Anda di halaman 1dari 48

LITERATURE REVIEW : HUBUNGAN HIPERTENSI DENGAN

TINGKAT KECEMASAN PADA LANSIA

PROPOSAL
Dianjurkan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Mencapai Sidang Proposal

Di susun Oleh :
Rati Apriani Bangun
NIM. AK.1.16.044

PROGAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

World Health Organization (2013). mengatakan populasi lansia meningkat sangat

cepat pada tahun 2020, diprediksi jumlah lansia sudah menyamai jumlah balita, karena

menurut data WHO sebelas persen dari 6,9 milyar penduduk dunia adalah lansia. Lansia

adalah salah satu kelompok yang mana kelompok atau populasi tersebut berisiko (population

at risk) yang semakin lama semakin meningkat jumlahnya.Jumlah lansia di dunia saat ini

diperkirakan sekitar 500 juta orang dengan usia rata-rata 60 tahun dan akan meningkat

ditahun 2025 menjadi 1,2 miliyar) (Allender,Rector,dan Warner,2014). Lansia merupakan

tahap akhir dari suatu proses kehidupan, UU No.13/Tahun 1998 yang menjelaskan tentang

kesejahtraan lansia disebutkan bahwa lansia adalah yang dimana seseorang berusia lebih dari

60 tahun (Dewi,2014). Proses penuaan sangat berdampak pada berbagai aspek kehidupan,

baik kesehatan, ekonomi, sosial. secara kesehatan, semakin bertambahnya umur seseorang

maka semakin rentan terjadi berbagai keluhan fisik contohnya seperti lansia, baik karena

faktor alamiah karena penurunan daya tahan fisik ataupun karena penyakit.

Secara ekonomi, lansia lebih dipandang sebagai beban potensi, karena dianggap

sudah tidak produktif dan hidupnya harus ditopang dengan generasi yang lebih muda. Serta

secara sosial, lansia sering di presepsikan ssecara negatif, dan sering dipandang tidak banyak

memberikan manfaat bagi keluarga dan masyarakat.(Infodatin, 2014, p,3).

Keluhan kesehatan yang paling tinggi yaitu keluhan dari penyakit yang merupakan

penyakit yang tidak menular, kronik, dan degeneratif menurut data Riskesdas (2013) dalam

Indofatin (2014, p.5) terdapat beberapa penyakit yang sering di derita lansia yang berusia 65-
74 tahun yaitu di antaranya Hipertensi (57,6%), Atritis (51,9%), Stroke (46,1%), Diabetes

Melitus (4,8%), Jantung Koroner (3,6%), Kanker (3,9 %), Batu Ginjal (1,2%). Dampak yang

terjadi dari berbagai penyakit tersebut, akan sangat mempengaruhi kehidupan lansia yang

menyebabkan kesejahteraan lansia menurun mengancam akan terjadinya cemas yang tinggi.

Lansia akan mengalami kemunduran sel – sel karena proses penuaan yang dapat

berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya berbagai macam penyakit

terutama penyakit degeneratif. Semakin meningkatnya jumlah lansia di Indonesia maka akan

dapat menimbulkan masalah yang cukup komplek baik itu fisik maupun psikososial, dan

yang paling banyak yang terjadi pada lansia adalah seperti kesepian, perasaan sedih, depresi,

dan kecemasan. Kecemasan atau ansietas ini adalah salah satu kegagalan dimana seseorang

sulit untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi fisiologis (Padila,2013).

Perubahan kondisi anatomis pada lansia sering terjadi peningkatan tekanan darah tinggi yaitu

dimana tekanan darah melebihi batas normal dan akan menimbulkan keluhan seperti

komplikasi jantung, otak, ginjal, pembuluh darah, atau organ-organ vital

lainnya(South,2014). Perubahan fungsi tubuh yang berhubungan dengan lansia adalah salah

satunya terjadi pada sistem kardiovaskuler. Perubahan sistem kardiovaskuler ini disebabkan

oleh penurunan elastisitas arteri dan kekakuan pada aorta, sehingga terjadi pengapuran dan

penyempitan di sepanjang pembuluh darah. akan memicu kerja jantung memompa lebih cepat

untuk memenuhi nutrisi sehingga terjadi hipertensi. (Subekti,2015).

Data WHO 2015 menunjukkan bahwa terdapat 1,13 miliar orang di dunia mendetita

penyakit hipertensi, yang dimana artinya 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis menderita

hipertensi. Dan setiap tahunnya di perkirakan ada 9,4 juta orang yang meninggal akibat

hipertensi. Menurut perkembangan yang terjadi saat ini penyakit hipertensi menjadi masalah

global karena prevalensinya terus mengalami peningkatan sejalan dengan perubahan gaya

hidup seperti merokok, obesitas (pola makan), aktivitas fisik. Jika dikelompokkan
berdasarkan umur (31,6%) terdapat pada di umur 31-44 tahun, umur 45-55 tahun (45,3%),

dan 55-64 tahun ke atas (55,2%) (Riskesdas 2018). Hipertensi adalah salah satu masalah

kesehatan yang cukup berbahaya di seluruh Dunia, karena hipertensi merupakan salah satu

faktor utama, yang akan mengarah kepada penyakit kardiovkaskuler seperti serangan jantung,

gagal jantung, yang dimana pada tahun 2016 penyakit jantung dan stroke menjadi dua

penyebab kematian utama yang terjadi di Dunia (WHO,2018). Berdasarkan data Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) di Indonesia hipertensi merupakan salah satu penyakit

tidak menular tertinggi, hal ini dibuktikan oleh peningkatan hipertensi berdasarkan hasil

pengukuran tekanan darah yaitu dari (25.8%) tahun 2013 menjadi (34,1%) pada tahun 2018.

Penyakit hipertensi salah satu penyakit yang paling sering dialami lansia, karna berhubungan

dengan terjadinya perubahan fungsi tubuh yang terjadi pada lansia, dan lansia akan

mengalami penyempitan pembuluh darah dan akan berpengaruh terhadap peningkatan kerja

jantung. Selain itu pada lansia tekanan darah juga bisa berubah karna gaya hidup sehingga

terjadi hipertensi.

Hipertensi atau biasa disebut juga dengan tekanan darah tinggi yaitu peningkatan

tekanan darah yang sistoliknya diatas batas normal yang lebih dari 140 mmHg dan tekanan

darah diastoliknya lebih dari 90 mmHg ( Ferri, 2017). (Das, 2010 dikutip dalam Sujatha &

Judhi,2014). Mengatakan hipertensi termasuk penyakit kronis penyakit ini tidak dapat

disembuhkan, penyakit hipertensi hanya mampu dicegah dan distabilkan dengan cara

memodif faktor yang akan menimbulkan terjadinya hipertensi. Oleh karena itu penyakit

hipertensi tidak hanya berpengaruh terhadap fisik saja, tetapi juga akan mempengaruhi

kondisi psikologis seseorang. Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi yaitu

faktor nutrisi, usia, genetik, kelamin, faktor pola hidup, psikologis (Bumi,2017).

Faktor nutrisi yaitu memodifikasi diet terbukti menurunkan tekanan datah pada

penderita hipetensi, prinsip yang dianjurkan adala dengan cara gizi harus seimbang yaitu
membatasi mengkonsumsi garam, gula, sayuran, buah, makanan rendah lemak jenuh. Faktor

usia adalah salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi yang tidak dapat diubah. Karena

semakin bertambahnya usia maka semakin besar risiko terjadinya hipertensi. Hal tersebut

tersebut terjadi karena adanya perubahan struktur pembuluh darah seperti penyempitan

lumen, serta dinding pembuluh darah menjadi kaku dan elastisitasnya berkurang sehingga

meningkatkan tekanan darah. Faktor genetik adalah salah satu faktor risiko terjadinya

hipertensi yang tidak bisa diubah. Resiko terkena hipertensi akan lebih tinggi dan lebih

mudah terjadi pada orang dengan keluarga yang punya riwayat hipertensi. Faktor jenis

kelamin yaitu salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi yang tidak dapat diubah. Laki-laki

cenderung lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan dengan perempuan . karena

adanya dugaan laki-laki banyak memiliki gaya hidup yang kurang sehat kalo dibandingkan

dengan perempuan. Akan tetapi, hipertensi pada perempuan akan terjadi peningkatan setelah

usia menopause. Faktor gaya hidup juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan lansia, jika

gaya hidup tidak sehat akan menyebabkan resiko terjadinya penyakit hipertensi, contohnya

seperti makanan, aktifitas fisik, merokok. Faktor psikologis yang berupa kecemasan sangat

mempengaruhi peningkatan tekanan darah, yang dimana akan terjadi kondisi emosional yang

tidak stabil juga dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan darah atau hipertensi. (Healthy

Tadulako Journal (adhar Arifuddin, A. Fahira Nur : 48-53).

