahun diwawancara melalui aplikasi


whatsaap call dan diketahui memiliki penyakit menular Tuberkulosis paru (Tbc)
kasus kambuh. Pasien didiagnosa Tb pertama kali pada Oktober 2017 dan sudah
dinyatakan tuntas pengobatan selama 6 bulan. Namun, penyakit Tb nya kambuh
pada Maret 2020. Awalnya beliau dibawa ke Rs. Stella Maris, Makassar pada tahun
2017 akibat demam panas, batuk kronik selama lebih dari 1 bulan. Keluhan lain saat
itu yaitu keringat malam serta penurunan berat badan dengan drastic. Beliau
kemudian didiagnosa terinfeksi kuman tuberculosis dan kemudian dirujuk ke
Puskesmas Cendrawasih untuk menjalani pengobatan. Saat pertama kali beliau
didiagnosa Tbc di Rs. Stella Maris oleh dokter yang merawat, pengetahuan beliau
terkait penyakit menular ini sangat minimal dan masih berpegang akan stigma
penyakit Tuberkulosis sebagai penyakit kutukan sama seperti penyakit kusta.
Namun, setelah dijelaskan dengan baik, pengetahuannya terkait penyakit ini
bertambah. Pada bulan Maret 2020, beliau kembali memeriksakan diri di pelayanan
Kesehatan berdekatan rumahnya yaitu PKM Cendrawasih, saat itu beliau datang
dengan keluhan batuk baru 1 minggu dan gejala-gejala umum Tbc seperi demam,
keringat malam serta penuruan nafsu makan. Beliau kemudian dinyatakan kambuh
oleh dokter yang memeriksa dengan hasil sputum positif.

Sebelumnya beliau sudah selesai pengobatan fase intensif yang memerlukan


beliau ke PKM Cendrawasih setiap hari untuk disuntik (Streptomisin injeksi) selama
2 bulan pertama dan ditambah 4 kombinasi dosis terpadu (KDT) selama 3 bulan.
Saat ini pasien rutin konsumsi obat anti tuberculosis (OAT) kategori 2 tahap lanjutan
yaitu 4 tab 2KDT (Rifampisin, Isoniazid) dan 4 Tab Etambutol. Terakhir diperiksa
pada akhir Juni 2020 dengan hasil sputum BTA negatif. Pasien akan ke PKM
Cendrawasih setiap 2 minggu untuk mendapatkan OAT. Riwayat minum beralkohol
dan merokok ada sejak 30 tahun yang lalu, namun sekarang sudah berhenti. Pasien
menyangkal adanya penyakit hipertensi, diabetes mellitus, jantung, alergi maupun
asma. Pasien menyangkal adanya Riwayat penyakit serupa ataupun penyakit lain di
dalam keluarga dekat kecuali ayahnya yang telah meninggal dunia akibat kanker
prostat.

Dari data terakhir hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik,
compos mentis, terdapat sakit ringan. Status generalis dalam batas normal. Status
gizi pasien cukup dengan berat badan 59 kg dan tinggi badan 169 cm (BMI normal :
20.64). Status lokalis dalam batas normal. Pemeriksaan sputum BTA tanggal 29 Juni
2020 negatif.

Pasien lahir tanggal 20 Januari 1976, merupakan anak pertama dari 3


bersaudara. Pasien memiliki 5 orang anak. Saat ini tinggal bersama istrinya (Ny.H,
46 tahun), 5 orang anaknya serta istri adek bongsunya dan 2 orang peranakan nya.
Alamat rumah berada di Jl. Tanjung Bunga Lr. 20. Rumah terdiri dari satu lantai.
Pasien menyatakan pencahayaan dan ventilasi di rumahnya kurang bagus dan
berasa lembab. Cahaya matahari tidak dapat masuk ke dalam rumah akibat ditutupi
rumah-rumah tetangganya. Perumahan pasien turut didapatkan sangat padat
dengan kebanyakan tetangga masih memiliki stigma penyakit tuberculosis sebagai
penyakit kutukan sehingga banyak yang tidak pergi berobat dan berdiam diri tatkala
adanya gejala.

Pasien bekerja sebagai supir pendeta di gareja dekat rumahnya. Namun,


beliau direhatkan oleh majikannya akibat penyakit tuberculosis ini. Kerana pasien
saat ini direhatkan dan tidak bekerja, kegiatan sehari-hari diri selain makan, tidur dan
mandi, terkadang pasien pergi mengajar anak tetangga nya ilmu matematika. Pasien
memiliki jaminan ansuransi BPJS. Selama ini, pasien dan keluarganya akan berobat
di Kimia Farma Cendrawasih (Klinik Rinra) bila terganggu kesehatannya mereka..

Dalam upaya mengevaluasi status kesehatan pasien secara komprehensif,


digunakan konsep Mandala of Health, family spiral, cycle dan development selain
genogram keluarga Tn.Y tertanggal 23 Juli 2020 menunjukkan Tn.Y (penderita
Tuberkulosis) yang tinggal serumah dengan istri (paling dekat), 5 orang anak, istri
adeknya dan 2 orang peranakan. Tidak terdapat adanya penyakit dengan keluhan
serupa di keluarga. (Gambar 1).