Selain masalah fisik, hipertensi juga menyebabkan masalah psikiologis pada lansia,

dimana lansia merasa takut dan cemas akan penurunan fungsi tubuh karena penyakitnya,

yang menyebabkan keterbatasan fisik. (Subekti,2015). Penelitian oleh Kretchy et al., 2014

dan Liao et al., 2014 Mengemukakan bahwa penyakit hipertensi dapat menyebabkan

gangguan psikologis kecemasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah

adanya penyakit kronis yang mengidap seseorang, salah satu contohnya seperti penyakit

Hipertensi. Penyakit ini rawan terjadi pada lansia karena adanya penurunan fungsi organ,
oleh sebab itu lansia akan merasakan cemas dengan penyakit yang di deritanya (Kemenkes

RI,2013). Menurut (Triyanto,2014) Hipertensi jika tidak ditangani akan menyebabkan

dampak yang sangat buruk, adapun beberapa dampak hipertensi yaitu stroke, infark miokard,

gagal ginjal,dan ketidak mampuan jantung dalam memompa darah yang kebalinya ke jantung

dengan cepat. Sehingga jika tidak ditangani bisa menyebabkan kematian.

Dilihat dari fenomena hipertensi ini sangat rumit dan banyak di derita oleh lansia,

segala cara dan upaya dalam melakukan penanganan. Oleh sebab itu penanganan hipertensi

harus dilakukan secara optimal, tepat, dan efisien. sedikit menyerah dengan keadaan,

sehingga harapan untuk sembuh bagi mereka sangat kecil. Kondisi lansia yang mengalami

hepertensi dapat membaik dan dapat stabil kembali, akan tetapi faktor-faktor psikologis

lansia sangatlah berpengaruh pada proses penanganan hipertensi. Dan keterbatasan fisik yang

dialami lansia membuat lansia mengalami kecemasan karena berbagai penyakit yang

dideritanya tak kunjung sembuh bahkan semakin memburuk. Sehingga harapan lansia untuk

sembuh kembali sangatlah sedikit, hal seperti inilah pada akhirnya yang menyebabkan lansia

mengalami gangguan psikis seperti kecemasan.

Cemas merupakan suatu stresor atau pencetus stres sebagai stimulus yang akan

dipersepsikan oleh manusia sebagai suatu ancaman tantangan yang membutuhkan tenaga

ekstra untuk mempertahankan diri dari berbagai stresor itu salah satunya yaitu psikologis

(fisik) dimana fisik sering terganggu (muncul penyakit) dan akan memberi efek yang nyata

sebagai presipitasi terjadinya kecemasan (Donsu,2017). Tingkatan kecemasan dapat

dikelompokkan dalam beberapa tingkatan diantaranya yaitu kecemasan ringan (Mild anxiety),

kecemasan sedang (Moderate anxiety) dan kecemasan berat (Severe anxiety). Menurut

Hurclock (2013), tingkat kecemasan ringan dihubungkan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari yang menyebabkan seseorang lebih waspada serta meningkatkan ruang

persepsinya. Tingkat kecemasan sedang menjadikan seseorang untuk terfokus pada hal yang
dirasakan penting dengan mengesampingkanaspek hal yang lain, sehingga seseorang masuk

dalam kondisi perhatian yang selektif tetapi tetap dapat melakukan suatu hal tertentu dengan

lebih terarah. Tingkatan kecemasan berat dapat menyebabkan seseorang cenderung untuk

memusatkan pada sesuatu yang lebih terperinci, spesifik serta tidak dapat berpikir tentang

perihal lain.

Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang mengalami berbagai-bagai macam situasi,

perubahan situasi yang dirasakan seseorang dapat menimbulkan rasa khawatir, takut, gelisah,

dan rasa tidak tentram dari dalam diri maupun dari luar diri yang dinamakan kecemasan.

Kecemasan dapat terjadi kepada siapa saja, termasuk seseorang yang yang menghadapi suatu

masalah baru ataupun tantangan dalam kehidupan termasuk lansia. Dampak cemas yang

dialami lansia jika berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya penurunan aktifitas fisik

dan status fungsional menurun, presepsi tentang kesehatan yang buruk,menurunnya kepuasan

hidup dan kualitas hidup, serta meningkatnya kesepian(Tampi &Tampi,2014,p.2). Rasa

cemas seseorang dapat meningkat dan dapat juga menetap, meskipun tidak ada situasi yang

betul-betul mengancam, ketika terjadi kecemasan yang berlebihan, akan memiliki dampak

merugikan yang terjadi pada pikiran serta tubuh seseorang, sehingga akan menyebabkan

seseorang tidak peduli terhadap dirinya sendiri (Heningsih,2014). Jika hipertensi dibiarkan

berkepanjangan akan menyebabkan dampak buruk bagi lansia, yaitu bisa menyebabkan

komplikasi penyakit seperti stroke,gagal jantung, dan gagal ginjal dan jika tidak ditangani

dengan cepat bisa menyebabkan kematian, Jika lansia mengalami hipertensi penyakit ini

dapat menyebabkan gangguan psikologis pada lansia yaitu kecemasan. Menurut teori

Kretchy salah satu faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah karena adanya penyakit

kronis yang di derita seseorang, seperti penyakit hipertensi. Penyakit ini rawan terjadi pada

lansia karna penurunan fungsi organ, oleh sebab itu lansia akan merasakan cemas dengan

penyakit yang di deritanya(Penelitian oleh Kretchy et al., 2014 dan Liao et al., 2014).
Berdasarkan Fenomena tersebut bisa dilihat bahwa penyakit hipertensi dapat

menyebabkan dampak buruk hingga bisa berdampak fatal jika tidak ditangani. Meskipun

hipertensi tidak dapat kembali sembuh seperti normal, hipertensi bisa di stabilkan. Maka dari

itu perlu ditekan untuk menurunkan keparahan dari hipertensi, salah satu caranya yaitu

menekan atau memperbaiki salah satu faktor yang mempengaruhi hipertensi adalah faktor

psikologis yaitu rasa cemas.

Cemas pada lansia dengan hipertensi akan meningkatkan curah jantung dan resistensi

pembuluh darah perifer, maka akan menstimulasi kerja saraf simpatis, dan akan terjadi reaksi

di dalam tubuh, seperti meningkatnya ketegangan otot, denyut jantung meningkat, dan ketika

denyut jantung meningkat maka tekanan darah juga ikut meningkat ( Saputri,2010).

Sedangkan cemas secara umum pada lansia dapat menyebabkan penurunan aktifitas fisik,

status fungsional, penurunan sistem yang sangat berpengaruh meningkatkan tekanan darah

yang dapat menyebabkan hipertensi. Dan apabila cemas tidak ditangani dapat menyebabkan

tekanan darah semakin meningkat dan akan menyebabkan komplikasi penyakit seperti stroke,

gagal jantung, gagal ginjal, serta kematian akibat tekanan darah yang tinggi. Sehingga perlu

dikaji tingkat cemas pada lansia agar dapat ditangani secara dini.

Alasan peneliti mengangkat judul ini dari faktor psikologis yaitu cemas, karena dari

kesekian faktor psikologis masih bisa di tangani dengan perubahan seperti gaya hidup,

nutrisi, karena hipertensi penyakit seumur hidup, yang dimana jika seseorang sudah terkena

hipertensi tidak dapat disembuhkan secara normal hanya bisa di stabilkan. Meskipun lansia

penderita hipertensi melakukan pola hidup baik, nutrisinya baik, tetapi jika lansia terus-

menerus cemas dengan penyakit yang dideritanya maka akan terus memicu peningkatan

tekanan darah sehingga ditakutkan lansia akan mengalami peyakit komplikasi dari hipertensi

seperti stoke, gagal jantung dan bisa menyebabkan kematian . sehingga peneliti tertarik

mengangkat judul Hubungan Hipertensi dengan Tingkat Kecemasan Pada Lansia.


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka peneliti

merumuskan masalah Apakah ada Hubungan Hipertensi dengan Tingkat Kecemasan Pada

Lansia

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengidentifikasi Hubungan Hipertensi dengan Tingkat Kecemasan Pada Lansia

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi Hipertensi ditinjau dari kajian literatur

2. Mengidentifikasi Kecemasan ditinjau dari kajian literatur

3. Mengidentifikasi Hubungan Hipertensi dengan Tingkat kecemasan pada lansia

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Manfaat Bagi Keperawatan

Hasil literature review ini bisa digunakan sebagai acuan bagi para pemangku

kebijakan di dunia keperawatan dalam menentukan hubungan hipertensi dengan

tingkat kecemasan pada lansia.