Gambar 1. Genogram Keluarga Tn.Y

Secara subjektif, fungsionalitas kelurga pasien dievaluasi menggunakan


Family APGAR. Dimana pasien mendapatkan dukungan penuh dalam aspek
adaptasi, kemitraan, pertumbuhan, kasih sayang dan kebersamaan dalam
menangani penyakitnya. Maka hasilnya adalah 10 dari total 10 yang
mengindikasikan fungsi keluarga yang baik (highly functional family). (Tabel 1)

Tabel 1. Fungsionalitas keluarga berdasarkan Family


APGAR

Sering Kadang- Jarang


/ kadang / Tidak
No. Pernyataan
Selalu (1)
(0)
(2)

1 Saya puas bahwa saya dapat kembali √


kepada

keluarga saya, bila saya menghadapi


masalah

Saya puas dengan cara2 keluarga saya


membahas serta membagi masalah dengan
2 √
saya

Saya puas bahwa keluarga saya menerima


dan mendukung keinginan saya melaksanakan
3 kegiatan √

dan ataupun arah hidup yang baru

Saya puas dengan cara2 keluarga saya


menyatakan rasa kasih sayang dan
4 √
menanggapi

emosi

5 Saya puas dengan cara2 keluarga saya √


membagi

waktu bersama

Adapun diagnostik holistik yang ditegakkan pada pasien adalah sebagai


berikut. Pada aspek 1, pasien ingin mengetahui keadaan penyakit kronisnya yaitu
riwayat pernah terinfeksi dan didiagnosa Tuberkulosis paru dengan harapan
penyakitnya itu tidak kambuh dan menyebar ke orang lain; pasien sadar dan
memahami faktor resiko, gejala klinis penyakit Tbc, maka pasien dan keluarganya
segera memeriksa di pusat pelayanan Kesehatan. Pada aspek 2, berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, terdapat diagnosa klinis
Tuberkulosis Paru (ICD-10-CM : A15.0).

Aspek 3 ditemukan adanya hubungan dengan riwayat penyakit terdahulu;


Kewaspadaan pasien akan linkungan tempat kerjanya yaitu sebagai supir
pendeta yang memerlukan interaksi dengan kebanyakan orang awam tanpa
mengenakan alat pelindung diri seperti masker dan gaya hidup beliau semasih
muda seperti kebiasaan minum beralkohol dan merokok dapat mempengaruhi
dan menyebabkan pasien rentan dan beresiko untuk tertular dengan kuman Tbc
ini; saat ini pasien mula berwaspada dan mengenakan alat pelindung diri setiap
kali berpergian karena meningkatnya pengetahuan pasien terhadap penyakit
infeksi ini selain kekhawatirannya akan bahaya penyakit Tbc yang bisa menular di
dalam keluarganya.

Pada aspek 4, pengetahuan linkungan masyarakat dan tetangga sekitar


masih kurang. Kebanyakan dari mereka masih memiliki stigma penyakit Tbc
sebagai penyakit kutukan sehingga banyak antara mereka yang berdiam diri
tanpa melakukan pemeriksaan kesehatan apabila timbulnya gejala yang
mengarah ke Tbc. Kondisi dan susunan perumah yang sangat padat sehingga
mengurangkan pencahayaan dan ventilasi untuk masuk ke dalam rumah pasien
turut mempengaruhi dan menjadi factor resiko akan mudahnya penyakit ini untuk
menular. Aspek 5 menunjukan pasien tidak terpengaruh buruk oleh kondisi
penyakitnya (skala fungsional derajat 1).

Intervensi holistik dan komprehensif mencakup tindakan terhadap pasien,


keluarga dan linkungannya. Edukasi mengenai penyakit yang dialami, faktor
resiko, cara penularan dan pencegahannya harus difokuskan; pasien juga
diberikan semangat dan perasaan optimis agar terkontrol pengambilan obatnya.
Selain penderita, anggota keluarga diharapkan untuk mendukung pasien dalam
keseharian terutama support secara psikologis dan sebagai pemantau atau
pengawas minum obat; deteksi dini kuman Tb pada keluarga yang tinggal
serumah jika terdapat gejala yang mengarah ke penyakit menular ini. Kounseling
mengenai tuberkulosis, melakukan konrol rutin dan mengambil obat di puskesmas
jika obatnya habis, kounseling mengenai jadwal pemeriksaan selain edukasi
mengenai gaya hidup sehat dan fungsi dari ventilasi rumah diperankan kepada
individu. Penyuluhan terjadwal kepada masyarakat mengenai Tb dapat
meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait penyakit ini sehingga dapat
menghilangkan stigma masyarakat yang tidak mahu berobat.