2. Manfaat Bagi Peneliti Lain


Diharapkan hasil dari literature review ini dapat menjadi data dasar dan

referensi dalam mengembangkan penelitian yang terkait untuk mengetahui

hubungan hipertensi dengan tingkat kecemasan pada lansia.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Rumah Sakit melalui Kepala

Bidang Keperawatan diharapkan dapat menambah keilmuwan serta memperdalam

pengetahuan tentang penyakit hipertensi yang terjadi di masyarakat dan masukan

sebagai profesi dalam mengembangkan perencanaan keperawatan yang akan

dilakukan tentang kecemasan pada penderita hipertensi.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Landasan Teori

2.1 Konsep Lanjut Usia

Batasan lansia bervariasi sesuai yang dikemukakan oleh para ahli. Lansia adalah

dimana seseorang mengalami kegagalan untuk mempertahankan kondisi fisiologis,

kegagalan tersebut berkaitan dengan penurunan daya kemampuan hidup individu serta

kepekaan individu meningkat (Hawari, diku tip dalam Efendi &Makhfudli,2013,p.635).

Lansia merupakan tahap akhir dari suatu proses kehidupan, UU No.13/Tahun 1998 yang

menjelaskan tentang kesejahtraan lansia disebutkan bahwa lansia adalah yang dimana

seseorang berusia lebih dari 60 tahun (Dewi,2014) Lansia akan mengalami penurunan

dan perubahan fisik, psikologis, sosial dan saling berhubungan satu dengan yang lain,

sehingga lansia akan mengalami masalah fisik, psikologis, dan jiwa (Cabrera,2015).

Lansia juga dapat diartikan sebagai kegagalan atau menurunnya jaringan untuk

memperbaiki diri serta gagal dalam melakukan fungsi normalnya, oleh sebab itu tidak

akan dapat bertahan terhadap jejas (Darmojo,2015).

2.1.1Klasifikasi Lansia

World Health Organization (WHO,2013) mengatakan beberapa klasifikasi lansia

sebagai berikut:

1. Usia Pertengahan (middle age), kelompok usia 45-54 tahun.

2. Lansia (elderly), kelompok usia 55-65 tahun.

3. Lansia muda (young old), kelompok usia 66-74 tahun.

4. Lansia tua (old), kelompok usia 75-90 tahun.

5. Lansia sangat tua (very old), kelompok usia lebih dari 90 tahun.
2.1.2 Proses Penuaan

Proses penuaan adalah bertambahnya umur seseorang dan mengalami

perubahan. Penuaan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor salah satu contohnya

adalah faktor genetik yang melibatkan DNA dalam proses perbaikan respon stres

dan pertahanan antioksidan. Selanjutnya faktor lingkungan juga berpengaruh dalam

pemasukan kalori serta berbagai macam penyebabj stres dari luar, seperti radiasi

atau bahan –bahan kimiawi, kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi aktivitas

metabolisme maka terjadi kerusakan sel, sehingga akan terjadi proses penuaan

(Suryano,et.al,2016).

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penuaan

Menurut Miller (1995) dan Tamber, S dan noorkasiani (2009) faktor yang

mempengaruhi penuaan yaitu:

a. Psikologis

Dari aspek psikologis di kenal isu yang erat hubungannya dengan lansia dari teori

yang timbulnya depresi, gangguan kognitif, stres dan koping, serta komponyg h en

yang berperan adalah penyesuaian diri yang terdiri dari pembelajaran, memory,

perasaan, dan daya ingat.

b. Biologis

Manusia semakin lama dan semakin tua dan proses penuaannya bukan karna

evolusi tetapi karena terjadinya proses biologis di dalam tubuh.

c. Sosial

Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap proses penuaan, karna jika

lingkungan aman dan bebas dari penyakit maka akan meningkatkan status

kesehatan.
d. Nutrisi dan makanan

e. Stres

f. Hereditas atau ketuaan genetic

2.1.4 Perubahan-perubahan yang Terjadi Pada lansia

Semakin bertambahnya umur setiap orang maka akan terjadi proses

penuaan secara degeneratif yang dampaknya kan terliha pada perubahan diri

seseorang, tidak hanya perubahan fifik saja, tetapi juga perubahan

kognitif,perasaan, sosial, dan seksual (Kholifah,2016).

a. Perubahan Fisik

1. Lasnsia akan mengalami gangguan sistem pendengaran, perubahan

hilangnay daya pendengaran telinga dalam. Terutama ketika

mendengar bunyi nada-nada yang tinggi, suara yg tidak jelas, dan

sangat sulit mengerti kata-kata. 50% terjadi pada usia diatas umur 65

tahun.

2. Perubahan sistem penglihatan pada lansia hilangnya respon terhadap

sinar, karna kornea lansia lebih terbentuk spesies, lensa juga lebih

seuram sehingga menjadi katarak yang memyebabkan terjadinya

gangguan penglihatan. Akibat menurunnya sistem pendengaran dan

penglihatan akan mempengaruhi persepsi lansia karena tidak bisa

membedakan objek yang dilihatnya sehingga lansia merasa tidak

berguna dengan kondisi yang dialaminya.

b. Perubahan mental
Gejala-gejala memory suka di kaitkan dengan keadaan yang

disebut pikun tua. Terkadang disebut juga kerusakan memory berkenan

dengan usia atau penurunan kognitif dengan proses menua.

c. Perubahan psikososial

Identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan biasanya orang

yang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan finansial,

status, teman, dan pekerjaan. Biasanya lansia lebih mementingkan seperti

kematian itu sendiri serta kematian dirinya.ketika kondisi kesehatan lansia

memburuk mreka lansung akan memikirkan masalah kematian dan

mentalnya juga akan semakin memburuk. Berbeda dengan orang yang

lebih muda,kematian bagi mereka tampaknya masih jauh dan kurang

memikirkan tentang kematian.

d. Perubahan psikologis

Perubahan psikologis yang dialami lansia adalah mengenai sikap

mereka dalam menghadapi proses menua yang mereka alami. Pada lansia

yg realistik dapat menyesuaikan terhadap lingkungan yang baru, karna

sudah lanjut usia, mereka juga seringkali dianggap terlalu lamban dan

reaksi mereka juga dianggap lamban serta bertindak dan berpikir yang

menurun, akibat dari daya ingat lansia menurun dan dan lupa sampai pikun

dan dimensia. Ada beberapa hal yang berpengaru terhadap psikologis

lansia yaitu: kognisi, moral dan konsep diri. Kognisi adalah proses input

sensori yang di transformasikan dan didapatkan kembali seperti persepsi,

berfikir, dan memory semua dapat dipengaruhi oleh perubahan pada

lansia. Moral adalah kepuasan hidup dan kebahagiaan hidup seseorang,ini


termasuk komponen dari emosional dari perilaku lansia itu sendiri sebagai

gambaran dari perasaanya di masa lampau. Dan penuaan tidak selalu dapat

disimpulkan bahwa penambahan usia dapat diterangkan dengan perubahan

kepuasan hidup, moral, kebahagiaan atau stres psikologis. Konsep diri

suka dikaitkan dengan prilaku lansia, yang biasanya bertambahnya umur

lansia cenderung menarik diri, selalu ingin menceritakan pengalaman

hidup yang sudah mereka alami, tetapi kebanyakan keluarga

menganggapnya cerewet dan menghindari lansia, sehingga lansia merasa

tidak dianggap, oleh sebab itu lansia menjadi pendiam dan menarik diri,

presepsi seperti ini biasanya mencangkup perubahan fisik, psikologis, dan

psikososial.

2.2 Konaep Hipertensi

Hipertensi adalah salah satu masalah kesehatan yang cukup berbahaya di

seluruh Dunia, karena hipertensi merupakan salah satu faktor utama, yang akan

mengarah kepada penyakit kardiovkaskuler seperti serangan jantung, gagal jantung,

yang dimana pada tahun 2016 penyakit jantung dan stroke menjadi dua penyebab

kematian utama yang terjadi di Dunia (WHO,2018). Hipertensi merupakan gangguan

yang terjadi pada sistem peredaran darah dan ini sering terjadi pada lansia, dengan

keadaan dimana tekanan darah sistolik berada diatas 150 MmHg dan tekanan darah

diastoliknya lebih dari 90 MmHg, Tetapi tekanan darah sistolik 150-155 masih

dikatakan normal pada lansia (Sudarta,2013)

2.2.1 Klasifikasi Hipertensi


Berdasarkan Klasifikasi derajat hipertensi yang diutarakan oleh

(Smeltzer, et, al. 2012) terdapat empat derajat klasifikasi tekanan darah sistolik

dan diastolik yaitu sebagai berikut!

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah

Darah (Mmhg) Diastolik (MmHg)

Normal < 120 < 80

Prahipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stadium 1 140-159 90-99

Hipertensi stadium 2 > 160 > 100

Klasifikasi derajat tekanan darah berdasakan WHO

Kategori Sistol Diastol

Optimal < 120 < 80

Normal < 130 < 85

Normal – tinggi 130 – 139 85 – 89

Tingkat 1 (hipertensi ringan) 140 – 159 90 – 99

Sub grup: perbatasan 140 – 149 90 – 94

Tingkat 2 (hipertensi sedang) 160 – 179 100 – 109

Tingkat 3 (hipertensi berat) ≥ 180 ≥ 110

Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90

Sub-gruo: perbatasan 140 – 149 < 90

2.2.2 Jenis- Jenis Hipertensi


Hipertensi terbagi menjadi 2 jenis yakni hipertensi primer (esensial ) dan

hipertensi sekunder. Adapun perbedaannya adalah (Ramdhani, 2014):

a. Hipertensi primer

Hipertensi primer disebut juga sebagai hipertensi idiopatik karena

hipertensi ini memiliki penyebab yang belum diketahui. Penyebab yang belum

jelas atau belum diketahui tersebut sering dihubungkan dengan faktor gaya

hidup yang kurang sehat. Hipertensi primer merupakan hipertensi yang paling

banyak terjadi ,yaitu sekitar 90 % dari kejadian hipertensi (Bumi, 2017).

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyakit

lain seperti penyakit ginjal, kelainan hormonal, atau penggunaan obat tertentu

(Bumi 2017). Kondisi lain yang mempengaruhi ginjal, arteri , jantung, atau

system endokrin menyebabkan 5-10 % kasus lainnya (hipertensi

sekunder).Beberapa tanda dan gejala tambahan dapat menunjukkan hipertensi

sekunder, yaitu hipertensi akibat penyebab yang jelas seperti penyakit ginjal

atau penyakit endokrin. Contohnya obesitas pada dada dan perut , intoleransi

glukosa , wajah bulat seperti bulan , punuk kerbau. Penyakit tiroid dan

akromegali juga dapat menyebabkan hipertensi dan mempunyai gejala dan

tanda yang khas. Besar perut mungkin mengidikasikan stenosis arteri renalis

( Penyempitan arteri yang mengedarkan darah ke ginjal) (Ramdhani, 2014).

2.2.3 Etiologi Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan(Aspiani,

2014) :

a. Hipertensi primer atau hipertensi esensial


Hipertensi primer atau hipertensi esensial disebut juga hipertensi

idiopatik karena tidak diketahui penyebabnya. Faktor yang memengaruhi yaitu

: (Aspiani, 2014).

1. Genetik

Individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi,

beresiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini. Faktor genetik ini

tidak dapat dikendalikan, jika memiliki riwayat keluarga yang memliki

tekanan darah tinggi.

2) Jenis kelamin dan usia

Laki - laki berusia 35- 50 tahun dan wanita menopause beresiko tinggi

untuk mengalami hipertensi. Jika usia bertambah maka tekanan darah

meningkat faktor ini tidak dapat dikendalikan serta jenis kelamin laki–

laki lebih tinggi dari pada perempuan.

3) Diet

Konsumsi diet tinggi garam secara langsung berhubungan dengan

berkembangnya hipertensi. Faktor ini bisa dikendalikan oleh penderita

dengan mengurangi konsumsinya, jika garam yang dikonsumsi

berlebihan, ginjal yang bertugas untuk mengolah garam akan menahan

cairan lebih banyak dari pada yang seharusnya didalam tubuh.

Banyaknya cairan yang tertahan menyebabkan peningkatan pada

volume darah. Beban ekstra yang dibawa oleh pembuluh darah inilah

yang menyebabkan pembuluh darah bekerja ekstra yakni adanya

peningkatan tekanan darah didalam dinding pembuluh darah dan

menyebabkan tekanan darah meningkat.

4) Berat badan
Faktor ini dapat dikendalikan dimana bisa menjaga berat badan dalam

keadaan normal atau ideal. Obesitas (>25% diatas BB ideal) dikaitkan

dengan berkembangnya peningkatan tekanan darah atau hipertensi.

5. Gaya hidup

Faktor ini dapat dikendalikan dengan pasien hidup dengan pola hidup

sehat dengan menghindari faktor pemicu hipertensi yaitu merokok,

dengan merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap dalam

waktu sehari dan dapat menghabiskan berapa putung rokok dan lama

merokok berpengaruh dengan tekanan darah pasien. Konsumsi alkohol

yang sering, atau berlebihan dan terus menerus dapat meningkatkan

tekanan darah pasien sebaiknya jika memiliki tekanan darah tinggi

pasien diminta untuk menghindari alkohol agar tekanan darah pasien

dalam batas stabil dan pelihara gaya hidup sehat penting agar terhindar

dari komplikasi yang bisa terjadi.

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder terjadiakibat penyebab yang jelas.salah satu

contoh hipertensi sekunder adalah hipertensi vaskular rena, yang terjadiakibat

stenosi arteri renalis. Kelainan ini dapat bersifat kongenital atau akibat

aterosklerosis.stenosis arteri renalis menurunkan aliran darah ke

ginjalsehingga terjadi pengaktifan baroreseptor ginjal, perangsangan pelepasn

renin, dan pembentukan angiostenin II. Angiostenin II secara langsung

meningkatkan tekanan darahdan secara tidak langsung meningkatkan sintesis

andosteron danreabsorbsi natrium. Apabiladapat dilakukan perbaikan pada

stenosis,atau apabila ginjal yang terkena diangkat,tekanan darah akan

kembalike normal (Aspiani, 2014).


2.3.4 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang biasa ditimbulkan pada penderita hipertensi menurut

Nurarif dan Kusuma (2013) adalah :

a. Tidak ada gejala

Tekanan darah yang tinggi namun penderita tidak merasakan

perubahan kondisi tubuh, seringkali hal ini mengakibatkan banyak

penderita hipertensi mengabaikan kondisinya karna memang gejala

yang tidak dirasakan.

b. Gejala yang lazim

Gejala yang lazim menyertai hipertensi adalah nyeri kepala dan

kelelahan. Beberapa pasien memerlukan pertolongan medis karena

mereka mengeluh skit kepala, pusing, lemas, kelelahan, sesak nafas,

gelisah, mual, muntah, epistaksis, kesadaran menurun. Hipertensi yang

menaun dan tergolong hipertensi berat biasanya akan menimbulkan

keluhan yang sangan nampak yaitu : sakit kepala, kelelahan, mual,

muntah, sesak nafas, nafas pendek (terengah-engah), gelisah,

pandangan mata kabur dan berkunang-kunang, emosional, telinga

berdengung, sulit tidur, tengkuk terasa berat, nyeri kepala bagian

belakang dan didada, otot lemah, terjadi pembengkakan pada kaki dan

pergelangan kaki, keringat berlebih, denyut jantung cepat.

2.3.5 Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak pada pusat vasomotor pada medulla di otak. Dari vasomotor tersebut
bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar

dari kolumna medulla spinalis ke ganglia simpatis di thorak dan abdomen.

Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak

kebawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini,

neuron preganglion melepaskan asetikolin yang akan merangsang serabut saraf

pasca ganglion ke pembuluh darah. Dengan dilepaskannya norepineprin akan

mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan

dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang

vasokontriktor (Ramdhani, 2014). Seseorang dengan hipertensi sangat sensitive

terhadap norepinefrin. Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis

merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal

juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula

adrenal mensekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal

mensekresi kortisol dan steroid linnya, yang dapat memperkuat respon

vasokontriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan

aliran darah ke ginjal menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang

pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II yang

menyebabkan adanya sutu vasokontriktor yang kuat. Hal ini merangsang sekresi

aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan

air oleh tubulus ginjal yang mengakibatkan volume intravaskuler. Semua faktor

tersebut cenderung menyebabkan hipertensi. Pada lansia, perubahan struktur

dan fungsi pada system pembuluh perifer bertanggung jawab pada perubahan

tekanan darah yang terjadi. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,

hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos

pembuluh darah yang akan menurunkan kemampuan distensi daya regang


pembuluh darah. Hal tersebut menyebabkan aorta dan arteri besar berkurang

kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh

jantung ( volume sekuncup ) sehingga terjadi penurunan curah jantung dan

peningkatan tahanan perifer (Ramdhani, 2014).

2.2.6 Mekanisme Hipertensi

Beberapa literatur lain menyatakan bahwa mekanisme terjadinya hipertensi

adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I

converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur

tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati.

Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi

angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi

angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan

tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi

hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar

pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin.

Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh

(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk

mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara

menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang

pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi

sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang

memiliki peranan penting pada ginjal Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,

aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari

tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan

volume dan tekanan darah (Femmy, 2011).

2.2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hipertensi

Hipertensi dapat dipicu oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang memiliki

potensi menimbulkan masalah atau kerugian kesehatan biasa disebut faktor risiko.