Pembahasan

Kasus Tuberculosis yang didapatkan oleh Tn. Y pada tahun 2017 di RS


Stela Maris yang telah tuntas pengobatan dinyatakan kambuh pada Maret 2020.
Berdasarkan data WHO, pada tahun 2014, terdapat TB Paru kambuh di Indonesia
sebanyak 7.840 kasus, dengan 6.449 kasus terkonfirmasi secara bakteriologis dan
1.391 kasus didiagnosis klinis. Menurut D.A Naomi (2016) faktor yang
mempengaruhi terjadinya TB kambuh/relaps antara lain adanya reinfeksi, jumlah
basil sebagai penyebab infeksi cukup dengan virulensi yang tinggi, daya tahan
tubuh menurun sehingga memungkinkan basil TB berkembang biak menyebabkan
timbulnya kembali penyakit TB, perilaku kebiasaan merokok dan meminum
alkohol, pengobatan TB yang terlalu pendek, dan kemungkinan resistensi obat.

Tn. Y didiagnosa sebagai TB relaps di PKM Cendrawasih secara


bakteriologis melalui pemeriksaan hasil sputum dengan disertai beberapa gejala
klasik TB. Menurut Ari Handoko dkk (2013) Gradasi Hasil Pemeriksaan Dahak
Kuman BTA yang ditemukan menegakkan diagnosis TB dan jumlah BTA yang
ditemukan menunjukkan beratnya penyakit. Gejala utama pasien TB paru adalah
batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala
tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan merupakan gejala
utama TB (Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2011).

Pasien saat ini rutin mengonsumsi OAT kategori 2 setalah tuntas


pengobatan OAT kategori 1 pada tahun 2017. Menurut Pedoman Nasional
Penyakit TB 2014, OAT kategori 2 diberikan kepada pasien TB yang kambuh,
gagal dengan pengobatan OAT kategori 1 dan putus obat. Pasien memilik riwayat
minum alkohol dan merokok sejak 30 tahun yang lalu yang merupakan factor risiko
terjadinya penyakit TB. Menurut pnelitian yang dilakukan oleh D. Sarkar dkk (2015)
alkohol dan merokok bisa dikaitkan dengan penyakit paru umumnya berhubungan
dengan infeksi seperti TB. Alkohol dan rokok akan mengganggu fungsi fungsi
ciliary pada saluran napas atas, lapisan sel epitel pada saluran napas bawah dan
sel imun itu sendiri (i.e alveolar macrophages and neutrophils). Kebiasaanya
kerosakan pada saluran napas oleh alkohol dan rokok tidak terdeteksi sehinggalah
terjadinya infeksi.

Pasien juga menyangkal adanya komorbid seperti diabetes mellitus dan


hipertensi. Menurut WHO (2019) pasien TB yang mempunyai komorbid diabetes
mellitus di Indonesia adalah sebesar 15.4% dan di dunia sebanyak 1,8 juta pasien
TB dengan komorbid DM meninggal pada tahun 2017. DM dikaitkan sebagai faktor
perburuk dan meningkatkan keparahan TB karena adanya defek pada sel-sel imun
dan mekanisme pertahanan penjamu ( N. Astri, 2015). Pasien tinggal di rumah
Bersama isterinya, 5 anak, isteri adek bongsu serta 2 peranakannya. Kondisi
rumah dan kawasan perumahan yang padat adalah faktor risiko terjadinya
penyakit TB. Menurut penelitian yang dijalankan oleh Pelissari, D. Maria dan F.
Alexander pada tahun 2017 di Brazil menunjukkan ada hubungan antara
kepadatan isi rumah dengan kasus kejadian TB. Tn. Y juga menyatakan
pencahayaan dan ventilasi di rumahnya kurang bagus dan berasa lembab.
Menurut D. Mariana dan M. Chairani (2017), Ventilasi dan pencahayaan pada
rumah memiliki fungsi untuk menjaga agar ruangan rumah selalu dalam
kelembaban yang optimum. elembaban ruangan yang tinggi akan menjadi
media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri
patogen termasuk kuman tuberkulosis.

Menurut Panduan Nasional TB 2014, sejalan dengan meningkatnya kasus


TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi
pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1)
Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2)
Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4)
Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5) Sistem monitoring
pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program.

Kesimpulan

Kasus tuberkulosis pada pasien Tn. Y (44 tahun) ini diberikan intervensi
berdasarkan literatur, menggunakan edukasi sebagai peranan yang paling penting
agar persepsi terhadap penyakitnya dipahami secara komprehensif. Tidak hanya
pasien sendiri, edukasi melibatkan seluruh anggota keluarga juga orang-orang di
lingkungan sekitar dalam upaya meningkatkan pengelolaan tuberkulosis dari
berbagai aspek dimulai dengan gaya hidup sihat sampai dengan pengawasan
konsumsi obat oral. Dorongan kepada pasien untuk sentiasa minum obat teratur dan
mengamalkan gaya hidup sehat sangat

Anda mungkin juga menyukai