Pada kejadian hipertensi, faktor risiko dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor

risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah. (Bumi, 2017)

Faktor risiko kejadian hipertensi yang tidak dapat diubah terdiri dari usia, jenis

kelamin, dan keturunan (genetik) (Bumi, 2017).

a. Usia

Usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi yang tidak dapat

diubah. Pada umumnya, semakin bertambahnya usia maka semakin besar pula risiko

terjadinya hipertensi. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan struktur pembuluh

darah seperti penyempitan lumen, serta dinding pembuluh darah menjadi kaku dan

elastisitasnya berkurang sehingga meningkatkan tekanan darah. Menurut beberapa

penelitian, terdapat kecenderungan bahwa pria dengan usia dari 45 tahun lebih rentan

mengalami peningkatan tekanan darah, sedangkan wanita cenderung mengalami

peningkatan tekanan darah pada usia di atas 55 tahun.

c. Merokok

Merokok juga dapat menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya hipertensi.

Merokok dapat menyebabkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai

ke otot jantung mengalami peningkatan. Bagi penderita yang memiliki aterosklerosis

atau penumpukan lemak pada pembuluh darah, merokok dapat memperparah kejadian

hipertensi dan berpotensi pada penyakit generative lain seperti stroke dan penyakit

jantung. Rokok mengandung berbagai zat berbahaya seperti Nikotin misalnya ,zat ini
dapat diserap oleh pembuluh darah kemudian diedarkan melalui aliran darah ke

seluruh tubuh, termasuk otak . Akibatnya otak akan berekasi dengan memberikan

sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin. Hormon inilah yang akan

mengalami penyempitan. Penyempitan pembuluh darah otak akan memaksa jantung

untuk bekerja lebih berat sehingga bisa terjadi stroke. Selain itu, karbonmonoksida

yang terdapat dalam rokok diketahui dapat mengikat hemoglobin dalam darah dan

mengentalkan darah. Hemoglobin sendiri merupakan protein yang mengandung zat

besi dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut oksigen. Dalam hal ini

karbonmonoksida menggantikan ikatan oksigen dalam darah sehingga memaksa

jantung memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup dalam organ dan jaringan

tubuh. Hal inilah yang dapat meningkatkan tekanan darah.

e. Keturunan

Keturunan atau genetic juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

hipertensi yang tidak dapat diubah. Risiko terkena hipertensi akan lebih tinggi pada

orang dengan keluarga dekat yang memiliki riwayat hipertensi. Selain itu, faktor

keturunan juga dapat berkaitan dengan metabolism pengaturan garam (NaCl) dan

rennin membrane sel.

f. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi yang

tidak dapat diubah. Dalam hal ini, pria cenderung lebih banyak menderita hipertensi

dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut terjadi karena adanya dugaan bahwa pria

memiliki gaya hidup yang kurang sehat jika dibandingkan dengan wanita. Akan

tetapi, prevalensi hipertensi pada wanita mengalami peningkatan setelah memasuki

usia menopause. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perubahan hormonal yang

dialami wanita yang telah menopause.


1. Faktor risiko yang tidak dapat di ubah

Faktor risiko yang melekat pada penderita hipertensi dan tidak dapat di rubah

antara lain (Sutomo, 2016)

1) Umur

2) Jenis Kelamin

3) Genetik

2. Faktor risiko yang dapat diubah

Faktor risiko yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari penderita hipertensi

antara lain (Sutomo, 2016)

1) Merokok dan konsumsi alkohol

2) Diet rendah serat

3) Konsumsi garam berlebih

4) Kurang aktivitas fisik

5) Berat badan berlebih atau kegemukan

6) Dyslipidemia

7) Stress

2.2.9 Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan nonfarmakologis dengan modifikasi gaya hidup sangat penting

dalam mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan mengobati tekanan darah tinggi , berbagai macam cara memodifikasi gaya

hidup untuk menurunkan tekanan darah yaitu : (Aspiani, 2014)

1. Rendah garam, diet rendah garam dapat menurunkan tekanan darah pada klien

hipertensi. Dengan pengurangan konsumsi garam dapat mengurangi stimulasi

sistem renin- angiostensin sehingga sangata berpotensi sebagai anti hipertensi.


Jumlah asupan natrium yang dianjurkan 50-100 mmol atau setara dengan 3-6

gram garam per hari.

2. Diet tinggi kalium, dapat menurunkantekanan darah tetapi mekanismenya

belum jelas. Pemberian kalium secara intravena dapat menyebabkan

vasodilatasi, yang dipercaya dimediasi oleh oksidanitat pada dinding vaskular.

Penurunan berat badan

3. Mengatasi obesitas, pada sebagian orang dengan cara menurunkan berat badan

mengurangi tekanan darah, kemungkinan dengan mengurangi beban kerja

jantung dan voume sekuncup. Pada beberapa studi menunjukan bahwa

obesitas berhubungan dengan kejadian hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.

Jadi, penurunan berat badan adalah hal yangs angat efektif untuk menurunkan

tekanan darah.

4. Olahraga teratur seperti berjalan, lari, berenang, bersepeda bermanfaat untuk

menurunkan tekanan darah dan memperbaiki kedaan jantung.. olahraga

isotonik dapat juga meningkatkan fungsi endotel, vasoldilatasin perifer, dan

mengurangi katekolamin plasma. Olahraga teratur selama 30 menit sebanyak

3-4 kali dalam satu minggu sangat dianjurkan untuk menurunkan tekanan

darah. Olahraga meningkatkan kadar HDL, yang dapat mengurangi

terbentuknya arterosklerosis akibat hipertensi.

5. Memeperbaiki gaya hidup yang kurang sehat dengan cara berhenti merokok

dan tidak mengkonsumsi alkohol, penting untuk mengurangi efek jangka

oanjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke

berbagai organ dan dapat meningkatkan kerja jantung.

b.Terapi farmakologis
1. Diuretik merupakan anti hipertensi yang merangsang pengeluaran garam dan

air. Dengan mengonsumsi diuretik akan terjadi pengurangan jumlah cairan

dalam pembuluh darah dan menurunkan tekanan pada dinding pembuluh

darah.

2. Beta bloker dapat mengurangi kecepatan jantung dalam memompa darah dan

mengurangi jumlah darah yang dipompa oleh jantung.

3. ACE-inhibitor dapat mencegah penyempitan dinding pembuluh darah

sehingga bisa mengurangi tekanan pada pembuluh darah dan menurunkan

tekanan darah.

4. Ca bloker dapat mengurangi kecepatan jantung dan merelaksasikan pembuluh

darah.

2.2.10 Komplikasi

Tekanan darah tinggi bila tidak segera diobati atau ditanggulangi, dalam

jangka panjang akan menyebabkan kerusakan ateri didalam tubuh sampai organ yang

mendapat suplai darah dari arteri tersebut.

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita hipertensi yaitu : (Aspiani, 2014)

a. Stroke terjadi akibat hemoragi disebabkan oleh tekanan darah tinggi di

otak dan akibat embolus yang terlepas dari pembuluh selain otak yang

terpajan tekanan darah tinggi.

b. Infark miokard dapat terjadi bila arteri koroner yang arterosklerotik

tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium dan apabila

membentuk 12 trombus yang bisa memperlambat aliran darah


melewati pembuluh darah. Hipertensi kronis dan hipertrofi ventrikel,

kebutuhan infark. Sedangkan hipertrofi ventrikel dapat menyebabkan

perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel terjadilah

disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan

bekuan.

c. Gagal jantung dapat disebabkan oleh peningkatan darah tinggi.

Penderita hipertensi, beban kerja jantung akan meningkat, otot jantung

akan mengendor dan berkurang elastisitasnya, disebut dekompensasi.

Akibatnya jantung tidak mampu lagi memompa, banyak cairan

tertahan diparu yang dapat menyebabkan sesak nafas (eudema) kondisi

ini disebut gagal jantung.

d. d. Ginjal tekanan darah tinggi bisa menyebabkan kerusakan ginjal.

Merusak sistem penyaringan dalam ginjal akibat ginjal tidak dapat

membuat zat-zat yang tidak dibutuhkan tubuh yang masuk melalui

aliran darah dan terjadi penumpukan dalam tubuh.

2.3 Konsep Kecemasan

2.3.1 Definisi Kecemasan

Cemas merupakan suatu stresor atau pencetus stres sebagai stimulus yang

akan dipersepsikan oleh manusia sebagai suatu ancaman tantangan yang

membutuhkan tenaga ekstra untuk mempertahankan diri dari berbagai stresor itu

salah satunya yaitu psikologis (fisik) dimana fisik sering terganggu (muncul

penyakit) dan akan memberi efek yang nyata sebagai presipitasi terjadinya

kecemasan (Donsu,2017).
Ansietas adalah suatu perasaan takut akan terjadinya sesuatu yang disebabkan

oleh antisipasi bahaya dan merupakan sinyal yang membantu individu untuk

bersiap mengambil tindakan menghadapi ancaman. Pengaruh tuntutan, persaingan,

serta bencana yang terjadi dalam kehidupan dapat membawa dampak terhadap

kesehatan fisik dan psikologi. Salah satu dampak psikologis yaitu ansietas atau

kecemasan (Sutejo, 2018).

2.3.2 Jenis-jenis Kecemasan

Jenis-jenis kecemasan menurut Zaviera (2016), diantaranya yaitu

1. Kecemasan obyektif (Realistics) ialah jenis kecemasan yang berorientasi pada

aspek bahaya – bahaya dari luar seperti misalnya melihat atau mendengar

sesuatu yang dapat berakibat buruk.

2. Kecemasan neurosis adalah suatu bentuk jenis kecemasan yangapabila insting

pada panca indera tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan seseorang

berbuat sesuatu yang dapat dikenakan sanksi hukum.

3. Kecemasan moral adalah jenis kecemasan yang timbul dari perasaan sanubari

terhadap perasaan berdosa apabila seseorang melakukan sesuatu yang salah.

2. 3.3 Etiologi

Ada beberapa factor yang mempengaruhi kecemasan, (Donsu, 2017) adalah

sebagai berikut :

1. Faktor Predisposisi

 Biologi

Suatu model biologis yang menerangkan bahwa ekspresi emosi yang

melibatkan struktur anatomi dalam otak. Dan aspek biologis ini yang

menerangkan adanya pengaruh neutransmiter yang dapat menyebabkan

kecemasan. Dikatakan bahwa ada 3 jenis neurotransmiten yang berhubungan


dengan anatomi otak yang dapat mempengaruhi kecemasan adalah

norepineprin, serotonin dan gamma-aminobutyric acid (GABA).

 Psikologis

Stuart & Laraia (2005) yang dikutip dalam Donsu (2017) mengatakan

bahwa factor psikologis yang mempengaruhi kecemasan adalah konflik

emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego.

Sedangkan menurut Suliswati, et al., (2005) oleh Donsu (2017) menjelaskan

bahwa ketegangan dalam kehidupan yang dapat menimbulkan ansietas

diantaranya adalah suatu tragedi yang membuat trauma baik krisis

perkembangan maupun situasional seperti terjadinya bencana, konflik

emosional individu yang terselesaikan dengan baik serta mengalami konsep

diri yang terganggu.

 Sosial Budaya

Adanya riwayat gangguan ansietas dalam keluarga yang

mempengaruhi respon individu dalam bereaksi terhadap konflik dan

bagaimana cara mengatasi kecemasan. Dikatakan bahwa factor -faktor yang

mempengaruhi terjadinya kecemasan adalah social budaya, potensi stress,

serta lingkungan.

2.3.4 Gejala Kecemasan

Menurut Sutejo (2018), tanda dan gejala pasien dengan ansietas adalah

cemas, khawatir, firaat buruk, takut akan pikirannya sendiri serta mudah

tersinggung, pasien merasa tegang, tidak tenang, gelisah dan mudah terkejut,

pasien mengatakan takut bila sendiri atau pada keramaian dan banyak orang,

mengalami gangguan pola tidur dan disertai mimpi yang menegangkan.


2.3.4 Tingkat Kecemasan

Tingkatan kecemasan dapat dikelompokkan dalam beberapa

tingkatan diantaranya yaitu kecemasan ringan (Mild anxiety), kecemasan sedang

(Moderate anxiety) dan kecemasan berat (Severe anxiety).

Menurut Hurclock (2013), tingkat kecemasan ringan dihubungkan

dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari yang menyebabkan seseorang

lebih waspada serta meningkatkan ruang persepsinya.

 Tingkat kecemasan sedang menjadikan seseorang untuk terfokus pada

hal yang dirasakan penting dengan mengesampingkanaspek hal yang

lain, sehingga seseorang masuk dalam kondisi perhatian yang selektif

tetapi tetap dapat melakukan suatu hal tertentu dengan lebih terarah.

 Tingkatan kecemasan berat dapat menyebabkan seseorang cenderung

untuk memusatkan pada sesuatu yang lebih terperinci, spesifik serta

tidak dapat berpikir tentang perihal lain serta akan memerlukan banyak

pengarahan agar dapat memusatkan perhatian pada suatu objek yang

lain.

 Panik adalah Individu kehilangan kendali diri dan detil perhatian

hilang. Karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan

apapun meskipun dengan perintah. Terjadi peningkatan aktivitas

motorik, berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain,

penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu

berfungsi secara efektif. Biasanya disertai dengan disorganisasi

kepribadian.
2.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Blacburn & Davidson (dalam Triantoro Safaria & Nofrans Eka

Saputra, 2012: 51) menjelaskan faktor-faktor yang menimbulakan kecemasan,

seperti pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai situasi yang sedang

dirasakannya, apakah situasi tersebut mengancam atau tidak memberikan

ancaman, serta adanya pengetahuan mengenai kemampuan diri untuk

mengendalikan dirinya (seperti keadaan emosi serta fokus

kepermasalahannya). Kemudian Adler dan Rodman (dalam M. Nur Ghufron

& Rini Risnawita, S, 2014: 145- 146) menyatakan terdapat dua faktor yang

dapat menimbulkan kecemasan, yaitu.

a. Kegagalan ketastropik, yaitu adanya asumsi dari individu bahwa sesuatu

yang buruk akan terjadi pada dirinya. Individu mengalami kecemasan serta

perasaan ketidakmampuan dan ketidaksanggupan dalam mengatasi

permaslaahannya.

b. Kesempurnaan, individu mengharapkan kepada dirinya untuk berperilaku

sempurna dan tidak memiliki cacat. Individu menjadikan ukuran

kesempurnaan sebagai sebuah target dan sumber yang dapat memberikan

inspirasi.

c. Generalisasi yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang berlebihan, ini terjadi

pada orang yang memiliki sedikit pengalaman.

d. Status Kesehatan

e. Faktor Pekerjaan

f. Dukungan Keluarga dan sosial

2.3.6 Faktor Pencetus terjadinya Kecemasan


Digambarkan oleh Stuart & Laraia (2005), yang dikutip dalam Donsu

(2017) bahwa stresor pencetus sebagai stimulant yang dipersepsikan oleh

individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan tenaga

ekstra untuk mempertahankan diri. Faktor pencetus ini bisa dari internal

maupun eksternal yaitu :

1) Biologi ( fisik )

Gangguan kesehatan pada tubuh merupakan suatu keadaan yang

terganggu secara fisik oleh penyakit maupun secara fungsional berupa aktifitas

sehari-hari yang menurun. Menurut Stuart & Laraia (2005) oleh Donsu (2017)

mengutip dalam bukunya mengatakan bahwa kesehatan umum seseorang akan

memiliki efek yang nyata sebagai presipitasi terjadinya kecemasan. Apabila

seseorang sudah mengalami gangguan pada kesehatan akan berakibat pada

kemampuan seseorang dalam mengatasi ancaman berupa penyakit (gangguan

fisik) akan menurun.

2) Psikologis

Suatu ancaman eksternal yang berhubungan dengan kondisi psikologis

dan dapat menyebabkan suatu keadaan kecemasan seperti kematian,

perceraian, dilema etik, pindah kerja sedangkan ancaman internal yang terkait

dengan kondisi psikologis yang dapat menyebabkan kecemasan seseorang

seperti gangguan hubungan interpersonal dalam rumah tangga, menerima

peran yang baru dalam berkeluarga sebagai istri, suami atau sebagai ibu baru.

3) Sosial Budaya

Status sosial ekonomi seseorang dapat juga mempengaruhi timbulnya

stress yang akan berakibat terjadinya kecemasan. Seseorang dengan status

ekonomi yang kuat akan susah mengalami stress dibandingkan dengan orang
yang mempunyai status ekonomi yang rendah. Secara tidak langsung akan

mempengaruhi seseorang akan mengalami kecemasan dan pergaulan sosial

pun akan ikut terganggu

2.3.7 Respon Kecemasan

Respon tubuh secara umum pada gangguan kecemasan adalah Jantung

berdebar, berkeringat (sweating), insomnia/kelelahan peningkatan frekuensi

BAB atau Diare, Ketegangan otot Sakit kepala, serta merasa tidak berdaya

(Nasir & Muhit 2011).

2.3.8 Dampak kecemasan

Beberapa dampak dari kecemasan kedalam beberapa simtom, antara

lain :

1. Simtom suasana hati

Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya

hukuman dan bencana

yang mengancam dari suatu sumber tertentu yang tidak diketahui. Orang yang

mengalami kecemasan tidak bisa tidur, dan dengan demikian dapat

menyebabkan sifat mudah marah.

2. Simtom kognitif

Kecemasan dapat menyebabkan kekhawatiran dan keprihatinan pada individu

mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi. Individu

tersebut tidak memperhatikan

masalah-masalah real yang ada, sehingga individu sering tidak bekerja atau

belajar secara efektif, dan akhirnya dia akan menjadi lebih merasa cemas.

Simtom motorik
Orang-orang yang mengalami kecemasan sering merasa tidak tenang, gugup,

kegiatanmotorik menjadi tanpa arti dan tujuan, misalnya jari-jari kaki

mengetuk-ngetuk, dan sangatkaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba.

3. Simtom motorik merupakan gambaranrangsangan kognitif yang tinggi pada

individu dan merupakan usaha untuk melindungidirinya dari apa saja yang

dirasaya mengancam (Pieter, Janiwarti& Saragih, 2011).

2.3.9 Alat Ukur Tingkat Kecemasan

`Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemmasan seseorang dapat

menggunakan beberapa alat ukur (instrumen). Utomo (2015) menyebutkan

alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan seseorang

antara lain :

a. Visual Analoge Scale for Anxiety (VAS-A)

VAS didasarkan pada skala 100 mm berupa garis horisontal,

dimana ujung sebelah kiri menunjukkan tidak ada kecemasan

dan ujung sebelah kanan menandakan kecemasan maksimal .

Skala VAS dalam bentuk horisontal terbukti menghasilkan

distribusi yang lebih seragam dan lebih sensitif (William et al,

2010). Responden diminta memberi tanda pada sebuah garis

horisontal tersebut kemudian dilakukan penelitian.

b. Hamilton Rating Scale for Anxiety

HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety), yang terdiri atas

14 gejala yaitu perasaan cemas, ketegangan, ketakutan,

gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala

otot, gejala sensori, gejala kardiovaskuler, gelajala respirasi,


gejala gastrointestinal,gejala urogenital, gejala otonom, tingkah

laku. Cara penilaian HRS-A dengan sistem skoring yaitu:

Skror 0 = tidak ada gejala

Skor 1 = ringan (satu gejala)

Skor 2 = sedang (dua gejala)

Skor 3 = berat ( lebih dari dua gejala)

Skor 4 = sangat berat (semua gejala)

Bila skor < 14 = tidak ada kecemasan, skor 14-20 = cemas

ringan, skor 21-27 = cemas sedang, skor 28-41 = cemas berat,

skor 42-56 = panik.

c. Visual Numeric Rating Scale og Anxiety (VNRS-A)

Pasien diminta menyatakan menggambarkan seberapa besar

kecemasan yang dirasakan VNRS-A menggunakan skala dari

angka 0 (nol) sampai 10 (sepuluh), dimana 0 menunjukkan

tidak cemas, 1-3 cemas ringan, 4-6 cemas sedang, 7-9 cemas

berat, dan 10 menunjukkan tingkat panik (Fjriati, 2013;Liza,

2014).
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Literature Review dengan

pendekatan Systematic Review. Literatur Review adalah sebuah metode sistematis yang

bersifat jelas yang digunakan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi

secara kritis dengan melalui pengumpulan data-data mengenai hasil-hasil penelitian yang

sudah dilakukan oleh para peneliti dan praktisi (Okoli & Schabram, Ring, Ritchie,

Mandara & Jepson, 2011). Systematic review adalah ringkasan hasil dari banyak

penelitian yang memakai metode kuantitatif (Melnyk & Fineout, 2011). Penelitian ini

akan menggunakan sumber data berdasarkan temuan peneliti dari jurnal-jurnal ilmiah

dengan tema hubungan hipertensi dengan tingkat kecemasan pada lansia.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, serta

objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang akan ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2016). Variabel dalam

penelitian ini terdiri atas dua variabel yaitu variabel independen (bebas) dan variable

dependen (terikat). Variabel independen ( bebas) adalah variabel yang menjadi sebab

timbulnya variabel dependen (terikat) sedangkan variabel dependen (terikat) adalah

variabel yang menjadi akibat dari adanya variabel independen (Sugiyono, 2016).
3.2.1 Variabel Dependen

Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel yang di pengaruhi atau

yang menjadi akibat karena adanya variabel independen (bebas) (Sugiono,2016).

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan.

3.2.2 Variabel Independen

Variabel dependen atau variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi

atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat)

(Sugiono,2016). Variabel independen dalam penelitian ini adalah Hipertensi.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi penelitian

Populasi adalah seluruh subyek yang dijadikan fokus penelitian (Sugiyono,

2018). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh jurnal yang berkaitan dengan

hubungan hipertensi dengan tingkat kecemasan lansia.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan

tertentu yang akan diteliti (Sugiyono,2018). Sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah jurnal hasil penelitian dengan topik hubungan hipertensi

dengan tingkat kecemasan pada lansia.

3.3.3 Teknik sampling

Teknik sampling adalah teknik teknik pengambilan sampel, teknik untuk

menentukan sampel yang akan digunakan dalam suatu penelitian (Sugiyono,2016).


Dalam penelitian literature review sampling ini peneliti menggunakan smpling

teoritis (Theoritical Sampling) yaitu sampel yang merujuk pada teori- teori yang

relevan dengan penelitian. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan

dengan cara mengakses database (Scholar Google, Pubmed) dengan menggunakan

Keyword sesuai masalah pada penelitian yaitu sebagai berikut: “Lansia”,

“Kecemasan”, “Hipertensi”,

3.3.4 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah ciri-ciri subyek penelitian yang akan diteliti (Nursalam,

2017). Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1) Jurnal harus merupakan riset asli yang telah dipublikasikan dalam

Bahasa Inggris atau Indonesia.

2) Jurnal penelitian yang diterbitkan dalam batas waktu maksimal 10

tahun ( 2010- 2020) dengan kriteria full text.

3) Jurnal terindeks ISSN/ISBN dan DOI.

4) Jurnal harus berkaitan dengan masalah yang akan diteliti..

5) Jurnal deskriptif korelatif

3.3.5 Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi adalah ciri-ciri subyek penelitian yang tidak sesuai dengan

kriteria yang diinginkan oleh peneliti dan tidak layak menjadi sampel penelitian

(Nursalam, 2017). Adapun kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah :


1) Jurnal yang dipublikasikan menggunakan Bahasa selain Bahasa Inggris

dan Indonesia.

2) Jurnal terindeks dalam batas universitas atau suatu lembaga saja.

3) Jurnal telah melebihi batas waktu 10 tahun terakhir.

4) Jurnal hanya menampilkan abstrak.

5) Jurnal menggunakan parameter evaluasi berjenis variable statis.

3.4 Analiais Data

Menurut Nursalam (2017) analisa data adalah proses yang dilakukan secara

sistematis terhadap data yang diperoleh. Dalam Penelitian ini peneliti akan

menggunakan tahapan literature review dalam bentuk PRISMA (Preferred

Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analyses) flow diagram sebagai

berikut:

Tabel 3.1 PRISMA Flow Diagram

Pencarian pada situs Pencarian pada situs


PUBMED (n=) Google Scholar
(n=)
Hasil jurnal secara keseluruhan (n=)

1. Jurnal dalam batas waktu maksimal 10 tahun


Screening (n=) (Maret 2010 – Maret 2020), Pubmed , Google
Scholar.
2. Jurnaal menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris.
3. Jurnal terindeks ISSN/ISBN dan DOI
4. Tipe : Research Articles, Full Text
Jurnal yang dapat 5. Jurnal nasional dan internasional
diakses penuh
Jurnal Full Text
(Full Text) (n=)
1. PUBMED
2. Google Scholar

Jurnal akhir yang Kriteria Inklusi:


sesuai dengan
kriteria inklusi 1. Jurnal yang berkaitan dengan kata Kunci:
(n=) Lansia, kecemasan, hipertensi
2. Jurnal yang membahas penelitian cross
sectional
3. Jurnal deskriptif korelatif

3.4 Tahapan Literature Review

3.4.1 Merumuskan Masalah


Masalah penelitian adalah suatu hal yang sangat penting karna akan

menentukan kualitas dari penelitian tersebut. Rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan hipertensi dengan tingkat

kecemasan pada lansia?

3.4.2 Mencari dan Mengumpulkan Data atau Literature

Menentukan PICOT (Problem, Intervention, Control, Outcome and

Time). PICOT adalah metode yang digunakan untuk membantu dalam

pencarian informasi klinis

1) Adapun penjelasan mengenai PICOT dalam penelitian ini adalah :

a. P (patient/population/problem) adalah pasien atau populasi baik dari segi

umur, ras, gender ataupun penyakit klinis yang dijadikan subyek penelitian.

Dalam penelitian ini populasi yang di ambil adalah lansia penderita

hipertensi.

b. I (Intervention) tidak ada intervensi

c. C (Comparison Intervention) tidak ada intervensi pembanding

d. O ( Outcome) adalah hubungan hipertensi dengan tingkat kecemasan

e. T (Time) adalah kerangka waktu. Penelitian ini menggunakan jurnal dalam

rentang waktu maksimal 10 tahun ( 2010- 2020).

2. Tetapkan kata kunci (key word)

Kata kunci yang digunakan dalam mencari data pada penelitian ini adalah

hipertensi,kecemasan, lansia (hipertesion,anxiety, ederly).

3. Tentukan teknik pencarian yang akan digunakan, dapat secara manual melalui

buku atau elektronik melalui internet seperti google scholar, PUMED.

4. Gunakan Booelan Operator untuk strategi pencarian data/ literature, beberapa

Booelan operator sebagai berikut:


a. “...” digunakan untuk mencari frase kata-kata dalam urutan yang sama.

b. * digunakan untuk menentukan semua bentuk kata.

c. # digunakan sebagai pengganti nol, yaitu satu karakter atau lebih di tengah

kata.

d. OR digunakan untuk mengkombinasikan alternatif kata dengan arti kata

yang hampir sama.

e. AND digunakan untuk menghubungkan kata yang berbeda.

f. NOT digunakan untuk mengecualikan istilah tertentu dalam pencarian.

g. 0 digunakan untuk memperjelas tahap mana yang harus dilakukan terlebih

dahulu.

5. Pencarian akan menunjukkan banyaknya database.

6. Melakukan citation terhadap artikel yang digunakan.

7. Metode citation style yang biasa digunakan (ex: APA style, AMA style, MLA

style, IEE style).

8. Menerapkan kriteria inklusi dan ekslusi untuk membatasi hasil pencarian.

Kriteria yang digunakan yaitu berdasarkan tahun diterbitkan (2010-2020, full

text, diterbitkan dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, dan original

article.

3.4.3 Mengevaluasi Kelayakan Data/ Literature

Dalam mengevaluasi kelayakan data literature, peneliti melakukan

Instrumen: Joanna Brigs Institutete (JBI) Critical Appraisal deskriptif

correlation dengan rancangan cheklist for cross sectional studies yang harus

diisi oleh peneliti dengan memberi tanda ceklis sesuai atau tidaknya dengan

jurnal yang diambil oleh peneliti. Instrumen tersebut dilakukan untuk


melakukan skrining sehingga dapat memisahkan antara atrtikel yang relevan

dan artikel yang tidak relevan untuk dilakukan analisa lebih lanjut.

3.5 Ekstraksi Data

Ekstrasi data yang dilakukan jika semua data yang memenuhi syarat

yang telah diklasifikaskan dari semua data yang ada, setelah proses

screening dilakukan maka hasil dari ekstrasi data dapat diketahui pasti dari

jumlah awal data yang dimiliki dengan memenuhi syarat untuk selanjutnya

dianalisa lebih lanjut dan relevan.

3.6 Etika Penelitian

Etika penelitian merupakan suatu pedoman etika berlaku di setiap

kegiatan dalam penelitian yang melibatkan pihak peneliti dan pihak diteliti

(subjek penelitian) serta masyarakat yang memperoleh dampak

tersebut(Notoatmodjo,2018) ada beberapa prinsip etika penelitian yaitu:

3.6.1 Palgiarisme

Plagiarisme adalah tidak mengutip sebagian ataupun keseluruhan isi

refrensi yang menjadi panutan ataupun memanipulasi suatu rancangan

penelitian sampai akhir dari penelitian yang dijalankan, karena hal ini

tidak menghargai hak cipta yang dimiliki orang lain(Nursalam,2017)

3.6.2 Research Fraud

Dalam proses ini peneliti tidak boleh melakukan pemalsuan data untuk

kepentingan pribadi, Data yang dicantumkan peneliti harus data dan


informasi yang sebenar-benarnya sesuai hasil yeng diperoleh peneliti baik

itu melebih-lebihkan ataupun mengurangi(Nursalam,2017)

3.6.3 Misconduct

Penelitian ini tidak melakukan penipuan, penelitian harus dilakukan

sesuai dengan langkah-langkah penelitian dan waktu penelitian yang sudah

dibuat(Nursalam,2017).

3.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.7.1 Lokasi

Data penelitian ini didapatkan dari hasil pencarian Pubmed dan Google

Scholar.

3.7.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2020 hingga bulan Juni 2020.

Daftar Pustaka

Allender, J.A., Rector, C., & Warner, K.D.(2014). Comunity dan public health nursing
promoting the public’s health (8th Ed.). Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
Aspiani, R. Y. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: Trans Info Media.
Bloch, M. J. 2016. Worldwide Prevalence of Hypertension Exceedes 1.3 Billion. Journal of
The American Society of Hypertension, 10 (10): 753-754.
Bumi,M. (2017). Berdamai Dengan Hipertensi. Cetakan 1. Jakarta Penerbit Buku Bumi
Medika.
Cabrera, A. J. 2015, Theoris Of Human Anging Of Molecules To Society. MOJ Immunology.
2(2).00041.
Darmojo.2013. buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta. Balai Penerbit FK
UI.
Donsu. J.D. L., (2017). Psikologi Keperawatan. Ypgyakarta: Pustaka Baru Pres.
Dewi, S. R. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta; Deepublish.
Efendi &Makhfudli. (2013) Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta : Salemba Medika.
Ferri, F. F. 2017. Ferri’s Clinical Advisor 2017: 5 books in 1. Philadelphia: Elsevier, Inc.
Femmy, P I. (2011). Prevalensi dan Determinan Hipertensi Di Posyandu Lansia Wilayah
Kecematan Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun 2010.
Healthy Tadulako Journal (adhar Arifuddin, A. Fahira Nur)
Heningsih. 2014. Gambaran Tingkat Ansietas Pada Lansia Di Panti Werdha Dharma Bhakti
Kasih Surakarta. Sekolah Tinggi Ilmu kesehatan Kusuma Husada, Surakarta.
Infodatin. (2014). Situasi dan Analisis Lanjut Usia. Jakarta : Kemenkes RI
Kholifah, S. N. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Gerontik Jakarta: Kemenkes
RI Pusdik SDM Kesehatan
Kretchy et al.2014. Mental health in Hypertension: assesing symtoms of anxiety, depression
and stress on anti-hypertensive medication adherence. International Journal of Mental
Health Systems, Volume 8, Issue 25. Diperoleh pada tanggal 16 januari 2015.
Liao et al. 2014. Prevalence and Related Risk Factors Of Hypertensive Patiens With Co-
Morbid Anxiety And/Or Depression In Community: A Cross Sectional Study.
Zhonghua Yi Xue ZaZhi,Volume 7; 94(1):62-6. Diperoleh pada tanggal 4 Februari
2015.
Melnyk, B. M., & Fineout-Overholt, E. (2011). Evidence-based practice in nursing &
healthcare: a guide to best practice (2nd ed). Philadelphia: Wolters
Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins.

Nursalam. (2017). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis. Jakarta:


Salemba Medika.
Padila. (2013). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Nuha Medika.
Prof. Dr. Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Puspitoroni, (2010). Jurnal Hubungan Gaya Hidup dan pola makan dengan kejadian
hipertensi pada lansia di kelurahan Sawang Baru

Ridwan.,Widodo, D., Widiani, E,. (2017) Hubungan Hipertensi Denggan Tingkat Kecemasan
pada Lansia di Posyandu Permadi Kelurahan Tlogomas Kecamatan Lowokwaru Kota
Malang. Nursing News, Vol.2.No. 3.
Ring, Jepson, Ritchie. (2011). Methods Of Synthesizing Qualitative Research Stusies For
Health Technology Assessment. Int J Technol Assess Health Care. 2011
Oct;27(4):384-90. doi: 10.1017/S0266462311000389

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian RI tahun 2018.

Subekti, Rakhmalia Yuliana. 2015. Analisis faktor-faktor yang Mempengaruhi Tekanan


Darah pada Usia Lanjut di Dusun Sumberagung Moyudan Sleman Yogyakarta.
Diperoleh pada tanggal 13 september 2016.
Sugiyono. (2016-2018). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung; PT
Alfabet.
Tampi, R . R & Tampi, D. J. (2014). Anxiety disorders in late life: a comprehensive review.
Healthy Aging Research 3:14, 1-9. doi: 10.12715/har.2014.3.14
World Health Organization. 2013. A Global Brief On Hypertesion: Silent Killer, Global
Public Health Crisis. Diperileh pada tanggal 16 januari 2015
WHO. 2018. Global Health Estimates 2016: Deaths by Cause, Age, Sex, by Country and by
Region, 2000-2016. Geneva: World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai